EPISTEMOLOGI ILMU: METODE ILMIAH DAN KEBENARAN ILMIAH
ABSTRAK
Proses mengamati
untuk memuaskan rasa
keingin tahuan manusia itu dilakukan dengan cara-cara tertentu,
metode tertentu, sesuai dengan proses
kegiatan ilmiah. Metode sebagai
cara untuk mengamati
sesuatu proses kegiatan ilmiah.
Metode sebagai cara untuk mengamati
sesuatu, proses kegiatan ilmiah,
harus dengan cara-cara tertentu pula,
yang dapat dipertanggung jawabkan sebagai suatu
kegiatan ilmiah. Metode ilmiah
merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan
yang disebut ilmu. pengetahuan
ilmiah yang dilahirkan dari metode ilmiah agar dapat menjadi kebenaran ilmiah. kebenaran ilmiah merupakan suatu pengetahuan
yang jelas dan pasti kebenarannya menurut norma-norma keilmuan. Epistemologi merupakan
filsafat ilmu yang bersifat
nalar atau pemikiran,
metode ilmiah dan kebenaran
ilmiah merupakan bagian
dari ruang lingkup filsafat ilmu.
Kata kunci: Ilmu Pengetahuan,
Metode Ilmiah, Kebenaran Ilmiah
A. PENDAHULUAN
Jika mempelajari filsafat ilmu, kita pasti menjumpai istilah
“Epistemologi”. Yang merupakan salah satu cabang ilmu filsafat. Dan karena
Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang
secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah). Epistemologi adalah
bagian filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, sumber
pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas dan metode, dan kesahihan
pengetahuan. sehingga dalam kesempatan kali ini akan dibahas lebih lanjut
mengenai sumber-sumber epistemologi. Manusia pada dasarnya adalah makhluk
pencari kebenaran. Manusia tidak pernah puas dengan apa yang sudah ada, tetapi
selalu mencari dan mencari kebenaran yang sesungguhnya dengan bertanya-tanya
untuk mendapatkan jawaban. Namun setiap jawaban-jawaban tersebut juga selalu
memuaskan manusia. Ia harus mengujinya dengan metode tertentu untuk mengukur
apakah yang dimaksud disini bukanlah kebenaran yang bersifat semu, tetapi
kebenaran yang bersifat ilmiah yaitu kebenaran yang bisa diukur dengan
cara-cara ilmiah.
Perkembangan pengetahuan yang semakin pesat sekarang ini, tidaklah
menjadikan manusia berhenti untuk mencari kebenaran. Justru sebaliknya, semakin
menggiatkan manusia untuk terus mencari dan mencari kebenaran yang berlandaskan
teori-teori yang sudah ada sebelumnya untuk menguji sesuatu teori baru atau
menggugurkan teori sebelumnya. Sehingga manusia sekarang lebih giat lagi
melakukan penelitian-penelitian yang bersifat ilmiah untuk mencari solusi dari
setiap permasalahan yang dihadapinya. Karena itu bersifat statis, tidak
kaku, artinya ia tidak akan berhenti pada satu titik, tapi akan terus berlangsung
seiring dengan waktu manusia dalam memenuhi rasa keingintahuannya terhadap
dunianya.
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Epistemologi
Secara etimologis, epistemologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu episteme
dan logos. Episteme artinya pengetahuan, logos biasanya
dipakai untuk menunjuk pengetahuan sistematik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
epistemologi adalah pengetahuan sistematik tentang pengetahuan. Istilah ini
pertama kali dipopulerkan oleh J.F. Ferier tahun 1854 yang membuat dua cabang
filsafat, yakni epistemology dan ontology (on = being, wujud,
apa + logos = teori), ontology (teori tentang
apa).[1]
Secara singkat dapat dikatakan bahwa epistemologi merupakan salah satu
cabang filsafat yang mempersoalkan mengenai masalah hakikat pengetahuan. Dengan
kata lain, epistemology merupakan disiplin filsafat yang secara khusus hendak
memperoleh pengetahuan tentang pengetahuan. Dalam hal ini,berupa pengetahuan
hasil serapan inderawi yang secara sadar diperoleh, baik yang telah lama maupun
baru didapat. Disamping itu, sesuatu yang diperoleh secara pasif atau diluar
kesadaran, seperti ilham, intuisi, wangsit atau wahyu (oleh nabi). Dengan kata
lain, pengetahuan ilmiah diperoleh secara secara sadar, aktif, sistematis,
jelas prosesnya secara prusedural, metodis dan teknis, tidak bersifat acak,
kemudian diakhiri dengan verifikasi atau diuji kebenaran ilmiahnya.
Menurut Conny Semiawan dkk., (2005: 157) epistemologi adalah cabang
filsafat yang menjelaskan tentang masalah-masalah filosofis sekitar teori
pengetahuan. Epistemologi memfokuskan pada makna pengetahuan yang dihubungkan
dengan konsep, sumber dan kriteria pengetahuan, jenis pengetahuan dan
sebagainya.[2]
Dari
berbagai pendapat ahli dapat disimpulkan dengan bahasa sederhana bahwa
epistemologi merupakan cara mendapatkan pengetahuan yang benar.
2. Pengertian Ilmu Pengetahuan
Kata ilmu merupakan terjemahan dari kata dalam bahasa Inggris: sciense. Kata sciense ini berasal dari kata Latin scientia yang berarti pengetahuan. Kata scientia ini berasal dari kata kerja scire yang artinya mempelajari, mengetahui. Pada mulanya cakupan ilmu secara
etimologis menunjuk pada pengetahuan semata-mata, pengetahuan mengenai apa
saja. Pertumbuhan selanjutnya pengertian ilmu ini mengalami perluasan arti,
sehingga menunjuk pada segenap pengetahuan sistematik. Pemakaian yang luas dari
kata ilmu ini diteruskan dalam bahasa jerman dengan istilah wissenschaft yang berlaku terhadap kumpulan pengetahuan apapun yang teratur, termasuk
di dalamnya yang mencakup ilmu-ilmu kealaman maupun pengetahuan manusia,
sementara dalam bahasa indonesia dikenal sebagai ilmu-ilmu budaya yang pada
umumnya mencakup pengetahuan-pengetahuan tentang bahasa dan sastra, estetika,
sejarah, filsafat, dan agama.[3]
Menurut Suparlan Suhartono dalam bukunya Dasar-dasar Filsafat Ilmu
pengetahuan adalah pengetahuan yang bertujuan mencapai kebenaran ilmiah tentang
obyek tertentu, yang diperoleh melalui pendekatan atau cara pandang, metode,
dan sistem tertentu.[4]
Ilmu pengetahuan ini diciptakan oleh manusia karena didorong oleh rasa
ingin tahu yang tidak berkesudahan terhadap obyek, pikiran atau akal budi yang
menyangsikan kesaksian indra, karena indra dianggap sering menipunya.
Kesangsian akal budi ini lalu diikuti dengan pertanyaan-pertanyaanseperti:
apakah sesuatu itu? Mengapa sesuatu itu ada? Bagaimana keberadaannya? Dan lain
sebagainya. Masing-masing pertanyaan itu akan menghasilkan: ilmu pengetahuan
filosofis, kausalistik, deskriptif-analitik dan normatif.
Dari segi
maknanya, pengetahuan ilmu sepanjang yang terbaca dalam pustaka menunjuk pada
sekurang-kurangnya tiga hal, yakni pengetahuan, aktivitas dan metode. Dengan
demikian, dapatlah dipahami bilamana ada makna tamabahan dari ilmu sebagai
aktivitas. Selanjutnya menurut Harold H. Titus, banyak orang telah mempergunakan
istilah ilmu untuk menyebut suatu metoda guna memperoleh pengetahuan yang
objektif dan dapat diperiksa kebenarannya.
Demikianlah makna ganda dari pengertian ilmu. Tetapi
pengertian ilmu sebagai pengetahuan, aktivitas atau metode itu bila ditinjau
lebih mendalam sesungguhnya tidak saling bertentangan. Bahkan sebaliknya,
ketiga hal itu merupakan kesatuan logis yang mesti ada secara berrurutan. Ilmu
harus diusahakan dengan aktivitas metodis itu mendatangkan pengetahuan yang
sistematis.
Berikut ini adalah penjelasan The Liang Gie mengenai
pertautan dari ketiga pengertian ilmu di atas:
Pengertian
itu saling bertautan logis dan berpangkal pada stu kenyataaan yang sama bahwa
bahwa ilmu hanya terdapat dalam masyarakat manusia. suatu penjelasan yang
sistematis harus dimulai dengan segi manusia yang menjadi pelaku dari fenomenon
yang disebut ilmu. Hanyalah manusia (dalam hal ini ilmuwan) yang memiliki
kemampuan rasioanal, melakukan aktivitas kognitif (menyangkut pengetahuan), dan
mendambakan berbagai tujuan yang berkaitan dengan ilmu. Jadi, tepatlah bilamana
pengertian pertama dari ilmu dipahami dari seginya sebagai serangkaian
aktivitas yang rasional, kognitif dan bertujuan. Sesuatu aktivitas hanya dapat
mencapai tujuannya bilamana dilaksanakan dengan metode yang tepat. Denagan
demikian, penjelasan mengenai aktivitas para ilmuwan yang merupakan penelitian
akan beralih pada metode ilmiah yang dipergunakan. Ilmu lalu mempunyai
pengertian yang kedua sebagai metode. Dari rangkaian kegiatan studi atau penyelidikan
secara berulang-ulang dan harus dilaksanakan dengan tata cara yang metodis,
akhirnya dapat dibuahkan hasil berupa keterangan baru atau tambahan mengenai
sesuatu hal. Dengan demikian, pada pembahasan terakhir pengertian ilmu
mempunyai arti sebagai pengetahuan.[5]
3.
Metode Ilmiah
Metode ilmiah merupakan suatu prosedur yang mencakup berbagai tindakan
pikiran, pola kerja, cara teknis, dan tata langkah untuk memperoleh pengetahuan
baru atau mengembangkan pengetahuan yang telah ada. Metode sacara etimologis berasal
dari kata Yunani meta yang berarti sesudah dan hodos yang berarti jalan. Jadi metode
berarti langkah-langkah yang diambil, menurut urutan tertentu, untuk mencapai
pengetahuan yang benar yaitu suatu tatacara, teknik, atau jalan yang telah
dirancang dan dipakai dalam proses memperoleh pengetahuan jenis apapun, baik
pengetahuan humanistik dan historis, ataupun pengetahuan filsafat dan ilmiah.[6]
Arturo Rosenblueth memberikan defenisi metode ilmiah sebagai “The
procedure and criteria used by scientists in the constructionand development of
their spesific discipline.” (prosedur dan ukuran yang dipakai oleh
ilmuan-ilmuan dalam penyusunan dan pengembangan cabang pengetahuan khusus
mereka).
Sebuah contoh lagi dari Harold Titus merumuskan metode ilmiah sebagai
“The processes and steps by which the sciense obtain knowladge.” (proses-proses
dan langkah-langkah yang dengan itu ilmu-ilmu memperoleh pengetahuan).[7]
Prosedur yang merupakan metode ilmiah sesungguhnya tidak hanya mencakup
pengamatan dan percobaan seperti dikemukakan dalam salah satu defenisi diatas.
Masih banyak macam prosedur lainnya yang dapat dianggap sebagai pola-pola
metode ilmiah, yakni: analisis, gambaran, penggolongan, pengukuran,
perbandingan, dan survai.
Buku kepustakaan, tidak ada yang menunjuk kesuatu pendapat mengenai
jumlah, macam dan urutan langkah yang pasti sebagai penentu suatu prosedur yang
disebut sebagai metode ilmiah. Langkah-langkah itu semakin bervariasi dalam
ilmu pengetahuan sesuai bidang spesialisasi yang semakin banyak. Kadang-kadang
orangg berpendapat bahwa macam metode ilmiah yang digunakan tergantung pada
ilmu khusus tersebut, khususnya bersangkutan dengan objek formalnya.berdasarkan
langkah-langkah yang digunakan dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan,
sekurang-kurangnya ada lima langkah yang dapat dikatakan sebagai pola umum,
yaitu:
a.
Penentuan
masalah
b.
Perumusan
dugaan sementara
c.
Pengumpulan
data
d.
Perumusan
kesimpulan, dan
e.
Verifikasi
hasil.[8]
Menurut Jujun S. Suriasumanti alur berpikir yang tercakup dalam metode
ilmiah dapat dijabarkan dalam beberapa langkah yang mencerminkan tahap-tahap dalam
beberapa langkah yang mencerminkan tahap-tahap dalam kegiatan ilmiah. Kerangka
berpikir ilmiah yang berintikan proses logico-hypothetico-verifikasi ini
pada dasarnya terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut:
a.
Perumusan
masalah yang merupakan pertanyaan
mengenai obyek empiris yang jelas batas-batasnya serta dapat diindentifikasikan
faktor-faktor yang terkait didalamnya
b.
Penyusunan
kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis yang merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin
terdapat antara berbagai faktor yang saling mengkait dan membentuk konstelasi
permasalahan
c.
Perumusan
hipotesis yang merupakan jawaban
sementara atau dugaan terhadap pertanyaan yang diajukan yang materinya
merupakan kesimpulan dari kerangka ber[pikir yang dikembangkan
d.
Pengujian
hipotesis yang merupakan pengumbpulan fakta-fakta yang
relevan dengan hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat
fakta-fakta yang mendukung hipotesis tersebut atau tidak
e.
Penarikan
kesimpulan yang merupakan penilaian
apakah sebuah hipotesis yang diajukan itu ditolak atau diterima.[9]
Konsep-konsep dalam metode ilmiah pada tata langkah tersebut diatas
misalnya ialah model dan hipotesis. Model adalah sesuatu citra atau gambaran
abstrak yang diperlakukan terhadap sekelompok gejala.umpamanya dalam penelitian
terhadap pendidikan tinggi kini dapat dipakai model sebagai suatu sistem yang
mempunya tiga komponen utama berupa input, konversi, dan output. Model juga
dapat diambil dari benda fisik yang ada, misalnya model sebuah piramid yang
dipergunakan dalam penelaahan atau penjelasan mengenai struktur suatu
masyarakat.
Hipotesis adalah sesuatu keterangan bersifat sementara atau untuk
keperluan pengujian yang diduga mungkin benar dan dipergunakan sebagai pangkal
untuk penyelidikan lebih lanjut sampai diperoleh kepastian dengan pembuktian.
Suatu hipotesis bukanlah syarat mutlak
yang harus dibuat dalam setiap penelitian. Sesuatu penelaahan ilmiah
yang sudah jelas arahnya kadang-kadang tidak memerlukan hipotesis. Begitu juga
dengan model pada suatu penelitian ilmiah.
Ada beberapa
jenis metode ilmiah yang secara umum dapat diketahui sebagai “metode analisis”
dan “metode sistesis”. Dlm praktik kerjanya, kedua mtode ini dibantu oleh
sarana-sarana yg bersifat induktif dan deduktif.
Metode analisis
dibantu oleh sarana induktif (selanjutnya disebut metode analis-induktif) adalah
cara pandang penelitian ilmiah yang bertitik tolak dari pengetahuan-pengetahuan
khusus untuk sampai kepada suatu kesimpulan berupa pengetahuan umum. Hal ini
dilakukan dengan jalan memisah-misahkan pengertian-pengertian yang sepadan.
Banyak hal yang
dapat dilakukan oleh metode analisis-induktif ini. Tetapi bukannya sama sekali
terhindar dari kelemahan-kelemahan. Kemampuan manusia yang serba terbatas itu
sendiri telah mengawalinya. Dengan keterbatasannya ini, orang bisa dengan mudah
terjerumus kedalam suatu generalisasi, yaitu hanya dengan beberapa fakta lalu
bisa menarik kesimpulan umum.
Selanjutnya metode
sintesis dengan alat deduktifnya (metod analis-deduktif) melakukan penyelidikan
dengan bertitik tolak dari pengetahuan umum agar sampai pada kesmpulan yang berupa
suatu pengetahuan khusus, jadi metode ini sejak semula telah mempunyai suatu
hipotesis yg berisi pngetahuan umum yg benar sebagai titik tolak atau ukuran
untuk mendapatkan pengetahuan baru mengenai sesuatu hal atau barang yang sejenisnya.
Metode sintesis-deduktif
juga mempunyai kelemahan. Memang dengan metode ini seolah-olah dapat diperoleh
pengethuan yang mutlak benar, akan tetapi pengetahuan yang benar itu bisa saja
semu belaka. Pengethuan yang terkandung di dalam kesimpulan yang dpaat ditarik
sangat tergantung kepada tingkat kebenaran yang terkandung dalam premis-premis
yang diberikan. Jika premis-premis itu hanya mengandung tingkat kebenaran yang
bersifat hipotesis, maka kesimpulan yang dapat ditarik tidak lain kecuali bersifat
hipotesis pula.[10]
Pengertian metode tidak sama dengan teknik. Metode ilmiah adalah berbagai
prosedur yang mewujudkan pola-pola dan tata langkah dalam pelaksanaan sesuatu
penelitian ilmiah. Pola dan tatalangkah prosedural itu dilaksanakan dengan
cara-cara operasional dan teknis yang lebih terinci. Cara-caraitulah yang
meujudkan teknik. Jadi, teknik adalah sesuatu cara operasional tehnis yang
seringkali bercorak rutin, mekanis, atau spesialistis untuk memperoleh dan
menangani data dalam penelitian. Misalnya suatu penelitian terhadap
gejala-gejala kemasyarakatan dapat mempergunakan metode survai. Berbagai teknik
yang dilaksanakan pada metode itu antara lain ialah teknik lapangan (field
work), pemeriksaan setempat (investigation), daftar pertanyaan (questionnaire),
dan wawancara (interview). Berbagai tekhnik penelitian itu biasanya memakai
pula bantuan macam-macam peralatan seperti komputer, timbangan untuk ilmu
kealaman, dan lain sebagainya.[11]
Corak-corak metodologis yang dikembangkan menyebabkan ilmu pengetahuan
bersifat positivistik, deterministik, evolusionistik, sehingga segala sesuatu
harus dijelaskan dengan metode kuantitatif dan eksperimental melalui observasi.
Periode ini juga ditandai dengan semakin terkotak-kotaknya ilmu pengetahuan
kedalam ilmu-ilmu khusus dan bidang-bidang spesialisasi. Deferensiasi ilmu
pengetahuan ini dijelaskan oleh Lewis yang dikutip dari buku Filsafat Ilmu
oleh Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM yaitu sebagai berikut.
Ilmu khusus telah muncul
dengan cara yang ditunjukkan; ilmu-ilmu tersebut telah berkembang dalam matriks
umum dari pemikiran reflektif dan menjadi diakui sebagai berbeda, bilamana
suatu taraf kedewasaan tercapai pada umumnya, ilmu-ilmu fisikalah yang
pertama-tama mengalami perkembangan ini, dan ilmu-ilmu kemanusiaan dan budaya,
psikologi, sosiologi, ekonomi, dan pemerintahan adalah yang terakhir menjadi
terpisah dari filsafat.[12]
Pada umumnya metodologi yang digunakan dalam ilmu-ilmu kealaman disebut
siklus-empirik. Istilah metode siklus-empirik ini menunjukkan pada dua macam
hal yang pokok, yaitu siklus yang mengandalkan adanya suatu kegiatan yang
dilaksanakan berulang-ulang, dan empirik yang menunjukkan pada sifat bahan yang
diselidiki, yaitu hal-hal yang dalam tingkatan pertama dapat diregristasi
secara indrawi. Metode siklus empirik ini mencakup lima tahapan yang disebut
observasi, induksi, deduksi, eksperimen, dan evaluasi.
Tahap pertama adalah observasi, maksudnya adalah bahwa tahap ini berbuat
lebih dari sekedar melakukan pengamatan biasa. Kenyataan empirik yang terjadi
maka objeknya diselidiki, dikumpulkan, diidentifikasi, didaftar, dan
diklasifikasikan secara ilmiah.
Tahap kedua adalah induksi.pernyataan-pernyataan hasil observasi
disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum. Induksi dipermudah dengan
digunakannya alat-alat bantu matematik dalam merumuskan serta mengumpulkan
data-data empirik. Pengukuran secara kuantitatif terhadap besaran-besaran
tertentu yang saling berhubungan, maka hubungan tersebut dapat digambarkan
dalam simbol matematika. Apabila suatu kejadian terjadi secara berulang-ulang,
maka pernyataan umum tersebut memperoleh kedudukan sebagai hukum.
Langkah ketiga adalah dilaksanakannya deduksi-deduksi logis, yaitu
data-data empirik diolah lebih lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang
runtut. Penyusunan sistem semacam ini juga tergantung dipergunakannya
pengertian-pengertian operasional tertentu, yaitu bahasa buatan dalam rangka
teori ilmiah. Berdasarkan sistem semacam ini dapatlah dijabarkan
pernyataan-pernyataan khusus tertentu. Langkah keempat observasi eksperimental,
yaitu pernyataan yang telah dijabarkan secara deduktif. Diuji dengan melakukan
melakukan verifikasi atau klarifikasi secara empirik. Verifikasi atau
klarifikasi secara empirik dimaksudkan untuk mengukuhkan pernyataan-pernyataan
rasional hasil deduksi sebagai teori. Verifikasi merupakan tahapan untuk
mengukuhkan atau menggugurkan pernyataan-pernyataan rasional hasil dari
deduksi-deduksi logis.
Ilmu-ilmu sosial dan humanistik pada umumnya menggunakan metode linier
dan analisisnya dimaksudkan untuk menemukan arti, nilai dan tujuan. Metode
linier memiliki tiga tahap, yaitu persepsi, konsepsi, dan prediksi. Persepsi
adalah penangkapan data melalui indra. Konsepsi adalah pengolahan data dan
penyusunan dalam suatu sistem. Dan prediksi adalah penyimpulan dan sekaligus
peramalan.[13]
4. Kebenaran Ilmiah
a. Arti Kebenaran
Yang dimaksud kebenaran ilmiah adalah suatu pengetahuan yang jelas dan
pasti kebenarannya menurut norma-norma keilmuan. Kebenaran ilmiah cenderung
bersifat objektif. Artinya, terkandung didalamnya sejumlah pengetahuan menurut
sudut pandang yang berbeda-beda, tetapi saling bersesuaian.
Dalam epistemologi, masalah kebenaran dibahas secara khusus. Adanya
kebenaran itu selalu dihubungkan dengan pengetahuan manusia (subjek yang
mengetahui) mengenai objek. Sedangkan pengetahuan berasal mula dari banyak
sumber. Sumber-sumber itu kemudian sekaligus berfungsi sebagai ukuran
kebenaran.[14]
Kata “kebenaran” dapat digunakan
sebagai suatu kata benda yang konkret maupun abstrak. Jika subjek hendak
menuturkan kebenaran artinya adalah proposisi yang benar. Proposisi maksudnya
adalah makna yang dikandung dalam suatu pernyataan atau statement. Apabila
subjek menyatakan kebenaran bahwa proposisi yang diuji itu pastimemiliki
kualitas, sifat atau karakteristik, hubungan dan nilai.
Ada perbagai macam kategori sebagaimana tersebut diatas, maka tidaklah
berlebihan jika pada saatnya setiap subjek yang memiliki pengetahuan akan
memiliki persepsi dan pengetian yang amat berbeda satu dengan yang lainnya.
Kebenaran pertama, berkaitan dengan kualitas pengetahuan.
Maksudnya apakah pengetahuan itu berupa:
1)
Pengetahuan
biasa, pengetahuan seperti ini memiliki kebenaran yang sifatnya subjektif,
artinya amat terikat pada subjek yang mengenal. Pengetahun ini memiliki sifat
selalu benar, sejauh sarana untuk memperoleh pengetahuan bersifat normal atau
tidak ada penyimpangan.
2)
Pengetahuan
ilmiah, yaitu pengetahuan yang telah menetapkan objek yang khas atau spesifik
dengan menerapkan atau hampiran metodologis yang khas pula, artinya metodologi
yang telah mendapatkan kesepakatan diantara para ahli yang sejenis. Kebenara
yang terkandung dalam pengetahuan ilmiah bersifat relatif., maksudnya kandungan
kebenaran dari jenis pengetahuan ilmiah selalu mendapatkan revisi yaitu selalu
diperkaya oleh hasil penemuan yang paling mutakhir. Dengan demikian, kebenara
dalam pengetahuan ilmiah selalu mengalami pembaharuan sesuai dengan hasil
penelitian yang paling akhir dan mendapatkan persetujuan para ilmuwan sejenis
3)
Pengetahuan
filsafati, yaitu jenis pengetahuan yang pendekatannya melalui metodologi
pemikiran filsafati, yang sifatnya mendasar dan menyeluruh dengan model
pemikiran yang analitis, kritis, dan spekulatif. Sifat kebenara yang terkandung dalam
pengetahuan filsafati adalah absolut-intersubjektif. Maksudnya ialah nilai
kebenaran yangterkandung jenis pengetahuan filsafat selalu merupakan pendapat
yang selalu melekat pada pandangan filsafat seorang seorang pemikir filsafat
itu serta selalu mendapat pembenaran dari filsuf kemudian yang menggunakan
metodologi pemikiran yang sama pula.
4)
Pengetahuan
agama, pengetahuan agama memiliki sifat dogmatis, artinya pernyataan dalam
suatu agama selalu dihampiri oleh keyakinan yang telah tertentu sehingga
pernyataan-pernyataan dalam ayat-ayat kitab suci agama memiliki nilai kebenaran
sesuai dengan keyakinan yang di gunakan untuk memahaminya itu.
Kebenaran kedua, dikaitkan dengan sifat
atau karakteristik dari bagaimana cara atau dengan alat apakah seseorang
membangun pengetahuan itu. Apakah ia membangunnya dengan pengindraan, akal
pikir atau ratio, intuisi, atau keyakinan. Sehingga implikasi nilai
kebenarannya juga sesuai dengan jenis pengetahuan itu.
Kebenaran ketiga, nilai
kebenaran pengetahuan yang dikaitkan atas ketergantungan terjadinya pengetahuan
itu. Artinya bagaimana relasi atau hubungan antara subjek atau objek, manakah
yang dominan untuk membangun pengetahuan itu,, subjekkah atau objek.[15]
b. Teori-teori Kebenaran
Dalam perkembangan pemikiran filsafat perbincangan
tentang kebenaran sudah dimulai sejak Plato yang kemudian diteruskan oleh
Aristoteles. Teori kebenaran selalu paralel dengan teori pengetahuan yang
diangunnya.teori-teori kebenaran yang telah terlembaga itu antara lain adalah:
1) Teori kebenaran korespondensi
Teori korespondensi adalah teori kebenaran yang paling awal dan paling
tua yang berangkat dari teori pengetahuan Aristoteles yang menyatakan segala
sesuatu yang kita ketahui adalah sesuatu yang dapat dikembalikan pada kenyataan
yang dikenal oleh subjek. Atau sebagaimana dikemukakan oleh
Randal dan Buchler bahwa “ A belief is called “true” if it “agrees”with a
fact”.
Teori koresponden menggunakan logika
induktif, artinya metode yang digunakan dalam berfikir dengan bertolak dari
hal-hal khusus ke umum. Dengan kata lain kesimpulan akhir ditarik karena ada fakta-fakta
mendukung yang telah diteliti dan dianalisa sebelumnya. Contoh, misalnya: jika
seorang mengatakan bahwa “Ibu kota Republik Indonesia adalah Jakarta” maka
pernyataan itu adalah benar sebab pernyataan itu dengan objeknya yang bersifat
factual yakni Jakarta yang memang menjadi Ibu Kota Republik Indonesia.
Sekiranya orang lain mengatakan bahwa” ibu kota Republik Indonesia adalah
Bandung” maka pernyataan itu tidak benar sebab tidak sesuai dengan fakta.
2) Teori kebenaran koherensi
Teori
kebenran lain yang dikenal tradisional juga adalah teori kebenaran koherensi.
Teori koherensi dibangun oleh para pemikir rasionalis seperti Leibniz, Spinoza,
Hegel, dan Bradley.
Teori koherensi adalah suatu
proposisi itu atau makna pernyataan dari suatu pengetahuan bernilai benar bila
proposisi mempunyai hubungan dengan ide-ide dari proposisi yang terdahalu yang
bernilai benar.
Teori
koherensi menggunakan logika deduktif, artinya metode yang digunakan dalam
berfikir dengan bertolak dari hal-hal umum ke khusus. Contoh, misalnya: bila
kita menganggap bahwa “semua manusia pasti akan mati” adalah suatu pernyataan
yang benar, maka pernyataan bahwa “ si fulan adalah seorang manusia dan si fulan
pasti akan mati” adalah benar pula. Sebab pernyataan kedua adalah koheren atau
konsisten dengan pernyataan yang pertama.[16]
3) Teori kebenaran Pragmatis
Paham
pragmatic sesungguhnya merupakan pandangan filsafat kontemporer karena paham
ini baru berkembang pada akhir abad XIX dan awal abad XX oleh tiga filsuf
Amerika yaitu C.S Pierce, William James, dan Jhon Dewey.
Teori
kebenaran pragmatis menurut Tim Dosen Filsafat Ilmu Universitas Gajah Mada
adalah sebagai berikut:
Jadi menurut
pandangan teori ini bahwa suatu proposisi bernilai benar bila proposisi itu
mempunyai konsekuensi-konsekuensi praktis seperti yang terdapat secara inheren
dalam pernyataan itu sendiri. Karena setiap pernyataan selalu terikat pada
hal-hal yang bersifat praktis, maka tiada kebenaran yang besifat mutlak, yang
berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari akal yang
mengenal, sebab pengalaman itu senantiasa berubah. Hal itu karena dalam
prakteknya apa yang dianggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya.
Atau dengan kata lain bahwa suatu pengertian itu tak pernah benar melainkan
hanya dapat menjadi benar kalau saja dapat dimanfaatkan secara praktis.[17]
Bagi seorang
pragmatis maka kebenaran suatu pernyataan diukur dengan criteria apakah
pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya, suatu
pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan
itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia. contoh yang sederhana
dari teori kebenaran pragmatis misalnya: Yadi mau bekerja di sebuah perusahaan
minyak karena diberi gaji yang tinggi. Yadi bersifat pragmatis, artinya mau
bekerja di perusahaan tersebut karrena ada manfaatnya bagi dirinya, yaitu
mendapatkan gaji yang tinggi.
4) Teori
kebenaran sintaksis
Para penganut teori kebenaran
sintaksis dipakai oleh suatu pernyataan atau tata bahasa yang melekatnya.
Dengan demikian suatu pernyataan memiliki nilai benar apabila pengetahuan itu
mengikuti aturan-aturan sintaksis yang baku, atau dengan kata lain apabila
proposisi itu tidak mengikuti syarat atau keluar dari hal yang diisyaratkan maka
proposisi itu mempunyai arti. Misalnya suatu kalimat standar harus ada subyek
dan predikat. Jika kalimat tidak ada subyeknya maka kalimat itu dinyatakan
tidak baku atau bukan kalimat, seperti semua korupsi ini bukan kalimat standar
karena tidak ada subyeknya.
5) Teori kebenaran
semantis
Menurut
teori kebenaran semantik suatu proposisi memiliki nilai benar ditinjau dari
segi arti atau makna, teori ini mempunyai tugas untuk kesahan dari proposisi
dalam referensinya. Teori kebenaran semantik dianut oleh paham filsafat analitika
bahasa, misalnya pengetahuan tersebut dinyatakan benar kalau ada referensi yang
jelas, jika tidak mempunyai referensi jelas maka pengetahuan tersebut
dinyatakan salah.
6) Teori
kebenaran logic
Pada dasarnya teori kebenara ini
hanya merupakan kekacauan bahasa saja dan hal ini mengakibatkan suatu
pemborosan. Karena pada dasarnya apa yang hendak dibuktikan kebenarannya
memiliki derajat logis yang sama, masing-masing saling melengkapinya. Dengan
demikian sesungguhnyan setiap proposisi mempunyai isi yang sama memberikan
informasi yang sama dan semua orang sepakat. Maka apabila kita membuktikannya
lagi hal yang demikian itu hanya merupakan bentuk-bentuk logis yang berlebihan.
Misalnya suatu lingkaran adalah bulat, ini telah memberikan kejelasan dalam
pernyataan itu sendiri, tidak perlu diterangkan lagi karena pada dasarnya
lingkaran adalah suatu garis yang sama jaraknya dari titik yang sama, sehingga
berupa garis yang bulat.
7) Teori
kebenaran spiritual
Dalam
filsafat islam pernyataan bahwa Tuhan sebagai kebenaran mutlak telah dimulai
sejak filsuf pertama muslim yaitu al-kindi. Dia menyatakan bahwa Tuhan sebagai al-haqqul
awal. Kebenara pertama menjadi sumber semua kebenaran relatif. Oleh karena
itu, kebenaran teori filsafat ditentukan oleh logis tidaknya teori itu. Ukuran
tidaknya tersebut akan terlihat pada argumen yang menghasilkan kesimpulan
teori, dan fungsi argumen dalam filsafat sangatlah penting, sama pentingnya
denngan fungsi data pada pengetahuan sains.[18]
8) Teori
kebenaran non deskripsi
Teori ini dikembangkan oleh penganut
filsafat fungsionalisme, yang menyatakan bahwa suatu statemen atau pernyataan
mempunyai nilai benar yang amat tergantung peran dan fungsi dari pernyataan
itu.
c.
Sifat kebenaran Ilmiah
Kebenaran ilmiah diperoleh melalui prosedur baku dibidang keilmuan yakni
metodologi ilmiah. Maksudnya adalah bahwa setiapa ilmu secara tegas menetapkan
jenis objek secara ketat apakah objek itu berupa hal konkret atau abstrak.
Pembicaraan tentang objek secara rinci telah dijelaskan dimuka. Lain dari pada
itu juga, ilmu menetapkan langkah-langkah ilmiah sesuai dengan objek yang
dihadapinya itu.
Kebenaran dalam ilmu adalah kebenaran yang sifatnya objektif, maksudnya
adalah bahwa kebenaran dari suatu teori atau lebih tinggi lagi aksioma atau
paradigma harus didukung oleh fakta-fakta yang berupa kenyataan dalam keadaan
objektivanya. Kebenaran yang benar-benar lepas dari keinginan subjek. Kenyataan
yang dimaksud adalah kenyataan yang berupa suatu yang dapat dipakai acuan atau
kenyataan yang pada mulanya merupakan objek dalam pembentukan pengetahuan
ilmiah itu.
Mengacu pada status ontologis objektif, maka pada dasarnya kebenaran
dalam ilmu dapat digolongkan dalam dua jenis teori yaitu teori kebenaran korespondensi
atau teori kebenaran koherensi. Ilmu-ilmu kealaman pada umumnya menuntut
kebenaran korespondensi, karena fakta-fakta objektif amat dituntut dalam
pembuktian terhadap setiap proposisi atau pernyataaan. Akan tetapi berbeda
dengan ilmu-ilmu kemanusiaan, ilmu-ilmu sosial, ilmu logika dan matematik.
Ilmu-ilmu tersebut menuntut konsisten dan koherensi diantara
proposisi-proposisi, sehingga pembenaran bagi ilmu-ilmu itu mengikuti teori
kebenaran koherensi.
Hal yang cukup penting dan perlu mendapatkan perhatian dalam hal
kebenaran ini yaitu bahwa kebenaran dalam ilmu harus selalu merupakan hasil
persetujuan atau konvensi dari para ilmuwan pada bidangnya. Para ilmuwan ini
pada umumnya mereka adalah para sarjana. Disebabkan oleh karena itulah maka
sifat kebenaran ilmu memiliki sifat universal sejauh kebenaran ilmu itu dapat
dipertahankan. Pernyataan tersebut karena kebenaran ilmu harus selalu merupakan
kebenaran yang disepakati dalam konvensi, maka keuniversalan sifat ilmu masih
dibatasi oleh penemu-penemu baru atau penemuan lain yang hasilnya menolak
penemuan terdahulu atau bertentangan sama sekali. Jika terdapat hal semacam ini
maka diperlukan suatu penelitian ulang yang mendalam. Dan, jika hasilnya memang
berbeda maka kebenaran yang lama harus diganti oleh penemuan baru atau
kedua-duanya berjalan bersama dengan kekuatannya atas kebenarannya
masing-masing.[19]
C. ANALISIS
Epistemologi merupakan salah satu cabang filsafat yang mempersoalkan
mengenai masalah hakikat pengetahuan. Dengan kata lain epistemologi merupakan
cara mendapatkan pengetahuan yang benar. Ilmu memiliki tiga makna yang satu
sama lain saling melengkapi dan merupakan satu kesatuan. Pertama, ilmu
sebagai proses berarti aktivitas penelitian; kedua, ilmu sebagai
prosedur berarti metode ilmiah; dan yang ketiga, ilmu sebagai produk
berarti pengetahuan yang sistematis. Hubungan diantara ketiganya adalah bahwa
ilmu harus diusahakan dengan aktivitas manusia, aktivitas itu harus
dilaksanakan dengan metode tertentu, dan akhirnya aktivitas metodis itu mendatangkan
pengetahuan yang sistematis.
Metode ilmiah merupakan
suatu prosedur yang mencakup berbagai tindakan pikiran, pola kerja, cara
teknis, dan tata langkah untuk memperoleh pengetahuan baru atau mengembangkan
pengetahuan yang telah ada. Karena ideal dari ilmu adalah untuk
memperoleh interelasi yang sistematis dari fakta-fakta, maka metode ilmiah
berkehendak untuk mencari jawaban tentang fakta-fakta dengan menggunakan
pendekatan kesangsian sistematis. Karena itu, penelitian dan metode ilmiah
mempunyai hubungan yang dekat sekali, jika tidak dikatakan sama. Dengan adanya
metode ilmiah, pertanyaan-pertanyaan dalam mencari dalil umum akan mudah
terjawab, seperti menjawab seberapa jauh, mengapa begitu, apakah benar, dan
sebagainya.
Adapun metode yang dimaksud adalah metode analisis dan
sintesis yang masing-masing dilengkapi dengan peralatan induktif dan deduktif.
Keduanya adalah metode dasar yang berlaku bagi ilmu pengetahuan apa pun. Dengan
demikian, melalui kedua metode ini keaneka ragaman ilmu pengetahuan dan yang
terpisah-pisah itu menjadi seragam dalam satu kesatuansifat hakikat kebenaran.
Apakah kebenaran yang koheren, yang koresponden, ataukah yang pragmatik. Ketiga
sifat kebenaran itu merupakan unsur yang sama-sama membentuk pengetahuan yang
benar mengenai objek apa saja.
Dari ketiga teori tentang kebenaran diatas tampak
bahwa teori korespondensi menggantungkan kebenaran apa adanya “hubungan” antara
subjek dan objek yang sama. Dan yang terakhir, teori pragmatis mengaitkan
kebenaran pada daya guna objek.
Kedua teori kebenaran pada teori koherensi dan korespondensi
kedua-duanya dipergunakan dalam cara berfikir ilmiah. Penalaran teoritis yang
berdasarkan logika deduktif jelas mempergunakan teori koherensi. Sedangkan
proses pembuktian secara empiris dalam bentuk pengumpulan faka-fakta yang
mendukung suatu pernyataan tertentu mempergunakan teori kebenaran
korespondensi.
Pada teori yang ketiga yakni teori pragmatis ini juga
dipergunakan oleh ilmuwan dalam menentukan kebenaran ilmiah dilihat dalam
perspektif waktu. Secara historis maka pernyataan ilmiah yang sekaramg dianggap
benar suatu waktu mungkin tidak lagi demikian. Di hadapkan dengan masalah
seperti ini maka ilmuwan bersifat pragmatis, selama pernyataan itu fungsional
dan mempunyai kegunaan maka pernyataan itu dianggap benar, sekiranya pernyataan
itu tidak lagi bersifat demikian, disebabkan perkembangan ilmu itu sendiri yang
menghasilkan pernyataan baru, maka pernyataan itu ditinggalkan. Ketiga teori
itu hanyalah merupakan teori utama dari sekian banyak teori yang pernah
dikemukakan untuk menjelaskan apa itu kebenaran.
Demikianlah, terhadap ilmu pengetahuan pada umumnya,
filsafat memberikan pedoman tentang penggunaan metode penyelidikan yang tepat
dan ukuran kebenaran yang tepat juga.
D. KESIMPULAN
Dari uraian pembahasan dalam makalah ini maka dapat
disimpulkan sebagai berikut bahwa ilmu (science) memilliki makna yang lebih
kompleks daripada pengetahhuan (knowledge). Ilmu memiliki tiga makna yang satu
sama lain saling melengkapi dan merupakan satu kesatuan. Pertama,
ilmu sebagai proses berarti aktivitas penelitian; kedua, ilmu
sebagai prosedur berarti metode ilmiah; dan yang terakhir, ilmu
sebagai produk berarti pengetahuan yang sistematis. Hubungan diantara ketiganya
adalah bahwa ilmu harus diusahakan dengan aktivitas manusia, aktivitas itu
harus dilaksanakan dengan metode tertentu, dan akhirnya aktivitas metodis itu
mendatangkan pengetahuan yang sistematis. Metode tertentu itu dinamakan metode
ilmiah. Metode ilmiah ini memili banyak langkah dari mulai penentuan masalah,
pengajuan hipotesis, dengan menggunakan logika deduktif atas dasar teori
kebenaran koherensi sampai pada pembuktian hipotesis yang menggunakan logika
deduktif atas dasar teori kebenaran teori koherensi sampai kepada pembuktian
hipotesis yang menggunakan logika induktif atas dasar teori kebenaran
korespondensi. Kesemuanya dilakukan dalam rangka mengamalkan logico-hypothetico-verifikasi.
Ada tiga teori yang mencoba menjelaskan tentang apa
itu kebenaran (kapan suatu proposisi disebut proposisi yang benar), yakni teori
korespondensi (proposisi itu benar kalau ada kesesuaian antara proposisi dan
fakta), teori koherensi (proposisi benar kalau koheren/berhubungan dengan
proposisi lain yang benar), dan teori pragmatis (proposisi benar kalau dilihat
dari konsekuensinya). Ketiga teori itu hanyalah merupakan teori utama dari
sekian banyak teori yang pernah dikemukakan untuk menjelaskan apa itu
kebenaran. Kebenaran ilmiah bersifat objektif dan universal.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Amsal
Bakhtiar, Filsafat Agama , Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997
Idzam
Fautanu, Filsafat Ilmu, Jakarta: Referensi, 2012
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer,
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2009
Suparlan
Suhartono, Dasar-dasar Filsafat, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007
Suparlan
Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2008
Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis,
Epistemologis, dan Aksiologis, Jakarta: Bumi Aksara, 2013
The
Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2007
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu,
Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2007
[2] Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis,
Epistemologis, dan Aksiologis, (Jakarta: Bumi Aksara,2013), h.102
[3] Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu,
(Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2007) h. 126-127
[9] Jujun s. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer,
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2009), h. 127-128
Tidak ada komentar:
Posting Komentar