BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ketika dunia Islam mengalami perpecahan politik pada awal abad
ke-13, muncul sebuah dinasti di Mesir yang membawa warna baru dalam sejarah
politik Islam. Dinasti itu bernama Mamluk, sering juga disebut Mamalik. Posisi Dinasti
Mamluk dalam sejarah peradaban Islam sangatlah penting karena momentum
keberadaannya di abad pertengahan (abad ke 7-11 H/13-17 M), di mana sejarah
pada masa ini umumnya kurang mendapatkan perhatian karena banyaknya distorsi
sejarah yang terjadi, sebagaimana diungkap Maria Rosa Monecal: “In the popular
imagination and even in the vision of most well-educated people, the very
adjective ‘medieval’ is often a synonim for unenlightened, backward dan
intelorant culture”. Penulis Barat ini menyatakan, abad pertengahan adalah masa
kegelapan dan keterbelakangan, sehinga para sejarawan kurang memperhatikan era
ini. Demikian pula dalam beberapa literatur Islam, masa ini dipersepsikan
sebagai masa kemunduran peradaban Islam.
Ketika Dinasti Abbasiyah jatuh dan secara politik kekuasaannya
runtuh, para sejarawan mengatakan bahwa masa setelah itu adalah masa kemunduran
politik Islam. Periodisasi dengan cara ini dapat dikatakan sebagai
khilafah-sentris, tentang kesatuan khilafah yang memimpin seluruh wilayah umat
Islam. Tetapi ketika wilayah Islam semakin luas dan banyak bermunculan
dinasti-dinasti lain, maka teori satu khilafah ini dengan sendirinya tidak
relevan lagi. Terbukti pada Dinasti Mamluk, politik Islam masih kuat dan
peradaban Islam tetap berkembang di berbagai segi kehidupan.
Karena dinasti Mamluk terhindar dari kehancuran akibat serangan
Mongol, maka persambungan perkembangan peradaban dengan masa klasik relatif
terlihat dan beberapa di antara prestasi yang pernah dicapai pada masa klasik
bertahan di Mesir. Walaupun demikian, kemajuan yang dicapai oleh dinasti ini,
masih di bawah prestasi yang pernah dicapai oleh umat Islam pada masa klasik.
Dinasti Mamluk memiliki sejarah yang unik dari masa pembentukan, kejayaan dan
keruntuhunnya. Sebagai dinasti yang didirikan olek para mamluk (budak), Dinasti
Mamluk mencapai banyak prestasi. Untuk itu perlu dikaji kembali tentang sejarah
Dinasti Mamluk, khususnya sejarah sosial pendidikan yang berkembang pada masa
Dinasti Mamluk.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
proses terbentuknya Dinasti Mamluk?
2.
Bagaimana
Perwatakan Dinasti Mamluk dalam sistem pemerintahan?
3.
Bagaimana peran
Dinasti Mamluk dalam menjaga peradaban di Mesir?
4.
Apa sajakah
faktor-faktor yang mempengaruhi kemunduran Dinasti Mamluk?
C.
Tujuan
1.
Menjelaskan
proses terbentuknya Dinasti Mamluk.
2.
Mendeskripsikan
Perwatakan Dinasti Mamluk dalam sistem pemerintahan.
3.
Mendeskripsikan
peran Dinasti Mamluk dalam menjaga peradaban di Mesir.
4.
Menjelaskan
faktor-faktor yang mempengaruhi kemunduran Dinasti Mamluk.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Proses Terbentuknya
Dinasti Mamluk
Kata Mamluk adalah bentuk mufrad dari kata Mamalik dan Mamlukun
yang berarti budak atau hamba yang dibeli dan dididik dengan sengaja agar
menjadi tentara dan pegawai pemerintah. Seorang Mamluk berasal dari ibu bapak
yang merdeka, bukan dari budak atau hamba sahaya. Berbeda dengan ‘abd, yang
dilahirkan oleh ibu bapak yang juga berstatus sebagai hamba yang kemudian
dijual. Perbedaan lain adalah Mamluk biasanya berkulit putih, sedangkan ‘abd
berkulit hitam.[1]
Sebagian Mamluk berasal dari Mesir, yaitu golongan budak yang dimiliki para
sultan dan amir pada masa kesultanan Bani Ayyub. Para Mamluk Dinasti Ayyubiyah
ini berasal dari Asia Kecil, Persia, Turkistan dan Asia Tengah. Mereka terdiri
dari suku-suku bangsa Turki, Rusia, Kurdi, Syracuse dan bagian kecil dari
bangsa Eropa.
Sebutan Mamluk bermakna hamba sahaya. Hal ini disebabkan para
panglima yang memegang kekuasaan ketentaraan dewasa itu berasal dari hamba
sahaya yang dibeli lalu diasuh semenjak kecil dan dilatih, terdiri atas berbagai
keturunan kebangsaan. Mereka menjadi pejuang-pejuang Islam yang perkasa.[2]
Kaum Mamluk berkuasa di Mesir sampai tahun 1517 M. merekalah yang
membebaskan Mesir dan Suria dari peperangan Salib dan juga membendung
serangan-serangan kaum Mongol di bawah pimpinan Hulagu dan Timur Lenk, sehingga
Mesir terlepas dari penghancuran-hancuran seperti yang terjadi di dunia Islam
lain.[3]
Mereka pada mulanya adalah orang-orang yang ditawan oleh penguasa
dinasti Ayyubiyah sebagai budak, kemudian didik dan dijadikan tentaranya.
Mereka ditempatkan pada kelompok tersendiri yang terpisah dari masyarakat. Oleh
penguasa Ayyubiyah yang terakhir, Al-Malik Al-Salih, mereka dijadikan pengawal
untuk menjamin kelangsungan kekuasaannya. Pada penguasa ini mereka mendapat
hak-hak istimewa, baik dalam karier
ketentaraan maupun dalam imbalan-imbalan material.[4]
Mamluk adalah sebuah rezim yang dikendalikan oleh pasukan budak,
inemerintah Mesir, Suria, Asia kecil tenggara dan Arab barat (hijaz).[5]Dinasti
Mamluk di Mesir adalah adalah dinasti terakhir di dunia Arab untuk abad
pertengahan 1 250-1800 M). Philip K. Hitti menyebutkan bahwa dinasti Mamluk
adalah dinasti yang luar biasa karena dinasati di dihimpun dan budak-budak yang
berasal dan berbagai ras yang dapat membentuk suatu pemerintahan oligarki di
suatu negara yang bukan tumpah darah mereka. Sultan-sultan yang berasal dan
budak-budak inii pantas diacungi jempol karena keberhasilannya mendirikan suatu
kerajaan yang kokoh dan kuat. Dinasti Mamluk di Mesir rnulai bangkit bersamaan
dengan runtuhnya kekuasaan Islam di Bagdad dan pengunduran Islam di Spanyol.
Dinasti ini dikenal pula dengan nama Daulat al-Atrak yang pada perkembangan
selanjutnya, wilayah kekuasaannya meiiputi Mesir dan Syiria.
Kaum Mamluk adalah para imigran Mesir yang pada awalnya merupakan
budak-budak yang datang dan daerah pegunungan Kaukasus dan laut Kaspia. Mereka
ditempatkan di barak-barak militer pulau Raudoh di sungai Nil untuk dilatih dan
dididik secara baik. Ditempat inilah mereka diajari membaca, menulis dan pengetahuan
kemiliteran, bahkan diberi pendidikan agama. Kaum Mamluk yang ditempatkan di
sungai Nil disebut Mamluk al-Bahriyun dan kaum Mamluk yang ditempatkan di
benteng-benteng istana dikota Kairo disebut Mamluk al-Burjiyun.
Terbentuknya dinasti Mamluk di Mesir tidak dapat dipisahkan dan
dinasti Ayyubiyah ketika terjadi perebutan kekuasaan antara al-Malik as-Shalih
dan al-Malik al-Kamil. Dalam perebutan kekuasaan ini, para tentara yang berasal
dan suku Kurdi memihak kepada al-Malik al-Kamil, sementara para budak yang
tergabung dalam Mamluk Bahri mendukung al-Malik as-Shalih. Dalam perebutan
kekuasaan ini, al-Malik as-Shalih mampu mengalahkan al-Malik al-Kamil. Sejak
saat itulah kaum Mamluk rnempunyai pengaruh yang besar dalam bidang kemiliteran
dan pemerintahan. Perhatian al-Malik as-Shalib begitu besar kepada kaum Mamluk
sehingga banyak di antara mereka ditempatkan pada kelompok-kelompok elit yang
terpisah dan masyarakat atau kelompok meliter lainnya. Perlakuan ini sebenarnya
menguntungkan kedua belah pihak karena kehadiran kaum Mamluk memberikan jaminan
bagi berlangsungnya kekuasaan al-Malik as-Shalib, sedangkan periakuan yang
istimewa terhadap budak-budak itu bisa membenikan kemudahan dalam peningkatan
karir mereka dan imbalan-imbalan materil lainnya
Al-Malik as-Shalih rneninggal pada 1429 M setelah menderita sakit
dan timbul kekacauan-kekacauan di berbagai daerah. Kematian as-Shalih
dirahasiakan oleh isterinya (Syajarat al-Dur), kemudian putera mahkota
as-Shalih yang bernama Turansyah memegang tampuk kekuasaan. Namun, kaum Mamluk
Bahri menganggap bahwa Turansyah bukan orang yang dekat dengan mereka. Selain
itu, Turansyah juga dianggap tidak tepat untuk rnenduduki pucuk kekhalifĂ han
karena lebih banyak bermukim di Euprat. Oleh karena itu ia dianggap tidak
menguasai seluk beluk Mesir secara keseluruhan. Setelah itu diangkatlah
Syajarat al-Dur sebagai Sultan mereka. Dan sinilah awal terbentuknya dinasti
Mamluk di Mesir yang dipimpin oleh seorang budak dan berakhirlah dinasti
Ayyubiyah menguasai Mesir.[6]
Para budak mengangkat Syajarat al-Dur sebagai pemimpin mereka
dengan pertimbangan sama-sama berdarah budak dan diharapkan akan membela
kepentingannya. Alasan lain pengangkatan Syajarat al-Dur karena adanya
pertentangan atau persaingan di kalangan kaum Mamluk itu sendiri. Sebenarnya
terdapat beberapa orang yang berambisi untuk menjadi sultan, seperti Aybak,
Baybar dan Qutuz. Dengan dukungan para Amir Aybak disepakati menjadi wakil
al-Dur dalam mengendalikan tugas-tugas pemerintahannya. Namun, dikemudian dan Aybak
pun mengawini al-Dur dan bertindak sebagi Sultan dengan gelar al-Muiz al-Din.
Tetapi akhirnya Aybak dibunuh di kamar mandi oleh al-Dur karena ia ketahuan
ingin menyingkirkan al-Dur sendiri. Kemudian kekuasaan berpindah ke tangan anak
Aybak yang bernama Ali bin Aybak dalam usia yang sangat muda, akan tetapi
kekuasaannya hanya sekedar mengisi kekosongan karena yang memegang kendali
pemerintahan adalah Qutuz yang bertindak sebagai wakil sultan. Akhirnya Ali bin
Aybak pun mengundurkan diri karena merasa tidak mampu untuk menduduki
jabatannya dan secara otomatis Qutuzlah yang menjadi penguasa.
Dimasa pemerintahan Qutuz, dinasti Mamluk mendapat ancaman dan
tentara Mongol. Mereka telah menghancurkan Bagdad dan maju ke sungai Euprat
menuju Syiria dan selanjutnya melintasi gurun Sinai menuju Mesir. Sebelum
menyerbu Mesir, tentara Mongol yang dipimpin Kitbuga meminta kepada Qutuz untuk
menyerah kepada Hulagu di Bagdad, akan tetapi Qutuz menolak perrnintaan itu
bahkan membunuh utusannya.Tentara Mongol dengan diperkuat oleh Armenia dan
Georgia melintasi Yordania menuju Galilea, tentara Mamluk di bawah komando
Qutuz dan aybar bergerak ke arah teuggara menghadang tentara Mongol sampai
kemudian terjadilah perang di Ainjalut yang berakhir dengan kekalahan tentara
Mongol. Peristiwa di Ainjalut ini sekaligus menghapus mitos bahwa tentara
Mongol tidak dapat dikalahkan. Kemenangan di Ainjalut juga membangkitkan
semangat Islam di wilayah-wilayah lain untuk melawan tentara Mongol di
sekitarnya. Sejak saat itu, nama dinasti Mamluk membumbung tinggi di mata dunia
Islam sehingga penguasa-penguasa di Syiria ketika itu menyatakan kesetiaannya
kepada dinasti Mamluk[7].
Tidak
lama setelah itu Qutuz meninggal dunia. Baybars, seorang pemimpin militer yang
tangguh dan cerdas, diangkat oleh pasukannya menjadi Sultan (1260- 1277 M)
dengan gelar al-Malik al-Zahir. Ia adalah sultan terbesar dan termasyhur di
antara Sultan Mamalik. Ia pula yang dipandang sebagai pembangun hakiki dinasti
Mamalik kerana kerajaannya yang begitu utuh dan kuat. Sebelum wafat, Baybar
berwasiat agar putranya pangeran Said, dinobatkan menjadi penggantinya.
Kerajaan Mamluk dibagi menjadi dua periode berdasarkan daerah
asalnya. Golongan pertama disebut dengan Mamluk bahri. Golongan pertama ini
berasal dari kawasan Kipchak (Rusia Selatan), Mongol, dan Kurdi. Mereka
ditempatkan di Pulau Raudhah di Sungai Nil. Di sinilah mereka menjalani latihan
militer dan pelajaran keagamaan. Karena penempatan mereka inilah mereka dikenal
dengan julukan Mamluk Bahri (budak lalut/air). Golongan kedua dinamakan Mamluk
Burji, yang berasal dari etnik Syracuse di wilayah Kaukakus. Golongan kedua
inilah yang berhasil bertahan untuk berkuasa pada Dinasti Mamluk.[8]
B.
Perwatakan
Dinasti Mamluk dalam Sistem Pemerintahan
Sebagaiamana dijelaskan di atas, Dinasti Mamluk adalah para imigran
mesir yang pada awalnya merupakan budak-budak yang datang dari daerah
pengunungan kaukasus (kemudian disebut
Al-mamalik Al-Burjiun) dan laut Kaspi ( al-mamalik al bariyyun ). Oleh dinasti
Al-ayyubiyah para budak-budak ini di tempatkan di sungai Nil di sebut
Al-mamalik Al bahriyun yang memerintah pada 1250 M/ 648 H sampai dengan 1390 M/
792 H. Selanjutnya kaum mamluk yang ditempatkan di benteng istana kota Kairo di
sebut al-mamalik al-Burjiun yang memerintah pada 1382M/922M.
Sistem pemerintah dinasti Mamluk bersifat oligarki militer, kecuali
dalam waktu yang singkat ketika Qawalun (1280-1290 M) menerapkan pergantian
khalifah secara turun menurun. Padahal sitem Oligarki Militer memberikan
kemajuan bagi Mesir. Kedudukan Amir sangat penting, para Amir saling
berkompetesi dalam prestasi karena mereka merupakan kandidat sultan. Bahkan
dinasti Mamluk juga membawa warna baru dalam sejarah politik Islam. Pemerintahan
dinasti yang bersifat oligarki militer dapat memberikan kemajuan-kemajuan di
capai dalam berbagai bidang, seperti konsiladasi pemerintahan, perekonomian,
dan Ilmu pengetahuan.[9]
Dinasti Mamluk pada dasarnya tidak menerapkan sistem turun-temurun
terhadap orang yang memegang jabatan sultan, sebab apabila sistem semacam itu
diterapkan maka rasa keadilan yang telah mengikat keutuhan solidaritas kalangan
para mamluk dengan sendirinya akan rusak dan menyebabkan terjadinya
disintegrasi dalam kalangan mereka.[10]
Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan dibahas tentang dinasti
mamluk bahri dan dinasti mamluk burji.
1.
Dinasti Mamalik
Bahri
Nama Mamluk Bahriyah dinisbatkan
pada sebuah tempat yang disediakan oleh Sultan Malik Al-Saleh Najmudin Ayyub
kepada para Mamluk. Tempat ini berada di pulau Raudhah di tepi sungai Nil yang
dilaengkapi dengan senjata, pusat pendidikan, dan latihan materi-materi sipil
dan militer. Sejak itu, para Mamluk dikenal dengan Al-Mamalik Al-Bahriyyah
(para budak lautan).[11]
Al-Malik as-Shalih rneninggal pada
1429 M setelah menderita sakit dan timbul kekacauan-kekacauan di berbagai
daerah. Kematian as-Shalih dirahasiakan oleh isterinya (Syajarat al-Dur),
kemudian putera mahkota as-Shalih yang bernama Turansyah memegang tampuk
kekuasaan. Namun, kaum Mamluk Bahri menganggap bahwa Turansyah bukan orang yang
dekat dengan mereka. Selain itu, Turansyah juga dianggap tidak tepat untuk
rnenduduki pucuk kekhalifĂ han karena lebih banyak bermukim di Euprat. Oleh
karena itu ia dianggap tidak menguasai seluk beluk Mesir secara keseluruhan.
Setelah itu diangkatlah Syajarat al-Dur sebagai Sultan mereka. Dan sinilah awal
terbentuknya dinasti Mamluk di Mesir yang dipimpin oleh seorang budak dan
berakhirlah dinasti Ayyubiyah menguasai Mesir.[12]
Aybak berkuasa selama tujuh tahun
(1250-1257 M). Setelah meninggal ia digantikan oleh anaknya, Ali yang masih
berusia muda. Ali kemudian mengundurkan diri pada tahun 1259 M dan digantikan
oleh wakilnya, Qutuz. Setelah Qutuz naik tahta, Baybars yang mengasingkan diri
ke Syria karena tidak senang dengan kepemimpinan Aybak kembali ke Mesir. Di
awal tahun 1260 M Mesir terancam serangan bangsa Mongol yang sudah berhasil
menduduki hampir seluruh dunia Islam. Kedua tentara bertemu di Ayn Jalut, dan
pada tanggal 13 September 1260 M, tentara Mamalik di bawah pimpinan Qutuz,
Baybars dan Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah Rahimahullah berhasil menghancurkan
pasukan Mongol tersebut. Kemenangan atas tentara Mongol ini membuat kekuasaan
Mamalik di Mesir menjadi tumpuan harapan umat Islam di sekitarnya.
Penguasa-penguasa di Syria segera menyatakan sumpah setia kepada penguasa
Mamalik.
Pusat kekhalifahan Islam akhirnya
berada di kairo setelah Baghdad hancur total oleh tentara Mongol. Setelah Qutuz
digulingkan oleh Baybars, kerajaan Mamluk bertambah kuat. Bahkan, Baybars,
mampu berkuasa selama tujuh belas tahun (657 H./1260 M.-676 H./1277 M.) karena
mendapat dukungan militer dan tidak ada Mamluk yang senior lagi, selain
Baybars. Ia adalah sultan terbesar dan termasyhur di antara Sultan Mamalik. Ia
pula yang dipandang sebagai pembangun hakiki dinasti Mamalik.Kejayaan yang
diraih pada masa Baybars adalah memporak-porandakan tentara salib di sepanjang
Laut Tengah, Assasin di Pegunungan Siria, Cyrenia (tempat berkuasanya
orang-orang Armenia dan kapal-kapal Mongol di Anatolia). Terlebih lagi prestasi
Baybars adalah menghidupkan kembali kekhalifahan Abbasiyah di Mesir setelah
Baghdad dihancurkan oleh pasukan Mongol di bawah Hulagu Khan pada tahun 1258.
Pemerintah Mamluk selanjutnya
dipimpin oleh Bani Bibarisiah. Diawali oleh Azh-Zhahir Bibaris mengundang
Ahmad, anak Khalifah Bani Abbasiyah Al-Zhahir ke Kairo. Sebelumnya, Ahmad
melarikan diri dari Baghdad setelah dihancur leburkan oleh orang-orang
Mongolia, kemudian dia dibaiat sebagai khalifah dan diberi gelar Al-Mustanshir
pada tahun 659 H./1260 M.Tujuan dilakukannya hal itu oleh Babiris adalah untuk
menguatkan pusat kekuasaan di Kairo dan menarik dukungan negeri-negeri Islam
yang lain serta melindungi kursi kekuasaan Mamluk dengan legalitas syariah.
Tidak begitu banyak yang berarti
Kerajaan Mamluk di bawah pimpinan Bani Babiris. Sultan Al-Mansur Qalawun (678
H./1280 M.-689H./1290 M.) yang telah menyumbangkan jasanya dalam pengembangan
administrasi pemerintah, perluasan hubungan luar negeri untuk memperkuat posisi
Mesir dan Syam di jalur perdagangan internasional. Sultan Qalawun berhasil
mewariskan tahtanya kepada keturunannya. Hal ini terjadi berkat keberadaan
12.000 Mamluk Burji yang memang dipersiapkan untuk melindungi kepentingan
pribadinya.
Sultan Mamluk yang memiliki kejayaan
dan prestasi lainnya dari garis Bani Qalawun adalah putra pengganti Qalawun,
yakni Nashir Muhammad (696 H./1296 M.). Sultan memegang tampuk pemerintahan
selama tiga kali dan mengalami dua kali turun tahta.Masa setelah Bani Qalawun,
tampuk pemerintahan Mamluk dipimpin oleh Mamluk keturunan Muhammad hingga 9
sultan. Kesembilan sultan ini hanyalah simbul nama dan tidak berpengaruh
terhadap masyarakat umum lainnya. Dalam analisis Ahmad Al-Usairy, “mereka tidak
memiliki daya dan upaya, pandangan maupun kebijakan apapun “, sampai sultan
terakhir dari Dinasti Mamluk yang berasal dari Bani Sya’baniyah, Al-Shalih Hajj
Asyraf bin Sya’ban sekitar tahun 791 H./1388 M. digulingkan oleh Sultan Barquq
yang menjadi cikal bakal sultan pertama pada pemerintahan Mamluk Burji.
Adapun sultan-sultan yang pernah
menjadi penguasa dinasti Mamluk bahri adalah sebagai berikut:
No.
|
Nama Sultan
|
Tahun Pemerintahan (Hijriyah)
|
Tahun Pemerintahan (Masehi)
|
1.
|
Syajar al-Dur
|
648
|
1250
|
2.
|
Muiz Aybak
|
648
|
1250
|
3.
|
Nur Al-Din Ali
|
655
|
1257
|
4.
|
Syaf
al-Din Qutuz
|
657
|
1259
|
5.
|
Zahir
Bayabars
|
658
|
1260
|
6.
|
Baraka
Khan
|
678
|
1277
|
7.
|
Bar
al-Din Salamish
|
678
|
1279
|
8.
|
Mansur
Qalawun
|
678
|
1279
|
9.
|
Asyraf
Khalil
|
689
|
1290
|
10.
|
Nasir
al-Din Muhammad
|
693
|
1293
|
11.
|
Zayn
al-Din Kitbugh
|
694
|
1294
|
12.
|
Husam
al-Din Lajim
|
696
|
1296
|
13.
|
Nasir
Muhammad
|
698
|
1298
|
14.
|
Rukh
al-Din Baybar
|
708
|
1308
|
15.
|
Nasir
Muhammad
|
709
|
1309
|
16.
|
Sayf
al-Din Abu Bakar
|
741
|
1340
|
17.
|
Shihab
al-Din Ahmad
|
742
|
1342
|
18.
|
Imad
al-Din Ismail
|
742
|
1342
|
19.
|
Sayf
al-Din Sya’ban
|
746
|
1345
|
20.
|
Sayf
al-Din Hajji
|
747
|
1346
|
21.
|
Nasir
al-Din Hassan
|
748
|
1347
|
22.
|
Salah
al-Din Shalih
|
752
|
1351
|
23.
|
Nasir
Hassan 1354
|
755
|
1354
|
24.
|
Mansur
Muhammad
|
762
|
1361
|
25.
|
Ashraf
Sya’ban
|
764
|
1363
|
26.
|
‘Ala
al-Din Ali
|
778
|
1367
|
27.
|
Salah
al-Din Hajji
|
783
|
1381
|
2.
Dinasti Mamalik
Burji
Masa pemerintahan Mamluk Burji
diawali dengan berkuasanya Sultan Brquq (784 H./1382 M.-801 H./1399 M.) setelah
berhasil menggulingkan sultan terakhir dari Mamluk Bahri, Shalih Haj bin Asyraf
Sya’ban. Sesungguhnya tidak ada perbedaan pemerintahan Mamluk Bahri dan Burji,
baik dari segi status para sultan yang dimerdekakan atau pun dari segi sistem
pemerintahan yang oligarki. Hal-hal yang membedakan kedua pemerintah tersebut
adalah sukses pemerintahan Mamluk Bahri lebih banyak terjadi dengan
turun-temurun, sedangkan pada masa Mamluk Burji suksesi lebih banyak terjadi
karena perang saudara dan huru-hara. Pertentangan ini disebabkan sistem
pendidikan bagi para Mamluk tidak ketat, dan mereka diperbolehkan untuk tinggal
di luar pusat-pusat latihan bersama rakyat biasa.
Pemerintahan selanjutnya dipimpin
oleh Sultan Al-Nashir Faraj (801 H./1399 M.-808 H./1405 M.), putra sultan
Barquq dan merupakan salah seorang cucu jengis khan yang telah masuk Islam dan
berkuasa di wilayah Samarkand dan Khurasan, Timur Lenk (771 H./1370 M.-807
H./1405 M.), melakukan penyerangan ke wilayang Suriah. Timur Lenk tampaknya
mengulang kembali sejarah keberingasan pasukan Mongol pada zaman Hulagu Khan
ketika menguasai wilayah-wilayah tetangganya yang muslim. Pasukan Mamluk pun
menyiapkan diri untuk menghadang serangan Timur Lenk tersebut. Pada tahun 1401,
Aleppo dapat dikuasai oleh pasukan Timur Lenk dan disusul dengan Damaskus yang
menyerah setelah tentara Mamluk dapat dikalahkan. Kota Damaskus
dibumihanguskan, baik sekolah maupun masjid dibakar. Ketika pasukan Mamluk
disiagakan kembali untuk merebut Damaskus, Timur Lenk sudah meninggalkan kota
itu dan akhirnya diadakanlah perjanjian perdamaian serta bertukar tawanan
perang.
Sementara itu, dua Sultan Mamluk
Burji, yakni Al-Asyraf Baribai (825 H./1422 M.-841 H./1437 M.) dan Al-Zahir
Khusyqadam (865 H./1461 M.-872 H./1467 M.) masih harus terus mempertahankan
wilayahnya dari serangan pasukan salib di kepulauan Cyprus dan Rhodos (Laut
Aegea, sekarang milik Yunani). Kedua ekspedisi militer ini berhasil menahan
kekuatan kaum Nasrani dan dengan demikian, pasukan Mamluk kembali membuktikan
keunggulanya untuk dapat menguasai jalur perdagangan di Laut Tengah.
Banyak dari sultan-sultan Mamluk
Burji naik tahta pada usia muda. Hal ini menjadi salah satu faktor penyebab
melemahnya Dinasti Mamluk. Para Mamluk selalu disibukkan dengan gejolak atau
pertentangan yang terjadi. Dana kesultanan lebih banyak dikeluarkan untuk
aksi-aksi militer, sementara itu pemasukan semakin menipis. Rongrongan dari
luar wilayah Mamluk pun datang beruntun karena para Mamluk tidak mengutamakan
persatuan dan banyak yang meminta bantuan dari luar. Sebagai contoh pada masa
pemerintahan Sultan Asyraf Qaitbay (872 H./1468 M.-901 H./1496 M.), terjadi
pemberontakan yang dilakukan oleh para amir Mamluk di wilayah Syam dan Aleppo,
dan gerakan pengacau keamanan dari orang Arab di selatan Mesir. Pada masa
pemerintahan ini, terjadi penyerangan pasukan Turki Utsmani terhadap wilayah
Mamluk yang merupakan cikal-bakal permusuhan antara Dinasti Mamluk dan tentara
Turki Utsmani.
Begitulah seterusnya para Sultan
Mamluk dilanda krisis dan perang, baik dari dalam (Mamluk) maupun dari pihak
luar seperti serangan tentara Turki Utsmani, orang portugis yang melarang dan
mengusik jalur perdagangan Mamluk di Laut Tengah hingga tewasnya Sultan Qanshus
Al-Guri ketika berperang melawan tentara Turki Utsmani pada tahun 922 H./1516
M. sejak saat itu, Dinasti Mamluk di bawah bayang-bayang tentara Turki Utsmani.
Sultan terakhir Dinasti Mamluk Burji
adalah Al-Asyraf Tumanbai. Ia adalah seorang pejuang yang gigih. Namun, pada
saat itu ia tidak memperoleh dukungan dari golongan Mamluk sehingga ia harus
menghadapi sendiri pasukan Turki Utsmani. Akhirnya, Tumanbai ditangkap oleh
pasukan Turki Utsmani atas bantuan beberapa amir Mamluk dan kemudian digantung
di salah satu gerbang kota Kairo, pada tahun 923 H./1517 M. Sejak saat itu,
berakhirlah masa pemerintahan Dinasti Mamluk dan dimulainya masa penguasaan
Turki Utsmani di Mesir dan Syam.[13]
Adapun sultan-sultan yang pernah menjadi
penguasa dinasti Mamluk bahri adalah sebagai berikut:
No.
|
Nama Sultan
|
Tahun Pemerintahan (Hijriyah)
|
Tahun Pemerintahan (Masehi)
|
1.
|
Sayf al-Din Barquq
|
784
|
1382
|
2.
|
Nasir Faraj
|
801
|
1398
|
3.
|
Mansur Abd. Azis
|
808
|
1405
|
4.
|
Nasir Faraj
|
809
|
1405
|
5.
|
Musta’in
|
815
|
1412
|
6.
|
Muayyad Shaukh
|
815
|
1412
|
7.
|
Muzaffar Ahmad
|
824
|
1421
|
8.
|
Safy al-Din Attar
|
824
|
1421
|
9.
|
Nasir al- Din Muhammad
|
824
|
1421
|
10.
|
Sayf al-Din Barsbay
|
825
|
1422
|
11.
|
Jamal al-Din
|
1433
|
|
12.
|
Syaf al-Din Jaqmafy
|
842
|
1433
|
13.
|
Sayf al-Din Inal
|
857
|
1453
|
14.
|
Fakrul al-Din Ahmad
|
863
|
1460
|
15.
|
865Shihab al-Din Ahmad
|
865
|
1460
|
16.
|
Sayf al-Din Khushaq
|
865
|
1461
|
17.
|
Sayf al-Din Bilbey
|
872
|
1468
|
18.
|
Zahir Timurbugha
|
872
|
1468
|
19.
|
Sayf al-Din Qait Bay
|
873
|
1478
|
20.
|
Nasir Muhammad
|
901
|
1495
|
21.
|
Zahir Qansuh
|
904
|
1498
|
22.
|
Asgraf Janbalat
|
905
|
1499
|
23.
|
Qunsuh al-Ghuri
|
905
|
1500
|
24.
|
Tuman Bay
|
923
|
1517
|
Dari sekian banyak sultan pada
dinasti mamluk yang disebutkan di atas, baik pada masa dinasti mamluk bahri
sampai pada dinasti mamluk burji, terdapat beberapa sultan yang meninggalkan
jejak besar pada masa dinasti mamluk. Adapun sultan-sultan yang sempat meninggalkan
jejak besar dalam sejarah Islam disaat pemerintahan Dinasti Mamluk diantaranya
yaitu :
a.
Sultan Qutuz
Di
awal tahun 1260 M, Mesir terancam serangan bangsa mongol yang sudah berhasil
mengalahkan Abbasyiah dan menduduki hampir seluruh Dunia Islam. Kedua tentara
ini bertemu di ‘Ayn jalut. Tentara Mamluk yang dibawah pimpinan Qutuz dan
Baybars berhasil mengalahkan pasukan mongol tersebut. Daulah Mamluk di Mesir
ini lah yang satu-satunya penguasa yang berhasil mengalahkan pasukan mongol
sehingga menjadi tumpuan harapan umat Islam sekitar.
b.
Sultan Baybars
Setelah
kemenangan di ‘Ayn jalut, mulai memalingkan perhatian untuk merebut kembali
kota-kota benteng yang dikuasai tentara Salib, seperti kota benteng Arsulf,
Safad, Arkad, kota Antioch dan mengepung kota Okka hingga pada akhirnya pada
tahun 1272 pimpinan tentara Salib perancis, Edward of Egland, meminta genjatan
senjata 10 tahun dengan kesediaan membayar upeti tahunan ke Mesir. Sultan
Baybrs juga melanjutkan pembangunan di Mesir, Palestina, dan Syiria.
c.
Sultan Qolawun
Sultan Qolawun
juga banyak mendirikan bangunan di Mesir yang masih di kagumi sampai sekarang,
baik bangunan keagamaan maupun bangunan sosial. Sultan Qolawun juga dapat
menghancurkan serangan bangsa mongol yang di pimpin oleh Abaga khan (anak
hulago khan) yang ingin menebus kekalahan ayahnya. Pertenpuran pecah di wilayah
Homs, Syiria Utara dan pasukan mongol hancur. Qolawun juga menghancurkan
serangan tentara salib yang berjalan dua abad lamanya sehingga tamatlah
kekuasaan salibiyah dan angan-angannya untuk menguasai makam Suci dan
membebaskan kota kelahiran nabi Isa penebus dosa mereka.[14]
C.
Peran dinasti
Mamluk dalam Menjaga Peradaban di Mesir
Dinasti Mamluk telah membawa warna baru dalam sejarah politik Islam
sekaligus mebawa kemajuan bagi Mesir. Pemerintahan dinasti yang bersifat oligarki
militer dapat memberikan kemajuan-kemajuan bagi peradaban Mesir dalam berbagai
bidang.
Adapun kemajuan-kemajuan yang telah dicapai pada masa Dinasti
Mamluk ini adalah sebagai berikut:
1.
Bidang Militer
Pemerintahan dinasti ini dilantik
dari pengaruhnya dalam kemiliteran. Para
Mamluk yang dididik haruslah dengan tujuan untuk menjadi pasukan pendukung
kebijaksanaan pemimpin. Ketua Negara atau sultan akan diangkat di antara pemimpin
tentara yang terbaik, yang paling berprestasi, dan mempunyai kemampuan untuk
menghimpun kekuatan. Walaupun mereka adalah pendatang di wilayah Mesir
Setelah memeluk Islam, seorang
Mamluk akan dilatih sebagai tentara berkuda. Mereka harus mematuhi Furisiyyah,
sebuah aturan perilaku yang memasukkan nilai-nilai seperti keberanian dan
kemurahan hati dan juga doktrin mengenai taktik perang berkuda, kemahiran
menunggang kuda, kemahiran memanah dan juga kemahiran merawat luka dan cedera.
Tentara Mamluk ini hidup di dalam
komunitas mereka sendiri saja. Masa lapang mereka diisi dengan permainan
seperti memanah dan juga persembahan kemahiran bertempur. Latihan yang intensif
dan ketat untuk anggota-anggota baru Mamluk juga akan memastikan bahwa
kebudayaan Mamluk ini abadi.
Setelah tamat latihan, tentara
Mamluk ini dimerdekakan tetapi mereka harus setia kepada khalifah atau sultan.
Mereka mendapat perintah terus dari khalifah atau sultan. Tentara Mamluk selalu
dikerahkan untuk menyelesaikan perselisihan antara suku setempat. Pemerintah
setempat seperti amir juga mempunyai pasukan Mamluk sendiri tetapi lebih kecil
dibandingkan pasukan Mamluk Khalifah atau Sultan.
Pada mulanya, status tentara Mamluk
ini tidak boleh diwariskan dan anak lelaki tentara Mamluk dilarang mengikuti
jejak langkah ayahnya. Di sebagian kawasan seperti Mesir, tentara Mamluk mulai
menjalin hubungan dengan pemerintah setempat dan akhirnya mendapat pengaruh
yang luas. Pada era Dinasti Al-Mamluk produksi buku mengenai ilmu militer itu
berkembang pesat. Sedangkan, pada zaman Shalahuddin, ada buku manual militer
karya AT-Thurtusi (570 H/1174 M) yang membahas keberhasilan menaklukan
Yerussalem. Semenjak awal Islam memang menaruh perhatian khusus mengenai soal
perang. Bahkan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah meminta agar
para anak lelaki diajari berenang, gulat, dan berkuda. Berbagai kisah
peperangan seperti legenda Daud dan Jalut juga dikisahkan dengan apik dalam
Al-Qur'an. Bahkan, ada satu surat di Al-Qur'an yang berkisah tentang `heroisme’
kuda-kuda yang berlari kencang dalam kecamuk peperangan.
”Demi kuda perang yang berlari kencang dengan terengah-engah. Dan
kuda yang mencetuskan api dengan pukulan (kuku kakinya). Dan kuda yang
menyerang dengan tiba-tiba di waktu pagi. Maka, ia menerbangkan debu dan
menyerbu ke tengah kumpulan musuh.” (Al-‘Adiyat 1-4).
Kaum muslim sebenarnya pun sudah
menulis berbagai karya mengenai soal perang dan ilmu militer. Berbagai jenis
buku mengenai 'jihad' dan pengenalan terhadap seluk beluk kuda, panahan, dan taktik
militer. Salah satu buku yang terkenal dan kemudian diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris The Catologue yang merupakan karya Ibnu Al-Nadim (wafat antara
380H-338 H/990-998 M).
Dalam karya itu, Al-Nadim menulis
berbagai kategori mengenai cara menunggang kuda, menggunakan senjata, tentang
menyusun pasukan, tentang berperang, dan menggunakan alat-alat persenjataan
yang saat itu telah dipakai oleh semua bangsa.
Karya semacam ini pun kemudian
banyak muncul dan disusun pada masa Khalifah Abbasiyah, misalnya oleh Khalifah
al-Manshur dan al-Ma’mun. Bahkan, pada periode kekuasaan Daulah Al-Mamluk
produksi buku mengenai ilmu militer itu berkembang sangat pesat. Minat para
penulis semakin terpacu dengan keinginan mereka untuk mempersembahkan sebuah
karya kepada kepada para sultan yang menjadi penguasa saat itu. Pembahasan
sering dibahas adalah mengenai seluk beluk yang berkaitan dengan serangan
bangsa Mongol.
Pada zaman Shalahuddin, ada sebuah
buku manual militer yang disusun oleh At-Tharsusi, sekitar tahun 570 H/1174 M.
Buku ini membahas mengenai keberhasilan Shalahuddin di dalam memenangkan perang
melawan bala tentara salib dan menaklukan Yerussalem. Buku ini ditulis dengan
bahasa Arab, meski sang penulisnya orang Armenia. Manual yang ditulisnya selain
berisi tentang penggunaan panah, juga membahas mengenai ‘mesin-mesin perang’
saat itu, seperti mangonel (pelempar batu), alat pendobrak, menara-menara
pengintai, penempatan pasukan di medan perang, dan cara membuat baju besi. Buku
ini semakin berharga karena dilengkapi dengan keterangan praktis bagaimana
senjata itu digunakan.
Buku lain yang membahas mengenai
militer adalah karya yang ditulis oleh Ali ibnu Abi Bakar Al Harawi (wafat 611
H/1214 M). Buku ini membahas secara detail mengenai soal taktik perang,
organisasi militer, tata cara pengepungan, dan formasi tempur. Kalangan ahli
militer di Barat menyebut buku ini sebagai sebuah penelitian yang lengkap
tentang pasukan muslim di medan tempur dan dalam pengepungan. Pada lingkungan
militer Daulah Mamluk menghasilkan banyak karya tentang militer, khususnya
keahlian menunggang kuda atau fu'usiyyah. Dalam buku ini dibahas mengenai
bagaimana cara seorang calon satria melatih diri dan kuda untuk berperang, cara
menggunakan senjatanya, dan bagaimana mengatur pasukan berkuda atau kavaleri.
Contoh buku yang lain adalah karya
Al-Aqsara’i (wafat74 H/1348 M) yang diterjemahkan kedalam bahasa Inggris
menjadi An End to Questioning and Desiring (Further Knowledge) Concering the
Science of Horsemenship. Buku ini lebih komplet karena tidak hanya membahas
soal kuda, pasukan, dan senjata, namun juga membahas mengenai doktrin dan
pembahasan pembagaian rampasan perang.
2.
Bidang
Pemerintahan
Dalam bidang pemerintahan,
kemenangan dinasti Mamalik atas tentara Mongol di 'Ayn al-Jalut menjadi modal
besar untuk menguasai daerah-daerah sekitarnya. Banyak penguasa-penguasa
dinasti kecil menyatakan setia kepada kerajaan ini. Untuk menjalankan
pemerintahan di dalam negeri, Baybars mengangkat kelompok militer sebagai elit
politik. Disamping itu, untuk memperoleh simpati dari kerajaan-kerajaan Islam
lainnya, Baybars membaiat keturunan Bani Abbas yang berhasil meloloskan diri
dari serangan bangsa Mongol, al-Mustanshir sebagai khalifah. Dengan demikian,
khilafah Abbasiyah, setelah dihancurkan oleh tentara Hulaghu di Baghdad,
berhasil dipertahankan oleh daulah ini dengan Kairo sebagai pusatnya. Sementara
itu, kekuatan-kekuatan yang dapat mengancam
kekuasaan Baybars dapat dilumpuhkan, seperti tentara Salib di sepanjang
Laut Tengah, Assasin di pegunungan Syria, Cyrenia (tempat berkuasanya
orang-orang Armenia), dan kapal-kapal Mongol di Anatolia.[15]
3.
Bidang Ekonomi
Kemajuan dalam bidang ekonomi yang
dicapai o!eh dinasti Mamluk lebih besar diperoleh dan sektor perdagangan dan
pertanian. Di sektor perdagangan, pemerintah dinasti Mamluk memperluas hubungan
dagang yang telah dibina sejak masa Fatimiyah, misalnya dengan membuka jalur
dagang dengan Italia dan Prancis. Setelah jatuhnya Bagdad, Kairo menjadi kota
yang penting dan strategis karena jalur perdagangan dan Asia Tengah dan Teluk
Persia hampir dipastikan melalui Bagdad. Keadaan ini menjadikan berlimpahnya
devisa negara terutama dan sektor perdagangan.
Untuk mendukung kelancaran sektor
ini, dinasti Mamluk memperbaiki sarana transportasi untuk memperlancar
perjalanan pedagang-pedagang terutama antara Kairo dan Damaskus. Dalam sektor
pertanian, pemerintah mengambil kebijakan pasar bebas kepada petani, artinya
petani diberi kebebasan untuk memasarkan sendiri hasil pertaniannya.
4.
Bidang
Arsitektur
Devisa negara yang melimpah pada
masa dinasti Mamluk memungkinkan mereka untuk mendirikan bangunan-bangunan yang
indah dan megah. Sejak masa pemerintahan Qalawun, sultan-sultan Mamluk telah
terbiasa memperindah bangunannya dengan batu-batu benteng, batu kapur dan batu
api yang diambil dan dataran tinggi Mesir, terutama dalam bentuk
kuburan-kuburan dan kubah-kubah mesjid yang terdiri atas bebatuan tersebut.
Hampir semua macam kerajinan yang berkembang saat itu berhubungan erat dengan
bangunan, khususnya bangunan yang bercorak religius. Seperti hiasan perunggu
pada pintu-pintu mesjid, kotak al-Qur’an yang terbuat dan emas bertabur
mutiara, mosaik-mosaik yang indah pada lengkung-lengkung bangunan, karya seni
dan kayu pada mimbar yang cukup rumit pembuatannya, yang kesemuanya menunjukkan
perkembangan seni dan kerajinan saat itu.
Banyak arsitek didatangkan ke Mesir
untuk membangun sekolah-sekolah dan masjid-masjid yang indah. Bangunan-bangunan
lain yang didirikan pada masa ini diantaranya adalah rumah sakit, museum,
perpustakaan, villa-villa, kubah dan menara masjid. Pada periode mamluk kejutan
yang paling mengesankan adalah bangunan-bangunan arsitektural nan artistik pada
sakla dan kualitas yang tidak di temukan padanannya dalan sejarah Mesir sejak
jaman masa plotemius dan fira’un. Arsitektur muslim mencapai ekspresi yang
paling kaya ornament pada sejumlah masjid, sekolah dan museum yang didirikan
oleh pemimpin-pemimpin mamluk.
Mazhab arsitektur mamluk, yang
asalnya bisa di lacak model arsitektur periode Nuriyyah dan Ayyubiyah, mendapat
suntikan baru dari orang Suriah-Mesopotamia pada abad ke 13, ketika Mesir
menjadi tempat berlindung para pengrajin dan seniman yang melarikan dari Mosul,
Baghdad dan Damaskus sebelum invasi Mongol. Rancangan bentuk menyilang pada struktur
masjid-sekolah di kembangkan hingga mencapai kesempurnaan. Kubah di bangun
untuk menahan cahaya yang datang dari berbagai arah, juga untuk penerangan,
tampak indah dari luar dan kaya dekorasi. Bangunan batu bergaris, dan berbagai
dekorasi yang di hasilkan dengan menggunakan batu-batu beragam warna pada
setiap isinya berasal dari Romawi dan Bizantium, menjadi ciri istimewa
arsitektur periode ini. Hal lain yang perlu di catat dari periode ini adalah
pengembangan stalaktif-pendentif, sama halnya dengan dua dekorasi lain yang di
kenal baik saat ini yaitu arabesque dan huruf-huruf bergaya kufi. Sepanjang
sejarah muslim figur-figur binatang lebih bebas di pakai di Mesir dan Suriah
dari pada di Spanyol dan Persia.
Karakter mewah dan halus dalam
berkesenian tidak hanya diterapkan pada obyek-obyek yang dianggap suci seperti
hiasan kotak Al qur’an dan masjid akan tetapi di terapkan juga pada berbagai
perlengkapan rumah tangga seperti cangkir, mangkok, baki, pedupan, yang mana
semua itu menjadi saksi tentang gambaran hidup mewah sebagaimana dilukiskan
oleh para penulis kronik kontemporer. Putri-putri kerajaan menghiasi diri
mereka dengan berbagai hiasan mewah seperti gelang, kalung, gelang kaki, anting
sama seperti yang masih di gunakan oleh orang Mesir modern. Kemegahan mamluk
semakin meriah dengan berbagai pertunjukan seni semisal tarian, sulap dan
pertunjukan wayang. Sejak penaklukan Turki Ustmani atas wilayah Mesir dan
Suriah, hampir semua pusat kerajinan dan industri mulai runtuh. Sejumlah
arsitek, ahli teknik, tukang kayu dikirim ke Konstantinopel oleh sultan Halim.
Hanya satu bidang kerajinan yaitu ukiran keramik yang bertahan setelah
penaklukan Turki usmani dan menghsilkan kualitas terbaik melampaui berbagai
kriya seni lainnya. Sebagaimana ditunjukkan oleh koleksi keramik damaskus yang
tersimpan di Kensington selatan. Talam, mangkok, kandil, vas bunga dan berbagai
benda yang terbuat dari kuningan yang di produksi saat ini di Demaskus,
kebanyakan mengikuti pola-pola dari periode mamluk.
Di antar karya-karya seni terapan
itu, yang menjadi ciri Khas Mesir-Mamluk adalab seni dekorasi kitab suci.
Bidang kesenian ini mendapatkan kedudukan terhormat karena berhubungan dengan
“firman Allah” dan tingkat tingkat kesulitannya juga jauh tebih tinggi.
Karakter mewah dan halus dalam
berkesenian tidak hanya diterapkan pada objek-objek yang dianggap suci.
Berbagai perlengkapan rumah tangga seperti cangkir, mangkok, baki, pedupaan
juga rnerupakan gambaran hidup mewah sebagaimana dilukiskan oleh para penulis
kronik kontemporer. Di samping yang telah disebutkan tadi, masih banyak
karya-karya seni yang lain yang berkembang pada masa dinasti Mamluk.[16]
5.
Bidang
Pendidikan
Setelah Baghdad hancur dan kekuasaan
Abbasiyah runtuh, maka ibu kota alam Islami berpindah ke Kairo, Mesir. Begitu
juga pusat pendidikan dan pengajaran berpindah pula ke Kairo, ke Jami’
Al-Azhar. Pada masa Sultan Baybars, Al-Azhar mengalami peningkatan yang
gemilang, menjadi pusat ilmu pengetahuan, terutama ilmu-ilmu agama dan bahasa
Arab. Mesir pada masa itu adalah masa keemasan dalam sejarahnya. Al-Azhar masa
itu dikunjungi oleh ulama-ulama dan pelajar-pelajar dari seluruh dunia,
sebagaimana halnya kota Baghdad dahulu.
Pada masa Sultan An-Nashir (693
H-741 H/ 1293 M-1341 M) kebudayaan Islam di Mesir mencapai tingkat yang
tertinggi. Kekayaan negeri masa itu bertambah besar dengan biaya cukai
barang-barang perdagangan dari India ke Eropa dengan melalui Mesir.
Masa Mamluk adalah masa mengarang
matan-matan yang pendek dan mengarang syarahnya. Ulama meringkas kitab-kitab
lama yang panjang, sehingga menjadi ringkas seringkas-ringkasnya, yang disebut
matan. Maka lahirlah kitab-kitab pendek (mukhtashar) dalam ilmu fiqhi, nahwu,
sharaf, balaghah dan lain-lain. Akhirnya matan-matan tersebut dikumpulkan
menjadi satu buku besar bernama Majma’ Mutun. Yang lebih ahli dalam
meringkaskan dan mengarang matan-matan itu adalah ulama Syafiiyah. Di antara
matan-matan itu juga ada yang berupa syair. Tujuan dibuatnya matan-matan
tersebut adalah agar pelajar mudah menghafalnya.[17]
Di antara kemajuan pada bidang
pendidikan pada masa Dinasti Mamluk, dapat ditinjau dari berbagai aspek, antara
lain:
a.
Ilmu
Pengetahuan
Ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa dinasti mamluk antara
lain sejarah, kedokteran, asrtonomi, matematika dan ilmu agama. Di masa ini
pula muncul tokoh-tokoh ilmu pengetahuan yang hasil karyanya mampu di jadikan
rujukan oleh para ilmuan dunia. Mesir menjadi tempat pelarian ilmuwan-ilmuwan
asal Baghdad dari serangan tentara Mongol. Di samping itu Mesir dengan
perguruan tinggi Al ashar serta perpustakaan Dar al Hikmahnya yang selamat dari
serangan Mongol menyebabkan kesinambungan ilmu jaman klasik tetap berkembang.
Mesir menjadi pusat peradaban islam berintikan kebudayaan arab.
Ilmuan-ilmuan besar yang lahir pada masa dinasti mamluk di
antaranya adalah :
1)
Ibn Nafis yang
oleh pengagumnya digelari The second Avisenna ( Ibn Sina kedua ) karena
reputasinya sebagai seorang dokter yang terkemuka dan seorang penulis yang
serba bisa pada abad ke-7 H/13 M. Ia belajar
ilmu kedokteran di tempat kelahirannya yang mana gurunya berasal dari
perguruan “ Ibn at-Tilmidz”. selain itu ia juga belajar tata bahasa arab,
logika dan ilmu keislaman lainnya . Salah satu karyanya yang terkenal adalah as
Shamil fi at Thibb sebuah ensiklopedia kedokteran yang lengkap, terdiri kurang
lebih 27.000 folio yang tersebar dalam 8 jilid dan dia juga penemu susunan dan
peredaran darah dalam paru-paru manusia
.
2)
Abu al Fida,
dia adalah seorang geografi dan sejarah terkenal. Abu al Fida merupakan
keturunan keluarga ayyub yaitu Shalahuddin al Ayyubi. Karyanya yang terkenal
Al-Nujum al Zhahiroh fi muluk Meshir wa al Qohiroh ( bintang terang raja-raja
Mesir dan Kairo) sebuah sejarah tentang mesir dan periode penaklukan bangsa
arab sampai 1453.
3)
Ibn Khaldun,
dia adalah seorang ilmuan islam yang sangat cemerlang dan yang paling di hargai oleh dunia intelektual
modern karena karya-karyanya yang sangat
monumental, salah satu karyanya adalah Philosophi of history yaitu filsafat
sejarah terbesar yang pernah duciptakan
manusia dari Negara dan bangsa manapun.[18]
Selain itu dalam ilmu sejarah tercatat nama-nama besar seperti
Nashiruddin ath-Thusi yang dalam bidang astronomi, Abul Faraj al-'Ibry ahli
dalam dalam bidang matematika. Abdul Mun'im ad-Dimyathi seorang dokter hewan,
dan Ar-Razi’, perintis psykoterapi. Dalam bidang opthalmologi dikenal nama
Shalahuddin ibn Yusuf. Sedangkan dalam bidang ilmu keagamaan tersohor nama
Syaikhul Islam ibn Taimiyah seorang mujaddid, mujahid dan ahli hadits dalam
Islam, Imam As-Suyuthi yang menguasai banyak ilmu keagamaan, Imam Ibn Hajar
al-'Asqalani dalam ilmu hadits, ilmu fiqih dan masih banyak ilmuan-ilmuan
lainnya.[19]
Pada abad ke-13 satu genre bidang kesenian berkembang dengan baik
yaitu seni wayang, pertama kali muncul dengan tajuk Thayf al Khayal fi Ma’rifah
Khayal al Zhil (bayang-bayang imajinsi tentang pengetahuan pertunjukan wayang
dan masih banyak para ilmuan-ilmuan besar lainnya) oleh Muhammad ibn Daniyal al
Khuza’I al Maushili dan satu-satunya karya yang masih bertahan hingga kini
dalam bidang drama puitis dari dunia islam abad pertengahan. Pertunjukan wayang
kemungkinan di ciptakan di Timur tengah, akan tetapi orang-orang islam
mengenalnya dari India atau Persia.
Kitab-kitab pelajaran di Al-Azhar pada masa Dinasti Mamluk yaitu:[20]
1)
Kitab Hadits
yang enam (al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah) dan
Musnad Ahmad dan Syafi’i.
2)
Umdatul Ahkam
(Hafiz Abdul Ghani).
3)
Syuzur az-Zahab
(Ibnu Hisyam).
4)
Jam’ul Jawami’.
5)
Al-Badrul
Munir.
6)
As-Syarhul
Kabir (ar-Rafi’i)
7)
Al-Minhaj
(An-Nawawi).
8)
Hadits Arbain.
9)
Al-Waraqat
(Ushul).
10)
Al-Lamhatul
Badriyah (Nahwu).
b.
Sistem
Pengajaran
Sistem pengajaran pada masa Mamluk ialah dengan menghafal
matan-matan, meskipun murid-murid tidak mengerti maksudnya, seperti menghafal
matan Ajrumiyah, matan Taqrib, matan Alfiyah, matan Sullan dan lain-lain.
Setelah murid-murid menghafal matan-matan itu barulah mereka mempelajari
syarahnya, kadang-kadang serta hasyiahnya. Dengan demikian pelajaran bertambah
berat dan bertambah sulit untuk menghafalnya.Selain itu, juga diterapkan sistem
praktikum untuk praktikum kimia dan kedokteran.[21]
c.
Lembaga
Pendidikan
Lembaga-lembaga pendidikan pada masa Dinasti Mamluk yaitu:
1)
Masjid, di
antaranya adalah masjid yang besar di Husainiyah bernama Jami’ Az-Zahir.
2)
Madrasah, dalam
madrasah diajarkan ilmu fiqhi dalam empat madzhab.
3)
Perpustakaan,
berisi berbagai macam kitab dalam berbagai ilmu pengetahuan.
4)
Rumah sakit, dibangun
oleh Qallawun yang terdapat bilik untuk tempat praktikum kimia dan alat-alat
kedokteran.
5)
Observatorium,
sebagai pusat penelitian.
6)
Jami’ Al-Azhar,
sebagai pusat pendidikan dan pengajaran Islam, memelihara dan mengembangkan
syariat Islam dan Bahasa Arab selama zaman pertengahan.
Salah satu anak
Sultan an-Nashir bernama Sultan Hasan, mendirikan madrasah yang besar yang
termasyhur sampai sekarang, yaitu Jami’ Sultan Hasan. Selain itu, banyak juga
sultan-sultan Mamluk yang mendirikan bangunan-bangunan besar, masjid-masjid dan
madrasah-madrasah seperti:
1)
Barquq, ia
mendirikan gedung-gedung besar dan madrasah besar yang termasyhur sampai
sekarang dengan nama Jami’ Barquq.
2)
Al-Muaiyad
Syekh, ia mendirikan masjid yang besar bernama Jami’ Al-Muaiyad.
3)
Qayutbai
(873-902 H/ 1468-1496 M), ia membangun masjid-masjid dan madrasah-madrasah,
serta benteng-benteng dan jalan-jalan raya, di antara bangunannya yang
termasyhur ialah Jami’ Qayutbai.
4)
Al-Ghuri
(906-922 H/ 1501-1516 M), ia juga banyak membangun gedung-gedung, di antaranya
Jami’ Al-Ghuri dan madrasah Al-Ghuriyah.[22]
Pada masa
Dinasti Mamluk, madrasah-madrasah bertambah banyak. Kebanyakan didirikan oleh
sultan-sultan dan setengahnya didirikan oleh orang-orang kaya. Menurut riwayat,
bahwa madrasah-madrasah di Mesir pada masa ini berjumlah 45 madrasah dan jumlah
seluruhnya 70 madrasah beserta wilayah-wilayah lain.
No.
|
Nama
|
Tahun
|
Keahlian
|
Karya
|
1.
|
Izzuddin bin
Abdus Salam
|
Wafat tahun
660 H/ 1261 M
|
Mujtahid
as-Syafi’i
|
|
2.
|
Muhyiddin Abu
Zakaria Yahya bin Syaraf (An-Nawawi)
|
631-676H/
1233-1277 M
|
Hadits dan
Fiqhi
|
Al-Minhaj
Hadits Arba’in
|
3.
|
Abdullah bin
Yusuf bin Ahmad bin Abdullah bin Hisyam Al-Anshary (Ibnu Hisyam an-Nawawi)
|
708-761 H/
1309-1360 M
|
Nahwu
|
Mughnil ,
Labib, Qathrun Nada
|
4.
|
Sa’duddin
at-Taftazany
|
Wafat 791 H/
1388 M
|
Nahwu,
sharaf, balaghah, tauhid, fiqhi, ushul dan filsafat
|
|
5.
|
As-Sayyid
Al-Jurjany
|
740-816 H/
1339-1413 M
|
Ilmu-ilmu
agama, filsafat dan falak
|
|
6.
|
Ibnu
Khillikan
|
600-681 H/
1211-1281 M
|
Sejarah dan
syair
|
Wafyatul
A’yan wa Anbau Abnaiz Zaman
|
7.
|
Ibnu Khaldun
|
742-808 H/
1332-1406 M
|
Sejarah,
filsafat ilmu masyarakat dan filsafat sejarah
|
Muqaddimah
Ibnu Khaldun
|
8.
|
Ibnu Hajar
Al-Asqalamy As-Syafi’iy
|
774-852 H/
1372-1449 M
|
Hadits, Fiqhi
dan sejarah Fathul Bari fi
|
|
9.
|
Syarhil
Bukhari Al-Ishabah fi Tamyiz Shahabah Jalaluddin al-Mahally
|
791-864 H/
1388-1459 M
|
Tafsir
|
Tafsir
Al-Qur’an tidak tamat dan diteruskan oleh Jalaluddin as-Suyuthi maka disebut
Tafsir Jalalain
|
10.
|
Jalaluddin
as-Suyuthi
|
849-911 H/
1445-1505 M
|
Tafsir,
Hadits, Fiqhi, Nahwu dan Balaghah
|
Thabaqatul
Huffadz, Al-Itqan fi Ulumil Qur’an, Al-Asybah wan Nazhair
|
11.
|
Ibnu Taimiyah
|
662-729 H/
1263-1328 M
|
Faqih Hanbaly
|
As-Siasah
Syar’iyah, Majmuah Fatawa
|
12.
|
Ibnu Qaiyim
Al-Jauziyah Faqih Hanbaly (Murid ibnu Taimiyah)
|
692-751 H/
1263-1328 M
|
|
I’lamul
Muqi’in Ilmul Bayan Fawaid Musyauwiqah ila ‘ilmil Qur’an
|
13.
|
Al-Bushairy
|
608-695 H/
1211-1295 M
|
Syair dan
Tasawuf
|
Qashidah
Burdah dan Qashidah Al-Hamziyah
|
D.
Zaman
Kemunduran Dinasti Mamluk
Seperti halnya dinasti-dinasti yang lain, dinasti Mamluk juga
mengalami pasang surut. Setelah mengalami kemajuan dalam berbagai bidang,
dinasti ini mengalami masa kemunduran yang pada akhirnya membawa pada masa
kehancuran. Faktor-faktor yang menyebabkan dinasti mi mengalarni kemunduran dan
kehancuran di antaranya adalah sebagai berikut:
1.
Faktor Internal
a.
Perebutan
Kekuasaan
Pada masa penierintahan Qalawun, sultan Mamluk ke-8 melakukan
perubahan dalam pemerintahan, yaitu pergantian sultan secara turun menurun dan
tidak lagi memberikan kesempatan kepada pihak meliter untuk memilih sultan
sebagai pemimpin mereka. Di samping itu, Qalawun juga telah mengesampingkan
kelompok Mamluk Bahri sehingga makin lama pejabat dan Mamluk Bahriy semakin
berkurang dan digantikan oleh Mamluk Burjiy. Perpindahan kekuasaan ke tangan
Marniuk Burjiy membawa banyak perubahan gaya pernerintahan dalam dinasti ini.
Sistem baru yang diterapkan Qalawun ternyata telah menimbulkan
kericuhan dalam pemerintahan. Pada masa ini Qalawun mengalami dua kali turun
tahta karena perebutan kekuasaan dengan Kitbuga dan Najim al-Mansur Hisamudin.
Pada 1382 M. Barquk al-Dzahir Saef al-Din dan Mamluk Burjiy berhasil merebut
kekuasaan dan tangan as-Salih Salahuddin, sultan terakhir dan keturunan Qalawun.
Sejak saat itulah mulai periode kekuasaan Mamluk Burjiy.
Meskipun sultan-sultan Mamluk Burji menerapkan kembali sistem
pemerintahan secara oligarki seperti yang diterapkan Mamluk Bahri sebelumnya,
kekacauan tetap berlanjut sehingga situasi mi dimanfaatkan oleh para amir untuk
saling berebut kekuasaan dan memperkuat posisinya di pemerintahan. Di samping
itu, sultan yang memerintah dar tahun 1412 sampai 1421 M adalah seorang
pemabuk. Sultan inilah yang melakukan berbagai perbuatan yang melampaui batas.
Ada pula seorang sultan yang lain yang tidak dapat berbahasa Arab
sama sekali. Adapun sultan yang memerintah pada tahun 1453 adalah orang yang
tithk pandai membaca dan menulis. Bahkan ada di antara sultan Mamluk burji yang
bukan saja buta huruf melainkan juga gila. Seorang sultan lainnya yang dibeli
seharga lima puluh dinar, telah mengorek mata dan dipotong lidahnya karena
gagal mengubah logam rongsokan menjadi emas.[23]
b.
Kemewahan dan
Korupsi
Sejak pemerintahan Qalawun, pola hidup mewah telah menjalar di
kalangan penguasa istana, hahkan di kalangan para amir. Hal mi membuat keuangan
negara sernakin merosot dan untuk mengatasinya, pendapatan dan sektor pajak
dinaikkan sehIngga penderitaan rakyat semakin bertambah. Di samping itu,
perdagangan pun semakin sulit, seperti komoditi utama dan Mesir yang selama mi
yang selama mi diperjualhelikan bebas oleh para petani, diambil alih oleh
sultan-sultan dan keuntungannya digunakan untuk berfoya-foya. Korupsi, baik
banyak maupun sedikit tidak hanya dilakukan oleh para sultan, namun para
pejabat rendahan pun melakukan hal yang sama.
Situasi ekonomi kerajaan yang sangat buruk diperparah oleh
kebijakan politik para sultan yang mementingkan din sendiri. Para sultan
menaikkan pajak yang tinggi, baik pada orang-orang muslim maupun non muslim,
sebab pajaklah satu-satunya jalan untuk mendapatkan penghasilan yang banyak
guna membiayai kegiatan pemerintahan, menggaji pegawai-pegawai, melengkapi
istana-istana dengan berbagai kemewahan dan membangun bangunan monumental.[24]
c.
Merosotnya
Perekonomian
Sikap penguasa Dinasti Mamluk yang memeras pedagang membelenggu
kebebesan petani menyebabkan lunturnya gairah dan semangat kerja mereka.
Keadaan ini semakin memperburuk musim kemarau panjang dan wabah penyakit
menjalar di Negeri ini.
Selain itu, sejak Vasco da Gama menemukan Tanjung Harapan di tahun
1498 M, jalur perdagangan dari Timur jauh ke Eropa yang asalnya melalui Kairo,
berpindah ke tempat itu. Hal ini berdampak besar pada pendapatan devisa Negara
yang selanjutnya melemahkan perekonomian.
2.
Faktor
Eksternal
Penyebab Iangsung runtuhnya dinasti Mamluk adalah terjadinya
peperangan dengan tentara Turki Utsmani yang terjadi dua kali.[20] Pada tahun
1516 M, terjadilah peperangan di Aleppo yang berakhir dengan kekalahan total
tentara Mamluk. Setelah menang di Aleppo, tentara Turki (Usmani malanjutkan
perjalanannya untuk masuk ke daerah Mesir yang dalam perjalanan mi terjadi lagi
pertempuran yang sengit antara tentara Turki Utsmani dengan tentara Mamluk.
Pertempuran mi terjadi ketika Mamluk diperintah oleh Tuman Bay II
(al-Asyrof) yang merupakan sultan terakhir dinasti Mamluk. Dengan demikian,
berakhirlah kekuasaan dinasti Mamluk di Mesir yang berlangsung cukup lama dan
sebagai akibatnya tampuk pemerintahan kekhalifahan dipindahkan dan Kairo ke
Istambul. Kairo yang sebelumnya menjadi ibi kota kerajaan, sekarang tidak lebih
dan sebuah kota protinsi dan kesultanan Turki Utsmani.
E.
Analisis
Berdasarkan isi materi dari makalah ini, dapat mengambil suatu
gambaran analisis bahwa Dinasti Mamluk
adalah dinasti yang berasal dari budak-budak atau hamba sahaya yang pada
mulanya mereka adalah orang-orang yang ditawan oleh penguasa Dinasti Ayyubiyah.
Dinasti Mamluk adalah kerajaan Islam yang mampu bertahan dari serangan Mongol
dan Timur Lenk serta mereka juga mampu memporak-porandakan tentara Salib.
Dengan kemenangan itu Dinasti Mamluk mampu menyatukan kembali Mesir dan Syam di
bawah naungan Dinasti Mamluk.
Dinasti Mamluk berkuasa kurang lebih selama 265 tahun yang dimulai
pada tahun 1250 M sampai tahun 1517 M. Di mana jumlah sultannya sebanyak 47
sultan. System pemerintahan dinasti ini bersifat oligarki militer dan ada juga
yang bersifat turun temurun. Kerajaan Dinasti Mamluk terbagi menjadi dua
periode yaitu periode pertama dinamakan dengan Mamluk Bahri yang berkuasa mulai
tahun 1250 – 1389 M. Pada masa ini banyak sultan-sultan yang terkenal
diantaranya adalah Quruz, Baybars, Qalawun dan Nasir Muhammad bin Qalawun.
Namun diantara sultan-sultan tersebut yang paling lama memerintah adalah
Baybars yang mampu berkuasa selama tujuh belas tahun. Kemudian periode kedua
yaitu Mamluk Burji yang berkuasa mulai tahun 1389 – 1517 M. Pada masa ini
Dinasti Mamluk mulai mengalami kelemahan dikarenakan terjadi perang saudara dan
huru-hara dan solidaritas antara militer menurun, banyak penguasa Mamluk Burji
yang bermoral rendah dan tidak menyukai ilmu pengetahuan. Dari situlah salah
satu faktor yang menyebabkan runtuhnya Dinasti Mamluk dari dalam, dan dari luar
sendiri adanya tantangan baru dari kerajaan Usmani yang pada akhirnya
mengalahkan Dinasti Mamluk.
Sedangkan peradaban yang dapat pada Dinasti Mamluk yaitu diantara
yaitu dalam bidang ekonomi, ilmu pengetahuan, dan pemerintahan. Dalam bidang
ekonomi Dinasti Mamluk membuka hubungan dagang dengan bangsa lain yaitu dengan
Perancis dan Italia. Dengan adanya pembangunan jaringan transfortasi dan
komunikasi antar kota baik laut maupun darat itu sangat mendukung keberhasilan
di bidang ekonomi.
Di bidang ilmu pengetahuan setelah Baghdad hancur disebabkan adanya
serangan tentara Mongol banyak ilmuan-ilmuan asal Baghdad lari ke Mesir dari
situlah ilmu-ilmu banyak berkembang di Mesir. Ilmu-ilmu itu adalah sejarah,
kedokteran, astronomi, dan ilmu agama.
Masa Mamluk adalah masa mengarang matan-matan yang pendek dan
mengarang syarahnya agar pelajar mudah menghafalnya. ilmu yang dikembangkan
bangsa Arab saat itu adalah astronomi, matematika, termasuk trigonomentri, ilmu
kedokteran khususnya kedokteran mata, bidang biografi dan sejarah.
Sistem pengajaran pada masa Mamluk ialah dengan menghafal
matan-matan dan praktikum. Lembaga-lembaga pendidikan pada masa Dinasti Mamluk
yaitu masjid, madrasah, perpustakaan, rumah sakit, obsevatorium dan Jami’
Al-Azhar. Madrasah-madrasah di Mesir pada masa ini berjumlah 45 madrasah dan
jumlah seluruhnya 70 madrasah beserta wilayah-wilayah lain. Pada masa Dinasti
Mamluk, muncul beberapa ulama terkenal dengan beberapa karyanya yang masyhur di
antaranya; Ibnu Khaldun, Ibnu Taimiyah, Jalaluddin al-Mahalli, Jalaluddin
as-Suyuthi dan lain-lain.
Dalam bidang pemerintahan kemenangannya atas Mongol mampu
menyatukan kembali Mesir dan Syam di bawah naungan Dinasti Mamluk. Dan
pemerintahannya yang bersifat oligarki militer merupakan warna baru dalam sejarah
politik Islam. Dalam bidang pemerintahan, kemenagan dinasti Mamluk atas Mongol
di ‘Ayn Jalut menimbulkan harapan baru bagi daerah sekitar sehingga mereka
meminta perlindungan, menyatakan kesetian kepada dinasti ini sehingga wilayah
dinasti ini bertambah luas.
Pada intinya, sitem Oligarki Militer memberikan kemajuan bagi
Mesir. Bahkan, dinasti Mamluk juga membawa warna baru dalam sejarah politik
Islam. Pemerintahan dinasti yang bersifat oligarki militer dapat memberikan
kemajuan-kemajuan.
Dinasti
Mamluk pada dasarnya tidak menerapkan sistem turun-temurun terhadap orang yang
memegang jabatan sultan, sebab apabila sistem semacam itu diterapkan maka rasa
keadilan yang telah mengikat keutuhan solidaritas kalangan para mamluk dengan
sendirinya akan rusak dan menyebabkan terjadinya disintegrasi dalam kalangan
mereka.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dinasti Mamluk
adalah sebuah dinasti yang didirikan oleh para budak yang berasal dan Turki
yang dijadikan tentara oleh Malik as-Shalih Najamuddin Ayyub sebagai pengawal kerajaan,
akan tetapi mereka diberi kebebasan dan kesempatan yang luas untuk mencapai
kedudukan dalam jajaran militer. Mereka akhimya mendirikan suatu kelompok
militer yang terorganisir lalu kemudian merebut kekuasaan, sehingga menjadikan
Syajarat al-Dur sebagai orang pertama yang memegang jabatan sultan pada dinasti
Mamluk.
Perwatakan pada
sistem pemerintah dinasti Mamluk bersifat oligarki militer, kecuali dalam waktu
yang singkat ketika Qawalun (1280-1290 M) menerapkan pergantian khalifah secara
turun menurun. Padahal sitem Oligarki Militer memberikan kemajuan bagi Mesir.
Kedudukan Amir sangat penting, para Amir saling berkompetesi dalam prestasi
karena mereka merupakan kandidat sultan. Bahkan dinasti Mamluk juga membawa
warna baru dalam sejarah politik Islam. Pemerintahan dinasti yang bersifat oligarki
militer dapat memberikan kemajuan-kemajuan di capai dalam berbagai bidang,
seperti konsiladasi pemerintahan, perekonomian, dan Ilmu pengetahuan.
Peran dinasti
Mamluk dalam menjaga peradaban di Mesir dibuktikan dengan kemajuan-kemajuan
yang dicapai pada masa pemerintahannya. Pada masa dinasti Mamluk berkuasa benyak
kemajuan yang dicapai, hal tersebut memberikan sumbangan yang besar bagi
perkembangan dunia Islam. Adapun kemajuan yang dicapai pada saat itu adalah di
bidang militer, politik, ekonomi,pendidikan dan ilmu pengetahuan dan seni
arsitektur. Pada masa itulah banyak sekali ilmuan handal yang lahir dan memberi
sumbangan pemikiran yang begitu besar terhadap peradaban Islam
Kemunduran
dinasti Mamluk dikarenakan berbagai faktor antara lain faktor internal yaitu
perebutan kekuasaan, kehidupan yang bermewa-mewahan dikalangan pemimpin,
korupsi, merosotnya sistem ekonomi. Dan faktor eksternal penyebab kemunduran
dinasti Mamluk adalah munsulnya gejolak politik baru yakni Turki usmani
kemudian menguatnya Turki Usmani dalam berbagai bidang sehingga dapat memukul
mundur kekuatan dinasti mamalik sampai menghancurkannya. Sehingga berakhirlah
kekuasaan dinasti Mamalik.
DAFTAR
PUSTAKA
Abd. Chair.
2010. Ensiklopedia Tematis Dunia Islam Khilafah. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve.
Ajid Thohir.
2004. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam. Jakarta: Graha Gratindo
Persada.
Badri Yatim.
1998. Sejarah Peradaban Islam Cet. VII. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Badri Yatim.
1998. Sejarah Peradaban Islam Cet. VII. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Dedi Supriyad. 2005. Sejarah
Peradaban Islam cet. I. Bandung: Pustaka Setia.
Dedi Supriyadi. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka
Setia.
Dewan Redaksi
Ensikiopedi Islam. 1993. Ensiklopedi Islam Cet. I. Jakarta: PT. Ikhtiyar Baru
Van floeve.
Harun Nasution.
1985. Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: Universitas Indonesia
Press.
Mahmud Yunus.
1990. Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Hidakarya Agung.
Musyrifah Sunanto.2003.
Sejarah Islam Klasik. Jakarta: Prenada Media.
Philip K. Hitti. 2008. History of the Arabs Cet. I. Jakarta: PT.
Serambi Ilmu Semesta.
[1] Dedi Supriyad.
2005. Sejarah Peradaban Islam cet. I.
Bandung: Pustaka Setia. Hal. 235.
[2] Musyrifah
Sunanto.2003. Sejarah Islam Klasik.
Jakarta: Prenada Media. Hal. 205
[3] Harun Nasution. 1985. Islam
ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Hal.
81-82
[4] Dedi
Supriyadi. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia. Hal.
236
[5] Dewan Redaksi
Ensikiopedi Islam. 1993. Ensiklopedi Islam Cet. I. Jakarta: PT. Ikhtiyar Baru
Van floeve. Hal. 339
[6] Badri Yatim.
1998. Sejarah Peradaban Islam Cet. VII. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada. Hal. 125
[7]Musyrifah Sunanto.2003.
Sejarah Islam Klasik Cet. I. Bogor: Kencana. Hal. 210
[8] Dedi Supriyadi.2008. Sejarah
Peradaban Islam cet I. Bandung: Pustaka Setia. Hal.236
[9] Badri Yatim.
2007. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Hal.126
[10]Abd. Chair, et.
al. 2010. Ensiklopedia Tematis Dunia Islam Khilafah. Jakarta: PT.
Ichtiar Baru Van Hoeve. Hal. 217
[11] Dedi Supriyad. 2008. Sejarah
Peradaban Islam. Bandung: pustaka setia. Hal. 236.
[12] Badri Yatim.
1998. Sejarah Peradaban Islam Cet. VII. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada. Hal. 125
[13]Dedi Supriyad. 2008. Sejarah
Peradaban Islam. Bandung: pustaka setia. Hal. 241-243
[14]Musyrifah
Sunanto.2003. Sejarah Islam Klasik.
Jakarta: Prenada Media. Hal. 206-208.
[15]Badri Yatim.
2007. Sejarah Peradaban Islam Cet. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Hal. 126
[16] Philip K.
Hitti. 2008. History of the Arabs Cet. I. Jakarta: PT. Serambi Ilmu
Semesta. Hal. 886
[17] Mahmud Yunus.
1990. Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Hidakarya Agung. Hal. 162-167
[18] Musyrifah
Sunanto. 2003. Sejarah Islam Klasik. Jakarta: Kencana. Hal. 221-222.
[19] Badri Yatim. 2008. Sejarah
Peradaban Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Hal. 127
[20] Mahmud Yunus.
1990. Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Hidakarya Agung. Hal. 182
[21] Mahmud Yunus.
1990. Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Hidakarya Agung. Hal. 168
[22] Mahmud Yunus.
1990. Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Hidakarya Agung. Hal. 172
[23] Ajid Thohir.
2004. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam. Jakarta: Graha Gratindo
Persada. Hal.130
[24]Philip K.
Hitti. 2008. History of the Arabs Cet. I. Jakarta: PT. Serambi Ilmu
Semesta. Hal 695
Tidak ada komentar:
Posting Komentar