Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Minggu, 13 Mei 2018

MAKALAH METODE ILMIAH DAN KEBENARAN ILMIAH


EPISTEMOLOGI ILMU
MAKALAH METODE ILMIAH DAN KEBENARAN ILMIAH
ABSTRAKS
Metode ilmiah merupakan langkah-langkah yang diambil menurut urutan tertentu untuk mencapai pengetahuan yang benar, yaitu suatu tatacara, teknik atau jalan yang telah dirancang dan dipakai dalam proses memperoleh pengetahuan.
Manusia pada dasarnya adalah makhluk pencari kebenaran. Manusia tidak pernah puas dengan apa yang sudah ada, tetapi selalu mencari dan mencari kebenaran yang sesungguhnya dengan bertanya-tanya untuk mendapatkan jawaban. Manusia tidak akan pernah bisa puas dengan jawaban yang belum dirasa pas, Ia harus mengujinya dengan metode tertentu untuk mengukur apakah yang dimaksud disini bukanlah kebenaran  yang bersifat semu, tetapi kebenaran yang bersifat ilmiah yaitu kebenaran yang bisa diukur dengan cara-cara ilmiah
Kebenaran dalam ilmu adalah kebenaran yang sifatnya objektif. Maksudnya ialah bahwa kebenaran dari suatu teori harus didukung oleh fakta-fakta yang berupa kenyataan yang dapat dipakai acuan atau kenyataan yang pada mulanya merupakan objek dalam pembentukan pengetahuan ilmiah itu.
Jadi, setiap proses mengetahui akan memunculkan suatu bentuk kebenaran sebagai kandungan isi pengetahuan itu. Akan tetapi setiap kebenaran pada saat pembuktiannya harus kembali pada status ontology objek, sikap epistemologi dan aksiologi. Dengan demikian, akan muncullah teori kebenaran yang banyak. Namun untuk membuktikan kebenaran ilmiah suatu pernyataan harus sesuai dengan sifat dasar metodologis yang digunakan dan amat tergantung pada konvensi. Itulah sebabnya peran masyarakat ilmiah juga menentukan karakteristik dari kebenaran ilmiah itu.
KATA KUNCI: Metode Ilmiah, Kebenaran Ilmiah

A.  PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Sebagai salah satu landasan dari suatu keilmuan yang terdapat dalam keilmuan filososofis (filsafat), Epistemelogi adalah pengetahuan yang berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti apakah pengetahuan, bagaimana cara mendapatkan pengetahuan, seperti apa dan bagaimana menagkapnya.
Suatu keilmuan pasti mempunyai suatu inti dari yang diketahui dan juga mempunyai cara untuk untuk bisa mencapai suatu dari inti itu. Dan karena Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah). Epistemologi adalah bagian filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas dan metode, dan kesahihan pengetahuan. sehingga dalam kesempatan kali ini akan dibahas lebih lanjut mengenai epistemologi. Manusia pada dasarnya adalah makhluk pencari kebenaran. Manusia tidak pernah puas dengan apa yang sudah ada, tetapi selalu mencari dan mencari kebenaran yang sesungguhnya dengan bertanya-tanya untuk mendapatkan jawaban. Manusia tidak akan pernah bisa puas dengan jawaban yang belum dirasa pas, Ia harus mengujinya dengan metode tertentu untuk mengukur apakah yang dimaksud disini bukanlah kebenaran  yang bersifat semu, tetapi kebenaran yang bersifat ilmiah yaitu kebenaran yang bisa diukur dengan cara-cara ilmiah.
Perkembangan pengetahuan yang semakin pesat sekarang ini, tidaklah menjadikan manusia berhenti untuk mencari kebenaran. Justru sebaliknya, semakin menggiatkan manusia untuk terus mencari dan mencari kebenaran yang berlandaskan teori-teori yang sudah ada sebelumnya untuk menguji sesuatu teori baru atau menggugurkan teori sebelumnya. Sehingga manusia sekarang lebih giat lagi melakukan penelitian-penelitian yang bersifat ilmiah untuk mencari solusi dari setiap permasalahan yang dihadapinya.
Dalam dunia pemikiran, epistemologi menempati posisi penting, sebab menentukan corak pemikiran dan pernyataan kebenaran yang di hasilkannya. Bangunan dasar epistemologi  berbeda dari satu peradaban dengan yang lain. Perbedaan titik tekan dalam epistemologi  memang sangat besar pengaruhnya dalam konstruksi bangunan pemikiran manusia secara utuh
Kerja memecahkan masalah akan sangat berbeda antara seorang ilmuan dengan seorang awam. Seorang ilmuan selalu menempatkan logika serta menghindarkan diri dari pertimbangan subjektif. Sebaliknya, bagi orang awam. Kerja memecahkan masalah dilandasi oleh pandangan perorangan ataupun dengan apa yang dianggap masukan orang banyak.
Dalam meneliti seorang ilmuan dapat saja mempunyai teknik, pendekatan, ataupun cara yang berbeda dengan ilmuan lainnya. Namun kedua ilmuan tersebut tetap mempunyai falsafah yang sama dalam memecahkan masalah, yaitu metode ilmuan dalam meneliti yang disebut dengan metode ilmiah.
Dengan demikian, maka dalam rumusan selanjutnya akan membahas mengenai epistemologi ilmu yang berfokus pada metode ilmiah dan kebenaran ilmiah. Hal ini dilakukan agar kita dapat mengetahui dan memahami mengenai metode ilmiah dan kebenaran ilmiah
B.  PEMBAHASAN
1.      Epistemologi Ilmu
Secara etimologis, epistemologi berasal dari bahasa Yunani, Yaitu Episteme dan logos. Episteme artinya pengetahuan; logos biasanya dipakai untuk menunjuk pengetahuan sistematik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa epistemologi adalah pengetahuan sistematik tentang pengetahuan.[1] Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh J.F. Ferier tahun 1854 yang membuat dua cabang filsafat, yakni epistemology dan Ontology (on = being, wujud, apa + logos = teori), ontology (teori tentang apa). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat ilmu adalah dasar yang menjiwai dinamika proses kegiatan memperoleh pengetahuan secara ilmiah. Ini berarti bahwa terdapat pengetahuan yang ilmiah dan tidak ilmiah. Adapun yang tergolong ilmiah ialah yang disebut ilmu pengetahuan atau singkatnya ilmu saja, yaitu akumulasi pengetahuan yang telah disistematisasi dan diorganisasi sedemikian rupa, sehingga memenuhi asas pengaturan secara prosedural, metologis, teknis, dan normatif akademis. Dengan demikian teruji kebenaran ilmiahnya, sehingga memenuhi kesahihan atau validitas ilmu, atau secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan.[2]
Secara singkat dapat dikatakan bahwa epistemologi merupakan salah satu cabang filsafat yang mempersoalkan mengenai masalah hakikat pengetahuan. Dengan kata lain, epistemology merupakan disiplin filsafat yang secara khusus hendak memperoleh pengetahuan tentang pengetahuan. Sedangkan pengetahuan yang tidak ilmiah adalah masih tergolong prailmiah. Dalam hal ini, berupa pengetahuan hasil serapan inderawi yang secara sadar diperoleh, baik yang telah lama maupun baru didapat. Di samping itu, sesuatu yang diperoleh secara pasif atau di luar kesadaran, seperti ilham, intuisi, wangsit, atau wahyu (oleh nabi). Dengan kata lain, pengetahuan ilmiah diperoleh secara sadar, aktif, sistematis, jelas prosesnya secara prosedural, metodis dan teknis, tidak bersifat acak, kemudian diakhiri dengan verifikasi atau diuji kebenaran (validitas) ilmiahnya.[3]
Filsafat Bacon mempunyai peran penting dalam metode induksi dan sistematisasi prosedur ilmiah menurut Russel, dasar filsafatnya sepenuhnya bersifat praktis, yaitu untuk memberi kekuasaan pada manusia atas alam melalui penyelidikan ilmiah. Bacon mengritik filsafat Yunani yang menurutnya lebih menekankan perenungan dan akibatnya tidak mempunyai praktis bagi kehidupan manusia. la menyatakan, "The great mistake of Greek philosophers was that they spent so much time in theory, so little in observation ".[4]
Karena itu, usaha yang ia lakukan pertama kali adalah menegaskan tujuan pengetahuan. Menurutnya, pengetahuan tidak akan mengalami perkembangan dan tidak akan bermakna kecuali ia mempunyai kekuatan yang dapat membantu manusia meraih kehidupan yang lebih baik, "Knowledge is power, it is not opinion to be held, but a work to be done, 1 am laboring to lay the fondation not of any sector, of doctrine, but of utility and power".[5]
Sikap khas Bacon mengenai ciri dan tugas filsafat tampak paling mencolok dalam Novum Organum. Pengetahuan dan kuasa manusia didekatkannya satu sama lain, menurutnya, alam tidak dapat dikuasai kecuali dengan jalan menaatinya, agar dapat taat pada alam, manusia perlu mengenalnya terlebih dahulu dan untuk mengetahui alam diperlukan observasi, pengukuran, penjelasan, dan pembuktian.[6]
2.      Metode Ilmiah
Metode yang dimaksud di sini adalah suatu cara untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang benar. Metode merupakan cara-cara penyelidikan yang bersifat keilmuan, yang sering disebut metode ilmiah (scientific methods). Metode ini perlu, agar tujuan keilmuan yang berupa kebenaran objektif dan dapat dibuktikan bisa tercapai. Dengan metode ilmiah, kedudukan pengetahuan berubah menjadi ilmu pengetahuan, yaitu menjadi lebih khusus dan terbatas lingkup studinya.[7]
Kata metode ini berasal dari bahasa Yunani,methodos berarti jalan, cara, arah. Metode dapat pula diartikan uraian ilmiah penelitian atau metode ilmiah. Dengan demikian, metode dapat pula diartikan cara bertindak menurut aturan tertentu dengan tujuan agar aktivitas dapat terlaksana secara rasional dan terarah supaya dapat mencapai hasil yang sebaik-baiknya.[8]
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa ilmu pengetahuan bertujuan untuk memperoleh kebenaran ilmiah, yaitu suatu kebenaran yang pasti tentang suatu objek penelitian. Oleh karena itu, metode ilmiah yang dipergunakan mempunyai latar belakang, yaitu keterkaitannya dengan tujuan yang tercermin di dalam ruang lingkup ilmu pengetahuan. Dengan adanya latar belakang yang demikian itu, maka metode ilmiah cenderung bermacam-macam, tergantung kepada watak bahan atau problem yang diselidiki.
Dalam ilmu metode penelitian. (research) alat untuk menyelidiki atau untuk mengumpulkan informasi data dan hal-hal yang diperlukan bagi si peneliti dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan observasi (pengamatan), kuesioner (angket), interview (tanya jawab), dan lain-lain yang secara keseluruhan lebih mengarah kepada metode statistik, yang berupa penghitungan-penghitungan angka secara generalisasi yang pada akhirnya menghasilkan suatu informasi yang tepat dan rinci. Dengan metode statistik ini akan memperkuat data prediksi, bisa menjelaskan sebab akibat terjadinya sesuatu, dapat menggambarkan suatu contoh fenomena, dan sebagainya.
Satu lagi hal yang penting adalah bahwa cara kerja jenis metode ilmiah yang mana pun pastilah melakukan analisis dan sintesis dengan peralatan pemikiran induktif dan deduktif. Analisis artinya memisah-misahkan dari suatu keseluruhan ke dalam bagian-bagian, komponen-komponen sehingga membentuk keseluruhan. Adapun induksi adalah suatu proses kegiatan pe­nalaran yang bertolak dari suatu bagian, kekhususan, dari yang individual menuju ke suatu keseluruhan, umum dan universal. Sebaliknya, deduksi ada­lah suatu proses kegiatan penalaran yang bertolak dari keseluruhan, umum dan universal menuju ke suatu bagian, kekhususan, dan individual.[9]
Metode ilmiah merupakan suatu prosedur yang mencakup berbagai tindakan pikiran, pola kerja, cara teknis, dan tata langkah untuk memperoleh pengetahuan baru atau mengembangkan pe­ngetahuan yang telah ada. Metode secara etimologis berasal dari kata Yunani meta yang berarti sesudah dan hodos yang berarti jalan. Jadi metode berarti langkah-langkah yang diambil, menurut urutan tertentu, untuk mencapai pengetahuan yang benar yaitu sesuatu tatacara, teknik, atau jalan yang telah dirancang dan di­pakai dalam proses memperoleh pengetahuan jenis apapun, baik, pengetahuan humanistik dan historis, ataupun pengetahuan filsa­fat dan ilmiah.[10]
Buku kepustakaan, tidak ada yang menunjuk ke suatu pen­dapat mengenai jumlah, macam dan urutan langkah yang pasti sebagai penentu suatu prosedur yang disebut sebagai metode il­miah. Langkah-langkah itu semakin bervariasi dalam ilmu penge­tahuan sesuai bidang spesialisasi yang semakin banyak. Kadang-­kadang orang berpendapat bahwa macam metode ilmiah yang di­gunakan tergantung pada ilmu khusus tersebut, khususnya ber­sangkutan dengan objek formalnya. Berdasarkan langkah-langkah yang digunakan dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan, seku­rang-kurangnya ada lima langkah yang dapat dikatakan sebagai pola umum, yaitu: penentuan masalah, perumusan dugaan sementara, pengumpulan data, perumusan kesimpulan, dan veri­fikasi hasil.[11]
Prosedur yang merupakan metode ilmiah sesungguhnya tidak hanya mencangkup pengamatan dan percobaan seperti dikemukakan dalam salah satu definisi di atas. Masih banyak prosedur yang dapat dianggap sebagai metode ilmiah, yakni : analisis, pergolongan, pemerian, pengukuran , perbandingan dan survai. Oleh karena itu ilmu merupakan suatu aktifitas kognitif yang harus mematuhi berbagai kaidah pemikiran yang logis, maka metode imiah juga berkaitan sangat erat dengan logika. Dengan demikian, prosedur-prosedur yang terglong metode logis termasuk pula dalam rusang lingkup metode ilmiah. Selanjutnya metode ilmiah meliputi rangkaian langkah yang tertib. Dalam kepustakaan metodologi ilmu tidak ada kesatuan pendapat mengenai jumlah, bentuk, dan urutan langkah yang pasti. Sheldon Lachman menguraikan metode ilmiah menjadi enam langkah sebagai berikut :
a.    Perumusan pangkal-pangkal duga yang khusus atau pernyataan-pernyataan yang khusus untuk penyelidikan]
b.    Perancangan penyelidikan itu
c.    Pengumpula data
d.   Penggolongan data
e.    Pengembangan generalisasi-generalisasi
f.     Pemeriksaan kebenaran terhadap hasil-hasil, yaitu terhadap data dan generalisasi-generalisasi

3.      Kebenaran Ilmiah
Kebenaran ilmiah maksudnya adalah suatu pengetahuan yang jelas dan pasti kebenarannya menurut norma-norma keilmuan. Kebenaran ilmiah cenderung bersifat objektif, di dalamnya terkandung sejurnlah pengetahuan menurut sudut pandang yang berbeda-beda, tetapi saling bersesuaian.[12]
Adanya kebenaran itu selalu dihubungkan dengan pengetahuan manu­sia (subjek yang mengetahui) mengenai objek. jadi, kebenaran itu ada pada seberapa jauh subjek mempunyai pengetahuan mengenai objek. Sedangkan pengetahuan berasal mula dari banyak sumber. Sumber-sumber itu kemudian sekaligus berfungsi sebagai ukuran kebenaran.
Dalam kaitan dengan filsafat, kebenaran menurut Maufur merupakan tujuan yang hendak dicapai oleh filsafat maupun ilmu pengetahuan. Kebenaran memiliki anggapan dasar (asumsi) bahwa kebenaran itu berlaku atau diakui, karena ia memang menggambarkan atau menyatakan realitas yang sesungguhnya. Lantas, apa yang dimaksud dengan kebenaran itu? Inilah pertanyaan yang lebih lanjut harus dihadapi di dalam filsafat ilmu.[13]
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, yang ditulis oleh Purwadarminta menjelaskan bahwa kebenaran itu adalah:
a.       Keadaan (hal dan sebagainya) yang benar (cocok dengan hal atau keadaan yang sesungguhnya), misalnya kebenaran berita ini masih saya ragukan, kita harus berani membela kebenaran dan keadilan
b.      Sesuatu yang benar (sungguh-sungguh ada, betul-betul demikian adanya, dan sebagainya), misalnya kebenaran-kebenaran yang diajarkan oleh agama
c.       Kejujuran, kelurusan hati; misalnya tidak ada seorang pun sanksi akan kebaikan dan kebenaran hatimu
d.      Selalu izin, perkenanan, misalnya dengan kebenaran yang dipertuan
e.       Jalan kebetulan, misalnya penjahat itu dapat dibekuk dengan secara kebenaran saja.
Sejalan dengan beragamnya makna kebenaran sebagaimana dikemukakan oleh Poerwadarminta di atas, ada beberapa rumusan tentang kebenaran yang dikemukakan Michael Williams. Menurutnya ada lima teori kebenaran[14], yaitu
a.       Kebenaran koherensi
b.      Kebenaran korespondensi
c.       Kebenaran pragmatis
d.      Kebenaran performatif
e.       Kebenaran proporsi

a.       Kebenaran Koherensi
Menurut teori ini, suatu pernyataan dianggap benar kalau pernyataan tersebut koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Jadi suatu pernyataan dianggap benar apabila pernyataan tersebut dalam keadaan saling berhubungan dengan pernyataan-pernyataan lain yang benar, atau jika makna yang dikandungnya dalam keadaan saling berhubungan dengan pengalaman kita. Dengan kata lain, suatu proposisi itu benar jika mempunyai hubungan dengan ide-ide dari proposisi yang telah ada dan benar adanya. Sebagai contoh, bila kita beranggapan bahwa semua manusia pasti akan mati adalah pernyataan yang selama ini memenag benar adanya. Jika Ahmad adalah manusia, maka pernyatann bahwa Ahmad pasti akan mati, merupakan pernyataan yang benar pula. Sebab pernyataan kedua konsisten dengan pernyataan yang pertama.
b.      Kebenaran Korespondensi
Menurut teori ini, suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Pernyataan itu benar karena ada kesatuan yang intrinsik, intensional terdapat kesesuaian antara apa yang ada di dalam pengetahuan subjek. Jadi kebenaran itu adalah kesesuaian dengan fakta, keselarasan dengan realitas, dan keserasian dengan situasi aktual. Sebagai contoh, jika seorang menyatakan bahwa “Kuala Lumpur adalah Ibu Kota Negara Malaysia”, pernyataan itu benar karena pernyataan tersebut berkoresponden dengan objek yang bersifat faktual, yakni Kuala Lumpur memang menjadi Ibu Kota Negara Malaysia. Sekiranya ada orang menyatakan bahwa “Ibu Kota Negara Malaysia adalah Kelatan”, maka pernyataan itu tidak benar, karena objeknya tidak berkoresponden dengan pernyataan tersebut.
c.       Kebenaran Pragmatis
Menurut teori ini, suatu kebenaran suatu pernyataan diukur dengan menggunakan kriteria fungsional. Suatu pernyataan benar, jika pernyataan tersebut memiliki fungsi atau kegunaan dalam kehidupan praktis. Jadi, kebenaran menurut paham ini bukan kebenaran yang dilihat dari segi atik baik buruk, tetapi kebenaran yang didasarkan pada kegunaannya.
d.      Kebenaran Performatif
Menurut teori ini, suatu pernyataan kebenaran bukanlah kualitas atau sifat sesuatu, tetapi sebuah tindakan (performatif). Untuk menyatakan sesuatu itu benar, maka cukup melakukan tindakan konsesi (setuju/menerima/membenarkan) terhadap gagasan yang telah dinyatakan. Dengan demikian, tindakan performatif tidak berhubungan dengan deskripsi benar atau salah dari sebuah keadaan faktual. Jadi, sesuatu itu dianggap benar jika memang dapat diaktualisasikan dalam tindakan.
e.       Kebenaran Proposisi
Menurut teori ini, suatu pernyataan disebut benar apabila sesuai dengan persyaratan materilnya suatu proposisi, bukan pada syarat formal proposisi. Dalam sumber lain, ada juga yang menambahkan dengan bentuk kebenaran lain yang disebut dengan kebenaran sintaksis. Kebenaran sintaksis adalah kebenaran yang mengacu pada keteraturan sintaksi atau gramatika yang dipakai oleh suatu pernyataan atau tata bahasa yang melekatnya. Dalam paham kebenaran sintaksis ini suatu pernyataan dianggap benar apabila proposisi itu tidak mengikuti syarat atau keluar dari hal yang dipersyaratkan maka proposisi tersebut tidak memiliki arti.

Jadi, kebenaran sebagaimana dikemukakan di atas, memiliki makna yang beragam dan kompleks, sehingga dalam memaknai kebenaran ini akan sangat tergantung pada situasi dan kondisi yang melatarinya, pengalaman, kemampuan, dan usia memengaruhi kepemilikan epistemo tentang kebenaran. Sehingga wajar kalau AMW. Pranaka (1987) kemudian mengelompokkan kebenaran ini ke dalam tiga jenis kebenaran[15], yaitu; l) kebenaran epistemo­logikal, 2) kebenaran ontologikal, dan 3) kebenaran semantikal.
Kebenaran epistemologikal adalah pengertian kebenaran yang berhu­bungan dengan pengetahuan manusia. Kebenaran dalam arti ontologikal adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat kepada segala sesuatu yang ada ataupun diadakan. Adapun kebenaran dalam arti semantikal adalah kebenaran yang terdapat serta melekat di dalam tutur kata dan bahasa, yang sering disebut dengan istilah sintaksis.
Kata "kebenaran" dapat digunakan sebagai suatu kata ben­da yang konkret maupun abstrak (Abbas Hamami, 1983). Jika subjek hendak menuturkan kebenaran artinya adalah proposisi yang benar. Proposisi maksudnya adalah makna yang dikandung dalam suatu pernyataan atau statement. Apabila subjek menya­takan kebenaran bahwa proposisi yang diuji itu pasti memiliki kualitas, sifat atau karakteristik, hubungan, dan nilai. Hal yang de­mikian itu karena kebenaran tidak dapat begitu saja terlepas dari kualitas, sifat, hubungan, dan nilai itu sendiri.[16]
Adanya berbagai macam kategori sebagaimana tersebut di atas, maka tidaklah berlebihan jika pada saatnya setiap subjek yang memiliki pengetahuan akan memiliki persepsi dan pengertian yeng amat berbeda satu dengan lainnya.
Kebenaran, pertama-tama berkaitan dengan kualitas pe­ngetahuan. Artinya ialah bahwa setiap pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang yang mengetahui sesuatu objek ditilik dari jenis pe­ngetahuan yang dibangun. Maksudnya apakah pengetahuan itu berupa (1) pengetahuan biasa atau biasa disebut juga knowledge of the man in the street atau ordinary knowledge atau juga common sense knowledge. Pengetahuan seperti ini memiliki kebenaran yang sifatnya subjektif, artinya amat terikat pada subjek yang mengenal. Dengan demikian, pengetahuan tahap pertama ini memiliki sifat selalu benar, sejauh sarana untuk memperoleh pengetahuan bersifat normal atau tidak ada penyimpangan.[17]
Pengetahuan jenis kedua (2) adalah pengetahuan ilmiah, yaitu pengetahuan yang telah menetapkan objek yang khas atau spesifik dengan menerapkan atau hampiran metodologis yang khas pula, artinya metodologi yang telah mendapatkan kesepa­katan di antara para ahli yang sejenis. Kebenaran yang terkandung dalam pengetahuan ilmiah bersifat relatif, maksudnya kandungan kebenaran dari jenis pengetahuan ilmiah selalu mendapatkan revisi yaitu selalu diperkaya oleh hasil penemuan yang paling mutakhir. Dengan demikian, kebenaran dalam pengetahuan ilmiah selalu mengalami pembaharuan sesuai dengan hasil penelitian yang pa­ling akhir dan mendapatkan persetujuan adanya agreement da­lam suatu konvensi para ilmuwan sejenis.
Pengetahuan jenis ketiga (3) adalah pengetahuan filsafati, yaitu jenis pengetahuan yang pendekatannya melalui metodologi pemikiran filsafati, yang sifatnya mendasar dan menyeluruh de­ngan model pemikian yang analitis, kritis, dan spekulatif. Sifat ke­benaran yang terkandung dalam pengetahuan filsafati adalah ab­solut-intersubjektif. Maksudnya ialah nilai kebenaran yang terkan­dung jenis pengetahuan filsafat selalu merupakan pendapat yang selalu melekat pada pandangan filsafat seorang pemikir filsafat itu serta selalu mendapat pembenaran dari filsuf kemudian yang menggunakan metodologi pemikiran yang sama pula. Jika penda­pat filsafat itu ditinjau dari sisi lain artinya dengan pendekatan fil­safat yang lain sudah dapat dipastikan hasilnya akan berbeda atau bahkan bertentangan atau menghilangkan sama sekali. Suatu contoh filsafat matematika/geometri dari Phytagoras sampai kini masih tetap seperti waktu Phytagoras itu pertama kali memun­culkan pendapatnya itu abad VI Sebelum Masehi
Kebenaran jenis pengetahuan keempat (4) adalah kebenar­an pengetahuan yang terkandung dalam pengetahuan agama. Pe­ngetahuan agama memiliki sifat dogmatis, artinya pernyataan da­lam suatu agama selalu dihampiri oleh keyakinan yang telah ter­tentu sehingga pernyataan-pernyataan dalam ayat-ayat kitab suci agama memilki nilai kebenaran sesuai dengan keyakinan yang di­gunakan untuk memahaminya itu. Implikasi makna kandungan kitab suci itu dapat berkembang secara dinamik sesuai dengan perkembangan waktu, akan tetapi kandungan maksud ayat kitab suci itu tidak dapat dirubah dan sifatnya absolut.
Kebenaran yang kedua dikaitkan dengan sifat atau karak­teristik dari bagaimana cara atau dengan alat apakah seseorang membangun pengetahuannya itu. Apakah ia membangunnya de­ngan penginderaan atau sense experience, atau akal pikir atau ratio, intuisi, atau keyakinan. Implikasi dari penggunaan alat untuk memperoleh pengetahuan melalui alat tertentu akan mengaki­batkan karakteristik kebenaran yang dikandung oleh pengetahuan itu akan memiliki cara tertentu untuk membuktikannya, artinya jika seseorang membangunnya melalui indera atau sense expe­rience maka pada saat ia membuktikan kebenaran pengetahuan itu harus melalui indera pula, begitu juga dengan cara yang lain. Seseorang tidak dapat membuktikan kandungan kebenaran yang dibangun oleh cara intuitif dibuktikannya dengan dengan cara lain cara inderawi misalnya. Jenis pengetahuan menurut kriteria karak­teristiknya dibedakan dalam jenis pengetahuan (1) pengetahuan indrawi; (2) pengetahuan akal budi; (3) pengetahuan intuitif; (4) pengetahuan kepercayaan atau pengetahuan otoritatif; dan penge­tahuan-pengetahuan yang lainnya. Sehingga implikasi nilai kebe­narannya juga sesuai dengan jenis pengetahuan itu.
Kebenaran pengetahuan yang ketiga adalah nilai kebenaran pengetahuan yang dikaitkan atas ketergantungan terjadinya pe­ngetahuan itu. Artinya bagaimana relasi atau hubungan antara subjek dan objek, manakah yang dominan untuk membangun pe­ngetahuan itu, subjekkah atau objek. Jika subjek yang berperan maka jenis pengetahuan itu mengandung nilai kebenaran yang sifatnya subjektif, artinya nilai kebenaran dari pengetahuan yang dikandunganya itu amat tergantung pada subjek yang memiliki pengetahuan itu. Atau jika objek amat berperan maka sifatnya objektif, seperti pengetahuan tentang alam atau ilmu-ilmu alam.[18]
4.      Teori-teori Kebenaran
Dalam perkembangan pemikiran filsafat perbincangan ten­tang kebenaran sudah dimulai sejak Plato yang kemudian dite­ruskan oleh Aristoteles. Plato melalui rnetode dialog membangun teori pengetahuan yang cukup lengkap sebagai teori pengetahuan yang paling awal. Sejak itulah teori pengetahuan berkembang te­rus untuk mendapatkan penyempurnaan-penyempurnaan sampai kini. Sebagaimana dikemukakan seorang filsuf abad XX Jaspers sebagaimana yang dikutip oleh Hamersma (1985) mengemuka­kan bahwa sebenarnya para pemikir sekarang ini hanya meleng­kapi dan menyempurnakan filsafat Plato dan filsafat Aristoteles. Teori kebenaran selalu paralel dengan teori pengetahuan yang di­bangunnya. Teori-teori kebenaran[19] yang telah terlembaga itu an­tara lain adalah:
a.    Teori Kebenaran Korespondensi
b.    Teori Kebenaran Koherensi
c.    Teori Kebenaran Pragmatis
d.   Teori Kebenaran Sintaksis
e.    Teori Kebenaran Semantis
f.     Teori Kebenaran Non-Deskripsi
g.    Teori Kebenaran Logis yang berlebihan

  1. Teori Kebenaran Korespondensi
Teori ini dikenal sebagai salah satu teori kebenaran tradi­sional (White, 1978), atau teori yang paling tua, hal ini sebagai­mana dikemukakan oleh Hornie (1952) dalam bukunya Studies in Philosophy menyatakan "The Correspondence theory is an old one". Teori ini menyatakan bahwa "that it is true that p if and only if p" Hal ini sesungguhnya mengacu pada pendapat Aristoteles sebagaimana diterangkan oleh White (1978) yang menyatakan "to say of what is that it is or of what is not that it is not, is true". Sehingga, menurut teori korespondensi ini sebagaimana dikemu­kakan oleh Moore yang dikuti oleh Alan R. White "since p is true if and only it p, then when what is said e.g. p is true". atau dengan kata lain sebagaimana dikemukakan oleh Hornie (1952) bahwa "it affirms that our thoughts or ideas are true or false according asthey agree (correspond), or do not agree, with a fact such as I think  it to be". Hal yang demikian juga sesuai dengan pendapat Kattsoff (1986) yang menyatakan bahwa "Kebenaran atau keadaan benar berupa kesesuaian (correspondence) antara makna yang dimaksudkan oleh suatu pernyataan dengan apa yang sungguh-­sungguh merupakan halnya atau apa yang merupakan fakta-fak­tanya.
Oleh karena uraian-uraian di atas itulah, maka dapat disim­pulkan bahwa teori kebenaran korespondensi adalah teori kebe­naran yang paling awal dan paling tua yang berangkat dari teori pengetahuan Aristoteles yang menyatakan segala sesuatu yang ki­ta ketahui adalah sesuatu yang dapat dikembalikan pada kenya­taan yang dikenal oleh subjek (Ackerman, 1965). Atau dengan ka­ta yang lain adalah suatu pengetahuan mempunyai nilai benar apabila pengetahuan itu mempunyai saling kesesuaian dengan ke­nyataan yang diketahuinya, Atau sebagaimana dikemukakan oleh Randal dan Buchler dalam bukunya Philosophy an Introduction menyatakan bahwa "A belief is called "true" if it "agrees" with a fact".
  1. Teori Kebenaran Koherensi
Teori kebenaran lain yang dikenal tradisional juga adalah teori kebenaran koherensi. Teori koherensi dibangun oleh para pemikir rationalis seperti Leibniz, Spinoza, Hegel, dan Bradley. Menurut Teori koherensi sebagaimana dikemukakan oleh White (1978) yaitu:
"to say that what is said (usually called a judment, belief, or proposition) is true or false is to say that it coheres or fails to cohere with a system of other things which are said; that it is a member of a system whose elements are related to each other by ties of logical implication as the elements in a system of pure mathematics are related" (White, 1978).
Menurut Kattsoff (1986) dalam bukunya Elements of Philo­sophy
"... suatu proposisi cenderung benar jika proposisi tersebut dalam keadaan saling berhubungan dengan proposisi-propo­sisi lain yang benar, atau jika makna yang dikandungnya da­lam keadaan saling berhubungan dengan pengalaman kita".
Dengan memperhatikan dua kutipan yang bernada sama maka dapat diungkapkan dengan bahasa yang lebih sederhana bahwa teori kebenaran koherensi atau teori kebenaran saling berhubungan yaitu suatu proposisi itu atau makna pernyataan dari suatu pengetahuan bernilai benar bila proposisi itu mempunyai hubungan dengan ide-ide dari proposisi yang terdahulu yang ber­nilai benar. Sebagai contoh kita sebagai bangsa Indonesia pasti memiliki pengetahuan bahwa Indonesia diproklamirkan kemer­dekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 bertepatan dengan hari Jumat tanggal 17 Ramadhan. Jika seseorang hendak membukti­kannya tidak dapat langsung melalui kenyataan dalam objektiva­nya, karena kenyataan itu telah berlangsung 50 tahun yang lalu. Untuk membuktikannya, maka harus melalui ungkapan-ungkapan tentang fakta itu yaitu melalui sejarah atau dapat diafirmasikan kepada orang-orang yang mengalami dan mengetahui kejadiaan itu. Dengan demikian kebenaran dari pengetahuan itu dapat diuji melalui kejadian-kejadian sejarah, atau juga pembuktian proposisi itu melalui hubungan logis jika pernyataan yang hendak dibuktikan kebenarannya berkaitan dengan pernyataan-pernyataan logis atau matematis.
  1. Teori Kebenaran Pragmatis
White (1978) dalam bukunya Truth; Problem in Philoso­phy, menyatakan teori kebenaran tardisional lainya adalah teori kebenaran pragmatik. Paham pragmatik sesungguhnya merupa­kan pandangan filsafat kontemporer karena paham ini baru ber­kembang pada ahir abad XIX dan awal abad XX oleh tiga filsuf Amerika yaitu C.S. Pierce, William James, dan John Dewey. Me­nurut paham ini White lebih lanjut menyatakan bahwa:
"... an idea --a term used loosely by these philosophers to cover any "opinion, belief, statement, or what not"-- is an instrument with a particular function. A true ideas is one which fulfills its function, which works; a false ideas is one does not."
Kattsoff (1986) menguraikan tentang teori kebenaran prag­matis ini yaitu bahwa penganut pragmatisme meletakan ukuran kebenaran dalam salah satu macam konsekuensi. Atau, proposisi itu dapat membantu untuk mengadakan penyesuaian-penyesuaian yang memuaskan terhadap pengalaman-pengalaman, pernyataan itu adalah benar
Jadi menurut pandangan teori ini bahwa suatu proposisi bernilai benar bila proposisi itu mempunyai konsekuensi-konse­kuesi praktis seperti yang terdapat secara inheren dalam pernya­taan itu sendiri. Karena setiap pernyataan selalu terikat pada hal­-hal yang bersifat praktis, maka tiada kebenaran yang bersifat mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sen­diri, lepas dari akal yang mengenal, sebab pengalaman itu berjalan terus dan segala yang dianggap benar dalam perkembangannya pengalaman itu senantiasa berubah. Hal itu karena dalam prak­teknya apa yang dianggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Atau dengan kata lain bahwa suatu pengertian itu tak pernah benar melainkan hanya dapat menjadi benar kalau saja da­pat dimanfaatkan secara praktis.
  1. Teori Kebenaran Sintaksis
Para penganut teori kebenaran sintaksis, berpangkal tolak pada keteraturan sintaksis atau gramatika yang dipakai oleh suatu pernyataan atau tata-bahasa yang melekatnya. Dengan demikian suatu pernyataan memiliki nilai benar bila pernyataan itu mengi­kuti aturan-aturan sintaksis yang baku. Atau dengan kata lain apa­bila proposisi itu tidak mengikuti syarat atau keluar dari hal yang disyaratkan maka proposisi itu tidak mempunyai arti. Teori ini berkembang di antara para flsuf analisa bahasa, terutama yang begitu ketat terhadap pemakaian gramatika seperti Friederich Schleiermacher (1768-1834).
Menurut Schleiermacher sebagaimana dikutip oleh Poespo­projo (1987), pemahaman adalah suatu rekonstruksi, bertolak dari ekpresi yang selesai diungkapkan menjurus kembali ke suasana kejiwaan dimana ekspresi tersebut diungkapkan. Di sini terdapat dua momen yang saling terjalin dan berinteraksi, yakni momen tata bahasa dan momen kejiwaan.
  1. Teori Kebenaran Semantis
Teori kebenaran semantik dianut oleh faham filsafat anali­tika bahasa yang dikembangkan paska filsafat Bertrand Russell sebagai tokoh pemula dari filsafat Analitika Bahasa. Manurut teori kebenaran semantik suatu proposisi memiliki nilai benar ditinjau dari segi arti atau makna. Apakah proposisi yang merupakan pangkal tumpunya itu mempunyai pengacu (referent) yang jelas. Oleh karena itu teori ini memiliki tugas untuk menguak kesyahan proposisi dalam referensinya itu.
Teori Kebenaran semantis, sebenarnya berpangkal atau me­ngacu pada pendapat Aristoteles sebagaimana yang digambarkan oleh White (1978) yaitu "To say of what is that it is or of what is not, is true", atau bahkan mengacu pada teori tradisional kores­pondensi yang mengatakan "... that truth consists in correspon­dence of what is said and what is fact".
Dengan demikian, teori kebenaran semantik menyatakan bahwa proposisi itu mempunyai nilai kebenaran bila proposisi itu memiliki arti. Arti ini dengan menunjukkan makna yang sesung­guhnya dengan menunjuk pada referensi atau kenyataan, juga arti yang dikemukakan itu memiliki arti yang bersifat definitif (arti yang jelas dengan menunjuk ciri yang khas dari sesuatu yang ada).
Di dalam teori kebenaran semantik ada beberapa sikap yang dapat mengakibatkan apakah proposisi itu mernpunyai arti yang esoterik, arbitrer, atau hanya mempunyai arti sejauh dihubungkan dengan nilai praktis dari subjek yang menggunakannya. Sikap-­sikap yang terdapat dalam teori ini antara lain adalah pertama, sikap epistemologis skeplik, maksudnya ialah suatu sikap ke­bimbangan taktis atau sikap keragu-raguan untuk menghilangkan rasa ragu dalam memperoleh pengetahuan. Dengan sikap yang demikian dimaksudkan untuk mencapai suatu makna yang eso­terik yaitu makna yang benar-benar pasti yang dikandung oleh suatu pernyataan. Kedua, sikap epistemologik yakin dan ideo­logik, artinya adalah bahwa proposisi itu memiliki arti namun arti itu bersifat arbitrer (sewenang-wenang) atau kabur, dan tidak me­miliki sifat pasti. Jika mencapai kepastian, maka kepastiannya itu hanyalah berdasar pada kepercayaan yang ada pada dirinya sen­diri. Ketiga, sikap epistemologik pragmatik, yaitu makna dari suatu pernyataan yang amat tergantung pada dan berdasar pada nilai guna dan nilai praktis dari pemakai proposisi, Akibat seman­tisnya adalah kepastian yang terletak pada subjek yang meng­gunakan proposisi itu.
  1. Teori Kebenaran Non-Deskripsi
Teori kebenaran non-deskripsi dikembangkan oleh penga­nut filsafat fungsionalisme. Karena pada dasarnya suatu statemen atau pernyataan itu akan mempunyai nilai benar yang amat ter­gantung peran dan fungsi pernyataan itu. White (1978) meng­gambarkan tentang kebenaran sebagaimana dikemukakannya bahwa pengetahuan akan memiliki nilai benar sejauh pernyataan itu memiliki fungsi yang amat praktis da­lam kehidupan sehari-hari. Pernyataan itu juga merupakan kese­pakatan bersama untuk menggunakan secara praktis dalam kehi­dupan sehari-hari. Oleh karena itulah White (1978) lebih lanjut menjelaskan: "The theory non-descriptive gives us an important insight into function of the use of "true" and "false", but not an analysis of their meaning".
  1. Teori Kebenaran Logik-yang-berlebihan (Logical-Superfluity Theory of Truth).
Teori ini dikembangkan oleh kaum Positivistik yang diawali oleh Ayer. Pada dasarnya menurut teori kebenaran ini adalah bahwa problema kebenaran hanya merupakan kekacauan bahasa saja dan hal ini akibatnya merupakan suatu pemborosan, karena pada dasarnya apa --pernyataan-- yang hendak dibuktikan kebe­narannya memiliki derajat logik yang sama yang masing-masing saling melingkupinya. Dengan demikian, sesungguhnya setiap pro­posisi yang bersifat logik dengan menunjukkan bahwa proposisi itu mempunyai isi yang sama, memberikan informasi yang sama dan semua orang sepakat, maka apabila kita membuktikannya lagi hal yang demikian itu hanya merupakan bentuk logis yang berlebihan. Hal yang demikian itu sesungguhnya karena suatu pernyataan yang hendak dibuktikan nilai kebenarannya sesungguhnya telah merupakan fakta atau data yang telah rnemiliki evidensi, artinya bahwa objek pengetahuan itu sendiri telah menunjukkan kejelasan dalam dirinya sendiri (Gallagher, 1984). Misalnya suatu lingkaran adalah bulat, ini telah memberikan kejelasan dalam pernyataan itu sendiri tidak perlu diterangkan lagi, karena pada dasarnya ling­karan adalah suatu yang terdiri dari rangkaian titik yang jaraknya sama dari satu titik tertentu, sehingga berupa garis yang bulat
C.  ANALISIS/REFLEKSI
Metode ilmiah merupakan langkah-langkah yang diambil menurut urutan tertentu untuk mencapai pengetahuan yang benar, yaitu suatu tatacara, teknik atau jalan yang telah dirancang dan dipakai dalam proses memperoleh pengetahuan.
Kebenaran dalam ilmu adalah kebenaran yang sifatnya objektif. Maksudnya ialah bahwa kebenaran dari suatu teori harus didukung oleh fakta-fakta yang berupa kenyataan yang dapat dipakai acuan atau kenyataan yang pada mulanya merupakan objek dalam pembentukan pengetahuan ilmiah itu.
Jadi, setiap proses mengetahui akan memunculkan suatu bentuk kebenaran sebagai kandungan isi pengetahuan itu. Akan tetapi setiap kebenaran pada saat pembuktiannya harus kembali pada status ontology objek, sikap epistemologi dan aksiologi. Dengan demikian, akan muncullah teori kebenaran yang banyak. Namun untuk membuktikan kebenaran ilmiah suatu pernyataan harus sesuai dengan sifat dasar metodologis yang digunakan dan amat tergantung pada konvensi. Itulah sebabnya peran masyarakat ilmiah juga menentukan karakteristik dari kebenaran ilmiah itu.
D.  PENUTUP/KESIMPULAN
Sistem berarti menunjukkan adanya saling keterkaitan dan saling hubungan antara satu dengan yang lainnya. Hal ini berarti bahwa pengetahuan pengetahuan yang terkandung di dalamnya harus saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya secara fungsional dalam satu sistem. Adanya sistem bagi ilmu pengetahuan itu diperlukan agar jalannya penelitian lebih terarah dan konsisten dalam mencapai tujuannya, yaitu kebenaran ilmiah.
Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa fungsi sistem bagi ilmu pengetahuan adalah mutlak adanya. Suatu sistem berfungsi aktif, yaitu menggerakkan dan mengarahkan langkah-langkah yang telah ditentukan di dalam metode agar daya kerja metode itu konsisten, sehingga pencapaian tujuan kebenaran ilmiah lebih dapat tcrjamin.
Manusia pada dasarnya adalah makhluk pencari kebenaran. Manusia tidak pernah puas dengan apa yang sudah ada, tetapi selalu mencari dan mencari kebenaran yang sesungguhnya dengan bertanya-tanya untuk mendapatkan jawaban. Manusia tidak akan pernah bisa puas dengan jawaban yang belum dirasa pas, Ia harus mengujinya dengan metode tertentu untuk mengukur apakah yang dimaksud disini bukanlah kebenaran  yang bersifat semu, tetapi kebenaran yang bersifat ilmiah yaitu kebenaran yang bisa diukur dengan cara-cara ilmiah
Dalam meneliti seorang ilmuan dapat saja mempunyai teknik, pendekatan, ataupun cara yang berbeda dengan ilmuan lainnya. Namun kedua ilmuan tersebut tetap mempunyai falsafah yang sama dalam memecahkan masalah, yaitu metode ilmuan dalam meneliti yang disebut dengan metode ilmiah.
Dengan demikian, maka dalam rumusan selanjutnya akan membahas mengenai epistemologi ilmu yang berfokus pada metode ilmiah dan kebenaran ilmiah. Hal ini dilakukan agar kita dapat mengetahui dan memahami mengenai metode ilmiah dan kebenaran ilmiah.

DAFTAR PUSTAKA

Anshari, Endang Saefuddin. 1985. Ilmu Filsafat dan Agama, Surabaya: Bina Ilmu
Bakhtiar, Amsal. 2013. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali Pers
Fautanu, Idzam. 2012. Filsafat Ilmu. Jakarta: Referensi
Gie, The Liang. 1997. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta
Susanto. 2013. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, Dan Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. 2010. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta
Verhaak. 1991. Filsafat Ilmu Pengetahuan; Telaah atas Cara Kerja  Ilmu-ilmu, Jakarta: Gramedia
Wahyudi, Imam Wahyudi. 2007. Pengantar Epistemologi. Yogyakarta: Faisal Foundation, Badan Penerbit Filsafat UGM





[1] Imam Wahyudi. Pengantar Epistemologi. (Yogyakarta: Faisal Foundation, Badan Penerbit Filsafat UGM, 2007). Hlm. 1
[2] Ibid. Imam Wahyudi. Hlm. 3
[3] Idzam Fautanu. Filsafat Ilmu. (Jakarta: Referensi, 2012). Hlm. 163
[4] Verhaak, Filsafat Ilmu Pengetahuan; Telaah atas Cara Kerja  Ilmu-ilmu, (Jakarta: Gramedia, 1991). Hlm. 137.
[5] Amsal Bakhtiar. Filsafat Ilmu. (Jakarta: Rajawali Pers, 2013). Cet 12. Hlm. 150
[6] Endang Saefuddin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama, (Surabaya: Bina Ilmu, 1985). Hlm. 61
[7] Susanto. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, Dan Aksiologis. (Jakarta: Bumi Aksara, 2013). Cet. 3. Hlm. 84
[8] Ibid. Susanto. Hlm. 84
[9] Ibid. Susanto. Hlm. 84-85
[10] The Liang Gie. Pengantar Filsafat Ilmu. (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1997). Hlm.  110
[11] Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Filsafat Ilmu. (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2010). Hlm.128
[12] Susanto. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, Dan Aksiologis. (Jakarta: Bumi Aksara, 2013). Cet. 3. Hlm. 85
[13] Ibid. Susanto. Hlm. 86
[14] Susanto. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, Dan Aksiologis. (Jakarta: Bumi Aksara, 2013). Cet. 3. Hlm. 86-89
[15] Ibid. Susanto.Hlm. 88
[16] Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Filsafat Ilmu. (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2010). Hlm. 135
[17] Ibid. Tim Dosen Filsafat. Hlm. 136
[18] Ibid. Tim Dosen. Hlm. 137-138
[19] Ibid. Tim Dosen. Hlm. 138-145

Tidak ada komentar:

Posting Komentar