BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Ilmu dan
manusia merupakan suatu yang sangat erat kaitannya. Oleh karena itu Berpikir
mencirikan hakikat manusia dan karena berpikirlah dia menjadi manusia. Berpikir
pada dasarnya merupakan sebuah proses yang membuahkan pengetahuan atau pun
ilmu. Ilmu dan pengetahuan mempunyai hubungan yang sangat erat. Sementara
pengetahuan merupakan logika konseptual (conceptual logic),atau
sekumpulan ilmu-ilmu yang belum terhimpun dalam sebuah metode tertentu, sedang
ilmu secara sederhana bisa dimaknai sebagai semua pengetahuan yang terkonstruk
melalui beberapa metode-metode keilmuan. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan
merupakan salah satu dari pengetahuan manusia yang harus benar-benar dihargai.
Untuk dapat menghargai ilmu pengetahuan tersebut, seseorang dituntut untuk
mengerti hakikat ilmu pengetahuan. karena ilmulah yang akan menunjukkan sebuah
kebenaran hakiki. Dari latar belakang diatas maka dalam pembahasan makalah ini
akan menjelaskan tentang hakikat ilmu pengetahuan dalam perspektif modern dan
islam (al-Qur’an dan Hadits).
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Hakikat Ilmu Pengetahaun dalam
perspektif moderrn?
2. Apa Pengertian Hakikat Ilmu Pengetahaun dalam
perspektif islam (al-Qur’an dan Hadits)?
C.
Tujuan
Pembahasan
Berdasarkan
rumusan masalah di atas, maka tujuan pembahasan
dari makalah ini yaitu:
1. Mahasiswa dapat mengetahui serta memahami penjelasan
hakikat ilmu pengetahaun dalam perspektif modern
2. Mahasiswa dapat mengetahui serta memahami
penjelasan hakikat ilmu pengetahaun dalam perspektif islam (al-Qur’an dan
Hadits)
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakikat Ilmu Pengetahaun Dalam Perspektif
Modern
1. Pengertian
Hakikat Ilmu pengetahuan
Secara etimologis hakikat berarti terang,
yakin, dan sebenarnya. Dalam filsafat, hakikat diartikan inti dari sesuatu,
yang meskipun sifat-sifat yang melekat padanya dapat berubah-ubah, namun inti
tersebut tetap lestari. Contoh, dalam Filsafat Yunani terdapat nama Thales,
yang memiliki pokok pikiran bahwa hakikat segala sesuatu adalah air. Air yang
cair itu adalah pangkal, pokok, dan inti segalanya. Semua hal meskipun
mempunyai sifat dan bentuk yang beraneka ragam, namun intinya adalah satu yaitu
air. Segala sesuatu berasal dari air dan akan kembali pada air. Istilah-istilah
dalam bahasa inggris seperti "substance" dan/atau "essence"
yang keduanya menunjuk suatu “essential nature" atau ultimate
nature of a thing. Jadi bisa pula dipahami sebagai inti dasar atau inti
terdalam pada sesuatu.
Dalam bahasa Indonesia kata science (berasal
dari bahasa latin dari kata Scio, Scire yang berarti tahu) umumnya diartikan
Ilmu tapi sering juga diartikan dengan Ilmu Pengetahuan, meskipun secara
konseptual mengacu pada makna yang sama.[1]
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki dua pengertian[2]
:
1.
Ilmu Pengetahuan diartikan sebagai suatu
pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut
metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerapkan gejala-gejala
tertentu dibidang (pengetahuan)tersebut, seperti ilmu hukum, ilmu pendidikan,
ilmu ekonomi dan sebagainya.
2.
Ilmu pengetahuan diartikan sebagai pengetahuan
atau kepandaian, tentang soal duniawi, akhirat, lahir, batin, dansebagainya,
seperti ilmu akhirat, ilmu akhlak, ilmu batin, ilmu sihir, dan sebagainya.
Dari kedua pengertian diatas dapat disimpulkan
bahwa Ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang di susun secara sistematis,
dengan menggunakan metode-metode tertentu. Ilmu bukan sekedar pengetahuan (knowledge),
tetapi merangkum sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati
dan dapat secara sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam
bidang ilmu tertentu. Dipandang dari sudut filsafat, ilmu terbentuk karena
manusia berusaha berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang
dimilikinya. Ilmu pengetahuan adalah produk dari epistemologi.[3]
Daoed Joesoef menunjukkan bahwa pengertian ilmu
mengacu pada tiga hal, yaitu: produk-produk, proses,masyarakat. Ilmu
pengetahuan sebagai Produk yaitu pengetahuan yang telah diketahui dan
diakui kebanarannya oleh masyarakat ilmuwan. Pengetahuan ilmiah dalam hal ini
terbatas pada kenyataan-kenyataan yang mengandung kemungkinan untuk disepakati
dan terbuka untuk diteliti, diuji, dan dibantah oleh seseorang. Ilmu pengetahuan
sebagai Proses artinya kegiatan kemasyarakatan yang dilakukan demi
penemuan dan pemahaman dunia alami sebagaimana adanya, bukan sebagaimana
yang kita kehendaki. Metode ilmiah yang khas dipakai dalam proses ini adalah
analisis rasional, objektif, sejauh mungkin impersonal dari masalah-masalah
yang didasarkan pada percobaan dan data yang dapat diamati. Bagi Thomas
Khun normal science adalah ilmu
pengetahuan dalam artian proses. Ilmu pengetahuan sebagai Masyarakat
artinya dunia pergaulan yang tindak-tanduknya, perilaku dan sikap sertatutur
katanya diatur oleh empat ketentuan (imperative) yaitu universalisme,
komunalisme, tanpa pamrih (disinterstedness), dan skeptisisme yang teratur.[4]
Mohammad Hatta mengartikan
ilmu pengetahuan ialah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan umum
kausal dalam satu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut
kedudukannya tampak dari luar, maupun bangunannya dari dalam. R.B.S.
Fudyartanta, seorang sarjana psikologi mengartikan ilmu pengetahuan susunan
yang sistematis daripada kenyataan-kenyataan ilmiah mengenai sesuatu obyek atau
masalah yang diperoleh dari pemikiran yang runtut.[5]
Sedangkan menurut Karl
Pearson pengarang karya Grammar of Science, ilmu pengetahuan ialah
lukisan atau keterangan yang lengkap dan konsisten tentang fakta pengalaman
dengan istilah yang sederhana). Selain itu, Ralph Ross dan Ernest Van Den Haag
mengartikan ilmu pengetahuan yaitu yang empiris, rasional, umum dan bersusun,
yang keempatnya serentak.
Dari keterangan-keterangan
para ahli tentang ilmu pengetahuan, dapat disimpulkan bahwa ilmu pengetahuan
adalah pengetahuan yang mempunyai ciri, tanda dan syarat tertentu yaitu
sistematis, rasional, empiris, umum dan komulatif (bersusun timbun) serta
lukisan dan keterangan yang lengkap dan konsisten mengenai hal-hal yang di studinya dalam ruang dan waktu sejauh jangkauan pemikiran
dan pengindraan manusia.
2. Sifat Ilmu Pengetahuan
Ciri umum dari kebenaran ilmu pengetahuan
yaitu bersifat Rasional, Empiris, dan Sementara.
1. Rasional artinya kebenaran itu ukurannya akal.
Sesuatu dianggap benar menurut ilmu apabila masuk akal. Sebagai contoh dalam
sejarah kita menemukan adanya bangunan Candi Borobudur yang sangat menakjubkan.
Secara akal pembangunan Candi Borobudur dapat dijelaskan, misalnya bangunan tersebut
dibuat oleh manusia biasa dengan menggunakan teknik-teknik tertentu sehingga
terciptalah sebuah bangunan yang megah. Janganlah kita menjelaskan bahwa
Borobudur dibangun dengan menggunakan kekuatan-kekuatan di luar manusia,
misalnya jin, sihir, setan, atau jenis makhluk-makhluk lainnya. Kalau
penjelasan seperti ini, maka sejarah bukanlah sebagai ilmu pengetahuan.
2. Empiris artinya ilmu itu berdasarkan kenyataan.
Kenyataan yang dimaksud di sini yaitu berdasarkan sumber yang dapat dilihat
langsung secara materi atau wujud fisik. Empiris dalam sejarah yaitu sejarah
memiliki sumber sejarah yang merupakan kenyataan dalam ilmu sejarah. Misalnya
kalau kita bercerita tentang terjadinya Perang, maka perang itu benar-benar ada
berdasarkan bukti-bukti atau peninggalan-peninggalan yang ditemukannya.
Kemungkinan masih adanya saksi yang masih hidup, adanya laporan-laporan
tertulis, adanya tempat yang dijadikan pertempuran, dan bukti- bukti lainnya.
Dengan demikian, cerita sejarah merupakan cerita yang memang-memang empiris,
artinya benar benar terjadi. Kalau cerita tidak berdasarkan bukti, bukan
sejarah namanya, tetapi dongeng yang bersifat fiktif.
3. Sementara artinya kebenaran ilmu pengetahuan
itu tidak mutlak lain halnya kebenaran dalam agama. Kemutlakan kebenaran agama
misalkan dikatakan bahwa Tuhan itu ada dan memiliki sifat yang berbeda dengan
makhluknya. Ungkapan ini tidak dapat dibantah harus diyakini atau diimani oleh
manusia. Lain halnya dengan ilmu pengetahuan, kebenarannya bersifat Sementara,
artinya dapat dibantah apabila ditemukan teori-teori atau bukti-bukti yang
baru. Dalam sejarah, kesementaraan ini dapat dalam bentuk perbedaan penafsiran
terhadap suatu peristiwa. Perbedaan ini dapat diterima selama didukung oleh
bukti yang akurat. Kesementaraan inilah yang membuat ilmu pengetahuan itu
berkembang terus.[6]
Sedangkan syarat ilmu Pengetahuan sebagaimana pendapat Dani Vardiansyah dalam
bukunya Filsafat Ilmu Komunikasi, bahwa ilmu pengetahuan ilmiah harus memenuhi
tiga syarat, yaitu:[7]
1. Sistematik; yaitu merupakan kesatuan
teori-teori yang tersusun sebagai suatu sistem.
2. Objektif; atau dikatakan pula sebagai
intersubjektif, yaitu teori tersebut terbuka untuk diteliti oleh orang
lain/ahli lain, sehingga hasil penelitian bersifat universal.
3. Dapat dipertanggung jawabkan; yaitu mengandung
kebenaran yang bersifat universal, dengan kata lain dapat diterima oleh
orang-orang lain atau ahli-ahli lain. Sebagai pandangan lain, syarat utama
berdirinya sebuah ilmu pngetahuan adalah bersifat umum-mutlak dan dapat memberi
informasi baru. Teori ini dipakai dikarenakan esensinya bisa di pandang
uneversal aau memenuhi syarat kebenaran inter-subjektif. Dan ilmu harus di bangun
dan di kembangkan di atas tiga pondasi utama yaitu data, teori/epistemologi dan
nilai/etika.[8]
3. Hakikat pengetahuan
menurut aliran yang berkembang yakni:
a. Idealisme:
Para penganut aliran idealism berpandangan
bahwa pengetahuan adalah proses-proses mental dan psikologis yang bersifat
subyektif. Oleh karena itu, pengetahuan tidak lain merupakan gambaran subyektif
tentang suatu kenyataan. Menurut mereka, pengetahuan tidak memberikan gambaran
sebenarnya tentang kenyataan yang berada di luar pikiran manusia.
b. Empirisme
Tentang asal-usul pengetahuan para penganut
aliran ini mengatakan bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman indra. Tentang
hakikat pengetahuan, mereka mengatakan bahwa pengetahuan adalah pengalaman.
Seorang tokoh empirisme radikal David Hume. Dia berpendapat bahwa ide-ide dapat
dikembalikan kepada sensasi-sensasi (rangsang indra). Pengalaman merupakan
ukuran terakhir dari kenyataan. Apa yang dialami, itulah pengetahuan.
c. Positivisme
Kalau idealism dapat dianggap sebagai
kelanjutan dari rasionalisme, maka positivime merupakan perpanjangan dari
empirisme. Para penganut aliran ini menolak kenyataan di luar pengalaman.
Mereka mengatakan bahwa kepercayaan yang berdasarkan dogma harus digantikan
pengetahuan yang berdasarkan fakta.
d. Pragmatisme
Tokoh-tokoh aliran ini antara lain Willian
James, John Dewey, dan C.S. Pierce. Menurut aliran ini, hakikat pengetahuan
terletak dalam manfaat praktisnya bagi kehidupan. Pengetahuan adalah sarana
bagi perbuatan. C.S. Pierce mengatakan bahwa yang penting adalah pengaruh
sebuah ide atau pengetahuan bagi sebuah rencana. Nilai sebuah pengetahuan
tergantung pada penerapannya secara konkrit dalam kehidupan masyarakat. Suatu
pengetahuan itu benar bukan karena ia mencerminkan kenyataan obyektif,
melainkan karena ia bermanfaat bagi umum. Menurut William James, ukuran
kebenaran ditentukan oleh akibat praktisnya. Sedangkan John Dewey menegaskan
tidak perlu mempersoalkan kebenaran suatu pengetahuan, tapi sejauh mana
pengetahuan memecahkan persoalan yang dihadapi masyarakat.
4. Sumber ilmu pengetahuan
Dalam hal ini ada beberapa pendapat
mengenai sumber ilmu pengetahuan diantaranya:
1. Empirisme: Kata ini berasal dari Yunani
Empirikos, yang artinya pengalaman. Menurut aliran ini manusia memperoleh
pengetahuan melalui pengalamannya dan bila dikembalikan kepada kata Yunani,
pengalaman yang dimaksud ialah pengalaman indrawi.[9]
2. Rasionalisme: Aliran ini menyatakan bahwa akal
adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur
dengan akal. Manusia memperoleh pengetahuan melalui kegiatan menangkap objek. Akal
menggunakan konsep-konsep rasional atau ide-ide universal. Konsep tersebut
mempunyai wujud dalam alam nyata dan
bersifat universal.Yang dimaksud dengan prinsip-prinsip universal adalah
abstraksi dari benda-bendakonkrit.[10]
3. Intuisi: Menurut Henry Bergson intuisi adalah
hasil dari evolusi pemahaman yang tertinggi. Kemampuan ini mirip dengan insting,
tetapi berbeda dengan kesadaran dan kebebasannya. Pengembangan kemampuan ini
(intuisi) memerlukan suatu usaha. Ia juga mengatakan bahwa intuisi adalah suatu
pengetahuan yang langsung, yang mutlak. Menurutnya, mengatasi sifat lahiriah
pengetahuan simbolis, yang pada dasarnya bersifat analis, menyeluruh, mutlak,
dan tanpa dibantu penggambaran secara simbolis. Karena itu intuisi adalah
sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika.[11]
4. Wahyu: Wahyu adalah pengetahuan yang
disampaikan oleh Allah kepada manusia lewat perantara para nabi. Para nabi memperoleh
dari Tuhan tanpa upaya, tanpa bersusah payah. Pengetahuan mereka terjadi atas
kehendak Tuhan. Tuhan mensucikan jiwa mereka untuk memperoleh kebenaran dengan
jalan wahyu.[12]
Pengetahuan dengan jalan ini merupakan kekhususan para nabi. Hal inilah yang
membedakan mereka dengan manusia lainnya. Akal meyakinkan bahwa kebenaran
pengetahuan mereka berasal dari Tuhan, karena pengetahuan ini memang ada pada
saat manusia biasa tidak mampu mengusahakannya, karena hal ini memang diluar
kemampuan manusia. Bagi manusia tidak ada jalan lain kecuali menerima dan
membenarkan semua yang berasal dari Nabi.[13]
5. Struktur Fundamental Ilmu Pengetahuan
Dalam
bukuWhat is Science karya Archei J. Bahm di dalam bukunya Muhammad Muslih bahwa
secara umum membicarakan enam komponen dari rancang bangun ilmu pengetahuan,
artinya dengan enam komponen itu, sesuatu itu bisa disebut ilmu pengetahuan
,yaitu:[14]
1. Adanya masalah (problem): Dalam persoalan ini, Archei J. Bahm
menjelaskan bahwa tidak semua masalah menunjukkan ciri keilmiahan. Suatu
masalah disebut masalah ilmiah jika memenuhi persyaratan, yaitu bahwa masalah
itu merupakan masalah yang dihadapi dengan sikap dan metode ilmiah. Masalah
yang terus mencari solusi. Masalah yang saling berhubungan dengan masalah dan
solusi ilmiah lain secara sistematis (dan lebih memadai dalam memberikan
pemahaman yang lebih besar). Untuk itu ia menawarkan, masalah yang dapat
dikomunikasikan dan capable, yang disuguhkan dengan sikap dan metode ilmiah
sebagai ilmu pengetahuan awal, sudah pantas dikatakan masalah ilmiah (
scientific problem).
2. Adanya sikap ilmiyah: Sikap ilmiah, menurut Bahm paling tidak,
meliputi enam karakteristik pokok, yaitu: keingintahuan, spekulasi, kemauan
untuk objektif, kemauan utnuk menangguhkan penilaian, dan kesementaraan. Pertama,
Keingintahuan yang dimaksud di sini adalah keingintahuan ilmiah, yang bertujuan
untuk memahami. Ia berkembang dan berjalan terus sebagai perhatian bagi
penyelidikan, penelitian, pengujian, eksplorasi, petualangan dan
eksperimentasi. Kedua, Spekulatif yang penuh arti; Yaitu diawali dengan
keingintahuan untuk mencoba memecahkan semua masalah yang ditandai dengan
beberapa usaha, termasuk usaha untuk menemukan solusi, misalnya dengan
mengusulkan satu hipotesa atau lebih. Artinya, spekulasi adalah sesuatu hal
yang disengaja dan berguna untuk mengembangkan dan mencoba membuat berbagai
hipotesa. Dengan demikian, spekulasi merupakan karakteristik yang esensial
dalam sikap ilmiah. Ketiga, Kemauan untuk objektif di sini Archei J.
Bahm menjelaskan bahwa objektifitas adalah salah satu jenis sikap subjektif.
Dalam arti bahwa objektifitas bergantung kepada eksistensinya, tidak hanya
eksistensi sebuah subyek, tetapi juga atas kemauan subyek untuk memperoleh dan
mengikuti sikap objektif, dalam arti sifat untuk memahami sifat dasar objek itu
sendiri, sejauh objek tersebut bisa dipahami dengan cara ini. Keempat,
Keterbukaan. Maksud sikap ini menyangkut kemauan untuk bersikap terbuka. Ini
termasuk kemauan untuk mempertimbangkan semua saran yang relevan dengan
hipotesis, metodologi, dan bukti yang berhubungan dengan masalah di mana
seseorang bekerja. Sikap ini harus dibarengi dengan sikap toleran, dan bahkan
menerima ide-ide baru, termasuk, tidak saja ide yang berbeda dengan ide-idenya,
tetapi juga yang kontradiksi atu yang berseberangan dengan
kesimpulan-kesimpulannya. Kelima, Kemauan untuk menangguhkan penilain
atau menunda keputusan. Bila penyelidikan tentang suatu objek atau masalah
tidak menghasilkan pemahaman atau solusi yang diinginkan, maka seseorang tidak
boleh menuntut jawaban yang lebih dari apa yang ia peroleh. Sikap ilmiah
menyangkut kemauan untuk menangguhkan penilaian sampai bisa diperolehnya semua
bukti yang diperlukan. Keenam,
Kesementaraan. Sikap kesementaraan akan selalu meragukan validitas suatu
hipotesa termasuk pengerjaannya, bahkan
meragukan segala usaha ilmiah termasuk bidang keahlian seseorang. Meskipun
pengalaman perorangan dan kelompok cenderung membenarkan keyakinan yang lebih
kuat dan memandangnya sebagai kesimpulan.
3. Menggunakan metode ilmiyah: Sifat dasar metode ilmiah ini, menurut Archei
J. Bahm harus dipandang sebagai hipotesa untuk pengujian lebih lanjut. Esensi
ilmu pengetahuan adalah metodenya, sedang sisi yang lain, Berkenaan dengan
sifat dasar metode ilmiah. Archei J. Bahm berpendapat bahwa metode ilmiah itu
adalah satu sekaligus banyak; dikatakan satu karena metode ilmiah, dalam
penerapannya tidak ada persoalan, sedang dikatakan banyak, karena pada
kenyataannya terdapat banyak jalan. Yaitu; a). masing-masing ilmu mempunyai
metodenya sendiri-sendiri, yang paling cocok dengan jenis masalahnya sendiri.
b). Setiap masalah particular memerlukan metode uniknya sendiri. c). Secara
historis, para ilmuwan dalam bidang yang sama dalam waktu yang berbeda, memakai
metode yang sama sekali berbeda, lantaran berbeda dalam perkembangan teoritis
dan temuan teknologis. d). Perkembangan yang cepat dalam banyak ilmu
pengetahuan dan teknologi yang semakin lama semakin saling bergantung dewasa
ini, memerlukan perkembangan berbagai metodologi baru yang cepat, berkenaan
dengan jenis masalah yang lebih ruwet dan dinamis. e). Siapa saja yang concern
pada metode ilmiah harus mengakui bahwa metode ini mempunyai tahapan-tahapan
yang membutuhkan metode yang berbeda pada setiap tahapannya. Secara lebih
khusus, metode ilmiah meliputi lima langkah, yaitu 1) Menyadari akan masalah;
2) Menguji masalah 3) Mengusulkan solusi 4) Menguji usulan atau proposal; dan
5) Memecahkan masalah.
4. Adanya aktifitas: Ilmu pengetahuan adalah apa yang dikerjakan
oleh para ilmuwan, yang kemudian bisaa disebut dengan riset ilmiah. Riset
demikian mempunyai dua aspek: iindividu dan social. Aspek Individu; Ilmu
pengetahuan adalah suatu aktifitas yang dilakukan oleh orang-orang khusus.
Aspek Sosial; Aktivitas ilmiah mencakup lebih banyak dari apa yang dikerjakan
oleh para ilmuwan khusus.
5. Adanya kesimpulan: Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang
dihasilkan. Makanya ilmu pengetahuan sering dipahami sebagai kumpulan
pengetahuan. Ide-ide adalah ilmu pengetahuan itu sendiri. kesimpulan pemahaman
yang dicapai sebagai hasil pemecahan masalah adalah tujuan ilmu pengetahuan.
Kesimpulan adalah akhir atau tujuan yang membenarkan sikap, metode, dan
aktifitasnya sebagai cara-cara. Kesimpulan adalah ilmu yang diselesaikan, bukan
ilmu sebagai prospek atau dalam proses.
6. Adanya pengaruh: Ilmu pengetahuan adalah apa yang digarap oleh
ilmu pengetahuan. Bagian apa yang digarap oleh ilmu pengetahuan tersebut,
kemudian menimbulkan pengaruh beraneka ragam, yang dapat dihubungkan pada dua
hal, yaitu; ). Pengaruh ilmu pengetahuan terhadap teknologi dan industri, yang
disebut ilmu terapan. b). pengaruh ilmu terhadap masyarakat dan peradaban.
6. Metode Perolehan Ilmu Pengetahuan
Tujuan dari ilmu
pengetahuan ialah tercapainya kebenaran. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka
ditempuhlah cara dan jalan tertentu, yang dikenal dengan metode ilmu
pengetahuan atau metode ilmiah.
Pendapat para para ahli
mengenai metode memperoleh ilmu pengetahuan: Francis Bacon mengemukakan empat sendi kerja untuk
menyusun ilmu pengetahuan yaitu: Observasi (pengamatan), Measuring (pengukuran), Explaining (penjelasan), Verifying (pemeriksaan benar tidaknya)
Metode ilmiah versi ke 19,
menurut Ir Djuma’in Basalim dalam artikelnya “Orientasi Terhadap Science” ialah
sebagai berikut:
1. Mengajukan pertanyaan terhadap alam
2. Mengumpulkan bukti-bukti yang tepat
3. Membuat keterangan secara hipotesa
4. Mengumpulkan pengertian
5. Mengetes secara experimental
6. Menolak atau menyetujui atau berubah hipotesa yang telah
disusun.
Menurut Elgin F. Hunt
meliputi enam bagian yaitu:
1. Observasi
2. Perumusan masalah
3. Mengumpulkan dan mengklasifikasikan fakta tambahan yang
baru
4. Mengadakan generalisasi
5. Perumusan hipotesa
Dari rangkaian keterangan
tersebut diatas jelaslah bahwa terbentang jalan yang panjang harus dilalui
dalam proses dari pengetahuan biasa menjadi pengetahuan ilmiah atau ilmu
pengetahuan. Proses yang ditempuh itu, yang dikenal dengan sebutan metode
ilmiah yaitu sebagai berikut: Pengumpulan data dan fakta, Pengamatan terhadap data dan fakta tersebut, Pemilihan (seleksi) data dan fakta, Penggolongan (klasifikasi) data dan fakta, Penafsiran (interpretasi) data dan fakta, Penarikan
kesimpulan umum (generalisasi), Perumusan hipotesa, Pengujian (verifikasi) terhadap hipotesa melalui riset,
empiri, dan experimen, Penilaian (evaluasi),
menerima atau menolak, menambah atau merubah hipotesa, Perumusan teori ilmu pengetahuan dan Perumusan dalil atau hukum ilmu pengetahuan.
B. Hakikat Ilmu Pengetahaun dalam perspektif islam
(al-Qur’an dan Hadits)
1. Pengertian dan pentingnya ilmu pengetahuan
Ilmu adalah isim masdar
dari ‘alima yang berarti mengetahui, mengenal, merasakan, dan menyakini. Secara
istilah, ilmu ialah dihasilkannya gambaran atau bentuk sesuatu dalam akal. Kata
ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam Alqur’an, dan digunakan
dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan obyek pengetahuan. Ilmu dari segi
bahasa berarti kejelasan, karena itu segala yang terbentuk dari akar katanya
mempunyai ciri kejelasan. Jadi dalam batasan ini faktor kejelasan merupakan
bagian penting dari ilmu.[16]
Islam sebagai agama yang
sangat menghormati ilmu pengetahuan, tidak diragukan lagi. Banyak argumen yang
dapat dirujuk, di samping ada ayat-ayat al-Qur`an dan hadits Nabi saw. yang
mengangkat derajat orang berilmu, juga di dalam al-Qur`an mengandung banyak
rasionalisasi, bahkan menempati bagian terbesar. Hal ini diakui Meksim Rodorson
(seorang penulis Marxis) ketika menelaah Q.S. Ali Imrân/3: 190-191 dan Q.S.
Al-Baqarah/2: 164. Menurutnya, dalam al-Qur`an kata ‘aqala (mengandung
pengertian menghubungkan sebagian pikiran dengan sebagian yang lain dengan
mengajukan bukti-bukti yang nyata sebagai argumentasi yang harus dipahami
secara rasional) disebut berulang kali, tidak kurang dari lima puluh kali dan
sebanyak tiga belas kali berupa bentuk pertanyaan sebagai protes yang mengarah
pada kajian ilmiyah, seperti “Apakah kamu tidak berakal?". Seandainya
meneliti kata-kata lainnya: nazhara (menganalisa), tafakkara (memikirkan),
faqiha (memahami), ‘alima (mengerti, menyadari), burhan (bukti, argumentasi),
lubb (intelektual, cerdas, berakal) dan lain-lain, niscaya akan menemukan
banyak sekali nilai-nilai ilmiyah yang terdapat dalam al-Qur`an.[17] Maka dapat dikatakan bahwa ilmu itu membutuhkan
pembuktian (dalil, hujjah atau argumen) sebagai hasil dari sebuah pencarian,
dan al-Qur`an mengisyaratkan mengenai hal ini.
Menurut al Maraghi ayat
tersebut memberikan isyarat tentang kewajiban memperdalam ilmu agama serta
menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk mempelajirinya di dalam suatu
negeri yang telah didirikan serta mengajarkannya kepada manusia berdasarkan
kadar yang diperkirakan dapat memberikan kemaslahatan bagi mereka sehingga
tidak dibiarkan mereka tidak mengetahui hukum-hukum agama yang pada umumnya
harus diketahui oleh orang-orang yang beriman.[18]
Dalam pandangan Syed
Naquib al-Attas, ilmu pengetahuan Barat-modern yang diproyeksikan melalui
pandangan-hidupnya, dibangun di atas visi intelektual dan psikologi budaya dan
peradaban Barat. Menurutnya, ada lima faktor yang menjiwai budaya dan peradaban
Barat: 1) akal diandalkan untuk membimbing manusia, 2) bersikap dualistik
terhadap realitas dan kebenaran, 3) menegaskan aspek eksistensi yang
memproyeksikan pandangan hidup secular, 4) membela doktrin humanisme, 5)
menjadikan drama dan tragedi sebagai unsur-unsur yang dominan dalam fitrah dan
eksistensi kemanusiaan.
Menyadari krisis ilmu
pengetahuan dalam budaya dan peradaban Barat, Naquib al-Attas menyimpulkan ilmu
yang berkembang di Barat tidak semestinya harus ditetapkan di dunia Muslim.
Ilmu bisa dijadikan alat yang sangat halus dan tajam bagi menyebar luaskan cara dan pandangan hidup sesuatu kebudayaan.
Sebabnya, ilmu bukan bebas-nilai (value-free), tetapi sarat nilai (value
laden)[19]
Berdasarkan uraian
tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut yaitu:
1. Al Qur'an sangat mendorong dikembangkannya ilmu
pengetahuan. Hal ini terlihat dari banyaknya ayat al Qur'an yang menyuruh
manusia agar menggunakan akal pikiran dan segenap potensi yang dimilikinya
untuk memperhatikan segala ciptaan Allah SWT.
2. Dorongan al Qur'an terhadap pengembangan ilmu pengetahuan
tersebut terlihat pula dari banyaknya ayat al Qur'an yang berkaitan dengan ilmu
pengetahuan, pujian dan kedudukan yang tinggi bagi orang-orang yang berilmu
serta pahala bagi yang menuntut ilmu.
3. Sungguhpun banyak temuan dibidang ilmu pengetahuan yang
sejalan dengan kebenaran ayat-ayat al Qur'an, namun al Qur'an bukanlah buku
tentang ilmu pengetahuan. Al Qur'an tidak mencakup cabang ilmu pengetahuan.
4.
Bahwa temuan manusia dalam bidang ilmu
pengetahuan patut dihargai. Namun tidak sepatutnya membawa dirinya menjadi
sombong dibandingkan dengan kebenaran al Qur'an. Temuan manusia tersebut
terbatas dan tidak selamanya benar, sedangkan al Qur'an bersifat mutlak dan
berlaku sepanjang zaman.
5.
Al Qur'an adalah kitab
yang berisi petunjuk termasuk petunjuk dalam pengembangan ilmu pengetahuan,
yaitu agar ilmu pengetahuan dikembangkan untuk tujuan peningkatan ibadah,
akidah, dan akhlak yang mulia.
6.
Kemajuan yang dicapai oleh
manusia dalam bidang ilmu pengetahuan harus ditujukan untuk mencapai
kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Hal ini akan terjadi manakala tujuan
dari pengembangan ilmu pengetahuan tersebut tidak dilepaskan dari dasar
peningkatan ibadah, akidah, dan akhlak tersebut.
7.
Sebagai kitab petunjuk al
Qur'an tidak hanya mendorong manusia agar mengembangkan ilmu pengetahuan,
melainkan juga memberikan dasar bidang dan ruang lingkup ilmu pengetahuan, cara
menemukan dan mengembangkannya, tujuan penggunaanya, serta sifat dari ilmu
pengetahuan itu sendiri.
8.
Al Qur'an tidak hanya
menjelaskan tentang sumber ilmu (ontologi), melainkan juga tentang cara
mengembangkan ilmu (epistemologi) dan manfaat ilmu (aksiologi).
Dalam Islam sumber ilmu
itu pada garis besarnya ada dua yaitu ilmu yang bersumber pada wahyu (al
Qur'an) yang menghasikan ilmu naqli, seperti ilmu-ilmu agama ilmu
tafsir, hadis, fikih, tauhid, tasawuf dan sejarah. Dan ilmu yang bersumber pada
alam melalui penalaran yang menghasilkan ilmu aqli seperti filsafat,
ilmu sosial, teknik, biologi, sejarah, dan lain-lain. Ilmu naqli dihasilkan
dengan cara memikirkan secara mendalam (berijtihad) dengan metode tertentu dan
persayaratan tertentu.[20]Sedangkan
ilmu aqli dihasilkan melalui penelitian kuantitatif dan penelitian
kualitatif. Ilmu-ilmu tersebut harus diabadikan untuk beribadah kepada Allah
dalam arti yang seluas-luasnya. Oleh
karena itu, peranan ilmu pengetahuan dalam kehidupan seseorang sangat besar,
dengan ilmu pengetahuan, derajat manusia akan berbeda antara yang satu dengan
yang lainnya. Sehingga tidaklah sama
antara orang yang berpengetahuan dan orang yang tidak berpengetahuan.
Allah berfirman:
يَرْفَعِ اللهُ
الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللهُ
بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (المجادلة: 11)
Artinya: “Niscaya
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang
yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat, dan Allah Maha mengetahui apa
yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Mujadilah: 11)
Ibnu ‘Abbas ketika
menafsirkan ayat ini mengatakan bahwa derajat para ahli ilmu dan orang mukmin
yang lain sejauh 700 derajat. Satu derajat sejauh perjalanan 500 tahun.[21]
Imam As-Syafi’i mengatakan:
مَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ وَمَنْ
أَرَادَ الْآخِرَةَ فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ
Artinya: “Barang siapa menghendaki (kebaikan)
dunia, maka hendaknya ia menggunakan ilmu, dan barang siapa menghendaki
kebaikan akhirat, maka hendaknya menggunakan ilmu.[22]
Abu Aswad berkata :
وقال أبو الأسود: ليس شيء أعز من العلم، الملوك
حكام على الناس والعلماء حكام على الملوك
Artinya : “tidak ada
sesuatu yang lebih mulia dari pada ilmu, kerajaan itu bertindak menghakimi
manusia, sementara ulama bertindak menghakimi kerajaan”[23]
Dari perkataan abu
Aswad tersebut dapat diambil ibroh bahwa ketika sistem kepemerintahan
dikendalikan oleh ulama, pasti kepemerintahan tersebut akan berjalan dengan
lancar dan sejahtera. Artinya ilmu pengetahuan sangat penting untuk bisa mengendalikan
tatanan kenegaraan yang sistematis.
2.
Objek Ilmu pengetahuan dan
cara Memperolehnya
Obyek
ilmu pengetahuan dapat dibagi dalam dua bagian pokok yaitu alam materi dan alam
non materi. Sains mutakhir mengarahkan pandangan kepada alam materi, sehingga
mereka membatasi ilmu pada bidang tersebut. Bahkan sebagian mereka tidak
mengetahui adanya realita yang tidak dapat dibuktikan dalam materi. Pada dasarnya potensi yang dimiliki oleh manusia untuk
mengetahui sesuatu terdiri atas tiga macam, yaitu 1) indera, 2) akal, 3) hati.[24]
1. Pengamatan Melalui
Indera
Al-Qur’an menjelaskan
adanya pengetahuan yang diperoleh melalui indera dengan cara mengamati. Dalam
surat al-Ankabut : 20, Allah SWT menyuruh manusia untuk berjalan di muka bumi
dan memerhatikan percipataan manusia. Dalam surat Yunus : 101, Allah SWT memerintahkan
manusia untuk memperhatikan apa yang ada di langit dan memerhatikan apa yang
ada di bumi.
Namun tidak semua
pengetahuan yang hendak diketahui dapat diperoleh dengan indera. Karena
keterbatasan kemampuan inderawi, manusia tidak dapat menjangkau hal-hal yang
ada dibalik penangkapan indera tersebut. Karena itu, Allah SWT mengecam
orang-orang yang hanya mengandalkan inderanya untuk memeroleh pengetahuan lebih
dalam, Allah SWT berfirman : “dan ingatlah ketika kamu berkata, “Hai
Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan
terang. Karena itu, kamu disambar halilintar, sedang kamu
menyaksikannya,” (QS al-Baqarah : 55).
2. Pengamatan Melalui Akal
Keterbatasan dan
kelemahan indera, disempurnakan oleh akal. Akal dapat mengoreksi kesalahan
pengetahuan inderawi sebab akal mempunyai kemampuan untuk mengetahui
objek-objek abstrak yang logis. Seperti halnya pengetahuan bahwa Allah SWT itu
Maha Kuasa dan Maha Penyayang diperoleh dengan menggunakan akal, bukan dengan
menggunakan indera.
3. Pengamatan Melalui Suara Hati
Selain indera dan akal,
potensi yang dimiliki manusia untuk mengetahui pengetahuannya adalah potensi
hati. Atau menurut Imam al-Ghazali yang disebut dhamir. Potensi
ketiga ini dapat memberi peluang kepada manusia untuk memeroleh pengetahuan
dengan lebih baik. Jika akal hanya dapat mengetahui objek abstrak
yang logis, potensi hati dapat mengetahui objek abstrak yang supra logis
(ghaib).
Al-Ghazali menjelaskan
bahwa pengetahun yang diterima para nabi dan Rasul Allah, bukanlah melalui
indera dan akal, melainkan melalui hati yang disebut wahyu. Sebagaimana dalam
firman-Nya : “Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan
perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Quran)
dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu
cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara
hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk kepada
jalan yang lurus. (QS. asy-Syu’ara : 52).
Selanjutnya, dari wahyu pertama Al-Quran diperoleh
isyarat bahwa ada dua cara perolehan dan pengembangan ilmu, yaitu Allah
mengajar dengan pena yang telah diketahui manusia lain sebelumnya, dan mengajar
manusia (tanpa pena) yang belum diketahuinya. Cara pertama adalah mengajar
dengan alat atau atas dasar usaha manusia. Cara kedua dengan mengajar tanpa
alat dan tanpa usaha manusia. Walaupun berbeda, keduanya berasal dari satu
sumber, yaitu Allah Swt. inilah yang disebut ilmu laduni.
Dalam ilmu pengetahuan kealaman atau sains natural,
orang mengumpulkan pengetahuan itu dengan mengadakan pengamatan atau observasi,
pengukuran atau pengumpulan data pada alam sekitar kita, baik yang hidup
seperti manusia, binatang, dan tumbuhan, maupun yang tak bernyawa seperti
bintang, matahari, gunung, lautan, dan benda-benda yang mengelilingi kita.[25]
Secara lebih rinci pengamatan-pengamatan benda disekitar kita dapat penulis
paparkan pada bagian hakikat ilmu pengetahuan. Dimana hakikat tersebut
mempunyai keterpaduan antara sains dengan Al qur’an. Seperti:
(1)Pandangan
terhadap Alam Semesta)
1.
Pandangan klasik: Pada
dasarnya pandangan ini mengatakan bahwa langit yang begitu luas dengan
benda-benda didalamnya, dianggap mengelilingi bumi. Akan tetapi pendapat ini
dibantah oleh Galileo yang mengatakan bahwa semua benda langit berputar
mengelilingi matahari.
2.
Pandangan modern: Dari
perhitungan mengenai perbandingan jarak dan kelajuan gerak masing-masing
galaksi yang teramati, para fisikawan kosmolog menarik kesimpulan bahwa semua galaksi
di alam ini semula bersatu padu dengan galaksi Bimasakti, kira-kira 15 milyar
tahun yang lalu.[26]
Dahulu orang tidak ada yang tahu bahwa langit dan bumi itu awalnya satu.
Ternyata ilmu pengetahuan modern seperti teori Big Bang menyatakan bahwa alam
semesta (bumi dan langit) itu dulunya satu. Kemudian akhirnya pecah menjadi
sekarang ini.
3.
Pandangan Al qur’an: Hasil
penelitian modern ternyata senada dengan firman Allah : “Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui
bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian
Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang
hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” [Al Anbiyaa:30]
(2) Diselamatkannya Jasad Fir’aun[27]
“Maka pada hari ini
Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang
yang datang sesudahmu” [QS. Yunus :92].
Maurice Bucaille
dulunya adalah peneliti mumi Fir’aun di Mesir. Pada mumi Ramses II dia
menemukan keganjilan, yaitu kandungan garam yang sangat tinggi pada tubuhnya.
Dia baru kemudian menemukan jawabannya di Al-Quran, ternyata Ramses II ini
adalah Firaun yang dulu ditenggelamkan oleh Allah swt ketika sedang mengejar
Nabi Musa as.
Injil dan Taurat hanya
menyebutkan bahwa Ramses II tenggelam, tetapi hanya Al-Quran yang kemudian
menyatakan bahwa mayatnya diselamatkan oleh Allah swt, sehingga bisa menjadi
pelajaran bagi kita semua.
Perhatikan bahwa Nabi
Muhammad saw hidup 3000 tahun setelah kejadian tersebut, dan tidak ada cara
informasi tersebut (selamatnya mayat Ramses II) dapat ditemukan beliau (karena
di Injil dan Taurat pun tidak disebut). Makam
Fir’aun, Piramid, yang tertimbun tanah baru ditemukan oleh arkeolog Giovanni
Battista Belzoni tahun 1817. Namun Al-Quran bisa menyebutkannya
karena memang firman Allah swt (bukan buatan Nabi Muhammad saw).
BAB III
ANALISIS/ REFLEKSI
Perlu kita ketahui Ilmu dan manusia merupakan
suatu yang sangat erat kaitannya. Oleh karena itu Berpikir mencirikan hakikat
manusia dan karena berpikirlah dia menjadi manusia. Berpikir pada dasarnya
merupakan sebuah proses yang membuahkan pengetahuan atau pun ilmu. Ilmu pengetahuan
merupakan salah satu dari pengetahuan manusia yang harus benar-benar dihargai.
Untuk dapat menghargai ilmu pengetahuan tersebut, seseorang dituntut untuk
mengerti hakikat ilmu pengetahuan. karena ilmulah yang akan menunjukkan sebuah
kebenaran hakiki.
Karena hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri adalah
rangkaian aktivitas manusia dengan prosedur ilmiah baik melalui pengamatan,
penalaran maupun intuisi sehingga menghasilkan pengetahuan yang sistematis
mengenai alam seisinya serta mengandung nilai-nilai logika, etika, estetika,
hikmah, rahmah, dan hidayah bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu, peranan ilmu
pengetahuan dalam kehidupan seseorang sangat besar, dengan ilmu pengetahuan,
derajat manusia akan berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Sehingga tidaklah sama antara orang yang
berpengetahuan dan orang yang tidak berpengetahuan.
Cara memperoleh ilmu pengetahuan yaitu
pengamatan melalui indra, akal, dan suara hati. Sedangkan cirri umum dan
kebenaran ilmu pengetahaun itu sendiri yaitu rasional, empiris dan sementara. Karena
sumber ilmu pengetahuan itu sendiri yairu empirisme, rasionalisme, intuisi dan
wahyu. Dan perlu kita ketahui sesuatu
itu bisa disebut ilmu pengetahuan yaitu apabila mempunyai kompenen: adanya
masalah, adanya sikap ilmiah, menggunakan metode ilmiah, adanya aktifitas,
adanya kesimpulan dan adanya pengaruh ilmu.
Karena
Ilmu pengetahuan ialah hasil usaha pemahaman manusia yang
disusun dalam satu sistema mengenai kenyataan, struktur, pembagian,
bagian-bagian dan hukum-hukum tentang hal ikhwal yang diselidikinya (alam,
manusia, dan juga agama) sejauh yang dapat dijangkau daya pikiran manusia
yang dibantu pengindraannya, yang kebenarannya diujin secara empiris, reset dan
eksperimental.
Ditinjau dari perbedaan antara keduanya yaitu ilmu
pengetahuan
perspektif modern dan ilmu pengetahuan perspektif islam yaitu:
NO
|
Di Tinjau dari:
|
Ilmu pengetahuan
perspektif modern
|
Ilmu pengetahuan
perspektif islam
|
1.
|
Sumbernya
|
Bersumber dari ra’yu yaitu akal, budi,
rasio manusia.
|
Bersumber dari Al-Qur’an dan
Hadits
|
2.
|
Cara mencari kebenaran
|
Mencari kebenarannya dengan jalan
penyelidikan, pengalaman, dan percobaan sebagai batu ujian.
|
Mencari kebenarannya dengan jalan mempertanyakan (mencari jawaban) tentang
masalah asasi kepada Kitab Suci, kodifikasi Firman Ilahi untuk manusia di
bumi.
|
3.
|
Kebenarannya
|
Kebenarannya positif dan bersifat nisbi atau relatif.
|
Kebenarannya bersifat mutlak (absolut), karena agama adalah wahyu yang diturunkan oleh
Dzat Yang Maha Benar, Maha Mutlak, dan Maha Sempurna, yaitu Allah swt
|
4.
|
Mencari ilmu pengetahuan
|
Sikap sanksi atau tidak percaya,
dimana keraguan ialah syarat mutlak yang pertama
|
Dimulai dengan sikap percaya dan iman.
|
Namun dibalik perbedaan terdapat juga
kesamaan antara ilmu pengetahuan perspektif modern dan islam keduanya bertujuan
untuk berbicara tentang kebenaran. Selain itu, metode dan karakteristik masing-masing, memberikan jawaban atas segala
persoalan asasi yang dipertanyakan manusia, baik tentang alam maupun tentang
manusia ataupun tentang Tuhan.
|
BAB IV
KESIMPULAN
1. Secara
etimologis hakikat berarti terang, yakin, dan sebenarnya. Dalam filsafat,
hakikat diartikan inti dari sesuatu, yang meskipun sifat-sifat yang melekat
padanya dapat berubah-ubah, namun inti tersebut tetap lestari.
2. Ilmu adalah isim masdar dari ‘alima yang berarti
mengetahui, mengenal, merasakan, dan menyakini. Secara istilah, ilmu ialah dihasilkannya
gambaran atau bentuk sesuatu dalam akal. Kata ilmu dengan berbagai bentuknya
terulang 854 kali dalam Alqur’an, dan digunakan dalam arti proses pencapaian
pengetahuan dan obyek pengetahuan. Ilmu dari segi bahasa berarti kejelasan,
karena itu segala yang terbentuk dari akar katanya mempunyai ciri kejelasan.
Jadi dalam batasan ini faktor kejelasan merupakan bagian penting dari ilmu.
3. Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang mempunyai ciri,
tanda dan syarat tertentu yaitu sistematis, rasional, empiris, umum dan
komulatif (bersusun timbun) serta lukisan dan keterangan yang lengkap dan
konsisten mengenai hal-hal yang di studinya dalam ruang dan
waktu sejauh jangkauan pemikiran dan pengindraan manusia.
4. Hakikat
ilmu pengetahuan adalah rangkaian aktivitas manusia dengan prosedur ilmiah baik
melalui pengamatan, penalaran maupun intuisi sehingga menghasilkan pengetahuan
yang sistematis mengenai alam seisinya serta mengandung nilai-nilai logika,
etika, estetika, hikmah, rahmah, dan hidayah bagi kehidupan manusia.
DAFTAR PUSTAKA
A.
Baiquni, A. 1983. Islam dan Ilmu Pengetahuan Modern.
Jakarta : Pustaka ITB
Al-Ghazali,
Ihya’ Ulum al-Din, (maktabah syamilah, juz 1
An-Nawawi. Majmu’ syarah al muhadzdzab. (Maktabah
Syamilah, juz 1
Anwar,
Syaiful.2007. Filsafat Ilmu Al-Ghazali:Dimensi Ontologi dan Aksiologi.
Bandung: Pustaka Setia
Armas, Adnin. 2006. Seminar Pandangan Hidup dan
Epistemologi Islam: Studi Kasus Sains Islam, “Krisis Epistemologis dan
Islamisasi Ilmu.
Dep.Dik.Bud. 1988. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Harsojo. 1972. Apakah Ilmu dan Ilmu
Gabungan tentang Tingkah Laku Manusia. Bandung, Remaja Rosdakrya
Joesoef, Daoed. 1987. “Pancasila Kebudayaan
dan Ilmu Pengetahuan ”dalam Pancasila sebagai orientasi Pengembangan lmu.
Yogyakarta: PT Badan PenerbitKedaulatan Rakyat
K. Bertens.1989. Susunan Ilmu Pengetahuan
Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu. Jakarta: Gramedia
Kevin
Khomaeni, “Pandangan Al Qur’an terhadap Ilmu Pengetahuan”, www http://dirasahislamiyah.blogspot.com/2013/01/pandangan-al-quran-terhadap-ilmu.html.
Mustafa,
H.A. 1997. Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia
Muslih,
Muhammad. 2004. Filsafat Ilmu; Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan
Kerangka teori Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Belukar
Nata, Abudin. 2002. Tafsir
Ayat ayat Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Nizami,
“Keajaiban Al Qur’an dan Ilmu Pengetahuan”, www.Syiar Islam.com. Keajaiban Al
Qur’an dan Ilmu Pengetahuan.htm
Qaradhawi, Yusuf. 2003. Ilmu Pengetahuan dalam
Perspektif Islam, terj. Al-Dîn fî ‘Ashr al-‘Ilm oleh Ghazali Mukri.
Jakarta: Gunung Agung
R.B.S. Fudyartanta. 1970. Epistimologi: Intisari Filsafat dan Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Cipta Karya Abadi
Salam,
Burhanuddin.2005. Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta:
Renika Cipta
Syafi’ie, Imam. 2000. Konsep Ilmu Pengetahuan dalam
Alqur’an. Yogyakarta : UII Press
Suriasumantri, Jujun S. 1998. Filsafat Ilmu;
Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Tafsir,Ahmad.
2007 cet VII. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja
Rosdakarya
Vardiansyah,
Dani. 2008. Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Jakarta: indeks
[1] Jujun S,
Suriasumantri. Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer. (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1998). hlm 39
[3]
K. Bertens. Susunan Ilmu Pengetahuan Sebuah
Pengantar Filsafat Ilmu. (Jakarta: Gramedia, 1989) hlm. 16
[4] Daoed
Joesoef. “Pancasila Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan ”dalam Pancasila sebagai
orientasi Pengembangan lmu. ( Yogyakarta: PT Badan PenerbitKedaulatan
Rakyat,1987). hlm. 25-26.
[5]
R.B.S. Fudyartanta. Epistimologi: Intisari Filsafat dan Ilmu
Pengetahuan. (Yogyakarta: Cipta Karya Abadi, 1970). hlm. 11
[8] H.
Saeful Anwar. Filsafat Ilmu Al-Ghazali:Dimensi Ontologi dan Aksiologi. (Bandung:
Pustaka Setia, 2007). hlm. 89.
[9]
Ahmad Tafsir,Ilmu Pendidikan dalam
Perspektif Islam. (Bandung: Remaja Rosdakarya,cet. VII 2007) .hm .24
[10]
Harun Nasution, Filsafat Agama Hal.15
[11] Burhanuddin
Salam. Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan. (Jakarta: Renika
Cipta,2005) hlm. 102
[14] Muhammad
Muslih. Filsafat Ilmu; Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka teori
Ilmu Pengetahuan. (Yogyakarta: Belukar, 2004). hlm.35
[15]
Harsojo. Apakah Ilmu dan Ilmu Gabungan
tentang Tingkah Laku Manusia. (Bandung, Remaja Rosdakrya, 1972). hlm. 10
[17] Yusuf Qaradhawi. Ilmu
Pengetahuan dalam Perspektif Islam, terj. Al-Dîn fî ‘Ashr al-‘Ilm
oleh Ghazali Mukri.
(Jakarta: Gunung Agung 2003) hlm. 11
[19] Adnin Armas. Seminar Pandangan Hidup dan
Epistemologi Islam: Studi Kasus Sains Islam, “Krisis Epistemologis dan
Islamisasi Ilmu”,.2006: 20.
[20]
Ibid, hal. 168
[21]
Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din,
(maktabah syamilah, juz 1, hlm 5)
[22]
An-Nawawi.
Majmu’ syarah al muhadzdzab. (Maktabah Syamilah, juz 1, hlm. 20)
[24]
Kevin
Khomaeni, “Pandangan Al Qur’an terhadap Ilmu Pengetahuan”, www http://dirasahislamiyah.blogspot.com/2013/01/pandangan-al-quran-terhadap-ilmu.html.
[26]
Imam
syafi’i, op.cit., hlm. 89.
[27]
Nizami,
“Keajaiban Al Qur’an dan Ilmu Pengetahuan”, www.Syiar Islam.com. Keajaiban Al
Qur’an dan Ilmu Pengetahuan.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar