Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Minggu, 13 Mei 2018

MAKALAH PARADIGMA POSITIVISME DAN POST-POSITIVISME


MAKALAH EPISTEMOLOGI ILMU: PARADIGMA POSITIVISME DAN POST-POSITIVISME
Abstrak
Sampai saat ini sejarah tentang ilmu merupakan sebuah kisah kesuksesan, kemenangan-kemenangan ilmu melambangkan suatu proses kumulatif peningkatan pengetahuan dan rangkaian kemenangan terhadap kebodohan dan tahayul. Filsafat mengkotak-kotakkan setiap pengetahuan yang sering kali berdasar pada pengalaman. Sejalan dengan ajaran filsafat Auguste Comte model epistemologi mulai dikembangkan dalam penelitian ilmu-ilmu social. Hal ini menyatakan suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Positivisme memandang agama sebagai gejala peradaban manusia yang primitif. Sedangkan Post-positivisme merupakan perbaikan positivisme yang dianggap memiliki kelemahan-kelemahan, dan dianggap hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti.
Kata kunci: Positivisme dan Post-Positivisme
A.  Pendahuluan
Dewasa ini terdapat perhatian yang semakin besar terhadap filsafat ilmu. Perkembangan cepat dialami oleh banyak ilmu serta pengaruhnya yang semakin besar terhadap kehidupan masyarakat.  Filsafat ilmu ialah penyelidikan tentang ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan cara-cara memperolehnya. Dengan kata lain filsafat ilmu sesungguhnya merupakan suatu penyelidikan lanjutan.[1]
Sampai saat ini sejarah tentang ilmu merupakan sebuah kisah kesuksesan, kemenangan-kemenangan ilmu melambangkan suatu proses kumulatif peningkatan pengetahuan dan rangkaian kemenangan terhadap kebodohan dan tahayul. Dan dari ilmulah kemudian mengalir arus penemuan-penemuan yang berguna untuk kemajuan hidup manusia. Sejarawan segera menyadari bahwa gagasan ilmu yang diperoleh selama dalam pendidikaanya hanyalah salah satu dari sekian banyak gagasan dan itu merupakan produk-produk dari konteks-konteks yang bersifat sementara.
Pembagian-pembagian nama dan istilah dalam filsafat mengkotak-kotakkan setiap pengetahuan yang sering kali berdasar pada pengalaman, selain itu tidak dipungkiri bahwa berfilsafat sebagai manifestasi kegiatan intelektual yang telah meletakkan dasar-dasar paradigmatik bagi tradisi dalam kehidupan masyarakat ilmiah ala barat.
Sejalan dengan ajaran filsafat Auguste Comte yang dikenal sebagai bapak Sosiologi, logico–positivisme yang juga digagas oleh dirinya, merupakan model epistemologi yang di dalamnya terdapat lengkah-langkah progresinya menempuh jalan melalui observasi, eksperimentasi dan komparasi mendapatkan apresiasi yang berlebihan sehingga model ini juga mulai dikembangkan dalam penelitian ilmu-ilmu sosial.[2] Dari sinilah kita akan membahas tiga hal penting tentang positivisme dan post-positivisme saja.
B.  PEMBAHASAN
1.    Positivisme
Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris.
Menurut Amsal Bakhtiar dalam bukunya filsafat agama bahwa positivisme adalah kelanjutan dari empirisme. Kalau empirisme menekankan pada pengalaman saja dan merendahkan fungsi akal, adapun positivise menggabungkan keduanya.
Positivisme, kata asalnya adalah “positif”, berarti yang diketahui, yang factual, dan yang positif. Segala uraian yang diluar fakta atau kenyataan dikesampingkan. Oleh karena itu, metafisika ditolak. Apa yang diketahui secara positif adalah segala yang tampak dan yang dapat diukur. Dengan demikian positivisme membatasi filsafat dan ilmu pada bidang gejala-gejala saja.[3]
Dalam paradigma ilmu, ilmuwan telah mengembangkan sejumlah perangkat keyakinan dasar yang mereka gunakan dalam mengungkapkan hakikat ilmu yang sebenarnya dan bagaimana cara untuk mendapatkannya. Tradisi  pengungkapan  ilmu  ini  telah  ada  sejak  adanya  manusia,  namun  secara sistematis  dimulai  sejak  abad  ke-17,  ketika  Descartes  (1596-1650)  dan  para  penerusnya mengembangkan  cara  pandang  positivisme,  yang  memperoleh  sukses  besar  sebagiamana  terlihat pengaruhnya dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini. Paradigma ilmu pada dasarnya berisi jawaban atas pertanyaan fundamental proses keilmuan manusia, yakni bagaimana, apa, dan untuk apa. Tiga pertanyaan dasar itu kemudian dirumuskan menjadi beberapa dimensi.[4]
a.    Dimensi  ontologis,  pertanyaan  yang  harus  dijawab  oleh  seorang  ilmuwan  adalah: Apa sebenarnya hakikat dari sesuatu yang dapat diketahui ( knowable), atau apa sebenarnya hakikat dari suatu realitas (reality). Dengan demikian dimensi yang dipertanyakan adalah hal yang nyata (what is nature of reality?).
b.    Dimensi epistemologis, pertanyaan yang harus dijawab oleh seorang ilmuwan adalah: Apa sebenarnya hakikat hubungan antara pencari ilmu (inquirer) dan objek yang ditemukan (know atau knowable)?
c.    Dimensi  axiologis,  yang  dipermasalahkan  adalah  peran  nilai-nilai  dalam  suatu  kegiatan penelitian.
d.   Dimensi retorik yang dipermasalahkan adalah bahasa yang digunakan dalam penelitian.
e.    Dimensi metodologis, seorang ilmuwan harus menjawab pertanyaan: bagaimana cara atau metodologi  yang  dipakai  seseorang  dalam  menemukan  kebenaran  suatu  ilmu  pengetahuan? Jawaban terhadap kelima dimensi pertanyaan ini, akan menemukan posisi paradigma ilmu untuk menentukan paradigma apa yang akan dikembangkan seseorang dalam kegiatan keilmuan.[5]
Positivisme merupakan paradigma ilmu pengetahuan yang paling awal muncul dalam dunia ilmu pengetahuan. Keyakinan dasar aliran ini berakar dari paham ontologi realisme yang menyatakan bahwa realitas ada (exist) dalam kenyataan yang berjalan sesuai dengan hukum alam (natural laws). Dengan kata lain, Positivisme merupakan suatu aliran filsafat yang menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris.
Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk memperoleh pengetahuan (seperti yang diusung oleh kaum idealisme khususnya idealisme Jerman Klasik). Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan.
Filsafat positivisme lahir pada abad ke-19. Titik tolak pemikirannya, segala yang diketahui adalah yang faktual dan yang positif, sehingga metafisika ditolaknya. Positif adalah segala gejala dan segala yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman obyektif. Jadi, setelah fakta diperoleh, maka fakta-fakta tersebut kita atur untuk dapat memberikan asumsi (proyeksi ke masa depan). Beberapa tokoh diantaranya, August Comte (1798-1857), Jonh S. Mill (1806-1873), Herbert Spencer (1820-1903).[6]
Positivisme muncul pada abad ke-19 dimotori oleh sosiolog Auguste Comte, dengan buah karyanya yang terdiri dari enam jilid dengan judul The Course of Positive Philosophy (1830-1842). Ia lahir di Montpellier, Prancis. Sebuah karya penting, Cours de Philosofia Positif (kursus tentang filsafat positif), dan berjasa dalam mencipta ilmu sosiologi.
Positivisme memandang agama sebagai gejala peradaban manusia yang primitive. August Comte, tokoh positivisme, membagi sejarah umat manusia atas tiga tahap. Pertama, tahap teologis, yaitu manusia masih terpaku pada hakikat ‘batin’ segala sesuatu, sebab pertama, dan tujuan terakhir. Jadi seseorang masih percaya kepada Yang Mutlak. Tingkat teologi menerangkan segala-galanya dengan pengaruh dan sebab-sebab yang melebihi kodrat.[7] Kedua, tahap metafisika, yaitu perubahan bentuk saja dari zaman teologis. Kekeuatan-kekuatan adikridati yang berupa dewa diganti dengan kekuatan yang abstrak lewat proses generalisasi. Ketiga, tahap positif, yairtu ketika orang sadar bahwa tidak ada gunanya untuk berusaha mencapai pengenalan, baik teologis maupun metafisis. Zaman ini, seseorang tidak mau lagi melihat awal dan tujuan alam semesta, tetapi berusaha menemukan hokum-hukum kesamaan yang ada dibelakang fakta lewat pengamatan dan akanya. Tujuan tertinggi pada zaman ini akan tercapai, bila mana segala gejala telah dapat disusun dan diatur di dalam satu fakta yang umum saja.[8]
Comte berpendapat bahwa tiga tahap perkembangan umat manusia tidak saja berlaku bagi suatu bangsa atau suku, tetapi juga individu dan ilmu. Ketika masa kanak-kanak, seseorang menjadi teolog. Ketika remaja, dia menjadi meyafisikus, dan ketika dewasa dia menjadi positivis. Ilmu juga demikian. Pada awalnya ilmu dikuasai oleh teologis, sesudah itu di abstraksikan oleh metafisika, dan akhirnya baru dicerahkan oleh hokum-hukum positif.
Alat penelitian yang pertama menurut Comte adalah observasi, tindak  mengamati sekaligus menghubungkan  dengan  sesuatu  hukum  yang  hipothetik  diperbolehkan  oleh  Comte.  Itu merupakan  kreasi  simultan  observasi  dengan  hukum  dan  merupakan  lingkaran  yang  tak berujung.  Eksperimentasi menjadi metode yang kedua menurut Comte yaitu suatu proses reguler phenomena dapat diintervensi dengan sesuatu yang lain. Komparasi dipakai untuk halhal yang lebih kompleks seperti biologi dan sosiologi.
Comte-lah  yang  pertama  kali  menggunakan  istilah  sosiologi  untuk  menggantikan  istilah phisique  sociale  dari  Quetelet. Ia membedakan antara social statics dan social dynamic. Pembedaan itu hanyalah untuk tujuan analisis, keduanya menganalisa fakta sosial yang sama, hanya dengan tujuan yang berbeda. Yang pertama menelaah fungsi jenjang-jenjang peradaban, yang kedua menelaah perubahan-perubahan jenjang tersebut.[9]
Menurut Emile Durkheim (1982:59) objek studi sosiologi adalah fakta sosial (social-fact): Fakta sosial yang dimaksud meliputi: bahasa, sistem hukum, sistem politik, pendidikan, dan lain-lain. Sekalipun fakta sosial berasal dari luar kesadaran individu, tetapi dalam penelitian positivisme, informasi kebenaran itu ditanyakan oleh penelitian kepada individu yang dijadikan responden penelitian. Untuk mencapai kebenaran ini, maka seorang pencari kebenaran (penelitian) harus menanyakan langsung kepada objek yang diteliti, dan objek dapat memberikan jawaban langsung kepada penelitian yang bersangkutan. Hubungan epistemologi ini, harus menempatkan si peneliti di belakang layar untuk mengobservasi hakekat realitas apa adanya untuk menjaga objektifitas temuan. Karena itu secara metodologis, seorang penelitian menggunakan metodologi eksperimen-empirik untuk menjamin agar temuan yang diperoleh betul-betul objektif dalam menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Mereka mencari ketepatan yang tinggi, pengukuran yang akurat dan penelitian objektif, juga mereka menguji hipotesis dengan jalan melakukan analisis terhadap bilangan-bilangan yang berasal dari pengukuran.
Di bawah naungan payung positivisme, ditetapkan bahwa objek ilmu pengetahuan maupun pernyataan-pernyataan ilmu pengetahuan (Scientific Proporsition) haruslah memenuhi syarat-syarat (Kerlinger, 1973) sebagai berikut: dapat di/ter-amati (observable), dapat di/ter-ulang (repeatable), dapat di/ter-ukur (measurable), dapat di/ter-uji (testable), dan dapat di/ter-ramalkan (predictable).[10]
Tokoh semasa dengan Comte yang juga memberi landasan positivisme adalah Jeremy Bentham dan James Mill (1806-1873),[11] menurut keduanya ilmu yang valid adalah ilmu yang dilandaskan pada fakta. Ethik tradisional yang dilandaskan pada moral diganti dengan ethik pada motif perilaku pada kepatuhan manusia pada aturan. Mill menolak absolut dari agama. Mill berpendapat bahwa kebebasan manusia itu bagaikan a secrad fortress (benteng suci) yang aman dari penyusupan otoritas apapun, wawasan yang menjadi marak pada akhir abad 20-an ini.
Salah seorang pendukung positivism adalah Herbert Spencer. Spencer sependapat dengan Comte, terutama tentang eksistensi Tuhan. Menurutnya, keterangan mengenai dunia, baik yang bersifat keagamaan maupun yang bersifat metafisik menimbulkan pertentangan. Agama dan metafisik ingin memberikan penjelasan tentang asal mula sesuatu, padahal manusia tidak mampu mengetahui hal itu.
Pemikiran Herbert Spencer (1820-1903) berpusat pada teori evolusi ia telah mendahului Carles Darwin, ia memutuskan menulis karya tulis yang menetrpkan prinsip evolusi srta sistematis. Hasilnya karya yang berjudul A system of synthetic philosophy. Menurutnya kita hanya bisa mengenal gejala-gejala saja walaupun dibelakang gejala tersebut ada dasar yang absolut, tetapi absolut itu tidak dapat dikenal.
Seorang positivis, membatasi dunia pada hal-hal yang bias dilihat, yang bisa diukur, dan yang bias dibuktikan kebenarannya. Karena agama-maksudnya Tuhan tidak tidak bias dilihat, diukur, dan dibuktikan, maka agama tidak mempunyai arti dan faedah. Suatu pernyataan dianggap benar oleh positivisme apabila pernyataan itu sesuai dengan fakta.
Paradigma positivisme telah menjadi pegangan para ilmuwan untuk mengungkapkan kebenaran realitas. Kebenaran yang dianut positivisme dalam mencari kebenaran adalah teori korespondensi. Teori korespondensi menyebutkan bahwa suatu pernyataan adalah benar jika terdapat fakta-fakta empiris yang mendukung pernyataan tersebut. Atau dengan kata lain, suatu pernyataan dianggap benar apabila materi yang terkandung dalam pernyataan tersebut bersesuaian (korespodensi) dengan obyek faktual yang ditunjuk oleh pernyataan tersebut.[12]
Setelah positivisme ini berjasa dalam waktu yang cukup lama (± 400 tahun), kemudian berkembang sejumlah ‘aliran’ paradigma baru yang menjadi landasan pengembangan ilmu dalam berbagai bidang kehidupan.
2.     Postpositivisme
Post Positivisme lawan dari positivisme: cara berpikir yg subjektif Asumsi terhadap realitas: there are multiple realities (realitas jamak), Kebenaran subjektif dan tergantung pada konteks value, kultur, tradisi, kebiasaan, dan keyakinan. Natural dan lebih manusiawi.[13]
Munculnya gugatan terhadap positivisme di mulai tahun 1970-1980an. Pemikirannya dinamai “post-positivisme”.  Tokohnya; Karl R.  Popper, Thomas Kuhn, para filsuf mazhab Frankfurt (Feyerabend, Richard Rotry). Paham ini menentang positivisme, alasannya tidak mungkin menyamaratakan ilmu-ilmu tentang manusia dengan ilmu alam, karena tindakan manusia tidak bisa di prediksi dengan satu penjelasan yang mutlak pasti, sebab manusia selalu berubah.
Salah satu pendiri postpositivisme adalah Karl Popper. Karl Popper lahir di   ViennaAustria 28 Juli 1902 dan meninggal di LondonInggris17 September  1994 (umur 92 tahun). Popper merupakan salah satu dari sekian banyak filsuf ilmu dan pakar dalam bidang psikologi belajar. Popper dikenal dengan gagasan falsifikasi, sebagai lawan dari verifikasi terhadap ilmu. Falsifikasi adalah gagasan melihat suatu teori dari sudut pandang kesalahan. Dengan menganggap teori itu salah, dan dengan segala upaya dibuktikan kesalahan tersebut hingga mutlak salah, dibuatlah teori baru yang menggantikannya.
Post-positivisme merupakan perbaikan positivisme yang dianggap memiliki kelemahan-kelemahan, dan dianggap hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Secara ontologis aliran post-positivisme bersifat critical realism dan menganggap bahwa realitas memang ada dan sesuai dengan kenyataan dan hukum alam tapi mustahil realitas tersebut dapat dilihat secara benar oleh peneliti. Secara epistomologis: Modified dualist/objectivist, hubungan peneliti dengan realitas yang diteliti tidak bisa dipisahkan tapi harus interaktif dengan subjektivitas seminimal mungkin. Secara metodologis adalah modified experimental/ manipulatif.[14]
Observasi yang didewakan positivisme dipertanyakan netralitasnya, karena observasi dianggap bisa saja dipengaruhi oleh persepsi masing-masing orang. Proses dari positivisme ke post-positivisme melalui kritikan dari tiga hal yaitu:
a.    Observasi sebagai unsur utama metode penelitian,
b.    Hubungan yang kaku antara teori dan bukti. Pengamat memiliki sudut pandang yang berbeda dan teori harus mengalah pada perbedaan waktu,
c.    Tradisi keilmuan yang terus berkembang dan dinamis (Salim, 2001).
Post positivisme merupakan sebuah aliran yang datang setelah positivisme dan memang amat dekat dengan paradigma positivisme. Salah satu indikator yang membedakan antara keduanya bahwa post positivisme lebih mempercayai proses verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi melalui berbagai macam metode. Dengan demikian suatu ilmu memang betul mencapai objektivitas apabila telah diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai cara.[15]
Asumsi Dasar Post Positivisme:
a.    Fakta tidak bebas nilai, melainkan bermuatan teori.
b.    Falibilitas Teori, tidak satupun teori yang dapat sepenuhnya dijelaskan dengan bukti-bukti empiris, bukti empiris memiliki kemungkinan untuk menunjukkan fakta anomali.
c.    Fakta tidak bebas melainkan penuh dengan nilai.
d.   Interaksi antara subjek dan objek penelitian. Hasil penelitian bukanlah  reportase  objektif melainkan  hasil  interaksi  manusia  dan  semesta  yang  penuh  dengan  persoalan  dan  senantiasa berubah.
e.    Asumsi dasar post-positivisme tentang realitas adalah jamak individual.
f.     Hal itu berarti bahwa realitas (perilaku manusia) tidak tunggal melainkan hanya bisa menjelaskan dirinya sendiri menurut unit tindakan yang bersangkutan.
g.    Fokus kajian post-positivis adalah tindakan-tindakan (actions) manusia sebagai ekspresi dari sebuah keputusan.
Dalam bukunya John W. Creswell “Research Desigh Qualitative, Quantitatif, and Mixed Methods Approaches Second edition” bahwa seseorang dapat mencapai asumsi utama dari posisi ini, seperti berikut ini:
1.    That knowledge is conjectural (and anti-foundational)- absolute truth can never be found. Thus, evidence established in research is always imperfect and fallible. It is for this reason that researchers do not prove hypotheses and instead indicate a failure to reject.
2.    Research is the prosess of making claims and them refining or abandoning some of them for other claims more stroungly warranted. Most quantitative research, for example starts whith the test of a theory.
3.    Data, evidence, and rational considerations shape knowledge. In practice, the researcher collects information on instruments based on measures completed by the participants or by observations recorded by the researcher.
4.    Research seeks to develop relevant true statements, ones that can serve to explain the situation that is of concern or that describes the causal relationships of interest. In quantitative studies, researchers advance the relationship among variables and pose this in terms of questions or hypotheses.
5.    Being objective is an essential aspect of competent inquiry, and for this reason researchers must examine methods and conclusions for bias. For example, standards of validity and reability and important in quantitative research.[16]
Paradigma ini merupakan aliran yang ingin memperbaiki kelemahan-kelemahan positivisme, yang hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti.
Secara ontologis aliran ini bersifat critical realism yang memandang bahwa realitas memang ada dalam kenyataan sesuai dengan hukum alam, tetapi satu hal yang mustahil bila suatu realitas dapat dilihat secara benar oleh manusia (peneliti). Oleh karena itu, secara metodologis pendekatan eksperimental melalui observasi tidaklah cukup, tetapi harus menggunakan metode triangulation yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, peneliti dan teori.
Secara epistemologis, hubungan antara pengamat atau peneliti dengan objek atau realitas yang diteliti tidaklah bisa dipisahkan, seperti yang diusulkan oleh aliran positivisme. Aliran ini menyatakan suatu hal yang tidak mungkin mencapai atau melihat kebenaran apabila pengamat berdiri di belakang layar tanpa ikut terlibat dengan objek secara langsung.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang postpositivisme empat pertanyaan dasar berikut, akan memberikan gambaran tentang posisi aliran ini dalam kancah paradigma ilmu pengetahuan.
Pertama, Bagaimana sebenarnya posisi postpositivisme di antara paradigma-paradigma ilmu yang lain? Apakah ini merupakan bentuk lain dari positivisme yang posisinya lebih lemah? Atau karena aliran ini datang setelah positivisme sehingga dinamakan postpositivisme? Harus diakui bahwa aliran ini bukan suatu filsafat baru dalam bidang keilmuan, tetapi memang amat dekat dengan paradigma positivisme. Salah satu indikator yang membedakan antara keduanya bahwa postpositivisme lebih mempercayai proses verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi melalui berbagai macam metode. Dengan demikian suatu ilmu memang betul mencapai objektifitas apabila telah diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai cara.[17]
Kedua, Bukankah postpositivisme bergantung pada paradigma realisme yang sudah sangat tua dan usang? Dugaan ini tidak seluruhnya benar. Pandangan awal aliran positivisme (old-positivism) adalah anti realis, yang menolak adanya realitas dari suatu teori. Realisme modern bukanlah kelanjutan atau luncuran dari aliran positivisme, tetapi merupakan perkembangan akhir dari pandangan postpositivisme.[18]
Ketiga, banyak postpositivisme yang berpengaruh yang merupakan penganut realisme. Bukankah ini menunjukkan bahwa mereka tidak mengakui adanya sebuah kenyataan (multiple realities) dan setiap masyarakat membentuk realitas mereka sendiri? Pandangan ini tidak benar karena relativisme tidak sesuai dengan pengalaman sehari-hari dalam dunia ilmu. Yang pastipostpositivisme mengakui bahwa paradigma hanyalah berfungsi sebagai lensa bukan sebagai kacamata. Selanjutnya, relativisme mengungkap bahwa semua pandangan itu benar, sedangkan realis hanya berkepentingan terhadap pandangan yang dianggap terbaik dan benar. Postpositivisme menolak pandangan bahwa masyarakat dapat menentukan banyak hal sebagai hal yang nyata dan benar tentang suatu objek oleh anggotanya.
Keempat, karena pandangan bahwa persepsi orang berbeda, maka tidak ada sesuatu yang benar-benar pasti. Bukankah postpositivisme menolak kriteria objektivitas? Pandangan ini sama sekali tidak bisa diterima. Objektivitas merupakan indikator kebenaran yang melandasi semua penyelidikan. Jika kita menolak prinsip ini, maka tidak ada yang namanya penyelidikan. Yang ingin ditekankan di sini bahwa objektivitas tidak menjamin untuk mencapai kebenaran.[19]
3.    Perbedaan Paradigma Positivisme dan Postpositivisme
Untuk dapat membedakan paradigma  Positivistik  dan  paradigm postpositivitik  maka  penulis merumuskan dalam bentuk tabel berikut:
ASUMSI
POSITIVISTIK
POST POSITIVISTIK
Ontology
Bersifat nyata, artinya realita itu mempunyai keberadaan sendiri dan diatur oleh hukum-hukum alam dan mekanisme yang bersifat tetap.
Realis kritis-artinya realitas itu memang ada, tetapi tidak akan pernah dapat dipahami sepenuhnya.
Epistemologi
·    Dualis/objektif, adalah mungkin dan esensial bagi  peneliti untuk mengambil jarak dan bersikap tidak melakukan  interaksi  dengan  objek yang diteliti.
·      Nilai, faktor bias dan faktor yang mempengaruhi lainnya  secara otomatis tidak mempengaruhi hasil studi.
- Objektivis  modifikasi  -  artinya
objektivitas  tetap  merupakan
pengaturan  (regulator)  yang  ideal, namun  objektivitas  hanya  dapat diperkirakan  dengan  penekanan khusus  pada  penjaga  eksternal, seperti tradisi dan komunitas yang kritis.”
Metodologi
bersifat  eksperimental / manipulatif : pertanyaan-pertanyaan  dan/atau hipotesis-hipotesis dinyatakan dalam bentuk proposisi sebelum penelitian dilakukan  dan  diuji  secara  empiris (falsifikasi)  dengan  kondisi  yang terkontrol secara cermat
Eksperimental / manipulatif  yang dimodifikasi, maksudnya menekankan sifat  ganda yang kritis.
Memperbaiki ketidakseimbangan dengan melakukan penelitian dalam latar yang alamiah, yang lebih banyak menggunakan metode-metode kualitatif, lebih tergantung pada teori-grounded (grounded - theory) dan memperlihatkan upaya (reintroducing) penemuan dalam proses penelitian.”

C.  ANALISIS
1.    Positivisme
Kita ketahui paradigma penelitian merupakan salah satu bagian yang tidak bisa dilepaskan dari proses penelitian. Paradigma penelitian merupakan kerangka berpikir yang menjelaskan bagaimana cara pandang peneliti terhadap fakta kehidupan sosial dan perlakuan peneliti terhadap ilmu atau teori. 
Dalam proses keilmuan, paradigm keilmuan memegang peranan penting. Fungsi paradigm ilmu adalah memberikan kerangka, mengarahkan, bahkan menguji konsistensi dari proses keilmuan.
Secara umum, paradigma diartikan sebagai seperangkat kepercayaan atau keyakinan dasar yang menentukan seseorang dalam bertindak pada kehidupan sehari-hari. Paradigma menggariskan apa yang harus dipelajari, pernyataan-pernyataan apa yang seharusnya dikemukakan dan kaidah-kaidah apa yang seharusnya diikuti dalam menafsirkan jawaban yang diperolehnya.
Harus diakui bahwa aliran ini merupakan filsafat baru dalam bidang keilmuan, tetapi memang sangat dekat dengan paradigma positivisme. Salah satu indikator yang membedakan antara keduanya bahwa positivisme lebih mempercayai proses verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi melalui berbagai macam metode.
Pandangan aliran posotivisme bukan suatu realitas yang menolak adany realitas dari suatu teori, realisme modern bukanlah kelanjutan atau luncuran dari aliran positivisme, tetapi merupakan perkembangan akhir dari pandangan pospositisme.
Banyak pospositisme yang berpengaruh yang merupakan  penganut realisme, dan  ini menunjukkan bahwa mereka tidak mengakui adanya sebuah kenyataan. Realisme mengungkap bahwa semua pandangan itu benar sedangkan realis hanya berkepentingan terhadap pandangan yang dianggap terbaik dan benar. Pospositivisme menolak pandangan bahwa masyarakat dapat menentukan banyak hal sebagai hal yang nyata dan benar tentang suatu obyek oleh anggotanya.
Karena pandangan bahwa persepsi orang berbeda, maka tidak ada sesuatu yang benar-benar pasti. Pandangan ini tidak bisa diterima karena aktivitas merupakan indikator kebenaran yang melandasi penyelidikan yang ingin ditekankan bahwa obyektivitas tidak menjamin untuk mencapai kebenaran.
2.    Post Positivisme
Banyak postpositisme yang berpengaruh yang merupakan  penganut realisme, dan  ini menunjukkan bahwa mereka tidak mengakui adanya sebuah kenyataan. Realisme mengungkap bahwa semua pandangan itu benar sedangkan realis hanya berkepentingan terhadap pandangan yang dianggap terbaik dan benar. Post-positivisme merupakan perbaikan positivisme. Secara ontologis  aliran postpositivisme bersifat critical realism artinya realitas itu memang ada, tetapi tidak akan pernah dapat dipahami sepenuhnya artinya post positivisme  bergantung  pada  konteks  value,  kultur,  tradisi, kebiasaan, keyakinan, natural dan lebih manusiawi. Indikator yang membedakan antara Paradigma positivisme dan postpositivism adalah post positivisme lebih mempercayai proses verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi melalui berbagai macam metode.
3.    Perbedaan Paradigma Positivisme dan Postpositivisme
Menekankan analisis parsial dan dekontekstualisasikan  (decontextualization) VS Menekankan analisis menyeluruh dan kontekstualisasi (contextualization)  Menekankan pemisahan VS Menekankan integrasi  Menekankan generalisasi VS Menekankan spesifikasi  Pertimbangan hanya pada objektivitas dan kuantifikasi VS Pertimbangan juga pada subjektifitas dan non-kuantifikasi  Ketergantungan pada keahlian dan pengetahuan orang lain, peneliti sebagai orang luar VS Pertimbangan juga diambil dari partisipan dan pengetahuan lokal; peneliti sebagai orang dalam.  Memberikan fokus perhatian pada controlling VS Memberi fokus pada understanding.
D.  PENUTUP
Kesimpulan
  1. Positivisme merupakan aliran pemikiran yang membatasi pikiran pada segala hal yang dapat dibuktikan  dengan  pengamatan  atau  pada  analisis  definisi  dan  relasi  antara  istilah-istilah.  Positifisme sekarang merupakan istilah umum untuk posisi filosofis yang menekanakan aspek faktual pengetahuan, khususnya pengetahuan ilmiah dan umumnya positivisme berupaya menjabarkan pernyataan-pernyataan faktual pada suatu landasan pencerapan (sensasi). Atau dengan kata lain, positivime merupakan suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu-ilmu alam (empiris) sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak nilai kognitif dari studi filosofi satau metafisik.
  2. Post Positivisme lawan dari positivisme: cara berpikir yang subjektif Asumsi terhadap realitas. Munculnya gugatan terhadap positivisme di mulai tahun 1970-1980an. Salah satu pendiri pospositivisme adalah Karl Popper. Paham ini menentang positivisme, alasannya tidak mungkin menyamaratakan ilmu-ilmu tentang manusia dengan ilmu alam.
  3. Untuk dapat membedakan paradigma  Positivistik  dan  paradigm postpositivitik  di lihat dari segi asumsi ontology, asumsi epistemology dan asumsi aksiologi.

DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar, Amsal. 2009. Filsafat Agama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Berling, Kwee, Mooij Van Peursen. 2003. Pengantar Filsafat lmu. Yogyakarta: PT Tiara Wacana. Cet ke-V.
John W. Creswell. 2003. Research Desigh. Amerika: Sage Plubication.
Muhadjir, Noeng Prof. 2001. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Rake Sarasin.
Muslih, Mohammad. 2006. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Belukar.
Poedjawijatna. 1997. Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Wiramihardja, Sutardjo A. 2009. Pengantar Filsafat. Bandung. PT. Refika Aditama.
Tim Dosen Filsafat Ilmu. 2003. Filsafat Ilmu: Liberty Yogyakarta.
             Paradigm positivism dan postposivisme. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Tangerang.
“Prespektif Positivisme Postpositivisme”, artikel diakses pada 17 April 2014 http://catatan-anakfikom.blogspot.com/2014/17/
Filsafat Modern ((Positivisme Dan Evolusionisme)), (online), http://maktabah stid.blogspot.com/20014/18/filsafat-modern-positivisme-dan.html diakses pada tanggal 18 September 2014


[1]. Berling, Kwee, Mooij Van Peursen, Pengantar filsafat lmu. PT Tiara Wacana: Yogyakarta. Cet ke-V, 2003. Hlm 1.
[2]. Tim Dosen Filsafat Ilmu, Filsafat Ilmu: Liberty Yogyakarta. 2003. Hlm.6
[3]. Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, M.A. Filsafat Agama. 2009. Rajawali Pers: Jakarta. Hlm. 114
[4]. Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu. 2006. Yogyakarta: Belukar. hlm.76-77
[5]. Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu. 2006. Yogyakarta: Belukar. hlm.76.
[6]. Filsafat Modern ((Positivisme Dan Evolusionisme)), (online), http://maktabah stid.blogspot.com/20014/18/filsafat-modern-positivisme-dan.html diakses pada tanggal 18 November 2014
[7]. Prof. I.R. Poedjaeijatna. Pembimbing ke Arah alam dan filsafat. 1997. PT. Rineka Cipta: Jakarta. Hlm. 121.
[8]. Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, M.A. Filsafat Agama. 2009. Rajawali Pers: Jakarta. hlm. 115.
[9]. Paradigm positivism dan postposivisme. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Tangerang. hlm.7.
[10]. Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu. 2006. Yogyakarta: Belukar. hlm. 78-79
[11]. Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, M.A. Filsafat Agama. 2009. Rajawali Pers: Jakarta. hlm 121.
[12]. “Prespektif Positivisme Postpositivisme”, artikel diakses pada 17 Oktober 2014 http://catatan-anakfikom.blogspot.com/2014/17/
[13]. Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu. 2006. Yogyakarta: Belukar. hlm.79
[14]. Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu. 2006. Yogyakarta: Belukar. hlm.80
[15]. Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu. 2006. Yogyakarta: Belukar. hlm.80
[16]. John W. Creswell. Research Desigh. 2003. Sage Plubication: Amerika. Hlm. 7-8.
[17]. Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu. 2006. Yogyakarta: Belukar. hlm.80
[18]. Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu. 2006. Yogyakarta: Belukar. hlm.80
[19]. Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu. 2006. Yogyakarta: Belukar. hlm.81.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar