Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Minggu, 13 Mei 2018

MAKALAH METODOLOGI HAMKA YANG DIGUNAKAN DALAM PENULISAN TAFSIR AL-AZHAR.


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai petunjuk bagi umat manusia dalam upaya memperoleh kebahagian hidup di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, Al-Qur’an merupakan sumber ajaran Islam yang pertama dan utama. Karena posisi Al-Qur’an yang demikian penting, maka Al-Qur’an senantiasa dikaji bukan saja oleh umat Islam tapi juga non-Islam. Di antara mereka ada yang mempelajarinya untuk mendapatkan kebenaran yang objektif dan ada pula yang karena meragukan kebenarannya.[1]
Jika demikian halnya, maka aktivitas tafsir Al-Qur’an serta upaya penjelasan makna-maknanya yang dianggap musykil oleh kebanyakan kaum Muslimin menjadi suatu keniscayaan, semenjak ia turun pada masa hidup Rasulullah Saw, dan sepeninggal beliau, bahkan hingga sekarang dan yang akan datang. Untuk merespon kenisacayaan itu, dalam sejarah perjalanan umat ini bersama Kitab Sucinya, banyak sudah ulama yang mencurahkan perhatiannya untuk membidangi tafsir dengan berbagai manhaj, bentuk serta coraknya. Pada setiap fase waktu dapat kita temukan “peninggalan” tafsir yang sejalan dengan tuntutan dan dinamika masanya. Kemunculan para mufasir dari satu masa ke masa berikutnya memperpanjang daftar perbendaharaan rahasia dan ilmu-ilmu Al-Qur’an. Pergantian zaman, penemuan ilmu-pengetahuan dan kemajuan akal-pikir manusia semakin memperjelas betapa luasnya samudera hikmah yang dikandung Al-Qur’an.
Di antara karya tafsir modern Indonesia yang dapat kita jumpai dengan cukup mudah dan banyak dibicarakan (dikaji) orang adalah Tafsir Al-Azhar karangan Hamka. Kehadiran Tafsir al-Azhar ini tentu saja selain memperkaya khazanah intelektual Islam dalam bidang tafsir pada umumnya juga kitab-kitab tafsir yang ditulis oleh ulama Indonesia pada khususnya. Di dalam makalah ini akanmembahas tentang Hamka dan metodologinya dalam Tafsir Al-Azhar.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana biografi hamka?
2.      Bagaimana metodologi Hamka yang digunakan dalam penulisan tafsir Al-Azhar?
C.    Tujuan
1.      Mendeskripsikan biografi Hamka
2.      Menjelaskan metodologi Hamka yang digunakan dalam penulisan tafsir Al-Azhar.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Hamka
1.      Biografi Hamka
Hamka merupakan akronim dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah, dilahirkan pada tanggal 16 Februari 1908 M (1326 H) di Maninjau Sumatra Barat. Ayahnya Syekh Abdul Karim Amrullah terkenal dengan sebutan Haji Rasul, seorang ulama yang cukup terkenal dan terkemuka, tokoh pembaharu di Minangkabau. Ibunya bernama Siti Safiyah putri dari Gelanggang yang bergelar Baginda nan Batutah.[2]
Pada tahun 1929 ketika itu Hamka berusia 22 tahun, beliau dikawinkan dengan seorang wanita bernama Siti Raham binti Endah Sutan, yang masih berusia 15 tahun. Dari kerkawinannya itu beliau mempunyai 10 anak, 7 laki-laki dan 3 perempuan. Setelah istrinya meninggal pada tahun 1972, beliau menikah lagi dengan seorang wanita asal cirebon bernama Hj. Siti Khadijah. Beliau meninggal dunia di Jakarta tahun 1981 dalam usia 73 tahun 5 bulan dan 7 hari.[3]
Pendidikan formalnya hanya sampai SD, tetapi banyak belajar sendiri (otodidak), terutama dalam bidang agama. Hamka menerima pendidikan awalnya dari ayahnya sendiri dan beberapa sekolah formal; pada pagi hari ia pergi ke sekolah umum (public school), sedangkan pada sore hari harus menerima pelajaran di sekolah diniyah (the diniyah school), sekolah agama pertama yang menggunakan sistem pendidikan modern. Di samping itu, Hamka juga mendapat pendidikan dasar di lingkungan keluarga dan belajar secara otodidak.Penguasaan Hamka serta dedikasinya terhadap Islam menyebabkan beliau memperoleh gelar doktor (honoris causa) dan profesor dari Majelis tinggi al-Azhar pada 20 Sya’ban 1378 H/ 28 Pebruari 1959 dengan gelar “Syaraf Ilmiyah Syahadah al-‘Alimiyah” yang ditandatangani langsung oleh Syaikh mahmud Syaltut, Syaikh Jami’al-Azhar. Kemudian pada tanggal 8 Juni 1974 Hamka juga dianugerahkan gelar doctor honoris causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia.[4]
Kehidupan hamka semenjak kecil sentiasa berada dalam lingkungan suasana ilmu. Meskipun beliau tidak pernah tamat belajar di mana-mana institusi pengajian, berkat kegigihan dan ketekunan beliau masih berpeluang menimba ilmu di pelbagai lapangan ilmu samada secara formal atau tidak formal.
Antara guru-guru beliau adalah Haji Omar Said Chakraminoto dalam bidang Islam dan Sosialisme, Soeryopranoto dalam bidang ilmu sosiologi, H. Fakhruddin dalam bidang ilmu Tauhid, Ki Bagus Hadi Kesumo dalam ilmu Tafsir, Zainudin Lebai al Yunus, H. Rasul Hamidi ( Sekolah Diniyah), Jalaluddin Thaib dan Angku Mudo Abdul Hamid ( Madrasah Thawalib), Syeikh Ibrahim Musa Parabek, Sain al-Maliki dan Angku Lebai Ahmad Padang Luar.[5]
Perkembangan politik di Indonesia semakin buruk. Hamka sebagai masyarakat dan ulama tak luput dari berbagai hasutan. Beliau dituduh menyelenggarakan rapat gelap menyusun rencana pembunuhan Presiden Soekarno dan atas tuduhan tersebut beliau ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Tetapi rupanya penjara ini memberikan hikmah tersendiri bagi beliau, karena dari sinilah kemudian lahir sebuah tafsir Al-Qur’an karangan beliau yang dikenal dengan Tafsir al-Azhar. Di dalam penjara ini beliau memiliki banyak waktu yang tidak didapatkan di luar sana karena kesibukan berdakwah. Di samping dapat menyelesaikan tafsirnya, beliau juga mendapat kesempatan untuk shalat tahajjud di malam hari, mengkhatamkan Al-Qur’an lebih dari 100 kali, membaca buku-buku tasawuf, tauhid, filsafat agama, hadits-hadits Rasulullah, tarikh (sejarah) pejuang-pejuang Islam dan kehidupan ahli-ahli tasawuf dan ulama. Dengan demikian selama dalam penjara merupakan masa-masa untuk menambah ilmu pengetahuan dan meresapkan ajaran agama ke dalam jiwa.
Selesai dari tahanan tahun 1975, Hamka diminta menjadi  Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI). Tetapi pada bulan Mei 1981, fatwanya yang berlawanan dengan kebijakan pemerintah mengenai perayaan Natal bersama menyebabkan beliau meletakkan jabatannya sebagai Ketua MUI.
Dua bulan setelah pengunduran dirinya sebagai Ketua Umum MUI, Hamka masuk rumah sakit karena serangan jantung yang cukup kuat selama lebih kurang satu minggu. Tepat pada tanggal 17 Juli 1981 beliau berbaring di Rumah Sakit Pertamina Pusat Jakarta. Akhirnya pada tanggal 24 Juli 1981 ketika kaum muslimin hendak menunaikan shalat Jumat, beliau berpulang ke rahmatullah. Beliau dimakamkan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Tanah Kusir Kebayoran Lama Jakarta dengan diiringi ribuan umat Islam.[6]
2.      Karya-karya Hamka
Hamka dikenal sebagai seorang yang produktif meskipun aktivitas Hamka yang begitu padat, tidak membuat surut tekad Hamka untuk membuat berbagai karya tulis. Keproduktifan Hamka bukan hanya dari segi ide atau gagasan tetapi dalam segi tulisan pun ia sangat produktif, lebih kurang 118 buah buku  dalam berbagai disiplin ilmu (tafsir, hadits, sejarah, tasawuf, politik, akhlak, sastra, dll), belum termasuk berbagai tulisannya yang berserakan di media masa, majalah, atau makalah-makalah yang disampaikan untuk perkuliahan.
Sebagai seorang ilmuan agama Islam sekaligus seorang sastrawan, Hamka memiliki banyak karya tulis, baik dalam bidang sastra maupun dalam bidang ilmiah keagamaan.Di antara karya sastranya adalah Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, Di Tepi Sungai Dajlah,. Sebelum itu beliau juga menulis : Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal van Der Wijek, Merantau ke Deli, Di Dalam Lembah Kehidupan dan biografi orang tuanya dengan judul Ayahku.
Sedangkan karya Hamka di bidang keilmuan keagamaan antara lain: Tasawuf Modern, Lembaga Hidup, Falsafah Hidup, Penuntun Jiwa, Keadilan Ilahi, Lembaga Budi, Sejarah Islam di Sumatera, Revolusi Pikiran, Revolusi Agama, Negara Islam, Perkembangan Tasawuf dari Abad ke Abad, Pribadi, Lembaga Hikmat, Sejarah Umat Islam, Pengaruh Mohammad Abduh di Indonesia, Sayid Jamaluddin al-Afghani, Kisah Nabi-nabi, Beberapa Tantangan Terhadap Umat Islam di Masa Kini, Studi Islam, Tafsir al-Azhar, Kedudukan Perempuan dalam Islam, Mengembalikan Tasawuf ke Pangkalnya.[7]
B.     Tafsir Al-Azhar
1.      Identitas Tafsir Al-Azhar
Tafsir ini pada mulanya merupakan rangkaian kajian yang disampaikan pada kuliah subuh oleh Hamka di masjid al-Azhar yang terletak di Kebayoran Baru sejak tahun 1959.[8]
Tafsir al-Azhar merupakan salah satu karya monumental Hamka yang ditulis dalam tahanan pemerintahan Orde lama. Tafsir ini ditulis untuk memenuhi kebutuhan umat Islam Indonesia yang mempunyai minat untuk mengetahui isi Al-Qur’an, yang tidak mempunyai kemampuan mempelajari bahasa Arab. Di samping itu, juga untuk membantu para mubaligh atau juru dakwah yang telah mempunyai kemampuan bahasa Arab namun kurang mempunyai kemampuan dalam pengetahuan umumnya, agar mereka tidak canggung dalam menyampaikan dakwahnya. Oleh karena itu tafsir al-Azhar ini Hamka tulis dengan mempergunakan bahasa Indonesia yang sederhana agar mudah dipahami dan juga tidak menjemukan.


2.      Haluan Tafsir Al-Azhar
“Tiap-tiap tafsir Al-Qur’an memberikan corak haluan daripada peribadi penafsirnya,” demikian Hamka mengawali paparannya tentang haluan tafsir. Dalam Tafsir Al-Azhar-nya, Hamka, seperti diakuinya, memelihara sebaik mungkin hubungan antara naqal dan ‘aql’; antara riwayah dan dirayah. Hamka menjanjikan bahwa ia tidak hanya semata-mata mengutip atau menukil pendapat yang telah terdahulu, tetapi mempergunakan juga tinjauan dan pengalaman pribadi. Pada saat yang sama, tidak pula melulu menuruti pertimbangan akal seraya melalaikan apa yang dinukil dari penafsir terdahulu. Suatu tafsir yang hanya mengekor riwayat atau naqal dari ulama terdahulu, berarti hanya suatu textbook thinking belaka. Sebaliknya, kalau hanya memperturutkan akal sendiri, besar bahayanya akan terpesona keluar dari garis tertentu yang digariskan agama melantur ke mana-mana, sehingga dengan tidak disadari boleh jadi menjauh dari maksud agama.
Masih dalam kerangka “Haluan Tafsir”, Hamka mengabarkan bahwa Tafsir Al-Azhar ditulis dalam suasana baru, di negara yang penduduk Muslimnya adalah mayoritas, sedang mereka haus akan bimbingan agama haus akan pengetahuan tentang rahasia Al-Qur’an, maka perselisihan-perselisihan mazhab dihindari dalam Tafsirnya. Dan Hamka sendiri, sebagai penulis Tafsir, mengakui bahwa ia tidaklah ta’ashshub kepada satu paham, “melainkan sedaya upaya mendekati maksud ayat, menguraikan makna dan lafaz bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia dan memberi kesempatan orang buat berpikir.”
Masih dalam kerangka “Haluan Tafsir”, Hamka mengemukakan ketertarikan hatinya terhadap beberapa karya tafsir. Di antara karya tafsir yang jelas-jelas ia menyatakan ketertarikan hati terhadapnya adalah tafsir Al-Manar karya Sayyid Rasyid Ridha. Tafsir ini ia nilai sebuah sosok tafsir yang mampu menguraikan ilmu-ilmu keagamaan sebangsa hadis, fikih, sejarah dan lainnya lalu menyesuaikannya dengan perkembangan politik dan kemasyarakatan yang sesuai dengan zaman di waktu tafsir itu ditulis.
Selain tafsir Al-Manar, tafsir al-Maraghi, al-Qasimi dan Fi Zhilal Al-Qur’an juga termasuk tafsir-tafsir yang Hamka ‘saluti’. Tafsir yang disebut terakhir misalnya, ia nilai sebagai “satu tafsir yang munasabah buat zaman ini. Meskipun dalam hal riwâyah ia belum (tidak) mengatasi al-Manar, namun dalam dirayah ia telah mencocoki pikiran setelah Perang Dunia II.” Secara jujur Hamka mengatakan bahwa Tafsir karya Sayyid Quthub itu banyak mempengaruhinya dalam menulis tafsir Al-Azhar-nya.
Di sisi lain, ia juga, seperti diakuinya, banyak diwarnai (diberi corak) oleh tafsir ‘modern’ yang telah ada sebelumnya, seperti Al-Manâr dan Fi Zhilal Al-Qur’an. Selama ini, dua tafsir tersebut dikenal bercorak adabi-ijtima`i, dalam makna selalu mengaitkan pembahasan tafsir dengan persoalan-persoalan riil umat Islam. Warna-warna tafsir itu mempengaruhi Tafsir Al-Azhar yang penulisnya jelas-jelas menyatakan kekaguman dan keterpengaruhannya. Dengan begitu, dapat dengan mudah kita katakan bahwa corak Tafsir yang sedang kita kaji ini bercorak Adabi-Ijtima`i, dengan setting sosial-kemasyarakatan keindonesiaan sebagai objek sasarannya.
Hal lain yang dimasukkan Hamka dalam sub ini adalah janjinya untuk menyuguhkan sebuah tafsir yang ‘tengah-tengah’. Dalam bahasa dia: “…penafsiran tidak terlalu tinggi mendalam, sehingga yang dapat memahaminya tidak hanya semata-mata sesama ulama, dan tidak terlalu rendah, sehingga tidak menjemukan”.[9]
3.      Mengapa Dinamai Tafsir Al-Azhar
Nama Al-Azhar diambil dari nama masjid tempat kuliah-kuliah tafsir yang disampaikan oleh Hamka sendiri, yakni masjid Al-Azhar, Kebayoran Baru. Nama masjid Al-Azhar sendiri adalah pemberian dari Syaikh Mahmoud Syaltout, syaikh (rektor) Universitas Al-Azhar, yang pada bulan Desember 1960 datang ke Indonesia sebagai tamu agung dan mengadakan lawatan ke masjid tersebut yang waktu itu namanya masih Masjid Agung Kebayoran Baru.
Pengajian tafsir setelah shalat shubuh di masjid Al-Azhar telah terdengar di mana-mana, terutama sejak terbitnya majalah Gema Islam. Majalah ini selalu memuat kuliah tafsir ba’da shubuh tersebut. Hamka langsung memberi nama bagi kajian tafsir yang dimuat di majalah itu dengan Tafsir Al-Azhar, sebab tafsir itu sebelum dimuat di majalah digelar di dalam masjid agung Al-Azhar.[10]
4.      Penerbitan Tafsir Al-Azhar
Tafsir al-Azhar pertama kali diterbitan oleh penerbit Pembimbing Masa pimpinan H. Mahmud. Dalam penerbitan ini hanya merampungkan juz pertama sampai juz keempat. Setelah itu diterbutkan juz 30 dan juz 15 samapi juz 29 dengan penerbit yang berbeda yakni Pustaka Islam, Surabaya. Dan pada akhirnya juz 5 sampai dengan juz 14 diterbitkan dengan penerbit yang berbeda pula yakni Yayasan Nurul Islam, Jakarta.[11]
5.      Metodologi Tafsir Al-Azhar
Dalam menulis tafsirnya tersebut, Hamka di antaranya melakukan beberapa langkah berikut ini:
·         Memberikan pendahuluan pada awal surat. Pendahuluan tersebut berisi informasi sekilas tentang surat yang akan ditafsirkan. Biasanya berkenaan dengan tempat turun, kejadian-kejadian sekitar turunnya surat tersebut, hubungannya dengan surat yang telah lalu, jumlah ayat dan lain-lain.
·         Menuliskan beberapa ayat yang dianggap satu tema. Biasanya setelah menuliskan ayat-ayat tersebut beliau memberikan judul tema tersebut namun tidak semuanya demikian.
·         Menerjemahkan ayat-ayat tersebut ke dalam bahasa Indonesia.
·         Memberikan tafsiran perayat. Tafsirannya lebih cenderung kepada tafsir bir ra’yi sebagaimana penjelasan yang telah lalu.
·         Dalam menyebutkan hadits biasanya hanya menyebutkan sahabat yang membawa hadits tersebut dan mukharrijnya.
Untuk menafsiran al-Qur’an, Hamka menggunakan berbagai metode dalam penulisan tafsir Al-Azhar. Adapun metode yang digunakan Hamka dalam penulisan tafsir Al-Azhar adalah sebagai berikut:
a.      Tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Dalam menafsirkan Al-Qur’an, Hamka terlebih dahulu menafsirkannya dengan Al-Qur’an itu sendiri, karena penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an lebih utama daripada yang lainnya.
HAMKA mengaplikasikan metode ini dalam menafsirkan aya-ayat Alquran sebagaimana ulama tafsir yang lain. Namun, tidak semua ayat-ayat Alquran ditafsirkan dengan metode tersebut. Penggunaan metode tersebut dapat dilihat ketika beliau menafsirkan surah Alqashash ayat 60.
Artinya: “Dan apa saja yang diberikan kepada kamu, maka itu adalah kenikmatan hidup duniawi dan perhiasannya; sedang apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal. Maka apakah kamu tidak memahaminya?”
Untuk menjelaskan bentuk perhiasan tersebut, HAMKA membawakan surah Ali Imran ayat 14:
Artinya: ”Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).”
Hamka menjelaskan bahwa semua perhiasan tersebut adalah benar tetapi beliau menegaskan bahwa ia hanyalah perhiasan dunia yang tidak kekal. Yang kekal adalah surga Allah yang telah tersedia bagi mereka yang beramal soleh.
b.      Tafsir Al-Qur’an dengan Sunnah
Selanjutnya, bila beliau tidak menemukan tafsirannya di dalam Al-Qur’an, Hamka akan berpindah kepada sunah.  Penggunaan metode ini dapat kita lihat dalam penafsiran surah Ali Imran ayat 104:
Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”
Artinya: “Siapa yang melihat kemunkaran maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka rubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman.”
Ayat di atas menerangkan tentang perintah amar ma’ruf dan nahi munkar. Beliau menuliskan beberapa buah hadits untuk menjelaskan pentingnya perintah tersebut setelah menerangkan panjang lebar maksud istilah-istilah tersebut. Terdapat tiga buah hadits yang diketengahkan yaitu hadits Hudzaifah r.a yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, hadits Abu Sa’id Alkhudri yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Imam Tirmidzi dan hadits Abdullah bin Mas’ud yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Beliau kemudian membuat ulasan terhadap tiga hadits tersebut dan hubungannya dengan dakwah.


c.       Tafsir Al-Qur’an dengan Pendapat Sahabat dan Tabi’in
Adakalanya Hamka memasukkan pendapat-pendapat sahabat dan tabi’in untuk menguatkan penjelasan beliau terhadap tafsiran ayat-ayat Al-Qur’an. Di antara penafsiran ayat Alquran yang menggunakan metode ini ialah penafsiran terhadap surah Alnaml ayat 65:
Artinya: “Katakanlah: "Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah", dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan.”
Ayat tersebut menjelaskan tentang pengetahuan terhadap perkara ghaib hanya diketahui oleh Allah saja. Dalam hal ini, HAMKA membawa pendapat seorang tabi’in yaitu Qatadah tentang kedudukan orang-orang yang mempercayai ilmu bintang atau Astrologi. Menurut Qatadah apabila seseorang menyalah gunakan tujuan Allah menjadikan bintang-bintang (perhiasan, petunjuk dan panah terhadap syaitan) maka kedudukannya adalah sesat.
d.      Penafsiran Al-Qur’an dengan Pengambilan Riwayat dari Kitab Tafsir Muktabar
Hamka juga merujuk kitab-kitab tafsir yang lain dalam menafsirkan Alquran. Di antaranya adalah Tafsir al-Manar karangan Muhammad Abduh dan muridnya Sayyid Rasyid Ridha, Fi Zhilalil Quran karya Sayyid Quthb, Mafatih Alghaib karangan Alrazi dan lain-lain. Ini menunjukkan bahwa beliau tidak terikat kepada satu referensi untuk memastikan ketepatan dan kesesuaian tafsiran beliau. Sebagai contoh, tafsiran terhadap surah Alnaml ayat 82:
Artinya: “Dan apabila perkataan Telah jatuh atas mereka, kami keluarkan sejenis binatang melata dari bumi yang akan mengatakan kepada mereka, bahwa sesungguhnya manusia dahulu tidak yakin kepada ayat-ayat Kami.”
Dalam ayat tersebut, dijelaskan bahwa apabila telah datang waktunya, ketika manusia sudah lupa dan lalai terhadap agamanya akan keluar dari dalam bumi binatang yang disebut dabbah. HAMKA membawakan tafsiran Alrazi tentang pelbagai penafsiran dabbah yaitu 5 keadaan berdasarkan pelbagai riwayat. Beliau juga membawa tafsiran Ibn Katsir dalam kitab Tafsir Alquran Al-azhim mengenai perkara yang sama.
e.       Penafsiran Al-Qur’an dengan Syair
Hamka dikenal sebagai pujangga Islam dan sastrawan. Oleh karena itu, beliau juga memasukkan unsur-unsur syair dalam ulasan terhadap ayat-ayat Alquran. Baik syair karya beliau sendiri maupun karya sastrawan Islam lainnya seperti Iqbal. Namun, hal ini sangat jarang. Contoh, surah Ali Imran ayat 158:
Artinya: “Dan sungguh jika kamu meninggal atau gugur, tentulah kepada Allah saja kamu dikumpulkan.”
Dalam ayat di atas, Hamka menjelaskan apapun sebab-sebab kematian seseorang baik mati syahid, sakit dan sebagainya akan dikumpulkan di hadapan Allah untuk dihisab. Perhitungan tersebut berkaitan dengan tujuan hidup setiap manusia karena tujuan hidup itulah yang menentukan nilai hidup bukan berdasarkan lama kehidupan di dunia. Di sini beliau membawakan serangkap syair Iqbal yang menggambarkan tentang nilai hidup tersebut: Umur bukan hitungan tahun, Hidup bukan bilangan masa. Sehari hidup singa di rimba, Seribu tahun hitungan domba.
f.       Penafsiran Al-Qur’an dengan Ra’yu (Pendapat Sendiri)
Contoh dari penafsiran dengan ra’yu adalah surat al-buruj 1:
Artinya: “Demi langit yang mempunyai gugusan bintang.”
Hamka menafsirkan dengan: “sekali lagi Allah bersumpah dengan langit sebagai makhluk-Nya: Demi langit yang mengandung hujan. Langit yang dimaksud di sini tentulah yang di atas kita. Sedangkan di dalam mulut kita yang sebelah atas kita namai “langit-langit”, dan tabir sutera warna-warni yang dipasang di sebelah atas singgasana raja atau di atas pelaminan tempat mempelai dua sejoli bersanding dinamai langit-langit jua sebagai alamat bahwa kata-kata langit itu pun dipakai untuk yang di atas. Kadang-kadang diperlambangkan sebagai ketinggian dan kemuliaan Tuhan, lalu kita tadahkan tangan ke langit ketika berdoa. Maka dari langit itulah turunnya hujan. Langitlah yang menyimpan air dan menyediakannya lalu menurunkannya menurut jangka tertentu. Kalau dia tidak turun kekeringanlah kita di bumi ini dan matilah kita. Mengapa raj’i artinya disini jadi “hujan”? sebab hujan itu memang air dari bumi juga, mulanya menguap naik ke langit, jadi awan berkumpul dan turun kembali ke bumi, setelah menguap lagi naik kembali ke langit dan turun kembali ke bumi. Demikian terus-menerus. Naik kembali turun kembali.
Melihat karya Hamka ini maka metode yang dipakai adalah metode  Tahlili  (analisis) bergaya khas tartib mushaf. Dalam metode ini biasanya mufassir menguraikan makna yang dikandung al-Qur’an ayat demi ayat dan surat demi surat sesuai dengan urutanya dalam mushaf.
Uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang dikandung ayat yang ditafsirkan seperti pengertian kosakata, konotasi, kalimatnya, latar belakang turunya ayat, kaitan dengan ayat lain (munasabah), tidak ketinggalan dengan disertakan pendapat pendapat yang telah diberikan berkenaan dengan tafsiran ayat-ayat tersebut, baik yang dismpaikan oleh Nabi, Sahabat, maupun para tabi’in dan ahli tafsir lainya.[12]
corak penafsiran, tafsir al-Azhar mempunyai corak  Adab al-Ijtima’iy. Corak ini menitik beratkan penjelasan ayat-ayat al-Qur’an dengan ungkapan-ungkapan yang teliti, menjelaskan makna-makna yang dimaksud al-Qur’an dengan bahasa yang indah dan menarik, tafsir ini berusaha menghubungkan nash-nash al-Qur’an yang tengah dikaji dengan kenyataan sosial dan sistem budaya yang ada.
6.      Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Al-Azhar
a.      Kelebihan Tafsir Al-Azhar
1)      Berbahasa Indonesia. Sehingga tafsir ini mudah dipahami oleh bangsa Indonesia yang umumnya kesulitan membaca buku-buku berbahasa Arab.
2)      Tafsir ini menyajikan pengungkapan kembali teks dan maknanya serta  penjelasan dalam istilah-istilah agama mengenai maksud bagian-bagian tertentu dari teks.
3)      Tafsir ini dilengkapi materi pendukung lainnya seperti ringkasan surat, yang membantu pembaca dalam memahami materi apa yang dibicarakan dalam surat-surat tertentu dari al-Qur’an.
4)      Dalam tafsir ini juga Hamka berusaha mendemonstrasikan keluasan pengetahuannya pada hampir semua disiplin bidang-bidang ilmu agama Islam, ditambah juga dengan pengetahuan-pengetahuan non keagamaannya yang begitu kaya dengan informatif.[13]


b.      Kekurangan Tafsir Al-Azhar
1)      Dalam menyebutkan hadits kadang-kadang tidak menyebutkan sumbernya.
2)      Hamka dalam melakukan penterjemahan menggunakan penterjemahan harfiah. Terjemhan seperti itu terkadang membuat terjemahan kurang jelas dan sulit ditangkap maksudnya secara langsung.


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hamka merupakan akronim dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah, dilahirkan pada tanggal 16 Februari 1908 M (1326 H). Hamka merupakan ulama’ yang cendekiawan dibuktikan dengan berbagai karya-karnya sehingga memperoleh gelar doktor (honoris causa) dan profesor dari Majelis tinggi al-Azhar pada 20 Sya’ban 1378 H/ 28 Pebruari 1959 dengan gelar “Syaraf Ilmiyah Syahadah al-‘Alimiyah” yang ditandatangani langsung oleh Syaikh mahmud Syaltut, Syaikh Jami’al-Azhar. Kemudian pada tanggal 8 Juni 1974 Hamka juga dianugerahkan gelar doctor honoris causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia kehormatan Tepat pada tanggal 17 Juli 1981 beliau berbaring di Rumah Sakit Pertamina Pusat Jakarta. Akhirnya pada tanggal 24 Juli 1981 ketika kaum muslimin hendak menunaikan shalat Jumat, beliau berpulang ke rahmatullah.
T
Tafsir al-Azhar mempunyai corak  Adab al-Ijtima’iy. Corak ini menitik beratkan penjelasan ayat-ayat al-Qur’an dengan ungkapan-ungkapan yang teliti, menjelaskan makna-makna yang dimaksud al-Qur’an dengan bahasa yang indah dan menarik, tafsir ini berusaha menghubungkan nash-nash al-Qur’an yang tengah dikaji dengan kenyataan sosial dan sistem budaya yang ada.



DAFTAR PUSTAKA
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. 2002. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve.
Fakhruddin Faiz. 2002. Hermeneutika Qur’ani; Antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi, (melacak Hermeneutika Tafsir Al-Azhar dan Tafsir Al-Manar. Yogyakarta: Qolam.
Fazlur Rahman. 1980. Major Themes of the Quran (E-Journal). Chigago: Biblioteca Islamica.
Hamka. 1982. Ayahku Riwayat Hidup. Jakarta: Penerbit Ummida.
Hamka. 1980. Doktrin Islam yang Menimbulkan Kemerdekaan dan Keberanian. Jakarta: Yayasan Idayu.
Hamka. 1994. Tafsir al-Azhar, Juz I. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Hamka. 1982. Tasawuf Modern. Jakarta: Yayasan Nurul Islam.
Nashrudin, Baidan. 1998. Metodologi Penafsiran Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Sulaiman al-Kumayi. 2004. Kearifan Spiritual dari Hamka ke Aa Gym. Semarang: Pustaka Nuun.
Yunan, Yusuf. 1990. Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas.





[1] Fazlur Rahman. 1980. Major Themes of the Quran (E-Journal). Chigago: Biblioteca Islamica. Hlm. xi-xii
[2] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. 2002. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve. Hlm. 75
[3]Hamka. 1982. Tasawuf Modern. Jakarta: Yayasan Nurul Islam. Hlm. 6
[4]Sulaiman al-Kumayi. 2004.Kearifan Spiritual dari Hamka ke Aa Gym. Semarang: Pustaka Nuun. Hlm. 24
[5]Hamka. 1982. Ayahku Riwayat Hidup. Jakarta: Penerbit Ummida. Hlm. 48
[6]Sulaiman al-Kumayi. 2004.Kearifan Spiritual dari Hamka ke Aa Gym. Semarang: Pustaka Nuun. Hlm. 30
[7] Hamka. 1980. Doktrin Islam yang Menimbulkan Kemerdekaan dan Keberanian. Jakarta: Yayasan Idayu. Hlm. 29-31
[8] Hamka. 1994. Tafsir al-Azhar, Juz I. Jakarta: Pustaka Panjimas. Hlm. 62
[9] Hamka. 1994. Tafsir al-Azhar, Juz I. Jakarta: Pustaka Panjimas. Hlm. 51-54
[10]Hamka. 1994. Tafsir al-Azhar, Juz I. Jakarta: Pustaka Panjimas. Hlm. 62.
[11] Yunan, Yusuf. 1990. Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas. Hlm. 55.
[12] Nashrudin, Baidan. 1998. Metodologi Penafsiran Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. Hlm. 31.
[13] Fakhruddin Faiz. 2002.Hermeneutika Qur’ani; Antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi, (melacak Hermeneutika Tafsir Al-Azhar dan Tafsir Al-Manar. Yogyakarta: Qolam. Hlm. 73.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar