Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Minggu, 13 Mei 2018

MAKALAH DOSA DOSA SOSIAL


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pembahasan tentang dosa-dosa besar mungkin saja dipahami sebagai sesuatu yang kurang penting.Alasannya, karena semua orang sudah mengetahui tentang keharamannya.Dengan alasan ini kita tidak harus sampai menjadikan beberapa kesempatan tertentu, seperti malam-malam lailatul Qadar sebagai saat-saat khusus untuk mendiskusikan pembahasan semacam itu.Khususnya, apabila orang-orang yang hadir dalam acara-acara tersebut tidak termasuk ahli maksiat.Berdasarkan penjelasan di atas, pengetahuan tentang perbuatan maksiat termasuk pengetahuan paling penting dalam lingkup kemanusiaan.Terdapat poin penting yang perlu kita sebutkan di sini, yang ironisnya tidak saja masyarakat awam sering melupakannya, bahkan kadang menjadi objek keraguan di kalangan sebagian para tokoh.Poin penting tersebut adalah bahwa pengetahuan tentang sifat-sifat terpuji dan tercela, dengan kalimat yang lebih umum, yakni “akhlak” adalah sebuah pengetahuan dan tidak berbeda dengan pengetahuan lainnya, akhlak pun perlu dipelajari.Bahkan ilmu akhlak termasuk pengetahuan yang tak ternilai, karena membantu manusia mencapai tujuan hidupnya yang bersinar.
Menurut definisi umum perbuatan dosa, perbuatan melanggar hukum ini mungkin terjadi dalam berbagai bentuk keadaan.Salah satunya dosa besar, dosa umum, dosa akhlak dan lain sebagainya.Berusaha menghapus perbuatan dosa dari perjalanan hidup sehari-hari merupakan perjuangan patriotis dan usaha yang sangat bernilai, yang akan terasa manfaatnya yang nyata dan penuh berkah oleh pelakunya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah macam-macam dosa sosial?
2.      Bagaimana cara menghindari dosa-dosa sosial?
C.    Tujuan 
1.      Untuk mengetahui macam-macam dosa sosial
2.      Untuk mengetahui cara menghindari dosa-dosa sosial



BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pengertian Dosa
Kata dosa tejemahan dari kata al-dzanb, al-itsm,al-jurm,dan al-wizr. Sedangkan kata al-dzanb di dalam beberapa kamus bahasa arab dijelaskan; memiliki makna yang sama dengan al-itsm, al-jurm, dan al-ma’shiyah, yakni perbuatan yang tidak halalDalam Ensiklopedi Islam disebutkan : Dosa adalah perbuatan yang melanggar hukum, baik hukum Tuhan (agama), hukum adat atau hukum negara.[1]Secara istilah dosa dipahami sebagai pelanggaran terhadap hukum agama.Dalam istilah fiqih, dosa berkaitan dengan siksa (penderitaan sebagai hukuman).
Ibn Manzhur mendefinisikan, dosa adalah melakukan sesuatu yang tidak halal Al-Jurjani menjelaskan dalam kitabnya al-Ta’rifat, :al-itsm adalah sesuatu yang harus dijauhi menurut syari’at maupun naluri manusia. Al-Jurjani menjelaskan dalam kitabnya al-Ta’rifat: al-itsm adalah sesuatu yang harus dijauhi menurut syari’at maupun naluri manusia. Pengertian yang disampaikan oleh Al-Jurjani ini berdekatan dengan pengertian al-itsm yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw. bahwaal-itsm (dosa) adalah sesuatu kebimbangan di dalam hati dan tidak mau dilihat orang lain.[2]
Perbedaan antara kata al-itsm, al-dzanb, dan al-jurm dalam al-Qur’an :[3]
a.    Kata al-itsm banyak digunakan di dalam al-Qur’an, yang memiliki makna dosa, yang diuraikan kesalahannya di dalam ayat tersebut dan paling banyak terkait dengan dosa sosial.
b.    Kata al-dzanb banyak digunakan di dalam al-Qur’an terkait dengan siksaan dan ampunan Allah swt. kepada pelakunya.
c.    Kata al-itsm sebagian besar tedapat dalam surat al-Baqarah, surat yang banyak berbicara mengenai hukum dan sosial, sementara kata al-dzanb banyak terdapat pada surat ghafir (Pengampun) sesuai dengan kandungannya dan relevansinya, yakni berbicara mengenai siksaan dan ampunan.

Perbedaan ma’na antara beberapa kata tersebut :[4]
a)    Perbedaan kata al-dzanb  danal-jurm  menurut Abu Hilal Al-Askari adalah bahwa kata al-dzanb memiliki arti al-ittiba’ (mengikuti) maka berarti sesuatu kejelekan perbuatan seseorang yang mengikutinya, sedangkan kata al-jurm memiliki arti putus, dengan demikian maka berarti keburukan yang dengannya terputus suatu kewajiban.
b)   Perbedaan antara al-itsm dengan al-dzanb adalah bahwa al-itsm memiliki ma’na kurang, oleh karena itu di dalam al-Qur’an al-khamr disebut dengan itsm, karena al-khamr (perasan anggur) yang memabukkan itu dapat mengurangi akal.
Dibawah ini penulis akan memberikan beberapa macam dosa-dosa sosial diantaranya meliputi.
2.      Kesalahan-kesalahan Lisan
a.       Gampang menggunjing, mengadu domba dan mengolok-olok sifat atau akhlak kaum muslimin.
Semua hal ini adalah haram, tidak boleh seorang muslim menganggap remeh masalah ini. Allah Swt berfirman:
“Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati.Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.”(QS. Al-Hujuraat: 12).
Adapun masalah adu domba, Hudzaifah berkata: Rasulullah Saw bersabda:
لاَيَدْخُلُ الْجَنَّةَ نَمَّامَ
“Tidak masuk surga seorang yang suka mengadu domba.” [Muttafaq ‘Alaih].
Adu domba haram hukumnya dan merupakan dosa besar.Seorang pengadu domba adalah yang menguping pembicaraan orang lalu menyampaikannya kepada orang yang tidak disukainya dengan tujuan merusak hubungan mereka, atau dia sendiri membuat isu untuk merusak persaudaraan.Kami memohon keselamatan kepada Allah.[5]
Mengolok kaum muslimin karena akhlak mereka merupakan dosa besar, dan kadang bisa menjadi kekufuran.Hanya kepada Allah sajalah tempat berlindung. Allah Swt berfirman:
Artinya: “Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, "Sesungguhnya Kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja." Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?" Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman.”(QS. At-Taubah: 65-66)
Yang wajib dilakukan adalah mencintai akhlak dan agama kaum muslimin serta petunjuk Nabi mereka, karena hal itu merupakan tanda keimanan.Sedang menjadikan agama sebagai olok-olokan adalah sebuah kekufuran.Hanya kepada Allah sajalah tempat berlindung.
b.      Mencerca, caci maki dan melaknat.
Semua perbuatan ini terlarang hukumnya, dan bukan sifat kaum mukminin seperti yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud r.a. dia berkata: Rasulullah bersabda:
لَيْسَ الْمُؤْمِنُ بِالطَّعَّانِ وَلاَ اللَّعَّانِ وَلاَ الْفَاحِشِ وَلاَ الْبَذِيْءِ
“Bukanlah seorang mukmin orang yang suka mencela, melaknat, berkata keji dan kotor.”[Diriwayatkan oleh Ahmad dan Tirmidzi, dan Bukhari meriwayatkannya dalam Al-Adab Al-Mufrad beserta sekelompok ulama dengan sanad jayyid].
Demikianlah pula halnya dengan mencela dengan segala macamnya, hukumnya haram, berdasarkan sabda Rasulullah Saw:
كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
“Setiap muslim atas muslim yang lain haram di ganggu jiwanya, hartanya dan kehormatannya.” [Muttafaq ‘Alaih].
Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan:
سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوْقٌ
“Mencerca seorang muslim adalah kefasikan.”
Dan dalam hadits Jabir bin Sulaim bahwa Nabi Saw berkata padanya: “Janganlah kamu mencela siapapun!” Jabir berkata: ”Setelah itu aku tidak pernah mencela seorang yang merdeka atau seorang budak, dan tidak pula seekor unta ataupun kambing.[6]
c.       Mencela para ulama dan menjadikan mereka sebagai bahan olok-olokan.
Tidak syak lagi mencela mereka adalah perbuatan dosa besar lagi haram, dan tidak menutup kemungkinan mengakibatkan kekufuran dan kemurtadan jika mencela mereka oleh sebab agama dan keislaman mereka yang mereka pegang teguh.Hanya kepada Allah tempat berlindung dari keadaan penghuni neraka. Allah Swt berfirman:
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama”(QS. Fathir. 28).
Dan firman-Nya:
“Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui." (QS. Az-Zumar: 9).
Barangsiapa yang disertakan oleh Allah dengan dirinya beserta para malaikat dalam membuat pernyataan atas tauhid dan kebenaran, wajib untuk dimuliakan dan dihormati karena keagamaan mereka.Adapun cercaan atas mereka adalah celaan atas mereka.Jika hal tersebut dilakukan karena agama mereka dank arena mereka membicarakan hokum-hukumnya, maka perbuatan ini jelas merupakan kemurtadan jika pelakunya mengetahui hukum ini.Adapun menjadikan mereka sebagai bahan olok-olokan karena agama mereka adalah sebuah kekufuran juga.[7]
3.      Shilaturrahmi
a)      Tidak berkunjung ke kerabat-kerabat
Bisa jadi perbuatan ini merupakan pemutusan tali saliturrahmi. Padahal seorang muslim diperintahkan untuk menyambung tali silaturrahmi. Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam shahih mereka bahwa Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia menyambung tali silaturrahmi.”
Ganjaran menyambung tali silaturrahmi adalah pahala, rezeki yang lapang dan umur yang panjang. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik r.a. bahwa Rasulullah SAW. bersabda:
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِيْ رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِيْ أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barangsiuapa ingin dilapangkan rizkinya dan diperpanjang umurnya, hendaklah ia menyambung tali persaudaraannya.” [Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dan Bukhari meriwayatkan hadits lain yang senada dari Abu Hurairah]. Dan tidak menyambung tali silaturrahmi merupakan pemutusan tali silaturrahmi, Allah SWT berfirman:
“Maka Apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?Mereka Itulah orang-orang yang dila'nati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.”(QS. Muhammad: 22-23).
Cukuplah ini sebagai motivasi untuk menyambung tali silaturrahmi dan menjauhi pemutusan tali kekerabatan.
b)      Memutuskan tali kekerabatan hanya karena masalah sepele.
Tidak boleh memutuskan hubungan persaudaraan tanpa sebab, namun sebaliknya wajib untuk menyambungnya meskipun kerabatmu menyakitimu.Seseorang disebut menyambung tali kekerabatan jika dia menyambungnya sedang kerabatnya memutuskannya. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan lainnya dari Abdullah bin Amru bin ‘Ash r.a. bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:
لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالمُكَافِئِ وَ لَكِنَّ الْوَاصِلَ الَّذِيْ إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا
“Tidaklah dinamakan menyambung tali silaturrahmi orang yang menyambungnya untuk membalas, akan tetapi orang yang menyambung tali silaturrahmi adalah orang yang jika tali kekerabatannya diputus, dia menyambungnya.”
Dan Muslim meriwayatkan dalam shahihnya dari Abu Hurairah bahwa seorang laki-laki berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki kerabat yang aku selalu menyambung hubungan dengan mereka namun mereka memutuskannya. Aku berbuat baik kepada mereka namun mereka berlaku buruk terhadapku.Dan aku bersikap lembut kepada mereka namun mereka berlaku kasar terhadapku.” Beliau berkata: Jika benar apa yang kamu katakana, sesungguhnya kamu seolah menaruh debu di mulut mereka. Allah senantiasa akan memberikan kamu kemenangan atas mereka selama kamu berbuat kebaikan.
4.      Durhaka Kepada Kedua Orang Tua
Salah satu bentuk kabair (dosa besar) yang sering terjadi pada sebagian para lelaki dan wanita adalah durhaka kepada orang tua, menganiaya keduanya, menyia-nyiakan hak-hak keduanya dan menyusahkan keduanya. Dari Abu Bakroh diriwayatkan bahwa ia berkata: Rasulullah SAW bersabda, Maukah aku tunjukkan kepada kalian tentang dosa besar yang paling besar?Kami menjawab “Tentu, ya Rasulullah.”Beliau bersabda, “Syirik kepada Allah dan durhaka kepada kedua orang tua.”Ketika itu beliau sedang bersandar, kemudian duduk seraya bersabda, Juga ucapan dusta dan saksi palsu.
Diantara hal yang amat disayangkan adalah kita melihat ada sebagian saudari-saudari kita yang baik hatinya, baik pergaulannya, ramah, dan toleran kepada teman-teman putrinya.Namun terhadap ibunya, dia justru berlaku kasar lagi bengis, keras hati, sedikit rasa hormatnya, dan tidak serius dalam menunaikan hak-haknya.Dia keraskan suaranya melebihi suara ibunya.Dia begitu perhitungan terhadap ibunya (dalam masalah harta) sebagaimana memperlakukan anak kecil saja.Dia tentang perintah ibunya, berlaku sewenang-wenang kepadanya dan meremehkan hak-haknya.Dia tidak tahu, padahal ibunyalah manusia yang paling berjasa yang menjadi penyebab dirinya ada di muka bumi ini, setelah Allah ta’ala.[8]
Dari Abu Hurairoh r.a. diriwayatkan bahwa ia berkata, seseorang pernah berkata, wahai Rasulullah! Siapakah manusia yang paling berhak aku pergauli dengan baik? Maka beliau bersabda:
أُمُّكَ، ثُمَّ أُمُّكَ، ثُمَّ أُمُّكَ، ثُمَّ أَبُوْكَ، ثُمَّ أَدْنَاكَ أَدْنَاكَ
“Ibumu, kemudian ibumu, kemudian ibumu, kemudian bapakmu.Setelah itu, kerabatmu yang paling dekat dan seterusnya.”(Shohih Muslim).
Celakalah orang yang masih berjumpa dengan kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya, namun bakti dan perbuatan baiknya kepada keduanya tidak menjadikannya mendapat rahmat Allah dan dimasukkan ke dalam jannah (surga).
Dari Abu Hurairoh r.a. diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Celakalah, kemudian celakalah, kemudian celakalah.” Seseorang bertanya, Siapakah (orangnya), ya Rasulullah? Beliau bersabda, “Siapa saja yang mendapati kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya sudah lanjut usia, namun tidak menyebakannya masuk ke dalam jannah.[9]
Duhai, di manakah gerangan orang yang mau mengikat keridhoan Allah dengan keridhoan kedua orang tuanya, dan menggabungkan kebencian dan kemurkaannya dengan kemurkaan keduanya? Dari Ibnu ‘Umar r.a. diriwayatkan bahwa ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:
رِضَى الرَّبِّ فِي رِضَى الْوَالِدِ، وَسَخَطُ الرَّبِّ فِي سَخَطِ الوَالِدِ
“Keridhoaan Allah itu ada dalam keridhoan orang tua, dan kemurkaan Allah itu ada pada kemurkaan orang tua.”
5.      Zina
Diantara dosa yang paling keji dan kemaksiatan yang paling mengerikan yang biasa dilakukan sebagian kaum lelaki dan wanita adalah melakukan perbuatan keji yang bernama zina dan terjerumus ke dalam perilaku yang kotor. Allah ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji.dan suatu jalan yang buruk.”(Al-Isro’ [17] : 32).

Zina termasuk salah satu dosa besar, pelakunya pasti mendapat hukuman dan adzab dari Allah Ta’ala baik di dunia maupun di akhirat.Itu merupakan salah satu buah pahit dari lemahnya keimanan terhadap Allah. Dari Abu Hurairoh r.a. diriwayatkan bahwa Nabi bersabda:
لاَيَزْنِي الزَّانِي حِيْنَ يَزْنِي وَ هُوَ مُؤْمِنٌ
“Tidaklah seorang pezina ketika berzina sementara ia dalam keadaan beriman.”
Masih dari Abu Hurairoh r.a. diriwayatkan bahwa ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:
إِذَا زَنَا الرَّجُلُ خَرَجَ مِنْهُ الْإِيْمَانُ، فَكَانَ عَلَيْهِ كَالظُّلَّةِ، فَإِذَا أَقْلَعَ رَجَعَ إِلَيْهِ الإٍيْمَانُ
“Jika seseorang berzina, berarti imannya telah keluar dari dirinya.Pada waktu itu imannya seperti awan.Jika dia berhenti, maka imannya akan kembali lagi padanya.”[10]
Pelakunya akan mendapatkan hukuman di dunia ini berupa cambukan seratus kali dan diasingkan selama satu tahun bagi para pezina yang belum menikah (ghoiru mukhshon).Sedangkan bagi para pezina yang sudah mukhson baik yang sudah menikah atau yang sudah menjanda (menduda), dirajam (dilempari) dengan batu sampai mati.Pasalnya, dengan melakukan dosa ini, berarti dia telah mengharamkan kebaikan dan barokah dari Rabbnya.
Allah telah menetapkan adzab di alam barzakh (kubur) bagi mereka yang terjerumus di dalamnya jika belum bertaubat. Dari Samuroh bin Jundab r.a. diriwayatkan bahwa ia berkata, “Nabi Muhammad SAW. apabila selesai shalat, beliau biasa menghadapkan wajahnya kepada kami, lalu bertanya, ‘Siapa di antara kalian yang bermimpi semalam?’ Perowi melanjutkan, “Jika ada yang bermimpi, ia pun menceritakannya.Lantas beliau bersabda, ‘Ma sya Allah.”Pada suatu hari, beliau bertanya kepada kami, ‘Apakah ada diantara kalian yang bermimpi?’Kami menjawab, “Tidak.” Beliau bersabda, “Kalau aku sendiri, tadi malam aku bermimpi ada dua orang laki-laki yang menemuiku, lantas membawaku pergi ke sebuah daerah yang suci…”. (Lalu beliau menyebutkan hadits ini, sampai pada sabda beliau), “…Kemudian kami beranjak menuju sebuah lubang seperti tungku api yang sempit bagian atasnya dan luas bagian bawahnya yang sedang dibakar di atas api. Apabila apinya didekatkan, maka meluaplah isi lubang tersebut hingga hampir tumpah.Namun jika apinya dipadamkan, maka isi lubang tersebut kembali masuk lagi.Di dalam lubang tersebut berisi kaum laki-laki dan wanita yang telanjang.Lantas aku bertanya, “Siapakah mereka ini?”Kedua malaikat itu menjawab, “Orang-oang yang Anda saksikan berada di dalam lubang tadi adalah para pezina.”
Adapun di akhirat nanti, maka mereka akan mendapatkan adzab yang pedih. Dari Abu Umamah r.a. diriwayatkan bahwa ia berkata : Saya pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, “…Kemudian aku dibawa pergi.Tiba-tiba aku telah berada di suatu kaum yang badanya sangat gemuk (menggembung) dan baunya amat busuk seperti bau jamban.Aku bertanya, ‘Siapakah mereka itu?’ Malaikat menjawab, ‘Mereka adalah para pezina laki-laki dan perempuan…’.
6.      Membunuh Jiwa
Allah berfirman:
“Dan Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (An-Nisa’ : 93).
Dan orang-orang yang tidak menyembah ilah yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina. Maka barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosanya, yakni akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh (Al-Furqan: 68-70).
Oleh karena itu kami tetapkan (suatu hukum) bagi bani Israel, bahwa: barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh seluruhnya. (Al-Maidah: 32).
Apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh. (At-Takwir: 8-9).
Nabi bersabda:
اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوْبِقَاتِ
“Jauhilah oleh kalian tujuh perkara yang membinasakan.”
Lalu beliau menyebut salah satunya membunuh seorang manusia yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan alasan yang dibenarkannya.
Seseorang bertanya kepada Nabi “Dosa apakah yang paling besar di sisi Allah ta’ala?”Beliau menjawab, “Apabila kamu mengangkat tandingan bagi Allah, padahal Dia yang menciptakanmu.” Orang itu bertanya lagi, “Lalu apa?”Beliau menjawab, “Kamu bunuh anakmu karena khawatir akan makan bersamamu.” Orang itu bertanya lagi, “Lalu apa?”Beliau menjawab, “Kamu berbuat zina dengan istri tetanggamu.”Lalu Allah menurunkan pembenaran atas sabda Nabi tersebut;
Rasulullah SAW. bersabda:
إِذَا الْتَقَى الْمُسْلِمَانِ بِسَيْفَيْهِمَا فَلْقَاتِلُ وَالْمَقْتُوْلُ فِي النَّارِ قِيْلَ يَا رَسُوْلُ اللهِ هَذَا الْقَاتِلُ فَمَا بَالُ الْمَقْتُوْلِ قَالَ إِنَّهُ كَانَ حَرِيْصًا عَلَى قَتْلِ صَاحِبِهِ
                             
“Apabila dua orang muslim bertemu dengan pedang terhunus, orang yang membunuh dan yang terbunuh di neraka.”Seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, tentang yang membunuh bisa dimengerti, bagaimana dengan yang terbunuh?”Beliau menjawab, “Karena ia sebenarnya sangat ingin untuk membunuh temannya.”[11]
Abu Sulaiman r.a. memberi penjelasan, “Hadits ini berlaku jika dua orang itu saling berbunuhan karena selain ta’wil. Artinya jika keduanya berbunuhan karena kebencian yang ada diantara keduanya, ‘ashabiyyah, mencari dunia, kekuasaan, atau derajat duniawi.Sedangkan orang yang memerangi ahlul-baghy (kaum pemberontak terhadap amirul mukminin) sesuai dengan adab yang berlaku dalam kasus itu, atau membela diri dan atau keluarganya, maka tidak termasuk ke dalam pengertian hadits ini. Sebab berperang dalam rangka membela diri dengan tanpa maksud membunuh itu diperintahkan, kecuali jika orang itu sangat ingin membunuh orang yang membela diri, maka ia mesti melawannya; membunuhnya. Barangsiapa membunuh pemberontak atau perampok sebenarnya ia tidak menginginkan untuk membunuhnya. Senebarnya ia hanya membela diri. Oleh karena itu jika pemberontak menghentikan tindakannya, tidak boleh diteruskan dan tidak boleh pula dikejar.Hadits ini tidak membicarakan orang-orang itu.Adapun selain orang-orang itu, artinya orang yang masuk ke dalam konteks hadits di atas, wallahu a’alam.
7.      Mencuri
Allah SWT. berfirman:“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (AL-Maidah: 38).
Menjelaskan ayat diatas, Ibnu Syihab berkata, “Allah menjatuhkan hukuman potong tangan bagi siapa saja yang mencuri harta orang lain.Allah maha perkasa dalam menghukum si pencuri.Allah maha bijaksana dalam menetapkan kewajiban potong tangannya itu.”
Rasulullah SAW. bersabda, “Tidaklah beriman seorang pezina kala ia berzina. Tidaklah beriman seorang pencuri kala ia mencuri. Namun pintu taubat senantiasa terbuka.”
Abdullah bin Umar meriwayatkan bahwa Nabi SAW. memotong tangan seseorang yang mencuri perisai seharga tiga dirham. Aisyah r.a. berkata, “Adalah Rasulullah SAW memotong tangan pencuri untuk pencurian seperempat dinar atau lebih.”
Dalam satu riwayat disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Pencuri tidak dipotong tangannya jika harga barang yang dicurinya lebih rendah dari harga perisai.”Lalu Aisyah ditanya, “Berapakah harga perisai?” “Seperempat dinar.” Jawabanya. Dalam riwayat yang lain beliau bersabda, “Potonglah (tangan pencuri) dalam kasus pencurian senilai seperempat dinar dan jangan kalian potong dalam kasus pencurian yang nilainya lebih rendah dari itu!” Seperempat dinar pada saat itu sama dengan tiga dirham. Satu dinar berarti dua belas dirham.Abu Hurairah r.a. meriwayatkan Rasulullah SAW bersabda:
لَعَنَ اللهُ السَّارِقَ يَسْرِقُ الْبَيْضَةَ فَتُقْطَعُ يَدُهُ وَيَسْرِقُ الْحَبْلَ فَتُقْطَعُ يَدُهُ
“Allah melaknat seorang pencuri yang mencuri telur lalu dipotong tangannya dan mencuri seutas tali lalu dipotong tangannya.”
Al-A’masy mengomentari hadits di atas mengatakan, “Para sahabat menafsirkan sebutir telur dalam hadits tersebut dengan topi baja, dan seutas tali sebagai tali yang nilainya sama dengan tiga dirham.”
Aisyah r.a. berkata, Seorang wanita dari suku Makhzum pernah meminjam barang, namun ia mengingkarinya. Lalu Nabi SAW. memerintahkan untuk memotong tangannya. Keluarga wanita itu mendatangi Usamah membicarakan bin Zaid untuk memintakan dispensasi kepada Nabi. Lalu Usamah membicarakan hal itu kepada Nabi SAW mendengarnya, Nabi bersabda, “Wahai Usamah, aku tidak ingin melihatmu memintakan dispensasi berkenaan dengan hukum had yang telah ditetapkan oleh Allah. Setelah itu Nabi berdiri berkhutbah,
إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيْهِمُ الشَّرِيْفُ تَرَكُوْهُ وَإِذَا سَرَقَ فِيْهِمُ الضَّعِيْفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ وَايْمُ اللهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا
“Sesungguhnya kebinasaan orang-orang sebelum kalian dahulu adalah karena membiarkan orang mulia (bangsawan) yang mencuri tanpa dijatuhi hukuman. Sedangkan jika golongan lemah mencuri, maka ia dijatuhi hukuman potong tangan. Demi Allah yang jiwaku ada di tangannya, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, pasti aku potong tangannya!”
Lalu tangan wanita dari suku Makhzum itu pun dipotong. Abdurrahman bin jarir berkata, “Kami bertanya kepada Fadlalah bin Ubaid tentang menggantungkan tangan pencuri di lehernya, adakah itu termasuk sunnah. Beliau menjawab, seorang pencuri yang sudah dipotong tangannya dibawa menghadap Nabi SAW kemudian beliau memerintahkan supaya tangan orang itu digantungkan dilehernya.”
Para Ulama berkata, Taubat seorang pencuri itu tidak berguna kecuali jika ia mengembalikan barang yang telah dicurinya. Jika ia sudah tidak mempunyai apa-apa lagi, maka ia harus meminta kehalalan apa yang dicurinya kepada pemiliknya.[12]
8.      Niat untuk Meninggalkan Perbuatann Dosa
Niat adalah substansi perbuatan.Dan nilai suatu perbuatan bergantung pada motivasi dan niat pelakunya.Meninggalkan perbuatan dosa dan menjauhi maksiat kepada Sang pencipta, seperti semua perbuatan lainnya, mengikuti niat pelakunya. Tentu saja, apa yang penting pada tahapan pertama adalah menyibukkan diri dengan perbuatan apapun sehingga terhindar dari melakukan perbuatan dosa. Adapun pada tahapan selanjutnya yang penting adalah menguatkan niat dan motivasi supaya lahir kesiapan bagi pertumbuhan dan kesempurnaan ruh.
Motivasi-motivasi untuk meninggalkan perbuatan dosa pada setiap orang yang bertakwa berbeda-beda. Di sini, akan disebutkan sejumlah motivasi yang mendasar, yang masing-masing darinya di dalam setiap diri memiliki derajat dan tahapan secara kualitas, sehingga jarak kualitas antara niat-niat pada setiap orang untuk meninggalkan perbuatan dosa dan beribadah di luar pemahaman akal manusia. 
Ada beberapa solusi yang dapat disodorkan di sini, di antaranya adalah:[13]
a)      Taubat dan istigfar: Taubat bermakna kembali keharibaan Allah Swt disertai dengan niat dan tekad untuk meninggalkan perbuatan dosa.
b)      Mengingat-ingat dosa yang dilakukan.
c)      Mengingat Allah Swt
d)     Adanya keinginan dan tekad manusia (untuk tidak melakukan dosa).


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
1.      Macam-macam dosa sosial
Kesalahan-kesalahan Lisan
·         Gampang menggunjing, mengadu domba dan mengolok-olok sifat atau akhlak kaum muslimin.
·         Mencerca, caci maki dan melaknat.
·         Mencela para ulama dan menjadikan mereka sebagai bahan olok-olokan.
Shilaturrahmi
·         Tidak berkunjung ke kerabat-kerabat
·         Memutuskan tali kekerabatan hanya karena masalah sepele.
Durhaka Kepada Kedua Orang Tua, zina, membunuh jiwa, mencuri.
2.      Niat untuk Meninggalkan Perbuatann Dosa
Ada beberapa solusi yang dapat disodorkan di sini, di antaranya adalah:
·         Taubat dan istigfar: Taubat bermakna kembali keharibaan Allah Swt disertai dengan niat dan tekad untuk meninggalkan perbuatan dosa.
·         Mengingat-ingat dosa yang dilakukan.
·         Mengingat Allah Swt
·         Adanya keinginan dan tekad manusia (untuk tidak melakukan dosa).


DAFTAR PUSTAKA

Al-Jurjani Ali Ibn Muhammad Ibn Ali, 1405, Al-Ta’rifat, Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi Cet I.
Al-Naisaburi Al-Hakim, 1411, Al-Mustadrak ala Al-Shahihain, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah.
Al-Dzahabi Syamsuddin Al-Imam, 1994, Al-Kabair, Beirut: Dar al-Fikr.
Asy-Syaikh Aalu Muhammad bin Aziz Abdul bin Shalih, 1408, Meneropong Dosa-Dosa Tersembunyi, Solo: At-Tibyan.
Al-Ghomidi Hajis bin Lathif Abdul, 2006, 100 Dosa yang di Remehkan Wanita, Solo: Al-Qowam.
Adz-Dzahabi Imam, 2007, Dosa-Dosa Besar, Solo: Pustaka Arafah.
Dawud Abu, 1994, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.



[1] Abu Dawud, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,1994, Cet. Ke-3, Jilid 2), h. 318
[2] Ali Ibn Muhammad Ibn Ali al-Jurjani, al-Ta’rifat, (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1405),Cet. I, Juz I, h. 23
[3] Al-Hakim Al-Naisaburi, Al-Mustadrak ala Al-Shahihain, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1411)  Juz 2, h. 17.
[4] Al-Imam Syamsuddin al-Dzahabi, al-Kabair,(Beirut: Dar al-Fikr, 1994), h. 7
[5] Shalih bin Abdul Aziz bin Muhammad Aalu Asy-Syaikh, Meneropong Dosa-Dosa Tersembunyi, (Solo: At-Tibyan, 1408 H), h. 186
[6]Shalih bin Abdul Aziz bin Muhammad Aalu Asy-Syaikh,Ibid, h. 189-197
[7] Ridha Ramdhani Jailani, Tirani Diri Diagnosis Dosa dan Terapinya, (Jakarta: Al-Huda, 2009), h. 78
[8] Abdul Lathif bin Hajis Al-Ghomidi, 100 Dosa Yang Diremehkan Wanita, (Solo: Al-Qowam, 2006), h. 229
[9] Abdul Lathif bin Hajis Al-Ghomidi, Ibid, h. 230
[10]Shohih Sunan Abi Dawud Jilid III dan Shohih Sunani At-Tirmidzi Jilid II, hlm. 330
[11] Imam Adz-Dzahabi, Dosa-Dosa Besar, (Solo: Pustaka Arafah, 2007), h. 23-27
[12] Imam Adz Dzahabi, Ibid, h. 159-161

Tidak ada komentar:

Posting Komentar