GAGASAN INTEGRASI KEILMUAN MENURUT AMIN ABDULLAH
A.
Pendahuluan
Pemikiran tentang Integrasi atau
Islamisasi ilmu pengetahuan dewasa ini yang dilakukan oleh kalangan intelektual
muslim, tidak lepas dari kesadaran beragama. Secara totalitas ditengah ramainya
dunia global yang sarat dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan
sebuah konsep bahwa ummat Islam akan maju dapat menyusul menyamai orang-orang
barat apabila mampu menstransformasikan dan menyerap secara aktual terhadap ilmu
pengetahuan dalam rangka memahami wahyu, atau mampu memahami wahyu dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan.[1]
Disamping itu terdapat asumsi bahwa ilmu
pengetahuan yang berasal dari negara-negara barat dianggap sebagai pengetahuan
yang sekuler oleh karenanya ilmu tersebut harus ditolak, atau minimal ilmu
pengetahuan tersebut harus dimaknai dan diterjemahkan dengan pemahaman secara
islami. Ilmu pengetahuan yang sesungguhnya merupakan hasil dari pembacaan
manusia terhadap ayat-ayat Allah swt, kehilangan dimensi spiritualitasnya, maka
berkembangkanlah ilmu atau sains yang tidak punya kaitan sama sekali dengan
agama. Tidaklah mengherankan jika kemudian ilmu dan teknologi yang seharusnya
memberi manfaat yang sebanyak-banyaknya bagi kehidupan manusia ternyata berubah
menjadi alat yang digunakan untuk kepentingan sesaat yang justru menjadi
“penyebab” terjadinya malapetaka yang merugikan manusia.[2]
Untuk mencapai sasaran tersebut maka perlu
dilakukan suatu upaya mengintegrasikan ilmu-ilmu umum dengan ilmu-ilmu
keislaman, sehingga ilmu-ilmu umum tersebut tidak bebas nilai atau sekuler. Pendekatan interdisciplinary dan inter koneksitas antara disiplin
ilmu agama dan umum perlu dibangun dan dikembangkan terus-menerus tanpa kenal
henti.
Bukan masanya sekarang disiplin ilmu–ilmu agama (Islam) menyendiri dan
steril dari kontak dan intervensi ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu kealaman dan
begitu pula sebaliknya.[3] Perlu
ada integrasi–interkoneksi antara elemen-elemen pengetahuan tersebut. M. Amin
Abdullah seorang cendekia muslim menjadi tokoh yang berjasa dalam pengembangan gagasan
integrasi–interkoneksi ini, sehingga berimplikasi dalam banyak hal, perubahan
konsep IAIN menjadi UIN diantaranya.
Hasil gagasan pemikiran M. Amin Abdullah memberikan sumbangsi dan
mewarnai keilmuan khususnya didunia akademisi.Beliau menemukan konsep keilmuan
horizon jaring laba-laba teoantroposentrik-integralistik yang menggabungkan
antara disiplin ilmu keagamaan dengan disiplin ilmu lainnya yang saling
keterkaitan.Dan konsep ini sangat relevan dengan keadaan zaman pada saat ini.
Dalam
makalah ini, penyusun akan membahas mengenai konsep pemikiran Amin Abdullah tentang
pendidikan integrasi-interkoneksi pada dunia pendidikan.
Banyak sekali kekurangan dalam makalah ini, oleh
karenanya penyusun makalah sangat mengharapkan kepada seluruh pembaca dalam
memberikan kritikan dan saran yang membangun guna menyempurnakan makalah ini.
A.
Biografi Amin
Abdullah
Prof.
DR. M. Amin Abdullah, lahir di Margomulyo, Tayu, Pati, Jawa Tengah, 28 Juli
1953. Menamatkan Kulliyat Al-Mu’allimin Al-Islamiyyah (KMI), Pesantren Gontor
Ponorogo 1972 dan program Sarjana Muda (Bakaleurat) pada Institut Pendidikan
Darussalam (IPD) 1977 di Pesantren yang sama. Menyelesaikan program Sarjana
pada Fakultas Ushuluddin, Jurusan Perbandingan Agama, IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, tahun 1982. Atas sponsor Departemen Agama dan Pemerintah Republik
Turki, Mulai tahun 1985 mengambil program Ph.D. Bidang Filsafat Islam, Di
Departement of Philisophy, Faculty of Art and Sciences, Middle East Technical
University (METU), Ankara, Turki (1990).[4]
Disertsinya,
The Idea of University of Ethical Norms in Ghazali and Kant,diterbitkan
di Turki (Ankara: Turkiye Diyanet Vakfi, 1992). Karya-karya Ilmiah lainnya yang
diterbitkan, Antara lain: Falsafak Kalam di Era Postmodernisme
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995); Studi agama: Normativitas atau
Historitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996). Dinamika Islam Kultural:
Pemetaan atas wacana KeIslaman Kontemporer, (Bandung, Mizan, 2000): Antara
al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, (Bandung. Mizan, 2002) serta
Pendidikan Agama Era Mltikultural Multireligius.(Jakarta: PSAP
Muhammadiyah, 2005). Sedangkan karya terjemahan yang diterbitkan adalah agama
dan Akal Pikiran: Naluri Rasa Takut dan Keadaan Jiwa Manusiawi (Jakarta:
Rajawali, 1985);Pengantar Filasafat Islam: AbadPertengahan (Jakarta:
Rajawali, 1989).
Dia menjadi ketua Perhimpunan
Pelajar Indonesia (PPI), Turki, 1986-1987 sambil memanfaatkan masa liburan musim
panas, pernah bekerja part-time, pada Konsulat Jendral Republik
Indonesia, Skretariat Badan Urusan Haji, di Jeddah (1985 dan 1990), Mekkah
(1988), dan Madinah (1989), Arab Saudi. Kini, sebagai Dosen tetap Fakultas
Ushuluddin, staf pengajar pada Program Doktor Pascasarjana IAIN (sekarang UIN)
Sunan Kalijaga, IAIN Sunan Ampel Surabaya, Universitas Islam Indonesia, Program
Magister pada UIN Sunan Kalijaga, Ilmu Filsafat, Fakultas Filsafat Universitas
Gajah Mada dan Program Studi Sastra (Kajian Timur Tengah), Fakultas Sastra,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tahun 1993-1996, menjabat asisten Direktur
Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga; 1992-1995 menjabat Wakil Kepala
lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI) Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta. Tahun 1998-2001 sebagai Pembantu Rektor I (BIdang Akademik) di
Almamaternya, IAIN Sunan Kalijaga.Pada Januari 1999 mendapat kehormatan menjadi
Guru Besar dalam Ilmu Filsafat.Dari tahun 2002-2005 sebagai Rektor IAIN/UIN
Sunan Kalijaga.Dalam Organisasi kemasyarakatan, dia menjadi ketua Diivisi
Ummat, ICMI, Orwil Daerah Istimewa Yogyakarta, 1991-1995.Setelah Muktamar
Muhammadiyah ke-83 di Banda Aceh 1995, diberi amanat sebagai Ketua Majelis
Tarjih dan Pengembanagn Pemikiran Islam, Pimpinan Pusat Muhammadiyah
(1995-2000).Kemudian terpilih sebagai salah satuPimpinan Pusat Muhammadiyah,
Wakil Ketua (2000-2005).[5]
M. Amin Abdullah (selanjutnya
disebut Amin Abdullah) adalah pemikir proflik dalam gelanggang cendikiawan Muslim
Indonesia. Amin Abdullah tidak hanya mampu mensintesiskan di antara sekian
banyak argument yang bertentangan, tetapi juga lebih dari itu ia mampu
melahirkan sebuah konsep cerdas dan akomodatif, sehingga dapat menjadi sebuah
jawaban atas permasalahan yang dimunculkan.
B.
Pemikiran Amin
Abdullah Terhadap Integratif-Interkonektif
a.
Gagasan
Integrasi keilmuan dalam pemikiran Amin Abdullah
Studi Islam
integrasi-interkoneksi adalah kajian tentang ilmu-ilmu keislaman, baik objek
bahasan maupun orientasi metodologinya dan mengkaji salah satu bidang keilmuan
dengan memanfaatkan bidang keilmuan lainnya serta melihat kesaling-terkaitan
antar berbagai disiplin ilmu
tersebut.[6]
Hingga
kini, masih kuat anggapan dalam masyarakat luas yang menyatakan bahwa “Agama”
dan “Ilmu” adalah dua entitas yang tidak bisa dipertemukan.[7]Keduanya
mempunyai wilayah sendiri-sendiri, terpisah antara satu dan lainnya, baik dari
segi objek formal-material, metode penelitian, kriteria kebenaran, peran yang
dimainkan, oleh ilmuan maupun status teori masing-masing, bahkan sampai ke
institusi penyelenggaraannya. Dengan lain ungkapan, ilmu tidak mempedulikan
agama dan agama tidak mempedulikan ilmu. Begitulah sebuah gambaran praktik
kependidikan dan aktivitas keilmuan di tanah air sekarang ini dengan berbagai
dampak negative yang ditimbulkan dan dirasakan oleh masyarakat luas.Oleh
karenanya, anggapan yang tidak tepat tersebut perlu dikoreksi dan diluruskan.
Apa
yang terjadi selama ini adalah dikotomi yang cukup tajam antara keilmuan
sekuler dan keilmuan agama (ilmu keislaman). Keduanya seolah mempunyai wilayah
yang terpisah antara satu dengan yang lain. Hal ini juga berimplikasi pada
model pendidikan di Indonesia yang memisahkan antara kedua jenis keilmuan
ini.Ilmu-ilmu sekuler dikembangkan di perguruan tinggi umum sementara ilmu-ilmu
agama dikembangkan di perguruan tinggi agama.Perkembangan ilmu-ilmu sekuler
yang dikembangkan oleh perguruan tinggi umum berjalan seolah tercabut dari
nilai-nilai moral dan etis kehidupan manusia, sementara itu perkembangan ilmu
agama yang dikembangkan oleh perguruan tinggi agama hanya menekankan pada
teks-teks Islam normative, sehingga dirasa kurang menjawab tantangan zaman.
Jarak yang cukup jauh ini kemudian menjadikan kedua bidang keilmuan ini
mengalami proses pertumbuhan yang tidak sehat serta membawa dampak negative
bagi pertumbuhan dan perkembangan kehidupan social, budaya, ekonomi, politik
dan keagamaan di Indonesia.[8]
Selain
dikotomi yang tajam antara kedua jenis keilmuan ini, tantangan berat yang harus
dihadapi oleh masyarakat saat ini adalah perkembangan zaman yang demikian
pesat.Era globalisasi yang seolah datang dengan perubahan yang cukup
fundamental, dimana sekat-individu dan bangsa seolah-olah sudah tidak ada lagi
sehingga memunculkan kompleksitas persoalan.
Jika di
telusuri lebih jauh,gagasan tentang integrasi antara ilmu agama dengan ilmu
umum ini sebenarnya tidak lepas dari rangkaian panjang pergulatan aktualisasi
diri umat Islam terhadapproses modernisasi
dunia yang tengah berlangsung dalam skala global. Islam dan tantangan
miodernitas merupakan tema paling menonjol dalam agenda pembaharuan pemikiran Islam
yang di dengungkan oleh para mujaddid Islam sepanjang sejarah.
Akibat
pemahaman terbelah ini, karakter pendidikan Islam yang semula tidak memisahkan
antara kebutuhan terhadap agama dengan ilmu, iman dengan amal, serta dunia
dengan akhirat lalu kemudian mengalami kemujudan yang berdampak pada penjajahandunia Islam
atas supremasi barat.
b.
Horizon Jaring Laba-laba Keilmuan
Teoatroposentrik-integralistik dalam Universitas Islam Negeri
Agama dalam arti luas merupakan
wahyu Tuhan, diri-sendiri, dan lingkungan hidup baik fisik, sosial maupun
budaya secara global.Seperangkat aturan-aturan, nilai-nilai dan prinsip-prinsip
dasar inilah yang sebenarnya disebut “syariat”.Kitab suci Al-Qur’an merupakan
petunjuk etika, moral, akhlak, kebijaksanaan dan dapat menjadi teologi ilmu
serta grand theory ilmu.Wahyu tidak pernah mengklaim sebagai ilmu qua
ilmu seperti yang seringkali diklaim oleh ilmu-ilmu sekuler.[9]
Agama memang mengklaim sebagai
sumber kebenaran, etika, hukum, kebijaksanaan, dan sedikit pengetahuan.Agama
tidak pernah menjadikan wahyu Tuhan sebagai satu-satunya sumber
pengetahuan.Menurut pandangan ini, sumber sumber pengetahuan dibagi menjadi dua
macam, yaitu pengetahuan yang berasal dari Tuhan (kholik) dan pengetahuan yang
berasal dari manusia (makhluk).Perpaduan antara keduanya disebut teoantro-posentris.
Agama menyediakan tolak ukur kebenaran
ilmu (dharuriyyah; benar, salah) bagaimana ilmu diproduksi (hajiyyah;
baik, buruk), tujuan-tujuan ilmu (tahsiniyyah; manfaat,
merugikan).Dimensi aksiologi dalam teologi ilmu ini penting untuk digaris
bawahi, sebelum manusia keluar mengembangkan ilmu. Selain ontlogi (ehatness)
keilmuan, epistimologi keilmuan (howness), agama sangat menekankan
dimensi aksiologi keilmuan(whyness).
Paradigma keilmuan baru yang
menyatukan, bukan sekedar menggabungkan wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia
(ilmu-ilmu holistik-integratilistik), itu tidak akan berakibat
mengecilkan peran Tuhan (sekularisme) atau mengucilkan manusia sehingga
teraleniasi dari dirinya sendiri, dari masyarakat sekitar, dan lingkungan hidup
sekitarnya. Diharapkan konsep integralisme dan reintegrasi
epistemology keilmuan sekaligus akan dapat menyelesaikan konflik antar
sekularisme ekstrim dan fundamentalisme negative agama-agama yang rigid dan
radikal dalam banyak hal.
Integrasi
yang dimaksud di sini adalah berkaitan dengan usaha memadukan keilmuan umum
dengan Islam tanpa harus menghilangkan keunikan–keunikan antara dua keilmuan
tersebut.
Terdapat keritikan yang menarik berkaitan
dengan integrasi antara ilmu agama dengan sains:
1. Integrasi
yang hanya cenderung mencocok-cocokkan ayat-ayat Alquran secara dangkal dengan
temuan-temuan ilmiah. Disinilah pentingnya integrasi konstruktif dimana
integrasi yang menghasilkan kontribusi baru yang tak diperoleh bila kedua ilmu
tersebut terpisah. Atau bahkan integrasi diperlukan untuk menghindari dampak negatif
yang mungkin muncul jika keduanya berjalan sendiri-sendiri. Tapi ada kelemahan dari integrasi, di mana
adanya penaklukan, seperti teologi ditaklukkan oleh sains.[10]
2. Berkaitan
dengan pembagian keilmuan, yaitu qauniyah (Alam) dan qauliyah (Teologis). Kuntowijoyo
mengatakan bahwa ilmu itu bukan hanya qauniyah dan qauliyah tetapi juga ilmu
nafsiyah. Kalau ilmu qauniyah berkenaan dengan hukum alam, ilmu qauniyah
berkenaan dengan hukum Tuhan dan ilmu nafsiyah berkenaan makna, nilai dan
kesadaran. Ilmu nafsiyah inilah yang disebut sebagai humaniora (ilmu-ilmu
kemanusiaan, hermeneutikal).[11]
Amin Abdullah memandang, integrasi keilmuan
mengalami kesulitan, yaitu kesulitan memadukan studi Islam dan umum yang kadang
tidak saling akur karena keduanya ingin saling mengalahkan.Oleh karena itu,
diperlukan usaha interkoneksitas yang lebih arif dan bijaksana. Interkoneksitas
yang dimaksud oleh Amin Abdullah adalah: “Usaha memahami kompleksitas fenomena
kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia. Sehingga setiap bangunan keilmuan
apapun, baik keilmuan agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman tidak
dapat berdiri sendiri. Maka
dibutuhkan kerjasama, saling tegur sapa, saling membutuhkan, saling koreksi dan
saling keterhubungan antara disiplin keilmuan.[12]
Pendekatan
integratif-interkonektif merupakan pendekatan yang tidak saling melumatkan dan
peleburan antara keilmuan umum dan agama. Pendekatan keilmuan umum dan Islam
sebenarnya dapat dibagi menjadi tiga corak yaitu: paralel, linear dan sirkular.
·
Pendekatan Paralel, masing-masing
corak keilmuan umum dan agama berjalan sendiri-sendiri tanpa ada hubungan dan
persentuhan antara satu dengan yang lainnya.
·
Pendekatan Linear, salah satu dan keduanya akan
menjadi primadona, sehingga ada kemungkinan berat sebelah.
·
Pendekatan Sirkular, masing-masing corak
keilmuan dapat memahami keterbatasan, kekurangan dan kelemahan pada
masing-masing keilmuan dan sekaligus bersedia mengambil manfaat dari
temuan-temuan yang ditawarkan oleh tradisi keilmuan yang lain serta memiliki
kemampuan untuk memperbaiki kekurangan yang melekat pada diri sendiri.[13]
Beberapa contoh dibawah ini akan
memberi gambaran mengenai ilmu yang bercorak integralistik bersama prototip
diambil dari ilmuan integratif yang
dihasilkannya. Contoh dapat praktik penyatuan antara wahyu Tuhan dan temuan
pikiran manusia. Ada BMI (Bank Muamalat), Bank BNI Syariah, usaha-usaha
agrobisnis, transportasi, kelautan, dan sebagainya. Agama menyediakan etika
dalam perilaku ekonomi di antaranya adalah bagi hasil (al-mudharabah),
dan kerjasama (al-musyarakah).Disini Islam mengalami objektivitas dimana etika agama menjadi ilmu bermanfaat
bagi seluruh
manusia, baik muslim maupun non-muslim,
atau bahkan anti-agama. Dari orang beriman (muslim) untuk
seluruh manusia (rahmatan li al-‘alamin). Kedepan, pola kerja keilmuan
yang integralistik dan moralistik keagamaan yang humanistik ini dituntut dapat
memasuki wilayah-wilayah yang lebih luas seperti psikologi, sosiologi,
antropologi, social work,lingkungan, kesehatan, teknologi, ekonomi,
politik, hubungan internasional, hukum dan peradilandan begitu seterusnya.[14]
Perbedaan
pendekatan integrasi-interkoneksi dengan Islamisasi ilmu adalah dalam hal
hubungan antara keilmuan umum dengan keilmuan agama.Kalau menggunakan
pendekatan islamisasi ilmu, maka terjadi pemilahan, peleburan dan pelumatan
antara ilmu umum dengan ilmu agama. Sedangkan pendekatan integrasi interkoneksi
lebih bersifat menghargai keilmuan umum yang sudah ada, karena keilmuan umum
juga telah memiliki basis epistemologi, ontologi dan aksiologi yang mapan,
sambil mencari letak persamaan, baik metode pendekatan (approach)
dan metode berpikir (procedure) antar keilmuan dan
memasukkan nilai-nilai keilmuan Islam ke dalamnya, sehingga keilmuan umum dan
agama dapat saling bekerja sama tanpa saling mengalahkan.
Dari
uraian di atas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa dalam mengintegrasikan
ilmu-ilmu keislaman ke dalam ilmu-ilmu umum sebaiknya mengacu kepada perspektif
ontologis, epistemologis dan aksiologis.
Ø
Dari perspektif ontologis,
bahwa ilmu itu pada hakekatnya, adalah merupakan pemahaman yang timbul dari
hasil studi yang mendalam, sistematis, obyektif dan menyeluruh tentang
ayat-ayat Allah swt. baik berupa ayat-ayat qauliyyah yang terhimpun di dalam
Alquran maupun ayat-ayat kauniyah yang terhampar dijagat alam raya ini. Karena
keterbatasan kemampuan manusia untuk mengkaji ayat-ayat tersebut, maka hasil
kajian / pemikiran manusia tersebut harus dipahami atau diterima sebagai
pengetahuan yang relatif kebenarannya, dan pengetahuan yang memiliki kebenaran
mutlak hanya dimiliki oleh Allah swt.
Ø Dari perspektif Epistemologi, adalah bahwa ilmu
pengetahuan dan teknologi diperoleh melalui usaha yang sungguh-sungguh dengan
menggunakan instrumen penglihatan, pendengaran dan hati yang diciptakan Allah
swt. terhadap hukum-hukum alam dan sosial (sunnatullah). Karena
itu tidak menafikan Tuhan sebagai sumber dari segala realitas termasuk ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Ø Dari
perspektif aksiologi, bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi harus
diarahkan kepada pemberian manfaat dan pemenuhan kebutuhan hidup umat manusia.
Bukan sebaliknya, ilmu pengetahuan dan teknologi digunakan untuk menghancurkan
kehidupan manusia. Perlu disadari bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi adalah
bagian dari ayat-ayat Allah dan merupakan amanat bagi pemiliknya yang nantinya
akan dimintai pertanggung jawaban di sisi-Nya.
Horizon
Jaring Laba-laba Keilmuan
Teoatroposentrik-integralistik
dalam
Universitas Islam Negeri
Gambar
diatas ini mengilustrasikan hubungan jaringan laba-laba yang bercorak
teoantroposentris-integralistik.[15]Disini
terdapat bahwa jarak pandang, atau horizon keilmuan integralistik begitu luas
(tidak myopic) sekaligus terampil dalam perkehidupan sektor tradisional maupun
modern karena dikuasainya salah satu ilmu dasar dan keterampilan yang dapat
menopang kehidupan di era informasi-globali-sasi.Disamping itu, tergambar sosok
manusia beragama (Islam)yang terampil dalam menangani dan menganalisis isu-isu
yang menyentuh problem kemanusiaan dan keagamaan di era modern dan pasca modern
dengan dikuasainya berbagai pendekatan baru yang diberikan oleh ilmu-ilmu alam
(natural science), ilmu-ilmu social (social science) dan
humaniora (humanities) kontemporer. Di atas segalanya, dalam setiap
langkah yang ditempuh, selalu dibarengi landasan etika-moral keagamaan objektif
dan kokoh, karena keberadaan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang dimaknai secara baru
(hermenetutis) selalu menjadi landasan pijak pandangan hidup (weltanschauung)
keagamaan manusia yang menyatu dalam satu tarikan nafas keilmuan dan keagamaan.
Semua itu diabdikan untuk kesejahteraan manusia secara bersama-sama tanpa
pandang latar belakang etnisitas, agama, ras maupun golongan.
Sebagai
contohnya,dalam konsep integrasi-interkoneksi yang di kembangkan oleh UIN,
secara detail di ungkap bahwa dalam kasus UIN yang nota-bene merupakan lembaga
pendidikan Islam variabel multi-dimensi keilmuannya tidak hanya beurusan dengan
realitas hidup dan realitas manusia sebagaimana dalam ilmu-ilmu “umum”, namun
juga menyangkut realitas teks sebagaimana khas ilmu-ilmu agama atau lebih
tepatnya “ilmu-ilmu keIslaman”.
Paradigma integratif-interkonektif yang ditawarkan oleh
Amin Abdullah ini merupakan jawaban dari berbagai persoalan diatas. Integrasi
dan interkoneksi antar-disiplin ilmu, baik dari keilmuan sekuler maupun
keilmuan agama, akan menjadikan keduanya saling terkait satu sama lain,
“bertegur sapa”, saling mengisi kekurangan dan kelebihan satu sama lain. Dengan
demikian, ilmu agama (ilmu keIslaman) tidak lagi berkutat pada teks-teks
klasik, tetapi juga menyentuh pada ilmu-ilmu sosial kontemporer.
Dengan paradigma ini, maka wilayah pokok dalam ilmu pengetahuan, yakni natural
sciences, social sciences, dan humanities tidak lagi berdiri sendiri
akan tetapi akan terkait satu dengan yang lainnya.[16]
Ketiganya juga akan menjadi semakin mencair meski tidak akan menyatukan
ketiganya, tetapi paling tdak, tidak akan ada lagi superioritas dan
inferioritas dalam keilmuan, tidak ada lagi klaim kebenaran ilmu pengetauan
sehingga dengan paradigma ini para ilmuan yang menekuni ilmu juga akan
mempunyai sikap dan cara berpikir yang berbeda dari sebelumnya.
Dengan
menimbang variabel-variabel ini, maka ideal integrasi-interkoneksi yang di
gagas oleh UIN mensyaratkan dialektika antara variabel-variabel tersebut dalam
praksis integrasi-interkoneksi.Brand yang diusung oleh UIN untuk menyebut
dialektika ini adalah Hadarat al-Nash, Hadarat al-‘ilm dan Hadarat
al-falsafah.
Maka
kesimpulannya adalah Hadarat al-Nash adalah jaminan identitas keislaman,
Hadarat al-‘ilm adalah jaminan profesionalitas-ilmiah, dan Hadarat
al-falsafah adalah jaminan bahwa muatan keilmuan yang di kembangkan bukan
“menara gading”yang berhenti di “langit akademik”, tetapi memberi kontribusi
positif-emansipatif yang nyata dalam kehidupan masyarakat.Hadarah al-‘ilm (peradaban ilmu), yaitu
ilmu-ilmu empiris seperti sains, teknologi, dan ilmu-ilmu yang terkait dengan
realitas tidak lagi berdiri sendiri tetapi juga bersentuhan dengan hadarat
falsafah (peradaban filasafat) sehingga tetap memperhatikan etika
emansipatoris. Begitu juga sbaliknya, hadarat falsafah akan terasa
kering dan gersang jika tidak terkait dengan isu-isu keagaam yang termuat dalam
budaya teks dan lebih-lebih jika menjauh dari problem-problem yang ditimbulkan
dan dihadapi oleh hadarat ‘ilm.[17]
Dari hadarat tersebut melahirkan pola single entity, isolated entities, dan
interconeted.
Hal ini yang menjadi tolak ukur signifikan dalam penerapan
integrasi-interkoneksi dalam keilmuan UIN Sunan Kalijaga. Tiga demensi
pengembangan keilmuan ini bertujuan untuk mempertemukan kembali ilmu-ilmu
modern dengan ilmu-ilmu keIslaman. Dalam Dirasat Islamiyah atau Islamic
Studies sebagai kluster keilmuan baru yang berbasis pada paradigma keilmuan
sosial kritis-komparatif lantaran melibatkan seluruh “pengalaman” (experiences)
umat manusia di alam historis-empiris yang amat sangat beranekaragaman.
c.
Hujjah Studi Islamdi
Integrasi-Interkoneksikan
Dalam diskursus
ilmu pengetahuan modern, bidang-bidang terpisah secara tegas dan jelas.Biologi,
Fisika, Psikologi, Geografi dan lain sebagainya, merupakan contoh bidang-bidang
yang di maksud.Setiap bidang mewakili dimensi kehidupan tertentu dan para
ilmuan dari masing-masing bidang ‘hanya’ fokus pada bidang yang di gelutinya.
Dengan kata lain, para ilmuan ini mereduksi realitas hanya sebatas bidang yang
menjadi lahannya. Hal ini sebenarnya bukan permasalahan besar, karena
kenyataannya realitas hidup memang multi-dimensi dan multi-aspek. Kiranya
mustahil bagi seseorang untuk mampu menguasai seluruh bidang keilmuan tersebut
secara sama mendalam.
Meskipun
sebenarnya kenyataan spesialisasi dan reduksi ini dapat di katakan sifatnya
niscaya karna keterbatasan manusiawi, namun dampak negatif dari kenyataan ini
ternyata tidak terlalu menyenangkan. Dikotomi ilmu agama-ilmu umum, hegemoni
bidang ilmu tertentu terhadap bidang lainnya, superior-inferior feeling dari
masing-masing bidang ilmu, hirarki ilmu utama-ilmu komplementer, adalah
akibat-akibat laten yang harus di tanggung dari kenyataan spesialisasi di atas.
Lebih jauh ternyata dampak ini kemudian merambah ke dunia sosial, dunia
pendidikan, dunia politik, dan lain lain, sehingga tidak jarang muncul konflik
di ranah sosial maupun politik akibat adanya ekslusifisme dari masing-masing
bidang ilmu.
Pada akhirnya
secara psikologis banyak orang yang mengalami kegelisahan luar biasa karena
antara dunia yang dia alami, yang multi-dimensi, dengan keilmuan yang dia
hayati, yang hanya satu dimensi dan yang satu-satunya dia pahami, ternyata
tidak sejalan.Orang yang menghayati ilmu fiqih saja pasti gelisah ketika
berhadapan dengan kenyataan sosial yang berbeda dengan isi ilmunya.Orang yang
menghayati ilmu ekonomi saja pasti gelisah karena berhadapan dengan “logika
zakat dan sedekah” ala fiqih. Orang yang menghayati ilmu geografi saja pasti
gelisah ketika berhadapan dengan adanya ruang baru yang di sebut dengan “dunia
virtual” atau “dunia maya”.
Paradigma integrasi-interkoneksi
hakekatnya ingin menunjukkan bahwa antara berbagai bidang keilmuan tersebut
sebenarnya saling memiliki keterkaitan, karena memang yang di bidik oleh
seluruh disiplin keilmuan tersebut adalah realitas alam semesta yang sama,
hanya saja dimensi dan fokus perhatian yang di lihat oleh masing-masing
disiplin berbeda. Oleh karena itu, rasa superior, ekslusifitas, pemilihan
secara dikotomis merhadap bidang-bidang keilmuan yang di maksud hanya akan
merugikan diri sendiri, baik secara psikologis maupun secara ilmiah-akademis.
Betapapun setiap orang ingin memiliki pemahaman yang lebih utuh dan
komprehensif, bukannya pemahaman yang parsial dan reduktif.Maka dengan
menimbang asumsi ini seorang ilmuan perlu memilikivisi integrasi-interkoneksi.
C.
Model Integrasi-Interkoneksi
Model-model
integrasi-interkoneksi Amin Abdullah,[18] yaitu:
1.
Informatif , Suatu disiplin ilmu
memberikan informasi kepada disiplin ilmu yang lain. Misalnya: Ilmu Islam
(Al-qur’an) memberikan informasi kepada ilmu saintek bahwa matahari memancarkan
cahaya sedangkan bulan memantulkan cahaya (Q.S. Yunus: 5)
Artinya:
“Dia-lah yang menjadikan
matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah
(tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan
tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu
melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada
orang-orang yang mengetahui.”
2.
Konfirmatif (klarifikatif), Suatu disiplin ilmu
memberikan penegasan kepada disiplin ilmu lain. Contoh: Informasi tentang
tempat-tempat (manaazil) matahari dan bumi dalam Q.S. Yunus: 5,
dipertegas oleh ilmu saintek (orbit bulan mengelilingi matahari berbentuk
elips).
3.
Korektif, Suatu disiplin ilmu mengoreksi
disiplin ilmu yang lain. Contoh: Teori Darwin yang mengatakan bahwa manusia-kera-tupai
mempunyai satu induk, dikoreksi oleh Al-qur’an.
Sedangkan alternatif model
Integrasi-Interkoneksi,[19]adalah
berikut ini:
1.
Paralelisasi: menyamakan konotasi dari
ilmu-ilmu yang berbeda
2.
Similarisasi: menyamakan teori-teori dari
ilmu-ilmu
3.
Komplementasi: Saling mengisi dan saling
memperkuat
4.
Komparasi: membandingkan konsep teori diantara
ilmu-ilmu.
5.
Induktifikasi: mendukung teori ilmu dengan
instrumen dari ilmu lain.
6.
Verifikasi: menunjang dengan penelitian ilmiah
ilmu satu dengan ilmu yang lain.
Skema tiga
lingkaran terkait ini merupakan proyek keilmuan yang didengungkan oleh visi dan
misi perubahan IAIN ke UIN.Perubahan IAIN menjadi universitas Islam merupakan
langkah positif dalam rangka pengembangan jangkauan wilayah studi keIslaman.Hal
ini berarti jangkauan ilmu-ilmu Islam menjadi semakin luas. Skema di atas
menunjukkan bahwa masing-masing bangunan sektor keilmuan menyadari akan
kekurangan-kekurangan yang melekat dalam diri sendiri dan oleh karenanya
bersedia untuk berdialog, bekerjasama dan memanfaatkan metode dan pendekatan
yang digunakan oleh gugusan ilmu lain untuk melengkapi kekurangan-kekurangan
yang melekat jika masing-masing berdiri sendiri-sendiri, terpisah antara satu
dan lainnya. Diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dari berbagai pihak, dari
waktu ke waktu dengan kesediaan mengorbankan kepentingan egoisme sektoral
keilmuan sehingga yang terlihat adalah mengedepankan kebersamaan dalam ilmu
pengetahuan.[20]
Bangunan keilmuan yang selalu terkait selaras dan sejajar tersebut menjadi
icon percontohan aplikasi keilmuannya yakni di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
yang saat itu dipimpin oleh tokoh pencetus ide interkonesi dan integrasi. Jika
dibandingkan dengan bangunan keilmuan yang berkembang di UIN Jakarta melalui
figur sentral Harun Nasution, kajian Islam di IAIN masih terbatas hanya pada
pengajaran agama yang fiqh oriented. Disamping itu pengajaran agama
baik filsafat, tasawuf maupun sejarah terbatas pada pemikiran tokoh-tokoh
tertentu saja.Pemahaman Islam yang demikian itu parsial dan hanya melihat Islam
secara sempit saja. Oleh karena itu ia mengusulkan untuk membuat suatu pedoman
inti yang melihat Islam secara komprehensif. Gagasan tersebut untuk pengenalan Islam
secara komprehensif, dengan melihat Islam dari berbagai aspeknya diintegrasikan
ke dalam kurikulum nasional untuk pengajaran Islam.Pemikiran Harun saat itu
dianggap tidak lazim dan pada awal mulanya menjadi kontroversi.Bagi sebagian
kalangan utamanya mereka yang terdidik dalam pola fikir tradisional,
pandangan-pandangan Harun Nasution dianggap tidak bersesuaian dengan pola
pemikirn tradisional dan ini terjadi karena dipengaruhi oleh konsep-konsep
Barat.[21]
Sebenarnya,
ilmu merupakan media dalam kehidupan untuk membimbing manusia menuju ke jalan
tugas utamanya, oleh karena itu haruslah secara keseluruhan dipelajari dan
diajarkan dalam rangka menggapai kesuksesannya. Segala keilmuan menurut
paradigma ini harus terintegrasi dalam proses tugas kemanusiaan dalam hidup
sebagai khalifah maupun sebagai hamba Allah yang mencakup pengenalan area
keilmuan, penekanan terhadap pemahaman potensi-potensi manusia yang dimiliki
dan aplikasi dinamisnya, konsentrasi dalam perencanaan serta evaluasi hasil,
adanya makna dalam aktivitasnya serta adanya pengaturan hubungan positif dengan
semua pihak yang memiliki keterkaitan dengan pelaksaan tugas
tersebut. Pada akhirnya, paradigma interkonektif-integratif dalam
idealitas dan realitasnya diharapkan mampu membentuk pola pikir
komunikatif-efektif yang dapat mencairkan pola pikir dikotomis dan memberikan
suasana yang penuh damai antar disiplin keilmuan.
Analisis
Paradigma
Integrasi-Interkoneksi
ala Amin Abdullah adalah salah satu opsi pemikiran agar ragam kajian keislaman
dapat berkembang lebih komprehensif. Paradigma ini memandang bahwa antara
ilmu-ilmu qowliyah/hadarat an-nass dengan ilmu-ilmu kawniyah/ hadarat
al;’ilm, maupun dengan hadarat al-falsafah berintegrasi dan
berinterkoneksi satu sama lain.Hal ini berimplikasi pada model pendidikan di
Indonesia yang memisahkan antara ilmu agama (ilmu keislaman) dan juga ilmu
sekuler.
Pendekatan Integratif-Interkonektif merupakan usaha untuk menjadikan sebuah keterhubungan antara
keilmuan agama dan keilmuan umum. Muara dari pendekatan
integratif-interkonektif menjadikan keilmuan mengalami proses obyektivikasi
dimana keilmuan tersebut dirasakan oleh orang non Islam sebagai sesuatu yang
natural (sewajarnya), tidak sebagai perbuatan keagamaan. Sekalipun
demikian, dari sisi yang mempunyai perbuatan, bisa tetap menganggapnya sebagai
perbuatan keagamaan, termasuk amal, sehingga Islam dapat menjadi rahmat bagi
semua orang.
Dengan demikian Amin Abdullah membuat konsep
Integrasi-interkoneksi yang dilambangkan dengan horizon jaring laba-laba, hal
ini menunjukkan bahwa antara berbagai bidang keilmuan tersebut sebenarnya
memiliki keterkaitan, karena memang yang di bidik oleh seluruh disiplin
keilmuan tersebut adalah realitas alam semesta yang sama, hanya saja dimensi
dan fokus perhatian yang dilihat oleh masing-masing disiplin yang berbeda.
Kemudian skema tiga lingkaran (hadarat
an-nass, ‘ilm, dan falsafah) merupakan proyek keilmuan visi
dan misi perubahan IAIN ke UIN. Sehingga harapan kedepan mahasiswa-mahasiswi
UIN dapat mengembangkan jangkauan keilmuannya (multi-science). Karena
semua dimensi-dimensi keilmuan itu saling berkaitan satu dengan lainnya.
Simpulan
Paradigma baru
yang dibangun oleh Amin Abdullah dengan integratif-interkonektif ini memang
sangat relevan dengan kebutuhan zaman saat ini. Koneksitas ini diharapkan mampu
menjawab kebuntuan dalam keilmuan islam dan lebih jauh lagi dapat menjawab
kompleksitas problem kemanusiaan di era globalisasi. Namun paradigma ini tidak
mudah untuk diaplikasikan, hal ini bisa dilihat ketika paradigma ini coba
diterapkan dalam pengembangan perguruan tinggi agama yang mengejawantah
dengan perubahan IAIN menjadi UIN ternyata banyak menimbulkan kerancuan
terutama bagi program-program studi yang muncul kemudian, dan hal ini menurut
harus segera dicarikan solusi, sehingga tujuan ideal dari integrasi dan
interkoneksi ini dapat terwujud.
Paradigma baru
yang dibangun oleh Amin Abdullah dengan integratif-interkonektif ini memang
sangat relevan dengan kebutuhan zaman saat ini.Koneksitas ini diharapkan mampu
menjawab kebuntuan dalam keilmuan Islam dan lebih jauh lagi dapat menjawab
kompleksitas problem kemanusiaan di era globalisasi. Namun paradigma ini tidak
mudah untuk diaplikasikan, hal ini bisa dilihat ketika paradigma ini coba
diterapkan dalam pengembangan perguruan tinggi agama yang mengejawantah
dengan perubahanIAIN menjadi UIN ternyata banyak menimbulkan kerancuan
terutama bagi program-program studi yang muncul kemudian, dan hal ini menurut
harus segera dicarikan solusi, sehingga tujuan ideal dari integrasi dan
interkoneksi ini dapat terwujud.
Perubahan IAIN
ke UIN mengisyaratkan akan adanya keilmuan yang mmpertimbangkan dari aspek lain
dan tidak hanya memandang teks saja yang tidak berhubungan dua wajah keilmuan
lain. Dalam konteks ini, paradigma keilmuan UIN memandang bahwa antara
ilmu-ilmu qauliyyah/hadarat an-nass dengan ilmu-ilmu kauniyyah/hadarat
al-‘ilm, maupun dengan hadarat al-falsafah berintegrasi dan
berinterkoneksi satu sama lain.
DAFTAR RUJUKAN
Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi (Pendekatan Integratif-Interkonektif),
(Yogyakarta; Pustaka Pelajar), 2010.
Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta;
Pustaka Pelajar), 1996.
Amin
Abdullah dkk, Integrasi Sains-Islam Mempertemukan Epistimologi Islam
dan Sains, (Yogyakarta; Pilar Religia), 2004.
Armai Arief, Reformasi
Pendidikan Islam, Jakarta: CRSD Press, 2005.
Nurman Said, Wahyuddin Halim, Muhammad Sabri, Sinergi
Agama dan Sains, Makassar: Alauddin Press, 2005.
Zainal Abidin Bagir, Integrasi Ilmu dan Agama, Interprestasi dan
Aksi, bandung: Mizan, 2005.
Kuntowijoyo, Islam
Sebagai Ilmu, Jakarta: Teraju, 2005.
Fuad Jabali dan
Jamhari, IAIN dan Modernisasi Islam di
Indonesia, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu), 2002.
[2] Nurman Said,
Wahyuddin Halim, Muhammad Sabri, Sinergi Agama dan Sains, (Makassar:
Alauddin Press, 2005), hal. 36.
[3] Amin Abdullah,
Islamic
Stadies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi, (Yogyakarta:Suka
Press, 2007), hal. 33
[4] Amin Abdullah,
Studi Agama Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta; Pustaka
Pelajar, 1996), hal. 346
[6]Amin Abdullah dkk, Integrasi
Sains-Islam Mempertemukan Epistimologi Islam dan Sains,(Yogyakarta;
Pilar Religia, 2004), hal. 11
[7] Amin Abdullah,
Islamic Studies Di Perguruan Tinggi,…, hal. 92
[8]Amin Abdullah, Islamic
Studies Di Perguruan Tinggi,…, hal. 92-94
[10] Zainal Abidin
Bagir, Integrasi
Ilmu dan Agama, Interprestasi dan Aksi, (Bandung:
Mizan, 2005), hal. 50-51
[21]Fuad Jabali dan Jamhari, IAIN
dan Modernisasi Islam di Indonesia, (Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 2002), hal. 42-43
Tidak ada komentar:
Posting Komentar