BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LatarBelakang
ManusiaadalahmahlukTuhan
yang sempurna, memilikiakaldanberbudi.[1]Manusiamerupakanmakhlukyang
memilikikemampunanberpikir, memahamisesuatu, memilikiingatan,dayaupaya,
tipumuslihat, kecerdikan, kelicikan, danmemilikiperasaanuntukmenimbangbaikdanburuk.
Kajiantentangmanusiamendudukiperingkatteratasdarisekiankajian
yang ada.Selainobjeknya yang unik,
kajianitudapatmenghasilkanberbagaipersepsidankonsepsi yang berbeda.[2]Manusiasebagaiobjeksekaligussubjekdalamduniafilsafatmemilikikedudukan
yang sangatpokok.Selainsebagaisesuatu yang dijadikansasaranuntukdibahas, diteliti,
dikaji, dandiperhatikan.Manusiajugasebagaipelakukegiatanfilsafat.
Salah
satuperbedaanutamaajaran Islam denganaliran-aliranpsikologidanfilsafat modern adalahtentangsifatasalmanusia.Islam
mempercayaibahwamanusiadiciptakandalamkeadaanfitrah,[3]halinimemilikiberbedaandenganpandanganbarattentangasalmanusiaitutadi.Perbedaantentangfitrahmanusiainilah
yang menjadipokokpembahasandalammakalahini.
B.
RumusanMasalah
1.
Bagaimanapengertianfitrah?
2.
BagaimanafitrahmanusiadalampandanganIslam
dan Barat?
C.
TujuanPembahasan
1.
Menjelaskanpengertianfitrah.
BAB
II
PEMBAHASAN
Tahap
permulaan filsafat senantiasa mempersoalkan siapakah manusia itu.Jika tahap
awal filsafat mempersoalkan masalah
manusia, demikian pula dengan pendidikan Islam. Ia tidak akan mempunyai
paradigma yang sempurna tampa menentukan sikap konseptual filosofis tentang
hakikat manusia,[4]
sebab bagaimanapun juga manusia adlah bagian dari alam ini. Perlunya penentuan
sikap dan tanggapan tentang manusia dalam filsafat pendidikan Islam ini pada
hakikatnya di dasarkan pada asumsi bahwa manusia adalah subjek dan sekaligus
juga objek pendidikan Islam.[5]
A.
Pengertian
Fitrah
Identitas
esensial adalah identitas hakikat yang menyebabkan sesuatu menjadi dirinya,
bukan menjadi yang lain. Ia menentukan sesuatu dari awal kejadiaanya sampai
akhirnya.[6]
Dalam kamus bahasa Indonesia dijelaskan bahwa identitas adalah keadaan, ciri
khusus suatu benda atau orang.[7]Pengetian
tersebut menjelaskan bahwa identitas itu menunjukkan sifat atau tanda khas yang
dimiliki seseorang yang membedakannnya dari yang lain.
Dalam
Webster’s New World College Dictionary tertulis bahwa “identity is
the condition of fact of being.”[8]Identitas
adalah keadaan yang sebenarnya dan nyata dari sesuatu, dijelaskan lagi bahwa “identity
is the condition or fact of being a specific person or thing, individually.”[9]Artinya:
identitas adalah kondisi atau fakta spesifik dari seseorang atau sesuatu.
Kondisi dan fakta itu memelihara dan menjaga sesuatu itu agar tidak menyimpang
dan tidak lari dari awal mula kejadiaannya.[10]
Sementara
itu istilah esesnsi adalah inti, sesuatu yang menjadi pokok, utma atau hakikat.[11]Dalam
Webster’s New World College Dictionary dijelaskan bahwa “esense is
something that is, or exist, entity”[12]
artinya esensi adalah sesuatu yang berada, atau ada, kekal. Segala sesuatu
punya identitas esensial, kambing akan menjadi kambing, karena idenatitas
esensialnya adalah kambing. Demikian juga pada sesuatu yang lain seperti pohon,
jagung, ikan, dan lain sebagainya. Identitas esensial pada manusia adalah
fitrah.Dengan fitrah manusia menjadi dirinya sebagai manusia sejak awal
kejadiannya sampai akahir hayatnya.[13]
1.
Makna Etimologi
Seperti yang dikutip oleh Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir dari Mu’jam
Maqayis al-Lughah karangan Ibn Faris Ibn Zakariyah dan Abi al-Husain
AhmadFitrah berarti “terbukanya sesuatu dan melahirkannya” seperti orang yang
berbuka puasa.Dari makna dasar tersebut maka berkembang menjadi dua makna
pokok; pertama berartial-insyiqaq atau al-syaqqyang
berarti al-inkisar yang bermakna pecah atau belah.Kedua, fitrah berarti
al-khilqab, al-ijdad, atau al-ibda’ yang memiliki arti penciptaan ( berdasar
dari Ibu Manzhur Lisan al-‘Arab, al-Raghib al-Ashfahaniy, Mu’jam
Mufradat Alfazh al-Qur’an).[14]
Kedua makna tersebut sebebnarnya saling melengkapi.Makna al-insyiqaq
kendatipun digunakan untuk pemaknaan alam (al-kawn), namun sebenarnya
dapat dipergunakan untuk manusia. Manusia merupakan mikro kosmos (alam kecil),
sedang kosmos adalah manusia makro, al-insan kawn saghir wa al-kawn insan
kabir(Ikhwan al-Shafa, Rasail Ikhwan al-Shafa wa Khalan al-wafa).
Manusia merupakan miniatur alam yang kompleks.Fisiknya menggambarkan alam
fisikal, sedangkan psikisnya menggambarkan alam kejiwaan. Segala proses taqdir
atau sunnah Allah SWT. yang berlaku pada alam (al-kawn)
sebenarnya juga berlaku pada manusia, seperti konsep penciptaan. sedangkan
fitrah berarti “penciptaan” merupakan makna yang lazim dipakai dalam penciptaan
manusia, baik penciptaan fisik (al-jism) maupun psikis (an-nafs).[15]
Menurut Baharuddin fithrah adalah kata dalam bahasa arab
yang bentuk fi’il madhi-nya adalah fitharadengan bentuk masdar fithrun
atau fithratan yang berarti memegang dengan erat, memecahakan,
membelah, mengoyakkan, meretakka, dan menciptakan. [16]
Dengan demikian dapat disimpulakan bahwa secara bahasa fitrah
mengandung beberapa makna yaitu sutau kecebderungan alamiah bawaab sejak lahir,
penciptaan yang menyebabkan sesuatu ada untuk pertama kalinya, serta struktur
atau ciri alamiah manusia, juga secara keagamaan maknanya adalah agama tauhid
atau mengesakan tuhan.Bahwa, manusia sejak lahir telah memiliki agama bawaan
secara alamiah, yaitu agama tuhid.Hal ini dipahamia dari uraian-uraian
al-Qur’an.[17]
2.
Makna Nasabi
Makna nasabi diambil dari pemanahaman beberapa ayat dan hadits Nabi
di mana kata fitrah itu berada, karena masing-masing ayat dan hadits memiliki
konteks yang berbeda-beda maka pemaknaan fitrah juga mengalami keragaman.
a.
Fitrah berarti
suci (al-thuhr). Menurut al-Awzaiy, ftrah memiliki makna kesucian
(al-Qurthubiy, Tafsir al-Qurthubiy). Maksud suci di sini bukan berarti
kososng atau netral (tidak memiliki kecenderungan baik buruk), melainkan
kesucian psikis yang terbebas dari dosa dan penyakit ruhaniah.
b.
Fitrah berarti
potensi ber-Islam al-din al-Islami. Pemaknaan seperti ini diungkapkan
oleh Abu Hurairah bahwa fitrah berarti beragama Islam (Alau al-Din Ali Mahmud
al-Baghdadiy, Tafsir Khazin Musamma Lubab at-Takwil fi Ma’ani al-Tanzil).
c.
Ftrah berarti
mengakui ke-esa-an Allah, manusia lahir dengan membawa tauhid, atau paling
tidak manusia berkecenderungan untuk mengesakan Tuhan, dan berusaha
terus-menerus untuk mencari dan mencapai ketauhidan tersebut (Muhammad Fahr
al-Din al-Raziy, Tafsir Mafatib al-Ghaib).
d.
Fitrah berarti
kondisi selamat (al-salamah) dan kontinuitas (al-istiqamah).
Pemaknaan ini dikemukakan oleh Abu Umar Ibn ‘Abd al-Bar (al-Thalbawiy Mahmud
Sa’ad, Attashawwuf fiy Taras ibn Taimiyah).
e.
Fitrah berarti
perasaan yang tulus (al-Ikhlash). Manusia lahir dengan membawa sifat
baik. Di antara sifat itu adalah ketulusan dan kemurnian dalam melakukan
aktivitas (Ibn Jarir al-Thabariy, Tafsir al-Thabariy).
f.
Fitrah berarti
prediposisi atau kesanggupan untuk menerima kebenaran (isti’dladi qabul
al-haq). Manusia cenderung berusaha mencari dan menerima kebenaran,
walaupun hal itu tersembunyi di lubuk hati paling dalam (Musthafa
al-Maraghiy, Tafsir al-maraghiy).
g.
Fitrah adalah
potensi dasar manusia atau perasaan untuk beribadah (syu’ur li al-‘ubudiyah)
dan makrifat kepada Allah (al-Qurthubiy, Tafsir al-Qurthubiy).
h.
Fitrah berarti
ketetapan atau takdir asal manusia mengenai kebahagiaan (al-sa’adat) dan
kesengsaraan (al-syaqawat) hidup (Ahmad Shawiy al-Malikiy, Tafsir
Jalalain).
i.
Fitrah berarti
tabiat atau watak asli manusia (thabi’iyyah al-insan/human nature)
(al-Qurthubiy, Tafsir al-Qurthubiy).
j.
Fitrah berarti
sifat Allah yang ditiupkan kepada manusia sebelum dilahirkan (al-Thalbawiy
Mahmud Sa’ad, Attashawwuf fiy Taras ibn Taimiyah).
k.
Fitrah dalam
beberapa hadits memiliki arti takdir atau status anak yang dilahirkan (HR.
Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah), sepuluh kesucian biologis atau jasmaniah
(HR. Muslim dan Abu Dawud dari Aisyah), dan salah satu nama Allah sebagai Zat
Pencipta (HR. al-Darimi dari Abu Hurairah).[18]
3.
Makna
Terminologi
Berdasarkan makna etimologi dan nasabi bahwa secara
terminology fitrah adalah citra asli manusia yang dinamis, yang terdapat pada
sistem-sistem psikotik manusia, dan dapat diaktulisasikan dalam bentuk tingkah
laku.Citra unik tersebut sudah ada sejak awal penciptaannya.[19]
Dapat dikatakan bahwa istilah fitrah dapat dipandang dari dua
sisi.Dari sisi bahasa, maka fitah adalah suatu kcenderungan bawaan lamiah
manusia.Dan dari sisi agama kata fitrah bermakna keyakinan agama, yaitu bahwa
manusia sejak lahirnya telah memiliki fitrah beragama tauhid, yaitu mengesakan
Tuhan.[20]
4.
Aspek-aspek
Fitrah
a.
Fitrah adalah
faktor kemampuan dasar perkembangan manusia yang terbawa sejak lahir yang
berpusat pada potensi dasar untuk berkembang.
b.
Potensi dasar
itu berkembang secara menyeluruh (integral) yang menggerakkan seluruh
aspek-aspeknya yang secara mekanistis satu sama lain mempengaruhi kea rah
tujuan tertentu.
c.
Aspek-aspek
fitrah adalah merupakan komponen dasar yang bersifat dinamis, responsive
terhadap pengaruh lingkungan sekitar, termasuk pendidikan.
d.
Komponen-komponen
dasar meliputi:
1)
Bakat, bakat
ini berpangkal pada kemampuan kognisi (daya cipta), konasi (kehendak), emosi
(rasa) yang disebut dengan tri chotimie (tiga kekuatan rohaniah).
2)
Insting atau gharizah,
ialah sutau kemampuan berbuat atau bertingkah laku dengan tanpa melalui
proses belajar.
3)
Nafsu dan
dorongan-dorongannya.
4)
Karakter atau
watak tabiat manusia merupakan kemampuan psikologis yang terbawa sejak
kelahirannya.
5)
Hereditas atau
keturunan merupakan faktor kemampuan dasar yang diturunkan oelah orang tua.
6)
Intuisi ialah
kemampuan psikologis manusia untuk menerima ilham Tuhan.[21]
B.
Fitrah Manusia
dalam Pandangan Islam dan Barat
1.
Fitrah dalam
Pandangan Islam
a.
Pandangan
Fatalis
Pandangan
ini mempercayai bahwa setiap individu, melalui ketetapan Allah adalah baik atau
jahat secara asal, baik ketetapan semacam ini terjadi secara keseluruhan atau
sebagian sesuai dengan kehendak Tuhan.
Syaikh
Abdul Qadir Jaelani, tokoh popular pandangan ini, mengungkapkan bahwa seorang
pendosa akan masuk surge jika hal itu menjadi nasibnya yang telah ditentukan
Allah sebelumnya. Tokoh lain, al-Azhari, menyatakan bahwa sifat dasar yang
tidak berubah dari fitrah berkaitan dengan nasib seseorang untuk masuk neraka
atau surge. Dengan demikian faktor eksternal dari petunjuk dan
kesalahanpetunjuk, seseorang individu terikat oleh kehendak Allah untuk
menjalani cetak biru kehidupan yang telah ditetapkan baginya sebelumnya.[22]
b.
Pandangan
Netral
Salah
satu tokoh dari pandangan ini adalah Ibn ‘Abd al-Barr, pandangan ini
berdasarkan pada firman Allah.
ª!$#urNä3y_t÷zr&.`ÏiBÈbqäÜç/öNä3ÏF»yg¨Bé&wcqßJn=÷ès?$\«øx©@yèy_urãNä3s9yìôJ¡¡9$#t»|Áö/F{$#urnoyÏ«øùF{$#ur öNä3ª=yès9crãä3ô±s?ÇÐÑÈ
Artinya:
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu
bersyukur.”(QS. An-Nahl: 78).
Pandangan
ini berpendapat bahwa anak terlahir dalam keadaan suci, suatu keadaan kosong
sebagaimana adanya, tanapa keasadaran akan iman atau kufur. Mereka lahir dalam
keadaan utuh atau sempurna, tetapi kosong dari esensi yang baik atau
buruk.Manusia dilahirkan dalam keadaan bodoh dan tidak berdosa. Dia akan
memperoleh pengetahuan tentang yang benar dan yang salah, tentang kebaikan dan
kebenaran serta keburukan dan kejahatan, dari lingkungan eksternal.
Menurut
pandangan ini iman(kebaikan) atau kufur (keburukan) hanya mewujud
ketika anak tersebut mencapai kedewasaan (taklif). Setelah mencapai taklif
seseorang akan bertanggung jawab atas perbuatannya.[23]
c.
Pandangan
Positif
Menurut
Ibnu Taimiyah, semua anak terlahir dalam keadaan fitrah, yaitu dalam keadaan
kebajikan bawaan, dan lingkungan sosial itulah yang menyebabkan individu
menyimpang dari keadaan ini.Sifat dasar dari manusia lebih dari sekedar
pengetahuan tentang Allah, tetapi juga cinta kepada-Nya dan keinginan untuk
menjalankan ajaran-Nya.
Artinya:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas)
fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada
peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Ruum: 30).
Dari
ayat tersebut Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa fitarh manusia bukan semata-mata
potensi pasif yang harus dibangun dari luar.Orang yang hanifbukanlah
orang yang bereaksi terhadap sumber-sumber bimbingan, tetapi seseorang yang
secara alamiah telah terbimbing dan berupaya memantapkannya dalam praktik
secara sadar.
Muhammad
Ali al-Shabuni, mengatakan bahwa kebaikan menyatu pada manusia, sementara
kejahatan bersifat aksidental, Ismail Raji al-Faruqi memandang bahwa kecintaan
kepada semua yang baik dan bernilai merupakan kehendak ketuhanan sebagai
sesuatu yang Allah tanamkan kepada manusia. Al-Faruqi memandang bahwa
pengetahuan dan kepatuhan bawaan Allah bersifat alamiah, sementara kedurhakaan
bersifat tidak alamiah.[24]
d.
Pandangan
Dualis
Artinya:
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:
"Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering
(yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk.” “Maka apabila Aku Telah
menyempurnakan kejadiannya, dan Telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku,
Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.”(QS. Al-Hijr: 28-29).Artinya:
“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya)”. “Maka Allah mengilhamkan kepada
jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.”“Sesungguhnya beruntunglah orang
yang mensucikan jiwa itu.”“Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”
(QS.al-Syams:7-10).
Ayat
di atas merupakan beberapa ayat yang menjadi dasar pandangan dualis ini.
Tokoh
utama pndangan ini adalah Sayid Quthb dan ‘Ali Shari’ati.Berbeda dengan
pandangan fatalis, netral, dan positif yang telah ada sajak awal perkembangan
Islam, pandangan dualis baru muncul sejak abad ke-20.Menurut mereka, penciptaan
manusia membawa sifat dasar yang bersifat ganda. Menurut Quthb, dua unsur
pembentuk esensial dari struktur manusia secara menyeluruh yaitu ruh dan tanah,
mengakibatkan kebaikan dan kejahatan sebagai suatu kecenderungan yang setara
pada manusia, yaitu kecenderungan untuk mengikuti Tuhan dan kecenderungan untuk
tersesat.Kebaikan pada manusia dilengkapi dengan pengaruh kenabian dan wahyu,
sementara godaan dan kesesatan yang menjadikan munculnya kejahatan.
Shari’ati
berpandangan bahwa tanah adalah simbol dari kehinaan yang digabungkan dengan
ruh dari Allah.Dengan demikian, manusia adalah makhluk berdimensi ganda dengan
sifat dasar ganda, suatu susunan dari dua kekuatan, bukan saja berbeda, tetapi
juga berlawanan.[25]
2.
Fitrah dalam
Pandangan Barat
a.
Pandangan
Arthur Scopenhauer (Nativisme)
Beliau
berpendapat, bahwa kemungkinan seorang anak mempunyai potensi hereditasnya
rendah, maka akan tetap rendah meskipun ia telah dewasa atau telah di didik.
Pendidikan tidak akan dapat mengubah manusia, karena potensi itu bersifat
kodrati. Pendidikan yang tidak sesuai dengan bakat dan potensi anak didik,
adalah pendidikan yang tidak berguna bagi perkembangan anak itu sendiri.
Pandangan
ini sejalan dengan teori disiplin mental yang di dalamnya termasuk mental
teistik, disiplin mental humanistik, naturalism dan apersepsi.
Menurut
teori mental teistik, anak mempunyai sejumlah daya mental seperti mengamati,
menanggapi, mengingat, berfikir, memecahkan masalah, dan sebagainya.
Selanjutnya
menurut teori disiplin mental humanistik bahwa anak memiliki potensi yang perlu
dilatih agar berkembang.Berbeda dengan teori mental teistik yang lebih
menekankan pada bagian-bagian tertentu, teori ini menekankan keseluruhan dan
keutuhan.
Sama
dengan kedua teori sebelumnya, teori naturalism mengatakan bahwa anak mempunyai
sejumlah potensi.Teori ini berpendapat bahwa anak tidak saja mempunyai potensi
untuk berbuat atau melakukan berbgai tugas, tetapi juga memiliki kemauan dan
kemampuan untuk berkembang sendiri.
Apersepsi
mengatakan bahwa belajar adalah membentuk masa apersepsi.Anak memiliki
kemampuan untuk mempelajari sesuatu.Hasil dari belajar disimpulkan dan
membentuk suatu masa apersepsi, dan masa apersepsi ini digunakan untuk
mempelajari atau menguasai pengetahuan selanjutnya.[26]
Aliran
ini berpendapat bahwa perkembangan manusia itu ditentukan oleh faktor-faktor
yang dibawah sejak lahir.Pembawaan sejak lahir itulah yang menetukan hasil
perkembangannya.Menurut nativisme, pendidikan tidak dapat mengubah sifat-sifat
pembawaan. Pendidikan dan lingkungan tidak berpengaruh sama sekali dan tidak
berkuasa dalam perkembangan seorang anak. Dalam ilmu pendidikan, hal tersebut
dinamakan dengan pesimisme pedagogis.
Anak
dilahirkan dengan membawa bakat tertentu.Bakat ini diumpamakan sebagai bibit
kesanggupan atau bibit kemungkinan yang terkandung dalam diri anak.Setiap anak
memiliki bermacam-macam bakat sebagai pembawaannya, seperti bakat music, seni,
akal yang atajam, dan sebagainya.
Sifat-sifat
keturunan yang diwariskan oleh orang tua atau nenek moyangnya terhadap seorang
anan dapat berupa fisik maupun mental.Mengenai fisik, misalnya wajah, bentuk
tubuh, dan suatu penyakit, sedangkan mengenai mental, misalnya sifat pemalas,
sifat pemarah, pendiam, dan sebagainya.[27]
b.
Pandangan John
Locke (Empirisme)
Menurut
beliau bahwa anak lahir ke dunia ini seperti kertas kosong (putih) atau meja
berlapis lilin (tabula rasa) yang belum ada tulisan di atasnya.Kertas
atau meja tersebut bisa ditulisi sekehendak hati yang menulisnya, dan
lingkungan itulah uang menulisi kertas kosong putih tersebut.Menrurt teori ini,
kepribadian berdasar kepada lingkungan, yaitu lingkungan tidak berjiwa yang
meliputi benda-benda mati, seperti tanah, air, batu, dan sebagainya, dan
lingkungan berjiwa yang meliputi manusia, hewan, dan tumbuhan.
Paham
ini sejalan dengan paham Helvatus seorang filsuf Yunani, yang berpendapat bahwa
manusia dilahirkan dengan jiwa dan watak yang hampir sama, yaitu bersih dan
suci. Pendidikan dan likunganlah yang akan membuat atau mencetak anak tersebut
sesuai yang diinginkan. Selain itu teori ini sependapat dengan uangkapan Claode
Adrien Helvatius yang mengatakan lingkungan dan pendidikan dapat membentuk
manusia kearah mana saja yang dikehendaki pendidik.
Teori
ini sejalan dengan teori behavioristik, dalam behavioristik ada tiga teori,
yaitu stimulus dan respons, conditioning, dan reinforcement.Kelompok
teori ini berangkat dari asumsi, bahwa anak tidak memiliki pembawaan potensi
apa-apa pada kelahirannya.Perkembangan anak ditentukan oleh faktor-faktor yang
berasal dari lingkungan.Teori stimulus-reponce mengatakan bahwa hidup
ini tunduk kepada hokum stimulus-respon atau aksi dan reasi. Setangakai bunga
misalnya dapat merupakan stimulus dan direpon oleh mata dengan cara
memandangnya.
Teori
conditioning mangatakan bahwa atara stimulus dan respon memerlukan
kondisi tertentu atau perlu dikondisikan.Bunyi bel sekolah menjadi kondisi bagi
anak-anak untuk memualai pelajaran.
Teori
reinforcement, jika pada conditioningkondisi diberikan kepada
stimulus pada teori ini kondisi diberikan pada respon. Anak yang belajar dengan
sungguh-sungguh (stimulus) dia mengasai apa yang dipelajarinya (repon) maka
guru memberi nilai tinggi, pujian, atau hadiah (reinforcement).[28]
Dalam
teori tabula rasa, seorang anak diibaratkan sebagai “a sheet of white paper
avoid off all character. Jadi, sejak dilahirkan anak itu tidak mempunyai
bakat dan pembawaan apa-apa anak dibentuk sekehendak hati pendidiknya.Di sini
kekuatan ada di pendidik dan pendidikan, serta lingkungan berkuasa atas
pembentukan anak.
Aliran
ini berlawanan dengan nativisme krena berpendapat bahwa dalam perkembangan anak
menjadi mansia dewasa itu sangat ditentukan oleh lingkungannya, atau oelh
pendidikan dan pengalaman yang diterima sejak kecil. Manusia dapat dididik apa
saja (kearah yang lebih baik maupun buruk) menurut kehendak lingkungan atau
pendidik atau lingkungannya. Dalam ilmu pendidikan pendapat kaum epirisme ini
dikenal dengan namaoptimisme pedagogis.[29]
c.
Pandangan
William Stern (Konvergensi)
Pemikiran
ini bertumpu pada hasil sintesis dari dua pemikiran sebelunya, menurut teori
ini, bahwa bagaimanapun kuatnya alasan kedua aliran di atas, namun keduanya
kurang realistis. Suatu kenyataan bahwa suatu hereditas yang baik saja, tanpa
pengaruh lingkungan pendidikan yang positif tidak akan membina kepribadian yang
ideal, dan sebaliknya. Oleh karena itu, perkembangan kepribadian yang
sesungguhnya adalah hasil proses kedua faktor, yaitu faktor internal dan
faktor, berupa bawaan sejak lahir, bakat, talenta, potensi, keadaan spiritual,
emosional, dan lainnya, serta keadaan fisik tertentu, dan faktor eksternal yaitu
lingkungan pendidikan, masyarakat, perkembangan ilmu pengetahuan, kehidupan
beragama, tradisi, budaya, peradaban, dan nilai-nilai yang berkembang di
masyarakat.Setiap perkembangan adalah hasil konvergensi dari fakto-faktor
tersebut.
Teori
ini lebih lanjut mengatakan, bahwa walaupun manusia berasal dari pembawaan yang
sama, namun dipengaruhi oleh pembwaan lingkungan. Kemampuan anak kembar yang
pembawaanya sama, namun jika dibesarkan dalam lingkungan yang berlainan,
merekan akan memiliki jiwa dan kepribadian berbeda.
Teori
ini juga diperkuat dengan contoh tentang dua anak yang tinggal dalam satu
lingkungan yang sama dan mempelajari bahasa, namun hasilnya berbeda. Ini
menunjukkan bahwa faktor lingkungan tidak sepenuhnya dapat membentuk pribadi
seseorang. Hal yang demikian disebabkan, karena adanya kuantitas pembawaan dan
perbedaan situasi atau suasana lingkungan, walaupun kedua anak tersebut
menggunakan bahasa yang sama.[30]
Teori
ini merupakan kompromi atau dialektika dari nativisme dan empirisme.Teori ini
mengatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan manusia itu dipengaruhi oleh dua
faktor, yaitu faktor pembawaan dan faktor lingkungan.
Dalam
aliran ini masih terdapat dua aliran, yaitu aliran kovergensi yang lebih
menekankan kepada pengaruh pembawaan dan yang menekankan pada pengaruh
lingkungan.Munculnya kedua kecenderungan dalam aliran konvergensi tersebut
membuat orang yang mengikutinya membuat orang yang mengikutinya menjadi skpetis
atau ragu-ragu.[31]
C.
Analisis
Fitrah
Menurut Islam adalah bahwamanusia dari
asalnya memiliki potensi positif, yaitu kecenderungan untuk mencari Tuhan,
kepada Tuhan, dan berperilaku baik. Fitrah tersebut juga membawa manusia kepada
keyakinan kepada Allah SWT. Hal-hal lain seperti faktor internal yang meliputi
bakat, keadaan fisik dan sebagainya, dan faktor eksternal seperti pendidikan
dan lingkungan juga memberikan pengaruh pada perkembangan fitrah manusia dalam
perjalananaya menuju Allah SWT dan atas kehendak-Nya.
Pemikiran
Arthur S. tentang fitrah manusia sudah sangat baik, pemikiran ini masih terlalu
mengedepankan faktor internal dan tidak begitu menanggapi faktor pendidikan dan
lingkungan yang berasal dari luar.Pemikiran ini terlalu percaya kepada potensi
pembawaan anak yang belum tentu seorang anak mampu atau memiliki kemampuan
untuk memecahkan masalah tersebut. Padahal di dalam Islam lingkungan juga
memberikan kontribusi bagi perkembangan fitrah manusia, dengan kata lain islam
mengakui bahwa lingkungan, pendidikan, dan masyarakat memiliki pengaruah dalam
pembentukan pribadi manusia.
Teori
empirisme memberikan pemikiran yang sangat bagus tentang fitrah manusia.Namun,
teori ini masih memiliki kekurangan, kekurangannya terletak pada teori ini
kurang menghargai bahwa manusia makhluk yang sempurna, makhluk yang mulia,
makhluk yang memiliki bakat dan potensi bawaan sejak lahir seperti pada konsep
Islam. Teori ini memandang manusia seperti program yang hanya berjalan sesuai
dengan apa telah diseting oleh progamernya. Manusia tidak bisa berkreasi,
kepribadian manusia dibawah pengaruh penuh lingkungan.
Konsep
kovergensi ini meruapakan konsep yang bisa dikatakan sejalan dengan konsep
fitrah menurut Islam.Namun, teori ini masih berpusat kepada manusia, tidak ada
keterlibatan Tuhan dalam menentukan fitrah manusia.Sama seperti teori nativisme
dan empirisme, teori korvengensi juga bersifat antroposentris.Pertemuan antara
potensi pembawaan dan linngkungan Islam sejalan dengan itu, tapi itu belum
cukup, selain konvergensi juga ada kehendak Allah SWT.yang mempengaruhi
konvergensi tersebut, atau dengan kata lain bercorak humanism theosentris.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Secaraetimologifitrahberarti
“terbukanyasesuatudanmelahirkannya”, fitrahberartial-insyiqaqataual-syaqqyang
berarti al-inkisar yang bermaknapecahataubelah, danfitrahberarti al-khilqab,
al-ijdad, atau al-ibda’ yang memilikiartipenciptaan.Secaraterminologifitrahadalahcitraaslimanusia
yang dinamis, yang terdapatpadasistem-sistempsikotikmanusia,
dandapatdiaktulisasikandalambentuktingkahlaku.Citra
uniktersebutsudahadasejakawalpenciptaannya.
Pandangan
Islam terhadapfitrahmanusiayaitu; 1) pandanganfatalis,
mempercayaibahwasetiapindividu, melaluiketetapan Allah
adalahbaikataujahatsecaraasal; 2) pandangannetral,anakterlahirdalamkeadaansuci,
suatukeadaankosongsebagaimanaadanya, tanapakeasadaranakanimanatau kufur;1)
pandanganpositif, semuaanakterlahirdalamkeadaanfitrah,
yaitudalamkeadaankebajikanbawaan; 3) pandangandualis, menurutmereka,
penciptaanmanusiamembawasifatdasar yang bersifatganda.
Pandanganbaratterhadapfitrahmanusiayaitu;
1)pandanganArthur Scopenhauer (nativisme),
lingkungantidakakandapatmengubahmanusia, karenapotensiitubersifatkodrati; 2)
pandanganJohn Locke (empirisme), anaklahirkeduniainisepertikertaskosong (putih)
ataumejaberlapislilin (tabula rasa) yang belumadatulisan di atasnya; 3) pandanganWilliam
Stern (konvergensi),
pemikiraninibertumpupadahasilsintesisdariduapemikiransebelunya.
Secarasingkatkonsepkovergensisejalandengankonsepfitrahmenurut
Islam.Namun.samasepertiteorinativismedanempirisme,
teorikorvengensijugabersifatantroposentris. Konvergensibercorak humanism
theosentrisitulahkonsepfitrahdalam Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul MujibdanJusufMudzakir, Nuansa-nuansaPsikologi Islam,
(Jakarta: PT Raja GrafindoPersada, 2002).
AbudinNata, PemikiranPendidikan
Islam dan Barat, (Jakarta: PT Raja GrafindoPersada, 2012).
Baharuddin, ParadigmaPsikologi
Islam, StuditentangElemenPsikologidari al-Qur’an, (Yogyakarta: PustakaPelajar,
2004).
FuadNashori, Potensi-potensiManusia
Seri PsikologiIslami, (Yogyakarta: PustakaPelajar, 2003).
HasanLanggulung, Asas-asasPendidikan
Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1998), hlm. 53.
Kamisa, KamusLengkapBahasa
Indonesia, (Surabaya: Kartika, 1997).
M. Sudiono, IlmuPendidikan Islam Jilid I, (Jakarta: PT RinekaCipta,
2009).
NovanArdyWiyanidanBarnawi, IlmuPendidikan
Islam RancangBangunKonsepPendidikanMonokotomik-Holistik, (Jogjakarta:
ArRuzz Media, 2012).
Toto Suharto, FilsafatPendidikan Islam, (Jogjakarta, ArRuzz
Media, 2011).
Victoria Neuveldt, Webster’s New
World College Dictionary.
[1]Kamisa, KamusLengkapBahasa
Indonesia, (Surabaya: Kartika, 1997), hlm. 362.
[2] Abdul
MujibdanJusufMudzakir, Nuansa-nuansaPsikologi Islam, (Jakarta: PT Raja
GrafindoPersada, 2002), hlm. 69.
[3]FuadNashori,
Potensi-potensiManusia Seri PsikologiIslami, (Yogyakarta: PustakaPelajar,
2003), hlm. 51-52.
[4] Hasan
Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna,
1998), hlm. 53.
[5]Toto Suharto, Filsafat
Pendidikan Islam, (Jogjakarta, Ar Ruzz Media, 2011), hlm. 78-79.
[6] Baharuddin,
Paradigma Psikologi Islam, Studi tentang Elemen Psikologi dari al-Qur’an,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 146-147.
[7] Kamisa, Kamus
Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Kartika, 1997), hlm. 234.
[8]Victoria
Neuveldt, Webster’s New World College Dictionary, hlm. 669.
[9]Victoria
Neuveldt, Webster’s New World College Dictionary, hlm. 669.
[10] Baharuddin,
Paradigma Psikologi Islam, Studi tentang Elemen Psikologi dari al-Qur’an,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 147.
[11] Kamisa, Kamus
Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Kartika, 1997), hlm. 163.
[12]Victoria
Neuveldt, Webster’s New World College Dictionary, hlm. 669.
[13] Baharuddin,
Paradigma Psikologi Islam, Studi tentang Elemen Psikologi dari al-Qur’an,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 147.
[14] Abdul Mujib
dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-nuansa Psikologi Islam, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2002), hlm. 78.
[15] Abdul Mujib
dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-nuansa Psikologi Islam, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2002), hlm. 78.
[16] Baharuddin,
Paradigma Psikologi Islam, Studi tentang Elemen Psikologi dari al-Qur’an,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 147.
[17] Baharuddin,
Paradigma Psikologi Islam, Studi tentang Elemen Psikologi dari al-Qur’an,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 148.
[18] Abdul Mujib
dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-nuansa Psikologi Islam, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2002), hlm. 79-84.
[19] Abdul Mujib
dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-nuansa Psikologi Islam, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2002), hlm. 84-85.
[20] Baharuddin,
Paradigma Psikologi Islam, Studi tentang Elemen Psikologi dari al-Qur’an,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 148.
[21] M. Sudiono, Ilmu
Pendidikan Islam Jilid I, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009), hlm. 149-151
[22] Fuad Nashori, Potensi-potensi
Manusia Seri Psikologi Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm.
55-57.
[23] Fuad Nashori, Potensi-potensi
Manusia Seri Psikologi Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm.
57-58.
[24] Fuad Nashori, Potensi-potensi
Manusia Seri Psikologi Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm.
58-61.
[25] Fuad Nashori, Potensi-potensi
Manusia Seri Psikologi Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm.
62-64.
[26]Abudin Nata, Pemikiran
Pendidikan Islam dan Barat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), hlm.
232-234.
[27] Novan Ardy
Wiyani dan Barnawi, Ilmu Pendidikan Islam Rancang Bangun Konsep Pendidikan
Monokotomik-Holistik, (Jogjakarta: Ar Ruzz Media, 2012), hlm. 35-37.
[28] Abudin Nata, Pemikiran
Pendidikan Islam dan Barat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), hlm.
242-245.
[29]Novan Ardy
Wiyani dan Barnawi, Ilmu Pendidikan Islam Rancang Bangun Konsep Pendidikan
Monokotomik-Holistik, (Jogjakarta: Ar Ruzz Media, 2012), hlm. 37-38.
[30] Abudin Nata, Pemikiran
Pendidikan Islam dan Barat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), hlm.
250-251.
[31] Novan Ardy
Wiyani dan Barnawi, Ilmu Pendidikan Islam Rancang Bangun Konsep Pendidikan
Monokotomik-Holistik, (Jogjakarta: Ar Ruzz Media, 2012), hlm. 39.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar