EPISTEMOLOGI ILMU
MAKALAH METODE
ILMIAH DAN KEBENARAN ILMIAH
ABSTRAKS
Metode
ilmiah merupakan langkah-langkah yang diambil menurut urutan tertentu untuk
mencapai pengetahuan yang benar, yaitu suatu tatacara, teknik atau jalan yang
telah dirancang dan dipakai dalam proses memperoleh pengetahuan.
Manusia
pada dasarnya adalah makhluk pencari kebenaran. Manusia tidak pernah puas
dengan apa yang sudah ada, tetapi selalu mencari dan mencari kebenaran yang
sesungguhnya dengan bertanya-tanya untuk mendapatkan jawaban. Manusia tidak
akan pernah bisa puas dengan jawaban yang belum dirasa pas, Ia harus mengujinya
dengan metode tertentu untuk mengukur apakah yang dimaksud disini bukanlah
kebenaran yang bersifat semu, tetapi kebenaran yang bersifat ilmiah yaitu
kebenaran yang bisa diukur dengan cara-cara ilmiah
Kebenaran
dalam ilmu adalah kebenaran yang sifatnya objektif. Maksudnya ialah bahwa
kebenaran dari suatu teori harus didukung oleh fakta-fakta yang berupa
kenyataan yang dapat dipakai acuan atau kenyataan yang pada mulanya merupakan
objek dalam pembentukan pengetahuan ilmiah itu.
Jadi,
setiap proses mengetahui akan memunculkan suatu bentuk kebenaran sebagai
kandungan isi pengetahuan itu. Akan tetapi setiap kebenaran pada saat
pembuktiannya harus kembali pada status ontology objek, sikap epistemologi dan
aksiologi. Dengan demikian, akan muncullah teori kebenaran yang banyak. Namun
untuk membuktikan kebenaran ilmiah suatu pernyataan harus sesuai dengan sifat
dasar metodologis yang digunakan dan amat tergantung pada konvensi. Itulah
sebabnya peran masyarakat ilmiah juga menentukan karakteristik dari kebenaran
ilmiah itu.
KATA
KUNCI: Metode Ilmiah, Kebenaran Ilmiah
A.
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Sebagai
salah satu landasan dari suatu keilmuan yang terdapat dalam keilmuan filososofis
(filsafat), Epistemelogi adalah pengetahuan yang berusaha menjawab
pertanyaan-pertanyaan seperti apakah pengetahuan, bagaimana cara mendapatkan
pengetahuan, seperti apa dan bagaimana menagkapnya.
Suatu
keilmuan pasti mempunyai suatu inti dari yang diketahui dan juga mempunyai cara
untuk untuk bisa mencapai suatu dari inti itu. Dan karena Filsafat ilmu
merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik
mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah). Epistemologi adalah bagian filsafat
yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula
pengetahuan, batas-batas dan metode, dan kesahihan pengetahuan. sehingga dalam
kesempatan kali ini akan dibahas lebih lanjut mengenai epistemologi. Manusia
pada dasarnya adalah makhluk pencari kebenaran. Manusia tidak pernah puas
dengan apa yang sudah ada, tetapi selalu mencari dan mencari kebenaran yang
sesungguhnya dengan bertanya-tanya untuk mendapatkan jawaban. Manusia tidak
akan pernah bisa puas dengan jawaban yang belum dirasa pas, Ia harus mengujinya
dengan metode tertentu untuk mengukur apakah yang dimaksud disini bukanlah
kebenaran yang bersifat semu, tetapi kebenaran yang bersifat ilmiah yaitu
kebenaran yang bisa diukur dengan cara-cara ilmiah.
Perkembangan
pengetahuan yang semakin pesat sekarang ini, tidaklah menjadikan manusia berhenti untuk
mencari kebenaran. Justru sebaliknya, semakin menggiatkan manusia untuk terus
mencari dan mencari kebenaran yang berlandaskan teori-teori yang sudah ada
sebelumnya untuk menguji sesuatu teori baru atau menggugurkan teori sebelumnya.
Sehingga manusia sekarang lebih giat lagi melakukan penelitian-penelitian yang
bersifat ilmiah untuk mencari solusi dari setiap permasalahan yang dihadapinya.
Dalam dunia pemikiran, epistemologi
menempati posisi penting, sebab menentukan corak pemikiran dan pernyataan kebenaran yang di
hasilkannya. Bangunan dasar epistemologi
berbeda dari satu peradaban dengan yang lain. Perbedaan titik tekan
dalam epistemologi memang sangat besar
pengaruhnya dalam konstruksi bangunan pemikiran manusia secara utuh
Kerja
memecahkan masalah akan sangat berbeda antara seorang ilmuan dengan seorang
awam. Seorang ilmuan selalu menempatkan logika serta menghindarkan diri dari
pertimbangan subjektif. Sebaliknya, bagi orang awam. Kerja memecahkan masalah
dilandasi oleh pandangan perorangan ataupun dengan apa yang dianggap masukan
orang banyak.
Dalam
meneliti seorang ilmuan dapat saja mempunyai teknik, pendekatan, ataupun cara
yang berbeda dengan ilmuan lainnya. Namun kedua ilmuan tersebut tetap mempunyai
falsafah yang sama dalam memecahkan masalah, yaitu metode ilmuan dalam meneliti
yang disebut dengan metode ilmiah.
Dengan
demikian, maka dalam rumusan selanjutnya akan membahas mengenai epistemologi
ilmu yang berfokus pada metode ilmiah dan kebenaran ilmiah. Hal ini dilakukan
agar kita dapat mengetahui dan memahami mengenai metode ilmiah dan kebenaran
ilmiah
B.
PEMBAHASAN
1.
Epistemologi Ilmu
Secara
etimologis, epistemologi berasal dari bahasa Yunani, Yaitu Episteme dan logos.
Episteme artinya pengetahuan; logos biasanya dipakai untuk menunjuk pengetahuan
sistematik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa epistemologi adalah pengetahuan
sistematik tentang pengetahuan.[1]
Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh J.F. Ferier tahun 1854 yang membuat
dua cabang filsafat, yakni epistemology dan Ontology (on = being, wujud, apa + logos
=
teori), ontology (teori tentang apa). Secara sederhana
dapat dikatakan bahwa filsafat ilmu adalah dasar yang menjiwai dinamika proses
kegiatan memperoleh pengetahuan secara ilmiah. Ini berarti bahwa terdapat
pengetahuan yang ilmiah dan tidak ilmiah. Adapun yang tergolong ilmiah ialah
yang disebut ilmu pengetahuan atau singkatnya ilmu saja, yaitu akumulasi
pengetahuan yang telah disistematisasi dan diorganisasi sedemikian rupa,
sehingga memenuhi
asas pengaturan secara prosedural, metologis, teknis, dan normatif akademis.
Dengan demikian teruji kebenaran ilmiahnya, sehingga memenuhi kesahihan atau
validitas ilmu, atau secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan.[2]
Secara singkat dapat dikatakan bahwa epistemologi merupakan
salah satu cabang filsafat yang mempersoalkan mengenai masalah
hakikat pengetahuan. Dengan kata lain, epistemology
merupakan disiplin
filsafat yang secara khusus hendak memperoleh pengetahuan tentang pengetahuan.
Sedangkan pengetahuan yang tidak ilmiah adalah masih tergolong prailmiah. Dalam
hal ini,
berupa pengetahuan hasil serapan inderawi yang secara sadar diperoleh, baik yang telah lama maupun baru didapat. Di samping itu, sesuatu yang diperoleh secara pasif atau
di luar kesadaran, seperti ilham, intuisi, wangsit, atau wahyu (oleh nabi). Dengan
kata lain, pengetahuan ilmiah diperoleh secara sadar, aktif, sistematis, jelas
prosesnya secara prosedural, metodis dan teknis, tidak bersifat acak, kemudian
diakhiri dengan verifikasi atau diuji kebenaran (validitas) ilmiahnya.[3]
Filsafat Bacon mempunyai peran penting
dalam metode induksi dan sistematisasi prosedur ilmiah menurut Russel, dasar
filsafatnya sepenuhnya bersifat praktis, yaitu untuk memberi kekuasaan pada
manusia atas alam melalui penyelidikan ilmiah. Bacon mengritik filsafat Yunani
yang menurutnya lebih menekankan perenungan dan akibatnya tidak mempunyai
praktis bagi kehidupan manusia. la menyatakan, "The great mistake of Greek philosophers was that they spent so much time in
theory, so little in observation ".[4]
Karena itu, usaha yang ia lakukan pertama kali adalah menegaskan tujuan
pengetahuan. Menurutnya, pengetahuan tidak akan mengalami perkembangan dan tidak akan bermakna kecuali ia mempunyai kekuatan yang dapat membantu manusia meraih kehidupan yang
lebih baik, "Knowledge is power, it is
not opinion to be held, but a work to be done, 1 am laboring to lay the
fondation not of any sector, of doctrine, but of utility and power".[5]
Sikap khas Bacon mengenai ciri dan tugas
filsafat tampak paling mencolok dalam Novum Organum. Pengetahuan dan kuasa manusia
didekatkannya satu sama lain, menurutnya, alam tidak
dapat dikuasai kecuali dengan jalan menaatinya, agar dapat taat pada alam,
manusia perlu mengenalnya terlebih dahulu dan untuk mengetahui alam diperlukan
observasi, pengukuran, penjelasan, dan pembuktian.[6]
2.
Metode Ilmiah
Metode yang dimaksud di sini adalah suatu cara untuk mendapatkan ilmu pengetahuan
yang benar. Metode merupakan cara-cara penyelidikan yang bersifat keilmuan,
yang sering disebut metode ilmiah (scientific methods). Metode ini
perlu, agar tujuan keilmuan yang berupa kebenaran objektif dan dapat dibuktikan bisa tercapai. Dengan metode
ilmiah, kedudukan pengetahuan berubah menjadi ilmu pengetahuan, yaitu menjadi
lebih khusus dan terbatas lingkup studinya.[7]
Kata metode ini berasal dari bahasa Yunani,
‘methodos’ berarti ‘jalan’, ‘cara’, ‘arah’. Metode dapat pula diartikan uraian ilmiah penelitian atau metode ilmiah. Dengan demikian, metode
dapat pula diartikan cara bertindak menurut aturan tertentu dengan tujuan agar
aktivitas dapat terlaksana secara rasional dan terarah supaya dapat mencapai
hasil yang sebaik-baiknya.[8]
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa ilmu pengetahuan
bertujuan untuk memperoleh kebenaran ilmiah, yaitu suatu kebenaran yang pasti
tentang suatu objek penelitian. Oleh karena itu, metode ilmiah yang
dipergunakan mempunyai latar belakang, yaitu keterkaitannya dengan tujuan yang
tercermin di dalam ruang lingkup ilmu pengetahuan. Dengan adanya latar belakang
yang demikian itu, maka metode ilmiah cenderung bermacam-macam, tergantung
kepada watak bahan atau problem yang diselidiki.
Dalam ilmu metode penelitian. (research) alat untuk menyelidiki atau untuk mengumpulkan informasi data dan hal-hal yang diperlukan bagi si
peneliti dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan observasi
(pengamatan), kuesioner (angket), interview (tanya jawab), dan lain-lain yang
secara keseluruhan lebih mengarah kepada metode statistik, yang berupa
penghitungan-penghitungan angka secara generalisasi yang pada akhirnya
menghasilkan suatu informasi yang tepat dan rinci. Dengan metode statistik ini
akan memperkuat data prediksi, bisa menjelaskan sebab akibat terjadinya
sesuatu, dapat menggambarkan suatu contoh fenomena, dan sebagainya.
Satu lagi hal yang penting adalah bahwa cara kerja
jenis metode ilmiah yang mana pun pastilah melakukan analisis dan sintesis dengan peralatan
pemikiran induktif dan deduktif. Analisis artinya memisah-misahkan dari suatu
keseluruhan ke dalam bagian-bagian, komponen-komponen sehingga membentuk keseluruhan. Adapun induksi
adalah suatu proses kegiatan penalaran yang bertolak dari suatu bagian,
kekhususan, dari yang individual menuju ke suatu keseluruhan, umum dan
universal. Sebaliknya, deduksi adalah suatu proses kegiatan penalaran yang bertolak dari keseluruhan,
umum dan universal menuju ke suatu bagian, kekhususan, dan individual.[9]
Metode ilmiah merupakan suatu prosedur yang mencakup berbagai tindakan pikiran, pola kerja, cara teknis,
dan tata
langkah untuk memperoleh pengetahuan baru atau mengembangkan pengetahuan yang telah ada. Metode secara etimologis
berasal dari
kata Yunani meta yang berarti sesudah dan hodos yang berarti jalan. Jadi metode berarti langkah-langkah yang
diambil, menurut urutan tertentu, untuk mencapai pengetahuan yang benar yaitu
sesuatu tatacara, teknik, atau jalan yang telah dirancang dan dipakai dalam
proses memperoleh pengetahuan jenis apapun, baik, pengetahuan humanistik dan
historis, ataupun pengetahuan filsafat dan ilmiah.[10]
Buku kepustakaan, tidak ada yang menunjuk ke suatu pendapat
mengenai jumlah, macam dan urutan langkah yang pasti sebagai penentu suatu
prosedur yang disebut sebagai metode ilmiah. Langkah-langkah itu semakin bervariasi dalam ilmu
pengetahuan sesuai bidang spesialisasi yang semakin banyak. Kadang-kadang orang berpendapat bahwa macam metode ilmiah
yang digunakan tergantung pada ilmu khusus tersebut, khususnya bersangkutan
dengan objek formalnya. Berdasarkan langkah-langkah yang digunakan dalam
berbagai cabang
ilmu pengetahuan, sekurang-kurangnya ada lima langkah yang dapat dikatakan
sebagai pola umum, yaitu: penentuan masalah, perumusan dugaan sementara,
pengumpulan data, perumusan kesimpulan, dan verifikasi hasil.[11]
Prosedur
yang merupakan metode ilmiah sesungguhnya tidak hanya mencangkup pengamatan dan
percobaan seperti dikemukakan dalam salah satu definisi di atas. Masih banyak
prosedur yang dapat dianggap sebagai metode ilmiah, yakni : analisis,
pergolongan, pemerian, pengukuran , perbandingan dan survai. Oleh karena itu
ilmu merupakan suatu aktifitas kognitif yang harus mematuhi berbagai kaidah
pemikiran yang logis, maka metode imiah juga berkaitan sangat erat dengan logika.
Dengan demikian, prosedur-prosedur yang terglong metode logis termasuk pula
dalam rusang lingkup metode ilmiah. Selanjutnya metode ilmiah meliputi
rangkaian langkah yang tertib. Dalam kepustakaan metodologi ilmu tidak ada
kesatuan pendapat mengenai jumlah, bentuk, dan urutan langkah yang pasti.
Sheldon Lachman menguraikan metode ilmiah menjadi enam langkah sebagai berikut
:
a.
Perumusan
pangkal-pangkal duga yang khusus atau pernyataan-pernyataan yang khusus untuk
penyelidikan]
b.
Perancangan
penyelidikan itu
c.
Pengumpula data
d.
Penggolongan data
e.
Pengembangan
generalisasi-generalisasi
f.
Pemeriksaan kebenaran
terhadap hasil-hasil, yaitu terhadap data dan generalisasi-generalisasi
3.
Kebenaran Ilmiah
Kebenaran ilmiah maksudnya adalah suatu pengetahuan yang jelas dan
pasti kebenarannya
menurut norma-norma keilmuan. Kebenaran ilmiah cenderung bersifat objektif, di
dalamnya terkandung sejurnlah pengetahuan menurut sudut pandang yang
berbeda-beda, tetapi saling bersesuaian.[12]
Adanya kebenaran itu selalu dihubungkan dengan pengetahuan
manusia (subjek yang mengetahui) mengenai objek. jadi, kebenaran itu ada pada seberapa jauh
subjek mempunyai pengetahuan mengenai objek. Sedangkan pengetahuan berasal mula
dari banyak sumber. Sumber-sumber itu kemudian sekaligus berfungsi sebagai ukuran
kebenaran.
Dalam kaitan dengan filsafat, kebenaran menurut Maufur
merupakan tujuan yang hendak dicapai oleh filsafat maupun ilmu pengetahuan. Kebenaran
memiliki anggapan dasar (asumsi) bahwa kebenaran itu berlaku atau diakui,
karena ia memang menggambarkan atau menyatakan realitas yang sesungguhnya.
Lantas, apa yang dimaksud
dengan kebenaran itu? Inilah pertanyaan yang lebih lanjut harus dihadapi di
dalam filsafat ilmu.[13]
Dalam
Kamus Umum Bahasa Indonesia, yang ditulis oleh Purwadarminta menjelaskan bahwa
kebenaran itu adalah:
a.
Keadaan (hal dan
sebagainya) yang benar (cocok dengan hal atau keadaan yang sesungguhnya),
misalnya kebenaran berita ini masih saya ragukan, kita harus berani membela
kebenaran dan keadilan
b.
Sesuatu yang benar
(sungguh-sungguh ada, betul-betul demikian adanya, dan sebagainya), misalnya
kebenaran-kebenaran yang diajarkan oleh agama
c.
Kejujuran, kelurusan
hati; misalnya tidak ada seorang pun sanksi akan kebaikan dan kebenaran hatimu
d.
Selalu izin,
perkenanan, misalnya dengan kebenaran yang dipertuan
e.
Jalan kebetulan,
misalnya penjahat itu dapat dibekuk dengan secara kebenaran saja.
Sejalan
dengan beragamnya makna kebenaran sebagaimana dikemukakan oleh Poerwadarminta
di atas, ada beberapa rumusan tentang kebenaran yang dikemukakan Michael Williams.
Menurutnya ada lima teori kebenaran[14],
yaitu
a. Kebenaran
koherensi
b. Kebenaran
korespondensi
c. Kebenaran
pragmatis
d. Kebenaran
performatif
e. Kebenaran
proporsi
a.
Kebenaran Koherensi
Menurut
teori ini, suatu pernyataan dianggap benar kalau pernyataan tersebut koheren
atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.
Jadi suatu pernyataan dianggap benar apabila pernyataan tersebut dalam keadaan
saling berhubungan dengan pernyataan-pernyataan lain yang benar, atau jika
makna yang dikandungnya dalam keadaan saling berhubungan dengan pengalaman
kita. Dengan kata lain, suatu proposisi itu benar jika mempunyai hubungan
dengan ide-ide dari proposisi yang telah ada dan benar adanya. Sebagai contoh,
bila kita beranggapan bahwa semua manusia pasti akan mati adalah pernyataan
yang selama ini memenag benar adanya. Jika Ahmad adalah manusia, maka
pernyatann bahwa Ahmad pasti akan mati, merupakan pernyataan yang benar pula.
Sebab pernyataan kedua konsisten dengan pernyataan yang pertama.
b.
Kebenaran Korespondensi
Menurut
teori ini, suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung
pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan objek yang dituju oleh
pernyataan tersebut. Pernyataan itu benar karena ada kesatuan yang intrinsik, intensional
terdapat kesesuaian antara apa yang ada di dalam pengetahuan subjek. Jadi
kebenaran itu adalah kesesuaian dengan fakta, keselarasan dengan realitas, dan
keserasian dengan situasi aktual. Sebagai contoh, jika seorang menyatakan bahwa
“Kuala Lumpur adalah Ibu Kota Negara Malaysia”, pernyataan itu benar karena
pernyataan tersebut berkoresponden dengan objek yang bersifat faktual, yakni
Kuala Lumpur memang menjadi Ibu Kota Negara Malaysia. Sekiranya ada orang
menyatakan bahwa “Ibu Kota Negara Malaysia adalah Kelatan”, maka pernyataan itu
tidak benar, karena objeknya tidak berkoresponden dengan pernyataan tersebut.
c.
Kebenaran Pragmatis
Menurut
teori ini, suatu kebenaran suatu pernyataan diukur dengan menggunakan kriteria
fungsional. Suatu pernyataan benar, jika pernyataan tersebut memiliki fungsi
atau kegunaan dalam kehidupan praktis. Jadi, kebenaran menurut paham ini bukan
kebenaran yang dilihat dari segi atik baik buruk, tetapi kebenaran yang
didasarkan pada kegunaannya.
d.
Kebenaran Performatif
Menurut
teori ini, suatu pernyataan kebenaran bukanlah kualitas atau sifat sesuatu,
tetapi sebuah tindakan (performatif). Untuk menyatakan sesuatu itu benar, maka
cukup melakukan tindakan konsesi (setuju/menerima/membenarkan) terhadap gagasan
yang telah dinyatakan. Dengan demikian, tindakan performatif tidak berhubungan
dengan deskripsi benar atau salah dari sebuah
keadaan faktual. Jadi, sesuatu itu dianggap benar jika memang dapat
diaktualisasikan dalam tindakan.
e.
Kebenaran Proposisi
Menurut teori ini, suatu pernyataan
disebut benar apabila sesuai dengan persyaratan materilnya suatu proposisi, bukan
pada syarat formal proposisi. Dalam sumber lain, ada juga yang menambahkan
dengan bentuk kebenaran lain yang disebut dengan kebenaran sintaksis. Kebenaran
sintaksis adalah kebenaran yang mengacu pada keteraturan sintaksi atau
gramatika yang dipakai oleh suatu pernyataan atau tata bahasa yang melekatnya.
Dalam paham kebenaran sintaksis ini suatu pernyataan dianggap benar apabila
proposisi itu tidak mengikuti syarat atau keluar dari hal yang dipersyaratkan
maka proposisi tersebut tidak memiliki arti.
Jadi, kebenaran sebagaimana dikemukakan di atas, memiliki
makna yang beragam dan
kompleks, sehingga dalam memaknai kebenaran ini akan sangat tergantung pada
situasi dan kondisi yang melatarinya, pengalaman, kemampuan, dan usia
memengaruhi kepemilikan epistemo tentang kebenaran. Sehingga wajar kalau AMW. Pranaka
(1987) kemudian mengelompokkan kebenaran ini ke dalam tiga jenis kebenaran[15], yaitu; l) kebenaran epistemologikal,
2) kebenaran ontologikal, dan 3) kebenaran semantikal.
Kebenaran epistemologikal adalah pengertian
kebenaran yang berhubungan dengan pengetahuan manusia. Kebenaran dalam arti
ontologikal adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat kepada segala
sesuatu yang ada ataupun diadakan. Adapun kebenaran dalam arti semantikal
adalah kebenaran yang terdapat serta melekat di dalam tutur kata dan bahasa,
yang sering disebut dengan istilah sintaksis.
Kata "kebenaran" dapat digunakan sebagai
suatu kata benda yang konkret maupun abstrak (Abbas Hamami, 1983). Jika subjek
hendak menuturkan kebenaran artinya adalah proposisi yang benar. Proposisi
maksudnya adalah makna yang dikandung dalam suatu pernyataan atau statement.
Apabila subjek menyatakan kebenaran bahwa proposisi yang diuji itu pasti
memiliki kualitas, sifat atau karakteristik, hubungan, dan nilai. Hal yang demikian itu karena kebenaran
tidak dapat begitu saja terlepas dari kualitas, sifat, hubungan, dan nilai itu sendiri.[16]
Adanya berbagai macam kategori sebagaimana tersebut di atas,
maka tidaklah berlebihan jika pada saatnya setiap subjek yang memiliki pengetahuan akan memiliki
persepsi dan pengertian yeng amat berbeda satu dengan lainnya.
Kebenaran, pertama-tama berkaitan dengan kualitas pengetahuan. Artinya ialah
bahwa setiap pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang yang mengetahui sesuatu
objek ditilik dari jenis pengetahuan yang dibangun. Maksudnya apakah
pengetahuan itu berupa (1) pengetahuan biasa atau biasa disebut juga knowledge
of the man in the street atau ordinary knowledge atau juga common sense
knowledge. Pengetahuan seperti ini memiliki kebenaran yang sifatnya subjektif,
artinya amat terikat pada subjek yang mengenal. Dengan demikian, pengetahuan
tahap pertama ini memiliki sifat selalu benar, sejauh sarana untuk memperoleh
pengetahuan bersifat normal atau tidak ada penyimpangan.[17]
Pengetahuan jenis kedua (2) adalah pengetahuan ilmiah,
yaitu pengetahuan yang telah menetapkan objek yang khas atau spesifik dengan
menerapkan atau hampiran metodologis yang khas pula, artinya metodologi yang
telah mendapatkan kesepakatan di antara para ahli yang sejenis. Kebenaran yang
terkandung dalam pengetahuan ilmiah bersifat relatif, maksudnya kandungan
kebenaran dari jenis pengetahuan ilmiah selalu mendapatkan revisi yaitu selalu
diperkaya oleh hasil penemuan yang paling mutakhir. Dengan demikian, kebenaran
dalam pengetahuan ilmiah selalu mengalami pembaharuan sesuai dengan hasil
penelitian yang paling akhir dan mendapatkan persetujuan adanya agreement dalam
suatu konvensi para
ilmuwan sejenis.
Pengetahuan jenis ketiga (3) adalah pengetahuan
filsafati, yaitu jenis pengetahuan yang pendekatannya melalui metodologi
pemikiran filsafati, yang sifatnya mendasar dan menyeluruh dengan model
pemikian yang analitis, kritis, dan spekulatif. Sifat kebenaran yang
terkandung dalam pengetahuan filsafati adalah absolut-intersubjektif.
Maksudnya ialah nilai kebenaran yang terkandung jenis pengetahuan filsafat
selalu merupakan pendapat yang selalu melekat pada pandangan filsafat seorang
pemikir filsafat itu serta selalu mendapat pembenaran dari filsuf kemudian yang
menggunakan metodologi pemikiran yang sama pula. Jika pendapat filsafat itu
ditinjau dari sisi lain artinya dengan pendekatan filsafat yang lain sudah
dapat dipastikan hasilnya akan berbeda atau bahkan bertentangan atau
menghilangkan sama sekali. Suatu contoh filsafat matematika/geometri dari
Phytagoras sampai kini masih tetap seperti waktu Phytagoras itu pertama kali
memunculkan pendapatnya itu abad VI Sebelum Masehi
Kebenaran jenis pengetahuan keempat (4) adalah kebenaran
pengetahuan yang terkandung dalam pengetahuan agama. Pengetahuan agama
memiliki sifat dogmatis, artinya pernyataan dalam suatu agama selalu dihampiri
oleh keyakinan yang telah tertentu sehingga pernyataan-pernyataan dalam
ayat-ayat
kitab suci agama memilki nilai kebenaran sesuai dengan keyakinan yang digunakan
untuk memahaminya itu. Implikasi makna kandungan kitab suci itu dapat
berkembang secara dinamik sesuai dengan perkembangan waktu, akan tetapi
kandungan maksud ayat kitab suci itu tidak dapat dirubah dan sifatnya absolut.
Kebenaran yang kedua dikaitkan
dengan sifat atau karakteristik dari bagaimana cara atau dengan alat apakah
seseorang membangun pengetahuannya itu. Apakah ia membangunnya dengan penginderaan atau sense experience, atau akal pikir
atau ratio, intuisi, atau keyakinan. Implikasi dari penggunaan alat untuk
memperoleh pengetahuan melalui alat tertentu akan mengakibatkan karakteristik
kebenaran yang dikandung oleh pengetahuan itu akan memiliki cara tertentu untuk
membuktikannya, artinya jika seseorang membangunnya melalui indera atau sense
experience maka pada saat ia membuktikan kebenaran pengetahuan
itu harus melalui indera pula, begitu juga dengan cara yang lain. Seseorang tidak
dapat membuktikan kandungan kebenaran yang dibangun oleh cara intuitif
dibuktikannya dengan dengan cara lain cara inderawi misalnya. Jenis pengetahuan
menurut kriteria karakteristiknya dibedakan dalam jenis pengetahuan (1)
pengetahuan indrawi; (2) pengetahuan akal budi; (3) pengetahuan intuitif; (4)
pengetahuan kepercayaan atau pengetahuan otoritatif; dan pengetahuan-pengetahuan
yang lainnya. Sehingga implikasi nilai kebenarannya juga sesuai dengan jenis
pengetahuan itu.
Kebenaran pengetahuan yang ketiga
adalah nilai kebenaran pengetahuan yang dikaitkan atas ketergantungan
terjadinya pengetahuan itu. Artinya bagaimana relasi atau hubungan antara
subjek dan objek, manakah yang dominan untuk membangun pengetahuan itu,
subjekkah atau objek. Jika subjek yang berperan maka jenis pengetahuan itu
mengandung nilai kebenaran yang sifatnya subjektif, artinya nilai kebenaran
dari pengetahuan yang dikandunganya itu amat tergantung pada subjek yang
memiliki pengetahuan
itu. Atau jika objek amat berperan maka sifatnya objektif, seperti pengetahuan tentang alam
atau ilmu-ilmu alam.[18]
4. Teori-teori Kebenaran
Dalam perkembangan pemikiran filsafat perbincangan tentang
kebenaran sudah dimulai sejak Plato yang kemudian diteruskan oleh Aristoteles.
Plato melalui rnetode dialog membangun teori pengetahuan yang cukup lengkap
sebagai teori pengetahuan yang paling
awal. Sejak itulah teori pengetahuan berkembang terus untuk mendapatkan
penyempurnaan-penyempurnaan sampai kini. Sebagaimana dikemukakan seorang filsuf
abad XX Jaspers sebagaimana yang dikutip oleh Hamersma (1985) mengemukakan
bahwa sebenarnya para pemikir sekarang ini hanya melengkapi dan menyempurnakan
filsafat Plato dan
filsafat Aristoteles. Teori kebenaran selalu paralel dengan teori pengetahuan
yang dibangunnya. Teori-teori kebenaran[19]
yang telah terlembaga itu antara lain adalah:
a. Teori Kebenaran Korespondensi
b. Teori Kebenaran Koherensi
c. Teori Kebenaran Pragmatis
d. Teori Kebenaran Sintaksis
e. Teori Kebenaran Semantis
f. Teori Kebenaran Non-Deskripsi
g. Teori Kebenaran Logis yang berlebihan
- Teori Kebenaran Korespondensi
Teori ini dikenal sebagai salah satu teori kebenaran
tradisional (White, 1978), atau teori yang
paling tua, hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Hornie (1952) dalam bukunya Studies
in Philosophy menyatakan "The Correspondence theory is an old
one". Teori ini menyatakan bahwa "that it is true that p if and
only if p" Hal ini sesungguhnya mengacu pada pendapat Aristoteles
sebagaimana diterangkan oleh White (1978) yang menyatakan "to say of
what is that it is or of what is not that it is not, is true".
Sehingga, menurut teori korespondensi ini sebagaimana dikemukakan oleh Moore
yang dikuti oleh Alan R. White "since p is true if and only it p, then
when what is said e.g. p is true". atau dengan kata lain sebagaimana
dikemukakan oleh Hornie (1952) bahwa "it affirms that our thoughts or
ideas are true or false according asthey agree (correspond), or do not agree,
with a fact such as I think
it to be". Hal yang demikian juga sesuai
dengan pendapat Kattsoff (1986) yang menyatakan bahwa "Kebenaran atau
keadaan benar berupa kesesuaian (correspondence) antara makna yang dimaksudkan
oleh suatu pernyataan dengan apa yang sungguh-sungguh merupakan halnya atau apa yang merupakan
fakta-faktanya.
Oleh karena uraian-uraian di atas itulah, maka dapat
disimpulkan bahwa teori kebenaran korespondensi adalah teori kebenaran yang
paling awal dan paling tua yang berangkat dari teori pengetahuan Aristoteles
yang menyatakan segala sesuatu yang kita ketahui adalah sesuatu yang dapat
dikembalikan pada kenyataan yang dikenal oleh subjek (Ackerman, 1965). Atau
dengan kata yang lain adalah suatu pengetahuan mempunyai nilai benar apabila
pengetahuan itu mempunyai saling kesesuaian dengan kenyataan yang
diketahuinya, Atau sebagaimana dikemukakan oleh Randal dan Buchler dalam
bukunya Philosophy an Introduction menyatakan bahwa "A belief is
called "true" if it "agrees" with a fact".
- Teori Kebenaran Koherensi
Teori kebenaran
lain yang dikenal tradisional juga adalah teori kebenaran koherensi. Teori
koherensi dibangun oleh para pemikir rationalis seperti Leibniz, Spinoza,
Hegel, dan Bradley. Menurut
Teori koherensi sebagaimana dikemukakan oleh White (1978) yaitu:
"to say that what is said (usually called a judment, belief, or
proposition) is true or false is to say that it coheres or fails to cohere with
a system of other things which are said; that it is a member of a system whose
elements are related to each other by ties of logical implication as the
elements in a system of pure mathematics are related" (White, 1978).
Menurut Kattsoff (1986) dalam bukunya Elements of Philosophy
"... suatu proposisi cenderung
benar jika proposisi tersebut dalam keadaan saling berhubungan dengan
proposisi-proposisi lain yang benar, atau jika makna yang dikandungnya dalam
keadaan saling berhubungan dengan pengalaman kita".
Dengan
memperhatikan dua kutipan yang bernada sama maka dapat diungkapkan dengan
bahasa yang lebih sederhana bahwa teori kebenaran koherensi atau teori
kebenaran saling berhubungan
yaitu suatu proposisi itu atau makna pernyataan dari suatu pengetahuan bernilai
benar bila proposisi itu mempunyai hubungan dengan ide-ide dari proposisi yang
terdahulu yang bernilai benar. Sebagai
contoh kita sebagai bangsa Indonesia pasti memiliki pengetahuan bahwa Indonesia
diproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 bertepatan dengan
hari Jumat tanggal 17 Ramadhan. Jika seseorang hendak membuktikannya tidak
dapat langsung melalui kenyataan dalam objektivanya, karena kenyataan itu
telah berlangsung 50 tahun yang lalu. Untuk membuktikannya, maka harus melalui
ungkapan-ungkapan tentang fakta itu yaitu melalui sejarah atau dapat
diafirmasikan kepada orang-orang yang mengalami dan mengetahui kejadiaan itu.
Dengan demikian kebenaran dari pengetahuan itu dapat diuji melalui
kejadian-kejadian sejarah, atau juga pembuktian proposisi itu melalui hubungan
logis jika pernyataan yang hendak dibuktikan kebenarannya berkaitan dengan
pernyataan-pernyataan logis atau matematis.
- Teori Kebenaran Pragmatis
White (1978) dalam bukunya Truth; Problem in Philosophy, menyatakan
teori kebenaran tardisional lainya
adalah teori kebenaran pragmatik. Paham pragmatik sesungguhnya merupakan
pandangan filsafat kontemporer karena paham ini baru berkembang pada ahir abad XIX dan awal abad XX oleh tiga
filsuf Amerika yaitu C.S. Pierce, William James, dan John Dewey. Menurut paham
ini White lebih lanjut menyatakan bahwa:
"... an idea --a term used loosely by these philosophers to cover
any "opinion, belief, statement, or what not"-- is an instrument with
a particular function. A true ideas is one which fulfills its function, which
works; a false ideas is one does not."
Kattsoff (1986) menguraikan tentang teori kebenaran
pragmatis ini yaitu bahwa penganut pragmatisme meletakan ukuran kebenaran
dalam salah satu macam konsekuensi. Atau,
proposisi itu
dapat membantu untuk mengadakan penyesuaian-penyesuaian yang memuaskan terhadap pengalaman-pengalaman, pernyataan itu
adalah benar
Jadi menurut pandangan teori ini bahwa suatu proposisi
bernilai benar bila proposisi itu mempunyai konsekuensi-konsekuesi praktis
seperti yang terdapat secara inheren dalam pernyataan itu sendiri. Karena
setiap pernyataan selalu terikat pada hal-hal yang bersifat
praktis, maka tiada kebenaran yang bersifat mutlak, yang berlaku umum, yang
bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari akal yang mengenal, sebab
pengalaman itu berjalan terus dan segala yang dianggap benar dalam
perkembangannya pengalaman itu senantiasa berubah. Hal itu karena dalam prakteknya
apa yang dianggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Atau dengan
kata lain bahwa suatu pengertian itu tak pernah benar melainkan hanya dapat
menjadi benar kalau saja dapat dimanfaatkan secara praktis.
- Teori Kebenaran Sintaksis
Para penganut teori kebenaran sintaksis, berpangkal
tolak pada keteraturan sintaksis atau gramatika yang dipakai oleh suatu
pernyataan atau tata-bahasa yang melekatnya. Dengan
demikian
suatu pernyataan memiliki nilai benar bila pernyataan
itu mengikuti aturan-aturan sintaksis yang baku. Atau dengan kata lain apabila
proposisi itu tidak mengikuti syarat atau keluar dari hal yang disyaratkan maka proposisi itu tidak mempunyai
arti. Teori ini berkembang di antara para flsuf analisa bahasa, terutama yang
begitu ketat terhadap pemakaian gramatika seperti Friederich Schleiermacher
(1768-1834).
Menurut Schleiermacher sebagaimana dikutip oleh Poespoprojo
(1987), pemahaman adalah suatu rekonstruksi, bertolak dari ekpresi yang selesai
diungkapkan menjurus kembali ke suasana kejiwaan dimana ekspresi tersebut diungkapkan. Di sini terdapat dua momen yang saling terjalin dan berinteraksi, yakni momen tata bahasa
dan momen kejiwaan.
- Teori Kebenaran Semantis
Teori kebenaran semantik dianut oleh faham filsafat
analitika bahasa yang dikembangkan paska
filsafat Bertrand Russell sebagai tokoh pemula dari filsafat Analitika Bahasa.
Manurut teori kebenaran
semantik suatu proposisi memiliki nilai benar ditinjau dari segi arti atau
makna. Apakah proposisi yang merupakan pangkal tumpunya itu mempunyai pengacu
(referent) yang jelas. Oleh karena itu teori ini memiliki tugas untuk menguak
kesyahan proposisi dalam referensinya itu.
Teori Kebenaran semantis, sebenarnya berpangkal atau
mengacu pada pendapat Aristoteles sebagaimana yang digambarkan oleh White
(1978) yaitu "To say of what is that it is or of what is not, is true", atau bahkan mengacu
pada teori tradisional korespondensi
yang mengatakan "... that truth consists in correspondence of what is
said and what is fact".
Dengan demikian, teori kebenaran semantik menyatakan
bahwa proposisi itu mempunyai nilai
kebenaran bila proposisi itu memiliki arti. Arti ini dengan menunjukkan makna
yang sesungguhnya dengan menunjuk pada referensi atau kenyataan, juga arti
yang dikemukakan itu memiliki arti yang bersifat definitif (arti yang jelas
dengan menunjuk ciri yang khas dari sesuatu yang ada).
Di dalam teori kebenaran semantik
ada beberapa sikap yang dapat mengakibatkan apakah proposisi itu mernpunyai
arti yang esoterik, arbitrer, atau hanya mempunyai arti sejauh dihubungkan dengan nilai praktis dari subjek yang menggunakannya. Sikap-sikap
yang terdapat dalam teori ini antara lain adalah pertama, sikap epistemologis skeplik, maksudnya ialah suatu sikap kebimbangan
taktis atau sikap keragu-raguan untuk menghilangkan rasa ragu dalam memperoleh
pengetahuan. Dengan sikap yang demikian dimaksudkan untuk mencapai suatu makna
yang esoterik yaitu makna
yang benar-benar pasti yang dikandung oleh suatu pernyataan. Kedua,
sikap epistemologik yakin dan ideologik, artinya adalah bahwa proposisi itu memiliki arti
namun arti itu bersifat arbitrer (sewenang-wenang)
atau kabur, dan tidak memiliki sifat pasti. Jika mencapai kepastian, maka
kepastiannya itu hanyalah berdasar pada kepercayaan yang ada pada dirinya sendiri.
Ketiga,
sikap epistemologik pragmatik, yaitu makna dari suatu pernyataan yang amat tergantung
pada dan berdasar pada nilai guna dan nilai praktis dari pemakai proposisi,
Akibat semantisnya adalah kepastian yang terletak pada subjek yang menggunakan
proposisi itu.
- Teori Kebenaran Non-Deskripsi
Teori kebenaran non-deskripsi
dikembangkan oleh penganut filsafat fungsionalisme. Karena pada dasarnya suatu
statemen atau pernyataan itu akan mempunyai nilai benar yang amat tergantung
peran dan fungsi pernyataan itu. White (1978) menggambarkan tentang kebenaran
sebagaimana dikemukakannya
bahwa pengetahuan akan memiliki nilai benar sejauh
pernyataan itu memiliki fungsi yang amat praktis dalam kehidupan sehari-hari.
Pernyataan itu juga merupakan kesepakatan bersama untuk menggunakan secara
praktis dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itulah White (1978) lebih
lanjut menjelaskan: "The theory non-descriptive gives us an important
insight into function of the use of "true" and "false", but
not an analysis of their meaning".
- Teori Kebenaran Logik-yang-berlebihan (Logical-Superfluity Theory of Truth).
Teori ini dikembangkan oleh kaum Positivistik yang diawali oleh Ayer. Pada dasarnya
menurut teori kebenaran ini adalah bahwa problema kebenaran hanya merupakan
kekacauan bahasa saja dan hal ini akibatnya merupakan suatu pemborosan, karena pada dasarnya apa --pernyataan-- yang hendak
dibuktikan kebenarannya memiliki derajat logik yang sama yang masing-masing
saling melingkupinya. Dengan demikian, sesungguhnya setiap proposisi yang
bersifat logik dengan menunjukkan bahwa proposisi itu mempunyai isi yang sama,
memberikan informasi yang sama dan semua orang sepakat, maka apabila kita
membuktikannya lagi hal yang demikian itu hanya merupakan bentuk logis yang berlebihan. Hal yang demikian itu
sesungguhnya karena suatu pernyataan yang hendak dibuktikan nilai kebenarannya
sesungguhnya telah merupakan fakta atau data yang telah rnemiliki evidensi, artinya bahwa objek pengetahuan itu sendiri telah
menunjukkan kejelasan dalam dirinya sendiri (Gallagher, 1984). Misalnya suatu lingkaran adalah bulat, ini telah
memberikan kejelasan dalam pernyataan itu sendiri tidak
perlu diterangkan lagi, karena pada dasarnya lingkaran adalah suatu yang
terdiri dari rangkaian titik yang jaraknya sama dari satu titik
tertentu, sehingga berupa garis yang bulat
C.
ANALISIS/REFLEKSI
Metode
ilmiah merupakan langkah-langkah yang diambil menurut urutan tertentu untuk
mencapai pengetahuan yang benar, yaitu suatu tatacara, teknik atau jalan yang
telah dirancang dan dipakai dalam proses memperoleh pengetahuan.
Kebenaran
dalam ilmu adalah kebenaran yang sifatnya objektif. Maksudnya ialah bahwa
kebenaran dari suatu teori harus didukung oleh fakta-fakta yang berupa
kenyataan yang dapat dipakai acuan atau kenyataan yang pada mulanya merupakan
objek dalam pembentukan pengetahuan ilmiah itu.
Jadi,
setiap proses mengetahui akan memunculkan suatu bentuk kebenaran sebagai
kandungan isi pengetahuan itu. Akan tetapi setiap kebenaran pada saat
pembuktiannya harus kembali pada status ontology objek, sikap epistemologi dan
aksiologi. Dengan demikian, akan muncullah teori kebenaran yang banyak. Namun
untuk membuktikan kebenaran ilmiah suatu pernyataan harus sesuai dengan sifat
dasar metodologis yang digunakan dan amat tergantung pada konvensi. Itulah
sebabnya peran masyarakat ilmiah juga menentukan karakteristik dari kebenaran
ilmiah itu.
D.
PENUTUP/KESIMPULAN
Sistem
berarti menunjukkan adanya saling keterkaitan dan saling hubungan antara satu
dengan yang lainnya. Hal ini berarti bahwa pengetahuan pengetahuan yang
terkandung di dalamnya harus saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya
secara fungsional dalam satu sistem. Adanya sistem bagi ilmu pengetahuan itu
diperlukan agar jalannya penelitian lebih terarah dan konsisten dalam mencapai
tujuannya, yaitu kebenaran ilmiah.
Dengan
demikian, dapatlah dikatakan bahwa fungsi sistem bagi ilmu pengetahuan adalah
mutlak adanya. Suatu sistem berfungsi aktif, yaitu menggerakkan dan mengarahkan
langkah-langkah yang telah ditentukan di dalam metode agar daya kerja metode
itu konsisten, sehingga pencapaian tujuan kebenaran ilmiah lebih dapat tcrjamin.
Manusia
pada dasarnya adalah makhluk pencari kebenaran. Manusia tidak pernah puas
dengan apa yang sudah ada, tetapi selalu mencari dan mencari kebenaran yang
sesungguhnya dengan bertanya-tanya untuk mendapatkan jawaban. Manusia tidak
akan pernah bisa puas dengan jawaban yang belum dirasa pas, Ia harus mengujinya
dengan metode tertentu untuk mengukur apakah yang dimaksud disini bukanlah
kebenaran yang bersifat semu, tetapi kebenaran yang bersifat ilmiah yaitu
kebenaran yang bisa diukur dengan cara-cara ilmiah
Dalam
meneliti seorang ilmuan dapat saja mempunyai teknik, pendekatan, ataupun cara
yang berbeda dengan ilmuan lainnya. Namun kedua ilmuan tersebut tetap mempunyai
falsafah yang sama dalam memecahkan masalah, yaitu metode ilmuan dalam meneliti
yang disebut dengan metode ilmiah.
Dengan
demikian, maka dalam rumusan selanjutnya akan membahas mengenai epistemologi
ilmu yang berfokus pada metode ilmiah dan kebenaran ilmiah. Hal ini dilakukan
agar kita dapat mengetahui dan memahami mengenai metode ilmiah dan kebenaran
ilmiah.
DAFTAR
PUSTAKA
Anshari, Endang Saefuddin.
1985. Ilmu
Filsafat dan Agama, Surabaya: Bina Ilmu
Bakhtiar, Amsal. 2013. Filsafat Ilmu. Jakarta:
Rajawali Pers
Fautanu, Idzam. 2012. Filsafat Ilmu. Jakarta: Referensi
Gie,
The Liang. 1997. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta
Susanto. 2013. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, Dan Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara
Tim
Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. 2010. Filsafat
Ilmu. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta
Verhaak. 1991. Filsafat Ilmu Pengetahuan; Telaah atas
Cara Kerja Ilmu-ilmu, Jakarta: Gramedia
Wahyudi,
Imam Wahyudi. 2007. Pengantar Epistemologi. Yogyakarta: Faisal Foundation,
Badan Penerbit Filsafat UGM
[1] Imam Wahyudi. Pengantar
Epistemologi. (Yogyakarta: Faisal Foundation, Badan Penerbit Filsafat UGM,
2007). Hlm. 1
[2] Ibid. Imam Wahyudi. Hlm. 3
[4] Verhaak, Filsafat Ilmu Pengetahuan; Telaah atas Cara Kerja Ilmu-ilmu,
(Jakarta: Gramedia, 1991). Hlm. 137.
[7] Susanto.
Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi
Ontologis, Epistemologis, Dan Aksiologis.
(Jakarta: Bumi Aksara, 2013). Cet. 3.
Hlm. 84
[10]
The Liang Gie. Pengantar Filsafat Ilmu. (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1997).
Hlm. 110
[11]
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat Universitas
Gadjah Mada. Filsafat
Ilmu. (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta,
2010). Hlm.128
[12]
Susanto. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, Dan Aksiologis. (Jakarta: Bumi Aksara, 2013).
Cet. 3. Hlm. 85
[14]
Susanto. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, Dan Aksiologis. (Jakarta: Bumi Aksara, 2013).
Cet. 3. Hlm. 86-89
[16]
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat Universitas
Gadjah Mada. Filsafat
Ilmu. (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta,
2010). Hlm. 135
Tidak ada komentar:
Posting Komentar