BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pembahasan tentang dosa-dosa besar
mungkin saja dipahami sebagai sesuatu yang kurang penting.Alasannya, karena
semua orang sudah mengetahui tentang keharamannya.Dengan alasan ini kita tidak
harus sampai menjadikan beberapa kesempatan tertentu, seperti malam-malam
lailatul Qadar sebagai saat-saat khusus untuk mendiskusikan pembahasan semacam
itu.Khususnya, apabila orang-orang yang hadir dalam acara-acara tersebut tidak
termasuk ahli maksiat.Berdasarkan penjelasan di atas, pengetahuan tentang
perbuatan maksiat termasuk pengetahuan paling penting dalam lingkup
kemanusiaan.Terdapat poin penting yang perlu kita sebutkan di sini, yang
ironisnya tidak saja masyarakat awam sering melupakannya, bahkan kadang menjadi
objek keraguan di kalangan sebagian para tokoh.Poin penting tersebut adalah
bahwa pengetahuan tentang sifat-sifat terpuji dan tercela, dengan kalimat yang
lebih umum, yakni “akhlak” adalah sebuah pengetahuan dan tidak berbeda dengan
pengetahuan lainnya, akhlak pun perlu dipelajari.Bahkan ilmu akhlak termasuk
pengetahuan yang tak ternilai, karena membantu manusia mencapai tujuan hidupnya
yang bersinar.
Menurut definisi umum perbuatan
dosa, perbuatan melanggar hukum ini mungkin terjadi dalam berbagai bentuk
keadaan.Salah satunya dosa besar, dosa umum, dosa akhlak dan lain sebagainya.Berusaha
menghapus perbuatan dosa dari perjalanan hidup sehari-hari merupakan perjuangan
patriotis dan usaha yang sangat bernilai, yang akan terasa manfaatnya yang
nyata dan penuh berkah oleh pelakunya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah
macam-macam dosa sosial?
2.
Bagaimana cara
menghindari dosa-dosa sosial?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui macam-macam dosa sosial
2.
Untuk
mengetahui cara menghindari dosa-dosa sosial
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Dosa
Kata dosa tejemahan dari kata al-dzanb,
al-itsm,al-jurm,dan al-wizr. Sedangkan kata al-dzanb
di dalam beberapa kamus bahasa arab dijelaskan; memiliki makna yang sama dengan
al-itsm,
al-jurm, dan al-ma’shiyah, yakni perbuatan yang tidak halalDalam Ensiklopedi
Islam disebutkan : Dosa adalah perbuatan yang melanggar hukum, baik hukum Tuhan
(agama), hukum adat atau hukum negara.[1]Secara
istilah dosa dipahami sebagai pelanggaran terhadap hukum agama.Dalam istilah
fiqih, dosa berkaitan dengan siksa (penderitaan sebagai hukuman).
Ibn Manzhur mendefinisikan, dosa
adalah melakukan sesuatu yang tidak halal Al-Jurjani menjelaskan dalam kitabnya
al-Ta’rifat, :al-itsm adalah sesuatu yang harus
dijauhi menurut syari’at maupun naluri manusia. Al-Jurjani menjelaskan dalam
kitabnya al-Ta’rifat: al-itsm adalah sesuatu yang harus
dijauhi menurut syari’at maupun naluri manusia. Pengertian yang disampaikan
oleh Al-Jurjani ini berdekatan dengan pengertian al-itsm yang disampaikan oleh Nabi
Muhammad saw. bahwaal-itsm (dosa) adalah sesuatu
kebimbangan di dalam hati dan tidak mau dilihat orang lain.[2]
Perbedaan antara kata al-itsm,
al-dzanb,
dan al-jurm
dalam al-Qur’an :[3]
a.
Kata al-itsm banyak digunakan di dalam
al-Qur’an, yang memiliki makna dosa, yang diuraikan kesalahannya di dalam ayat
tersebut dan paling banyak terkait dengan dosa sosial.
b.
Kata al-dzanb banyak digunakan di dalam
al-Qur’an terkait dengan siksaan dan ampunan Allah swt. kepada pelakunya.
c.
Kata al-itsm sebagian besar tedapat
dalam surat al-Baqarah, surat yang banyak berbicara mengenai hukum dan sosial,
sementara kata al-dzanb banyak terdapat pada surat ghafir (Pengampun)
sesuai dengan kandungannya dan relevansinya, yakni berbicara mengenai siksaan
dan ampunan.
Perbedaan ma’na antara beberapa kata tersebut :[4]
a)
Perbedaan kata al-dzanb danal-jurm
menurut Abu Hilal Al-Askari adalah bahwa kata al-dzanb memiliki arti al-ittiba’
(mengikuti) maka berarti sesuatu kejelekan perbuatan seseorang yang
mengikutinya, sedangkan kata al-jurm memiliki arti putus, dengan
demikian maka berarti keburukan yang dengannya terputus suatu kewajiban.
b)
Perbedaan
antara al-itsm
dengan al-dzanb
adalah bahwa al-itsm memiliki ma’na kurang, oleh karena itu di dalam al-Qur’an al-khamr
disebut dengan itsm, karena al-khamr (perasan
anggur) yang memabukkan itu dapat mengurangi akal.
Dibawah ini
penulis akan memberikan beberapa macam dosa-dosa sosial diantaranya meliputi.
2.
Kesalahan-kesalahan
Lisan
a.
Gampang
menggunjing, mengadu domba dan mengolok-olok sifat atau akhlak kaum muslimin.
Semua hal ini adalah haram, tidak
boleh seorang muslim menganggap remeh masalah ini. Allah Swt berfirman:
“Dan janganlah sebagian kamu menggunjing
sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging
saudaranya yang sudah mati.Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.”(QS. Al-Hujuraat: 12).
Adapun masalah adu domba, Hudzaifah
berkata: Rasulullah Saw bersabda:
لاَيَدْخُلُ
الْجَنَّةَ نَمَّامَ
Adu domba haram hukumnya dan
merupakan dosa besar.Seorang pengadu domba adalah yang menguping pembicaraan
orang lalu menyampaikannya kepada orang yang tidak disukainya dengan tujuan
merusak hubungan mereka, atau dia sendiri membuat isu untuk merusak
persaudaraan.Kami memohon keselamatan kepada Allah.[5]
Mengolok kaum muslimin karena akhlak
mereka merupakan dosa besar, dan kadang bisa menjadi kekufuran.Hanya kepada
Allah sajalah tempat berlindung. Allah Swt berfirman:
Artinya: “Dan jika kamu tanyakan
kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan
manjawab, "Sesungguhnya Kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main
saja." Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya
kamu selalu berolok-olok?" Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir
sesudah beriman.”(QS. At-Taubah: 65-66)
Yang wajib dilakukan adalah
mencintai akhlak dan agama kaum muslimin serta petunjuk Nabi mereka, karena hal
itu merupakan tanda keimanan.Sedang menjadikan agama sebagai olok-olokan adalah
sebuah kekufuran.Hanya kepada Allah sajalah tempat berlindung.
b.
Mencerca, caci
maki dan melaknat.
Semua perbuatan ini terlarang hukumnya, dan bukan sifat kaum
mukminin seperti yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud r.a. dia berkata:
Rasulullah bersabda:
لَيْسَ
الْمُؤْمِنُ بِالطَّعَّانِ وَلاَ اللَّعَّانِ وَلاَ الْفَاحِشِ وَلاَ الْبَذِيْءِ
“Bukanlah seorang mukmin orang yang
suka mencela, melaknat, berkata keji dan kotor.”[Diriwayatkan oleh Ahmad dan Tirmidzi, dan Bukhari meriwayatkannya
dalam Al-Adab Al-Mufrad beserta sekelompok ulama dengan sanad jayyid].
Demikianlah pula halnya dengan
mencela dengan segala macamnya, hukumnya haram, berdasarkan sabda Rasulullah
Saw:
كُلُّ
الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
“Setiap muslim atas muslim yang lain
haram di ganggu jiwanya, hartanya dan kehormatannya.” [Muttafaq ‘Alaih].
Bukhari dan Muslim juga
meriwayatkan:
سِبَابُ
الْمُسْلِمِ فُسُوْقٌ
“Mencerca seorang muslim adalah
kefasikan.”
Dan dalam hadits Jabir bin Sulaim
bahwa Nabi Saw berkata padanya: “Janganlah kamu mencela siapapun!” Jabir
berkata: ”Setelah itu aku tidak pernah mencela seorang yang merdeka atau
seorang budak, dan tidak pula seekor unta ataupun kambing.[6]
c.
Mencela para
ulama dan menjadikan mereka sebagai bahan olok-olokan.
Tidak syak lagi mencela mereka
adalah perbuatan dosa besar lagi haram, dan tidak menutup kemungkinan
mengakibatkan kekufuran dan kemurtadan jika mencela mereka oleh sebab agama dan
keislaman mereka yang mereka pegang teguh.Hanya kepada Allah tempat berlindung
dari keadaan penghuni neraka. Allah Swt berfirman:
“Sesungguhnya
yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama”(QS. Fathir. 28).
Dan firman-Nya:
“Katakanlah:
"Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui." (QS. Az-Zumar:
9).
Barangsiapa yang disertakan oleh
Allah dengan dirinya beserta para malaikat dalam membuat pernyataan atas tauhid
dan kebenaran, wajib untuk dimuliakan dan dihormati karena keagamaan
mereka.Adapun cercaan atas mereka adalah celaan atas mereka.Jika hal tersebut
dilakukan karena agama mereka dank arena mereka membicarakan hokum-hukumnya,
maka perbuatan ini jelas merupakan kemurtadan jika pelakunya mengetahui hukum
ini.Adapun menjadikan mereka sebagai bahan olok-olokan karena agama mereka
adalah sebuah kekufuran juga.[7]
3.
Shilaturrahmi
a)
Tidak
berkunjung ke kerabat-kerabat
Bisa jadi perbuatan ini merupakan
pemutusan tali saliturrahmi. Padahal seorang muslim diperintahkan untuk
menyambung tali silaturrahmi. Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam shahih
mereka bahwa Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ
كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barangsiapa
yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia menyambung tali
silaturrahmi.”
Ganjaran menyambung tali
silaturrahmi adalah pahala, rezeki yang lapang dan umur yang panjang.
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik r.a. bahwa Rasulullah
SAW. bersabda:
مَنْ
أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِيْ رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِيْ أَثَرِهِ
فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barangsiuapa
ingin dilapangkan rizkinya dan diperpanjang umurnya, hendaklah ia menyambung
tali persaudaraannya.” [Diriwayatkan
oleh Bukhari dan Muslim, dan Bukhari meriwayatkan hadits lain yang senada dari
Abu Hurairah]. Dan tidak menyambung tali silaturrahmi merupakan pemutusan tali
silaturrahmi, Allah SWT berfirman:
“Maka Apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu
akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?Mereka
Itulah orang-orang yang dila'nati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan
dibutakan-Nya penglihatan mereka.”(QS.
Muhammad: 22-23).
Cukuplah ini sebagai motivasi untuk menyambung tali silaturrahmi
dan menjauhi pemutusan tali kekerabatan.
b)
Memutuskan tali
kekerabatan hanya karena masalah sepele.
Tidak boleh memutuskan hubungan
persaudaraan tanpa sebab, namun sebaliknya wajib untuk menyambungnya meskipun
kerabatmu menyakitimu.Seseorang disebut menyambung tali kekerabatan jika dia
menyambungnya sedang kerabatnya memutuskannya. Sebagaimana hadits yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan lainnya dari Abdullah bin Amru bin ‘Ash r.a.
bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:
لَيْسَ
الْوَاصِلُ بِالمُكَافِئِ وَ لَكِنَّ الْوَاصِلَ الَّذِيْ إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ
وَصَلَهَا
“Tidaklah
dinamakan menyambung tali silaturrahmi orang yang menyambungnya untuk membalas,
akan tetapi orang yang menyambung tali silaturrahmi adalah orang yang jika tali
kekerabatannya diputus, dia menyambungnya.”
Dan Muslim meriwayatkan dalam shahihnya dari Abu Hurairah bahwa
seorang laki-laki berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki kerabat
yang aku selalu menyambung hubungan dengan mereka namun mereka memutuskannya.
Aku berbuat baik kepada mereka namun mereka berlaku buruk terhadapku.Dan aku
bersikap lembut kepada mereka namun mereka berlaku kasar terhadapku.” Beliau
berkata: ”Jika benar apa yang kamu katakana, sesungguhnya kamu seolah
menaruh debu di mulut mereka. Allah senantiasa akan memberikan kamu kemenangan
atas mereka selama kamu berbuat kebaikan.”
4.
Durhaka Kepada
Kedua Orang Tua
Salah satu bentuk kabair (dosa
besar) yang sering terjadi pada sebagian para lelaki dan wanita adalah durhaka
kepada orang tua, menganiaya keduanya, menyia-nyiakan hak-hak keduanya dan
menyusahkan keduanya. Dari Abu Bakroh diriwayatkan bahwa ia berkata: Rasulullah
SAW bersabda, “Maukah aku tunjukkan kepada kalian tentang dosa besar
yang paling besar?”Kami menjawab “Tentu, ya Rasulullah.”Beliau bersabda,
“Syirik kepada Allah dan durhaka kepada kedua orang tua.”Ketika itu beliau
sedang bersandar, kemudian duduk seraya bersabda, ‘Juga ucapan dusta dan
saksi palsu’.
Diantara hal yang amat disayangkan
adalah kita melihat ada sebagian saudari-saudari kita yang baik hatinya, baik
pergaulannya, ramah, dan toleran kepada teman-teman putrinya.Namun terhadap
ibunya, dia justru berlaku kasar lagi bengis, keras hati, sedikit rasa
hormatnya, dan tidak serius dalam menunaikan hak-haknya.Dia keraskan suaranya
melebihi suara ibunya.Dia begitu perhitungan terhadap ibunya (dalam masalah
harta) sebagaimana memperlakukan anak kecil saja.Dia tentang perintah ibunya,
berlaku sewenang-wenang kepadanya dan meremehkan hak-haknya.Dia tidak tahu,
padahal ibunyalah manusia yang paling berjasa yang menjadi penyebab dirinya ada
di muka bumi ini, setelah Allah ta’ala.[8]
Dari Abu Hurairoh r.a. diriwayatkan
bahwa ia berkata, “seseorang pernah berkata, wahai Rasulullah! Siapakah
manusia yang paling berhak aku pergauli dengan baik”? Maka beliau
bersabda:
أُمُّكَ،
ثُمَّ أُمُّكَ، ثُمَّ أُمُّكَ، ثُمَّ أَبُوْكَ، ثُمَّ أَدْنَاكَ أَدْنَاكَ
“Ibumu,
kemudian ibumu, kemudian ibumu, kemudian bapakmu.Setelah itu, kerabatmu yang
paling dekat dan seterusnya.”(Shohih
Muslim).
Celakalah orang yang masih berjumpa dengan kedua orang tuanya atau
salah satu dari keduanya, namun bakti dan perbuatan baiknya kepada keduanya
tidak menjadikannya mendapat rahmat Allah dan dimasukkan ke dalam jannah (surga).
Dari Abu Hurairoh r.a. diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW
bersabda, “Celakalah, kemudian celakalah, kemudian celakalah.” Seseorang
bertanya, “Siapakah (orangnya), ya Rasulullah?” Beliau bersabda,
“Siapa saja yang mendapati kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya
sudah lanjut usia, namun tidak menyebakannya masuk ke dalam jannah.[9]
Duhai, di manakah gerangan orang yang mau mengikat keridhoan Allah
dengan keridhoan kedua orang tuanya, dan menggabungkan kebencian dan
kemurkaannya dengan kemurkaan keduanya? Dari Ibnu ‘Umar r.a. diriwayatkan bahwa
ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:
رِضَى
الرَّبِّ فِي رِضَى الْوَالِدِ، وَسَخَطُ الرَّبِّ فِي سَخَطِ الوَالِدِ
“Keridhoaan
Allah itu ada dalam keridhoan orang tua, dan kemurkaan Allah itu ada pada
kemurkaan orang tua.”
5.
Zina
Diantara dosa yang paling keji dan
kemaksiatan yang paling mengerikan yang biasa dilakukan sebagian kaum lelaki
dan wanita adalah melakukan perbuatan keji yang bernama zina dan terjerumus ke
dalam perilaku yang kotor. Allah ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kamu mendekati zina;
Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji.dan suatu jalan yang
buruk.”(Al-Isro’ [17] : 32).
Zina termasuk salah satu dosa besar,
pelakunya pasti mendapat hukuman dan adzab dari Allah Ta’ala baik di dunia
maupun di akhirat.Itu merupakan salah satu buah pahit dari lemahnya keimanan
terhadap Allah. Dari Abu Hurairoh r.a. diriwayatkan bahwa Nabi bersabda:
لاَيَزْنِي
الزَّانِي حِيْنَ يَزْنِي وَ هُوَ مُؤْمِنٌ
“Tidaklah
seorang pezina ketika berzina sementara ia dalam keadaan beriman.”
Masih dari Abu Hurairoh r.a. diriwayatkan bahwa ia berkata:
Rasulullah SAW bersabda:
إِذَا
زَنَا الرَّجُلُ خَرَجَ مِنْهُ الْإِيْمَانُ، فَكَانَ عَلَيْهِ كَالظُّلَّةِ،
فَإِذَا أَقْلَعَ رَجَعَ إِلَيْهِ الإٍيْمَانُ
“Jika
seseorang berzina, berarti imannya telah keluar dari dirinya.Pada waktu itu
imannya seperti awan.Jika dia berhenti, maka imannya akan kembali lagi
padanya.”[10]
Pelakunya akan mendapatkan hukuman di dunia ini berupa cambukan
seratus kali dan diasingkan selama satu tahun bagi para pezina yang belum
menikah (ghoiru mukhshon).Sedangkan bagi para pezina yang sudah mukhson
baik yang sudah menikah atau yang sudah menjanda (menduda), dirajam
(dilempari) dengan batu sampai mati.Pasalnya, dengan melakukan dosa ini,
berarti dia telah mengharamkan kebaikan dan barokah dari Rabbnya.
Allah telah menetapkan adzab di alam barzakh (kubur) bagi
mereka yang terjerumus di dalamnya jika belum bertaubat. Dari Samuroh bin
Jundab r.a. diriwayatkan bahwa ia berkata, “Nabi Muhammad SAW. apabila selesai
shalat, beliau biasa menghadapkan wajahnya kepada kami, lalu bertanya, ‘Siapa
di antara kalian yang bermimpi semalam?’ Perowi melanjutkan, “Jika ada yang
bermimpi, ia pun menceritakannya.Lantas beliau bersabda, ‘Ma sya Allah.”Pada
suatu hari, beliau bertanya kepada kami, ‘Apakah ada diantara kalian yang
bermimpi?’Kami menjawab, “Tidak.” Beliau bersabda, “Kalau aku sendiri, tadi
malam aku bermimpi ada dua orang laki-laki yang menemuiku, lantas membawaku
pergi ke sebuah daerah yang suci…”. (Lalu beliau menyebutkan hadits ini, sampai
pada sabda beliau), “…Kemudian kami beranjak menuju sebuah lubang seperti
tungku api yang sempit bagian atasnya dan luas bagian bawahnya yang sedang
dibakar di atas api. Apabila apinya didekatkan, maka meluaplah isi lubang
tersebut hingga hampir tumpah.Namun jika apinya dipadamkan, maka isi lubang
tersebut kembali masuk lagi.Di dalam lubang tersebut berisi kaum laki-laki dan
wanita yang telanjang.Lantas aku bertanya, “Siapakah mereka ini?”Kedua malaikat
itu menjawab, “Orang-oang yang Anda saksikan berada di dalam lubang tadi adalah
para pezina.”
Adapun di akhirat nanti, maka mereka akan mendapatkan adzab yang
pedih. Dari Abu Umamah r.a. diriwayatkan bahwa ia berkata : Saya pernah
mendengar Rasulullah SAW bersabda, “…Kemudian aku dibawa pergi.Tiba-tiba aku
telah berada di suatu kaum yang badanya sangat gemuk (menggembung) dan baunya
amat busuk seperti bau jamban.Aku bertanya, ‘Siapakah mereka itu?’ Malaikat
menjawab, ‘Mereka adalah para pezina laki-laki dan perempuan…’.
6.
Membunuh Jiwa
Allah berfirman:
“Dan Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin
dengan sengaja Maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah
murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (An-Nisa’ : 93).
Dan orang-orang yang tidak menyembah
ilah yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina. Maka
barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan)
dosanya, yakni akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia
akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang
bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh (Al-Furqan: 68-70).
Oleh karena itu kami tetapkan (suatu
hukum) bagi bani Israel, bahwa: barang siapa yang membunuh seorang manusia,
bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat
kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh seluruhnya.
(Al-Maidah: 32).
Apabila bayi-bayi perempuan yang
dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh. (At-Takwir: 8-9).
Nabi bersabda:
اجْتَنِبُوا
السَّبْعَ الْمُوْبِقَاتِ
“Jauhilah oleh kalian tujuh perkara
yang membinasakan.”
Lalu beliau menyebut salah satunya
membunuh seorang manusia yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan alasan yang
dibenarkannya.
Seseorang bertanya kepada Nabi “Dosa
apakah yang paling besar di sisi Allah ta’ala?”Beliau menjawab, “Apabila
kamu mengangkat tandingan bagi Allah, padahal Dia yang menciptakanmu.” Orang
itu bertanya lagi, “Lalu apa?”Beliau menjawab, “Kamu bunuh anakmu
karena khawatir akan makan bersamamu.” Orang itu bertanya lagi, “Lalu
apa?”Beliau menjawab, “Kamu berbuat zina dengan istri tetanggamu.”Lalu
Allah menurunkan pembenaran atas sabda Nabi tersebut;
Rasulullah SAW. bersabda:
إِذَا
الْتَقَى الْمُسْلِمَانِ بِسَيْفَيْهِمَا فَلْقَاتِلُ وَالْمَقْتُوْلُ فِي
النَّارِ قِيْلَ يَا رَسُوْلُ اللهِ هَذَا الْقَاتِلُ فَمَا بَالُ الْمَقْتُوْلِ
قَالَ إِنَّهُ كَانَ حَرِيْصًا عَلَى قَتْلِ صَاحِبِهِ
“Apabila
dua orang muslim bertemu dengan pedang terhunus, orang yang membunuh dan yang
terbunuh di neraka.”Seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, tentang yang
membunuh bisa dimengerti, bagaimana dengan yang terbunuh?”Beliau menjawab,
“Karena ia sebenarnya sangat ingin untuk membunuh temannya.”[11]
Abu Sulaiman r.a. memberi penjelasan, “Hadits ini berlaku jika dua
orang itu saling berbunuhan karena selain ta’wil. Artinya jika keduanya
berbunuhan karena kebencian yang ada diantara keduanya, ‘ashabiyyah, mencari
dunia, kekuasaan, atau derajat duniawi.Sedangkan orang yang memerangi ahlul-baghy
(kaum pemberontak terhadap amirul mukminin) sesuai dengan adab yang berlaku
dalam kasus itu, atau membela diri dan atau keluarganya, maka tidak termasuk ke
dalam pengertian hadits ini. Sebab berperang dalam rangka membela diri dengan
tanpa maksud membunuh itu diperintahkan, kecuali jika orang itu sangat ingin
membunuh orang yang membela diri, maka ia mesti melawannya; membunuhnya.
Barangsiapa membunuh pemberontak atau perampok sebenarnya ia tidak menginginkan
untuk membunuhnya. Senebarnya ia hanya membela diri. Oleh karena itu jika
pemberontak menghentikan tindakannya, tidak boleh diteruskan dan tidak boleh
pula dikejar.Hadits ini tidak membicarakan orang-orang itu.Adapun selain
orang-orang itu, artinya orang yang masuk ke dalam konteks hadits di atas, wallahu
a’alam.
7.
Mencuri
Allah SWT. berfirman:“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang
mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka
kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.” (AL-Maidah:
38).
Menjelaskan ayat diatas, Ibnu Syihab berkata, “Allah menjatuhkan
hukuman potong tangan bagi siapa saja yang mencuri harta orang lain.Allah maha
perkasa dalam menghukum si pencuri.Allah maha bijaksana dalam menetapkan
kewajiban potong tangannya itu.”
Rasulullah SAW. bersabda, “Tidaklah beriman seorang pezina kala
ia berzina. Tidaklah beriman seorang pencuri kala ia mencuri. Namun pintu
taubat senantiasa terbuka.”
Abdullah bin Umar meriwayatkan bahwa Nabi SAW. memotong tangan
seseorang yang mencuri perisai seharga tiga dirham. Aisyah r.a. berkata,
“Adalah Rasulullah SAW memotong tangan pencuri untuk pencurian seperempat dinar
atau lebih.”
Dalam satu riwayat disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Pencuri
tidak dipotong tangannya jika harga barang yang dicurinya lebih rendah dari
harga perisai.”Lalu Aisyah ditanya, “Berapakah harga perisai?”
“Seperempat dinar.” Jawabanya. Dalam riwayat yang lain beliau bersabda, “Potonglah
(tangan pencuri) dalam kasus pencurian senilai seperempat dinar dan jangan
kalian potong dalam kasus pencurian yang nilainya lebih rendah dari itu!” Seperempat
dinar pada saat itu sama dengan tiga dirham. Satu dinar berarti dua belas
dirham.Abu Hurairah r.a. meriwayatkan Rasulullah SAW bersabda:
لَعَنَ
اللهُ السَّارِقَ يَسْرِقُ الْبَيْضَةَ فَتُقْطَعُ يَدُهُ وَيَسْرِقُ الْحَبْلَ
فَتُقْطَعُ يَدُهُ
“Allah
melaknat seorang pencuri yang mencuri telur lalu dipotong tangannya dan mencuri
seutas tali lalu dipotong tangannya.”
Al-A’masy mengomentari hadits di atas mengatakan, “Para sahabat
menafsirkan sebutir telur dalam hadits tersebut dengan topi baja, dan seutas
tali sebagai tali yang nilainya sama dengan tiga dirham.”
Aisyah r.a. berkata, “Seorang wanita dari suku Makhzum
pernah meminjam barang, namun ia mengingkarinya. Lalu Nabi SAW. memerintahkan
untuk memotong tangannya. Keluarga wanita itu mendatangi Usamah membicarakan
bin Zaid untuk memintakan dispensasi kepada Nabi. Lalu Usamah membicarakan hal
itu kepada Nabi SAW mendengarnya, Nabi bersabda, “Wahai Usamah, aku tidak ingin
melihatmu memintakan dispensasi berkenaan dengan hukum had yang telah
ditetapkan oleh Allah. Setelah itu Nabi berdiri berkhutbah,
إِنَّمَا
أَهْلَكَ الَّذِيْنَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيْهِمُ
الشَّرِيْفُ تَرَكُوْهُ وَإِذَا سَرَقَ فِيْهِمُ الضَّعِيْفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ
الْحَدَّ وَايْمُ اللهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ
يَدَهَا
“Sesungguhnya
kebinasaan orang-orang sebelum kalian dahulu adalah karena membiarkan orang
mulia (bangsawan) yang mencuri tanpa dijatuhi hukuman. Sedangkan jika golongan
lemah mencuri, maka ia dijatuhi hukuman potong tangan. Demi Allah yang jiwaku
ada di tangannya, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, pasti aku potong
tangannya!”
Lalu tangan wanita dari suku Makhzum itu pun dipotong. Abdurrahman
bin jarir berkata, “Kami bertanya kepada Fadlalah bin Ubaid tentang
menggantungkan tangan pencuri di lehernya, adakah itu termasuk sunnah. Beliau
menjawab, seorang pencuri yang sudah dipotong tangannya dibawa menghadap Nabi
SAW kemudian beliau memerintahkan supaya tangan orang itu digantungkan
dilehernya.”
Para Ulama berkata, “Taubat seorang pencuri itu tidak
berguna kecuali jika ia mengembalikan barang yang telah dicurinya. Jika ia
sudah tidak mempunyai apa-apa lagi, maka ia harus meminta kehalalan apa yang
dicurinya kepada pemiliknya.[12]
8.
Niat untuk
Meninggalkan Perbuatann Dosa
Niat adalah substansi perbuatan.Dan
nilai suatu perbuatan bergantung pada motivasi dan niat pelakunya.Meninggalkan
perbuatan dosa dan menjauhi maksiat kepada Sang pencipta, seperti semua
perbuatan lainnya, mengikuti niat pelakunya. Tentu saja, apa yang penting pada tahapan
pertama adalah menyibukkan diri dengan perbuatan apapun sehingga terhindar dari
melakukan perbuatan dosa. Adapun pada tahapan selanjutnya yang penting adalah
menguatkan niat dan motivasi supaya lahir kesiapan bagi pertumbuhan dan
kesempurnaan ruh.
Motivasi-motivasi untuk meninggalkan
perbuatan dosa pada setiap orang yang bertakwa berbeda-beda. Di sini, akan
disebutkan sejumlah motivasi yang mendasar, yang masing-masing darinya di dalam
setiap diri memiliki derajat dan tahapan secara kualitas, sehingga jarak
kualitas antara niat-niat pada setiap orang untuk meninggalkan perbuatan dosa
dan beribadah di luar pemahaman akal manusia.
Ada
beberapa solusi yang dapat disodorkan di sini, di antaranya adalah:[13]
a)
Taubat dan istigfar:
Taubat bermakna kembali keharibaan Allah Swt disertai dengan niat dan tekad
untuk meninggalkan perbuatan dosa.
b)
Mengingat-ingat
dosa yang dilakukan.
c)
Mengingat Allah
Swt
d)
Adanya
keinginan dan tekad manusia (untuk tidak melakukan dosa).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Macam-macam
dosa sosial
Kesalahan-kesalahan Lisan
·
Gampang
menggunjing, mengadu domba dan mengolok-olok sifat atau akhlak kaum muslimin.
·
Mencerca, caci
maki dan melaknat.
·
Mencela para
ulama dan menjadikan mereka sebagai bahan olok-olokan.
Shilaturrahmi
·
Tidak
berkunjung ke kerabat-kerabat
·
Memutuskan tali
kekerabatan hanya karena masalah sepele.
Durhaka Kepada Kedua Orang Tua, zina, membunuh jiwa, mencuri.
2.
Niat untuk
Meninggalkan Perbuatann Dosa
Ada
beberapa solusi yang dapat disodorkan di sini, di antaranya adalah:
·
Taubat dan istigfar:
Taubat bermakna kembali keharibaan Allah Swt disertai dengan niat dan tekad
untuk meninggalkan perbuatan dosa.
·
Mengingat-ingat
dosa yang dilakukan.
·
Mengingat Allah
Swt
·
Adanya
keinginan dan tekad manusia (untuk tidak melakukan dosa).
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jurjani
Ali Ibn Muhammad Ibn Ali, 1405, Al-Ta’rifat, Beirut: Dar al-Kitab
al-Arabi Cet I.
Al-Naisaburi
Al-Hakim, 1411, Al-Mustadrak ala Al-Shahihain, Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiah.
Al-Dzahabi
Syamsuddin Al-Imam, 1994, Al-Kabair, Beirut: Dar al-Fikr.
Asy-Syaikh
Aalu Muhammad bin Aziz Abdul bin Shalih, 1408, Meneropong Dosa-Dosa
Tersembunyi, Solo: At-Tibyan.
Al-Ghomidi
Hajis bin Lathif Abdul, 2006, 100 Dosa yang di Remehkan Wanita, Solo:
Al-Qowam.
Adz-Dzahabi
Imam, 2007, Dosa-Dosa Besar, Solo: Pustaka Arafah.
Dawud
Abu, 1994, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.
http://AbdurRokhimHasan/Dosa/sosial/dalam/pandangan-Al-Qur’an.09/2012.htm. (Diakses 06 Desember 2014) jam 15.17.
[1] Abu Dawud,
Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,1994, Cet. Ke-3, Jilid
2), h. 318
[2] Ali Ibn
Muhammad Ibn Ali al-Jurjani, al-Ta’rifat, (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi,
1405),Cet. I, Juz I, h. 23
[3] Al-Hakim
Al-Naisaburi, Al-Mustadrak ala Al-Shahihain,
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1411) Juz 2, h. 17.
[4] Al-Imam
Syamsuddin al-Dzahabi, al-Kabair,(Beirut: Dar al-Fikr,
1994), h. 7
[5] Shalih bin
Abdul Aziz bin Muhammad Aalu Asy-Syaikh, Meneropong Dosa-Dosa Tersembunyi,
(Solo: At-Tibyan, 1408 H), h. 186
[6]Shalih bin
Abdul Aziz bin Muhammad Aalu Asy-Syaikh,Ibid, h. 189-197
[7] Ridha Ramdhani
Jailani, Tirani Diri Diagnosis Dosa dan Terapinya, (Jakarta: Al-Huda,
2009), h. 78
[8] Abdul Lathif
bin Hajis Al-Ghomidi, 100 Dosa Yang Diremehkan Wanita, (Solo: Al-Qowam,
2006), h. 229
[9] Abdul Lathif
bin Hajis Al-Ghomidi, Ibid, h. 230
[10]Shohih Sunan
Abi Dawud Jilid III dan Shohih Sunani At-Tirmidzi Jilid II, hlm. 330
[11] Imam
Adz-Dzahabi, Dosa-Dosa Besar, (Solo: Pustaka Arafah, 2007), h. 23-27
[12] Imam Adz
Dzahabi, Ibid, h. 159-161
[13]http://AbdurRokhimHasan/Dosa/sosial/dalam/pandangan-Al-Qur’an.09/2012.htm. (Diakses 06
Desember 2014) jam 15.17
Tidak ada komentar:
Posting Komentar