BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW sebagai petunjuk bagi umat manusia dalam upaya memperoleh kebahagian hidup
di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, Al-Qur’an merupakan sumber ajaran Islam
yang pertama dan utama. Karena posisi Al-Qur’an yang demikian penting, maka
Al-Qur’an senantiasa dikaji bukan saja oleh umat Islam tapi juga non-Islam. Di
antara mereka ada yang mempelajarinya untuk mendapatkan kebenaran yang objektif
dan ada pula yang karena meragukan kebenarannya.[1]
Jika demikian halnya, maka aktivitas tafsir Al-Qur’an serta upaya
penjelasan makna-maknanya yang dianggap musykil oleh kebanyakan kaum Muslimin
menjadi suatu keniscayaan, semenjak ia turun pada masa hidup Rasulullah Saw, dan
sepeninggal beliau, bahkan hingga sekarang dan yang akan datang. Untuk merespon
kenisacayaan itu, dalam sejarah perjalanan umat ini bersama Kitab Sucinya,
banyak sudah ulama yang mencurahkan perhatiannya untuk membidangi tafsir dengan
berbagai manhaj, bentuk serta coraknya. Pada setiap fase waktu dapat kita
temukan “peninggalan” tafsir yang sejalan dengan tuntutan dan dinamika masanya.
Kemunculan para mufasir dari satu masa ke masa berikutnya memperpanjang daftar
perbendaharaan rahasia dan ilmu-ilmu Al-Qur’an. Pergantian zaman, penemuan
ilmu-pengetahuan dan kemajuan akal-pikir manusia semakin memperjelas betapa
luasnya samudera hikmah yang dikandung Al-Qur’an.
Di antara karya tafsir modern Indonesia yang dapat kita jumpai
dengan cukup mudah dan banyak dibicarakan (dikaji) orang adalah Tafsir Al-Azhar
karangan Hamka. Kehadiran Tafsir al-Azhar ini tentu saja selain memperkaya khazanah
intelektual Islam dalam bidang tafsir pada umumnya juga kitab-kitab tafsir yang
ditulis oleh ulama Indonesia pada khususnya. Di dalam makalah ini akanmembahas
tentang Hamka dan metodologinya dalam Tafsir Al-Azhar.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
biografi hamka?
2.
Bagaimana
metodologi Hamka yang digunakan dalam penulisan tafsir Al-Azhar?
C.
Tujuan
1.
Mendeskripsikan
biografi Hamka
2.
Menjelaskan
metodologi Hamka yang digunakan dalam penulisan tafsir Al-Azhar.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hamka
1.
Biografi Hamka
Hamka merupakan akronim dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah,
dilahirkan pada tanggal 16 Februari 1908 M (1326 H) di Maninjau Sumatra Barat.
Ayahnya Syekh Abdul Karim Amrullah terkenal dengan sebutan Haji Rasul, seorang
ulama yang cukup terkenal dan terkemuka, tokoh pembaharu di Minangkabau. Ibunya
bernama Siti Safiyah putri dari Gelanggang yang bergelar Baginda nan Batutah.[2]
Pada tahun 1929 ketika itu Hamka berusia 22 tahun, beliau
dikawinkan dengan seorang wanita bernama Siti Raham binti Endah Sutan, yang
masih berusia 15 tahun. Dari kerkawinannya itu beliau mempunyai 10 anak, 7
laki-laki dan 3 perempuan. Setelah istrinya meninggal pada tahun 1972, beliau
menikah lagi dengan seorang wanita asal cirebon bernama Hj. Siti Khadijah.
Beliau meninggal dunia di Jakarta tahun 1981 dalam usia 73 tahun 5 bulan dan 7
hari.[3]
Pendidikan formalnya hanya sampai SD, tetapi banyak belajar sendiri
(otodidak), terutama dalam bidang agama. Hamka menerima pendidikan awalnya dari
ayahnya sendiri dan beberapa sekolah formal; pada pagi hari ia pergi ke sekolah
umum (public school), sedangkan pada sore hari harus menerima pelajaran di
sekolah diniyah (the diniyah school), sekolah agama pertama yang menggunakan
sistem pendidikan modern. Di samping itu, Hamka juga mendapat pendidikan dasar
di lingkungan keluarga dan belajar secara otodidak.Penguasaan Hamka serta
dedikasinya terhadap Islam menyebabkan beliau memperoleh gelar doktor (honoris
causa) dan profesor dari Majelis tinggi al-Azhar pada 20 Sya’ban 1378 H/ 28
Pebruari 1959 dengan gelar “Syaraf Ilmiyah Syahadah al-‘Alimiyah” yang
ditandatangani langsung oleh Syaikh mahmud Syaltut, Syaikh Jami’al-Azhar.
Kemudian pada tanggal 8 Juni 1974 Hamka juga dianugerahkan gelar doctor honoris
causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia.[4]
Kehidupan hamka semenjak kecil sentiasa berada dalam lingkungan
suasana ilmu. Meskipun beliau tidak pernah tamat belajar di mana-mana institusi
pengajian, berkat kegigihan dan ketekunan beliau masih berpeluang menimba ilmu
di pelbagai lapangan ilmu samada secara formal atau tidak formal.
Antara guru-guru beliau adalah Haji Omar Said Chakraminoto dalam
bidang Islam dan Sosialisme, Soeryopranoto dalam bidang ilmu sosiologi, H.
Fakhruddin dalam bidang ilmu Tauhid, Ki Bagus Hadi Kesumo dalam ilmu Tafsir,
Zainudin Lebai al Yunus, H. Rasul Hamidi ( Sekolah Diniyah), Jalaluddin Thaib
dan Angku Mudo Abdul Hamid ( Madrasah Thawalib), Syeikh Ibrahim Musa Parabek,
Sain al-Maliki dan Angku Lebai Ahmad Padang Luar.[5]
Perkembangan politik di Indonesia semakin buruk. Hamka sebagai
masyarakat dan ulama tak luput dari berbagai hasutan. Beliau dituduh
menyelenggarakan rapat gelap menyusun rencana pembunuhan Presiden Soekarno dan
atas tuduhan tersebut beliau ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Tetapi
rupanya penjara ini memberikan hikmah tersendiri bagi beliau, karena dari
sinilah kemudian lahir sebuah tafsir Al-Qur’an karangan beliau yang dikenal
dengan Tafsir al-Azhar. Di dalam penjara ini beliau memiliki banyak waktu yang
tidak didapatkan di luar sana karena kesibukan berdakwah. Di samping dapat
menyelesaikan tafsirnya, beliau juga mendapat kesempatan untuk shalat tahajjud
di malam hari, mengkhatamkan Al-Qur’an lebih dari 100 kali, membaca buku-buku
tasawuf, tauhid, filsafat agama, hadits-hadits Rasulullah, tarikh (sejarah)
pejuang-pejuang Islam dan kehidupan ahli-ahli tasawuf dan ulama. Dengan
demikian selama dalam penjara merupakan masa-masa untuk menambah ilmu
pengetahuan dan meresapkan ajaran agama ke dalam jiwa.
Selesai dari tahanan tahun 1975, Hamka diminta menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI). Tetapi
pada bulan Mei 1981, fatwanya yang berlawanan dengan kebijakan pemerintah
mengenai perayaan Natal bersama menyebabkan beliau meletakkan jabatannya
sebagai Ketua MUI.
Dua bulan setelah pengunduran dirinya sebagai Ketua Umum MUI, Hamka
masuk rumah sakit karena serangan jantung yang cukup kuat selama lebih kurang
satu minggu. Tepat pada tanggal 17 Juli 1981 beliau berbaring di Rumah Sakit
Pertamina Pusat Jakarta. Akhirnya pada tanggal 24 Juli 1981 ketika kaum
muslimin hendak menunaikan shalat Jumat, beliau berpulang ke rahmatullah.
Beliau dimakamkan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Tanah Kusir Kebayoran Lama
Jakarta dengan diiringi ribuan umat Islam.[6]
2.
Karya-karya Hamka
Hamka dikenal sebagai seorang yang produktif meskipun aktivitas
Hamka yang begitu padat, tidak membuat surut tekad Hamka untuk membuat berbagai
karya tulis. Keproduktifan Hamka bukan hanya dari segi ide atau gagasan tetapi
dalam segi tulisan pun ia sangat produktif, lebih kurang 118 buah buku dalam berbagai disiplin ilmu (tafsir, hadits,
sejarah, tasawuf, politik, akhlak, sastra, dll), belum termasuk berbagai
tulisannya yang berserakan di media masa, majalah, atau makalah-makalah yang
disampaikan untuk perkuliahan.
Sebagai seorang ilmuan agama Islam sekaligus seorang sastrawan,
Hamka memiliki banyak karya tulis, baik dalam bidang sastra maupun dalam bidang
ilmiah keagamaan.Di antara karya sastranya adalah Mandi Cahaya di Tanah Suci,
Di Lembah Sungai Nil, Di Tepi Sungai Dajlah,. Sebelum itu beliau juga menulis :
Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal van Der Wijek, Merantau ke Deli,
Di Dalam Lembah Kehidupan dan biografi orang tuanya dengan judul Ayahku.
Sedangkan karya Hamka di bidang keilmuan keagamaan antara lain:
Tasawuf Modern, Lembaga Hidup, Falsafah Hidup, Penuntun Jiwa, Keadilan Ilahi,
Lembaga Budi, Sejarah Islam di Sumatera, Revolusi Pikiran, Revolusi Agama,
Negara Islam, Perkembangan Tasawuf dari Abad ke Abad, Pribadi, Lembaga Hikmat, Sejarah
Umat Islam, Pengaruh Mohammad Abduh di Indonesia, Sayid Jamaluddin al-Afghani,
Kisah Nabi-nabi, Beberapa Tantangan Terhadap Umat Islam di Masa Kini, Studi
Islam, Tafsir al-Azhar, Kedudukan Perempuan dalam Islam, Mengembalikan Tasawuf
ke Pangkalnya.[7]
B.
Tafsir Al-Azhar
1.
Identitas
Tafsir Al-Azhar
Tafsir ini pada mulanya merupakan rangkaian kajian yang disampaikan
pada kuliah subuh oleh Hamka di masjid al-Azhar yang terletak di Kebayoran Baru
sejak tahun 1959.[8]
Tafsir
al-Azhar merupakan salah satu karya monumental Hamka yang ditulis dalam tahanan
pemerintahan Orde lama. Tafsir ini ditulis untuk memenuhi kebutuhan umat Islam
Indonesia yang mempunyai minat untuk mengetahui isi Al-Qur’an, yang tidak
mempunyai kemampuan mempelajari bahasa Arab. Di samping itu, juga untuk
membantu para mubaligh atau juru dakwah yang telah mempunyai kemampuan bahasa
Arab namun kurang mempunyai kemampuan dalam pengetahuan umumnya, agar mereka
tidak canggung dalam menyampaikan dakwahnya. Oleh karena itu tafsir al-Azhar
ini Hamka tulis dengan mempergunakan bahasa Indonesia yang sederhana agar mudah
dipahami dan juga tidak menjemukan.
2.
Haluan Tafsir
Al-Azhar
“Tiap-tiap tafsir Al-Qur’an memberikan corak haluan daripada
peribadi penafsirnya,” demikian Hamka mengawali paparannya tentang haluan
tafsir. Dalam Tafsir Al-Azhar-nya, Hamka, seperti diakuinya, memelihara sebaik
mungkin hubungan antara naqal dan ‘aql’; antara riwayah dan dirayah. Hamka
menjanjikan bahwa ia tidak hanya semata-mata mengutip atau menukil pendapat
yang telah terdahulu, tetapi mempergunakan juga tinjauan dan pengalaman
pribadi. Pada saat yang sama, tidak pula melulu menuruti pertimbangan akal
seraya melalaikan apa yang dinukil dari penafsir terdahulu. Suatu tafsir yang
hanya mengekor riwayat atau naqal dari ulama terdahulu, berarti hanya suatu
textbook thinking belaka. Sebaliknya, kalau hanya memperturutkan akal sendiri,
besar bahayanya akan terpesona keluar dari garis tertentu yang digariskan agama
melantur ke mana-mana, sehingga dengan tidak disadari boleh jadi menjauh dari
maksud agama.
Masih dalam kerangka “Haluan Tafsir”, Hamka mengabarkan bahwa
Tafsir Al-Azhar ditulis dalam suasana baru, di negara yang penduduk Muslimnya
adalah mayoritas, sedang mereka haus akan bimbingan agama haus akan pengetahuan
tentang rahasia Al-Qur’an, maka perselisihan-perselisihan mazhab dihindari
dalam Tafsirnya. Dan Hamka sendiri, sebagai penulis Tafsir, mengakui bahwa ia
tidaklah ta’ashshub kepada satu paham, “melainkan sedaya upaya mendekati maksud
ayat, menguraikan makna dan lafaz bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia dan
memberi kesempatan orang buat berpikir.”
Masih dalam kerangka “Haluan Tafsir”, Hamka mengemukakan
ketertarikan hatinya terhadap beberapa karya tafsir. Di antara karya tafsir
yang jelas-jelas ia menyatakan ketertarikan hati terhadapnya adalah tafsir
Al-Manar karya Sayyid Rasyid Ridha. Tafsir ini ia nilai sebuah sosok tafsir
yang mampu menguraikan ilmu-ilmu keagamaan sebangsa hadis, fikih, sejarah dan
lainnya lalu menyesuaikannya dengan perkembangan politik dan kemasyarakatan
yang sesuai dengan zaman di waktu tafsir itu ditulis.
Selain tafsir Al-Manar, tafsir al-Maraghi, al-Qasimi dan Fi Zhilal
Al-Qur’an juga termasuk tafsir-tafsir yang Hamka ‘saluti’. Tafsir yang disebut
terakhir misalnya, ia nilai sebagai “satu tafsir yang munasabah buat zaman ini.
Meskipun dalam hal riwâyah ia belum (tidak) mengatasi al-Manar, namun dalam
dirayah ia telah mencocoki pikiran setelah Perang Dunia II.” Secara jujur Hamka
mengatakan bahwa Tafsir karya Sayyid Quthub itu banyak mempengaruhinya dalam
menulis tafsir Al-Azhar-nya.
Di sisi lain, ia juga, seperti diakuinya, banyak diwarnai (diberi
corak) oleh tafsir ‘modern’ yang telah ada sebelumnya, seperti Al-Manâr dan Fi
Zhilal Al-Qur’an. Selama ini, dua tafsir tersebut dikenal bercorak adabi-ijtima`i,
dalam makna selalu mengaitkan pembahasan tafsir dengan persoalan-persoalan riil
umat Islam. Warna-warna tafsir itu mempengaruhi Tafsir Al-Azhar yang penulisnya
jelas-jelas menyatakan kekaguman dan keterpengaruhannya. Dengan begitu, dapat
dengan mudah kita katakan bahwa corak Tafsir yang sedang kita kaji ini bercorak
Adabi-Ijtima`i, dengan setting sosial-kemasyarakatan keindonesiaan sebagai
objek sasarannya.
Hal lain yang dimasukkan Hamka dalam sub ini adalah janjinya untuk
menyuguhkan sebuah tafsir yang ‘tengah-tengah’. Dalam bahasa dia: “…penafsiran
tidak terlalu tinggi mendalam, sehingga yang dapat memahaminya tidak hanya
semata-mata sesama ulama, dan tidak terlalu rendah, sehingga tidak menjemukan”.[9]
3.
Mengapa Dinamai
Tafsir Al-Azhar
Nama Al-Azhar diambil dari nama masjid tempat kuliah-kuliah tafsir
yang disampaikan oleh Hamka sendiri, yakni masjid Al-Azhar, Kebayoran Baru.
Nama masjid Al-Azhar sendiri adalah pemberian dari Syaikh Mahmoud Syaltout,
syaikh (rektor) Universitas Al-Azhar, yang pada bulan Desember 1960 datang ke
Indonesia sebagai tamu agung dan mengadakan lawatan ke masjid tersebut yang
waktu itu namanya masih Masjid Agung Kebayoran Baru.
Pengajian tafsir setelah shalat shubuh di masjid Al-Azhar telah
terdengar di mana-mana, terutama sejak terbitnya majalah Gema Islam. Majalah
ini selalu memuat kuliah tafsir ba’da shubuh tersebut. Hamka langsung memberi
nama bagi kajian tafsir yang dimuat di majalah itu dengan Tafsir Al-Azhar,
sebab tafsir itu sebelum dimuat di majalah digelar di dalam masjid agung Al-Azhar.[10]
4.
Penerbitan
Tafsir Al-Azhar
Tafsir al-Azhar pertama kali diterbitan oleh penerbit Pembimbing
Masa pimpinan H. Mahmud. Dalam penerbitan ini hanya merampungkan juz pertama
sampai juz keempat. Setelah itu diterbutkan juz 30 dan juz 15 samapi juz 29
dengan penerbit yang berbeda yakni Pustaka Islam, Surabaya. Dan pada akhirnya
juz 5 sampai dengan juz 14 diterbitkan dengan penerbit yang berbeda pula yakni
Yayasan Nurul Islam, Jakarta.[11]
5.
Metodologi
Tafsir Al-Azhar
Dalam menulis tafsirnya tersebut, Hamka di antaranya melakukan
beberapa langkah berikut ini:
·
Memberikan
pendahuluan pada awal surat. Pendahuluan tersebut berisi informasi sekilas
tentang surat yang akan ditafsirkan. Biasanya berkenaan dengan tempat turun,
kejadian-kejadian sekitar turunnya surat tersebut, hubungannya dengan surat
yang telah lalu, jumlah ayat dan lain-lain.
·
Menuliskan
beberapa ayat yang dianggap satu tema. Biasanya setelah menuliskan ayat-ayat
tersebut beliau memberikan judul tema tersebut namun tidak semuanya demikian.
·
Menerjemahkan
ayat-ayat tersebut ke dalam bahasa Indonesia.
·
Memberikan
tafsiran perayat. Tafsirannya lebih cenderung kepada tafsir bir ra’yi
sebagaimana penjelasan yang telah lalu.
·
Dalam
menyebutkan hadits biasanya hanya menyebutkan sahabat yang membawa hadits tersebut
dan mukharrijnya.
Untuk menafsiran al-Qur’an, Hamka menggunakan berbagai metode dalam
penulisan tafsir Al-Azhar. Adapun metode yang digunakan Hamka dalam penulisan
tafsir Al-Azhar adalah sebagai berikut:
a.
Tafsir
Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Dalam menafsirkan Al-Qur’an, Hamka terlebih dahulu menafsirkannya
dengan Al-Qur’an itu sendiri, karena penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
lebih utama daripada yang lainnya.
HAMKA mengaplikasikan metode ini dalam menafsirkan aya-ayat Alquran
sebagaimana ulama tafsir yang lain. Namun, tidak semua ayat-ayat Alquran
ditafsirkan dengan metode tersebut. Penggunaan metode tersebut dapat dilihat
ketika beliau menafsirkan surah Alqashash ayat 60.
Artinya: “Dan apa saja yang diberikan kepada kamu, maka itu
adalah kenikmatan hidup duniawi dan perhiasannya; sedang apa yang di sisi Allah
adalah lebih baik dan lebih kekal. Maka apakah kamu tidak memahaminya?”
Untuk menjelaskan bentuk perhiasan tersebut, HAMKA membawakan surah
Ali Imran ayat 14:
Artinya: ”Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan
kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang
banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah
ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali
yang baik (surga).”
Hamka menjelaskan bahwa semua perhiasan tersebut adalah benar
tetapi beliau menegaskan bahwa ia hanyalah perhiasan dunia yang tidak kekal.
Yang kekal adalah surga Allah yang telah tersedia bagi mereka yang beramal
soleh.
b.
Tafsir
Al-Qur’an dengan Sunnah
Selanjutnya, bila beliau tidak menemukan tafsirannya di dalam
Al-Qur’an, Hamka akan berpindah kepada sunah.
Penggunaan metode ini dapat kita lihat dalam penafsiran surah Ali Imran
ayat 104:
Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang
menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang
munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”
Artinya: “Siapa yang melihat kemunkaran maka rubahlah dengan
tangannya, jika tidak mampu maka rubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu
maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman.”
Ayat
di atas menerangkan tentang perintah amar ma’ruf dan nahi munkar. Beliau
menuliskan beberapa buah hadits untuk menjelaskan pentingnya perintah tersebut
setelah menerangkan panjang lebar maksud istilah-istilah tersebut. Terdapat
tiga buah hadits yang diketengahkan yaitu hadits Hudzaifah r.a yang
diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, hadits Abu Sa’id Alkhudri yang diriwayatkan
oleh Abu Daud dan Imam Tirmidzi dan hadits Abdullah bin Mas’ud yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim. Beliau kemudian membuat ulasan terhadap tiga
hadits tersebut dan hubungannya dengan dakwah.
c.
Tafsir
Al-Qur’an dengan Pendapat Sahabat dan Tabi’in
Adakalanya Hamka memasukkan pendapat-pendapat sahabat dan tabi’in
untuk menguatkan penjelasan beliau terhadap tafsiran ayat-ayat Al-Qur’an. Di
antara penafsiran ayat Alquran yang menggunakan metode ini ialah penafsiran
terhadap surah Alnaml ayat 65:
Artinya: “Katakanlah: "Tidak ada seorangpun di langit dan
di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah", dan mereka
tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan.”
Ayat tersebut menjelaskan tentang pengetahuan terhadap perkara
ghaib hanya diketahui oleh Allah saja. Dalam hal ini, HAMKA membawa pendapat
seorang tabi’in yaitu Qatadah tentang kedudukan orang-orang yang mempercayai
ilmu bintang atau Astrologi. Menurut Qatadah apabila seseorang menyalah gunakan
tujuan Allah menjadikan bintang-bintang (perhiasan, petunjuk dan panah terhadap
syaitan) maka kedudukannya adalah sesat.
d.
Penafsiran
Al-Qur’an dengan Pengambilan Riwayat dari Kitab Tafsir Muktabar
Hamka juga merujuk kitab-kitab tafsir yang lain dalam menafsirkan
Alquran. Di antaranya adalah Tafsir al-Manar karangan Muhammad Abduh dan
muridnya Sayyid Rasyid Ridha, Fi Zhilalil Quran karya Sayyid Quthb, Mafatih
Alghaib karangan Alrazi dan lain-lain. Ini menunjukkan bahwa beliau tidak
terikat kepada satu referensi untuk memastikan ketepatan dan kesesuaian
tafsiran beliau. Sebagai contoh, tafsiran terhadap surah Alnaml ayat 82:
Artinya: “Dan apabila perkataan Telah jatuh atas mereka, kami
keluarkan sejenis binatang melata dari bumi yang akan mengatakan kepada mereka,
bahwa sesungguhnya manusia dahulu tidak yakin kepada ayat-ayat Kami.”
Dalam ayat tersebut, dijelaskan bahwa apabila telah datang
waktunya, ketika manusia sudah lupa dan lalai terhadap agamanya akan keluar
dari dalam bumi binatang yang disebut dabbah. HAMKA membawakan tafsiran Alrazi
tentang pelbagai penafsiran dabbah yaitu 5 keadaan berdasarkan pelbagai
riwayat. Beliau juga membawa tafsiran Ibn Katsir dalam kitab Tafsir Alquran
Al-azhim mengenai perkara yang sama.
e.
Penafsiran
Al-Qur’an dengan Syair
Hamka dikenal sebagai pujangga Islam dan sastrawan. Oleh karena
itu, beliau juga memasukkan unsur-unsur syair dalam ulasan terhadap ayat-ayat
Alquran. Baik syair karya beliau sendiri maupun karya sastrawan Islam lainnya
seperti Iqbal. Namun, hal ini sangat jarang. Contoh, surah Ali Imran ayat 158:
Artinya: “Dan sungguh jika kamu meninggal atau gugur, tentulah
kepada Allah saja kamu dikumpulkan.”
Dalam ayat di atas, Hamka menjelaskan apapun sebab-sebab kematian
seseorang baik mati syahid, sakit dan sebagainya akan dikumpulkan di hadapan
Allah untuk dihisab. Perhitungan tersebut berkaitan dengan tujuan hidup setiap
manusia karena tujuan hidup itulah yang menentukan nilai hidup bukan
berdasarkan lama kehidupan di dunia. Di sini beliau membawakan serangkap syair
Iqbal yang menggambarkan tentang nilai hidup tersebut: Umur bukan hitungan
tahun, Hidup bukan bilangan masa. Sehari hidup singa di rimba, Seribu tahun
hitungan domba.
f.
Penafsiran
Al-Qur’an dengan Ra’yu (Pendapat Sendiri)
Contoh dari penafsiran dengan ra’yu adalah surat al-buruj 1:
Artinya: “Demi langit yang mempunyai gugusan bintang.”
Hamka menafsirkan dengan: “sekali lagi Allah bersumpah dengan
langit sebagai makhluk-Nya: Demi langit yang mengandung hujan. Langit yang
dimaksud di sini tentulah yang di atas kita. Sedangkan di dalam mulut kita yang
sebelah atas kita namai “langit-langit”, dan tabir sutera warna-warni yang
dipasang di sebelah atas singgasana raja atau di atas pelaminan tempat mempelai
dua sejoli bersanding dinamai langit-langit jua sebagai alamat bahwa kata-kata
langit itu pun dipakai untuk yang di atas. Kadang-kadang diperlambangkan
sebagai ketinggian dan kemuliaan Tuhan, lalu kita tadahkan tangan ke langit
ketika berdoa. Maka dari langit itulah turunnya hujan. Langitlah yang menyimpan
air dan menyediakannya lalu menurunkannya menurut jangka tertentu. Kalau dia
tidak turun kekeringanlah kita di bumi ini dan matilah kita. Mengapa raj’i
artinya disini jadi “hujan”? sebab hujan itu memang air dari bumi juga, mulanya
menguap naik ke langit, jadi awan berkumpul dan turun kembali ke bumi, setelah menguap
lagi naik kembali ke langit dan turun kembali ke bumi. Demikian terus-menerus.
Naik kembali turun kembali.
Melihat karya Hamka ini maka metode yang dipakai adalah metode Tahlili
(analisis) bergaya khas tartib mushaf. Dalam metode ini biasanya mufassir
menguraikan makna yang dikandung al-Qur’an ayat demi ayat dan surat demi surat
sesuai dengan urutanya dalam mushaf.
Uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang dikandung ayat yang
ditafsirkan seperti pengertian kosakata, konotasi, kalimatnya, latar belakang
turunya ayat, kaitan dengan ayat lain (munasabah), tidak ketinggalan dengan
disertakan pendapat pendapat yang telah diberikan berkenaan dengan tafsiran
ayat-ayat tersebut, baik yang dismpaikan oleh Nabi, Sahabat, maupun para
tabi’in dan ahli tafsir lainya.[12]
corak penafsiran, tafsir al-Azhar mempunyai corak Adab al-Ijtima’iy. Corak ini menitik beratkan
penjelasan ayat-ayat al-Qur’an dengan ungkapan-ungkapan yang teliti,
menjelaskan makna-makna yang dimaksud al-Qur’an dengan bahasa yang indah dan menarik,
tafsir ini berusaha menghubungkan nash-nash al-Qur’an yang tengah dikaji dengan
kenyataan sosial dan sistem budaya yang ada.
6.
Kelebihan dan
Kekurangan Tafsir Al-Azhar
a.
Kelebihan
Tafsir Al-Azhar
1)
Berbahasa
Indonesia. Sehingga tafsir ini mudah dipahami oleh bangsa Indonesia yang
umumnya kesulitan membaca buku-buku berbahasa Arab.
2)
Tafsir ini
menyajikan pengungkapan kembali teks dan maknanya serta penjelasan dalam istilah-istilah agama
mengenai maksud bagian-bagian tertentu dari teks.
3)
Tafsir ini
dilengkapi materi pendukung lainnya seperti ringkasan surat, yang membantu
pembaca dalam memahami materi apa yang dibicarakan dalam surat-surat tertentu
dari al-Qur’an.
4)
Dalam tafsir
ini juga Hamka berusaha mendemonstrasikan keluasan pengetahuannya pada hampir
semua disiplin bidang-bidang ilmu agama Islam, ditambah juga dengan
pengetahuan-pengetahuan non keagamaannya yang begitu kaya dengan informatif.[13]
b.
Kekurangan
Tafsir Al-Azhar
1)
Dalam
menyebutkan hadits kadang-kadang tidak menyebutkan sumbernya.
2)
Hamka dalam melakukan
penterjemahan menggunakan penterjemahan harfiah. Terjemhan seperti itu
terkadang membuat terjemahan kurang jelas dan sulit ditangkap maksudnya secara
langsung.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hamka merupakan akronim dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah,
dilahirkan pada tanggal 16 Februari 1908 M (1326 H). Hamka merupakan ulama’
yang cendekiawan dibuktikan dengan berbagai karya-karnya sehingga memperoleh
gelar doktor (honoris causa) dan profesor dari Majelis tinggi al-Azhar pada 20
Sya’ban 1378 H/ 28 Pebruari 1959 dengan gelar “Syaraf Ilmiyah Syahadah
al-‘Alimiyah” yang ditandatangani langsung oleh Syaikh mahmud Syaltut, Syaikh
Jami’al-Azhar. Kemudian pada tanggal 8 Juni 1974 Hamka juga dianugerahkan gelar
doctor honoris causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia kehormatan Tepat pada
tanggal 17 Juli 1981 beliau berbaring di Rumah Sakit Pertamina Pusat Jakarta.
Akhirnya pada tanggal 24 Juli 1981 ketika kaum muslimin hendak menunaikan
shalat Jumat, beliau berpulang ke rahmatullah.
T
Tafsir al-Azhar mempunyai corak Adab al-Ijtima’iy. Corak ini menitik beratkan
penjelasan ayat-ayat al-Qur’an dengan ungkapan-ungkapan yang teliti,
menjelaskan makna-makna yang dimaksud al-Qur’an dengan bahasa yang indah dan
menarik, tafsir ini berusaha menghubungkan nash-nash al-Qur’an yang tengah
dikaji dengan kenyataan sosial dan sistem budaya yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. 2002. Ensiklopedi Islam.
Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve.
Fakhruddin
Faiz. 2002. Hermeneutika Qur’ani; Antara Teks, Konteks, dan
Kontekstualisasi, (melacak Hermeneutika Tafsir Al-Azhar dan Tafsir Al-Manar. Yogyakarta:
Qolam.
Fazlur Rahman.
1980. Major Themes of the Quran (E-Journal). Chigago: Biblioteca Islamica.
Hamka. 1982. Ayahku Riwayat Hidup. Jakarta: Penerbit Ummida.
Hamka. 1980. Doktrin Islam yang
Menimbulkan Kemerdekaan dan Keberanian. Jakarta: Yayasan Idayu.
Hamka. 1994. Tafsir
al-Azhar, Juz I. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Hamka.
1982. Tasawuf Modern. Jakarta: Yayasan Nurul Islam.
Nashrudin, Baidan. 1998. Metodologi Penafsiran Al-Qur’an. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar Offset.
Sulaiman al-Kumayi. 2004. Kearifan Spiritual dari Hamka ke Aa
Gym. Semarang: Pustaka Nuun.
Yunan, Yusuf. 1990. Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar. Jakarta:
Pustaka Panjimas.
[1] Fazlur Rahman.
1980. Major Themes of the Quran (E-Journal). Chigago: Biblioteca
Islamica. Hlm. xi-xii
[2] Dewan Redaksi
Ensiklopedi Islam. 2002. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru
van Hoeve. Hlm. 75
[3]Hamka. 1982. Tasawuf Modern.
Jakarta: Yayasan Nurul Islam. Hlm. 6
[4]Sulaiman
al-Kumayi. 2004.Kearifan Spiritual dari Hamka ke Aa Gym. Semarang:
Pustaka Nuun. Hlm. 24
[5]Hamka. 1982. Ayahku
Riwayat Hidup. Jakarta: Penerbit Ummida. Hlm. 48
[6]Sulaiman
al-Kumayi. 2004.Kearifan Spiritual dari Hamka ke Aa Gym. Semarang:
Pustaka Nuun. Hlm. 30
[7] Hamka. 1980. Doktrin Islam
yang Menimbulkan Kemerdekaan dan Keberanian. Jakarta: Yayasan Idayu. Hlm.
29-31
[8] Hamka. 1994. Tafsir
al-Azhar, Juz I. Jakarta: Pustaka Panjimas. Hlm. 62
[9] Hamka. 1994. Tafsir al-Azhar,
Juz I. Jakarta: Pustaka Panjimas. Hlm. 51-54
[10]Hamka. 1994. Tafsir al-Azhar,
Juz I. Jakarta: Pustaka Panjimas. Hlm. 62.
[11] Yunan, Yusuf.
1990. Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Hlm. 55.
[12] Nashrudin,
Baidan. 1998. Metodologi Penafsiran Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar Offset. Hlm. 31.
[13] Fakhruddin
Faiz. 2002.Hermeneutika Qur’ani; Antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi,
(melacak Hermeneutika Tafsir Al-Azhar dan Tafsir Al-Manar. Yogyakarta:
Qolam. Hlm. 73.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar