PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kajian tentang fikih akan selalu mengalami perubahan dan
perkembangan, karena fikih merupakan buah pikiran yang ditujukan untuk menjawab
fenomena kehidupan yang akan selalu berubah dan berkembang seiring dengan
kemajuan zaman. Oleh sebab itu, fikihharus secara terus menerus dipelajari dan
dikaji sebagai tanggapan atas hakikatnya yang harus selaluberubah dan
berkembang sesuai dengan kemajuan zaman. Fikih yang pada mulanya mencakup semua
aspek hukum yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan
sesamanya, dan manusia dengan lingkungannya, kini mulai mengalami penyempitan
makna, pembahasan dan penamaan. Hal ini merupakan respon atas adanya
perkembangan yang begitu pesat pada masing-masing pembahasan yang tetntunya
semakin menuntut ketelitian dan spesialisasi para ahli fikih. Misalnya saja,
terdapat pembagian fikih dalam kategori, yaitu,fikih ibadah, fikihmu’amalah,
fikihjinayah, fikih kontemporer dan lain-lain.
Salah satu cabang ilmu fikih yang beberapa saat lalu muncul dan
menjadi salah satu hal yang layak untuk ditindaklanjuti adalah apa yang
dinamakan dengan fikih prioritas (fiqh al-aulawiyyat). Fikih prioritas
muncul bersumber dari perilaku manusia saat ini yang mulai lalai terhadap perilakunya
sendiri, manusia mulai mengesampingkan perbuatan mana yang harus didahlukan dan
perbuatan mana yang harus diakhirkan.
Fikihprioritas memberikan gambaran dan tuntunan dalam melakukan
sesuatu, mana yang harus didahulukan dan mana yang harus dikhirkan. Memberikan
petunjuk tentang urutan amal yang terpenting dari yang penting. Dalam sholat
misalamya, sholat berjamaah lebih diprioritaskan daripada sholat sendirian, dalam
hadis Nabi SAW. disebutkan.
عن ابني عمر عمر رضي الله عنهما أن
رسول الله صلى الله عليه و سلم قال: صلاة الجماعة تفضل صلاة الفذ بسبع و عشرين
درجة. (البخري: ٦٤٥، الفتح:٢/١٦٦).
Artinya: dari ibnu umar, bahwa Rasulullah
bersabda, “shalat jamaah lebih utama dari shalat sendirian, dua puluh tujuh
derajat.” (HR. al-Bukhari: 645, al-Fath: 2/166).[1]
Oleh sebab itu, fikih prioritas adalah penting dan suatu hal yang
perlu ditindaklanjuti. Karena, fikih prioritas dapat dijadikan sebagai rambu-rambu
dalam menjalankan aktivitas dalam keseharian kita, baik ibadah, muamalah dan
lain-lain.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang
dimaksud dengan fikih prioritas?
2.
Bagaimana
hubungan fikih prioritas dengan fikih-fikih yang lain?
3.
Bagaimana prioritas
seorang muslim dalam melakukan sesuatu?
C.
Tujuan
Pembahasan
1. Menjelaskan pengertian fikih prioritas.
2. Menjelaskanhubungan fikih prioritas dengan fikih-fikih yang lain.
3. Menjelaskan prioritas seorang muslim dalam melakukan sesuatu.
PEMBAHASAN
Fikih
prioritas, merupakan kajian yang membicarakan suatu topik yang sangat penting.
Sebab kajian ini akan memecahkan masalah seputar kerancuan dan kekacauan dalam
menilai dan memberikan skala prioritas terhadap perintah-perintang Allah,
pemikiran, serta amal-amal. Mana diantaranya yang mesti didahulukan dan mana
yang mesti diakhirkan, mana yang harus diprioritaskan dan mana yang harus
dikemudiankan dalam tingkatan perintah Allah dan petunjuk Nabi.[2]
Dalam
Hadis Nabi SAW. dijelaskan bahwa Nabi Muhammad meprioritaskan anak yang menangi
dengan meringankan sholatnya dengan maksud membantu ibu dari anak yang menangis.
عن أبي قتادة رضي الله عنه عن
النبي صلى الله عليه و سلم قال: اني لأقوم في الصلاة أريد أن أطوّل فيها، فأسمع
بكاء الصبّي، فأتجوّز في صلاتي كراهية أن أشقّ على أمّه. (البخاري:٧٠٧
الفتح:٢/٢٥٦-٢٥٧).
Artinya: dari Abu Qatadah, Nabi bersabda,
“(ketika) aku berdiri sholat, aku ingin memanjangkannya. Namun, aku mendengan tangis anak maka aku
ringankan sholatku karena tidak ingin memberatkan ibunya.” (HR. al-Bukhari:
707, al-Fath: 2/256-257).[3]
Hadis
tentang meringankan sholat ketika anak menangis ini, memberitahukan bahwa
memperioritaskan sesuatu harus dimaksudkan untuk tujuan yang baik atau mulia.
Dalam memperioritaskan suatu hal harus benar-benar dipertimbangkan tentang
suatu hal tersebut, apakah memang tepat jika diprioritaskan atau lebih
memberikan manfaat jika diakhirkan.
Ungkapan
kewajiban harus dikerjakan terlebih dahulua sebelum hak dan kentingan pribadi
harus dikesampingkan jika berhadapan dengan kepentingan kelompok,
memberitahukan bahwa ada hal-hal yang memang harus diprioritaskan dari yang lain.
Misalnya, seorang muslim harus memnuhi kewajibannya sebagai muslim terlebih
dahulu sebelum menuntut hak-haknya, seorang anggota masyarakat harus memnuhi
semua kewajiban sebagai anggota masyarakat sebelum menuntut yang lain, dan lain
sebagainya.
Hal-hal
tersebut di atas menjelaskan bahwa fikih prioritas adalah suatu hal yang
penting dan suatu hal yang perlu ditindaklanjuti. Karena, fikih prioritas dapat
dijadikan sebagai rambu-rambu dalam menjalankan aktivitas dalam keseharian
hidup manusia, baik yang bersinggungan dengan Allah, sesama manusia, maupun
lingkungannya.
4. Pengertian Fikih Prioritas
1.
Pengertian
Fikih
Fikih berasal
dari bahasa arab fiqh yang mengandung makna mengerti atau
mengetahui.[4]Zainuddin
Ali mengemukakan bahwa kata fikih secara etimologi artinya paham, pengertian,
dan pengetahuan.[5]
Fikih menurut istilah adalah ilmu yang mempelajari hukum-hukum syara’
yang bersifat praktis yang diambil dari dalil-dalil yang sudah terperinci.[6]
Para Fuqaha mendefinisikan fikih dengan ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’
yang diperoleh dari dalil-dalil yang tafshil.[7]
Adapun
pengertian fikih menurut istilah dari beberapa pendapat sebagai berikut.[8]
a.
Menurut Shobhi
Mahmasanni, fikih berarti ilmu hukum atau syariat, dan orang-orang ahli dalam
bidang ilmu ini disebut fakih. Selain itu, fikih juga berarti ilmu untuk
mengetahui masalah-masalah hukum secara praktis. Selanjutnya, fikih juga
berarti ilmu untuk mengetahui ketentuan-ketentuan hukum far’i (cabang)
dari syariat yang diperoleh dari dalil-dalil perincian syariat.
b.
Menurut Abu
Ishaq, sebagaimana dikutip oleh Nasaruddin Razak, fikih adalah memahami apa
yang tersirat. Kemudian definisi yang dikembangkan dalam ilmu hukum Islam,
fikih berarti ilmu tentang hukum Islam yang disimpulkan dengan jalan rasio
berdasarkan alasan-alasan yang terperinci.
c.
Menurut
Murthada Muthahhari, bahwa menurut terminologi al-Qur’an dan Sunah, fikih ialah
pengetahuan yang luas dan mendalam tentang perintah-perintah dan realitas
Islam, dan tidak mempunyai relevansi khusus dengan definisi tertentu. Namun
demekian, menurut terminologi ulama, kata ini secara perlahan menjadi secara
khusus diaplikasikan pada permasalahan mendalam tentang hukum-hukum Islam.
Jadi, dari
penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa fikih adalah ilmu yang mempelajari
tentang hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang
bersumber pada al-Qur’an dan al-hadits yang sudah terperinci
dalil-dalilnya.
Yang dimaksud
dengan hukum-hukum syara’ dalam definisi di atas adalah setiap hukum
yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunah. Pembatasan kata hukum syara’
dengan kata praktis bertujuan membatasi objek ilmu fikih karena ia hanya
membahas perbuatan indrawi manusia, seperti amal seseorang atau perbuatannya.
Dengan demikian, ilmu fikih tidak memuat hukum-hukum berkaitan dengan keyakinan
atau akhlak karena keduanya masuk dalam wilayah syariat, sedangkan syariat itu
sendiri lebih luas dari fikih.
Adapun tentang
objek ilmu fikih sebagian fukaha berpendapat bahwa objek atau bidang kajian
ilmu fikih ada dua kategori besar yaitu: a) ibadah: mencakup shalat, puasa,
zakat, dan haji; b) adat istiadat: mencakup selain ibadah berupa hukum
aplikatif, baik yang berkaitan tentang jinayah atau muamalat, sirah (perjalanan
hidup), wasiat, dan warisan.
Sebagian lain
membaginya menjadi empat bagaian utama yaitu: a) ibadah; b) sesuatu yang
berhubungan dengan eksistensi seseorang, yaitu aktivitas muamalah seperti jual
beli; c) sesuatu yang berhubungan dengan kelangsungan jenis atau keturunan
berupa aspek tempat berteduh, seperti akad pernikahan dan hal-hal yang
berhubungan dengannya; d) sesuatu yang berkaitan dengan kelangsungan hidup
jenis atau keturunan yang berkaitan dengan hak-hak sipil atau yang berhubungan
dengannya.
Sebagian lagi
membuat kategorisasi sebagi berikut: a) ibadah, yaitu sholat, zakat, puasa,
haji, dan jihad; b) muamalat; yaitu tukar menukar harta, amanat, pernikahan dan
berhubungan dengannya, pendakwaan dan harta peninggalan; c) hukuman, yaitu qishash,
hukuman mencuri, zina, qadzah (tuduhan palsu perzinaan), dan murtad
(pindah agama dan keluar dari agama Islam).[9]
Sedangkan
tentang sumber fikih yang dijadikan sandaran para fukaha dalam ijtihadnya,
sebagai sandaran dalam menggali hukum-hukum syar’iada tujuh macam. Pertama,
al-Qur’an. Secara etimologi, al-Qur’an merupakan bentuk masdhar dari
kata qara’a yang memiliki arti
bacaan, yang dibaca, dilihat, dan ditelaah.[10]
Para ulama sepakat bahwa al-Qur’an adalah hujjah (konstitusi) yang harus
diamalkan, mereka juga sepakat bahwa al-Qur’an merupakan sumber syariat
pertama.
Kedua, Sunnah. Menurut bahasa artinya jalan dan kebiasaan. Adapun
Sunnahmenurut ulama ushul adalah setiap yang keluar dari baginda
Rasulullah SAW. baik berupa ucapan, perbuatan, atau pengakuan.[11]
Sementara secara terminologi, makna Sunnahdapat ditinjau dari tiga
disiplin ilmu sebagai berikut:[12]
a.
Menurut ahli
hadits, Sunnahsama dengan hadis yaitu sesuatu yang dinisbahkan kepada
Rasulullah SAW. baik perkataan, perbuatan, maupun sikap beliau tentang suatu
peristiwa.
b.
Menurut ahli ushul
fikih, Sunnahialah semua yang berkaiatan dengan masalah hukum yang
dinisbahkan kepada Rasulullah SAW. baik perkataan, perbuatan, maupun sikap
beliau terhadap suatu peristiwa.
c.
Menurut ahli
fikih, makna Sunnahmengandung dua pengertian, yang pertama sama dengan
yang dimaksud ahli ushul fikih. Sedangkan pengertian yang kedua ialah
suatu perbuatan yang jika dikerjakan mendapat pahala, tetapi jika ditinggalkan
tidak berdosa. Dalam pengertian yang kedua ini, sunnah merupakan salah satu
dari ahkam at-taklifi yang lima,
wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah.
Ketiga, al-Ijma’. Ijma’ secara bahasa memiliki dua makna. Pertama,
bermakna ketetapan hati terhadap sesuatu. Kedua,ijma’ bermakna
kesepakatan terhadap sesuatu.[13]Adapun
arti ijma’ menurut istilah ulama ushul adalah kesepakatan para
mujtahidin dari kalangan umat Nabi Muhammad SAW. setelah baginda Rasulullah
wafat pada suatu zaman tertentu terhadap sebuah permasalahan hukum syar’i.[14]
Keempat, Qiyas. Qiyas secara bahasa artinya qadr (ukuran, bandingan).[15]
Menurut Ibnu al-Subki, qiyasadalah menyamakan hukum sesuatu dengan hukum
sesuatu yang lain karena adanya kesamaan ‘illah hukum menurut mujtahid
yang menyamakan hukumnya.Sedangkan qiyas menurut itilah adalah
mengikutkan hukum syar’i suatu masalah yang tidak ada nash-nya
dengan permasalahan yang sudah ada nash-nya karena adanya memiliki ‘illat
antara keduanya.[16]
Adapun unsur Qiyas ada empat yaitu:
a) al-Ashl, sesuatu yang sudah
ada hukum tetapnya; b) al-far’i,
masalah yang belum ada hukumnya, baik dari al-Qur’an, sunnah dan ijma’; c)
Illat, bentuk kemiripan yang
mengubungkan antara dasar dengan cabang; d) hukum dasar, hukum syar’i
bagi masalah yang sudah ada nash-nya
Kelima,
Istihsan.Secara bahasa
artinya menganggap suatu baik. Sedangkan istihsan menurut istilah adalah
meninggalkan hukum suatu masalah yang seharusnya ditetapkan karena ada nash
yang mirip dengannya disebabkan ada alasan yang lebih kuat untuk
meninggalkannya.[17]
Keenam, MashlahahMursalah. Mashalih merupakan bentuk jamak dari mashlahahyang
menurut bahasa berarti manfaat, atau untuk menyebutkan perbuatan yang
mengandung manfaat atau kebaikan. Sedangkan menurut istilah adalah setiap makna
(nilai) yang diperoleh ketika menghubungkan hukum dengannya atau menetapkan
hukumnya berupa mendapat manfaat atau menolak mudarat dari orang lain, dan
tidak ada dalil yang mengakui atau menolak keberadaannya.[18]
Ketujuh, al-Urf (adat istiadat). Suatu yang sudah diyakini
mayoritas orang, baik berupa ucapan atau perbuatan yang sudah berulang-ulang
sehingga tertanam dalam jiwa dan diterima oleh akal mereka.
Dari ketujuh
sumber-sumber hukum fikih tersebut, yang paling dasar dan utama adalah
al-Qur’an dan al-Sunnah, adapun sumber-sumber yang lainnya merupakan
buah pikiran orang-orang yang berkompeten dalam bidang tersebut yang
disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang berdasar kepada al-Qur’an dan al-Sunnah.
2.
Pengertian
Prioritas
Prioritas
berasal dari bahasa Inggris priority yang memeliki beberapa pengertian. Pertama,
prioritydiartikan sebagai the fact or condition of being regarded or
treated as more important than others, artinya, fakta atau kondisi yang dianggap atau diperlakukanlebih penting daripada
yang lain. Contoh kalimat,the safety of the country takes priority over any other matter, artinya, keamanan negara menjadi prioritas di atas hal-hal lain.[19]
Kedua, priority diartikan sebagai a thing that is regarded as more important than others, artinya, sebuah hal yang dianggaplebih penting daripada yang lain. Contoh kalimat, housework didn’t figure high on her list of
priorities, artinya, pekerjaan rumah tangga tidak diutamakan pada daftar prioritasnya.[20]
Ketiga, priority diartikan sebagai the right to proceed before
other traffic, artinya, hak untuk melanjutkan lalu
lintas sebelumlainnya. Contoh
kalimat,priority is given to traffic already on the roundabout, artinya,
prioritas sudah diberikan untuk lalu lintas di bundaran.[21]
Dalam Kamus
Lengkap Bahasa Indonesia, prioritas diartikan sebagai diutamakan,
dinomorsatukan, dan didahulukan.[22]
Pengertian tersebut memberitahukan, bahwa prioritas terjadi karena ada dua hal
atau lebih (pilihan, kegitan, metode, cara dan lain-lain), yang mana dari
hal-hal tersebut ada yang didahulukan dan di akhirkan sehingga terbentuk
urutan.
Suatu hal
diprioritaskan tentunya atas pertimbangan-pertibangan yang beralasan. Tidak
mungkin sesuatu yang didahulukan dipilih begitu saja tanpa bertimbangan. Suatu
hal menjadi prioritas karena hal tersebut memiliki kelebihan, kesempatan,
peluang dan lain sebagainya sehingga menjadi tepat untuk dinomorsatukan.
3.
Pengertian
Fikih Prioritas
Fikih prioritas
adalah suatu analisis Islami tentang bagaimana umat selayaknya memilih amal-amal
terpenting dari yang penting dan mengutamakanpenuaian amal terpenting dari yang
pentingsehingga memberikan konsekuensi logis yang memungkinkan umat untuk dapat
mengantisipasi problema sosial, budaya, politik dan ekonomi umat.[23]
Kajian ini berusaha melihat sejumlah persoalan prioritas dari sudut pandang
hukum Islam yang berdasarkan berbagai argumen, dengan harapan dapat meluruskan
pemikiran, memperkokoh metodologi, dan mampu merumuskan paradigma baru dalam
fikih.[24]
Kajian tentang
fikih prioritas ini akan menjadi acuan untuk semua manusia khususnya umat Islam
dan segala hal yang berhubungan dengan mereka. Dari kajian fikih prioritas ini
umat Islam diharapkan bisa memilah-milah apa yang diprioritaskan oleh ajaran
agama Islam dan mana yang diakhirkan, mana yang ditekankan dan mana yang diringankan,
serta apa yang harus segera dilaksanakan dan mana yang masih bisa ditolerir
oleh hukum agama.
5. Hubungan Fikih Prioritas dengan Fikih-fikih yang Lain
6. Prioritas Seorang Muslim dalam Melakukan Sesuatu.
[1]Imam
az-Zubaidi, Ringkasan Shahih Bukhari, terj. Arif Rahman Hakim (Solo:
Insan Kamil, 2014), hlm. 165.
[2]Yusuf Qardhawi,
Fikih Prioritas: Urutan Amal yang Terpenting dari yang Terpenting (Cet.
VI; Jakarta: Gema Insani Press, 2002), hlm. 4.
[3]Imam
az-Zubaidi, Ringkasan Shahih..., hlm. 176-177.
[4]Abd. Rahman
Dahlan, Ushul Fiqh (Jakarta: Amzah,
2010), hlm. 4.
[5] Sohari Sahrani
dan Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah (Bogor:
Ghalia Indonesia, 2011), hlm.3.
[6] Rasyad Hasan
Kahlil, Tarikh Tasyri’ (Jakarta:
Amzah, 2009), hlm. 5.
[7]M. Yatimin
Abdullah, Studi Islam Kontemporer (Jakarta:
Amzah, 2006), hlm.319.
[8]Abuddin Nata, Studi Islam Kontemporer (Jakarta:
Kencana, 2011), hlm.241.
[9]Rasyad Hasan
Kahlil, Tarikh…, hlm. 7.
[10] Abd. Rahman
Dahlan, Ushul…, hlm. 115.
[11] Rasyad Hasan
Kahlil, Tarikh…, hlm. 149.
[12] Abd. Rahman
Dahlan, Ushul…, hlm. 131.
[13] Abd. Rahman
Dahlan, Ushul…, hlm. 146.
[14] Rasyad Hasan
Kahlil, Tarikh…, hlm. 155.
[15]Abd. Rahman
Dahlan, Ushul…, hlm. 161.
[16] Rasyad Hasan
Kahlil, Tarikh…, hlm. 159.
[17] Rasyad Hasan
Kahlil. Tarikh…, hlm. 162.
[18] Rasyad Hasan
Kahlil. Tarikh…, hlm. 167.
[19]Definition of
Priority in English (http:www.oxforddictionaries.com), diakses Rabu 11 November 2015
jam 12:14 WIB.
[22]Kamisa,
Kamus Lengkap Bahasa Indonesia(Cet.1;Surabaya: Kartika, 1997), hlm. 423.
[23]Yusuf Qardhawi,
Fikih Prioritas…, hlm. 3.
[24]Yusuf Qardhawi,
Fikih Prioritas…, hlm. 4.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar