MAKALAH EPISTEMOLOGI ILMU: PARADIGMA POSITIVISME DAN
POST-POSITIVISME
Abstrak
Sampai saat ini sejarah
tentang ilmu merupakan sebuah kisah kesuksesan, kemenangan-kemenangan ilmu
melambangkan suatu proses kumulatif peningkatan pengetahuan dan rangkaian kemenangan
terhadap kebodohan dan tahayul. Filsafat mengkotak-kotakkan setiap pengetahuan yang sering
kali berdasar pada pengalaman. Sejalan dengan ajaran
filsafat Auguste Comte model epistemologi mulai dikembangkan dalam penelitian
ilmu-ilmu social. Hal
ini menyatakan suatu aliran
filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang
benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Positivisme memandang agama sebagai gejala peradaban manusia yang primitif. Sedangkan
Post-positivisme
merupakan perbaikan positivisme yang dianggap memiliki kelemahan-kelemahan, dan
dianggap hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang
diteliti.
Kata kunci: Positivisme dan Post-Positivisme
A. Pendahuluan
Dewasa ini terdapat perhatian yang
semakin besar terhadap filsafat ilmu. Perkembangan cepat dialami oleh banyak
ilmu serta pengaruhnya yang semakin besar terhadap kehidupan masyarakat.
Filsafat ilmu ialah penyelidikan tentang ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan
cara-cara memperolehnya. Dengan kata lain filsafat ilmu sesungguhnya merupakan
suatu penyelidikan lanjutan.[1]
Sampai saat ini sejarah tentang
ilmu merupakan sebuah kisah kesuksesan, kemenangan-kemenangan ilmu
melambangkan suatu proses kumulatif peningkatan pengetahuan dan rangkaian
kemenangan terhadap kebodohan dan tahayul. Dan dari ilmulah kemudian mengalir
arus penemuan-penemuan yang berguna untuk kemajuan hidup manusia. Sejarawan
segera menyadari bahwa gagasan ilmu yang diperoleh selama dalam pendidikaanya
hanyalah salah satu dari sekian banyak gagasan dan itu merupakan produk-produk
dari konteks-konteks yang bersifat sementara.
Pembagian-pembagian nama dan istilah
dalam filsafat mengkotak-kotakkan setiap pengetahuan yang sering kali berdasar
pada pengalaman, selain itu tidak dipungkiri bahwa berfilsafat sebagai
manifestasi kegiatan intelektual yang telah meletakkan dasar-dasar paradigmatik
bagi tradisi dalam kehidupan masyarakat ilmiah ala barat.
Sejalan dengan ajaran filsafat
Auguste Comte yang dikenal sebagai bapak Sosiologi, logico–positivisme yang
juga digagas oleh dirinya, merupakan model epistemologi yang di dalamnya
terdapat lengkah-langkah progresinya menempuh jalan melalui observasi,
eksperimentasi dan komparasi mendapatkan apresiasi yang berlebihan sehingga model
ini juga mulai dikembangkan dalam penelitian ilmu-ilmu sosial.[2] Dari
sinilah kita akan membahas tiga hal penting tentang positivisme dan
post-positivisme saja.
B. PEMBAHASAN
1.
Positivisme
Positivisme
adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya
sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan
metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris.
Menurut
Amsal Bakhtiar dalam bukunya filsafat agama bahwa positivisme adalah kelanjutan
dari empirisme. Kalau empirisme menekankan pada pengalaman saja dan merendahkan
fungsi akal, adapun positivise menggabungkan keduanya.
Positivisme,
kata asalnya adalah “positif”, berarti yang diketahui, yang factual, dan yang
positif. Segala uraian yang diluar fakta atau kenyataan dikesampingkan. Oleh
karena itu, metafisika ditolak. Apa yang diketahui secara positif adalah segala
yang tampak dan yang dapat diukur. Dengan demikian positivisme membatasi
filsafat dan ilmu pada bidang gejala-gejala saja.[3]
Dalam
paradigma ilmu, ilmuwan telah mengembangkan sejumlah perangkat keyakinan dasar
yang mereka gunakan dalam mengungkapkan hakikat ilmu yang sebenarnya dan
bagaimana cara untuk mendapatkannya. Tradisi
pengungkapan ilmu ini
telah ada sejak
adanya manusia, namun
secara sistematis dimulai sejak
abad ke-17, ketika
Descartes (1596-1650) dan
para penerusnya
mengembangkan cara pandang
positivisme, yang memperoleh
sukses besar sebagiamana
terlihat pengaruhnya dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
dewasa ini. Paradigma ilmu pada dasarnya berisi jawaban atas pertanyaan
fundamental proses keilmuan manusia, yakni bagaimana, apa, dan untuk apa. Tiga
pertanyaan dasar itu kemudian dirumuskan menjadi beberapa dimensi.[4]
a.
Dimensi ontologis, pertanyaan
yang harus dijawab
oleh seorang ilmuwan
adalah: Apa sebenarnya hakikat dari sesuatu yang dapat diketahui (
knowable), atau apa sebenarnya hakikat dari suatu realitas (reality). Dengan demikian dimensi yang dipertanyakan adalah hal
yang nyata (what is nature of reality?).
b. Dimensi epistemologis,
pertanyaan yang harus dijawab oleh seorang ilmuwan adalah: Apa sebenarnya
hakikat hubungan antara pencari ilmu (inquirer) dan objek yang ditemukan (know
atau knowable)?
c. Dimensi axiologis,
yang dipermasalahkan adalah
peran nilai-nilai dalam
suatu kegiatan penelitian.
d. Dimensi retorik yang
dipermasalahkan adalah bahasa yang digunakan dalam penelitian.
e.
Dimensi metodologis, seorang ilmuwan harus menjawab pertanyaan: bagaimana
cara atau metodologi yang dipakai
seseorang dalam menemukan
kebenaran suatu ilmu
pengetahuan? Jawaban terhadap kelima dimensi pertanyaan ini, akan menemukan
posisi paradigma ilmu untuk menentukan paradigma apa yang akan dikembangkan
seseorang dalam kegiatan keilmuan.[5]
Positivisme
merupakan paradigma ilmu pengetahuan yang paling awal muncul dalam dunia ilmu
pengetahuan. Keyakinan dasar aliran ini berakar dari paham ontologi realisme
yang menyatakan bahwa realitas ada (exist) dalam kenyataan yang berjalan sesuai
dengan hukum alam (natural laws). Dengan kata lain, Positivisme merupakan suatu
aliran filsafat yang menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal
adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris.
Sesungguhnya
aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk
memperoleh pengetahuan (seperti yang diusung oleh kaum idealisme khususnya
idealisme Jerman Klasik). Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi
tertentu sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja
merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada
spekulasi dapat menjadi pengetahuan.
Filsafat
positivisme lahir pada abad ke-19. Titik tolak
pemikirannya, segala yang diketahui adalah yang faktual dan yang positif,
sehingga metafisika ditolaknya. Positif adalah segala gejala dan segala yang
tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman obyektif. Jadi,
setelah fakta diperoleh, maka fakta-fakta tersebut kita atur untuk dapat
memberikan asumsi (proyeksi ke masa depan). Beberapa tokoh diantaranya, August
Comte (1798-1857), Jonh S. Mill (1806-1873), Herbert Spencer (1820-1903).[6]
Positivisme
muncul pada abad ke-19 dimotori oleh sosiolog Auguste Comte, dengan buah
karyanya yang terdiri dari enam jilid dengan judul The Course of Positive Philosophy (1830-1842). Ia lahir di Montpellier, Prancis. Sebuah
karya penting, Cours de Philosofia Positif (kursus tentang filsafat positif),
dan berjasa dalam mencipta ilmu sosiologi.
Positivisme
memandang agama sebagai gejala peradaban manusia yang primitive. August Comte,
tokoh positivisme, membagi sejarah umat manusia atas tiga tahap. Pertama, tahap
teologis, yaitu manusia masih terpaku pada hakikat ‘batin’ segala sesuatu,
sebab pertama, dan tujuan terakhir. Jadi seseorang masih percaya kepada Yang
Mutlak. Tingkat teologi menerangkan segala-galanya dengan pengaruh dan
sebab-sebab yang melebihi kodrat.[7] Kedua, tahap metafisika, yaitu perubahan bentuk saja
dari zaman teologis. Kekeuatan-kekuatan adikridati yang berupa dewa diganti
dengan kekuatan yang abstrak lewat proses generalisasi. Ketiga, tahap positif,
yairtu ketika orang sadar bahwa tidak ada gunanya untuk berusaha mencapai
pengenalan, baik teologis maupun metafisis. Zaman ini, seseorang tidak mau lagi
melihat awal dan tujuan alam semesta, tetapi berusaha menemukan hokum-hukum
kesamaan yang ada dibelakang fakta lewat pengamatan dan akanya. Tujuan
tertinggi pada zaman ini akan tercapai, bila mana segala gejala telah dapat
disusun dan diatur di dalam satu fakta yang umum saja.[8]
Comte berpendapat
bahwa tiga tahap perkembangan umat manusia tidak saja berlaku bagi suatu bangsa
atau suku, tetapi juga individu dan ilmu. Ketika masa kanak-kanak, seseorang
menjadi teolog. Ketika remaja, dia menjadi meyafisikus, dan ketika dewasa dia
menjadi positivis. Ilmu juga demikian. Pada awalnya ilmu dikuasai oleh
teologis, sesudah itu di abstraksikan oleh metafisika, dan akhirnya baru
dicerahkan oleh hokum-hukum positif.
Alat
penelitian yang pertama menurut Comte adalah observasi, tindak mengamati sekaligus menghubungkan dengan
sesuatu hukum yang
hipothetik diperbolehkan oleh
Comte. Itu merupakan kreasi
simultan observasi dengan
hukum dan merupakan
lingkaran yang tak berujung.
Eksperimentasi menjadi metode yang kedua menurut Comte yaitu suatu proses
reguler phenomena dapat diintervensi dengan sesuatu yang lain. Komparasi
dipakai untuk halhal yang lebih kompleks seperti biologi dan sosiologi.
Comte-lah yang
pertama kali menggunakan
istilah sosiologi untuk
menggantikan istilah phisique sociale
dari Quetelet. Ia membedakan
antara social statics dan social dynamic. Pembedaan itu hanyalah untuk tujuan
analisis, keduanya menganalisa fakta sosial yang sama, hanya dengan tujuan yang
berbeda. Yang pertama menelaah fungsi jenjang-jenjang peradaban, yang kedua
menelaah perubahan-perubahan jenjang tersebut.[9]
Menurut
Emile Durkheim (1982:59) objek studi sosiologi adalah fakta sosial
(social-fact): Fakta sosial yang dimaksud meliputi: bahasa, sistem hukum,
sistem politik, pendidikan, dan lain-lain. Sekalipun fakta sosial berasal dari
luar kesadaran individu, tetapi dalam penelitian positivisme, informasi
kebenaran itu ditanyakan oleh penelitian kepada individu yang dijadikan
responden penelitian. Untuk mencapai kebenaran ini, maka seorang pencari
kebenaran (penelitian) harus menanyakan langsung kepada objek yang diteliti,
dan objek dapat memberikan jawaban langsung kepada penelitian yang
bersangkutan. Hubungan epistemologi ini, harus menempatkan si peneliti di
belakang layar untuk mengobservasi hakekat realitas apa adanya untuk menjaga
objektifitas temuan. Karena itu secara metodologis, seorang penelitian
menggunakan metodologi eksperimen-empirik untuk menjamin agar temuan yang
diperoleh betul-betul objektif dalam menggambarkan keadaan yang sebenarnya.
Mereka mencari ketepatan yang tinggi, pengukuran yang akurat dan penelitian
objektif, juga mereka menguji hipotesis dengan jalan melakukan analisis
terhadap bilangan-bilangan yang berasal dari pengukuran.
Di
bawah naungan payung positivisme, ditetapkan bahwa objek ilmu pengetahuan
maupun pernyataan-pernyataan ilmu pengetahuan (Scientific Proporsition)
haruslah memenuhi syarat-syarat (Kerlinger, 1973) sebagai berikut: dapat
di/ter-amati (observable), dapat di/ter-ulang (repeatable), dapat di/ter-ukur
(measurable), dapat di/ter-uji (testable), dan dapat di/ter-ramalkan
(predictable).[10]
Tokoh
semasa dengan Comte yang juga memberi landasan positivisme adalah Jeremy
Bentham dan James Mill (1806-1873),[11]
menurut keduanya ilmu yang valid adalah ilmu yang dilandaskan pada fakta. Ethik
tradisional yang dilandaskan pada moral diganti dengan ethik pada motif
perilaku pada kepatuhan manusia pada aturan. Mill menolak absolut dari agama.
Mill berpendapat bahwa kebebasan manusia itu bagaikan a secrad fortress
(benteng suci) yang aman dari penyusupan otoritas apapun, wawasan yang menjadi
marak pada akhir abad 20-an ini.
Salah
seorang pendukung positivism adalah Herbert Spencer. Spencer sependapat dengan
Comte, terutama tentang eksistensi Tuhan. Menurutnya, keterangan mengenai
dunia, baik yang bersifat keagamaan maupun yang bersifat metafisik menimbulkan
pertentangan. Agama dan metafisik ingin memberikan penjelasan tentang asal mula
sesuatu, padahal manusia tidak mampu mengetahui hal itu.
Pemikiran Herbert Spencer
(1820-1903) berpusat pada teori evolusi ia telah mendahului Carles Darwin, ia
memutuskan menulis karya tulis yang menetrpkan prinsip evolusi srta sistematis.
Hasilnya karya yang berjudul A system of synthetic philosophy. Menurutnya kita
hanya bisa mengenal gejala-gejala saja walaupun dibelakang gejala tersebut ada
dasar yang absolut, tetapi absolut itu tidak dapat dikenal.
Seorang
positivis, membatasi dunia pada hal-hal yang bias dilihat, yang bisa diukur,
dan yang bias dibuktikan kebenarannya. Karena agama-maksudnya Tuhan tidak tidak
bias dilihat, diukur, dan dibuktikan, maka agama tidak mempunyai arti dan
faedah. Suatu pernyataan dianggap benar oleh positivisme apabila pernyataan itu sesuai dengan fakta.
Paradigma
positivisme telah menjadi pegangan para ilmuwan untuk mengungkapkan kebenaran
realitas. Kebenaran yang dianut positivisme dalam mencari kebenaran adalah
teori korespondensi. Teori korespondensi menyebutkan bahwa suatu pernyataan
adalah benar jika terdapat fakta-fakta empiris yang mendukung pernyataan
tersebut. Atau dengan kata lain, suatu pernyataan dianggap benar apabila materi
yang terkandung dalam pernyataan tersebut bersesuaian (korespodensi) dengan
obyek faktual yang ditunjuk oleh pernyataan tersebut.[12]
Setelah
positivisme ini berjasa dalam waktu yang cukup lama (± 400 tahun), kemudian
berkembang sejumlah ‘aliran’ paradigma baru yang menjadi landasan pengembangan
ilmu dalam berbagai bidang kehidupan.
2. Postpositivisme
Post
Positivisme lawan dari positivisme: cara berpikir yg subjektif Asumsi terhadap
realitas: there are multiple realities (realitas jamak), Kebenaran subjektif
dan tergantung pada konteks value, kultur, tradisi, kebiasaan, dan keyakinan.
Natural dan lebih manusiawi.[13]
Munculnya
gugatan terhadap positivisme di mulai tahun 1970-1980an. Pemikirannya dinamai
“post-positivisme”. Tokohnya; Karl
R. Popper, Thomas Kuhn, para filsuf
mazhab Frankfurt (Feyerabend, Richard Rotry). Paham ini menentang positivisme,
alasannya tidak mungkin menyamaratakan ilmu-ilmu tentang manusia dengan ilmu
alam, karena tindakan manusia tidak bisa di prediksi dengan satu penjelasan
yang mutlak pasti, sebab manusia selalu berubah.
Salah satu
pendiri postpositivisme adalah Karl Popper. Karl Popper lahir di Vienna, Austria, 28 Juli 1902 dan meninggal di London, Inggris, 17 September 1994 (umur 92
tahun). Popper merupakan salah satu dari sekian banyak filsuf ilmu
dan pakar dalam bidang psikologi belajar. Popper dikenal dengan gagasan
falsifikasi, sebagai lawan dari verifikasi terhadap ilmu.
Falsifikasi adalah gagasan melihat suatu teori dari sudut pandang kesalahan.
Dengan menganggap teori itu salah, dan dengan segala upaya dibuktikan kesalahan
tersebut hingga mutlak salah, dibuatlah teori baru yang menggantikannya.
Post-positivisme
merupakan perbaikan positivisme yang dianggap memiliki kelemahan-kelemahan, dan
dianggap hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang
diteliti. Secara ontologis aliran post-positivisme bersifat critical realism
dan menganggap bahwa realitas memang ada dan sesuai dengan kenyataan dan hukum
alam tapi mustahil realitas tersebut dapat dilihat secara benar oleh peneliti.
Secara epistomologis: Modified dualist/objectivist, hubungan peneliti dengan
realitas yang diteliti tidak bisa dipisahkan tapi harus interaktif dengan
subjektivitas seminimal mungkin. Secara metodologis adalah modified
experimental/ manipulatif.[14]
Observasi
yang didewakan positivisme dipertanyakan netralitasnya, karena observasi
dianggap bisa saja dipengaruhi oleh persepsi masing-masing orang. Proses dari
positivisme ke post-positivisme melalui kritikan dari tiga hal yaitu:
a. Observasi sebagai unsur utama metode
penelitian,
b. Hubungan yang kaku antara teori dan
bukti. Pengamat memiliki sudut pandang yang berbeda dan teori harus mengalah
pada perbedaan waktu,
c. Tradisi keilmuan yang terus
berkembang dan dinamis (Salim, 2001).
Post positivisme merupakan sebuah
aliran yang datang setelah positivisme dan memang amat dekat dengan paradigma
positivisme. Salah satu indikator yang membedakan antara keduanya bahwa post
positivisme lebih mempercayai proses verifikasi
terhadap suatu temuan hasil observasi melalui berbagai macam metode. Dengan
demikian suatu ilmu memang betul mencapai objektivitas apabila telah
diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai cara.[15]
Asumsi Dasar
Post Positivisme:
a.
Fakta
tidak bebas nilai, melainkan bermuatan teori.
b.
Falibilitas
Teori, tidak satupun teori yang dapat sepenuhnya dijelaskan dengan bukti-bukti empiris,
bukti empiris memiliki kemungkinan untuk menunjukkan fakta anomali.
c.
Fakta
tidak bebas melainkan penuh dengan nilai.
d.
Interaksi
antara subjek dan objek penelitian. Hasil penelitian bukanlah reportase
objektif melainkan hasil interaksi
manusia dan semesta
yang penuh dengan
persoalan dan senantiasa berubah.
e.
Asumsi
dasar post-positivisme tentang realitas adalah jamak individual.
f.
Hal
itu berarti bahwa realitas (perilaku manusia) tidak tunggal melainkan hanya
bisa menjelaskan dirinya sendiri menurut unit tindakan yang bersangkutan.
g.
Fokus
kajian post-positivis adalah tindakan-tindakan (actions) manusia sebagai
ekspresi dari sebuah keputusan.
Dalam bukunya John W. Creswell “Research
Desigh Qualitative, Quantitatif, and Mixed Methods Approaches Second edition” bahwa
seseorang dapat mencapai asumsi utama dari posisi ini, seperti berikut ini:
1. That
knowledge is conjectural (and anti-foundational)- absolute truth can never be
found. Thus, evidence established in research is always imperfect and fallible.
It is for this reason that researchers do not prove hypotheses and instead
indicate a failure to reject.
2. Research
is the prosess of making claims and them refining or abandoning some of them
for other claims more stroungly warranted. Most quantitative research, for
example starts whith the test of a theory.
3. Data,
evidence, and rational considerations shape knowledge. In practice, the
researcher collects information on instruments based on measures completed by
the participants or by observations recorded by the researcher.
4. Research
seeks to develop relevant true statements, ones that can serve to explain the
situation that is of concern or that describes the causal relationships of
interest. In quantitative studies, researchers advance the relationship among
variables and pose this in terms of questions or hypotheses.
5. Being
objective is an essential aspect of competent inquiry, and for this reason
researchers must examine methods and conclusions for bias. For example,
standards of validity and reability and important in quantitative research.[16]
Paradigma ini merupakan aliran yang
ingin memperbaiki kelemahan-kelemahan positivisme, yang hanya mengandalkan
kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti.
Secara ontologis aliran ini
bersifat critical realism yang memandang bahwa realitas memang ada
dalam kenyataan sesuai dengan hukum alam, tetapi satu hal yang mustahil bila
suatu realitas dapat dilihat secara benar oleh manusia (peneliti). Oleh karena
itu, secara metodologis pendekatan eksperimental melalui observasi tidaklah
cukup, tetapi harus menggunakan metode triangulation yaitu
penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, peneliti dan teori.
Secara epistemologis, hubungan antara
pengamat atau peneliti dengan objek atau realitas yang diteliti tidaklah bisa
dipisahkan, seperti yang diusulkan oleh aliran positivisme. Aliran ini
menyatakan suatu hal yang tidak mungkin mencapai atau melihat kebenaran apabila
pengamat berdiri di belakang layar tanpa ikut terlibat dengan objek secara
langsung.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang
postpositivisme empat pertanyaan dasar berikut, akan memberikan gambaran
tentang posisi aliran ini dalam kancah paradigma ilmu pengetahuan.
Pertama, Bagaimana sebenarnya posisi
postpositivisme di antara paradigma-paradigma ilmu yang lain? Apakah ini
merupakan bentuk lain dari positivisme yang posisinya lebih lemah? Atau karena
aliran ini datang setelah positivisme sehingga dinamakan
postpositivisme? Harus diakui bahwa aliran ini bukan suatu filsafat baru
dalam bidang keilmuan, tetapi memang amat dekat dengan paradigma positivisme.
Salah satu indikator yang membedakan antara keduanya bahwa postpositivisme
lebih mempercayai proses verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi
melalui berbagai macam metode. Dengan demikian suatu ilmu memang betul mencapai
objektifitas apabila telah diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai
cara.[17]
Kedua, Bukankah postpositivisme
bergantung pada paradigma realisme yang sudah sangat tua dan usang? Dugaan ini
tidak seluruhnya benar. Pandangan awal aliran positivisme (old-positivism)
adalah anti realis, yang menolak adanya realitas dari suatu teori. Realisme
modern bukanlah kelanjutan atau luncuran dari aliran positivisme, tetapi
merupakan perkembangan akhir dari pandangan postpositivisme.[18]
Ketiga, banyak postpositivisme yang
berpengaruh yang merupakan penganut realisme. Bukankah ini menunjukkan bahwa
mereka tidak mengakui adanya sebuah kenyataan (multiple realities) dan setiap
masyarakat membentuk realitas mereka sendiri? Pandangan ini tidak benar karena
relativisme tidak sesuai dengan pengalaman sehari-hari dalam dunia ilmu. Yang
pastipostpositivisme mengakui bahwa paradigma hanyalah berfungsi sebagai lensa
bukan sebagai kacamata. Selanjutnya, relativisme mengungkap bahwa semua
pandangan itu benar, sedangkan realis hanya berkepentingan terhadap pandangan
yang dianggap terbaik dan benar. Postpositivisme menolak pandangan bahwa
masyarakat dapat menentukan banyak hal sebagai hal yang nyata dan benar tentang
suatu objek oleh anggotanya.
Keempat, karena pandangan bahwa
persepsi orang berbeda, maka tidak ada sesuatu yang benar-benar pasti. Bukankah
postpositivisme menolak kriteria objektivitas? Pandangan ini sama sekali tidak
bisa diterima. Objektivitas merupakan indikator kebenaran yang melandasi semua
penyelidikan. Jika kita menolak prinsip ini, maka tidak ada yang namanya
penyelidikan. Yang ingin ditekankan di sini bahwa objektivitas tidak menjamin
untuk mencapai kebenaran.[19]
3.
Perbedaan Paradigma Positivisme dan Postpositivisme
Untuk dapat membedakan paradigma Positivistik
dan paradigm postpositivitik maka
penulis merumuskan dalam bentuk tabel berikut:
ASUMSI
|
POSITIVISTIK
|
POST POSITIVISTIK
|
Ontology
|
Bersifat nyata, artinya realita itu mempunyai keberadaan sendiri dan diatur oleh hukum-hukum alam dan mekanisme yang bersifat tetap.
|
Realis kritis-artinya realitas itu memang ada, tetapi tidak akan pernah dapat dipahami sepenuhnya.
|
Epistemologi
|
· Dualis/objektif, adalah mungkin
dan esensial bagi peneliti untuk mengambil jarak dan bersikap
tidak melakukan interaksi
dengan objek yang diteliti.
· Nilai, faktor bias dan faktor yang mempengaruhi lainnya secara otomatis tidak mempengaruhi hasil studi.
|
- Objektivis modifikasi
- artinya
objektivitas
tetap merupakan
pengaturan
(regulator) yang ideal, namun
objektivitas hanya dapat diperkirakan
dengan penekanan khusus pada
penjaga eksternal, seperti tradisi dan komunitas yang kritis.”
|
Metodologi
|
bersifat
eksperimental / manipulatif : pertanyaan-pertanyaan dan/atau hipotesis-hipotesis dinyatakan dalam bentuk proposisi sebelum
penelitian dilakukan dan
diuji secara empiris (falsifikasi)
dengan kondisi yang terkontrol secara cermat
|
Eksperimental / manipulatif yang dimodifikasi, maksudnya menekankan sifat ganda yang kritis.
Memperbaiki ketidakseimbangan dengan melakukan penelitian dalam latar yang alamiah, yang lebih banyak menggunakan metode-metode kualitatif, lebih tergantung pada teori-grounded (grounded - theory) dan memperlihatkan upaya (reintroducing) penemuan dalam proses penelitian.”
|
C. ANALISIS
1.
Positivisme
Kita ketahui paradigma penelitian merupakan salah
satu bagian yang tidak bisa dilepaskan dari proses penelitian. Paradigma
penelitian merupakan kerangka berpikir yang menjelaskan bagaimana cara pandang
peneliti terhadap fakta kehidupan sosial dan perlakuan peneliti terhadap ilmu
atau teori.
Dalam
proses keilmuan, paradigm keilmuan memegang peranan penting. Fungsi paradigm
ilmu adalah memberikan kerangka, mengarahkan, bahkan menguji konsistensi dari
proses keilmuan.
Secara
umum, paradigma diartikan sebagai seperangkat kepercayaan atau keyakinan dasar
yang menentukan seseorang dalam bertindak pada kehidupan sehari-hari. Paradigma
menggariskan apa yang harus dipelajari, pernyataan-pernyataan apa yang
seharusnya dikemukakan dan kaidah-kaidah apa yang seharusnya diikuti dalam
menafsirkan jawaban yang diperolehnya.
Harus
diakui bahwa aliran ini merupakan filsafat baru dalam bidang keilmuan, tetapi
memang sangat dekat dengan paradigma positivisme. Salah satu indikator yang
membedakan antara keduanya bahwa positivisme lebih mempercayai proses
verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi melalui berbagai macam metode.
Pandangan
aliran posotivisme bukan suatu realitas yang menolak adany realitas dari suatu
teori, realisme modern bukanlah kelanjutan atau luncuran dari aliran
positivisme, tetapi merupakan perkembangan akhir dari pandangan pospositisme.
Banyak
pospositisme yang berpengaruh yang merupakan
penganut realisme, dan ini
menunjukkan bahwa mereka tidak mengakui adanya sebuah kenyataan. Realisme
mengungkap bahwa semua pandangan itu benar sedangkan realis hanya
berkepentingan terhadap pandangan yang dianggap terbaik dan benar.
Pospositivisme menolak pandangan bahwa masyarakat dapat menentukan banyak hal
sebagai hal yang nyata dan benar tentang suatu obyek oleh anggotanya.
Karena
pandangan bahwa persepsi orang berbeda, maka tidak ada sesuatu yang benar-benar
pasti. Pandangan ini tidak bisa diterima karena aktivitas merupakan indikator
kebenaran yang melandasi penyelidikan yang ingin ditekankan bahwa obyektivitas
tidak menjamin untuk mencapai kebenaran.
2.
Post Positivisme
Banyak postpositisme yang berpengaruh yang merupakan penganut realisme, dan ini menunjukkan bahwa mereka tidak mengakui
adanya sebuah kenyataan. Realisme mengungkap bahwa semua pandangan itu
benar sedangkan realis hanya berkepentingan terhadap pandangan yang dianggap
terbaik dan benar. Post-positivisme merupakan
perbaikan positivisme. Secara ontologis
aliran postpositivisme bersifat critical realism artinya realitas itu memang
ada, tetapi tidak akan pernah dapat dipahami sepenuhnya artinya post positivisme bergantung
pada konteks value,
kultur, tradisi, kebiasaan,
keyakinan, natural dan lebih manusiawi. Indikator
yang membedakan antara Paradigma positivisme dan postpositivism adalah post
positivisme lebih mempercayai proses verifikasi terhadap suatu temuan hasil
observasi melalui berbagai macam metode.
3. Perbedaan
Paradigma Positivisme dan Postpositivisme
Menekankan analisis parsial dan dekontekstualisasikan
(decontextualization) VS Menekankan analisis menyeluruh dan kontekstualisasi
(contextualization) Menekankan pemisahan VS Menekankan integrasi
Menekankan generalisasi VS Menekankan spesifikasi Pertimbangan hanya pada
objektivitas dan kuantifikasi VS Pertimbangan juga pada subjektifitas dan non-kuantifikasi Ketergantungan pada keahlian dan pengetahuan orang lain, peneliti
sebagai orang luar VS Pertimbangan juga diambil dari partisipan dan pengetahuan
lokal; peneliti sebagai orang dalam. Memberikan fokus perhatian pada
controlling VS Memberi fokus pada understanding.
D.
PENUTUP
Kesimpulan
- Positivisme merupakan aliran pemikiran yang membatasi pikiran pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis definisi dan relasi antara istilah-istilah. Positifisme sekarang merupakan istilah umum untuk posisi filosofis yang menekanakan aspek faktual pengetahuan, khususnya pengetahuan ilmiah dan umumnya positivisme berupaya menjabarkan pernyataan-pernyataan faktual pada suatu landasan pencerapan (sensasi). Atau dengan kata lain, positivime merupakan suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu-ilmu alam (empiris) sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak nilai kognitif dari studi filosofi satau metafisik.
- Post Positivisme lawan dari positivisme: cara berpikir yang subjektif Asumsi terhadap realitas. Munculnya gugatan terhadap positivisme di mulai tahun 1970-1980an. Salah satu pendiri pospositivisme adalah Karl Popper. Paham ini menentang positivisme, alasannya tidak mungkin menyamaratakan ilmu-ilmu tentang manusia dengan ilmu alam.
- Untuk dapat membedakan paradigma Positivistik dan paradigm postpositivitik di lihat dari segi asumsi ontology, asumsi epistemology dan asumsi aksiologi.
DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar,
Amsal. 2009. Filsafat Agama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Berling, Kwee, Mooij Van Peursen. 2003. Pengantar Filsafat lmu. Yogyakarta: PT Tiara Wacana. Cet ke-V.
John W.
Creswell. 2003. Research Desigh. Amerika: Sage Plubication.
Muhadjir,
Noeng Prof. 2001. Filsafat
Ilmu. Yogyakarta: Rake Sarasin.
Muslih,
Mohammad. 2006. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Belukar.
Poedjawijatna. 1997. Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat. Jakarta: PT.
Rineka Cipta.
Wiramihardja,
Sutardjo A. 2009. Pengantar Filsafat. Bandung. PT. Refika Aditama.
Tim
Dosen Filsafat Ilmu.
2003. Filsafat
Ilmu: Liberty Yogyakarta.

“Prespektif Positivisme Postpositivisme”, artikel diakses
pada 17 April 2014 http://catatan-anakfikom.blogspot.com/2014/17/
Filsafat
Modern ((Positivisme Dan Evolusionisme)), (online), http://maktabah
stid.blogspot.com/20014/18/filsafat-modern-positivisme-dan.html
diakses pada tanggal 18
September 2014
[1]. Berling,
Kwee, Mooij Van Peursen, Pengantar filsafat lmu. PT Tiara Wacana:
Yogyakarta. Cet ke-V, 2003. Hlm 1.
[6]. Filsafat
Modern ((Positivisme Dan Evolusionisme)), (online), http://maktabah stid.blogspot.com/20014/18/filsafat-modern-positivisme-dan.html
diakses pada tanggal 18 November 2014
[7]. Prof. I.R. Poedjaeijatna. Pembimbing
ke Arah alam dan filsafat. 1997. PT. Rineka Cipta: Jakarta. Hlm.
121.
[9]. Paradigm positivism dan
postposivisme. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah
Tangerang. hlm.7.
[12]. “Prespektif Positivisme Postpositivisme”, artikel diakses
pada 17 Oktober 2014 http://catatan-anakfikom.blogspot.com/2014/17/
[16].
John W. Creswell. Research Desigh. 2003. Sage Plubication: Amerika. Hlm.
7-8.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar