Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Minggu, 13 Mei 2018

MAKALAH EPISTEMOLOGI ILMU: METODE ILMIAH DAN KEBENARAN ILMIAH


EPISTEMOLOGI ILMU: METODE ILMIAH DAN KEBENARAN ILMIAH

ABSTRAK
Proses  mengamati  untuk  memuaskan  rasa  keingin  tahuan manusia  itu dilakukan dengan cara-cara tertentu, metode tertentu, sesuai dengan proses  kegiatan  ilmiah. Metode  sebagai  cara  untuk  mengamati  sesuatu  proses kegiatan ilmiah. Metode sebagai cara untuk mengamati  sesuatu, proses  kegiatan ilmiah, harus dengan cara-cara tertentu pula,  yang dapat dipertanggung jawabkan sebagai  suatu  kegiatan  ilmiah. Metode  ilmiah  merupakan  prosedur  dalam mendapatkan  pengetahuan  yang  disebut  ilmu.  pengetahuan ilmiah yang dilahirkan dari metode ilmiah agar dapat menjadi kebenaran ilmiah. kebenaran ilmiah merupakan suatu pengetahuan yang jelas dan pasti kebenarannya menurut norma-norma keilmuan. Epistemologi  merupakan  filsafat ilmu  yang  bersifat  nalar  atau  pemikiran,  metode  ilmiah dan kebenaran ilmiah  merupakan  bagian  dari ruang lingkup filsafat ilmu.
Kata kunci: Ilmu Pengetahuan, Metode Ilmiah, Kebenaran Ilmiah

A.  PENDAHULUAN
Jika mempelajari filsafat ilmu, kita pasti menjumpai istilah “Epistemologi”. Yang merupakan salah satu cabang ilmu filsafat. Dan karena Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah). Epistemologi adalah bagian filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas dan metode, dan kesahihan pengetahuan. sehingga dalam kesempatan kali ini akan dibahas lebih lanjut mengenai sumber-sumber epistemologi. Manusia pada dasarnya adalah makhluk pencari kebenaran. Manusia tidak pernah puas dengan apa yang sudah ada, tetapi selalu mencari dan mencari kebenaran yang sesungguhnya dengan bertanya-tanya untuk mendapatkan jawaban. Namun setiap jawaban-jawaban tersebut juga selalu memuaskan manusia. Ia harus mengujinya dengan metode tertentu untuk mengukur apakah yang dimaksud disini bukanlah kebenaran  yang bersifat semu, tetapi kebenaran yang bersifat ilmiah yaitu kebenaran yang bisa diukur dengan cara-cara ilmiah.
Perkembangan pengetahuan yang semakin pesat sekarang ini, tidaklah menjadikan manusia berhenti untuk mencari kebenaran. Justru sebaliknya, semakin menggiatkan manusia untuk terus mencari dan mencari kebenaran yang berlandaskan teori-teori yang sudah ada sebelumnya untuk menguji sesuatu teori baru atau menggugurkan teori sebelumnya. Sehingga manusia sekarang lebih giat lagi melakukan penelitian-penelitian yang bersifat ilmiah untuk mencari solusi dari setiap permasalahan yang dihadapinya. Karena itu bersifat  statis, tidak kaku, artinya ia tidak akan berhenti pada satu titik, tapi akan terus berlangsung seiring dengan waktu manusia dalam memenuhi rasa keingintahuannya terhadap dunianya.
B.  PEMBAHASAN
1.    Pengertian Epistemologi
Secara etimologis, epistemologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu episteme dan logos. Episteme artinya pengetahuan, logos biasanya dipakai untuk menunjuk pengetahuan sistematik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa epistemologi adalah pengetahuan sistematik tentang pengetahuan. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh J.F. Ferier tahun 1854 yang membuat dua cabang filsafat, yakni epistemology dan  ontology (on = being, wujud, apa + logos = teori), ontology (teori tentang apa).[1]
Secara singkat dapat dikatakan bahwa epistemologi merupakan salah satu cabang filsafat yang mempersoalkan mengenai masalah hakikat pengetahuan. Dengan kata lain, epistemology merupakan disiplin filsafat yang secara khusus hendak memperoleh pengetahuan tentang pengetahuan. Dalam hal ini,berupa pengetahuan hasil serapan inderawi yang secara sadar diperoleh, baik yang telah lama maupun baru didapat. Disamping itu, sesuatu yang diperoleh secara pasif atau diluar kesadaran, seperti ilham, intuisi, wangsit atau wahyu (oleh nabi). Dengan kata lain, pengetahuan ilmiah diperoleh secara secara sadar, aktif, sistematis, jelas prosesnya secara prusedural, metodis dan teknis, tidak bersifat acak, kemudian diakhiri dengan verifikasi atau diuji kebenaran ilmiahnya.
Menurut Conny Semiawan dkk., (2005: 157) epistemologi adalah cabang filsafat yang menjelaskan tentang masalah-masalah filosofis sekitar teori pengetahuan. Epistemologi memfokuskan pada makna pengetahuan yang dihubungkan dengan konsep, sumber dan kriteria pengetahuan, jenis pengetahuan dan sebagainya.[2]
Dari berbagai pendapat ahli dapat disimpulkan dengan bahasa sederhana bahwa epistemologi merupakan cara mendapatkan pengetahuan yang benar.
2.    Pengertian Ilmu Pengetahuan
Kata ilmu merupakan terjemahan dari kata dalam bahasa Inggris: sciense. Kata sciense ini berasal dari kata Latin scientia yang berarti pengetahuan. Kata scientia ini berasal dari kata kerja scire yang artinya mempelajari, mengetahui. Pada mulanya cakupan ilmu secara etimologis menunjuk pada pengetahuan semata-mata, pengetahuan mengenai apa saja. Pertumbuhan selanjutnya pengertian ilmu ini mengalami perluasan arti, sehingga menunjuk pada segenap pengetahuan sistematik. Pemakaian yang luas dari kata ilmu ini diteruskan dalam bahasa jerman dengan istilah wissenschaft yang berlaku terhadap kumpulan pengetahuan apapun yang teratur, termasuk di dalamnya yang mencakup ilmu-ilmu kealaman maupun pengetahuan manusia, sementara dalam bahasa indonesia dikenal sebagai ilmu-ilmu budaya yang pada umumnya mencakup pengetahuan-pengetahuan tentang bahasa dan sastra, estetika, sejarah, filsafat, dan agama.[3]
Menurut Suparlan Suhartono dalam bukunya Dasar-dasar Filsafat Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang bertujuan mencapai kebenaran ilmiah tentang obyek tertentu, yang diperoleh melalui pendekatan atau cara pandang, metode, dan sistem tertentu.[4]
Ilmu pengetahuan ini diciptakan oleh manusia karena didorong oleh rasa ingin tahu yang tidak berkesudahan terhadap obyek, pikiran atau akal budi yang menyangsikan kesaksian indra, karena indra dianggap sering menipunya. Kesangsian akal budi ini lalu diikuti dengan pertanyaan-pertanyaanseperti: apakah sesuatu itu? Mengapa sesuatu itu ada? Bagaimana keberadaannya? Dan lain sebagainya. Masing-masing pertanyaan itu akan menghasilkan: ilmu pengetahuan filosofis, kausalistik, deskriptif-analitik dan normatif.
Dari segi maknanya, pengetahuan ilmu sepanjang yang terbaca dalam pustaka menunjuk pada sekurang-kurangnya tiga hal, yakni pengetahuan, aktivitas dan metode. Dengan demikian, dapatlah dipahami bilamana ada makna tamabahan dari ilmu sebagai aktivitas. Selanjutnya menurut Harold H. Titus, banyak orang telah mempergunakan istilah ilmu untuk menyebut suatu metoda guna memperoleh pengetahuan yang objektif dan dapat diperiksa kebenarannya.
Demikianlah makna ganda dari pengertian ilmu. Tetapi pengertian ilmu sebagai pengetahuan, aktivitas atau metode itu bila ditinjau lebih mendalam sesungguhnya tidak saling bertentangan. Bahkan sebaliknya, ketiga hal itu merupakan kesatuan logis yang mesti ada secara berrurutan. Ilmu harus diusahakan dengan aktivitas metodis itu mendatangkan pengetahuan yang sistematis.
Berikut ini adalah penjelasan The Liang Gie mengenai pertautan dari ketiga pengertian ilmu di atas:
Pengertian itu saling bertautan logis dan berpangkal pada stu kenyataaan yang sama bahwa bahwa ilmu hanya terdapat dalam masyarakat manusia. suatu penjelasan yang sistematis harus dimulai dengan segi manusia yang menjadi pelaku dari fenomenon yang disebut ilmu. Hanyalah manusia (dalam hal ini ilmuwan) yang memiliki kemampuan rasioanal, melakukan aktivitas kognitif (menyangkut pengetahuan), dan mendambakan berbagai tujuan yang berkaitan dengan ilmu. Jadi, tepatlah bilamana pengertian pertama dari ilmu dipahami dari seginya sebagai serangkaian aktivitas yang rasional, kognitif dan bertujuan. Sesuatu aktivitas hanya dapat mencapai tujuannya bilamana dilaksanakan dengan metode yang tepat. Denagan demikian, penjelasan mengenai aktivitas para ilmuwan yang merupakan penelitian akan beralih pada metode ilmiah yang dipergunakan. Ilmu lalu mempunyai pengertian yang kedua sebagai metode. Dari rangkaian kegiatan studi atau penyelidikan secara berulang-ulang dan harus dilaksanakan dengan tata cara yang metodis, akhirnya dapat dibuahkan hasil berupa keterangan baru atau tambahan mengenai sesuatu hal. Dengan demikian, pada pembahasan terakhir pengertian ilmu mempunyai arti sebagai pengetahuan.[5]

3.    Metode Ilmiah
Metode ilmiah merupakan suatu prosedur yang mencakup berbagai tindakan pikiran, pola kerja, cara teknis, dan tata langkah untuk memperoleh pengetahuan baru atau mengembangkan pengetahuan yang telah ada. Metode sacara etimologis berasal dari kata Yunani meta yang berarti sesudah dan hodos  yang berarti jalan. Jadi metode berarti langkah-langkah yang diambil, menurut urutan tertentu, untuk mencapai pengetahuan yang benar yaitu suatu tatacara, teknik, atau jalan yang telah dirancang dan dipakai dalam proses memperoleh pengetahuan jenis apapun, baik pengetahuan humanistik dan historis, ataupun pengetahuan filsafat dan ilmiah.[6]
Arturo Rosenblueth memberikan defenisi metode ilmiah sebagai “The procedure and criteria used by scientists in the constructionand development of their spesific discipline.” (prosedur dan ukuran yang dipakai oleh ilmuan-ilmuan dalam penyusunan dan pengembangan cabang pengetahuan khusus mereka).
Sebuah contoh lagi dari Harold Titus merumuskan metode ilmiah sebagai “The processes and steps by which the sciense obtain knowladge.” (proses-proses dan langkah-langkah yang dengan itu ilmu-ilmu memperoleh pengetahuan).[7]
Prosedur yang merupakan metode ilmiah sesungguhnya tidak hanya mencakup pengamatan dan percobaan seperti dikemukakan dalam salah satu defenisi diatas. Masih banyak macam prosedur lainnya yang dapat dianggap sebagai pola-pola metode ilmiah, yakni: analisis, gambaran, penggolongan, pengukuran, perbandingan, dan survai.
Buku kepustakaan, tidak ada yang menunjuk kesuatu pendapat mengenai jumlah, macam dan urutan langkah yang pasti sebagai penentu suatu prosedur yang disebut sebagai metode ilmiah. Langkah-langkah itu semakin bervariasi dalam ilmu pengetahuan sesuai bidang spesialisasi yang semakin banyak. Kadang-kadang orangg berpendapat bahwa macam metode ilmiah yang digunakan tergantung pada ilmu khusus tersebut, khususnya bersangkutan dengan objek formalnya.berdasarkan langkah-langkah yang digunakan dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan, sekurang-kurangnya ada lima langkah yang dapat dikatakan sebagai pola umum, yaitu:
a.    Penentuan masalah
b.    Perumusan dugaan sementara
c.    Pengumpulan data
d.   Perumusan kesimpulan, dan
e.    Verifikasi hasil.[8]
Menurut Jujun S. Suriasumanti alur berpikir yang tercakup dalam metode ilmiah dapat dijabarkan dalam beberapa langkah yang mencerminkan tahap-tahap dalam beberapa langkah yang mencerminkan tahap-tahap dalam kegiatan ilmiah. Kerangka berpikir ilmiah yang berintikan proses logico-hypothetico-verifikasi ini pada dasarnya terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut:
a.    Perumusan masalah yang merupakan pertanyaan mengenai obyek empiris yang jelas batas-batasnya serta dapat diindentifikasikan faktor-faktor yang terkait didalamnya
b.    Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis yang merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai faktor yang saling mengkait dan membentuk konstelasi permasalahan
c.    Perumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara atau dugaan terhadap pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka ber[pikir yang dikembangkan
d.   Pengujian hipotesis  yang merupakan pengumbpulan fakta-fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung hipotesis tersebut atau tidak
e.    Penarikan kesimpulan yang merupakan penilaian apakah sebuah hipotesis yang diajukan itu ditolak atau diterima.[9]
Konsep-konsep dalam metode ilmiah pada tata langkah tersebut diatas misalnya ialah model dan hipotesis. Model adalah sesuatu citra atau gambaran abstrak yang diperlakukan terhadap sekelompok gejala.umpamanya dalam penelitian terhadap pendidikan tinggi kini dapat dipakai model sebagai suatu sistem yang mempunya tiga komponen utama berupa input, konversi, dan output. Model juga dapat diambil dari benda fisik yang ada, misalnya model sebuah piramid yang dipergunakan dalam penelaahan atau penjelasan mengenai struktur suatu masyarakat.
Hipotesis adalah sesuatu keterangan bersifat sementara atau untuk keperluan pengujian yang diduga mungkin benar dan dipergunakan sebagai pangkal untuk penyelidikan lebih lanjut sampai diperoleh kepastian dengan pembuktian. Suatu hipotesis bukanlah syarat mutlak  yang harus dibuat dalam setiap penelitian. Sesuatu penelaahan ilmiah yang sudah jelas arahnya kadang-kadang tidak memerlukan hipotesis. Begitu juga dengan model pada suatu penelitian ilmiah.
Ada beberapa jenis metode ilmiah yang secara umum dapat diketahui sebagai “metode analisis” dan “metode sistesis”. Dlm praktik kerjanya, kedua mtode ini dibantu oleh sarana-sarana yg bersifat induktif dan deduktif.
Metode analisis dibantu oleh sarana induktif (selanjutnya disebut metode analis-induktif) adalah cara pandang penelitian ilmiah yang bertitik tolak dari pengetahuan-pengetahuan khusus untuk sampai kepada suatu kesimpulan berupa pengetahuan umum. Hal ini dilakukan dengan jalan memisah-misahkan pengertian-pengertian yang sepadan.
Banyak hal yang dapat dilakukan oleh metode analisis-induktif ini. Tetapi bukannya sama sekali terhindar dari kelemahan-kelemahan. Kemampuan manusia yang serba terbatas itu sendiri telah mengawalinya. Dengan keterbatasannya ini, orang bisa dengan mudah terjerumus kedalam suatu generalisasi, yaitu hanya dengan beberapa fakta lalu bisa menarik kesimpulan umum.
Selanjutnya metode sintesis dengan alat deduktifnya (metod analis-deduktif) melakukan penyelidikan dengan bertitik tolak dari pengetahuan umum agar sampai pada kesmpulan yang berupa suatu pengetahuan khusus, jadi metode ini sejak semula telah mempunyai suatu hipotesis yg berisi pngetahuan umum yg benar sebagai titik tolak atau ukuran untuk mendapatkan pengetahuan baru mengenai sesuatu hal atau barang yang sejenisnya.
Metode sintesis-deduktif juga mempunyai kelemahan. Memang dengan metode ini seolah-olah dapat diperoleh pengethuan yang mutlak benar, akan tetapi pengetahuan yang benar itu bisa saja semu belaka. Pengethuan yang terkandung di dalam kesimpulan yang dpaat ditarik sangat tergantung kepada tingkat kebenaran yang terkandung dalam premis-premis yang diberikan. Jika premis-premis itu hanya mengandung tingkat kebenaran yang bersifat hipotesis, maka kesimpulan yang dapat ditarik tidak lain kecuali bersifat hipotesis pula.[10]
Pengertian metode tidak sama dengan teknik. Metode ilmiah adalah berbagai prosedur yang mewujudkan pola-pola dan tata langkah dalam pelaksanaan sesuatu penelitian ilmiah. Pola dan tatalangkah prosedural itu dilaksanakan dengan cara-cara operasional dan teknis yang lebih terinci. Cara-caraitulah yang meujudkan teknik. Jadi, teknik adalah sesuatu cara operasional tehnis yang seringkali bercorak rutin, mekanis, atau spesialistis untuk memperoleh dan menangani data dalam penelitian. Misalnya suatu penelitian terhadap gejala-gejala kemasyarakatan dapat mempergunakan metode survai. Berbagai teknik yang dilaksanakan pada metode itu antara lain ialah teknik lapangan (field work), pemeriksaan setempat (investigation), daftar pertanyaan (questionnaire), dan wawancara (interview). Berbagai tekhnik penelitian itu biasanya memakai pula bantuan macam-macam peralatan seperti komputer, timbangan untuk ilmu kealaman, dan lain sebagainya.[11]
Corak-corak metodologis yang dikembangkan menyebabkan ilmu pengetahuan bersifat positivistik, deterministik, evolusionistik, sehingga segala sesuatu harus dijelaskan dengan metode kuantitatif dan eksperimental melalui observasi. Periode ini juga ditandai dengan semakin terkotak-kotaknya ilmu pengetahuan kedalam ilmu-ilmu khusus dan bidang-bidang spesialisasi. Deferensiasi ilmu pengetahuan ini dijelaskan oleh Lewis yang dikutip dari buku Filsafat Ilmu oleh Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM yaitu sebagai berikut.
Ilmu khusus telah muncul dengan cara yang ditunjukkan; ilmu-ilmu tersebut telah berkembang dalam matriks umum dari pemikiran reflektif dan menjadi diakui sebagai berbeda, bilamana suatu taraf kedewasaan tercapai pada umumnya, ilmu-ilmu fisikalah yang pertama-tama mengalami perkembangan ini, dan ilmu-ilmu kemanusiaan dan budaya, psikologi, sosiologi, ekonomi, dan pemerintahan adalah yang terakhir menjadi terpisah dari filsafat.[12]

Pada umumnya metodologi yang digunakan dalam ilmu-ilmu kealaman disebut siklus-empirik. Istilah metode siklus-empirik ini menunjukkan pada dua macam hal yang pokok, yaitu siklus yang mengandalkan adanya suatu kegiatan yang dilaksanakan berulang-ulang, dan empirik yang menunjukkan pada sifat bahan yang diselidiki, yaitu hal-hal yang dalam tingkatan pertama dapat diregristasi secara indrawi. Metode siklus empirik ini mencakup lima tahapan yang disebut observasi, induksi, deduksi, eksperimen, dan evaluasi.
Tahap pertama adalah observasi, maksudnya adalah bahwa tahap ini berbuat lebih dari sekedar melakukan pengamatan biasa. Kenyataan empirik yang terjadi maka objeknya diselidiki, dikumpulkan, diidentifikasi, didaftar, dan diklasifikasikan secara ilmiah.
Tahap kedua adalah induksi.pernyataan-pernyataan hasil observasi disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum. Induksi dipermudah dengan digunakannya alat-alat bantu matematik dalam merumuskan serta mengumpulkan data-data empirik. Pengukuran secara kuantitatif terhadap besaran-besaran tertentu yang saling berhubungan, maka hubungan tersebut dapat digambarkan dalam simbol matematika. Apabila suatu kejadian terjadi secara berulang-ulang, maka pernyataan umum tersebut memperoleh kedudukan sebagai hukum.
Langkah ketiga adalah dilaksanakannya deduksi-deduksi logis, yaitu data-data empirik diolah lebih lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang runtut. Penyusunan sistem semacam ini juga tergantung dipergunakannya pengertian-pengertian operasional tertentu, yaitu bahasa buatan dalam rangka teori ilmiah. Berdasarkan sistem semacam ini dapatlah dijabarkan pernyataan-pernyataan khusus tertentu. Langkah keempat observasi eksperimental, yaitu pernyataan yang telah dijabarkan secara deduktif. Diuji dengan melakukan melakukan verifikasi atau klarifikasi secara empirik. Verifikasi atau klarifikasi secara empirik dimaksudkan untuk mengukuhkan pernyataan-pernyataan rasional hasil deduksi sebagai teori. Verifikasi merupakan tahapan untuk mengukuhkan atau menggugurkan pernyataan-pernyataan rasional hasil dari deduksi-deduksi logis.
Ilmu-ilmu sosial dan humanistik pada umumnya menggunakan metode linier dan analisisnya dimaksudkan untuk menemukan arti, nilai dan tujuan. Metode linier memiliki tiga tahap, yaitu persepsi, konsepsi, dan prediksi. Persepsi adalah penangkapan data melalui indra. Konsepsi adalah pengolahan data dan penyusunan dalam suatu sistem. Dan prediksi adalah penyimpulan dan sekaligus peramalan.[13]
4.    Kebenaran Ilmiah
a.    Arti Kebenaran
Yang dimaksud kebenaran ilmiah adalah suatu pengetahuan yang jelas dan pasti kebenarannya menurut norma-norma keilmuan. Kebenaran ilmiah cenderung bersifat objektif. Artinya, terkandung didalamnya sejumlah pengetahuan menurut sudut pandang yang berbeda-beda, tetapi saling bersesuaian.
Dalam epistemologi, masalah kebenaran dibahas secara khusus. Adanya kebenaran itu selalu dihubungkan dengan pengetahuan manusia (subjek yang mengetahui) mengenai objek. Sedangkan pengetahuan berasal mula dari banyak sumber. Sumber-sumber itu kemudian sekaligus berfungsi sebagai ukuran kebenaran.[14]
Kata  “kebenaran” dapat digunakan sebagai suatu kata benda yang konkret maupun abstrak. Jika subjek hendak menuturkan kebenaran artinya adalah proposisi yang benar. Proposisi maksudnya adalah makna yang dikandung dalam suatu pernyataan atau statement. Apabila subjek menyatakan kebenaran bahwa proposisi yang diuji itu pastimemiliki kualitas, sifat atau karakteristik, hubungan dan nilai.
Ada perbagai macam kategori sebagaimana tersebut diatas, maka tidaklah berlebihan jika pada saatnya setiap subjek yang memiliki pengetahuan akan memiliki persepsi dan pengetian yang amat berbeda satu dengan yang lainnya.
Kebenaran pertama, berkaitan dengan kualitas pengetahuan. Maksudnya apakah pengetahuan itu berupa:
1)    Pengetahuan biasa, pengetahuan seperti ini memiliki kebenaran yang sifatnya subjektif, artinya amat terikat pada subjek yang mengenal. Pengetahun ini memiliki sifat selalu benar, sejauh sarana untuk memperoleh pengetahuan bersifat normal atau tidak ada penyimpangan.
2)    Pengetahuan ilmiah, yaitu pengetahuan yang telah menetapkan objek yang khas atau spesifik dengan menerapkan atau hampiran metodologis yang khas pula, artinya metodologi yang telah mendapatkan kesepakatan diantara para ahli yang sejenis. Kebenara yang terkandung dalam pengetahuan ilmiah bersifat relatif., maksudnya kandungan kebenaran dari jenis pengetahuan ilmiah selalu mendapatkan revisi yaitu selalu diperkaya oleh hasil penemuan yang paling mutakhir. Dengan demikian, kebenara dalam pengetahuan ilmiah selalu mengalami pembaharuan sesuai dengan hasil penelitian yang paling akhir dan mendapatkan persetujuan para ilmuwan sejenis
3)    Pengetahuan filsafati, yaitu jenis pengetahuan yang pendekatannya melalui metodologi pemikiran filsafati, yang sifatnya mendasar dan menyeluruh dengan model pemikiran yang analitis, kritis, dan spekulatif.  Sifat kebenara yang terkandung dalam pengetahuan filsafati adalah absolut-intersubjektif. Maksudnya ialah nilai kebenaran yangterkandung jenis pengetahuan filsafat selalu merupakan pendapat yang selalu melekat pada pandangan filsafat seorang seorang pemikir filsafat itu serta selalu mendapat pembenaran dari filsuf kemudian yang menggunakan metodologi pemikiran yang sama pula.
4)    Pengetahuan agama, pengetahuan agama memiliki sifat dogmatis, artinya pernyataan dalam suatu agama selalu dihampiri oleh keyakinan yang telah tertentu sehingga pernyataan-pernyataan dalam ayat-ayat kitab suci agama memiliki nilai kebenaran sesuai dengan keyakinan yang di gunakan untuk memahaminya itu.
 Kebenaran kedua, dikaitkan dengan sifat atau karakteristik dari bagaimana cara atau dengan alat apakah seseorang membangun pengetahuan itu. Apakah ia membangunnya dengan pengindraan, akal pikir atau ratio, intuisi, atau keyakinan. Sehingga implikasi nilai kebenarannya juga sesuai dengan jenis pengetahuan itu.
Kebenaran ketiga, nilai kebenaran pengetahuan yang dikaitkan atas ketergantungan terjadinya pengetahuan itu. Artinya bagaimana relasi atau hubungan antara subjek atau objek, manakah yang dominan untuk membangun pengetahuan itu,, subjekkah atau objek.[15]
b.   Teori-teori Kebenaran
Dalam  perkembangan pemikiran filsafat perbincangan tentang kebenaran sudah dimulai sejak Plato yang kemudian diteruskan oleh Aristoteles. Teori kebenaran selalu paralel dengan teori pengetahuan yang diangunnya.teori-teori kebenaran yang telah terlembaga itu antara lain adalah:
1)   Teori kebenaran korespondensi
Teori korespondensi adalah teori kebenaran yang paling awal dan paling tua yang berangkat dari teori pengetahuan Aristoteles yang menyatakan segala sesuatu yang kita ketahui adalah sesuatu yang dapat dikembalikan pada kenyataan yang dikenal oleh subjek. Atau sebagaimana dikemukakan oleh Randal dan Buchler bahwa “ A belief is called “true” if it “agrees”with a fact”.
Teori koresponden menggunakan logika induktif, artinya metode yang digunakan dalam berfikir dengan bertolak dari hal-hal khusus ke umum. Dengan kata lain kesimpulan akhir ditarik karena ada fakta-fakta mendukung yang telah diteliti dan dianalisa sebelumnya. Contoh, misalnya: jika seorang mengatakan bahwa “Ibu kota Republik Indonesia adalah Jakarta” maka pernyataan itu adalah benar sebab pernyataan itu dengan objeknya yang bersifat factual yakni Jakarta yang memang menjadi Ibu Kota Republik Indonesia. Sekiranya orang lain mengatakan bahwa” ibu kota Republik Indonesia adalah Bandung” maka pernyataan itu tidak benar sebab tidak sesuai dengan fakta.
2)    Teori kebenaran koherensi
Teori kebenran lain yang dikenal tradisional juga adalah teori kebenaran koherensi. Teori koherensi dibangun oleh para pemikir rasionalis seperti Leibniz, Spinoza, Hegel, dan Bradley.
Teori koherensi adalah suatu proposisi itu atau makna pernyataan dari suatu pengetahuan bernilai benar bila proposisi mempunyai hubungan dengan ide-ide dari proposisi yang terdahalu yang bernilai benar.
Teori koherensi menggunakan logika deduktif, artinya metode yang digunakan dalam berfikir dengan bertolak dari hal-hal umum ke khusus. Contoh, misalnya: bila kita menganggap bahwa “semua manusia pasti akan mati” adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “ si fulan adalah seorang manusia dan si fulan pasti akan mati” adalah benar pula. Sebab pernyataan kedua adalah koheren atau konsisten dengan pernyataan yang pertama.[16]
3)    Teori kebenaran Pragmatis
Paham pragmatic sesungguhnya merupakan pandangan filsafat kontemporer karena paham ini baru berkembang pada akhir abad XIX dan awal abad XX oleh tiga filsuf Amerika yaitu C.S Pierce, William James, dan Jhon Dewey.
Teori kebenaran pragmatis menurut Tim Dosen Filsafat Ilmu Universitas Gajah Mada adalah sebagai berikut:
Jadi menurut pandangan teori ini bahwa suatu proposisi bernilai benar bila proposisi itu mempunyai konsekuensi-konsekuensi praktis seperti yang terdapat secara inheren dalam pernyataan itu sendiri. Karena setiap pernyataan selalu terikat pada hal-hal yang bersifat praktis, maka tiada kebenaran yang besifat mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari akal yang mengenal, sebab pengalaman itu senantiasa berubah. Hal itu karena dalam prakteknya apa yang dianggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Atau dengan kata lain bahwa suatu pengertian itu tak pernah benar melainkan hanya dapat menjadi benar kalau saja dapat dimanfaatkan secara praktis.[17]

Bagi seorang pragmatis maka kebenaran suatu pernyataan diukur dengan criteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya, suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia. contoh yang sederhana dari teori kebenaran pragmatis misalnya: Yadi mau bekerja di sebuah perusahaan minyak karena diberi gaji yang tinggi. Yadi bersifat pragmatis, artinya mau bekerja di perusahaan tersebut karrena ada manfaatnya bagi dirinya, yaitu mendapatkan gaji yang tinggi.
4)    Teori kebenaran sintaksis
Para penganut teori kebenaran sintaksis dipakai oleh suatu pernyataan atau tata bahasa yang melekatnya. Dengan demikian suatu pernyataan memiliki nilai benar apabila pengetahuan itu mengikuti aturan-aturan sintaksis yang baku, atau dengan kata lain apabila proposisi itu tidak mengikuti syarat atau keluar dari hal yang diisyaratkan maka proposisi itu mempunyai arti. Misalnya suatu kalimat standar harus ada subyek dan predikat. Jika kalimat tidak ada subyeknya maka kalimat itu dinyatakan tidak baku atau bukan kalimat, seperti semua korupsi ini bukan kalimat standar karena tidak ada subyeknya.
5)   Teori kebenaran semantis
Menurut teori kebenaran semantik suatu proposisi memiliki nilai benar ditinjau dari segi arti atau makna, teori ini mempunyai tugas untuk kesahan dari proposisi dalam referensinya. Teori kebenaran semantik dianut oleh paham filsafat analitika bahasa, misalnya pengetahuan tersebut dinyatakan benar kalau ada referensi yang jelas, jika tidak mempunyai referensi jelas maka pengetahuan tersebut dinyatakan salah.
6)    Teori kebenaran logic
Pada dasarnya teori kebenara ini hanya merupakan kekacauan bahasa saja dan hal ini mengakibatkan suatu pemborosan. Karena pada dasarnya apa yang hendak dibuktikan kebenarannya memiliki derajat logis yang sama, masing-masing saling melengkapinya. Dengan demikian sesungguhnyan setiap proposisi mempunyai isi yang sama memberikan informasi yang sama dan semua orang sepakat. Maka apabila kita membuktikannya lagi hal yang demikian itu hanya merupakan bentuk-bentuk logis yang berlebihan. Misalnya suatu lingkaran adalah bulat, ini telah memberikan kejelasan dalam pernyataan itu sendiri, tidak perlu diterangkan lagi karena pada dasarnya lingkaran adalah suatu garis yang sama jaraknya dari titik yang sama, sehingga berupa garis yang bulat.
7)   Teori kebenaran spiritual
Dalam filsafat islam pernyataan bahwa Tuhan sebagai kebenaran mutlak telah dimulai sejak filsuf pertama muslim yaitu al-kindi. Dia menyatakan bahwa Tuhan sebagai al-haqqul awal. Kebenara pertama menjadi sumber semua kebenaran relatif. Oleh karena itu, kebenaran teori filsafat ditentukan oleh logis tidaknya teori itu. Ukuran tidaknya tersebut akan terlihat pada argumen yang menghasilkan kesimpulan teori, dan fungsi argumen dalam filsafat sangatlah penting, sama pentingnya denngan fungsi data pada pengetahuan sains.[18]
8)   Teori kebenaran non deskripsi
Teori ini dikembangkan oleh penganut filsafat fungsionalisme, yang menyatakan bahwa suatu statemen atau pernyataan mempunyai nilai benar yang amat tergantung peran dan fungsi dari pernyataan itu.
c.       Sifat kebenaran Ilmiah
Kebenaran ilmiah diperoleh melalui prosedur baku dibidang keilmuan yakni metodologi ilmiah. Maksudnya adalah bahwa setiapa ilmu secara tegas menetapkan jenis objek secara ketat apakah objek itu berupa hal konkret atau abstrak. Pembicaraan tentang objek secara rinci telah dijelaskan dimuka. Lain dari pada itu juga, ilmu menetapkan langkah-langkah ilmiah sesuai dengan objek yang dihadapinya itu.
Kebenaran dalam ilmu adalah kebenaran yang sifatnya objektif, maksudnya adalah bahwa kebenaran dari suatu teori atau lebih tinggi lagi aksioma atau paradigma harus didukung oleh fakta-fakta yang berupa kenyataan dalam keadaan objektivanya. Kebenaran yang benar-benar lepas dari keinginan subjek. Kenyataan yang dimaksud adalah kenyataan yang berupa suatu yang dapat dipakai acuan atau kenyataan yang pada mulanya merupakan objek dalam pembentukan pengetahuan ilmiah itu.
Mengacu pada status ontologis objektif, maka pada dasarnya kebenaran dalam ilmu dapat digolongkan dalam dua jenis teori yaitu teori kebenaran korespondensi atau teori kebenaran koherensi. Ilmu-ilmu kealaman pada umumnya menuntut kebenaran korespondensi, karena fakta-fakta objektif amat dituntut dalam pembuktian terhadap setiap proposisi atau pernyataaan. Akan tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu kemanusiaan, ilmu-ilmu sosial, ilmu logika dan matematik. Ilmu-ilmu tersebut menuntut konsisten dan koherensi diantara proposisi-proposisi, sehingga pembenaran bagi ilmu-ilmu itu mengikuti teori kebenaran koherensi.
Hal yang cukup penting dan perlu mendapatkan perhatian dalam hal kebenaran ini yaitu bahwa kebenaran dalam ilmu harus selalu merupakan hasil persetujuan atau konvensi dari para ilmuwan pada bidangnya. Para ilmuwan ini pada umumnya mereka adalah para sarjana. Disebabkan oleh karena itulah maka sifat kebenaran ilmu memiliki sifat universal sejauh kebenaran ilmu itu dapat dipertahankan. Pernyataan tersebut karena kebenaran ilmu harus selalu merupakan kebenaran yang disepakati dalam konvensi, maka keuniversalan sifat ilmu masih dibatasi oleh penemu-penemu baru atau penemuan lain yang hasilnya menolak penemuan terdahulu atau bertentangan sama sekali. Jika terdapat hal semacam ini maka diperlukan suatu penelitian ulang yang mendalam. Dan, jika hasilnya memang berbeda maka kebenaran yang lama harus diganti oleh penemuan baru atau kedua-duanya berjalan bersama dengan kekuatannya atas kebenarannya masing-masing.[19]
C.  ANALISIS
Epistemologi merupakan salah satu cabang filsafat yang mempersoalkan mengenai masalah hakikat pengetahuan. Dengan kata lain epistemologi merupakan cara mendapatkan pengetahuan yang benar. Ilmu memiliki tiga makna yang satu sama lain saling melengkapi dan merupakan satu kesatuan. Pertama, ilmu sebagai proses berarti aktivitas penelitian; kedua, ilmu sebagai prosedur berarti metode ilmiah; dan yang ketiga, ilmu sebagai produk berarti pengetahuan yang sistematis. Hubungan diantara ketiganya adalah bahwa ilmu harus diusahakan dengan aktivitas manusia, aktivitas itu harus dilaksanakan dengan metode tertentu, dan akhirnya aktivitas metodis itu mendatangkan pengetahuan yang sistematis.
Metode ilmiah merupakan suatu prosedur yang mencakup berbagai tindakan pikiran, pola kerja, cara teknis, dan tata langkah untuk memperoleh pengetahuan baru atau mengembangkan pengetahuan yang telah ada. Karena ideal dari ilmu adalah untuk memperoleh interelasi yang sistematis dari fakta-fakta, maka metode ilmiah berkehendak untuk mencari jawaban tentang fakta-fakta dengan menggunakan pendekatan kesangsian sistematis. Karena itu, penelitian dan metode ilmiah mempunyai hubungan yang dekat sekali, jika tidak dikatakan sama. Dengan adanya metode ilmiah, pertanyaan-pertanyaan dalam mencari dalil umum akan mudah terjawab, seperti menjawab seberapa jauh, mengapa begitu, apakah benar, dan sebagainya.
Adapun metode yang dimaksud adalah metode analisis dan sintesis yang masing-masing dilengkapi dengan peralatan induktif dan deduktif. Keduanya adalah metode dasar yang berlaku bagi ilmu pengetahuan apa pun. Dengan demikian, melalui kedua metode ini keaneka ragaman ilmu pengetahuan dan yang terpisah-pisah itu menjadi seragam dalam satu kesatuansifat hakikat kebenaran. Apakah kebenaran yang koheren, yang koresponden, ataukah yang pragmatik. Ketiga sifat kebenaran itu merupakan unsur yang sama-sama membentuk pengetahuan yang benar mengenai objek apa saja.
Dari ketiga teori tentang kebenaran diatas tampak bahwa teori korespondensi menggantungkan kebenaran apa adanya “hubungan” antara subjek dan objek yang sama. Dan yang terakhir, teori pragmatis mengaitkan kebenaran pada daya guna objek.
Kedua teori kebenaran pada teori koherensi dan korespondensi kedua-duanya dipergunakan dalam cara berfikir ilmiah. Penalaran teoritis yang berdasarkan logika deduktif jelas mempergunakan teori koherensi. Sedangkan proses pembuktian secara empiris dalam bentuk pengumpulan faka-fakta yang mendukung suatu pernyataan tertentu mempergunakan teori kebenaran korespondensi.
Pada teori yang ketiga yakni teori pragmatis ini juga dipergunakan oleh ilmuwan dalam menentukan kebenaran ilmiah dilihat dalam perspektif waktu. Secara historis maka pernyataan ilmiah yang sekaramg dianggap benar suatu waktu mungkin tidak lagi demikian. Di hadapkan dengan masalah seperti ini maka ilmuwan bersifat pragmatis, selama pernyataan itu fungsional dan mempunyai kegunaan maka pernyataan itu dianggap benar, sekiranya pernyataan itu tidak lagi bersifat demikian, disebabkan perkembangan ilmu itu sendiri yang menghasilkan pernyataan baru, maka pernyataan itu ditinggalkan. Ketiga teori itu hanyalah merupakan teori utama dari sekian banyak teori yang pernah dikemukakan untuk menjelaskan apa itu kebenaran.
Demikianlah, terhadap ilmu pengetahuan pada umumnya, filsafat memberikan pedoman tentang penggunaan metode penyelidikan yang tepat dan ukuran kebenaran yang tepat juga.
D.  KESIMPULAN
Dari uraian pembahasan dalam makalah ini maka dapat disimpulkan sebagai berikut bahwa ilmu (science) memilliki makna yang lebih kompleks daripada pengetahhuan (knowledge). Ilmu memiliki tiga makna yang satu sama lain saling melengkapi dan merupakan satu kesatuan. Pertama, ilmu sebagai proses berarti aktivitas penelitian; kedua, ilmu sebagai prosedur berarti metode ilmiah; dan yang terakhir, ilmu sebagai produk berarti pengetahuan yang sistematis. Hubungan diantara ketiganya adalah bahwa ilmu harus diusahakan dengan aktivitas manusia, aktivitas itu harus dilaksanakan dengan metode tertentu, dan akhirnya aktivitas metodis itu mendatangkan pengetahuan yang sistematis. Metode tertentu itu dinamakan metode ilmiah. Metode ilmiah ini memili banyak langkah dari mulai penentuan masalah, pengajuan hipotesis, dengan menggunakan logika deduktif atas dasar teori kebenaran koherensi sampai pada pembuktian hipotesis yang menggunakan logika deduktif atas dasar teori kebenaran teori koherensi sampai kepada pembuktian hipotesis yang menggunakan logika induktif atas dasar teori kebenaran korespondensi. Kesemuanya dilakukan dalam rangka mengamalkan logico-hypothetico-verifikasi.
Ada tiga teori yang mencoba menjelaskan tentang apa itu kebenaran (kapan suatu proposisi disebut proposisi yang benar), yakni teori korespondensi (proposisi itu benar kalau ada kesesuaian antara proposisi dan fakta), teori koherensi (proposisi benar kalau koheren/berhubungan dengan proposisi lain yang benar), dan teori pragmatis (proposisi benar kalau dilihat dari konsekuensinya). Ketiga teori itu hanyalah merupakan teori utama dari sekian banyak teori yang pernah dikemukakan untuk menjelaskan apa itu kebenaran. Kebenaran ilmiah bersifat objektif dan universal.


DAFTAR KEPUSTAKAAN

Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama , Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997
Idzam Fautanu, Filsafat Ilmu, Jakarta: Referensi, 2012
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2009
Suparlan Suhartono, Dasar-dasar Filsafat, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007
Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2008
Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis, Jakarta: Bumi Aksara, 2013
The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2007
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2007




[1] Idzam Fautanu, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Referensi, 2012), h. 162-163
[2] Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis, (Jakarta: Bumi Aksara,2013), h.102
[3] Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2007)  h. 126-127
[4] Suparlan Suhartono, Dasar-dasar Filsafat, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), h. 70
[5] The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2007), h. 89-90
[6] Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu,`.`.`. h. 128
[7] The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu,. . . h. 111
[8] Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu,. . . h. 128
[9] Jujun s. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2009), h. 127-128
[10] Suparlan Suhartono, Dasar-dasar Filsafat, . . . h. 73-75
[11] The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu,. . . h. 117
[12] Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu,. . .  h. 130
[13] Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu,. . .  h. 131-134
[14] Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2008), h. 81-82
[15] Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu,. . .  h. 135-138
[16] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama , (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 32
[17] Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu,. . .  h. 141
[18] Idzam Fautanu, Filsafat Ilmu , . . . h. 101-102
[19] Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu , . . . h. 144-145

Tidak ada komentar:

Posting Komentar