BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Menurut
UU Sisdiknas Nomor 20/2003 definisi kurikulum diartikan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu. Dengan demikian, ada tiga komponen yang termuat dalam kurikulum, yaitu
tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara pembelajaran, baik yang berupa
strategi pembelajaran maupun evaluasinya. Dan salah satu komponen yang sering
dijadikan faktor penyebab menurunnya mutu pendidikan adalah kurikulum. Kritikan
cukup tajam terhadap kurikulum antara lain; kurikulum terlalu padat, tidak sesuai dengan kebutuhan anak, terlalu
memberatkan anak, merepotkan guru dan sebaginya.
Oleh
karena itu akan banyak dilakukan inovasi dalam pengembangan kurikulum
pendidikan agama islam. Pengembangan kurikulum (curriculum development)
merupakan komponen yang sangat esensial dalam keseluruhan kegiatan pendidikan.
Para ahli memandang bahwa pengembangan kurikulum merupakan suatu siklus dari
adanya keterjalinan, hubungan antara komponen kurikulum, yaitu antara komponen
tujuan, bahan, kegiatan dan evaluasi. Keempat komponen yang merupakan suatu
siklus tersebut tidaklah berdiri sendiri, tetapi saling mempengaruhi satu sama
lain. Oleh karena itu dari latar belakang di
atas pemakalah akan berusaha membahas
tentang faktor-faktor dan komponen-komponen yang perlu dipertimbangkan dalam
pengembangan kurikulum pendidikan islam.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja Faktor-faktor yang perlu
dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum pendidikan islam?
2. Apa saja komponen-komponen yang perlu
dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum pendidikan islam?
C. Tujuan Pembahasan
Berdasarkan
rumusan masalah di atas, maka tujuan pembahasan dari makalah ini yaitu:
1.
Agar
mahasiswa dapat mengetahui serta memahami apa saja Faktor-faktor yang perlu
dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum pendidikan islam?
2.
Agar
mahasiswa dapat mengetahui serta memahami apa saja komponen-komponen yang perlu
dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum pendidikan islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Faktor-Faktor
Yang Perlu Dipertimbangkan Dalam Pengembangan Kurikulum Pedidikan Islam
Pengembangan kurikulum adalah istilah yang
komprehensif, didalamnya mencakup: perencanaan, penerapan dan evaluasi.
Kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengam
memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan kesesuaiannya dengan
lingkungan. Sesuai dengan jenjang dan jenis masing-masing satuan pendidikan.
Perlu ditambahkan bahwa pendidikan nasional juga berakar pada kebudayaan
nasional, dan pendidikan nasional berdasarkan pancasila dan Undang -Undang
Dasar 1945. Berdasarkan ketentuan dan konsep tersebut, pengembangan kurikulum
agar berlandaskan faktor-faktor sebagai berikut:
1. Tujuan filsafat dan pendidikan nasional yang dijadikan
sebagai dasar untuk merumuskan tujuan institusional yang pada gilirannya
menjadi landasan dlama merumuskan tujuan kurikulum suatu satuan pendidikan.
2.
Sosial budaya dan agama yang berlaku dalam
masyarakat kita.
3.
Perkembangan peserta
didik, yang menunjukkan pada karakteristik perkembangan peserta didik.
4.
Keadaan lingkungan,
yang dalam arti luas meliputi lingkungan manusiawi (interpersonal), lingkungan
kebudayaan termasuk iptek (kultural), lingkungan hidup (bioekologi) serta
lingkungan alam (geo ekologis).
5.
Kebutuhan pembangunan,
yang mencakup kebutuhan pembangunan dibudang ekonomi, kesejahteraan rakyat,
hukum, hankam, dan sebagainya.
6.
Perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang sesuai dengan sistem nilai dan kemanusiawian serta budaya bangsa.[1]
Menurut Prof. Dr. Nana
Syaodih Sukmadinata, dalam bukunya yang berjudul Pengembangan Kurikulum teori
dan praktek menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan
kurikulum antara lain yaitu:[2]
1. Perguruan Tinggi
Kurikulum minimal
mendapat dua pengaruh dari Perguruan Tinggi. Pertama, dari pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan di perguruan tinggi umum. Kedua,
dari pengembangan ilmu pendidikan dan keguruan serta penyiapan guru-guru
diperguruan tinggi keguruan (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan).
Pengetahuan dan teknologi banyak memberikan sumbangan bagi isi kurikulum serta
proses pembelajaran. Jenis pengetahuan yang dikembangkan di Perguruan Tinggi
akan mempengaruhi isi pelajaran yang akan dikembangkan dalam kurikulum.
Perkembangan teknologi selain menjadi isi kurikulum juga mendukung pengembangan
alat bantu dan media pendidikan. Kurikulum Lembaga Pendidikan Tenaga
Kependidikan (IKIP, FKIP, STKIP) juga mempengaruhi pengembangan kurikulum,
terutama melalui penguasaan ilmu dan kemampuan keguruan dari guru-guru yang
dihasilkannya. Penguasaan ilmu, baik ilmu pendidikan maupun bidang studi serta
kemampuan mengajar dari guru-guru akan sangat mempengaruhi pengembnganan dan
implementasi kurikulum disekolah.
2. Masyarakat
Sekolah merupakan bagian
dari masyarakat dan mempersiapkan anak untuk kehidupan di masyarakat. Sebagai
bagian dan agen dari masyarakat, sekolah sangat dipengaruhi oleh lingkungan
masyarakat dimana sekolah tersebut berada. Isi kurikulum hendaknya mencerminkan
kondisi dan dapat memenuhi tuntutan dan kebutuhan masyarakat disekitarnya.
Masyarakat yang ada di sekitar sekolah mungkin masyarakat homogen ata
heterogen, masyarakat kota atau desa, petani, pedagang, atau pegawai dan
sebagainya. Sekolah harus melayani aspirasi-aspirasi yang ada di masyarakat.
Salah satu kekuatan yang ada dalam masyarakat adalah dunia usaha. Perkembangan
dunia usaha yang ada di masyarakat mempengaruhi pengembangan kurikulum sebab
sekolah bukan hanya mempersiapkan anak untuk hidup, tetapi juga untuk bekerja dan
berusaha. Jenis pekerjaan dan perusahaan yang ada di masyarakat menuntut
persiapannya di sekolah.
3. Sistem Nilai
Dalam kehidupan
masyarakat terdapat sistem nilai, baik nilai moral, keagamaa, sosial budaya
maupun nilai politis. Sekolah sebagai lembaga masyarakat juga bertanggung jawab
dalam pemeliharaan dan penerusan nilai-nilai. Sistem nilai yang akan di
pelihara dan di teruskan tersebut harus terintegrasikan dalam kurikulum.
Masalah utama yang
dihadapi para pengembangan kurikulum menghadapi nilai ini adalah, bahwa dalam
masyarakat nilai itu tidak hanya satu. Masyarakat umumnya heterogen dan
mulfifaset. Masyarakat memiliki kelompok-kelompok etnis, kelompok vokasional,
kelompok intelek, kelompok sosial, spiritual dan sebagainya yang tiap kelompom
sering memiliki nilai yang berbeda. Dalam masyarakat juga terdapat aspek-aspek
sosial, ekonomi, politik, fisik, estetika, etika, religius, dan sebagainya.
Aspek-aspek tersebut serig juga mengandung nilai-nilai yang berbeda.
Oleh karena itu, ada beberapa hal yang
perlu di perhatikan guru dalam mengajarkan nilai, di antaranya:
1. Guru hendaknya mengetahui dan memperhatikan semua
nilai yang ada dalam masyarakat.
2. Guru hendaknya berpegang pada prinsip demokrasi, etis,
dan moral.
3. Guru berusaha menjadikan dirinya sebagai teladan yang
patut di tiru.
4. Guru menghargai nilai- nilai kelompok nilai dan memahami
dan menerima keragaman kebudayaan sendiri.
Berdasarkan analisis dan sumber yang dii
dapatkan, bukan hanya 3 (tiga) yang
dikemukan oleh Sukmadinata (2006), yang merupakan faktor-faktor yang
perlu di pertimbangkan dalam pengembangan kurikulum, tetapi masih ada faktor
lain, salah satunya landasan pengembangan kurikulum itu sendiri. Dan
faktor-faktor itu diantaranya: Filosofis, Psikologis, Sosial budaya,
Politik, Pembangunan negara dan perkembangan dunia, Ilmu dan teknologi
(IPTEK).
1. Filosofis
Filsafat
memegang peranan penting dalam pengembangan kuikulum. Sama halnya seperti dalam
Filsafat Pendidikan, kita dikenalkan pada berbagai aliran filsafat, seperti:
perenialisme, essensialisme, eksistesialisme, progresivisme, dan
rekonstruktivisme. Dalam pengembangan kurikulum pun senantiasa berpijak pada
aliran-aliran filsafat tertentu, sehingga akan mewarnai terhadap konsep dan
implementasi kurikulum yang dikembangkan. Dengan merujuk kepada pemikiran Ella
Yulaelawati (dalam Sudrajat, 2008), di bawah ini diuraikan tentang isi dari
masing-masing aliran filsafat, kaitannya dengan pengembangan kurikulum.
a.
Perenialisme, lebih menekankan pada keabadian, keidealan,
kebenaran dan keindahan dari pada warisan budaya dan dampak sosial
tertentu. Pengetahuan dianggap lebih penting dan kurang memperhatikan kegiatan
sehari-hari.
b.
Essensialisme, menekankan
pentingnya pewarisan budaya dan pemberian pengetahuan dan keterampilan pada
peserta didik agar dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna.
c.
Eksistensialisme,
menekankan pada individu sebagai sumber pengetahuan tentang hidup dan makna.
Untuk memahami kehidupan seseorang mesti memahami dirinya sendiri.
d.
Progresivisme,
menekankan pada pentingnya melayani perbedaan individual, berpusat pada peserta
didik, variasi pengalaman belajar dan proses. Progresivisme merupakan landasan
bagi pengembangan belajar peserta didik aktif.
e.
Rekonstruktivisme,
merupakan elaborasi lanjut dari aliran progresivisme. Pada rekonstruktivisme,
peradaban manusia masa depan sangat ditekankan.
2.
Psikologis
Sukmadinata (2006:
46) mengemukakan bahwa minimal terdapat dua bidang
psikologi yang mendasari pengembangan kurikulum yaitu (1) psikologi
perkembangan dan (2) psikologi belajar. Psikologi perkembangan merupakan ilmu
yang mempelajari tentang perilaku individu berkenaan dengan perkembangannya.[3]
Teori
belajar dijadikan dasar bagi proses belajar mengajar. Dengan demikian, ada
hubungan yang erat antara kurikulum dan psikologi belajar juga psikologi anak.
Karena hubungan yang sangat erat itu maka psikologi menjadi salah satu dasar
kurikulum.
3.
Sosial-Budaya
Kurikulum
dapat dipandang sebagai suatu rancangan pendidikan. Sebagai suatu rancangan,
kurikulum menentukan pelaksanaan dan hasil pendidikan. Kita maklumi bahwa
pendidikan merupakan usaha mempersiapkan peserta didik untuk terjun ke
lingkungan masyarakat. Pendidikan bukan hanya untuk pendidikan semata, namun
memberikan bekal pengetahuan, keterampilan serta nilai-nilai untuk hidup, bekerja
dan mencapai perkembangan lebih lanjut di masyarakat.
Setiap
lingkungan masyarakat masing-masing memiliki sistem-sosial budaya tersendiri
yang mengatur pola kehidupan dan pola hubungan antar anggota masyarakat. Salah
satu aspek penting dalam sistem sosial budaya adalah tatanan nilai-nilai yang
mengatur cara berkehidupan dan berperilaku para warga masyarakat. Nilai-nilai
tersebut dapat bersumber dari agama, budaya, politik atau segi-segi kehidupan
lainnya.
Sejalan
dengan perkembangan masyarakat maka nilai-nilai yang ada dalam masyarakat juga
turut berkembang sehingga menuntut setiap warga masyarakat untuk melakukan
perubahan dan penyesuaian terhadap tuntutan perkembangan yang terjadi di
sekitar masyarakat.
4.
Politik
Wiles Bondi (dalam
Sudrajat, 2008) dalam bukunya `Curriculum Development: A Guide to Practice’ turut
menjelaskan pengaruh politik dalam pembentukan dan pengembangan kurikulum. Hal
ini jelas menunjukkkan bahwa pengembangan kurikulum dipengaruhi oleh proses
politik, kerana setiap kali tampuk pimpinan sesebuah negara itu bertukar, maka
setiap kali itulah kurikulum pendidikan berubah.
5.
Pembangunan Negara
dan Perkembangan Dunia
Pengembangan
kurikulum juga dipengaruhi oleh faktor pembangunan negara dan perkembangan
dunia. Negara yang ingin maju dan membangun tidak seharusnya mempunyai
kurikulum yang statis. Oleh karena itu kurikulum harus diubah sesuai dengan
perkembangan zaman dan kemajuan sains dan teknologi. Kenyataan tersebut jelas
menunjukkan bahwa perkembangan teknologi telah membawa perubahan yang pesat
pada kehidupan manusia di muka bumi ini. Oleh karena itu pengembangan kurikulum
haruslah sejajar dengan pembangunan negara dan dunia. Kandungan kurikulum
pendidikan perlu menitikberatkan pada mata pelajaran sains dan kemahiran teknik
atau vokasional kerana tenaga kerja yang mahir diperlukan dalam zaman yang
berteknologi dan canggih ini.
6.
Ilmu pengetahuan dan
Teknologi (IPTEK)
Pada
awalnya, ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki manusia masih relatif
sederhana, namun sejak abad pertengahan mengalami perkembangan yang pesat.
Berbagai penemuan teori-teori baru terus berlangsung hingga saat ini dan
dipastikan kedepannya akan terus semakin berkembang. Perkembangan dalam bidang
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, terutama dalam bidang transportasi dan komunikasi
telah mampu merubah tatanan kehidupan manusia. Oleh karena itu, kurikulum
seyogyanya dapat mengakomodir dan mengantisipasi laju perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, sehingga peserta didik dapat mengimbangi dan
sekaligus mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kemaslahatan dan
kelangsungan hidup manusia.
B. Komponen-Komponen
Yang Perlu Dipertimbangkan Dalam Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam
Menurut
al-Syaibani kurikulum adalah termasuk aspek utama dalam proses pendidikan yang
mendapat kecaman keras dan ditunjukkan cacat cela dan aspek-aspek
kekurangannya, dan ingin dikembangkan, diperhatikan, diperbaiki dan diubah
konsepnya (Al-Syaibani, 1997: 481). Oleh karena itu dalam pengembangan
kurikulum pendidikan islam harus mempertimbangkan komponen-komponen kurikulum,
yang di antaranya komponen tersebut:[4]
Tujuan pada
dasarnya adalah sesuatu yang ingin dituju (Webster, 1980:39). Tujuan merupakan
titik terminal tempat mengarahnya segala gerak, kerja atau perjalanan. Tujuan
akan memberikan pegangan tentang apa yang harus dilakukan, bagaimana cara
melakukan, di samping merupakan patokan untuk mengetahui hingga sejauh mana tujuan
itu telah dicapai.
Tujuan
kurikulum pada hakekatnya adalah tujuan setiap program pendidikan yang akan
diberikan kepada anak didik. Mengingat kurikulum adalah alat untuk mencapai
tujuan pendidikan, maka tujuan kurikulum harus dijabarkan dari tujuan umum
pendidikan. Berdasarkan hakekat tujuan tersebut, diturunkan atau dijabarkan
sejumlah tujuan kurikulum mulai dari tujuan kelembagaan pendidikan, tujuan
setiap mata pelajaran atau bidang studi sampai kepada tujuan-tujuan
pembelajaran.
Rumusan tujuan
kurikulum harus terlebih dahulu ditetapkan sebelum menyusun isi kurikulum,
metode, dan evaluasi kurikulum. Hal ini dilakukan mengingat (a) tujuan
berfungsi menentukan arah dan corak kegiatan pendidikan (b) tujuan akan menjadi
indikator dari keberhasilan pelaksanaan pendidikan (c) tujuan menjadi pegangan
dalam setiap usaha dan tindakan dari para pelaksana pendidikan.
Dalam merumuskan
tujuan, ada beberapa prinsip dasar yang harus diperhatikan yaitu:[5]
1.
Rumusan tujuan
hendaknya menggambarkan jenis tingkah laku yang diharapkan.
2.
Tujuan-tujuan
yang kompleks harus diuraikan secara analitis dan spesifik sehingga tidak ada
keraguan mengenai jenis tingkah laku yang diharapkan.
3.
Tujuan-tujuan
seharusnya juga diformulasikan sehingga ada perbedaan yang jelas dalam
pengalaman belajar yang dibutuhkan untuk mencapai tingkah laku yang berbeda.
4.
Tujuan-tujuan
itu berkembang menggambar-kan arah yang hendak dicapai.
5.
Tujuan-tujuan
hendaknya bersifat realistis dan meliputi apa yang dapat diterjemahkan ke dalam
kurikulum dan pengalaman kelas.
6.
Sikap tujuan
seharusnya luas yang mencakup seluruh aspek keberhasilan yang menjadi tanggung
jawab sekolah
Berkaitan
dengan tujuan pendidikan dalam kurikulum pendidikan Islam, menjelaskan bahwa
pendidikan seharusnya mengaktualisasikan potensi-potensi yang dimiliki manusia
baik spiritual, intelektual, rasional, perasaan maupun panca indera. Oleh
karena itu pendidikan yang bermutu merupakan wahana untuk membangun SDM yang
bermuara iptek dan imtak, yakni SDM yang mampu menerapkan, mengembangkan dan
menguasai iptek dengan tetap diloandasi nilai agama, moral dan budaya luhur
bangsa (Mansur, 2001: 1). Hal ini sebagaimana direkomendasikan oleh First
and Second World Conference on Muslim Education yang diadakan di
Mekkah (1977) dan Islamabad (1980) sebagai berikut:
Education should aim at the balanced growth of the total
personality of man through the training of mans spirit, intellect, rational
self, feelings and bodily senses. Education should therefore caterfor the
growth ofman in all its aspects, spiritual, intellectual, imaginative,
physical, scientific, linguistic, both individually or collectively and
motivate all these aspects toward goodness and attainment of perfection. The
ultimate aim of Muslim education lies in the realization of complete submission
to Allah on the level of individual, the community and humanity at large (Langgulung,
1982: 8).
Tujuan pendidikan di atas, dapatlah diterjemahkan secara
operasional ke dalam silabus dan mata pelajaran yang diajarkan di berbagai
tingkat pendidikan.Jika diperhatikan rumusan reko- mendasi tujuan pendidikan
tersebut, tujuan kurikulum pendidikan Islam meliputi dan mencakup seluruh
aspek kehidupan manusia (anak didik). Apabila konsep Benjamin S. Bloom; yaitu
pendidikan itu meliputi tiga ranah (domain)-, pengeta- huan {cognitive
domain), sikap (affective domain) keterampilan (psychomotoric
domain), maka rumusan tujuan akhir pendidikan Islam tesebut
telah mencakup ketiga-tiganya.[6]
Pada hakikatnya tujuan pendidikan Islam dapat dibedakan menjadi dua
jenis, yaitu pertama, tujuan keagamaan (al-ghard
al-din). Tujuan ini difokuskan pada pembentukan pribadi Muslim
yang sanggup melaksanakan syari'at Islam melalui proses pendidikan spiritual
menuju makrifat kepada Allah swt. Kedua, tujuan
keduniaan (al-ghard al-dunyawy). Tujuan ini lebih mengutamakan
kepada upaya untuk mewujudkan kehidupan sejahtera di dunia dan kemanfaatannya.[7]
b.
Komponen Isi/
Materi
Komponen isi
yang berupa materi yang diprogramkan adalah untuk mencapai tujuan pendidikan
yang telah ditetapkan. Isi atau materi tersebut biasanya berupa materi
bidang-bidang studi. Dalam kurikulum pendidikan Islam, materi-meteri tersebut
bersumber dari al-Qur'an dan al-Hadith
yang dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis keilmuan. Ilmu-ilmu tersebut
harus utuh, tercermin idealitas al-Qur'an ini, yang tidak memilah-milah
jenis-jenis disiplin ilmu secara taksonomis dikotomik menjadi ilmu- ilmu agama
dan terpisah dari ilmu-ilmu dominan (ilmu pengetahuan umum), sebagaimana
lazimnya terjadi di kalangan umat islam Indonesia.[8]
Dalam kurikulum
pendidikan Islam, materi kurikulum yang berupa ilmu pengetahuan, secara garis
besar dikelompokkan menjadi dua macam menurut sumbernya, yaitu ilmu abadi (perennial)
dan ilmu dicari (acquired) dengan akal, dikatakan: Planning
of education to be based on the classification of knowledge into two
categories:[9]
1)
Perennial
knowledge derivedfrom Qur’an and the Sunnah meaning all Sharia oriented knowledge
relevant and relevant to them.
2)
Acquired knowledge susceptible and cross-cultural
borrowings as long as consistency with the Sharia as the sources of value is
maintained. (Second World
Confrence on Muslim Education, Under the Auspices of King Abdul Aziz University
& Quaid-l-Azam University, 15 th-20 th March 1980 Islambad, p. 15-16)
Dari kedua
jenis pengetahuan di atas hanya pengetahuan bentuk terakhir yang dipelajari
melalui falsafah dan model kurikulum Barat. Sedang wahyu hanya diajarkan di sekolah
agama, atau sekolah-sekolah non formal, ataupun ditempelkan dalam kurikulum
sekolah umum, sebagai mata pelajaran tambahan, bukan dasar. Padahal menurut
konsepsi Islam agar kurikulum itu bisa bersifat Islam haruslah konsep Islam
berpadu dengan mata pelajaran lain.[10]
Kandungan atau
isi kurikulum dalam pendidikan Islam perlu dipadukan, karena ada beberapa
alasan yang perlu dikedepankan. Pertama, diharapkan
melalui kurikulum terpadu akan keluar manusia-manusia yang mempunyai pengamatan
yang terpadu menge- nai realitas, oleh sebab inti pengetahuan itu adalah
kebenaran realitas. Kedua, ahli-ahli psikologi berpendapat bahwa pemaduan
kurikulum dapat menghasilkan manusia yang memiliki personality yang terpadu (integralpersonality)
Ketiga, dari suatu sudut pandang sosiologi, diharapkan bahwa
melalui kandungan kurikulum yang terpadu itu akan timbul perpaduan di kalangan
masyarakat baiksecaraverdkal ataupun horizontal.[11]
Pemaduan
kandungan kurikulum tidak harus berarti menggabungkan semua mata pelajaran
dalam satu mata pelaaran saja, tetapi pemaduan tidak dapat tidak harus dilihat
dari segi tujuan akhir pendidikan (ultimategoal)
ilmu pengetahuan keberadaannya harus diupayakan dengan pendekatan ilmiah yaitu
melalui penelitian empiris dan eksperimentasi.
c. Komponen Strategi/ Metode Pembelajaran
Strategi
menunjuk pada pendekatan dan metode serta peralatan-peralatan mengajar yang
digunakan dalam pengajaran. Metode adalah cara-cara yang digunakan menjelaskan
materi pendidikan kepada anak didik. Pemikiran metode yang tepat harus
disesuaikn dengan materi, kondisi dan keadaan anak didik.
Di samping itu, dasar-dasar lain yang harus dipertimbangkan dalam
penggunaan metode pendidikan Islam adalah:
1.
Dasar agama,
meliputi: pertimbangan dari al-Qur'an dan al- Hadith
serta ijtihad para sahabat.
2.
Dasar biologis,
meliputi: pertimbangan kebutuhan jasmani dan tingkat perkembangan usia anak
didik.
3.
Dasar
psikologis adalah pertimbangan terhadap motivasi, kebutuhan, emosi, minat,
sikap keinginan, bakat dan intelektual anak didik.
4.
Dasar sosial,
yang meliputi: pertimbangan kebutuhan sosial lingkungan anak didik.[12]
Komponen
strategi (metode) tidak hanya terbatas pada pemikiran metode, tetapi juga
cara-cara yang juga ditempuh dalam melaksanakan pengajaran, mengadakan
penilaian, pelaksanaan bimbingan dan mengatur kegiatan-kegiatan dalam sistem
pengajaran. Sebagai salah satu komponen operasional dalam kurikulum pendidikan
Islam, maka metode juga harus mengandung potensi yang bersifat mengarahkan
materi pelajaran kepada tujuan pendidikan yag ingin dicapai melalui proses
tahap demi tahap dalam pendidikan dan pengajaran. Dengan demikian, menurut ilmu
pendidikan Islam, suatu metode yang baik adalah bila memiliki watak dan
relevansi yang senada dengan tujuan pendidikan Islam itu sendiri.
Metode
pembelajaran atau strategi adalah suatu cara menyampaikan pesan yang terkandung
dalam kurikulum. Metode harus sesuai dengan materi yang akan disampaikan.
Metode pembelajaran ini, menjawab pertanyaan “how”yaitu
bagaimana menyampaikan materi atau isi kurikulum kepada siswa secara efektif.
Oleh karenanya, walupun metode pembelajaran adalah komponen yang kecil dari
perencanaan pengajaran (instructional plan), tetapi memiliki peran dan
fungsi yang sangat penting.[13]
Omar Muhammad
al-Toumy al-Syaibani (al-Syaibani, 1997: 560-582), mencatat beberapa metode
yang penting dalam pendidikan Islam, di antaranya.
1.
Metode
pengambilan kesimpulan atau induktif. Metode ini bertujuan membimbing pelajar
untuk mengetahui fakta-fakta dan hukum-hukum umum melalui pemba- hasan dari
bagian-bagian kecil untuk sampai pada kesimpulan. Metode ini dapat digunakan
pada berbagai ilmu yang menjadi tumpuan perhatian Islam, yaitu untuk
mengerjakan ilmu-ilmu: Nahwu, Sharaf, Fiqih, Matematika, Fisika, Kimia dan lain
sebagainya.
2.
Metode
perbandingan. Metode ini digunakan kebalikan dari metode induktif, yang cara
kerjanya bertolak dari hal-hal yang umum menuju kepada yang khusus. Metode ini
dapat digunakan pada pengajaran sains dan pelajaran lain yang mengandung
prinsip-prinsip, hukum-hukum dan fakta-fakta umum, seperti bahasa, sastra,
sejarah dan lain-lain.
3.
Metode kuliah,
adalah metode yang menyatakan bahwa mengajar menyiapkan pelajaran dan
kuliahnya, mencatatkan masalah-masalah penting yang ingin diperbincangkan.
4.
Metode dialog
dan perbincangan, adalah metode yang berdasarkan pada dialog, perbincangan
melalui tanya jawab untuk sampai kepada fakta yang tidak dapat diragu- kan dan
dibantah lagi.
5.
Metode halaqah
(lingkungan), metode riwayat, metode mendengar, metode membaca, metode imla
(dictation),
metode hafalan, metode pemahaman.
6.
Metode lawatan
untuk menuntut ilmu; para pendidik Islam menaruh perhatian besar terhadap
lawatan dan kunjungan ilmiah, dan dianggapnya sebagai metode yang paling
bermanfaat dalam menuntut ilmu, meriwayatkan Hadist, sejarah, kesusastraan dan
perbendaharaan kata-kata. Beberapa metode mengajar di atas tidak saja menjadi
khasanah intelektual Islam tetapi sudah merupakan milik ber- sama umat manusia.
Akan tetapi, sayangnya dalam beberapa hal umat Islam tidak lagi mengembangkannya
dan malah dunia intelektual Barat yang berupaya mengembangkan dan
menyempurnakan. Akibatnya pendidikan Islam menjadi terbelakang dan ketinggalan
jauh dari pendidikan Barat.[14]
d. Komponen Evaluasi
Evaluasi dalam
pendidikan merupakan cara atau teknik penilaian terhadap tingkah laku peserta
didik berdasarkan standar perhitungan yang bersifat komprehensif dari seluruh
aspek-aspek kehidupan mental psikologis dan spiritual religius, knrena manusia
hasil pendidikan Islam bukan saja sosok pribadi yang tidak hanya bersikap
religius melainkan juga berilmu dan berketrampilan yang sanggup beramal dan
berbakti kepada Tuhan dan masyarakat.
Menurut
pendidikan Islam, sarana-sarana evaluasi meliputi empat kemampuan peserata
didik, yaitu:[15]
1.
Sikap dan
pengamalan terhadap arti hubungan pribadinya kepada Tuhannya.
2.
Sikap dan
pengalaman terhadap arti hubungan dirinya dan masyarakat
3.
Sikap dan
pengamalan terhadap arti kehidupannya dengan alam sekitar.
4.
Sikap dan
pandangannya terhadap dirinya sendiri sebagai hamba Allah dan sebagai khalifah
di bumi.
Keempat kemampuan dasar tersebut
kemudian dijabarkan dalam klasifikasi kemampuan-kemampuan teknis dalam
pengajaran yang berbentuk domain yang dijadikan sasaran, yaitu aspek kognitif,
afektif dan psikomotorik sebagaimana teori Benyamin S. Bloom. Dalam kurikuluim
pendidikan Islam, jenis-jenis evaluasi yang perlu digunakan adalah:
1.
Evaluasi
formatif, yaitu evaluasi yang menetapkan tingkat penguasaan peserta didik dan
menentukan bagian-bagian tugas yang belum dikuasai dengan tepat.
2.
Evaluasi
sumatif, yaitu penilaian secara umum tentang hasil dari proses belajar mengajar
yang dilakukan pada setiap akhir periode belajar mengajar.
3.
Evaluasi
diagnostik, adalah penilaian yang dipusatkan pada proses belajar mengajar
dengan melokalisasikan suatu titik keberangkatan yang cocok.
4.
Evaluasi
penempatan (placement test), adalah evaluasi yang menitik
beratkan pada penilaian tentang pengetahuan, ketrampilan minat, perhatian,
bakat, kepribadian peserta didik dalam proses belajar mengajar.[16]
Di samping evaluasi yang ditujukan
terhadap peserta didik, evaluasi juga dilakukan terhadap kurikulum itu sendiri
sebagai timbal balik (feed back) terhadap tujuan, materi, metode dan
lain-lain, dalam rangka membina dan mengembangkan kurikulum lebih lanjut.
Dalam evaluasi pendidikan, diperlukan desain evaluasi pendidikan.
Menurut S. Nasution, desain evaluasi biasanya terdiri atas sekurang-kurangnya
lima langkah yang mesti ditempuh, yaitu:
a.
Merumuskan
tujuan evaluasi.
b.
Mendesain
proses dan metodologi evaluasi.
c.
Menspesifikkan
data yang diperlukan untuk menyusim instrumen bagi proses pengumpulan data.
d.
Mengumpulkan,
menyusun dan mengolah data.
e.
Menganalisis
data dan menyusun laporan mengenai hasil-hasil kesimpulan dan rekomendasi.[17]
Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa desain evaluasi pendidikan
sebagaimana disebutkan di atas, tidak hanya berlaku pada pendidikan secara umum,
namun juga berlaku bagi pendidikan Islam secara khusus. Dari sini dapat
diketahui, evaluasi memiliki peran yang tidak kecil dalam pendidikan Islam.
Jika memang evaluasi dilaksanakan dengan baik. Sayang sekali aspek evaluasi ini
kurang mendapatkan perhatian dari para pemikir pendidikan Islam hingga saat
ini, sehingga pendidikan Islam dalam hal ini paling banyak mendapatkan kritikan
oleh para pakar pen didikan dan pendidik modern. Dan Perlu diperhatikan dengan
evaluasi dalam pendidikan Islam adalah karena tujuan pendidikan memiliki
keistimewaan untuk menyembah dan berbakti kepada Allah sepanjang hayat. Maka
kriteria penilaian juga harus berlainan dengan pendidikan dari
falsafah-falsafah lain. Bukan sekedar lulus ujian saja, walaupun ini juga
diharus- kan, tetapi harus dimasukkan juga kebijakan (wisdom)
dan budi mulia (value) sebagai kriteria Penilaian dalam pendidikan
Muslim, menurutnya, tidak semestinya bersifat materialistik, artinya ganjaran
materi jangan terlalu diutamakan kalaupun dipergunakan harus ditunjukkan bahwa
hanyalah sebagai alat bukan tujuan.[18]
Perlu kita ketahui dalam pengembangan
kurikulum terdapat beberapa hambatan-hambatan antara lain:
1.
Kurangnya partisipasi
guru dalam pengembangan kurikulum. Hal itu disebabkan oleh: Kurang waktu, kekurang
sesuaian pendapat (baik antara sesama guru dengan kepala sekolah dan
administrator), karena kemampuan dan pengetahuan guru sendiri.
2.
Datang dari masyarakat
Masyarakat merupakan
sumber input dari sekolah, karena keberhasilan pendidikan, ketetapan kurikulum
yang dugunakan membutuhkan bantuan, serta input fakta dari mayarakat.
3. Masalah
biaya.[19]
BAB III
KESIMPULAN
Proses
perkembangan kurikulum sebagai sifatnya yang sentiasa berubah turut dipengaruhi
oleh faktor-faktor persekitaran yang merangsang reaksi manusia yang terlibat
dalam kepentingannya. Hasrat terhadap perubahan kurikulum itu menggambarkan
keperluan pendidikan yang menjadi wadah penerus kemajuan bangsa dan negara itu
sendiri. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan dan perkembangan kurikulum
adalah elemen yang saling berkait antara satu sama lain. Dapat dikatakan bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kurikulum itu sendiri mencerminkan
idealisme dan perubahan keperluan masyarakat dan negara, melalui institusi
persekolahan yang akan meneruskan kebudayaan. Adapun beberapa faktor yang perlu
di pertimbangkan dalam pengembangan
kurikulum, yaitu meliputi:
1. Pergururan tinggi
1. Masyarakat
2. Sistem
nilai
3. Filosofis
4. Psikologis
5. Sosial-budaya
6. Politik
7. Pembangunan
negara dan perkembangan dunia
8. Ilmu dan
tekbologi (iptek)
Selain itu faktor yang mempengaruhi
pengembangan kurikulum yaitu diantaranya: perguruan tinggi, masyarakat dan
system nilai.
Sedangkan
Komponen-Komponen yang perlu di pertimbangkan dalam pengembangan kurikulum
pendidikan islam yaitu: komponen Tujuan, Komponen Isi/materi, Komponen
Strategi/metode serta komponen Evaluasi.
DAFTAR PUSTAKA
Hamalik, Omar. 1995. Kurikulum Dan
Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara
Khairuddin,
Mahfud Junaedi. 2007. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Konsep dan
Implementasinya di Madrasah. Jogjakarta: Pilar Media
Nana Syaudih, Sukmadinata. 1997. Pengembangan
Kurikulum Teori Dan Praktek. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Nasution, S. 1995. Asas – Asas Kurikulum. Jakarta : Bumi
Aksara
Nana Syaodih, Sukmadinata. 2006. Pengembangan Kurikum; Teori dan Praktek.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nurhayati, Anin. 2010. Kurikulum Inovasi (Telaah
terhadap pengembangan kurikulum pendidikan pesantren Yogyakarta: Teras
Sa’du
al-Din, Muhammad Munir. 1995. al-Dirasahfi
al-Tarikh al-Tarbiyah 'inda al-Muslimin .
Beirut: al-Maqriniya
Saleh
Abdullah, Abd al-Rahman . 1991. Landasan dan Tujuan Pendidikan
Mrnurut al-Qur’an, ter.
HMD. Dahlan. Bandung: CV.
Diponegoro
[2]
Nana Syaudih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori Dan Praktek, (Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 1997), Hal.158–159.
[4]
Khairuddin, Mahfud Junaedi, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
Konsep dan Implementasinya di Madrasah, (Jogjakarta: Pilar Media, 2007), hlm: 30
[5]
Ibid, hlm: 30-31
[6]
Ibid, hlm: 32
[7]
Muhammad Munir Sa'du al-Din, al-Dirasahfi
al-Tarikh al-Tarbiyah 'inda al-Muslimin (Beirut: al-Maqriniyah, 1995), hlm: 22
[8]
Abd
al-Rahman Saleh Abdullah, Landasan dan Tujuan Pendidikan Mrnurut al-Qur’an,
ter. HMD. Dahlan, (Bandung: CV. Diponegoro, 1991), hlm: 176-177
[9]
Khairuddin, Mahfud Junaedi, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
Konsep dan Implementasinya di Madrasah, (Jogjakarta: Pilar Media, 2007), hlm: 33
[10]
Ibid, hlm: 33
[11]
Ibid, hlm: 33-34
[12] Anin Nurhayati, Kurikulum Inovasi (Telaah
terhadap pengembangan kurikulum pendidikan pesantren, (Yogyakarta: Teras,
2010), hlm: 40-41
[13]
Op.,Cit, hlm: 34
[14]
Khairuddin, Mahfud Junaedi, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
Konsep dan Implementasinya di Madrasah, (Jogjakarta: Pilar Media, 2007), hlm: 35-36
[15]
Anin
Nurhayati, Kurikulum Inovasi (Telaah terhadap pengembangan kurikulum
pendidikan pesantren, (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm: 42
[16]
Ibid, hlm: 42-43
[17]
Ibid, hlm 43
[18]
Ibid, hlm: 37
Tidak ada komentar:
Posting Komentar