Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Minggu, 13 Mei 2018

MAKALAH HAKIKAT ILMU PENGETAHUAN DALAM PERSPEKTIF MODERN DAN ISLAM


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Ilmu dan manusia merupakan suatu yang sangat erat kaitannya. Oleh karena itu Berpikir mencirikan hakikat manusia dan karena berpikirlah dia menjadi manusia. Berpikir pada dasarnya merupakan sebuah proses yang membuahkan pengetahuan atau pun ilmu. Ilmu dan pengetahuan mempunyai hubungan yang sangat erat. Sementara pengetahuan merupakan logika konseptual (conceptual logic),atau sekumpulan ilmu-ilmu yang belum terhimpun dalam sebuah metode tertentu, sedang ilmu secara sederhana bisa dimaknai sebagai semua pengetahuan yang terkonstruk melalui beberapa metode-metode keilmuan. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan merupakan salah satu dari pengetahuan manusia yang harus benar-benar dihargai. Untuk dapat menghargai ilmu pengetahuan tersebut, seseorang dituntut untuk mengerti hakikat ilmu pengetahuan. karena ilmulah yang akan menunjukkan sebuah kebenaran hakiki. Dari latar belakang diatas maka dalam pembahasan makalah ini akan menjelaskan tentang hakikat ilmu pengetahuan dalam perspektif modern dan islam (al-Qur’an dan Hadits).
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Hakikat Ilmu Pengetahaun dalam perspektif moderrn?
2.      Apa Pengertian Hakikat Ilmu Pengetahaun dalam perspektif islam (al-Qur’an dan Hadits)?
C.    Tujuan Pembahasan
      Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan pembahasan dari makalah ini yaitu:
1.      Mahasiswa dapat mengetahui serta memahami penjelasan hakikat ilmu pengetahaun dalam perspektif modern
2.      Mahasiswa dapat mengetahui serta memahami penjelasan hakikat ilmu pengetahaun dalam perspektif islam (al-Qur’an dan Hadits)

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Hakikat Ilmu Pengetahaun Dalam Perspektif Modern
1.      Pengertian Hakikat Ilmu pengetahuan
Secara etimologis hakikat berarti terang, yakin, dan sebenarnya. Dalam filsafat, hakikat diartikan inti dari sesuatu, yang meskipun sifat-sifat yang melekat padanya dapat berubah-ubah, namun inti tersebut tetap lestari. Contoh, dalam Filsafat Yunani terdapat nama Thales, yang memiliki pokok pikiran bahwa hakikat segala sesuatu adalah air. Air yang cair itu adalah pangkal, pokok, dan inti segalanya. Semua hal meskipun mempunyai sifat dan bentuk yang beraneka ragam, namun intinya adalah satu yaitu air. Segala sesuatu berasal dari air dan akan kembali pada air. Istilah-istilah dalam bahasa inggris seperti "substance" dan/atau "essence" yang keduanya menunjuk suatu “essential nature" atau ultimate nature of a thing. Jadi bisa pula dipahami sebagai inti dasar atau inti terdalam pada sesuatu.
Dalam bahasa Indonesia kata science (berasal dari bahasa latin dari kata Scio, Scire yang berarti tahu) umumnya diartikan Ilmu tapi sering juga diartikan dengan Ilmu Pengetahuan, meskipun secara konseptual mengacu pada makna yang sama.[1] Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki dua pengertian[2] :
1.      Ilmu Pengetahuan diartikan sebagai suatu pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerapkan gejala-gejala tertentu dibidang (pengetahuan)tersebut, seperti ilmu hukum, ilmu pendidikan, ilmu ekonomi dan sebagainya.
2.      Ilmu pengetahuan diartikan sebagai pengetahuan atau kepandaian, tentang soal duniawi, akhirat, lahir, batin, dansebagainya, seperti ilmu akhirat, ilmu akhlak, ilmu batin, ilmu sihir, dan sebagainya.
Dari kedua pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang di susun secara sistematis, dengan menggunakan metode-metode tertentu. Ilmu bukan sekedar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu. Dipandang dari sudut filsafat, ilmu terbentuk karena manusia berusaha berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan adalah produk dari epistemologi.[3]
Daoed Joesoef menunjukkan bahwa pengertian ilmu mengacu pada tiga hal, yaitu: produk-produk, proses,masyarakat. Ilmu pengetahuan sebagai Produk yaitu pengetahuan yang telah diketahui dan diakui kebanarannya oleh masyarakat ilmuwan. Pengetahuan ilmiah dalam hal ini terbatas pada kenyataan-kenyataan yang mengandung kemungkinan untuk disepakati dan terbuka untuk diteliti, diuji, dan dibantah oleh seseorang. Ilmu pengetahuan sebagai Proses artinya kegiatan kemasyarakatan yang dilakukan demi penemuan dan pemahaman dunia alami sebagaimana adanya, bukan sebagaimana yang kita kehendaki. Metode ilmiah yang khas dipakai dalam proses ini adalah analisis rasional, objektif, sejauh mungkin impersonal dari masalah-masalah yang didasarkan pada percobaan dan data yang dapat diamati. Bagi Thomas Khun  normal science adalah ilmu pengetahuan dalam artian proses. Ilmu pengetahuan sebagai Masyarakat  artinya dunia pergaulan yang tindak-tanduknya, perilaku dan sikap sertatutur katanya diatur oleh empat ketentuan (imperative) yaitu universalisme, komunalisme, tanpa pamrih (disinterstedness), dan skeptisisme yang teratur.[4]
Mohammad Hatta mengartikan ilmu pengetahuan ialah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan  umum kausal dalam satu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut kedudukannya tampak dari luar, maupun bangunannya dari dalam. R.B.S. Fudyartanta, seorang sarjana psikologi mengartikan ilmu pengetahuan susunan yang sistematis daripada kenyataan-kenyataan ilmiah mengenai sesuatu obyek atau masalah yang diperoleh dari pemikiran yang runtut.[5]
Sedangkan menurut Karl Pearson pengarang karya Grammar of Science, ilmu pengetahuan ialah lukisan atau keterangan yang lengkap dan konsisten tentang fakta pengalaman dengan istilah yang sederhana). Selain itu, Ralph Ross dan Ernest Van Den Haag mengartikan ilmu pengetahuan yaitu yang empiris, rasional, umum dan bersusun, yang keempatnya serentak.
Dari keterangan-keterangan para ahli tentang ilmu pengetahuan, dapat disimpulkan bahwa ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang mempunyai ciri, tanda dan syarat tertentu yaitu sistematis, rasional, empiris, umum dan komulatif (bersusun timbun) serta lukisan dan keterangan yang lengkap dan konsisten mengenai hal-hal yang di studinya dalam ruang dan waktu sejauh jangkauan pemikiran dan pengindraan manusia.
2.      Sifat Ilmu Pengetahuan
 Ciri umum dari kebenaran ilmu pengetahuan yaitu bersifat Rasional, Empiris, dan Sementara.
1.      Rasional artinya kebenaran itu ukurannya akal. Sesuatu dianggap benar menurut ilmu apabila masuk akal. Sebagai contoh dalam sejarah kita menemukan adanya bangunan Candi Borobudur yang sangat menakjubkan. Secara akal pembangunan Candi Borobudur dapat dijelaskan, misalnya bangunan tersebut dibuat oleh manusia biasa dengan menggunakan teknik-teknik tertentu sehingga terciptalah sebuah bangunan yang megah. Janganlah kita menjelaskan bahwa Borobudur dibangun dengan menggunakan kekuatan-kekuatan di luar manusia, misalnya jin, sihir, setan, atau jenis makhluk-makhluk lainnya. Kalau penjelasan seperti ini, maka sejarah bukanlah sebagai ilmu pengetahuan.
2.      Empiris artinya ilmu itu berdasarkan kenyataan. Kenyataan yang dimaksud di sini yaitu berdasarkan sumber yang dapat dilihat langsung secara materi atau wujud fisik. Empiris dalam sejarah yaitu sejarah memiliki sumber sejarah yang merupakan kenyataan dalam ilmu sejarah. Misalnya kalau kita bercerita tentang terjadinya Perang, maka perang itu benar-benar ada berdasarkan bukti-bukti atau peninggalan-peninggalan yang ditemukannya. Kemungkinan masih adanya saksi yang masih hidup, adanya laporan-laporan tertulis, adanya tempat yang dijadikan pertempuran, dan bukti- bukti lainnya. Dengan demikian, cerita sejarah merupakan cerita yang memang-memang empiris, artinya benar benar terjadi. Kalau cerita tidak berdasarkan bukti, bukan sejarah namanya, tetapi dongeng yang bersifat fiktif.
3.      Sementara artinya kebenaran ilmu pengetahuan itu tidak mutlak lain halnya kebenaran dalam agama. Kemutlakan kebenaran agama misalkan dikatakan bahwa Tuhan itu ada dan memiliki sifat yang berbeda dengan makhluknya. Ungkapan ini tidak dapat dibantah harus diyakini atau diimani oleh manusia. Lain halnya dengan ilmu pengetahuan, kebenarannya bersifat Sementara, artinya dapat dibantah apabila ditemukan teori-teori atau bukti-bukti yang baru. Dalam sejarah, kesementaraan ini dapat dalam bentuk perbedaan penafsiran terhadap suatu peristiwa. Perbedaan ini dapat diterima selama didukung oleh bukti yang akurat. Kesementaraan inilah yang membuat ilmu pengetahuan itu berkembang terus.[6] Sedangkan syarat ilmu Pengetahuan sebagaimana pendapat Dani Vardiansyah dalam bukunya Filsafat Ilmu Komunikasi, bahwa ilmu pengetahuan ilmiah harus memenuhi tiga syarat, yaitu:[7]
1.      Sistematik; yaitu merupakan kesatuan teori-teori yang tersusun sebagai suatu sistem.
2.      Objektif; atau dikatakan pula sebagai intersubjektif, yaitu teori tersebut terbuka untuk diteliti oleh orang lain/ahli lain, sehingga hasil penelitian bersifat universal.
3.      Dapat dipertanggung jawabkan; yaitu mengandung kebenaran yang bersifat universal, dengan kata lain dapat diterima oleh orang-orang lain atau ahli-ahli lain. Sebagai pandangan lain, syarat utama berdirinya sebuah ilmu pngetahuan adalah bersifat umum-mutlak dan dapat memberi informasi baru. Teori ini dipakai dikarenakan esensinya bisa di pandang uneversal aau memenuhi syarat kebenaran inter-subjektif. Dan ilmu harus di bangun dan di kembangkan di atas tiga pondasi utama yaitu data, teori/epistemologi dan nilai/etika.[8]
3.      Hakikat pengetahuan menurut aliran yang berkembang yakni:
a.       Idealisme:
Para penganut aliran idealism berpandangan bahwa pengetahuan adalah proses-proses mental dan psikologis yang bersifat subyektif. Oleh karena itu, pengetahuan tidak lain merupakan gambaran subyektif tentang suatu kenyataan. Menurut mereka, pengetahuan tidak memberikan gambaran sebenarnya tentang kenyataan yang berada di luar pikiran manusia.
b.      Empirisme
Tentang asal-usul pengetahuan para penganut aliran ini mengatakan bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman indra. Tentang hakikat pengetahuan, mereka mengatakan bahwa pengetahuan adalah pengalaman. Seorang tokoh empirisme radikal David Hume. Dia berpendapat bahwa ide-ide dapat dikembalikan kepada sensasi-sensasi (rangsang indra). Pengalaman merupakan ukuran terakhir dari kenyataan. Apa yang dialami, itulah pengetahuan.
c.       Positivisme
Kalau idealism dapat dianggap sebagai kelanjutan dari rasionalisme, maka positivime merupakan perpanjangan dari empirisme. Para penganut aliran ini menolak kenyataan di luar pengalaman. Mereka mengatakan bahwa kepercayaan yang berdasarkan dogma harus digantikan pengetahuan yang berdasarkan fakta.
d.        Pragmatisme
Tokoh-tokoh aliran ini antara lain Willian James, John Dewey, dan C.S. Pierce. Menurut aliran ini, hakikat pengetahuan terletak dalam manfaat praktisnya bagi kehidupan. Pengetahuan adalah sarana bagi perbuatan. C.S. Pierce mengatakan bahwa yang penting adalah pengaruh sebuah ide atau pengetahuan bagi sebuah rencana. Nilai sebuah pengetahuan tergantung pada penerapannya secara konkrit dalam kehidupan masyarakat. Suatu pengetahuan itu benar bukan karena ia mencerminkan kenyataan obyektif, melainkan karena ia bermanfaat bagi umum. Menurut William James, ukuran kebenaran ditentukan oleh akibat praktisnya. Sedangkan John Dewey menegaskan tidak perlu mempersoalkan kebenaran suatu pengetahuan, tapi sejauh mana pengetahuan memecahkan persoalan yang dihadapi masyarakat.
4.      Sumber ilmu pengetahuan
            Dalam hal ini ada beberapa pendapat mengenai sumber ilmu pengetahuan diantaranya:
1.      Empirisme: Kata ini berasal dari Yunani Empirikos, yang artinya pengalaman. Menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya dan bila dikembalikan kepada kata Yunani, pengalaman yang dimaksud ialah pengalaman indrawi.[9]
2.      Rasionalisme: Aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal. Manusia memperoleh pengetahuan melalui kegiatan menangkap objek. Akal menggunakan konsep-konsep rasional atau ide-ide universal. Konsep tersebut mempunyai wujud dalam alam nyata  dan bersifat universal.Yang dimaksud dengan prinsip-prinsip universal adalah abstraksi dari benda-bendakonkrit.[10]
3.      Intuisi: Menurut Henry Bergson intuisi adalah hasil dari evolusi pemahaman yang tertinggi. Kemampuan ini mirip dengan insting, tetapi berbeda dengan kesadaran dan kebebasannya. Pengembangan kemampuan ini (intuisi) memerlukan suatu usaha. Ia juga mengatakan bahwa intuisi adalah suatu pengetahuan yang langsung, yang mutlak. Menurutnya, mengatasi sifat lahiriah pengetahuan simbolis, yang pada dasarnya bersifat analis, menyeluruh, mutlak, dan tanpa dibantu penggambaran secara simbolis. Karena itu intuisi adalah sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika.[11]
4.      Wahyu: Wahyu adalah pengetahuan yang disampaikan oleh Allah kepada manusia lewat perantara para nabi. Para nabi memperoleh dari Tuhan tanpa upaya, tanpa bersusah payah. Pengetahuan mereka terjadi atas kehendak Tuhan. Tuhan mensucikan jiwa mereka untuk memperoleh kebenaran dengan jalan wahyu.[12] Pengetahuan dengan jalan ini merupakan kekhususan para nabi. Hal inilah yang membedakan mereka dengan manusia lainnya. Akal meyakinkan bahwa kebenaran pengetahuan mereka berasal dari Tuhan, karena pengetahuan ini memang ada pada saat manusia biasa tidak mampu mengusahakannya, karena hal ini memang diluar kemampuan manusia. Bagi manusia tidak ada jalan lain kecuali menerima dan membenarkan semua yang berasal dari Nabi.[13]
5.      Struktur Fundamental Ilmu Pengetahuan
Dalam bukuWhat is Science karya Archei J. Bahm di dalam bukunya Muhammad Muslih bahwa secara umum membicarakan enam komponen dari rancang bangun ilmu pengetahuan, artinya dengan enam komponen itu, sesuatu itu bisa disebut ilmu pengetahuan ,yaitu:[14]
1.      Adanya masalah (problem): Dalam persoalan ini, Archei J. Bahm menjelaskan bahwa tidak semua masalah menunjukkan ciri keilmiahan. Suatu masalah disebut masalah ilmiah jika memenuhi persyaratan, yaitu bahwa masalah itu merupakan masalah yang dihadapi dengan sikap dan metode ilmiah. Masalah yang terus mencari solusi. Masalah yang saling berhubungan dengan masalah dan solusi ilmiah lain secara sistematis (dan lebih memadai dalam memberikan pemahaman yang lebih besar). Untuk itu ia menawarkan, masalah yang dapat dikomunikasikan dan capable, yang disuguhkan dengan sikap dan metode ilmiah sebagai ilmu pengetahuan awal, sudah pantas dikatakan masalah ilmiah ( scientific problem).
2.      Adanya sikap ilmiyah: Sikap ilmiah, menurut Bahm paling tidak, meliputi enam karakteristik pokok, yaitu: keingintahuan, spekulasi, kemauan untuk objektif, kemauan utnuk menangguhkan penilaian, dan kesementaraan. Pertama, Keingintahuan yang dimaksud di sini adalah keingintahuan ilmiah, yang bertujuan untuk memahami. Ia berkembang dan berjalan terus sebagai perhatian bagi penyelidikan, penelitian, pengujian, eksplorasi, petualangan dan eksperimentasi. Kedua, Spekulatif yang penuh arti; Yaitu diawali dengan keingintahuan untuk mencoba memecahkan semua masalah yang ditandai dengan beberapa usaha, termasuk usaha untuk menemukan solusi, misalnya dengan mengusulkan satu hipotesa atau lebih. Artinya, spekulasi adalah sesuatu hal yang disengaja dan berguna untuk mengembangkan dan mencoba membuat berbagai hipotesa. Dengan demikian, spekulasi merupakan karakteristik yang esensial dalam sikap ilmiah. Ketiga, Kemauan untuk objektif di sini Archei J. Bahm menjelaskan bahwa objektifitas adalah salah satu jenis sikap subjektif. Dalam arti bahwa objektifitas bergantung kepada eksistensinya, tidak hanya eksistensi sebuah subyek, tetapi juga atas kemauan subyek untuk memperoleh dan mengikuti sikap objektif, dalam arti sifat untuk memahami sifat dasar objek itu sendiri, sejauh objek tersebut bisa dipahami dengan cara ini. Keempat, Keterbukaan. Maksud sikap ini menyangkut kemauan untuk bersikap terbuka. Ini termasuk kemauan untuk mempertimbangkan semua saran yang relevan dengan hipotesis, metodologi, dan bukti yang berhubungan dengan masalah di mana seseorang bekerja. Sikap ini harus dibarengi dengan sikap toleran, dan bahkan menerima ide-ide baru, termasuk, tidak saja ide yang berbeda dengan ide-idenya, tetapi juga yang kontradiksi atu yang berseberangan dengan kesimpulan-kesimpulannya. Kelima, Kemauan untuk menangguhkan penilain atau menunda keputusan. Bila penyelidikan tentang suatu objek atau masalah tidak menghasilkan pemahaman atau solusi yang diinginkan, maka seseorang tidak boleh menuntut jawaban yang lebih dari apa yang ia peroleh. Sikap ilmiah menyangkut kemauan untuk menangguhkan penilaian sampai bisa diperolehnya semua bukti yang diperlukan.  Keenam, Kesementaraan. Sikap kesementaraan akan selalu meragukan validitas suatu hipotesa termasuk  pengerjaannya, bahkan meragukan segala usaha ilmiah termasuk bidang keahlian seseorang. Meskipun pengalaman perorangan dan kelompok cenderung membenarkan keyakinan yang lebih kuat dan memandangnya sebagai kesimpulan.
3.      Menggunakan metode ilmiyah: Sifat dasar metode ilmiah ini, menurut Archei J. Bahm harus dipandang sebagai hipotesa untuk pengujian lebih lanjut. Esensi ilmu pengetahuan adalah metodenya, sedang sisi yang lain, Berkenaan dengan sifat dasar metode ilmiah. Archei J. Bahm berpendapat bahwa metode ilmiah itu adalah satu sekaligus banyak; dikatakan satu karena metode ilmiah, dalam penerapannya tidak ada persoalan, sedang dikatakan banyak, karena pada kenyataannya terdapat banyak jalan. Yaitu; a). masing-masing ilmu mempunyai metodenya sendiri-sendiri, yang paling cocok dengan jenis masalahnya sendiri. b). Setiap masalah particular memerlukan metode uniknya sendiri. c). Secara historis, para ilmuwan dalam bidang yang sama dalam waktu yang berbeda, memakai metode yang sama sekali berbeda, lantaran berbeda dalam perkembangan teoritis dan temuan teknologis. d). Perkembangan yang cepat dalam banyak ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin lama semakin saling bergantung dewasa ini, memerlukan perkembangan berbagai metodologi baru yang cepat, berkenaan dengan jenis masalah yang lebih ruwet dan dinamis. e). Siapa saja yang concern pada metode ilmiah harus mengakui bahwa metode ini mempunyai tahapan-tahapan yang membutuhkan metode yang berbeda pada setiap tahapannya. Secara lebih khusus, metode ilmiah meliputi lima langkah, yaitu 1) Menyadari akan masalah; 2) Menguji masalah 3) Mengusulkan solusi 4) Menguji usulan atau proposal; dan 5) Memecahkan masalah.
4.      Adanya aktifitas: Ilmu pengetahuan adalah apa yang dikerjakan oleh para ilmuwan, yang kemudian bisaa disebut dengan riset ilmiah. Riset demikian mempunyai dua aspek: iindividu dan social. Aspek Individu; Ilmu pengetahuan adalah suatu aktifitas yang dilakukan oleh orang-orang khusus. Aspek Sosial; Aktivitas ilmiah mencakup lebih banyak dari apa yang dikerjakan oleh para ilmuwan khusus.
5.      Adanya kesimpulan: Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang dihasilkan. Makanya ilmu pengetahuan sering dipahami sebagai kumpulan pengetahuan. Ide-ide adalah ilmu pengetahuan itu sendiri. kesimpulan pemahaman yang dicapai sebagai hasil pemecahan masalah adalah tujuan ilmu pengetahuan. Kesimpulan adalah akhir atau tujuan yang membenarkan sikap, metode, dan aktifitasnya sebagai cara-cara. Kesimpulan adalah ilmu yang diselesaikan, bukan ilmu sebagai prospek atau dalam proses.
6.      Adanya pengaruh: Ilmu pengetahuan adalah apa yang digarap oleh ilmu pengetahuan. Bagian apa yang digarap oleh ilmu pengetahuan tersebut, kemudian menimbulkan pengaruh beraneka ragam, yang dapat dihubungkan pada dua hal, yaitu; ). Pengaruh ilmu pengetahuan terhadap teknologi dan industri, yang disebut ilmu terapan. b). pengaruh ilmu terhadap masyarakat dan peradaban.

6.      Metode Perolehan Ilmu Pengetahuan
Tujuan dari ilmu pengetahuan ialah tercapainya kebenaran. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka ditempuhlah cara dan jalan tertentu, yang dikenal dengan metode ilmu pengetahuan atau metode ilmiah.
Pendapat para para ahli mengenai metode memperoleh ilmu pengetahuan: Francis Bacon mengemukakan empat sendi kerja untuk menyusun ilmu pengetahuan yaitu: Observasi (pengamatan), Measuring (pengukuran), Explaining (penjelasan), Verifying (pemeriksaan benar tidaknya)
Metode ilmiah versi ke 19, menurut Ir Djuma’in Basalim dalam artikelnya “Orientasi Terhadap Science” ialah sebagai berikut:
1.      Mengajukan pertanyaan terhadap alam
2.      Mengumpulkan bukti-bukti yang tepat
3.      Membuat keterangan secara hipotesa
4.      Mengumpulkan pengertian
5.      Mengetes secara experimental
6.      Menolak atau menyetujui atau berubah hipotesa yang telah disusun.
Menurut Elgin F. Hunt meliputi enam bagian yaitu:
1.      Observasi
2.      Perumusan masalah
3.      Mengumpulkan dan mengklasifikasikan fakta tambahan yang baru
4.      Mengadakan generalisasi
5.      Perumusan hipotesa
6.      Mengadakan testing dan verifikasi.[15]
Dari rangkaian keterangan tersebut diatas jelaslah bahwa terbentang jalan yang panjang harus dilalui dalam proses dari pengetahuan biasa menjadi pengetahuan ilmiah atau ilmu pengetahuan. Proses yang ditempuh itu, yang dikenal dengan sebutan metode ilmiah yaitu sebagai berikut: Pengumpulan data dan fakta, Pengamatan terhadap data dan fakta tersebut, Pemilihan (seleksi) data dan fakta, Penggolongan (klasifikasi) data dan fakta, Penafsiran (interpretasi) data dan fakta,  Penarikan kesimpulan umum (generalisasi),  Perumusan hipotesa, Pengujian (verifikasi) terhadap hipotesa melalui riset, empiri, dan experimen, Penilaian (evaluasi), menerima atau menolak, menambah atau merubah hipotesa, Perumusan teori ilmu pengetahuan dan Perumusan dalil atau hukum ilmu pengetahuan.
B.     Hakikat Ilmu Pengetahaun dalam perspektif islam (al-Qur’an dan Hadits)
1.      Pengertian dan pentingnya ilmu pengetahuan
Ilmu adalah isim masdar dari ‘alima yang berarti mengetahui, mengenal, merasakan, dan menyakini. Secara istilah, ilmu ialah dihasilkannya gambaran atau bentuk sesuatu dalam akal. Kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam Alqur’an, dan digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan obyek pengetahuan. Ilmu dari segi bahasa berarti kejelasan, karena itu segala yang terbentuk dari akar katanya mempunyai ciri kejelasan. Jadi dalam batasan ini faktor kejelasan merupakan bagian penting dari ilmu.[16]
Islam sebagai agama yang sangat menghormati ilmu pengetahuan, tidak diragukan lagi. Banyak argumen yang dapat dirujuk, di samping ada ayat-ayat al-Qur`an dan hadits Nabi saw. yang mengangkat derajat orang berilmu, juga di dalam al-Qur`an mengandung banyak rasionalisasi, bahkan menempati bagian terbesar. Hal ini diakui Meksim Rodorson  (seorang penulis Marxis) ketika menelaah Q.S. Ali Imrân/3: 190-191 dan Q.S. Al-Baqarah/2: 164. Menurutnya, dalam al-Qur`an kata ‘aqala  (mengandung pengertian menghubungkan sebagian pikiran dengan sebagian yang lain dengan mengajukan bukti-bukti yang nyata sebagai argumentasi yang harus dipahami secara rasional) disebut berulang kali, tidak kurang dari lima puluh kali dan sebanyak tiga belas kali berupa bentuk pertanyaan sebagai protes yang mengarah pada kajian ilmiyah, seperti “Apakah kamu tidak berakal?". Seandainya meneliti kata-kata lainnya: nazhara (menganalisa), tafakkara (memikirkan), faqiha (memahami), ‘alima (mengerti, menyadari), burhan (bukti, argumentasi), lubb (intelektual, cerdas, berakal) dan lain-lain, niscaya akan menemukan banyak sekali nilai-nilai ilmiyah yang terdapat dalam al-Qur`an.[17] Maka dapat dikatakan bahwa ilmu itu membutuhkan pembuktian (dalil, hujjah atau argumen) sebagai hasil dari sebuah pencarian, dan al-Qur`an mengisyaratkan mengenai hal ini.
Menurut al Maraghi ayat tersebut memberikan isyarat tentang kewajiban memperdalam ilmu agama serta menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk mempelajirinya di dalam suatu negeri yang telah didirikan serta mengajarkannya kepada manusia berdasarkan kadar yang diperkirakan dapat memberikan kemaslahatan bagi mereka sehingga tidak dibiarkan mereka tidak mengetahui hukum-hukum agama yang pada umumnya harus diketahui oleh orang-orang yang beriman.[18]
Dalam pandangan Syed Naquib al-Attas, ilmu pengetahuan Barat-modern yang diproyeksikan melalui pandangan-hidupnya, dibangun di atas visi intelektual dan psikologi budaya dan peradaban Barat. Menurutnya, ada lima faktor yang menjiwai budaya dan peradaban Barat: 1) akal diandalkan untuk membimbing manusia, 2) bersikap dualistik terhadap realitas dan kebenaran, 3) menegaskan aspek eksistensi yang memproyeksikan pandangan hidup secular, 4) membela doktrin humanisme, 5) menjadikan drama dan tragedi sebagai unsur-unsur yang dominan dalam fitrah dan eksistensi kemanusiaan.
Menyadari krisis ilmu pengetahuan dalam budaya dan peradaban Barat, Naquib al-Attas menyimpulkan ilmu yang berkembang di Barat tidak semestinya harus ditetapkan di dunia Muslim. Ilmu bisa dijadikan alat yang sangat halus dan tajam bagi menyebar luaskan cara dan pandangan hidup sesuatu kebudayaan. Sebabnya, ilmu bukan bebas-nilai (value-free), tetapi sarat nilai (value laden)[19]
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut yaitu:
1.      Al Qur'an sangat mendorong dikembangkannya ilmu pengetahuan. Hal ini terlihat dari banyaknya ayat al Qur'an yang menyuruh manusia agar menggunakan akal pikiran dan segenap potensi yang dimilikinya untuk memperhatikan segala ciptaan Allah SWT.
2.      Dorongan al Qur'an terhadap pengembangan ilmu pengetahuan tersebut terlihat pula dari banyaknya ayat al Qur'an yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan, pujian dan kedudukan yang tinggi bagi orang-orang yang berilmu serta pahala bagi yang menuntut ilmu.
3.      Sungguhpun banyak temuan dibidang ilmu pengetahuan yang sejalan dengan kebenaran ayat-ayat al Qur'an, namun al Qur'an bukanlah buku tentang ilmu pengetahuan. Al Qur'an tidak mencakup cabang ilmu pengetahuan.
4.       Bahwa temuan manusia dalam bidang ilmu pengetahuan patut dihargai. Namun tidak sepatutnya membawa dirinya menjadi sombong dibandingkan dengan kebenaran al Qur'an. Temuan manusia tersebut terbatas dan tidak selamanya benar, sedangkan al Qur'an bersifat mutlak dan berlaku sepanjang zaman.
5.      Al Qur'an adalah kitab yang berisi petunjuk termasuk petunjuk dalam pengembangan ilmu pengetahuan, yaitu agar ilmu pengetahuan dikembangkan untuk tujuan peningkatan ibadah, akidah, dan akhlak yang mulia.
6.      Kemajuan yang dicapai oleh manusia dalam bidang ilmu pengetahuan harus ditujukan untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Hal ini akan terjadi manakala tujuan dari pengembangan ilmu pengetahuan tersebut tidak dilepaskan dari dasar peningkatan ibadah, akidah, dan akhlak tersebut.
7.      Sebagai kitab petunjuk al Qur'an tidak hanya mendorong manusia agar mengembangkan ilmu pengetahuan, melainkan juga memberikan dasar bidang dan ruang lingkup ilmu pengetahuan, cara menemukan dan mengembangkannya, tujuan penggunaanya, serta sifat dari ilmu pengetahuan itu sendiri.
8.      Al Qur'an tidak hanya menjelaskan tentang sumber ilmu (ontologi), melainkan juga tentang cara mengembangkan ilmu (epistemologi) dan manfaat ilmu  (aksiologi).
Dalam Islam sumber ilmu itu pada garis besarnya ada dua yaitu ilmu yang bersumber pada wahyu (al Qur'an) yang menghasikan ilmu naqli, seperti ilmu-ilmu agama ilmu tafsir, hadis, fikih, tauhid, tasawuf dan sejarah. Dan ilmu yang bersumber pada alam melalui penalaran yang menghasilkan ilmu aqli seperti filsafat, ilmu sosial, teknik, biologi, sejarah, dan lain-lain. Ilmu naqli dihasilkan dengan cara memikirkan secara mendalam (berijtihad) dengan metode tertentu dan persayaratan tertentu.[20]Sedangkan ilmu aqli dihasilkan melalui penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. Ilmu-ilmu tersebut harus diabadikan untuk beribadah kepada Allah dalam arti yang seluas-luasnya. Oleh karena itu, peranan ilmu pengetahuan dalam kehidupan seseorang sangat besar, dengan ilmu pengetahuan, derajat manusia akan berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Sehingga tidaklah sama antara orang yang berpengetahuan dan orang yang tidak berpengetahuan.
Allah berfirman:
يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (المجادلة: 11)
Artinya:  “Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Mujadilah: 11)
Ibnu ‘Abbas ketika menafsirkan ayat ini mengatakan bahwa derajat para ahli ilmu dan orang mukmin yang lain sejauh 700 derajat. Satu derajat sejauh perjalanan 500 tahun.[21]
Imam As-Syafi’i mengatakan:
مَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ

Artinya:  “Barang siapa menghendaki (kebaikan) dunia, maka hendaknya ia menggunakan ilmu, dan barang siapa menghendaki kebaikan akhirat, maka hendaknya menggunakan ilmu.[22]

Abu Aswad berkata :
وقال أبو الأسود: ليس شيء أعز من العلم، الملوك حكام على الناس والعلماء حكام على الملوك
Artinya : “tidak ada sesuatu yang lebih mulia dari pada ilmu, kerajaan itu bertindak menghakimi manusia, sementara ulama bertindak menghakimi kerajaan”[23]
Dari perkataan abu Aswad tersebut dapat diambil ibroh bahwa ketika sistem kepemerintahan dikendalikan oleh ulama, pasti kepemerintahan tersebut akan berjalan dengan lancar dan sejahtera. Artinya ilmu pengetahuan sangat penting untuk bisa mengendalikan tatanan kenegaraan yang sistematis.
2.      Objek Ilmu pengetahuan dan cara Memperolehnya
            Obyek ilmu pengetahuan dapat dibagi dalam dua bagian pokok yaitu alam materi dan alam non materi. Sains mutakhir mengarahkan pandangan kepada alam materi, sehingga mereka membatasi ilmu pada bidang tersebut. Bahkan sebagian mereka tidak mengetahui adanya realita yang tidak dapat dibuktikan dalam materi. Pada dasarnya potensi yang dimiliki oleh manusia untuk mengetahui sesuatu terdiri atas tiga macam, yaitu 1) indera, 2) akal, 3) hati.[24]
1. Pengamatan Melalui Indera
Al-Qur’an menjelaskan adanya pengetahuan yang diperoleh melalui indera dengan cara mengamati. Dalam surat al-Ankabut : 20, Allah SWT menyuruh manusia untuk berjalan di muka bumi dan memerhatikan percipataan manusia. Dalam surat Yunus : 101, Allah SWT memerintahkan manusia untuk memperhatikan apa yang ada di langit dan memerhatikan apa yang ada di bumi.
Namun tidak semua pengetahuan yang hendak diketahui dapat diperoleh dengan indera. Karena keterbatasan kemampuan inderawi, manusia tidak dapat menjangkau hal-hal yang ada dibalik penangkapan indera tersebut. Karena itu, Allah SWT mengecam orang-orang yang hanya mengandalkan inderanya untuk memeroleh pengetahuan lebih dalam, Allah SWT berfirman : “dan ingatlah ketika kamu berkata, “Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang. Karena itu, kamu disambar halilintar, sedang kamu menyaksikannya,” (QS al-Baqarah : 55).
2.   Pengamatan Melalui Akal
Keterbatasan dan kelemahan indera, disempurnakan oleh akal. Akal dapat mengoreksi kesalahan pengetahuan inderawi sebab akal mempunyai kemampuan untuk mengetahui objek-objek abstrak yang logis. Seperti halnya pengetahuan bahwa Allah SWT itu Maha Kuasa dan Maha Penyayang diperoleh dengan menggunakan akal, bukan dengan menggunakan indera.
3.   Pengamatan Melalui Suara Hati
Selain indera dan akal, potensi yang dimiliki manusia untuk mengetahui pengetahuannya adalah potensi hati. Atau menurut Imam al-Ghazali yang disebut dhamir. Potensi ketiga ini dapat memberi peluang kepada manusia untuk memeroleh pengetahuan dengan lebih baik.  Jika akal hanya dapat mengetahui objek abstrak yang logis, potensi hati dapat mengetahui objek abstrak yang supra logis (ghaib).  
Al-Ghazali menjelaskan bahwa pengetahun yang diterima para nabi dan Rasul Allah, bukanlah melalui indera dan akal, melainkan melalui hati yang disebut wahyu. Sebagaimana dalam firman-Nya : “Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (QS. asy-Syu’ara : 52).
Selanjutnya, dari wahyu pertama Al-Quran diperoleh isyarat bahwa ada dua cara perolehan dan pengembangan ilmu, yaitu Allah mengajar dengan pena yang telah diketahui manusia lain sebelumnya, dan mengajar manusia (tanpa pena) yang belum diketahuinya. Cara pertama adalah mengajar dengan alat atau atas dasar usaha manusia. Cara kedua dengan mengajar tanpa alat dan tanpa usaha manusia. Walaupun berbeda, keduanya berasal dari satu sumber, yaitu Allah Swt. inilah yang disebut ilmu laduni.
Dalam ilmu pengetahuan kealaman atau sains natural, orang mengumpulkan pengetahuan itu dengan mengadakan pengamatan atau observasi, pengukuran atau pengumpulan data pada alam sekitar kita, baik yang hidup seperti manusia, binatang, dan tumbuhan, maupun yang tak bernyawa seperti bintang, matahari, gunung, lautan, dan benda-benda yang mengelilingi kita.[25] Secara lebih rinci pengamatan-pengamatan benda disekitar kita dapat penulis paparkan pada bagian hakikat ilmu pengetahuan. Dimana hakikat tersebut mempunyai keterpaduan antara sains dengan Al qur’an. Seperti:
(1)Pandangan terhadap Alam Semesta)
1.      Pandangan klasik: Pada dasarnya pandangan ini mengatakan bahwa langit yang begitu luas dengan benda-benda didalamnya, dianggap mengelilingi bumi. Akan tetapi pendapat ini dibantah oleh Galileo yang mengatakan bahwa semua benda langit berputar mengelilingi matahari.
2.      Pandangan modern: Dari perhitungan mengenai perbandingan jarak dan kelajuan gerak masing-masing galaksi yang teramati, para fisikawan kosmolog menarik kesimpulan bahwa semua galaksi di alam ini semula bersatu padu dengan galaksi Bimasakti, kira-kira 15 milyar tahun yang lalu.[26] Dahulu orang tidak ada yang tahu bahwa langit dan bumi itu awalnya satu. Ternyata ilmu pengetahuan modern seperti teori Big Bang menyatakan bahwa alam semesta (bumi dan langit) itu dulunya satu. Kemudian akhirnya pecah menjadi sekarang ini.
3.      Pandangan Al qur’an: Hasil penelitian modern ternyata senada dengan firman Allah : “Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” [Al Anbiyaa:30]
(2) Diselamatkannya Jasad Fir’aun[27]
“Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu” [QS. Yunus :92].
Maurice Bucaille dulunya adalah peneliti mumi Fir’aun di Mesir. Pada mumi Ramses II dia menemukan keganjilan, yaitu kandungan garam yang sangat tinggi pada tubuhnya. Dia baru kemudian menemukan jawabannya di Al-Quran, ternyata Ramses II ini adalah Firaun yang dulu ditenggelamkan oleh Allah swt ketika sedang mengejar Nabi Musa as.
Injil dan Taurat hanya menyebutkan bahwa Ramses II tenggelam, tetapi hanya Al-Quran yang kemudian menyatakan bahwa mayatnya diselamatkan oleh Allah swt, sehingga bisa menjadi pelajaran bagi kita semua.
Perhatikan bahwa Nabi Muhammad saw hidup 3000 tahun setelah kejadian tersebut, dan tidak ada cara informasi tersebut (selamatnya mayat Ramses II) dapat ditemukan beliau (karena di Injil dan Taurat pun tidak disebut). Makam Fir’aun, Piramid, yang tertimbun tanah baru ditemukan oleh arkeolog Giovanni Battista Belzoni tahun 1817. Namun Al-Quran bisa menyebutkannya karena memang firman Allah swt (bukan buatan Nabi Muhammad saw).

BAB III
ANALISIS/ REFLEKSI
Perlu kita ketahui Ilmu dan manusia merupakan suatu yang sangat erat kaitannya. Oleh karena itu Berpikir mencirikan hakikat manusia dan karena berpikirlah dia menjadi manusia. Berpikir pada dasarnya merupakan sebuah proses yang membuahkan pengetahuan atau pun ilmu. Ilmu pengetahuan merupakan salah satu dari pengetahuan manusia yang harus benar-benar dihargai. Untuk dapat menghargai ilmu pengetahuan tersebut, seseorang dituntut untuk mengerti hakikat ilmu pengetahuan. karena ilmulah yang akan menunjukkan sebuah kebenaran hakiki.
Karena hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri adalah rangkaian aktivitas manusia dengan prosedur ilmiah baik melalui pengamatan, penalaran maupun intuisi sehingga menghasilkan pengetahuan yang sistematis mengenai alam seisinya serta mengandung nilai-nilai logika, etika, estetika, hikmah, rahmah, dan hidayah bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu, peranan ilmu pengetahuan dalam kehidupan seseorang sangat besar, dengan ilmu pengetahuan, derajat manusia akan berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Sehingga tidaklah sama antara orang yang berpengetahuan dan orang yang tidak berpengetahuan.
Cara memperoleh ilmu pengetahuan yaitu pengamatan melalui indra, akal, dan suara hati. Sedangkan cirri umum dan kebenaran ilmu pengetahaun itu sendiri yaitu rasional, empiris dan sementara. Karena sumber ilmu pengetahuan itu sendiri yairu empirisme, rasionalisme, intuisi dan wahyu. Dan perlu kita ketahui sesuatu itu bisa disebut ilmu pengetahuan yaitu apabila mempunyai kompenen: adanya masalah, adanya sikap ilmiah, menggunakan metode ilmiah, adanya aktifitas, adanya kesimpulan dan adanya pengaruh ilmu.
Karena Ilmu pengetahuan ialah hasil usaha pemahaman manusia yang disusun dalam satu sistema mengenai kenyataan, struktur, pembagian, bagian-bagian dan hukum-hukum tentang hal ikhwal yang diselidikinya (alam, manusia, dan juga agama) sejauh yang dapat dijangkau daya pikiran  manusia yang dibantu pengindraannya, yang kebenarannya diujin secara empiris, reset dan eksperimental. Ditinjau dari perbedaan antara keduanya yaitu ilmu pengetahuan perspektif modern dan ilmu pengetahuan perspektif islam yaitu:
NO
Di Tinjau dari:
Ilmu pengetahuan perspektif modern
Ilmu pengetahuan perspektif islam
1.
Sumbernya
Bersumber dari ra’yu yaitu akal, budi, rasio manusia.
Bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits
2.
Cara mencari kebenaran
Mencari kebenarannya dengan jalan penyelidikan, pengalaman, dan percobaan sebagai batu ujian.
Mencari kebenarannya dengan jalan mempertanyakan (mencari jawaban) tentang masalah asasi kepada Kitab Suci, kodifikasi Firman Ilahi untuk manusia di bumi.

3.
Kebenarannya
Kebenarannya positif dan bersifat nisbi atau relatif.
Kebenarannya bersifat mutlak (absolut), karena agama adalah wahyu yang diturunkan oleh Dzat Yang Maha Benar, Maha Mutlak, dan Maha Sempurna, yaitu Allah swt
4.
Mencari ilmu pengetahuan
Sikap sanksi atau tidak percaya, dimana keraguan ialah syarat mutlak yang pertama
Dimulai dengan sikap percaya dan iman.


Namun dibalik perbedaan terdapat juga kesamaan antara ilmu pengetahuan perspektif modern dan islam keduanya bertujuan untuk berbicara tentang kebenaran. Selain itu, metode dan karakteristik masing-masing, memberikan jawaban atas segala persoalan asasi yang dipertanyakan manusia, baik tentang alam maupun tentang manusia ataupun tentang Tuhan.



BAB IV
KESIMPULAN
1.      Secara etimologis hakikat berarti terang, yakin, dan sebenarnya. Dalam filsafat, hakikat diartikan inti dari sesuatu, yang meskipun sifat-sifat yang melekat padanya dapat berubah-ubah, namun inti tersebut tetap lestari.
2.      Ilmu adalah isim masdar dari ‘alima yang berarti mengetahui, mengenal, merasakan, dan menyakini. Secara istilah, ilmu ialah dihasilkannya gambaran atau bentuk sesuatu dalam akal. Kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam Alqur’an, dan digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan obyek pengetahuan. Ilmu dari segi bahasa berarti kejelasan, karena itu segala yang terbentuk dari akar katanya mempunyai ciri kejelasan. Jadi dalam batasan ini faktor kejelasan merupakan bagian penting dari ilmu.
3.      Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang mempunyai ciri, tanda dan syarat tertentu yaitu sistematis, rasional, empiris, umum dan komulatif (bersusun timbun) serta lukisan dan keterangan yang lengkap dan konsisten mengenai hal-hal yang di studinya dalam ruang dan waktu sejauh jangkauan pemikiran dan pengindraan manusia.
4.      Hakikat ilmu pengetahuan adalah rangkaian aktivitas manusia dengan prosedur ilmiah baik melalui pengamatan, penalaran maupun intuisi sehingga menghasilkan pengetahuan yang sistematis mengenai alam seisinya serta mengandung nilai-nilai logika, etika, estetika, hikmah, rahmah, dan hidayah bagi kehidupan manusia.

DAFTAR PUSTAKA
A. Baiquni, A. 1983. Islam dan Ilmu Pengetahuan Modern. Jakarta : Pustaka ITB
Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, (maktabah syamilah, juz 1
An-Nawawi. Majmu’ syarah al muhadzdzab. (Maktabah Syamilah, juz 1
Anwar, Syaiful.2007. Filsafat Ilmu Al-Ghazali:Dimensi Ontologi dan Aksiologi. Bandung: Pustaka Setia
Armas, Adnin. 2006. Seminar Pandangan Hidup dan Epistemologi Islam: Studi Kasus Sains Islam, “Krisis Epistemologis dan Islamisasi Ilmu.
Dep.Dik.Bud. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Harsojo. 1972. Apakah Ilmu dan Ilmu Gabungan tentang Tingkah Laku Manusia. Bandung, Remaja Rosdakrya
Joesoef, Daoed. 1987. “Pancasila Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan ”dalam Pancasila sebagai orientasi Pengembangan lmu. Yogyakarta: PT Badan PenerbitKedaulatan Rakyat
K. Bertens.1989. Susunan Ilmu Pengetahuan Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu. Jakarta: Gramedia
Kevin Khomaeni, “Pandangan Al Qur’an terhadap Ilmu Pengetahuan”, www http://dirasahislamiyah.blogspot.com/2013/01/pandangan-al-quran-terhadap-ilmu.html.
Mustafa, H.A. 1997. Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia
Muslih, Muhammad. 2004. Filsafat Ilmu; Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka teori Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Belukar
Nata, Abudin. 2002. Tafsir Ayat ayat Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Nizami, “Keajaiban Al Qur’an dan Ilmu Pengetahuan”, www.Syiar Islam.com. Keajaiban Al Qur’an dan Ilmu Pengetahuan.htm
Qaradhawi, Yusuf. 2003. Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Islam, terj. Al-Dîn fî ‘Ashr al-‘Ilm oleh Ghazali Mukri. Jakarta: Gunung Agung
R.B.S. Fudyartanta. 1970. Epistimologi: Intisari Filsafat dan Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Cipta Karya Abadi
Salam, Burhanuddin.2005. Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Renika Cipta
Syafi’ie, Imam. 2000. Konsep Ilmu Pengetahuan dalam Alqur’an. Yogyakarta : UII Press
Suriasumantri, Jujun S. 1998. Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Tafsir,Ahmad. 2007 cet VII. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya
Vardiansyah, Dani. 2008. Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Jakarta: indeks
                       

[1] Jujun S, Suriasumantri. Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer. (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998). hlm 39
[2] Dep.Dik.Bud. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 1988). hlm. 231

[3] K. Bertens. Susunan Ilmu Pengetahuan Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu. (Jakarta: Gramedia, 1989) hlm. 16
[4] Daoed Joesoef. “Pancasila Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan ”dalam Pancasila sebagai orientasi Pengembangan lmu. ( Yogyakarta: PT Badan PenerbitKedaulatan Rakyat,1987). hlm. 25-26.
[5] R.B.S. Fudyartanta. Epistimologi: Intisari Filsafat dan Ilmu Pengetahuan. (Yogyakarta: Cipta Karya Abadi, 1970).  hlm. 11
[7] Dani Vardiansyah. Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. (Jakarta: indeks, 2008. Hlm. 8.
[8] H. Saeful Anwar. Filsafat Ilmu Al-Ghazali:Dimensi Ontologi dan Aksiologi. (Bandung: Pustaka Setia, 2007). hlm. 89.
[9] Ahmad Tafsir,Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. (Bandung: Remaja Rosdakarya,cet. VII 2007) .hm .24
[10] Harun Nasution, Filsafat Agama Hal.15
[11] Burhanuddin Salam. Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan. (Jakarta: Renika Cipta,2005) hlm. 102
[12] Ibid, hlm.103
[13] H.A. Mustafa. Filsafat Islam. (Bandung: Pustaka Setia, 1997), cet.1 Hal.106.
[14] Muhammad Muslih. Filsafat Ilmu; Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka teori Ilmu Pengetahuan. (Yogyakarta: Belukar, 2004). hlm.35

[15] Harsojo. Apakah Ilmu dan Ilmu Gabungan tentang Tingkah Laku Manusia. (Bandung, Remaja Rosdakrya, 1972). hlm. 10
[16] Imam Syafi’ie. Konsep Ilmu Pengetahuan dalam Alqur’an. (Yogyakarta : UII Press, 2000). hlm. 27
[17] Yusuf Qaradhawi. Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Islam, terj. Al-Dîn fî ‘Ashr al-‘Ilm oleh Ghazali Mukri.  (Jakarta: Gunung Agung 2003) hlm. 11
[18] Abudin Nata. Tafsir Ayat ayat Pendidikan. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002). hlm. 159 
[19] Adnin Armas. Seminar Pandangan Hidup dan Epistemologi Islam: Studi Kasus Sains Islam, “Krisis Epistemologis dan Islamisasi Ilmu”,.2006: 20.
[20] Ibid, hal. 168
[21] Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, (maktabah syamilah, juz 1, hlm 5)
[22] An-Nawawi. Majmu’ syarah al muhadzdzab. (Maktabah Syamilah, juz 1, hlm. 20)
[23] Al Ghozali, op.cit., (maktabah syamilah, juz 1, hlm 7)
[24] Kevin Khomaeni, “Pandangan Al Qur’an terhadap Ilmu Pengetahuan”, www http://dirasahislamiyah.blogspot.com/2013/01/pandangan-al-quran-terhadap-ilmu.html.
[25] A. Baiquni. Islam dan Ilmu Pengetahuan Modern. (Jakarta : Pustaka ITB. 1983). hlm.1
[26] Imam syafi’i, op.cit., hlm. 89.
[27] Nizami, “Keajaiban Al Qur’an dan Ilmu Pengetahuan”, www.Syiar Islam.com. Keajaiban Al Qur’an dan Ilmu Pengetahuan.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar