Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Minggu, 13 Mei 2018

MAKALAH GAGASAN INTEGRASI KEILMUAN MENURUT AMIN ABDULLAH


GAGASAN INTEGRASI KEILMUAN MENURUT AMIN ABDULLAH

A. Pendahuluan
Pemikiran tentang Integrasi atau Islamisasi ilmu pengetahuan dewasa ini yang dilakukan oleh kalangan intelektual muslim, tidak lepas dari kesadaran beragama. Secara totalitas ditengah ramainya dunia global yang sarat dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan sebuah konsep bahwa ummat Islam akan maju dapat menyusul menyamai orang-orang barat apabila mampu menstransformasikan dan menyerap secara aktual terhadap ilmu pengetahuan dalam rangka memahami wahyu, atau mampu memahami wahyu dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.[1]
Disamping itu terdapat asumsi bahwa ilmu pengetahuan yang berasal dari negara-negara barat dianggap sebagai pengetahuan yang sekuler oleh karenanya ilmu tersebut harus ditolak, atau minimal ilmu pengetahuan tersebut harus dimaknai dan diterjemahkan dengan pemahaman secara islami. Ilmu pengetahuan yang sesungguhnya merupakan hasil dari pembacaan manusia terhadap ayat-ayat Allah swt, kehilangan dimensi spiritualitasnya, maka berkembangkanlah ilmu atau sains yang tidak punya kaitan sama sekali dengan agama. Tidaklah mengherankan jika kemudian ilmu dan teknologi yang seharusnya memberi manfaat yang sebanyak-banyaknya bagi kehidupan manusia ternyata berubah menjadi alat yang digunakan untuk kepentingan sesaat yang justru menjadi “penyebab” terjadinya malapetaka yang merugikan manusia.[2]
Untuk mencapai sasaran tersebut maka perlu dilakukan suatu upaya mengintegrasikan ilmu-ilmu umum dengan ilmu-ilmu keislaman, sehingga ilmu-ilmu umum tersebut tidak bebas nilai atau sekuler. Pendekatan interdisciplinary dan inter koneksitas antara disiplin ilmu agama dan umum perlu dibangun dan dikembangkan terus-menerus tanpa kenal henti.
Bukan masanya sekarang disiplin ilmu–ilmu agama (Islam) menyendiri dan steril dari kontak dan intervensi ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu kealaman dan begitu pula sebaliknya.[3] Perlu ada integrasi–interkoneksi antara elemen-elemen pengetahuan tersebut. M. Amin Abdullah seorang cendekia muslim menjadi tokoh yang berjasa dalam pengembangan gagasan integrasi–interkoneksi ini, sehingga berimplikasi dalam banyak hal, perubahan konsep IAIN menjadi UIN diantaranya.
            Hasil gagasan pemikiran M. Amin Abdullah memberikan sumbangsi dan mewarnai keilmuan khususnya didunia akademisi.Beliau menemukan konsep keilmuan horizon jaring laba-laba teoantroposentrik-integralistik yang menggabungkan antara disiplin ilmu keagamaan dengan disiplin ilmu lainnya yang saling keterkaitan.Dan konsep ini sangat relevan dengan keadaan zaman pada saat ini.
Dalam makalah ini, penyusun akan membahas mengenai konsep pemikiran Amin Abdullah tentang pendidikan integrasi-interkoneksi pada dunia pendidikan.
Banyak sekali kekurangan dalam makalah ini, oleh karenanya penyusun makalah sangat mengharapkan kepada seluruh pembaca dalam memberikan kritikan dan saran yang membangun guna menyempurnakan makalah ini.


A.    Biografi Amin Abdullah
Prof. DR. M. Amin Abdullah, lahir di Margomulyo, Tayu, Pati, Jawa Tengah, 28 Juli 1953. Menamatkan Kulliyat Al-Mu’allimin Al-Islamiyyah (KMI), Pesantren Gontor Ponorogo 1972 dan program Sarjana Muda (Bakaleurat) pada Institut Pendidikan Darussalam (IPD) 1977 di Pesantren yang sama. Menyelesaikan program Sarjana pada Fakultas Ushuluddin, Jurusan Perbandingan Agama, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tahun 1982. Atas sponsor Departemen Agama dan Pemerintah Republik Turki, Mulai tahun 1985 mengambil program Ph.D. Bidang Filsafat Islam, Di Departement of Philisophy, Faculty of Art and Sciences, Middle East Technical University (METU), Ankara, Turki (1990).[4]
Disertsinya, The Idea of University of Ethical Norms in Ghazali and Kant,diterbitkan di Turki (Ankara: Turkiye Diyanet Vakfi, 1992). Karya-karya Ilmiah lainnya yang diterbitkan, Antara lain: Falsafak Kalam di Era Postmodernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995); Studi agama: Normativitas atau Historitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996). Dinamika Islam Kultural: Pemetaan atas wacana KeIslaman Kontemporer, (Bandung, Mizan, 2000): Antara al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, (Bandung. Mizan, 2002) serta Pendidikan Agama Era Mltikultural Multireligius.(Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005). Sedangkan karya terjemahan yang diterbitkan adalah agama dan Akal Pikiran: Naluri Rasa Takut dan Keadaan Jiwa Manusiawi (Jakarta: Rajawali, 1985);Pengantar Filasafat Islam: AbadPertengahan (Jakarta: Rajawali, 1989).
            Dia menjadi ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI), Turki, 1986-1987 sambil memanfaatkan masa liburan musim panas, pernah bekerja part-time, pada Konsulat Jendral Republik Indonesia, Skretariat Badan Urusan Haji, di Jeddah (1985 dan 1990), Mekkah (1988), dan Madinah (1989), Arab Saudi. Kini, sebagai Dosen tetap Fakultas Ushuluddin, staf pengajar pada Program Doktor Pascasarjana IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga, IAIN Sunan Ampel Surabaya, Universitas Islam Indonesia, Program Magister pada UIN Sunan Kalijaga, Ilmu Filsafat, Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada dan Program Studi Sastra (Kajian Timur Tengah), Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tahun 1993-1996, menjabat asisten Direktur Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga; 1992-1995 menjabat Wakil Kepala lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Tahun 1998-2001 sebagai Pembantu Rektor I (BIdang Akademik) di Almamaternya, IAIN Sunan Kalijaga.Pada Januari 1999 mendapat kehormatan menjadi Guru Besar dalam Ilmu Filsafat.Dari tahun 2002-2005 sebagai Rektor IAIN/UIN Sunan Kalijaga.Dalam Organisasi kemasyarakatan, dia menjadi ketua Diivisi Ummat, ICMI, Orwil Daerah Istimewa Yogyakarta, 1991-1995.Setelah Muktamar Muhammadiyah ke-83 di Banda Aceh 1995, diberi amanat sebagai Ketua Majelis Tarjih dan Pengembanagn Pemikiran Islam, Pimpinan Pusat Muhammadiyah (1995-2000).Kemudian terpilih sebagai salah satuPimpinan Pusat Muhammadiyah, Wakil Ketua (2000-2005).[5]
            M. Amin Abdullah (selanjutnya disebut Amin Abdullah) adalah pemikir proflik dalam gelanggang cendikiawan Muslim Indonesia. Amin Abdullah tidak hanya mampu mensintesiskan di antara sekian banyak argument yang bertentangan, tetapi juga lebih dari itu ia mampu melahirkan sebuah konsep cerdas dan akomodatif, sehingga dapat menjadi sebuah jawaban atas permasalahan yang dimunculkan.

B.       Pemikiran Amin Abdullah Terhadap Integratif-Interkonektif
a.         Gagasan Integrasi keilmuan dalam pemikiran Amin Abdullah
Studi Islam integrasi-interkoneksi adalah kajian tentang ilmu-ilmu keislaman, baik objek bahasan maupun orientasi metodologinya dan mengkaji salah satu bidang keilmuan dengan memanfaatkan bidang keilmuan lainnya serta melihat kesaling-terkaitan antar berbagai disiplin ilmu tersebut.[6]
Hingga kini, masih kuat anggapan dalam masyarakat luas yang menyatakan bahwa “Agama” dan “Ilmu” adalah dua entitas yang tidak bisa dipertemukan.[7]Keduanya mempunyai wilayah sendiri-sendiri, terpisah antara satu dan lainnya, baik dari segi objek formal-material, metode penelitian, kriteria kebenaran, peran yang dimainkan, oleh ilmuan maupun status teori masing-masing, bahkan sampai ke institusi penyelenggaraannya. Dengan lain ungkapan, ilmu tidak mempedulikan agama dan agama tidak mempedulikan ilmu. Begitulah sebuah gambaran praktik kependidikan dan aktivitas keilmuan di tanah air sekarang ini dengan berbagai dampak negative yang ditimbulkan dan dirasakan oleh masyarakat luas.Oleh karenanya, anggapan yang tidak tepat tersebut perlu dikoreksi dan diluruskan.
Apa yang terjadi selama ini adalah dikotomi yang cukup tajam antara keilmuan sekuler dan keilmuan agama (ilmu keislaman). Keduanya seolah mempunyai wilayah yang terpisah antara satu dengan yang lain. Hal ini juga berimplikasi pada model pendidikan di Indonesia yang memisahkan antara kedua jenis keilmuan ini.Ilmu-ilmu sekuler dikembangkan di perguruan tinggi umum sementara ilmu-ilmu agama dikembangkan di perguruan tinggi agama.Perkembangan ilmu-ilmu sekuler yang dikembangkan oleh perguruan tinggi umum berjalan seolah tercabut dari nilai-nilai moral dan etis kehidupan manusia, sementara itu perkembangan ilmu agama yang dikembangkan oleh perguruan tinggi agama hanya menekankan pada teks-teks Islam normative, sehingga dirasa kurang menjawab tantangan zaman. Jarak yang cukup jauh ini kemudian menjadikan kedua bidang keilmuan ini mengalami proses pertumbuhan yang tidak sehat serta membawa dampak negative bagi pertumbuhan dan perkembangan kehidupan social, budaya, ekonomi, politik dan keagamaan di Indonesia.[8]
Selain dikotomi yang tajam antara kedua jenis keilmuan ini, tantangan berat yang harus dihadapi oleh masyarakat saat ini adalah perkembangan zaman yang demikian pesat.Era globalisasi yang seolah datang dengan perubahan yang cukup fundamental, dimana sekat-individu dan bangsa seolah-olah sudah tidak ada lagi sehingga memunculkan kompleksitas persoalan.
Jika di telusuri lebih jauh,gagasan tentang integrasi antara ilmu agama dengan ilmu umum ini sebenarnya tidak lepas dari rangkaian panjang pergulatan aktualisasi diri umat Islam terhadapproses modernisasi dunia yang tengah berlangsung dalam skala global. Islam dan tantangan miodernitas merupakan tema paling menonjol dalam agenda pembaharuan pemikiran Islam yang di dengungkan oleh para mujaddid Islam sepanjang sejarah.
Akibat pemahaman terbelah ini, karakter pendidikan Islam yang semula tidak memisahkan antara kebutuhan terhadap agama dengan ilmu, iman dengan amal, serta dunia dengan akhirat lalu kemudian mengalami kemujudan yang berdampak pada penjajahandunia Islam atas supremasi barat.

b.        Horizon Jaring Laba-laba Keilmuan Teoatroposentrik-integralistik dalam Universitas Islam Negeri
            Agama dalam arti luas merupakan wahyu Tuhan, diri-sendiri, dan lingkungan hidup baik fisik, sosial maupun budaya secara global.Seperangkat aturan-aturan, nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar inilah yang sebenarnya disebut “syariat”.Kitab suci Al-Qur’an merupakan petunjuk etika, moral, akhlak, kebijaksanaan dan dapat menjadi teologi ilmu serta grand theory ilmu.Wahyu tidak pernah mengklaim sebagai ilmu qua ilmu seperti yang seringkali diklaim oleh ilmu-ilmu sekuler.[9]
            Agama memang mengklaim sebagai sumber kebenaran, etika, hukum, kebijaksanaan, dan sedikit pengetahuan.Agama tidak pernah menjadikan wahyu Tuhan sebagai satu-satunya sumber pengetahuan.Menurut pandangan ini, sumber sumber pengetahuan dibagi menjadi dua macam, yaitu pengetahuan yang berasal dari Tuhan (kholik) dan pengetahuan yang berasal dari manusia (makhluk).Perpaduan antara keduanya disebut teoantro-posentris.
            Agama menyediakan tolak ukur kebenaran ilmu (dharuriyyah; benar, salah) bagaimana ilmu diproduksi (hajiyyah; baik, buruk), tujuan-tujuan ilmu (tahsiniyyah; manfaat, merugikan).Dimensi aksiologi dalam teologi ilmu ini penting untuk digaris bawahi, sebelum manusia keluar mengembangkan ilmu. Selain ontlogi (ehatness) keilmuan, epistimologi keilmuan (howness), agama sangat menekankan dimensi aksiologi keilmuan(whyness).
            Paradigma keilmuan baru yang menyatukan, bukan sekedar menggabungkan wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia (ilmu-ilmu holistik-integratilistik), itu tidak akan berakibat mengecilkan peran Tuhan (sekularisme) atau mengucilkan manusia sehingga teraleniasi dari dirinya sendiri, dari masyarakat sekitar, dan lingkungan hidup sekitarnya. Diharapkan konsep integralisme dan reintegrasi epistemology keilmuan sekaligus akan dapat menyelesaikan konflik antar sekularisme ekstrim dan fundamentalisme negative agama-agama yang rigid dan radikal dalam banyak hal.
            Integrasi yang dimaksud di sini adalah berkaitan dengan usaha memadukan keilmuan umum dengan Islam tanpa harus menghilangkan keunikan–keunikan antara dua keilmuan tersebut.
Terdapat keritikan yang menarik berkaitan dengan integrasi antara ilmu agama dengan sains:
1.      Integrasi yang hanya cenderung mencocok-cocokkan ayat-ayat Alquran secara dangkal dengan temuan-temuan ilmiah. Disinilah pentingnya integrasi konstruktif dimana integrasi yang menghasilkan kontribusi baru yang tak diperoleh bila kedua ilmu tersebut terpisah. Atau bahkan integrasi diperlukan untuk menghindari dampak negatif yang mungkin muncul jika keduanya berjalan sendiri-sendiri. Tapi ada kelemahan dari integrasi, di mana adanya penaklukan, seperti teologi ditaklukkan oleh sains.[10]
2.      Berkaitan dengan pembagian keilmuan, yaitu qauniyah (Alam) dan qauliyah (Teologis). Kuntowijoyo mengatakan bahwa ilmu itu bukan hanya qauniyah dan qauliyah tetapi juga ilmu nafsiyah. Kalau ilmu qauniyah berkenaan dengan hukum alam, ilmu qauniyah berkenaan dengan hukum Tuhan dan ilmu nafsiyah berkenaan makna, nilai dan kesadaran. Ilmu nafsiyah inilah yang disebut sebagai humaniora (ilmu-ilmu kemanusiaan, hermeneutikal).[11]
Amin Abdullah memandang, integrasi keilmuan mengalami kesulitan, yaitu kesulitan memadukan studi Islam dan umum yang kadang tidak saling akur karena keduanya ingin saling mengalahkan.Oleh karena itu, diperlukan usaha interkoneksitas yang lebih arif dan bijaksana. Interkoneksitas yang dimaksud oleh Amin Abdullah adalah: “Usaha memahami kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia. Sehingga setiap bangunan keilmuan apapun, baik keilmuan agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman tidak dapat berdiri sendiri. Maka dibutuhkan kerjasama, saling tegur sapa, saling membutuhkan, saling koreksi dan saling keterhubungan antara disiplin keilmuan.[12]
            Pendekatan integratif-interkonektif merupakan pendekatan yang tidak saling melumatkan dan peleburan antara keilmuan umum dan agama. Pendekatan keilmuan umum dan Islam sebenarnya dapat dibagi menjadi tiga corak yaitu: paralel, linear dan sirkular.
·         Pendekatan Paralel, masing-masing corak keilmuan umum dan agama berjalan sendiri-sendiri tanpa ada hubungan dan persentuhan antara satu dengan yang lainnya.
·         Pendekatan Linear, salah satu dan keduanya akan menjadi primadona, sehingga ada kemungkinan berat sebelah.
·         Pendekatan Sirkular, masing-masing corak keilmuan dapat memahami keterbatasan, kekurangan dan kelemahan pada masing-masing keilmuan dan sekaligus bersedia mengambil manfaat dari temuan-temuan yang ditawarkan oleh tradisi keilmuan yang lain serta memiliki kemampuan untuk memperbaiki kekurangan yang melekat pada diri sendiri.[13]
            Beberapa contoh dibawah ini akan memberi gambaran mengenai ilmu yang bercorak integralistik bersama prototip diambil dari ilmuan integratif yang dihasilkannya. Contoh dapat praktik penyatuan antara wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia. Ada BMI (Bank Muamalat), Bank BNI Syariah, usaha-usaha agrobisnis, transportasi, kelautan, dan sebagainya. Agama menyediakan etika dalam perilaku ekonomi di antaranya adalah bagi hasil (al-mudharabah), dan kerjasama (al-musyarakah).Disini Islam mengalami objektivitas dimana etika agama menjadi ilmu bermanfaat bagi seluruh manusia, baik muslim maupun non-muslim, atau bahkan anti-agama. Dari orang beriman (muslim) untuk seluruh manusia (rahmatan li al-‘alamin). Kedepan, pola kerja keilmuan yang integralistik dan moralistik keagamaan yang humanistik ini dituntut dapat memasuki wilayah-wilayah yang lebih luas seperti psikologi, sosiologi, antropologi, social work,lingkungan, kesehatan, teknologi, ekonomi, politik, hubungan internasional, hukum dan peradilandan begitu seterusnya.[14]
            Perbedaan pendekatan integrasi-interkoneksi dengan Islamisasi ilmu adalah dalam hal hubungan antara keilmuan umum dengan keilmuan agama.Kalau menggunakan pendekatan islamisasi ilmu, maka terjadi pemilahan, peleburan dan pelumatan antara ilmu umum dengan ilmu agama. Sedangkan pendekatan integrasi interkoneksi lebih bersifat menghargai keilmuan umum yang sudah ada, karena keilmuan umum juga telah memiliki basis epistemologi, ontologi dan aksiologi yang mapan, sambil mencari letak persamaan, baik metode pendekatan (approach) dan metode berpikir (procedure) antar keilmuan dan memasukkan nilai-nilai keilmuan Islam ke dalamnya, sehingga keilmuan umum dan agama dapat saling bekerja sama tanpa saling mengalahkan.
Dari uraian di atas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa dalam mengintegrasikan ilmu-ilmu keislaman ke dalam ilmu-ilmu umum sebaiknya mengacu kepada perspektif ontologis, epistemologis dan aksiologis.
Ø  Dari perspektif ontologis, bahwa ilmu itu pada hakekatnya, adalah merupakan pemahaman yang timbul dari hasil studi yang mendalam, sistematis, obyektif dan menyeluruh tentang ayat-ayat Allah swt. baik berupa ayat-ayat qauliyyah yang terhimpun di dalam Alquran maupun ayat-ayat kauniyah yang terhampar dijagat alam raya ini. Karena keterbatasan kemampuan manusia untuk mengkaji ayat-ayat tersebut, maka hasil kajian / pemikiran manusia tersebut harus dipahami atau diterima sebagai pengetahuan yang relatif kebenarannya, dan pengetahuan yang memiliki kebenaran mutlak hanya dimiliki oleh Allah swt.
Ø  Dari perspektif Epistemologi, adalah bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi diperoleh melalui usaha yang sungguh-sungguh dengan menggunakan instrumen penglihatan, pendengaran dan hati yang diciptakan Allah swt. terhadap hukum-hukum alam dan sosial (sunnatullah). Karena itu tidak menafikan Tuhan sebagai sumber dari segala realitas termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ø  Dari perspektif aksiologi, bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi harus diarahkan kepada pemberian manfaat dan pemenuhan kebutuhan hidup umat manusia. Bukan sebaliknya, ilmu pengetahuan dan teknologi digunakan untuk menghancurkan kehidupan manusia. Perlu disadari bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi adalah bagian dari ayat-ayat Allah dan merupakan amanat bagi pemiliknya yang nantinya akan dimintai pertanggung jawaban di sisi-Nya.

Horizon
Jaring Laba-laba Keilmuan
Teoatroposentrik-integralistik
dalam Universitas Islam Negeri

Gambar diatas ini mengilustrasikan hubungan jaringan laba-laba yang bercorak teoantroposentris-integralistik.[15]Disini terdapat bahwa jarak pandang, atau horizon keilmuan integralistik begitu luas (tidak myopic) sekaligus terampil dalam perkehidupan sektor tradisional maupun modern karena dikuasainya salah satu ilmu dasar dan keterampilan yang dapat menopang kehidupan di era informasi-globali-sasi.Disamping itu, tergambar sosok manusia beragama (Islam)yang terampil dalam menangani dan menganalisis isu-isu yang menyentuh problem kemanusiaan dan keagamaan di era modern dan pasca modern dengan dikuasainya berbagai pendekatan baru yang diberikan oleh ilmu-ilmu alam (natural science), ilmu-ilmu social (social science) dan humaniora (humanities) kontemporer. Di atas segalanya, dalam setiap langkah yang ditempuh, selalu dibarengi landasan etika-moral keagamaan objektif dan kokoh, karena keberadaan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang dimaknai secara baru (hermenetutis) selalu menjadi landasan pijak pandangan hidup (weltanschauung) keagamaan manusia yang menyatu dalam satu tarikan nafas keilmuan dan keagamaan. Semua itu diabdikan untuk kesejahteraan manusia secara bersama-sama tanpa pandang latar belakang etnisitas, agama, ras maupun golongan.
Sebagai contohnya,dalam konsep integrasi-interkoneksi yang di kembangkan oleh UIN, secara detail di ungkap bahwa dalam kasus UIN yang nota-bene merupakan lembaga pendidikan Islam variabel multi-dimensi keilmuannya tidak hanya beurusan dengan realitas hidup dan realitas manusia sebagaimana dalam ilmu-ilmu “umum”, namun juga menyangkut realitas teks sebagaimana khas ilmu-ilmu agama atau lebih tepatnya “ilmu-ilmu keIslaman”.
Paradigma integratif-interkonektif yang ditawarkan oleh Amin Abdullah ini merupakan jawaban dari berbagai persoalan diatas. Integrasi dan interkoneksi antar-disiplin ilmu, baik dari keilmuan sekuler maupun keilmuan agama, akan menjadikan keduanya saling terkait satu sama lain, “bertegur sapa”, saling mengisi kekurangan dan kelebihan satu sama lain. Dengan demikian, ilmu agama (ilmu keIslaman) tidak lagi berkutat pada teks-teks klasik, tetapi juga menyentuh pada ilmu-ilmu sosial kontemporer.
Dengan paradigma ini, maka wilayah pokok dalam ilmu pengetahuan, yakni natural sciences, social sciences, dan humanities tidak lagi berdiri sendiri akan tetapi akan terkait satu dengan yang lainnya.[16] Ketiganya juga akan menjadi semakin mencair meski tidak akan menyatukan ketiganya, tetapi paling tdak, tidak akan ada lagi superioritas dan inferioritas dalam keilmuan, tidak ada lagi klaim kebenaran ilmu pengetauan sehingga dengan paradigma ini para ilmuan yang menekuni ilmu juga akan mempunyai sikap dan cara berpikir yang berbeda dari sebelumnya.
Dengan menimbang variabel-variabel ini, maka ideal integrasi-interkoneksi yang di gagas oleh UIN mensyaratkan dialektika antara variabel-variabel tersebut dalam praksis integrasi-interkoneksi.Brand yang diusung oleh UIN untuk menyebut dialektika ini adalah Hadarat al-Nash, Hadarat al-‘ilm dan Hadarat al-falsafah.
Maka kesimpulannya adalah Hadarat al-Nash adalah jaminan identitas keislaman, Hadarat al-‘ilm adalah jaminan profesionalitas-ilmiah, dan Hadarat al-falsafah adalah jaminan bahwa muatan keilmuan yang di kembangkan bukan “menara gading”yang berhenti di “langit akademik”, tetapi memberi kontribusi positif-emansipatif yang nyata dalam kehidupan masyarakat.Hadarah al-‘ilm (peradaban ilmu), yaitu ilmu-ilmu empiris seperti sains, teknologi, dan ilmu-ilmu yang terkait dengan realitas tidak lagi berdiri sendiri tetapi juga bersentuhan dengan hadarat falsafah (peradaban filasafat) sehingga tetap memperhatikan etika emansipatoris. Begitu juga sbaliknya, hadarat falsafah akan terasa kering dan gersang jika tidak terkait dengan isu-isu keagaam yang termuat dalam budaya teks dan lebih-lebih jika menjauh dari problem-problem yang ditimbulkan dan dihadapi oleh hadarat ‘ilm.[17] Dari hadarat tersebut melahirkan pola single entity, isolated entities, dan interconeted.
Hal ini yang menjadi tolak ukur signifikan dalam penerapan integrasi-interkoneksi dalam keilmuan UIN Sunan Kalijaga. Tiga demensi pengembangan keilmuan ini bertujuan untuk mempertemukan kembali ilmu-ilmu modern dengan ilmu-ilmu keIslaman. Dalam Dirasat Islamiyah atau Islamic Studies sebagai kluster keilmuan baru yang berbasis pada paradigma keilmuan sosial kritis-komparatif lantaran melibatkan seluruh “pengalaman” (experiences) umat manusia di alam historis-empiris yang amat sangat beranekaragaman.

c.       Hujjah Studi Islamdi Integrasi-Interkoneksikan
Dalam diskursus ilmu pengetahuan modern, bidang-bidang terpisah secara tegas dan jelas.Biologi, Fisika, Psikologi, Geografi dan lain sebagainya, merupakan contoh bidang-bidang yang di maksud.Setiap bidang mewakili dimensi kehidupan tertentu dan para ilmuan dari masing-masing bidang ‘hanya’ fokus pada bidang yang di gelutinya. Dengan kata lain, para ilmuan ini mereduksi realitas hanya sebatas bidang yang menjadi lahannya. Hal ini sebenarnya bukan permasalahan besar, karena kenyataannya realitas hidup memang multi-dimensi dan multi-aspek. Kiranya mustahil bagi seseorang untuk mampu menguasai seluruh bidang keilmuan tersebut secara sama mendalam.
Meskipun sebenarnya kenyataan spesialisasi dan reduksi ini dapat di katakan sifatnya niscaya karna keterbatasan manusiawi, namun dampak negatif dari kenyataan ini ternyata tidak terlalu menyenangkan. Dikotomi ilmu agama-ilmu umum, hegemoni bidang ilmu tertentu terhadap bidang lainnya, superior-inferior feeling dari masing-masing bidang ilmu, hirarki ilmu utama-ilmu komplementer, adalah akibat-akibat laten yang harus di tanggung dari kenyataan spesialisasi di atas. Lebih jauh ternyata dampak ini kemudian merambah ke dunia sosial, dunia pendidikan, dunia politik, dan lain lain, sehingga tidak jarang muncul konflik di ranah sosial maupun politik akibat adanya ekslusifisme dari masing-masing bidang ilmu.
Pada akhirnya secara psikologis banyak orang yang mengalami kegelisahan luar biasa karena antara dunia yang dia alami, yang multi-dimensi, dengan keilmuan yang dia hayati, yang hanya satu dimensi dan yang satu-satunya dia pahami, ternyata tidak sejalan.Orang yang menghayati ilmu fiqih saja pasti gelisah ketika berhadapan dengan kenyataan sosial yang berbeda dengan isi ilmunya.Orang yang menghayati ilmu ekonomi saja pasti gelisah karena berhadapan dengan “logika zakat dan sedekah” ala fiqih. Orang yang menghayati ilmu geografi saja pasti gelisah ketika berhadapan dengan adanya ruang baru yang di sebut dengan “dunia virtual” atau “dunia maya”.
Paradigma integrasi-interkoneksi hakekatnya ingin menunjukkan bahwa antara berbagai bidang keilmuan tersebut sebenarnya saling memiliki keterkaitan, karena memang yang di bidik oleh seluruh disiplin keilmuan tersebut adalah realitas alam semesta yang sama, hanya saja dimensi dan fokus perhatian yang di lihat oleh masing-masing disiplin berbeda. Oleh karena itu, rasa superior, ekslusifitas, pemilihan secara dikotomis merhadap bidang-bidang keilmuan yang di maksud hanya akan merugikan diri sendiri, baik secara psikologis maupun secara ilmiah-akademis. Betapapun setiap orang ingin memiliki pemahaman yang lebih utuh dan komprehensif, bukannya pemahaman yang parsial dan reduktif.Maka dengan menimbang asumsi ini seorang ilmuan perlu memilikivisi integrasi-interkoneksi.

C.     Model Integrasi-Interkoneksi
Model-model integrasi-interkoneksi Amin Abdullah,[18] yaitu:
1.            Informatif , Suatu disiplin ilmu memberikan informasi kepada disiplin ilmu yang lain. Misalnya: Ilmu Islam (Al-qur’an) memberikan informasi kepada ilmu saintek bahwa matahari memancarkan cahaya sedangkan bulan memantulkan cahaya (Q.S. Yunus: 5)
Artinya:
“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.”

2.            Konfirmatif (klarifikatif), Suatu disiplin ilmu memberikan penegasan kepada disiplin ilmu lain. Contoh: Informasi tentang tempat-tempat (manaazil) matahari dan bumi dalam Q.S. Yunus: 5, dipertegas oleh ilmu saintek (orbit bulan mengelilingi matahari berbentuk elips).

3.            Korektif, Suatu disiplin ilmu mengoreksi disiplin ilmu yang lain. Contoh: Teori Darwin yang mengatakan bahwa manusia-kera-tupai mempunyai satu induk, dikoreksi oleh Al-qur’an.

Sedangkan alternatif model Integrasi-Interkoneksi,[19]adalah berikut ini:
1.      Paralelisasi: menyamakan konotasi dari ilmu-ilmu yang berbeda
2.      Similarisasi: menyamakan teori-teori dari ilmu-ilmu
3.      Komplementasi: Saling mengisi dan saling memperkuat
4.      Komparasi: membandingkan konsep teori diantara ilmu-ilmu.
5.      Induktifikasi: mendukung teori ilmu dengan instrumen dari ilmu lain.
6.      Verifikasi: menunjang dengan penelitian ilmiah ilmu satu dengan ilmu yang lain. 
Skema tiga lingkaran terkait ini merupakan proyek keilmuan yang didengungkan oleh visi dan misi perubahan IAIN ke UIN.Perubahan IAIN menjadi universitas Islam merupakan langkah positif dalam rangka pengembangan jangkauan wilayah studi keIslaman.Hal ini berarti jangkauan ilmu-ilmu Islam menjadi semakin luas. Skema di atas menunjukkan bahwa masing-masing bangunan sektor keilmuan menyadari akan kekurangan-kekurangan yang melekat dalam diri sendiri dan oleh karenanya bersedia untuk berdialog, bekerjasama dan memanfaatkan metode dan pendekatan yang digunakan oleh gugusan ilmu lain untuk melengkapi kekurangan-kekurangan yang melekat jika masing-masing berdiri sendiri-sendiri, terpisah antara satu dan lainnya. Diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dari berbagai pihak, dari waktu ke waktu dengan kesediaan mengorbankan kepentingan egoisme sektoral keilmuan sehingga yang terlihat adalah mengedepankan kebersamaan dalam ilmu pengetahuan.[20]
Bangunan keilmuan yang selalu terkait selaras dan sejajar tersebut menjadi icon percontohan aplikasi keilmuannya yakni di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang saat itu dipimpin oleh tokoh pencetus ide interkonesi dan integrasi. Jika dibandingkan dengan bangunan keilmuan yang berkembang di UIN Jakarta melalui figur sentral Harun Nasution, kajian Islam di IAIN masih terbatas hanya pada pengajaran agama yang fiqh oriented. Disamping itu pengajaran agama baik filsafat, tasawuf maupun sejarah terbatas pada pemikiran tokoh-tokoh tertentu saja.Pemahaman Islam yang demikian itu parsial dan hanya melihat Islam secara sempit saja. Oleh karena itu ia mengusulkan untuk membuat suatu pedoman inti yang melihat Islam secara komprehensif. Gagasan tersebut untuk pengenalan Islam secara komprehensif, dengan melihat Islam dari berbagai aspeknya diintegrasikan ke dalam kurikulum nasional untuk pengajaran Islam.Pemikiran Harun saat itu dianggap tidak lazim dan pada awal mulanya menjadi kontroversi.Bagi sebagian kalangan utamanya mereka yang terdidik dalam pola fikir tradisional, pandangan-pandangan Harun Nasution dianggap tidak bersesuaian dengan pola pemikirn tradisional dan ini terjadi karena dipengaruhi oleh konsep-konsep Barat.[21]
Sebenarnya, ilmu merupakan media dalam kehidupan untuk membimbing manusia menuju ke jalan tugas utamanya, oleh karena itu haruslah secara keseluruhan dipelajari dan diajarkan dalam rangka menggapai kesuksesannya. Segala keilmuan menurut paradigma ini harus terintegrasi dalam proses tugas kemanusiaan dalam hidup sebagai khalifah maupun sebagai hamba Allah yang mencakup pengenalan area keilmuan, penekanan terhadap pemahaman potensi-potensi manusia yang dimiliki dan aplikasi dinamisnya, konsentrasi dalam perencanaan serta evaluasi hasil, adanya makna dalam aktivitasnya serta adanya pengaturan hubungan positif dengan semua pihak yang memiliki keterkaitan dengan pelaksaan tugas tersebut. Pada akhirnya, paradigma interkonektif-integratif dalam idealitas dan realitasnya diharapkan mampu membentuk pola pikir komunikatif-efektif yang dapat mencairkan pola pikir dikotomis dan memberikan suasana yang penuh damai antar disiplin keilmuan.

Analisis

Paradigma Integrasi-Interkoneksi ala Amin Abdullah adalah salah satu opsi pemikiran agar ragam kajian keislaman dapat berkembang lebih komprehensif. Paradigma ini memandang bahwa antara ilmu-ilmu qowliyah/hadarat an-nass dengan ilmu-ilmu kawniyah/ hadarat al;’ilm, maupun dengan hadarat al-falsafah berintegrasi dan berinterkoneksi satu sama lain.Hal ini berimplikasi pada model pendidikan di Indonesia yang memisahkan antara ilmu agama (ilmu keislaman) dan juga ilmu sekuler.
Pendekatan Integratif-Interkonektif merupakan usaha untuk menjadikan sebuah keterhubungan antara keilmuan agama dan keilmuan umum. Muara dari pendekatan integratif-interkonektif menjadikan keilmuan mengalami proses obyektivikasi dimana keilmuan tersebut dirasakan oleh orang non Islam sebagai sesuatu yang natural (sewajarnya), tidak sebagai perbuatan keagamaan.  Sekalipun demikian, dari sisi yang mempunyai perbuatan, bisa tetap menganggapnya sebagai perbuatan keagamaan, termasuk amal, sehingga Islam dapat menjadi rahmat bagi semua orang.
Dengan demikian Amin Abdullah membuat konsep Integrasi-interkoneksi yang dilambangkan dengan horizon jaring laba-laba, hal ini menunjukkan bahwa antara berbagai bidang keilmuan tersebut sebenarnya memiliki keterkaitan, karena memang yang di bidik oleh seluruh disiplin keilmuan tersebut adalah realitas alam semesta yang sama, hanya saja dimensi dan fokus perhatian yang dilihat oleh masing-masing disiplin yang berbeda.
Kemudian skema tiga lingkaran (hadarat an-nass, ‘ilm, dan falsafah) merupakan proyek keilmuan visi dan misi perubahan IAIN ke UIN. Sehingga harapan kedepan mahasiswa-mahasiswi UIN dapat mengembangkan jangkauan keilmuannya (multi-science). Karena semua dimensi-dimensi keilmuan itu saling berkaitan satu dengan lainnya.

Simpulan
Paradigma baru yang dibangun oleh Amin Abdullah dengan integratif-interkonektif ini memang sangat relevan dengan kebutuhan zaman saat ini. Koneksitas ini diharapkan mampu menjawab kebuntuan dalam keilmuan islam dan lebih jauh lagi dapat menjawab kompleksitas problem kemanusiaan di era globalisasi. Namun paradigma ini tidak mudah untuk diaplikasikan, hal ini bisa dilihat ketika paradigma ini coba diterapkan dalam pengembangan perguruan tinggi agama yang mengejawantah dengan perubahan IAIN menjadi UIN ternyata banyak menimbulkan kerancuan terutama bagi program-program studi yang muncul kemudian, dan hal ini menurut harus segera dicarikan solusi, sehingga tujuan ideal dari integrasi dan interkoneksi ini dapat terwujud.
Paradigma baru yang dibangun oleh Amin Abdullah dengan integratif-interkonektif ini memang sangat relevan dengan kebutuhan zaman saat ini.Koneksitas ini diharapkan mampu menjawab kebuntuan dalam keilmuan Islam dan lebih jauh lagi dapat menjawab kompleksitas problem kemanusiaan di era globalisasi. Namun paradigma ini tidak mudah untuk diaplikasikan, hal ini bisa dilihat ketika paradigma ini coba diterapkan dalam pengembangan perguruan tinggi agama yang mengejawantah dengan perubahanIAIN menjadi UIN ternyata banyak menimbulkan kerancuan terutama bagi program-program studi yang muncul kemudian, dan hal ini menurut harus segera dicarikan solusi, sehingga tujuan ideal dari integrasi dan interkoneksi ini dapat terwujud.
Perubahan IAIN ke UIN mengisyaratkan akan adanya keilmuan yang mmpertimbangkan dari aspek lain dan tidak hanya memandang teks saja yang tidak berhubungan dua wajah keilmuan lain. Dalam konteks ini, paradigma keilmuan UIN memandang bahwa antara ilmu-ilmu qauliyyah/hadarat an-nass dengan ilmu-ilmu kauniyyah/hadarat al-‘ilm, maupun dengan hadarat al-falsafah berintegrasi dan berinterkoneksi satu sama lain.

 
DAFTAR RUJUKAN

Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi (Pendekatan Integratif-Interkonektif), (Yogyakarta; Pustaka Pelajar), 2010.

Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta; Pustaka Pelajar), 1996.

Amin Abdullah dkk, Integrasi Sains-Islam Mempertemukan Epistimologi Islam dan Sains, (Yogyakarta; Pilar Religia), 2004.

Armai Arief, Reformasi Pendidikan Islam, Jakarta: CRSD Press, 2005.

Nurman Said, Wahyuddin Halim, Muhammad Sabri, Sinergi Agama dan Sains, Makassar: Alauddin Press, 2005.

Zainal Abidin Bagir, Integrasi Ilmu dan Agama, Interprestasi dan Aksi, bandung: Mizan, 2005.

Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Jakarta: Teraju, 2005.

Fuad Jabali dan Jamhari, IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu), 2002.

Diunduh dari http://Islamandsains.wordpress.com pada tanggal 22 September 2014.



[1] Armai Arief, Reformasi Pendidikan Islam, (Jakarta: CRSD Press, 2005), hal.124.
[2] Nurman Said, Wahyuddin Halim, Muhammad Sabri, Sinergi Agama dan Sains, (Makassar: Alauddin Press, 2005), hal. 36.
[3] Amin Abdullah, Islamic Stadies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi, (Yogyakarta:Suka Press, 2007), hal. 33
[4] Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 1996), hal. 346
[5] Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi,...,hal. 433
[6]Amin Abdullah dkk, Integrasi Sains-Islam Mempertemukan Epistimologi Islam dan Sains,(Yogyakarta; Pilar Religia, 2004), hal. 11
[7] Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi,…, hal. 92
[8]Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi,…, hal. 92-94
[9] Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi ,..., hal. 101
[10] Zainal Abidin Bagir, Integrasi Ilmu dan Agama, Interprestasi dan Aksi, (Bandung: Mizan, 2005), hal. 50-51
[11] Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, (Jakarta: Teraju, 2005), hal. 51
[12] Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi,..., hal. 7-8
[13]Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi ,..., hal. 219-223
[14]Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi ,..., hal. 105
[15] Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi , ..., hal. 107
[16] Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi,...,hal. 370
[17] Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi, …,hal. 402-203
[18]Diunduh dari http://Islamandsains.wordpress.com pada tanggal 22 September 2014
[19]Diunduh dari http://Islamandsains.wordpress.com pada tanggal 22 September 2014
[20]Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi…, hal. 405
[21]Fuad Jabali dan Jamhari, IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002), hal. 42-43

Tidak ada komentar:

Posting Komentar