BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sosok
ulama yang satu ini sudah begitu akrab di telinga umat Islam Indonesia
khususnya, karena beliau merupakan pendiri organisasi Islam terbesar di
Indonesia, Nahdlatul Ulama. Akan tetapi ketokohan dan keharuman nama beliau
bukan hanya karena aktivitas dakwah beliau sebagai pendiri NU, melainkan juga
karena beliau termasuk pemikir dan pembaharu Pendidikan Islam. Dilahirkan dari
keluarga elit kiai di Jombang,
K.H.M.Hasyim
Asy’ari pernah belajar di berbagai pesantren di Jawa sebelum melanjutkan
pendidikan ke tanah Hijaz. Kemudian kembali ke Indonesia dan mendirikan
pesantren Tebuireng Jombang yang terkenal dengan ilmu haditsnya. Kedalaman
ilmu, dan pemikirannya dalam pendidikan sangat brilian, sampai-sampai para kiai
di Jawa memberinya gelar “Hadratus Syekh” yang berarti “Tuan Guru Besar”.[1]
Sejak
pertengahan abad ke-19, telah banyak para kawula muda Indonesia yang belajar di
Mekkah dan Madinah, untuk menekuni agama Islam. Di pusat-pusat studi di Timur
Tengah, terutama di Mekkah, banyak bertebaran berbagai literatur ke-Islaman.
Realitas ini amat memungkinkan bagi mereka yang belajar di sana, untuk mencapai
tingkat pengetahuan yang lebih luas serta pandangan yang lebih terbuka mengenai
sosok Islam.
Di
antara mereka yang berhasil gemilang di dalam mengkaji Islam adalah Syekh
Nawawi al Bantani dari Banten Jawa Barat, Syekh Mahfudz Attarmisi dari Pacitan
Jawa Timur, serta Syekh Ahmad Chatib Sambas dari Kalimantan. Kesuksesan mereka
ini ditandai dengan kedalaman ilmu yang mereka miliki, yang bukan saja diakui
oleh masyarakat Tanah Suci Mekkah melainkan juga diakui oleh masyarakat Arab
pada umumnya.[2]
Generasi
berikutnya yang juga merupakan murid langsung dari mereka itu antara lain.
Muhammad Hasyim Asy’ari. Hasyim Asy’ari yang haus akan ilmu pengetahuan,
belajar dari pesantren ke pesantren di daerah Jawa, dan terus belajar ke Mekkah
kurang lebih 7 tahun. Zamakhsyari Dhofier melukiskan pribadi Hasyim Asy’ari
sebagai seorang yang memiliki kedalaman ilmu secara luar biasa, melalui tangan
beliau inilah lahir ulama-ulama terkemuka di Jawa yang nyaris seluruhnya
menjadi pendiri dan pengasuh pesantren di daerahnya masing-masing.
Hasyim
Asy’ari adalah seorang kiai yang pemikiran dan sepak terjangnya berpengaruh
dari Aceh sampai Maluku, bahkan sampai ke Melayu. Santri-santri ada yang dari
Ambon, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera dan Aceh, bahkan ada beberapa orang dari
Kuala Lumpur. Beliau terkenal orang yang alim dan adil, selalu mencari
kebenaran, baik kebenaran dunia maupun kebenaran akhirat. Semasa hidupnya
beliau diberi kedudukan sebagai Rais Akbar NU, suatu jabatan yang hanya
diberikan kepada Hasyim Asy’ari satu-satunya. Bagi ulama lain yang menjabat
jabatan tersebut, tidak lagi menyandang sebutan Rais Akbar melainkan Rais Am.
Hal ini karena ulama lain yang menggantikannya merasa lebih rendah dibandingkan
Hasyim Asy’ari.[3]
Pemikiran
Hasyim Asy’ari dalam bidang Pendidikan lebih banyak ditinjau dari segi etika
dalam pendidikan. Etika dalam pendidikan banyak diungkapkan oleh Imam
Al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin pada bagian adab kesopanan pelajar dan
pengajar. Dalam dunia pendidikan sekarang, banyak disinggung dalam kaitannya
dengan prinsip-prinsip pelaksanaan pendidikan. dan para ahli psikologi
pendidikan, menyinggungnya dalam kepribadian yang efektif bagi pelajar dan
mengajar.
Di
antara adab pelajar menurut Al-Ghazali adalah: mendahulukan kesucian batin dari
kerendahan budi dan sifat-sifat tercela, jangan menyombongkan diri dan jangan
menentang guru, memulai belajar dalam bidang ilmu yang lebih penting, dan
menghiasi diri dengan sifat-sifat utama. Sedangkan di antara adab seorang
pengajar adalah: memulai pelajaran dengan basmalah, mempunyai rasa
belas-kasihan kepada murid-murid dan memperlakukannya sebagai anak sendiri,
mengikuti jejak Rasul, mengajar bukan untuk mencari upah tetapi semata-mata
karena ibadah pada Allah, mengamalkan sepanjang ilmunya, jangan perkataannya
membohongi perbuatannya.[4]
Pemikiran
Hasyim Asy’ari sendiri dalam hal ini boleh jadi diwarnai dengan keahliannya
dalam bidang hadits, dan pemikirannya dalam bidang tasawuf dan fiqh. Serta
didorong pula oleh situasi pendidikan yang ada pada saat itu, yang mulai
mengalami perubahan dan perkembangan yang pesat, dari kebiasaan lama
(tradisonal) yang sudah mapan ke dalam bentuk baru (modern) akibat pengaruh sistem
pendidikan Barat (Imperialis Belanda) yang diterapkan di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa organisasi dan pembaharuan
pendidikan menurut Hasyim Asy’ari?
2. Apa
Pemikiran Hasyim Asy’ari Dalam Bidang Pendidikan?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Riwayat Hidup K.H.Muhammad Hasyim
Asy’ari
Hasyim
Asy’ari lahir di desa Nggedang sekitar dua kilometer sebelah Timur Kabupaten
Jombang, Jawa Timur. Pada hari Selasa kliwon, tanggal 24 Dzulhijjah 1287 atau
bertepatan tanggal 14 Pebruari 1871 M. Nama lengkapnya adalah Muhammad Hasyim
ibn Asy’ari ibn Abd. Al Wahid ibn Abd. Al Halim yang mempunyai gelar Pangeran
Bona ibn Abd. Al Rahman Ibn Abd. Al Aziz Abd. Al Fatah ibn Maulana Ushak dari
Raden Ain al Yaqin yang disebut dengan Sunan Giri.[5]
Dipercaya pula bahwa mereka adalah keturunan raja Muslim Jawa, Jaka Tinggir dan
raja Hindu Majapahit, Brawijaya VI. Jadi Hasyim Asy’ari juga dipercaya
keturunan dari keluarga bangsawan.[6]
Ibunya,
Halimah adalah putri dari kiai Ustman, guru Asy’ari sewaktu mondok di
pesantren. Jadi, ayah Hasyim adalah santri pandai yang mondok di kiai Ustman,
hingga akhirnya karena kepandaian dan akhlak luhur yang dimiliki, ia diambil
menjadi menantu dan dinikahkan dengan Halimah. Sementara kiai Ustman sendiri
adalah kiai terkenal dan juga pendiri pesantren Gedang yang didirikannya pada
akhir abad ke-19. Hasyim Asy’ari adalah anak ketiga dari sepuluh bersaudara,
yaitu Nafiah, Ahmad Saleh, Radiah, Hassan, Anis, Fatanah, Maimunah, Maksum,
Nahrawi, dan Adnan.
Dari
lingkungan pesantren inilah Hasyim Asy’ari mendapat didikan awal tentang
berbagai hal yang berkaitan dengan ke-Islaman. Hingga usia lima tahun, Hasyim
mendapat tempaan dan asuhan orangtua dan kakeknya di pesantren Gedang.
Mula-mula ia belajar pada ayahnya sendiri, lalu bergabung bersama santri lain
untuk memperdalam ilmu agama dan pesantren itu para santri mengamalkan ajaran
agama dan belajar berbagai cabang ilmu agama Islam.
Suasana
ini tidak diragukan lagi mempengaruhi karakter Hasyim Asy’ari yang sederhana
dan rajin belajar. Minat bacanya sangat tinggi, hingga yang dibaca bukan hanya
buku-buku pelajaran dengan literatur-leteratur Islam, tetapi juga buku-buku
lain dan umum.
Pada
tahun 1876, ketika Hasyim Asy’ari berumur 6 tahun, ayahnya mendirikan pesantren
di sebelah Selatan Jombang, suatu pengalaman yang di masa mendatang
mempengaruhi beliau untuk kemudian mendirikan pesantren sendiri. Dari sini
dapat dilihat bahwa kehidupan masa kecilnya di lingkungan pesantren berperan
besar dalam pembentukan wataknya yang haus ilmu pengetahuan dan kepeduliannya
pada pelaksanaan ajaran-ajaran agama dengan baik.
Menurut
penuturan ibunya, tanda kecerdasan dan ketokohan Hasyim Asy’ari sudah tampak
saat ia masih berada dalam kandungan. Di samping masa kandung yang lebih lama
dari umumnya kandungan, ibunya juga pernah bermimpi melihat bulan jatuh dari
langit ke dalam kandungannya.[7]
Mimpi tersebut kiranya bukanlah isapan jempol dan kembang tidur belaka, sebab
ternyata tercatat dalam sejarah, bahwa pada usianya yang masih sangat muda, 13
tahun, Hasyim Asy’ari sudah berani menjadi guru pengganti (badal) di pesantren
untuk mengajar santri-santri yang tidak jarang lebih tua dari umurnya sendiri.
Serta di kemudian hari kita saksikan sepak terjang dan perjuangannya di
berbagai bidang.
Pada
usia muda Hasyim Asy’ari mulai melakukan pengembaraan ke berbagai pesantren di
luar daerah Jombang. Pada awalnya, ia menjadi santri di pesantren Wonokojo di Probolinggo,
kemudian berpindah ke pesantren Langitan, Tuban. Dari Langitan santri yang
cerdas tersebut berpindah lagi ke pesantren Trenggilis, hingga pesantren
Kademangan Bangkalan, di Madura sebuah pesantren yang diasuh kyai Khalil.
Terakhir sebelum belajar ke Mekkah, ia sempat nyantri dan tinggal lama di
pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo, di bawah asuhan kiai Ya’qub, sampai akhirnya
diambil menantu oleh kiai Ya’qub, dinikahkan dengan anaknya yang bernama
Khadijah tahun 1892.
Tidak
berapa lama kemudian ia beserta isteri dan mertuanya berangkat haji ke Mekkah
yang dilanjutkan dengan belajar di sana. Modal pengetahuan agama selama nyantri
di tanah air memudahkan Hasyim memahami pelajaran selama di Mekkah. Akan tetapi
setelah isterinya meninggal karena melahirkan, menyebabkannya kembali ke tanah
air.
Rasa
haus yang tinggi akan ilmu pengetahuan membawa Hasyim Asy’ari berangkat lagi ke
tanah suci Mekkah tahun berikutnya. Kali ini ia ditemani saudaranya Anis. Dan
ia menetap di sana kurang lebih tujuh tahun dan berguru pada sejumlah ulama, di
antaranya Syaikh Ahmad Amin al Aththar, Sayyid Sultan ibn Hasyim, Sayyid
Abdullah al Zawawi, Syaikh Shaleh Bafadhal dan Syaikh Sultan Hasyim Dagastani.[8]
Minatnya
begitu tinggi terhadap ilmu pengetahuan, terutama ilmu hadits dan tasawuf. Hal
ini yang membuat Hasyim di kemudian hari senang mengajarkan hadits dan tasawuf.
Pada masa-masa akhir di Mekkah beliau sempat memberikan pengajaran kepada orang
lain yang memerlukan bimbingannya, dan ini yang menjadi bekal tersendri yang
kemudian hari diteruskan setelah kembali ke tanah air.
Pada
tahun 1899/1900 ia kembali ke Indonesia dan mengajar di pesantren ayahnya dan
kakeknya, hingga berlangsung beberapa waktu. Masa berikutnya Hasyim menikah
lagi dengan putri kiai Ramli dari Kemuning (Kediri) yang bernama Nafiah,
setelah sekian lama menduda. Mulai itu beliau diminta membantu mengajar di
pesantren mertuanya di Kemuning, baru kemudian mendirikan pesantren sendiri di daerah
sekitar Cukir, pesantren Tebuireng di Jombang, pada tanggal 6 Pebruari 1906.
Pesantren yang baru didirikan tersebut tidak berapa lama berkembang menjadi
pesantren yang terkenal di Nusantara, dan menjadi tempat menggodok kader-kader
ulama wilayah Jawa dan sekitarnya.
Sejak
masih di pondok, ia telah dipercaya untuk membimbing dan mengajar santri baru.
Ketika di Mekkah, ia juga sempat mengajar. Demikian pula ketika kembali ke
tanah air, diabdikannya seluruh hidupnya untuk agama dan ilmu. Kehidupannya banyak
tersita untuk para santrinya. Ia terkenal dengan disiplin waktu (istiqamah).
Hasyim
Asy’ari meninggal pada tanggal 7 Ramadhan 1366 H bertepatan dengan 25 Juli 1947
M di Tebuireng Jombang dalam usia 79 tahun, karena tekanan darah tinggi. Hal
ini terjadi setelah beliau mendengar berita dari Jenderal Sudirman dan Bung
Tomo bahwa pasukan Belanda di bawah pimpinan Jenderal Spoor telah kembali ke
Indonesia dan menang dalam pertempuran di Singosari (Malang) dengan meminta
banyak korban dari rakyat biasa. Beliau sangat terkejut dengan peristiwa itu,
sehingga terkena serangan stroke yang menyebabkan kematiannya.[9]
B. Karya K.H. Muhammd Hasyim Asy'ari
Tidak
banyak para ulama dari kalangan tradisional yang menulis buku. Akan tetapi
tidak demikian dengan Hasyim Asy’ari, tidak kurang dari sepuluh kitab
disusunnya, antara lain:[10]
1.
Adab
al Alim wa al Muta’allim fima Yahtaj ilah al Muta’alim fi Ahuwal Ta’allum wa ma
Yataqaff al Mu’allim fi Maqamat Ta’limih. Tatakrama
pengajar dan pelajar. Berisi tentang etika bagi para pelajar dan pendidik,
merupakan resume dari Adab al-Mu’allim karya Syekh Muhammad bin Sahnun (w.256
H/871 M); Ta’lim al-Muta’allim fi Thariq at-Ta’allum karya Syeikh Burhanuddin
al-Zarnuji (w.591 H); dan Tadzkirat al-Saml wa al-Mutakallim fi Adab al-‘Alim
wa al-Muta’allim karya Syeikh Ibn Jama’ah. Memuat 8 bab, diterbitkan oleh
Maktabah at-Turats al-Islamy Tebuireng. Di akhir kitab terdapat banyak
pengantar dari para ulama, seperti: Syeikh Sa’id bin Muhammad al-Yamani
(pengajar di Masjidil Haram, bermadzhab Syafii), Syeikh Abdul Hamid Sinbal Hadidi
(guru besar di Masjidil Haram, bermadzhab Hanafi), Syeikh Hasan bin Said
al-Yamani (Guru besar Masjidil Haram), dan Syeikh Muhammad ‘Ali bin Sa’id
al-Yamani.
2.
Ziyadat
Ta’liqat, Radda fiha Mandhumat al Syaikh “Abd Allah bin Yasin al Fasurani
Allati Bihujubiha “ala Ahl Jam’iyyah Nahdhatul Ulama.
Catatan seputar nadzam Syeikh Abdullah bin Yasin Pasuruan. Berisi polemik
antara Kiai Hasyim dan Syeikh Abdullah bin Yasir. Di dalamnya juga terdapat
banyak pasal berbahasa Jawa dan merupakan fatwa Kiai Hasyim yang pernah dimuat
di Majalah Nahdhatoel Oelama’. Tebal 144 halaman.
3.
Al
Tanbihat al Wajibat liman Yashna al Maulid al Munkarat Peringatan-peringatan
wajib bagi penyelenggara kegiatan maulid yang dicampuri dengan kemungkaran. Ditulis
berdasarkan kejadian yang pernah dilihat pada malam Senin, 25 Rabi’ al-Awwal
1355 H., saat para santri di salah satu pesantren sedang merayakan Maulid Nabi
yang diiringi dengan perbuatan mungkar, seperti bercampurnya laki-laki dan
perempuan, permainan yang menyerupai judi, senda gurau, dll. Pada halaman
pertama terdapat pengantar dari tim lajnah ulama al-Azhar, Mesir. Selesai
ditulis pada 14 Rabi’ at-Tsani 1355 H., terdiri dari 15 bab setebal 63 halaman,
dicetak oleh Maktabah at-Turats al-Islamy Tebuireng, cetakan pertama tahun 1415
H
4.
Al
Risalat al Jamiat, Sharh fiha Ahmaal al Mauta wa Asirath al sa’at ma’bayan Mafhum
al Sunnah wa al Bid’ah. Risalah Ahl Sunnah Wal Jama’ah
tentang hadis-hadis yang menjelaskan kematian, tanda-tanda hari kiamat, serta
menjelaskan sunnah dan bid’ah. Berisi 9 pasal.
5.
Al
Nur al Mubin fi Mahabbah Sayyid al Mursalin, bain fihi Ma’na al Mahabbah
Libasul Allah wa ma Yata’allaq biha Man Ittiba’iha wa Ihya al Sunnahih.
Cahaya yang jelas menerangkan cinta kepada pemimpin para rasul. Berisi dasar
kewajiban seorang muslim untuk beriman, mentaati, meneladani, dan mencintai
Nabi Muhammad SAW. Tebal 87 halaman, memuat biografi singkat Nabi SAW mulai
lahir hingga wafat, dan menjelaskan mu’jizat shalawat, ziarah, wasilah, serta
syafaat. Selesai ditulis pada 25 Sya’ban 1346 H., terdiri dari 29 bab.
6. Hasyiyah ‘ala Fath al Rahman bi
Syarth Risalat al Wali Ruslan li Syaikh al Islam Zakaria al Ansyari.
7.
Al
Duur al Muntasirah fi Masail al Tiss’I Asyrat, Sharth fiha Masalat al Thariqah
wa al Wilayah wa ma Yata’allq bihima min al Umur al Muhimmah li ahl thariqah. Mutiara
yang memancar dalam menerangkan 19 masalah. Berisi kajian tentang wali dan
thariqah dalam bentuk tanya-jawab sebanyak 19 masalah. Tahun 1970-an kitab ini
diterjemahkan oleh Dr. KH. Thalhah Mansoer atas perintah KH. M. Yusuf Hasyim,
dierbitkan oleh percetakan Menara Kudus. Di dalamnya memuat catatan editor
setebal xxxiii halaman. Sedangkan kitab aslinya dimulai dari halaman 1 sampai
halaman 29.
8.
Al
Tibyan fi al Nahy ‘an Muqathi’ah al Ihwan, bain fih Ahammiyat Shillat al Rahim
wa Dhurrar qatha’iha. Berisi tentang tata cara menjalin
silaturrahim, bahaya dan pentingnya interaksi sosial. Tebal 17 halaman, selesai
ditulis hari Senin, 20 Syawal 1360 H., penerbit Maktabah Al-Turats Al-Islami
Ma’had Tebuireng.
9. Al Risalah al Tauhidiyah, wahiya
Risalah Shaghirat fi Bayan ‘Aqidah Ahl Sunnah wa al Jamaah.
10. Al Walaid fi Bayan ma Yajib min
al’Aqaid.
11. Al-Risalah fi at-Tasawwuf.
Menerangkan tentang tashawuf; penjelasan tentang ma’rifat, syariat, thariqah,
dan haqiqat. Ditulis dengan bahasa Jawa, dicetak
bersama kitab al-Risalah fi al-‘Aqaid.
12. Al-Risalah fi al-’Aqaid.
Berbahasa Jawa, berisi kajian tauhid, pernah dicetak oleh Maktabah
an-Nabhaniyah al-Kubra Surabaya, bekerja sama dengan percetakan Musthafa
al-Babi al-Halabi Mesir tahun 1356 H./1937M. Dicetak bersama kitab Kiai Hasyim
lainnya yang berjudul Risalah fi at-Tashawwuf serta dua kitab lainnya karya
seorang ulama dari Tuban. Risalah ini ditash-hih oleh syeikh Fahmi Ja’far
al-Jawi dan Syeikh Ahmad Said ‘Ali (al-Azhar). Selelai ditash-hih pada hari
Kamis, 26 Syawal 1356 H/30 Desember 1937 M.
Selain kitab-kitab tersebut di atas,
terdapat beberapa naskah manuskrip karya KH. Muhammad Hasyim Asy'ari yang
hingga kini belum diterbitkan. Yaitu:
1.
Al-Risalah al-Jama’ah
2.
Tamyiz al-Haqq min al-Bathil
3.
al-Jasus fi Ahkam al-Nuqus
4.
Manasik Shughra
Di samping bergerak dalam dunia
pendidikan, Hasyim Asy’ari menjadi perintis dan pendiri organisasi
kemasyarakatan NU (Nahdhatul Ulama), sekaligus sebagai Rais Akbar. Pada bagian
lain, ia juga bersikap konfrontatif terhadap penjajah Belanda. Ia, misalnya
menolak menerima penghargaan dari pemerintah Belanda. Bahkan pada saat revolusi
fisik, ia menyerukan jihad melawan penjajah dan menolak bekerja sama dengannya.
Sementara pada masa penjajahan Jepang, ia sempat ditahan dan diasingkan ke
Mojokerta[11]
C. Hasyim Asy’ari; Organisasi dan
Pembaharuan Pendidikan
Meskipun
Hasyim Asy’ari boleh dibilang ulama salaf tradisional yang banyak berkiprah di
pesantren, namun beliau juga seorang organisatoris handal. Tercatat dalam
organisasi MIAI, yang selanjutnya berevolusi menjadi Masyumi, Hasyim Asy’ari
duduk di pucuk pimpinan. Dalam gerakan kepemudaan dan kelaskaran seperti GPII
Muslimat, Hizbullah, Sabillilah, Mujahiddin dan lain-lain, Hasyim Asy’ari
menjadi penasehat dan penganjurnya. Sementara berdirinya NU yang merupakan
lembaga keagamaan dan sosial terbesar di Indonesia juga tidak lepas dari campur
tangan Hasyim Asy’ari.
Selain
sukses di organisasi, KH. Hasyim Asy’ari juga sukses mengadakan pembaharuan di
bidang pendidikan, khususnya pesantren Tebuireng. Pembaharuan di Tebuireng yang
pertama kali adalah dengan pendirian Madrasah Salafiyah (1919) sebagai tangga
untuk memasuki tingkat menengah pesantren.[12]
Dalam Madrasah Salafiyah pengetahuan umum sudah mulai diajarkan, diantaranya:
1.
Membaca dan menulis huruf latin
2.
Mempelajari bahasa Indonesia
3.
Mempelajari ilmu bumi dan sejarah
Indonesia
4.
Mempelajari ilmu hitung
Kesemuanya ilmu tersebut diajarkan dengan
menggunakan buku-buku latin dan sejak saat itulah surat kabar mulai masuk ke
dalam pesantren dan dibaca oleh para kyai serta pelajar. Namun pembaharuan ini
tidak serta merta mendapat dukungan orang banyak. Bahkan banyak orang tua
santri yang menarik anaknya untuk pindah ke pesantren lain.[13]
D. Pemikiran Hasyim Asy’ari Dalam
Bidang Pendidikan
Hasyim Asy’ari yang dilahirkan dan
dibesarkan dalam lingkungan pesantren, serta banyak menuntut ilmu dan
berkecimpung secara langsung di dalamnya, di lingkungan pendidikan agama Islam
khususnya. Dan semua yang dialami dan dirasakan beliau selama itu menjadi
pengalaman dan mempengaruhi pola pikir dan pandangannya dalam masalah-masalah
pendidikan.
Salah satu karya monumental Hasyim
Asy’ari yang berbicara tentang pendidikan adalah kitabnya yang berjudul Adab al
Alim wa al Muta’allim fima Yahtaj ilah al Muta’alim fi Ahuwal Ta’allum wama
Yataqaff al Mu’allim fi Maqamat Ta’limih, namun dalam penulisan ini kami tidak
menemukakan kitab aslinya dan akhirnya banyak mengambil dari tulisan Samsul
Nizar dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam, dan buku-buku yang lain sebagai
penunjang.
Pembahasan terhadap masalah pendidikan
lebih beliau tekankan pada masalah etika dalam pendidikan, meski tidak
menafikan beberapa aspek pendidikan lainnya. Di antara pemikiran beliau dalam
masalah pendidikan adalah:
a. Signifikansi Pendidikan
Beliau menyebutkan bahwa tujuan utama ilmu
pengetahan adalah mengamalkan. Hal itu dimaksudkan agar ilmu yang dimiliki
menghasilkan manfaat sebagai bekal untuk kehidupan akhirat kelak. Terdapat dua
hal yang harus diperhatikan dalam menuntut ilmu, yaitu : pertama, bagi murid
hendaknya berniat suci dalam menuntut ilmu, jangan sekali-kali berniat untuk
hal-hal duniawi dan jangan melecehkannya atau menyepelikannya. Kedua, bagi guru
dalam mengajarkan ilmu hendaknya meluruskan niatnya terlebih dahulu, tidak
mengharapkan materi semata. Agaknya pemikiran beliau tentang hal tersebut di
atas, dipengaruhi oleh pandangannya akan masalah sufisme (tasawuf), yaitu salah
satu persyaratan bagi siapa saja yang mengikuti jalan sufi menurut beliau
adalah “niat yang baik dan lurus”.
Belajar menurut Hasyim Asy’ari merupakan ibadah
untuk mencari ridha Allah, yang mengantarkan manusia untuk memperoleh kebahagiaan
dunia dan akhirat. Karenanya belajar harus diniatkan untuk mengembangkan dan
melestarikan nilai-nilai Islam, bukan hanya untuk sekedar menghilangkan
kebodohan.[14]
Pendidikan hendaknya mampu menghantarkan umat
manusia menuju kemaslahatan, menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Pendidikan
hendaknya mampu mengembangkan serta melestarikan nilai-nilai kebajikan dan
norma-norma Islam kepada generasi penerus umat, dan penerus bangsa. Umat Islam
harus maju dan jangan mau dibodohi oleh orang lain, umat Islam harus berjalan
sesuai dengan nilai dan norma-norma Islam.
b. Tugas dan Tanggung Jawab Murid
1)
Etika yang harus diperhatikan dalam
belajar
Ø Membersihkan
hati dari berbagai gangguan keimanan dan keduniaan
Ø Membersihkan
niat, tidak menunda-nunda kesempatan belajar, bersabar dan qanaah
Ø Pandai
mengatur waktu
Ø Menyederhanakan
makan dan minum
Ø Berhati-hati
(wara’)
Ø Menghindari
kemalasan
Ø Menyedikitkan
waktu tidur selagi tidak merusak kesehatan
Ø Meninggalkan
hal-hal yang kurang berfaedah.[15]
Dalam hal ini terlihat, bahwa Hasyim
Asy’ari lebih menekankan kepada pendidikan ruhani atau pendidikan jiwa, meski
demikian pendidikan jasmani tetap diperhatikan, khususnya bagaimana mengatur
makan, minum, tidur dan sebagainya. Makan dan minum tidak perlu terlalu banyak
dan sederhana, seperti anjuran Rasulullah Muhammad saw. Serta jangan banyak
tidur, dan jangan suka bermalas-malasan. Banyakkan waktu untuk belajar dan
menuntut ilmu pengetahuan, isi hari-hari dan waktu yang ada dengan hal-hal yang
bermanfaat.
2) Etika seorang murid terhadap guru
Ø Hendaknya
selalu memperhatikan dan mendengarkan guru
Ø Memilih
guru yang wara’
Ø Mengikuti
jejak guru
Ø Memuliakan
dan memperhatikan hak guru
Ø Bersabar
terdapat kekerasan guru
Ø Berkunjung
pada guru pada tempatnya dan minta izin lebih dulu
Ø Duduk
dengan rapi bila berhadapan dengan guru
Ø Berbicara
dengan sopan dan lembut dengan guru
Ø Dengarkan
segala fatwa guru dan jangan menyela pembicaraannya
Ø Gunakan
anggota kanan bila menyerahkan sesuatu pada guru.[16]
Etika seperti tersebut di atas, masih
banyak dijumpai pada pendidikan pesantren sekarang ini, akan tetapi etika
seperti itu sangat langka di tengah budaya kosmopolit. Di tengah-tengah
pergaulan sekarang, guru dipandang sebagai teman biasa oleh murid-murid, dan
tidak malu-malu mereka berbicara lebih nyaring dari gurunya. Terlihat pula pemikiran
yang ditawarkan oleh Hasyim Asy’ari lebih maju. Hal ini, misalnya terlihat
dalam memilih guru hendaknya yang profesional, memperhatikan hak-hak guru, dan
sebagainya.
3) Etika murid terhadap pelajaran
Ø Memperhatikan
ilmu yang bersifat fardhu ‘ain
Ø Berhati-hati
dalam menanggapi ikhtilaf para ulama
Ø Mendiskusikan
dan menyetorkan hasil belajar pada orang yang dipercaya
Ø Senantiasa
menganalisa dan menyimak ilmu
Ø Bila
terdapat hal-hal yang belum dipahami hendaknya ditanyakan
Ø Pancangkan
cita-cita yang tinggi
Ø Kemanapun
pergi dan dimanapun berada jangan lupa membawa catatan
Ø Pelajari
pelajaran yang telah dipelajari dengan continue (istiqamah)
Ø Tanamkan
rasa antusias dalam belajar.[17]
Penjelasan tersebut di atas seakan
memperlihatkan akan sistem pendidikan di pesantren yang selama ini terlihat
kolot, hanya terjadi komunikasi satu arah, guru satu-satunya sumber pengajaran,
dan murid hanya sebagai obyek yang hanya berhak duduk, dengar, catat dan hafal
(DDCH) apa yang dikatakan guru. Namun pemikiran yang ditawarkan oleh Hasyim
Asy’ari lebih terbuka, inovatif dan progresif. Beliau memberikan kesempatan
para santri untuk mengambil dan mengikuti pendapat para ulama, tapi harus
hati-hati dalam menanggapi ikhtilaf para ulama.
Hal tersebut senada dengan pemikiran
beliau tentang masalah fiqh, beliau meminta umat Islam untuk berhati-hati pada
mereka yang mengklaim mampu menjalankan ijtihad, yaitu kaum modernis, yang
mengemukakan pendapat mereka tanpa memiliki persayaratan yang cukup untuk
berijtihad itu hanya berdasarkan pertimbangan pikiran semata. Beliau percaya
taqlid itu diperbolehkan bagi sebagian umat Islam, dan tidak boleh hanya
ditujukan pada mereka yang mampu melakukan ijtihad.[18]
c. Tugas Dan Tanggung Jawab Guru
1)
Etika seorang guru
Ø Senantiasa
mendekatkan diri pada Allah
Ø Takut
pada Allah, tawadhu’, zuhud dan khusu’
Ø Bersikap
tenang dan senantiasa berhati-hati
Ø Mengadukan
segala persoalan pada Allah
Ø Tidak
menggunakan ilmunya untuk meraih dunia
Ø Tidak
selalu memanjakan anak
Ø Menghindari
tempat-tempat yang kotor dan maksiat
Ø Mengamalkan
sunnah Nabi
Ø Mengistiqamahkan
membaca al- Qur’an
Ø Bersikap
ramah, ceria dan suka menabur salam
Ø Menumbuhkan
semangat untuk menambah ilmu
Ø Membiasakan
diri menulis, mengarang dan meringkas.[19]
Catatan yang menarik dan perlu
dikedepankan dalam membahas pemikiran dan pandangan yang ditawarkan oleh Hasyim
Asy’ari adalah etika atau statement yang terakhir, dimana guru harus
membiasakan diri menulis, mengarang dan meringkas, yang pada masanya jarang
sekali dijumpai. Dan hal ini beliau buktikan dengan banyaknya kitab hasil
karangan atau tulisan beliau.
Betapa majunya pemikiran Hasyim Asy’ari
dibanding tokoh-tokoh lain pada zamannya, bahkan beberapa tahun sesudahnya. Dan
pemikiran ini ditumbuh serta diangkat kembali oleh pemikir pendidik zaman
sekarang ini, yaitu Harun Nasution, yang mengatakan hendaknya para dosen-dosen
di Perguruan Tinggi Islam khususnya agar membiasakan diri untuk menulis.
2) Etika guru dalam mengajar
Ø Jangan
mengajarkan hal-hal yang syubhat
Ø Mensucikan
diri, berpakaian sopan dan memakai wewangian
Ø Berniat
beribadah ketika mengajar, dan memulainya dengan do’a
Ø Biasakan
membaca untuk menambah ilmu
Ø Menjauhkan
diri dari bersenda gurau dan banyak tertawa
Ø Jangan
sekali-kali mengajar dalam keadaan lapar, mengantuk atau marah
Ø Usahakan
tampilan ramah, lemah lembut, dan tidak sombong
Ø Mendahulukan
materi-materi yang penting dan sesuai dengan profesional yang dimiliki
Ø Menasihati
dan menegur dengan baik jika anak didik bandel
Ø Bersikap
terbuka terhadap berbagai persoalan yang ditemukan
Ø Memberikan
kesempatan pada anak didik yang datangnya terlambat dan ulangilah penjelasannya
agar tahu apa yang dimaksudkan
Ø Beri
anak kesempatan bertanya terhadap hal-hal yang belum dipahaminya.[20]
Terlihat bahwa apa yang ditawarkan
Hasyim Asy’ari lebih bersifat pragmatis, artinya, apa yang ditawarkan beliau
berangkat dari praktik yang selama ini dialaminya. Inilah yang memberikan nilai
tambah dalam konsep yang dikemukakan oleh Bapak santri ini.
Terlihat juga betapa beliau sangat
memperhatikan sifat dan sikap serta penampilan seorang guru. Berpenampilan yang
terpuji, bukan saja dengan keramahantamahan, tetapi juga dengan berpakaian yang
rapi dan memakai minyak wangi.
Agaknya pemikiran Hasyim Asy’ari juga
sangat maju dibandingkan zamannya, ia menawarkan agar guru bersikap terbuka,
dan memandang murid sebagai subyek pengajaran bukan hanya sebagai obyek, dengan
memberi kesempatan kepada murid-murid bertanya dan menyampaikan berbagai
persoalan di hadapan guru.
3) Etika guru bersama murid
Ø Berniat
mendidik dan menyebarkan ilmu
Ø Menghindari
ketidak ikhlasan
Ø Mempergunakan
metode yang mudah dipahami anak
Ø Memperhatikan
kemampuan anak didik
Ø Tidak
memunculkan salah satu peserta didik dan menafikan yang lain
Ø Bersikap
terbuka, lapang dada, arif dan tawadhu’
Ø Membantu
memecahkan masalah-masalah anak didik
Ø Bila
ada anak yang berhalangan hendaknya mencari ihwalnya.[21]
Kalau sebelumnya terlihat warna
tasawufnya, khususnya ketika membahas tentang tugas dan tanggung jawab seorang
pendidik. Namun kali ini gagasan-gagasan yang dilontarkan beliau berkaitan
dengan etika guru bersama murid menunjukkan keprofesionalnya dalam pendidikan.
Hal ini dapat dilihat dari rangkuman gagasan yang dilontarkannya tentang
kompetensi seorang pendidik, yang utamanya kompetensi profesional.
Hasyim Asy’ari sangat menganjurkan agar
seorang pendidik atau guru perlu memiliki kemampuan dalam mengembangkan metode
dan memberi motivasi serta latihan-latihan yang bersifat membantu
murid-muridnya memahami pelajaran. Selain itu, guru juga harus memahami
murid-muridnya secara psikologi, mampu memahami muridnya secara individual dan
memecahkan persoalan yang dihadapi murid, mengarahkan murid pada minat yang
lebih dicendrungi, serta guru harus bersikap arif.
Jelas pada saat Hasyim Asy’ari
melontarkan pemikiran ini, ilmu pendidikan maupun ilmu psikologi pendidikan
yang sekarang beredar dan dikaji secara luas belum tersebar, apalagi di
kalangan pesantren. Sehingga ke-genuin-an pemikiran beliau patut untuk
dikembangkan selaras dengan kemajuan dunia pendidikan.
4) Etika Terhadap Buku, Alat Pelajaran
dan Hal-hal Lain Yang Berkaitan Dengannya
Satu
hal yang menarik dan terlihat beda dengan materi-materi yang biasa disampaikan
dalam ilmu pendidikan umumnya, adalah etika terhadap buku dan alat-alat
pendidikan. Kalaupun ada etika untuk itu, namun biasanya hanya bersifat
kasuistik dan seringkali tidak tertulis, dan seringkali juga hanya dianggap
sebagai aturan yang umum berlaku dan cukup diketahui oleh masing-masing
individu. Akan tetapi bagi Hasyim Asy’ari memandang bahwa etika tersebut
penting dan perlu diperhatikan.
Di
antara etika tersebut adalah:
Ø Menganjurkan
untuk mengusahakan agar memiliki buku
Ø Merelakan
dan mengijinkan bila ada kawan meminjam buku pelajaran, sebaliknya bagi
peminjam menjaga barang pinjamannya
Ø Memeriksa
dahulu bila membeli dan meminjamnya
Ø Bila
menyalin buku syari’ah hendaknya bersuci dan mengawalinya dengan basmalah,
sedangkan bila ilmu retorika atau semacamnya, maka mulailah dengan hamdalah dan
shalawat Nabi.[22]
Kembali tampak kejelian dan ketelitian
beliau dalam melihat permasalahan dan seluk beluk proses belajar mengajar.
Etika khusus yang diterapkan untuk mengawali suatu proses belajar adalah etika
terhadap buku yang dijadikan sumber rujukan, apalagi kitab-kitab yang digunakan
adalah kitab “kuning” yang mempunyai keistimewaan atau kelebihan tersendiri. Agaknya
beliau memakai dasar epistemologis, ilmu adalah Nur Allah, maka bila hendak
mempelajarinya orang harus beretika, bersih dan sucikan jiwa. Dengan demikian
ilmu yang dipelajari diharapkan bermanfaat dan membawa berkah.
Pemikiran seperti yang dituangkan oleh
Hasyim Asy’ari itu patut untuk menjadi perhatian pada masa sekarang ini, apakah
itu kitab “kuning” atau tidak, misalnya kitab “kuning” yang sudah
diterjemahkan, atau buku-buku sekarang yang dianggap sebagai barang biasa,
kaprah dan ada di mana-mana. Namun untuk mendapatkan hasil yang bermanfaat
dalam belajar etika semacam di atas perlu diterapkan dan mendapat perhatian.
Demikian sebagian dari pemikiran
mengenai pendidikan yang dikemukan oleh Hasyim Asy’ari. Kelihatannya pemikiran
tentang pendidikan ini sejalan dengan apa yang sebelumnya telah dikemukakan
oleh Imam Ghazali, misalnya saja, Hasyim Asy’ari mengemukakan bahwa tujuan
utama pendidikan itu adalah mengamalkannya, dengan maksud agar ilmu yang
dimiliki menghasilkan manfaat sebagai bekal untuk kehidupan di akhirat kelak.
Imam Ghazali juga mengemukakan bahwa pendidikan pada prosesnya haruslah mengacu
kepada pendekatan diri kepada Allah dan kesempurnaan insani. Oleh karena itu
tujuan pendidikan menurut al-Ghazali adalah “Tercapainya kemampuan insani yang
bermuara pada pendekatan diri kepada Allah, dan kesempurnaan insani yang
bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat“.[23]Dan
senada pula dengan pendapat Ahmad D. Marimba bahwa, “pendidikan adalah
bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan
jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama”.[24]
Begitu juga pemikiran Hasyim Asy’ari
mengenai niat orang orang yang menuntut ilmu dan yang mengajarkan ilmu, yaitu
hendaknya meluruskan niatnya lebih dahulu, tidak meng-harapkan hal-hal duniawi
semata, tapi harus niat ibadah untuk mencari ridha Allah. Demikian juga dengan
al Ghazali yang berpendapat bahwa tujuan murid menuntut ilmu adalah mendekatkan
diri kepada Allah dan mensucikan batinnya serta memperindah dengan sifat-sifat
yang utama. Dan janganlah menjadikan ilmu sebagai alat untuk mengumpulkan harta
kekayaan, atau untuk mendapatkan kelezatan hidup dan lain sebagainya. Akan
tetapi tujuan utama adalah untuk kebahagiaan akhirat. Dan mengenai guru
al-Ghazali lebih keras, bahwa guru mengajar tidak boleh digaji.[25]
Mengenai etika seorang murid yang
dikemukakan Hasyim Asy’ari sejalan dengan pendapat al-Ghazali yang mengatakan
“hendaknya murid mendahulukan kesucian batin dan kerendahan budi dari
sifat-sifat tercela, seperti marah, hawa nafsu, dengki, busuk hati, takabur,
ujub dan sebagainya”.[26]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
K.H.Muhammad
Hasyim Asy’ari dilahirkan dari keturunan eliet kiai (pesantren) pada tanggal 24
Zulhijjah 1287H bertepatan 14 Pebruari 1871M, tepatnya sebelah Timur Jombang
Jawa Timur. Suasana kehidupan pesantren sangat mem-pengaruhi pembentukan
karakter Hasyim Asy’ari yang sederhana dan rajin belajar, belajar dari
pesantren ke pesantren di Jawa sampai ke Tanah Hijaz.
Sebagai
pendidik merupakan bagian yang yang terpisahkan dari perjalanan hidupnya sejak
usia muda. Setelah mengajar keliling dari pesantren orangtua hingga mertua,
pada tahun 1899 Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren sendiri, mewujudkan
cita-citanya di daerah Tebuireng Jombang, Jawa Timur.
Pemikiran
Hasyim Asy’ari dalam bidang pendidikan lebih menekankan pada etika dalam
pendidikan, meski tidak menafikan beberapa aspek pendidikan lainnya. Dalam hal
ini banyak dipengaruh dengan keahliannya pada bidang Hadits, dan pemikirannya
dalam bidang tasawuf dan fiqih yang sejalan dengan teologi al Asy’ari dan al
Maturidi. Juga searah dengan pemikiran al-Ghazali, yang lebih menekankan pada
pendidikan rohani. Misalnya belajar dan mengajar harus dengan ikhlas,
semata-mata karena Allah, bukan hanya untuk kepentingan dunia tetapi juga untuk
kebahagian di akhirat. Dan untuk mencapainya seseorang yang belajar atau
mengajar harus punya etika, punya adab dan moral, baik murid ataupun guru
sendiri.
K.H. Muhammad
Hasyim Asy'ari memandang pendidik sebagai pihak yang sangat penting dalam
pendidikan. Baginya, guru adalah sosok yang mampu mentransmisikan ilmu
pengetahuan disamping pembentuk sikap dan etika peserta didik.[27]
DAFTAR PUSTAKA
Al- Ghazali, Ihya Ulumuddin. Juz I. Singapure:
Sulaiman Mar’ie, t.th.
Daulay,
Haidar Putra. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia.
Jakarta: Kencana, 2007.
Dewan Redaksi. Ensiklopedia Islam. Jakarta, PT. Ichtiar
Baru Van Hoeve, 1997.
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren. Jakarta: LP3ES, 1982.
Dirdjosanjoto,
Pradjata. Memelihara Umat, Kiai
Pesantren-Kiai Langgar di Jawa. Yogyakarta: UKIS, 1999.
Fahmi, Asma Hasan. Sejarah dan Filsafat Pendididkan Islam.
Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Khairul
Fathoni, Muhammad Zen, NU Pasca Khittah,
Porspek Ukhuwah Dengan Muhammadiyah. Yogyakarta: Media Widya Mandala, 1992.
Khuluq,
Lathiful. Kebangkitan Ulama, Biografi K.H.Hasyim Asy’ari. Yogyakarta: LKIS,
2000.
Machfoedz,
Maksum. Kebangkitan Ulama dan Bangkitnya
Ulama. Surabaya: Yayasan Kesatuan Umat, 1982.
Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta:
Ciputat Press, 2002.
Marimba, Ahmad D. Pengantar
Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: al Ma’arif, 1989.
Sulaiman,
Fathiyah Hasan. Mazahib fi at Tarbiyah Bahtsun fi al Mazahibi at Tarbiyah ‘ind al
Ghazali. Alih bahasa Said Agil Husin al Munawar dan Hadri Hasan. Semarang:
Toha Putra, 1975.
Suwendi. Sejarah & Pemikiran Pendidikan Islam.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
Zuhairi dkk. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi
Aksara. 2004.
[1] Dewan Redaksi, Ensiklopedia Islam, (Jakarta, PT. Ichtiar
Baru Van Hoeve, 1997). hlm. 309
[2] Zamakhsyari Dhotier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES,
1982), hlm.85-88.
[3] Khoirul Fathoni & Muhamad
Zen, NU Pasca Khittah, (Yogyakarta:
Media Widia Mandala, 1992), hlm.25
[4] Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz I, (Singapura: Sulaiman Mar’ie, t.th), hlm.45-50.
[5] Samsul Nizar, Filsafat
Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm.152.
[6] Lathiful Khuluq, Kebangkitan
Ulama, Biografi K.H.Hasyim Asy’ari, (Yogyakarta: LKIS, 2000), hlm.14.
[7] Lathiful Khuluq, Kebangkitan Ulama, Biografi K.H.Hasyim
Asy’ari,. hlm. 16
[8] Lathiful Khuluq, Kebangkitan Ulama, Biografi K.H.Hasyim
Asy’ari,. hlm. 18
[9] Lathiful Khuluq, Kebangkitan Ulama, Biografi K.H.Hasyim
Asy’ari,. hlm.21
[10] Suwendi, Sejarah & Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2004), hlm. 141
[11] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam,. hlm.54.
[12] Zuhairi
dkk. Sejarah Pendidikan Islam. (Jakarta:
Bumi Aksara. 2004). hlm. 203.
[13]
Zuhairi dkk. Sejarah Pendidikan Islam,. hlm. 204.
[14] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam,. hlm.155-157.
[15] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam,. hlm.158.
[16]
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam,. hlm.159.
[17] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, hlm.161.
[18] Lathiful Khuluq, Kebangkitan Ulama,. hlm.55-61.
[19] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam.. hlm. 162.
[20] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam,. hlm. 163-165.
[21]
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam,. hlm.165-166.
[22]
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam,. hlm.167-168.
[23] Fathiyah Hasan Sulaiman, Mazahib fi at Tarbiyah Bahtsun fi al
Mazahibi at Tarbiyah ‘ind al Ghazali. Alih bahasa Said Agil Husin al Munawar dan
Hadri Hasan, (Semarang: Toha Putra, 1975), hlm.18.
[24] Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung:
al Ma’arif, 1989), hlm.19.
[25] Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendididkan Islam, (Bandung:
Bulan Bintang, 1979), hlm.167.
[26] Pradjata Dirdjosanjoto, Memelihara Umat, Kiai Pesantren-Kiai Langgar
di Jawa, (Yogyakarta: UKIS, 1999). hlm.135.
[27] Suwendi, Sejarah & Pemikiran,. hlm. 155
Tidak ada komentar:
Posting Komentar