Suhrawardi merupakan salah seorang filosof yang beraliran
illumination. Nama lengkapnya adalah Syihabuddin Yahya Ibn Amirak
Abu al-Futuh Suhrawardi. Ia lahir di sebuah kota kecil yang bernama Suhraward
di Persia Barat Laut pada 549 H/1154 M. Ia wafat di Aleppo pada tahun 587
H/1191 M.[3]
Sejak kecil ia sudah rajin belajar secara tekun seperti halnya para ilmuwan
sebelumnya. Ia pernah belajar kepada seorang faqih dan teolog terkenal yang
bernama Majduddin al-Jaili, guru Fakhruddin al-Razi. Kemudian di Isfahan dia
belajar logika kepada Ibnu Sahlan al-Sawi, penyusun kitab Al-Basha’ir al-Nashiriyyah.
Selain itu ia juga banyak bergaul dengan para sufi, hingga ia puas bergaul
dengan mereka, ia pun pergi ke Halb dan belajar keapada al-Syafir
Iftikharuddin. Di kota ini namanya mulai terangkat, akhirnya ia pun terkenal
akan keilmuannya. Hal ini membuat para fuqaha iri terhadapnya, dan ada pula
yang ingin mengecamnya. Atas dasar ini, ia segera dipanggil Pangeran al-Zhahir
putranya Salahuddin al-Ayubi, ketika itu bertindak sebagai penguasa di Halb.
Pangeran kemudian melangsungkan suatu pertemuan dengan dihadiri para teolog
maupun fuqaha. Di sini ia mengemukakan argumen-argumentasinya yang kuat, karena
terlihat sebuah aura kepintaran dari diri Suhrawardi, akhirnya al-Zhahir
menjadi dekat dengannya, dan ia pun diberi sambutan yang baik dari al-Zhahir.
Keberhasilan Suhrawardi melahirkan aliran Illuminasionis ini
berkat penguasaannya yang mendalam tentang filsafat dan Tasawuf ditambah
kecerdasannya yang tinggi, dalam kitab Thabaqat al-Athiba’ menyebutkan bahwa
Suhrawardi sebagai seorang tokoh pada jamannya dalam ilmu-ilmu hikmah. Ia
begitu menguasai ilmu-ilmu Filsafat, sangat memahami Ushul Fiqih, begitu cerdas
pikirannya, dan begitu fasih ungkapan-ungkapannya.[4]
Saat di Aleppo di usianya yang masih belia,
Suhrawardi telah menguasai pengetahuan filsafat dan tasawuf begitu mendalam
serta mampu menguraikannya secara baik. Bahkan, Thabaqat al-Athibba’ menyebut
Suhrawardi sebagai tokoh zamannya dalam ilmu-ilmu hikmah. Ia begitu menguasai
ilmu filsafat, memahami ushul fiqih, begitu cerdas dan begitu fasih ungkapannya. Semua itu
membuat lawan-lawannya atau pihak yang tidak menyukainya semakin iri dan dendam. Karena itu,
semakin tidak berhasil mempengaruhi pangeran Zahir, para fuqaha yang dengki
berkirim surat langsung pada Sultan Shalah al-Din dalam memperingati tentang
bahaya kemungkinan tersesatnya akidah sang pangeran jika terus bersahabat
dengan Suhrawardi. Shalah al-Din sendiri yang terpengaruh isi surat segera
memerintahkan putranya untuk menghukum mati Suhrawardi.
Karena kepiawaian Suhrawardi
mengeluarkan pernyataan doktrin esoteris yang tandas, dan kritik yang tajam
terhadap ahli-ahli fiqih menimbulkan reaksi keras yang dimotori oleh Abu al-Barakat
al-Baghdadi yang anti Aristetolian. Akhirnya pada tahun 587 H/1191 M di Halb
(Aleppo) Suhrawrdi di eksekusi atas desakan fuqaha kepada pangeran Malik al-Zhahir
Syah anak dari sultan Shalahuddin al-Ayyubi al-Kurdi.[5]
Karena
ketenarannya dan popularitasnya di kala itu, hal tersebut membuat sebagian
orang menjadi dengki
terhadapnya, akhirnya orang-orang yang dengki melaporkan kepada Salahuddin al-Ayubi
dengan sebuah peringatan bahwa ”jika al-Zhahir terus menerus bergaul dengan
Suhrawardi maka akan sesat aqidah yang dimilikinya. Setelah mendengar
asutan-asutan dari orang-orang dengki tersebut, akhirnya Shalahuddin
terpengaruh dan memerintahkan putranya untuk segera membunuh al-Suhrawardi.
Setelah putranya meminta pendapat para fuqaha Halb, mereka menyetujui agar Suhrawardi
di bunuh, al-Zhahir pun memutuskan agar al-Suhrawardi dihukum gantung.
Penggantungan ini berlangsung pada tahun 587 H di Halb, ketika al-Suhrawardi
baru berusia 38 tahun.
Ada pendapat
yang mengatakan bahwa; Proses kematian itu diawali dengan permintaan para ulama
yang meminta Malik al-Zahir agar menjatuhkan hukuman mati kepada al-Suhrawardi,
namun permintaan
itu ditolak. Para ulama kemudian menemui Sultan Saladdin (Sultan Salahuddin al-Ayubi)
untuk menyampaikan dakwaan itu. Sultan Saladdin lalu mengancam putranya
(Pangeran Malik al-Zahir Ghazi) akan diturunkan dari tahta apabila tidak
menghukum al-Suhrawardi. Berkat turun tangannya Sultan Saladin, al-Suhrawardi
kemudian dimasukkan ke dalam penjara pada tahun 1191 M. Dalam penjara itulah, al-Suhrawardi
wafat. Dalam hal ini yang mengatakan
bahwa ia wafat karena lehernya
dicekik dan ada pula yang mengatakan bahwa ia wafat karena tidak diberi makan
hingga kelaparan.[6]
Ia wafat secara
tragis melalui eksekusi atas perintah Shalahuddin Al-Ayubi. oleh sebab itu ia
di beri gelar al-Maqtul
(yang dibunuh), sebagai pembedaan dengan dua sufi lainnya, yaitu Abu al-Najib al-Suhrawardi
(meninggal tahun 563 H) dan Abu Hafah Syihabuddin al-Suhrawardi al-Baghdadi
(meninggal tahun 632 H), penyusun kitab Awarif al-Ma’arif.[7]
B. Karya-karya Suhrawardi
Suhrawardi
adalah sosok pemuda yang cerdas, kreatif, dan dinamis. Ia termasuk dalam
jajaran para filosof sekaligus sufi yang sangat produktif sehingga dalam
usianya yang relatif pendek itu ia mampu melahirkan banyak karya kurang lebih
50 karya. Hal ini menunjukkan kedalaman pengetahuannya dalam bidang filsafat
dan tasawuf yang ia tekuni.
Sayyed Hussein
Nasr mengklasifikasikan karya-karyanya menjadi lima kategori:[8]
1.
Memberi interpretasi dan memodifikasi
kembali ajaran peripatetik serta hikmah
isyraqinya, dalam kelompok ini antara lain kitab: al-Talwihat,
al-Muqawamat, al-Mutharahat, Hikmahal-Ishraq.
2.
Membahas tentang filsafat yang disusun
secara singkat dengan bahasa yang mudah dipahami baik yang berbahasa arab
ataupun yang berbhasa persi: al-Lamhat, Hayakil al-Nur, Risalah fi al-Ishraq.
3.
Karya yang bermuatan sufistik dan
menggunakan lambang-lambang yang sulit dipahami, dalam hal ini menggunakan
bahasa persi walaupun ada sebagian yang berbahasa arab: al-Aql al-Ahmar, al-Gharb
al-Gharbiyah, yaumun ma’a jama’at as-sufiyyin dan lain-lain.
4.
Karya yang merupakan ulasan dan
terjemahan dari filsafat klasik: Risalah al-Thair, dan risalah fi haqiqah al-ishq,
ini semua karya Ibn sina yang kemudaian di terjemahkan oleh Suhrawardi kedalam
bahasa Persia.
5.
Karya yang berupa serangkaian doa-doa,
yang dikenal dengan kitab al-Waridat wa al-Taqdisat.
Banyaknya karya
ini menunjukkan bahwa Suhrawardi benar-benar menguasai ke ilmuan yang mendalam
tentang filsafat kuno dan filsafat Islam. Ia juga memahami dan menghayati
doktrin-doktrin tasawuf, khususnya doktrin-doktrin sufi sebelumnya. Oleh karena
itu tidak mengherankan bila ia mampu menghasilkan karya besar serta memunculkan
sebuah corak pemikiran baru, yang kemudian dikenal dengan corak pemikiran
mistis-filosofis (teosofi).
Al-Suhrawardi
merupakan seorang penulis, walaupun usianya muda, tetapi banyak juga
karya-karya dari hasil ciptaannya. Ia juga dikenal sebagai salah satu seorang
filosof muslim yang handal dalam membuat sebuah ungkapan-ungkapan dari pikirannya
sendiri.
Di samping itu, al-Suhrawardi
juga mampu memadukan antara filsafat Aristoteles dan filsafat iluminasi yang ia
kembangkan sebagai basis ulama filsafat dan tasawufnya. Dengan paduan ini,
Suhrawardi menganggap bahwa seorang pengkaji teologi lebih unggul daripada
seorang pencinta Tuhan an sich. Hal ini
dapat kita lihat dalam ungkapannya, ”jika dalam waktu yang sama seseorang
menjadi pencinta Tuhan dan pengkaji teologi, dirinya telah menduduki derajat
kepemimpinan (riyasah). Jika tidak dapat memadukannya, derajatnya hanyalah
seorang pengkaji teologi atau seorang pencita Tuhan, tetapi tidak mengkaji-Nya.
”pemikiran inilah yang menggambarkan bahwa Suhrawardi bukanlah seorang sufi
murni, melainkan seorang sufi dan sekaligus filsuf, bahkan sangat dekat dengan
para filsuf peripatetik yang sering diserangnya.[9]
Kemudian al-Suhrawardi
membuat banyak karya, dan dari karya-karyanya dibagi menjadi tiga bagian,
antara lain :
1.
Karya Pertama adalah Kitab induk
Filsafat Iluminasinya, antara lain :
a. Al-Talwihat
(Pemberitahuan),
b. Al-Muqawwamat
(Yang Tepat),
c. Al-Masyari
wa Al-Mutarahat (Jalan dan Pengayoman),
d. Al-Hikmah
Al-Isyraq (Filsafat Pencerahan).
Karya
Hikmah al-Ishraq memuat tiga subyek yang mendasari bangunan filsafat
iluminasinya, yaitu:
1) Mengenai
alasan-alasan Suhrawardi menyusun Hikmat al-Ishraq.
2) Metodologi
Hikmat al-Ishraq, yang terdiri atas empat tahap, yaitu:
a) Aktifitas-aktifitas
diri seperti menasingkan diri, berhenti makan daging, dan mempersiapkan diri
untuk menerima ilham. Dalam hal ini filosof dengan kekuatan intuisinya dapat
merasakan “Cahaya Tuhan” dan “Penyikapan Diri”.[10]
b) Tahap
dimana Tuhan memasuki wujud manusia.
c) Tahap
pembangunan suatu ilmu yang benar.
d) Tahap
penulisan atau menurunkan hal-hal yang mendasari bangunan filsafat iluminasi.
3) Memuat
hal-hal yang mendasari bangunan filsafat iluminasi, yaitu pandangan Suhrawardi
tentang sejarah filsafat.
2.
Karya Kedua adalah risalah ringkas
filsafat, antara lain:
a. Hayakil
al-Nur (Rumah Suci Cahaya)
b. Al-Alwah
al-Imadiyah (Lembaran Imadiyah)
c. Partaw-Namah
(Uraian Tentang Tajalli),
d. Bustan
al-Qulub (Taman Kalbu). Selain berbahasa Arab, risalah ini ada juga yang
ditulis dalam bahasa Persia.
3.
Karya ketiga berupa kisah perumpamaan,
antara lain:
a. Qishshah
al-Gurbah al-Garbiyyah (Kisah Pengasingan ke Barat)
b. Risalah
al-Thair (Risalah Burung), Buku ini banyak membahas karya Ibnu Sina, yakni
kitab Isyyarah wa Tanbihat
c. Awzi
Parii Jibra’il (Suara Sayap Jibril)
d. Aqli-surkh
(Akal Merah)
e. Ruzi
ba Jama’ati Sufiyan (Sehari dengan Para Sufi)
f. Fi
Haqiqah al-Isyaq (Hakikat Cinta Ilahi), Pembahasan buku ini juga tentang
filsafat Masyriqiyah Ibnu Sina
g. Fi
Halah al-Thufuliyyah
h. Lugah
al-Muran (Bahasa Semit)
i.
Safiri Simurgh (Jerit Merdu Burung
Pingai). Kisah ini memiliki nilai sastra yang tinggi.[11]
C. Pemikiran
Suhrawardi
Suhrawardi hidup
pada masa yang sangat tidak kondusif untuk terjadinya pemikiran bebas, ia hidup
pada abad ke 6 H, di mana pengaruh pengkafiran al-Ghazali masih sangat kentara,
pemikiran rasional maupun irasional Syiah sangat di tentang saat itu. [12]
Keaadan ini yang menjadikan Suhrawardi mendapat gelar al-Maqtul yang berarti
dibunuh, karena pemikirannya yang bertentangan dengan ideologi negara yang
dianut saat itu.
Penaklukkan
Ayubiyah atas Fathimiyah yang berarti kemenangan negara Sunni terhadap negara
Syiah menjadikan terjadinya gerakan sunnisasi di kawasan sentral Syiah.
Kawasan-kawasan yang mulanya merupakan kawasan perkembangan pemikiran syiah,
berhasil dirubah menjadi kawasan sentral pemikiran Sunni, dan kedatangan
suhrawardi setelah adanya pergeseran ideologi di kawasan tersebut. [13]
Kutipan dari Kitab al-Tazkari karya Syayid Husain Nasr ini, menunjukan latar
belakang pemikiran Suhrawardi adalah untuk mengembalikan ideologi di kawasan
Sunni yang dulunya berideologi Syiah.
Suhrawardi juga
hidup ketika terjadi perseteruan antara Ayubiyah dan Saljuk dan ketika
runtuhnya Abbasiyah di tangan Holako, pada saat itu itegrasi peradaban Islam
sudah hampir tidak bisa lagi untuk dipertahankan, peradaban Islam bukan lagi
peradaban sentral yang integral.[14]
Negara-negara Islam pada masa ini mulai tidak terpusat, mereka terpecah dan
saling bermusuhan. Negara-negara Islam pada masa ini tidak menyatu dan saling
melengkapi lagi, sehingga sangat sulit untuk menyelamatkan peradaban.
Semua bentuk
revolusi sosial pada waktu itu tidak lagi bernuansa positif rekonstruktif,
orientasi manusia pada saat itu sudah banyak bergeser kepada dunia material.
Suhrawardi sangat mewaspadai terhadap alam materi, alam materi hanya sebuah
ilusi, sedang yang utama adalah alam immateri. Tugas dari kehidupan adalah
menyibukkan diri dengan problem ukhrawi bukan mengengelamkan diri pada
kehidupan duniawi.
Kondisi semacam
itu tidak sepenuhnya menggiring Suhrawardi hanyut pada kondisi realita. Ia
sebagai pembaharu umat, tertuntut untuk berupaya menyelasaikan problem-problem
tersebut. Kontruksi pemikirannya tidak sepenuhnya bersifat negatif terhadap
fenomena sosial, melainkan terkesan sebagai tawaran solutif terhadap
problem-problem itu. Hal ini terlihat dari formasi pemikirannya yang
menceminkan penyatuan kembali disintegrasi peradaban Islam. Alternatifnya
adalah dengan menyatukan kembali semua mainstream pemikiran. Suhrawardi
akhirnya, membangun filsafat iluminasinya di atas semua aliran pemikiran.
Suhrawardi
mulanya adalah seorang paripatetik yang akhirnya berubah menjadi seorang sufi
sejati. Pergeseran pemikiran tersebut tidak dipandang sebagai perseteruan,
melainkan sekedar upaya penyempurnaan. Filsafat paripatetik sangat kering dari
nuansa spiritual, tapi kaya dengan argument rasional. Pemaduan antara filsafat
paripatetik dengan maistream sufistik adalah keharusan dalam menyempurnakan
konstruksi pemikiran.[15]
Upaya penyatuan itu dilakukan demi terbentuknya formasi filsafat iluminasi.
Iluminasi atau yang dalam bahasa arab disebut sebagai filsafat isyraqi.[16]
1. Pengertian
Isyraq
Kata isyraq
dalam bahasa Arab berarti sama dengan kata iluminasi dan sekaligus juga cahaya
pertama pada saat pagi hari seperti cahayanya dari timur (sharq). Tegasnya,
isyraqi berkaitan dengan kebenderangan atau cahaya yang umumnya digunakan
sebagai lambang kekuatan, kebahagiaan, keterangan, ketenangan, dan lain-lain
yang membahagiakan. Lawannya adalah kegelapan yang dijadikan lambang keburukan,
kesusahan, kerendahan dan semua yang membuat manusia menderita. Timur tidak
hanya berarti secara geografis tetapi awal cahaya, realitas.[17]
Dalam sistem
filsafat iluminasi Suhrawardi menurunkan sejumlah istilah kunci bagi pemahaman
sistem logika, epistemologi, fisika, psikologi, dan metafisika. Untuk
epistemologi atau teori ilmu pengetahuan, Suhrawardi menurunkan istilah qa’idah
al-isyraqiyyah, dan terhadap kandungan filsafat ia menyebut daqiqah al-isyraqiyyah.
Melalui istilah ini Suhrawardi merumuskan kembali pemikiran tentang logika,
epistemologi, fisika dan metafisika. Istilah lain yang diturunkan ialah
musyahadah al-isyaqiyyah (penyaksian dengan pencerahan) untuk menyebut tahap
terakhir pencapaian pengetahuan hakiki. Selain istilah tersebut, Suhrawardi
juga menurunkan istilah idafah al-isyraqiyyah (kaitan pencerahan) untuk
menguraikan hubungan tak terduga yang timbul antara subyek (maudu’) dan asas
logis teori pengetahuannya.[18]
Menurut Syayid
Hossein Nasr, sumber-sumber pengetahuan yang membentuk pemikiran isyraqi
Suhrawardi terdiri atas lima aliran, yaitu: pertama, pemikiran-pemikiran
sufisme, khususnya karya-karya al-Hallaj dan al-Ghazali. Salah satu karya al-Ghazali,
Misykat al-Anwar, yang menjelaskan adanya hubungan antara nur (cahaya) dengan
iman, mempunyai pengaruh langsung pada pemikiran iluminasi Suhrawardi. Kedua,
pemikiran filsafat peripatetik Islam, khususnya filsafat Ibn Sina. Meski
Suhrawardi mengkritik sebagiannya tetapi ia memandangnya sebagai azas penting
dalam memahami keyakinan-keyakinan isyraqi. Ketiga, pemikiran filsafat sebelum
Islam, yakni aliran Phithagoras, Platonisme dan Hermenisme sebagaimana yang
tumbuh di Alexanderia, kemudian dipelihara dan disebarkan di Timur dekat oleh
kaum Syabiah Harran, yang memandang kumpulan aliran Hermes sebagai kitab samawi
mereka. Keempat, pemikiran-pemikiran (hikmah) Iran-kuno sebagai pewaris
langsung hikmah yang turun sebelum datangnya bencana taufan yang menimpa kaum
Idris (Hermes). Kelima, berdasarkan pada ajaran Zoroaster dalam menggunakan
lambang-lambang cahaya dan kegelapan, khususnya dalam ilmu malaikat.[19]
2. Skema
Sumber-sumber Pemikiran Isyraqi
Dalam bidang
metafisika Suhrawardi merupakan orang pertama dalam sejarah yang menegaskan
perbedaan dua corak metafisika yang jelas, yaitu metafisika umum dan metafisika
khusus. Metafisika umum mencakup pokok-pokok pembahasan yang baku tentang
keberadaan atau kewujudan (eksistensi), kesatuan, subtansi (jauhar), eksiden,
waktu, ruang dan gerak. Adapun yang termasuk dalam metafisika khusus ialah;
pendekan ilmiah baru untuk menelaah masalah supra rasional (adinalar), seperti
kewujudan Tuhan dan pengetahuan (al-‘Ilm), mimpi sungguhan, pengalaman pencerahan,
tindakan khalqiyyah kreatif yang tercerahkan, imajinasi ahli makrifat, bukti
yang nyata, dan kewujudan obyektif, ‘alam al-khyal (alam khayal) atau ‘alam al-misal
(alam misal).[20]
Salah satu ciri
kekaidahan dan struktural filsafat isyraqiyyah dalam bidang metafisika yang
menonjol dalah dalam hal wujud dan esensi (mahiyah). Dalam pengantar al-Talihat,
Suhrawardi menulis tentang wujud dan esensi. Ia berpendirian bahwa “tidak benar
partikular merupakan tambahan bagi esensinya”, karena esensi dapat dipikirkan
terlepas dari wujud. Sebuah wujud dapat dipikirkan secara langsung, tanpa
mengetahui apakah ia ada atau tidak pada entitas partikular yang manapun.
Karena itu, wujud dan esensi itu sama (identik).[21]
Dalam kerangka
filsafat iluminasinya, pembicaraan tentang wujud tidak dapat dipisahkan dari
sifat dan penggambaran cahaya. Cahaya tidak bersifat material dan juga tidak
dapat didefenisikan. Sebagai realitas yang meliputi segala sesuatu, cahaya
menembus ke dalam susunan setiap entitas, baik yang fisik maupun nonfisik,
sebagai komponen yang esensial dari cahaya.[22]
Sifat cahaya telah nyata pada dirinya sendiri. Ia ada, karena ketiadaannya
merupakan kegelapan. Semua realitas terdiri dari tingkatan-tingkatan cahaya dan
kegelapan. Segala sesuatu berasal dari cahaya yang berasal dari Cahaya segala
Cahaya (nur al-Anwar). Jika tanpa cahaya semua menjadi kegelapan yang
diidentifikasikan non eksistensi (‘adam). Selanjutnya “Cahaya segala Cahaya”
disamakan dengan “Tuhan”.[23]
Bagi Suhrawardi realitas dibagi atas tipe
cahaya dan kegelapan. Realitas terdiri dari tingkatan-tingkatan cahaya dan
kegelapan. Keseluruhan alam adalah tingkatan-tingkatan penyinaran dan tumpahan
Cahaya Pertama yang bersinar dimana-mana, sementara ia tetap tidak bergerak dan
sama tiap waktu. Sebagaimana term yang digunakan oleh Suhrawardi, cahaya yang
ditompang oleh dirinya sendiri disebut nur al-mujarrad. Jika cahaya bergantung
pada sesuatu yang lain disebut nur al-‘ardi.
Pertama, cahaya
dalam hal ini cahaya terdekat (nur al-aqrab) berasal dari cahaya segala cahaya.
Cahaya pertama benar-benar diperoleh (yahsul). Cahaya pertama memiliki
karakter: pertama, ada sebagai cahaya abstrak. Kedua, mempunyai gerak ganda; ia
mencintai (yuhibbu) dan “melihat” (yushhidu) cahaya segala cahaya yang ada di
atasnya, dan mengendalikannya (yaqharu) serta menyinari (ashraqa) apa yang ada
dibawahnya. Ketiga, mempunyai “sandaran” dan sandaran ini mengimplikasikan
sesuatu “zat” disebut barzakh yang mempunyai kondisi (hay’ah). Zan dan kondisi
bersama-sama berperan sebagai wadah bagi cahaya. Keempat, mempunyai semisal
“kualitas” atau sifat; ia “kaya” (ghani) dalam hubungannya dengan cahaya yang
lebih rendah. Dan “miskin” dalam hubungannya dengan Cahaya segala Cahaya.[24]
Ketika cahaya
pertama diperoleh, ia mempunyai langsung terhadap Cahaya segala Cahaya tanpa
durasi atau “momen” yang lain. Cahaya segala Cahaya seketika itu juga
menyinarinya dan begitu juga “menyalakan” zat dan kondisi yang dihubungkan
dengan cahaya yang pertama. Cahaya yang
berada pada cahaya abstrak pertama adalah “cahaya yang menyinari” (nur al-sanih)
dan paling reptif (menerima) diantara semua cahaya. Proses ini terus berlanjut,
dan cahaya kedua menerima dua cahaya, yang satu berasal dari Cahaya segala
Cahaya langsung, yang lain dari cahaya pertama. Cahaya pertama telah
menerimanya dari Cahaya segala Cahaya dan berjalan langsung karena ia bersifat
tembus cahaya. Hal yang sama terjadi; cahaya abstrak ketiga menerima empat
cahaya; satu langsung dari Cahaya segala Cahaya, satu lagi dari cahaya pertama,
dan yang lainnya dari cahaya kedua. Proses ini berlanjut terus, dan cahaya
abstrak keempat menerima delapan cahaya; cahaya abstrak kelima menerima enam
belas cahaya dan seterusnya. Mengenai cahaya yang berlipat ganda ini, esensi
masing-masing cahaya, yaitu kesadaran diri, sebagian adalah “cahaya-cahaya
pengendali” (al-anwar al-qahirah) dan sebagian lainnya adalah cahaya-cahaya
pengatur (al-anwar al-mudabbirah). [25]
3. Hirarki
Cahaya
Manusia
mempunyai kemampuan untuk menerima cahaya peringkat tertinggi lebih sempurna
dibandingkan binatang dan tumbuhan. Manusia adalah alam sagir (mikro kosmos)
yang di dalam dirinya mengandung citra alam yang sempurna dan tubuhnya membuka
pintu bagi semua kejismian. Tubuh ini selanjutnya merupakan sarana bagi cahaya
yang bersinar di atas semua unsur tubuh dan menyinari daya khayal (imajinasi)
dan ingatan. Cahaya ini dihubungkan dengan tubuh oleh jiwa hewani, yang
bertempat di jantung, dan meninggalkan badan pergi ke tempatnya yang asal,
yaitu alam malakut (kerajaan besar, kekuasaan), apabila badan telah hancur dan
kembali kepada unsur-unsur jasmaninya. Kemudian muncul pertanyaan bagaimana
manusia dapat memiliki kehendak. Menurut Suhrawardi, yang mendorong manusia
berkehendak ialah cinta. Kalau kehendak terlalu menguasai jiwa maka timbullah
amarah. Secara umum filsafat iluminasi yang diwakili oleh Suhrawardi dalam
metafisikanya selalu disimbolkan dengan “cahaya”.[26]
4. Metafisika dan cahaya
Inti filsafat illuminasion adalah sifat
dan penyebaran cahaya. Beberapa tokoh sufi menyebutkan Allah dengan cahaya,
berdasarkan QS. Al Nur: 35. Sedangkan Suhrawardi menyebut Allah dengan Nur al-Anwar.
Cahaya merupakan esensi yang paling terang dan paling nyata, sehingga mustahi
terdapat sesutau yang lebih terang dan lebih jelas pada cahaya. Oleh karena
itu, cahaya pertama tidak memerlukan penyebab luar selain diri-Nya. Suhrawardi
mengikuti argument yang dikemukan oleh Ibn sina dalam menjelaskan wajib al
wujud.
Konsep terang dan gelap Suhrawardi diadopsi dari konsep
Tuhan dalam ajaran Zoroaster, hal itu tidak berate bahwa prinsip yang
dipakainya adalah sama persi, sebab pada kenyataannya terdapat perbedaaan yang
menonjol antara penggunaan konsep terang dan gelap dalam ajaran Zoroaster dan
Suhrawardi.
Nur al-Anwar merupakan sumber semua gerak. Akan tetapi gerak
cahay disini bukan dalam arti perpindahan tempat. Menurut Suhrawardi, gerakan
itulah yang memiliki peran sentral bagi terbentuknya segala wujud yang ada.
Dalam hal ini Suhrawardi menegaskan bahwa semua pergerakan adalah atas kehendak-Nya
dan pergerakan tersebut juga sebagai pangkal bagi terciptanya alam semesta.
Dalam pemikiran falsafi Suhrawardi,
unsure cinta merupakan modal dari kedinamisan gerak semua makhluk. Semua wujud
dan kelangsungan pergerakan makhluk tergantung dari proses penyinaran dari Nur
al-Anwar. Penyinaran adalah kunci sentral segala pergerakan. Kenyataan ini
mengindikasikan bahwa setiap eksistensi alam semesta menyandarkan wujudnya pada
penerangan abadi-Nya.
Proses penyebaran cahaya yang dikemukakan oleh Suhrawardi
tidaklah sama dengan teori emanasi neo-platonis dan filusuf paripatetik.
Menurutnya, pancaran yang dihasilkan oleh sumber pertama tidak hanya terbatas hanya
sepuluh, duapuluh, seribu akan tetapi bisa mencapai jumlah yang banyak.
Cahaya yang dihasilkan oleh cahaya yang berada di atasnya
melalaui deret tangga vertical, yang semakin jauh semakin berkurang. Seperti
pada pancaran sinar matahari, semakin jauh semakin redup. Jadi pancaran cahaya
yang dihasilkan melalui Isyraqi sangat tergantung pada intensitas sinar yang
dipancarkan dari sumbernya.
Salah satu ciri
kekaidahan dan struktural filsafat isyraqiyyah dalam bidang metafisika yang
menonjol dalah dalam hal wujud dan esensi (mahiyah). Dalam pengantar al-Talihat,
Suhrawardi menulis tentang wujud dan esensi. Ia berpendirian bahwa “tidak benar
partikular merupakan tambahan bagi esensinya”, karena esensi dapat dipikirkan
terlepas dari wujud. Sebuah wujud dapat dipikirkan secara langsung, tanpa
mengetahui apakah ia ada atau tidak pada entitas partikular yang manapun.
Karena itu, wujud dan esensi itu sama (identik).[27]
Dalam kerangka
filsafat iluminasinya, pembicaraan tentang wujud tidak dapat dipisahkan dari
sifat dan penggambaran cahaya. Cahaya tidak bersifat material dan juga tidak
dapat didefenisikan. Sebagai realitas yang meliputi segala sesuatu, cahaya
menembus ke dalam susunan setiap entitas, baik yang fisik maupun nonfisik,
sebagai komponen yang esensial dari cahaya.[28]
Sifat cahaya telah nyata pada dirinya sendiri. Ia ada, karena ketiadaannya
merupakan kegelapan. Semua realitas terdiri dari tingkatan-tingkatan cahaya dan
kegelapan. Segala sesuatu berasal dari cahaya yang berasal dari Cahaya segala
Cahaya (nur al-Anwar). Jika tanpa cahaya semua menjadi kegelapan yang
diidentifikasikan non eksistensi (‘adam). Selanjutnya “Cahaya segala Cahaya”
disamakan dengan “Tuhan”.[29]
5. Metode
Meraih Pancarahan Tuhan (Isyraq)
Suhrawardi
mengemukakan beberapa metode untuk meraih pencerahan Tuhan (isyraq), yang mesti
di tempuh oleh setiap orang dalam proses mendapatkan pencerahan: Pertama
tahapan persiapan untuk menerima pengetahuan iluminatif. Tahapan ini dimulai
dengan aktivitas-aktivitas mengasingkan diri (uzlah) paling tidak selama empat
puluh hari, bersiap diri untuk menerima
nur ilahiah dan seterusnya, yang hampir sama dengan kegiatan asketis (menjauhi
dunia) dan sufistik, hanya saja disini tidak ada konsep ahwal dan maqamat.
Melalui aktivitas seperti ini dengan kekuatan
intuitif yang ada pada dirinya
yang disebut dengan cahaya Tuhan
(al-bariq al ilahi) seseorang mengetahui realitas eksistensi dirinya dan
mengenal kebenaran intuitifnya melalui ilham dan visi (musyahadah wa
mukasyafah) oleh karena itu hal ini terdiri dari 1.aktivitas tertentu, semisal
zikir dan lainnya, 2.kemampuan menyadari intuisinya sendiri sampai mendapatkan
cahaya ilahiah. 3.ilham.
Tahap pertama membawa
seseorang ke tahap kedua yaitu tahap penerimaan dimana cahaya tuhan memasuki
wujud manusia. cahaya ini mengambil bentuk sebagai serangkaian cahaya
penyingkap (al-anwar al-saniah) dan melalui cahaya tersebut pengetauhan yang
berfungsi sebagai fondasi ilmu sejati diperoleh.
Tahap ketiga adalah mengkontruksi pengetahuan
yang valid dengan menggunakan analisis diskursif. Disini pengalaman diuji dan
dibuktikan dengan sistem berfikir yang digunakan dalam demontrasi (burhan).
Sehingga darinya bisa dibentuk suatu sistem dimana pengalaman tersebut dapat
didudukan dan diuji validitasnya, meskipun pengalaman itu sendiri sudah
berakhir. hal yang sama dapat diterapkan pada data-data yang didapat dari
penangkapan indrawi, jika berkaitan dengan pengetauan iluminatif.
Tahap ke empat
adalah pen-dokumentasian dalam bentuk tulisan atas pengetauan atau struktur
yang dibangun dari tahap-tahap sebelumnya,dan inilah yang bisa diakses oleh
orang lain.
Dengan demikian, pengetahuan dalam
isyraqi tidak hanya mengandalkan kekuatan intuitif saja, melainkan juga
kekuatan rasio. Ia menggabungkan
keduanya, metode intuitif dan diskursif, dimana cara intuitif digunakan
untuk meraih segala sesuatu yamg tidak
tergapai oleh kekuatan rasio sehingga hasilnya merupakan pengetahuan yang
tertinggi dan terpercaya.[30]
6. Konsep
Tasawuf
Tasawuf yang di
bangun oleh Suhrawardi menggunakan konsep al-Isyraq. Ia merupakan tipe tasawuf
falsafi yang paling orisinil di antara konsep-konsep tasawuf yang sealiran.
Kata al-Isyraq mempunyai banyak arti antara lain: terbit, bersinar atau
memancarkan cahaya. Isyraqi berkaitan dengan cahaya, yang pada umumnya
digunakan sebgai lambang kekuatan, kebahagiaan, ketenangan, dan hal-hal lain
yang membahagiakan. Lawannya adalah kegelapan, yang dijadikan lambang keburukan,
kesusahan, kerendahan dan semua hal yang
membuat manusia menderita. Kata Isyraq dalam bahasa english mempunya
arti Illumination.
Menurut
Suhrawardi, sumber dari segala yang ada adalah Cahaya Yang Mutlak, yang ia
sebut dengan Nur al-Anwar. Paham al-Isyraq ini menyatakan, bahwa alam ini
diciptakan melalui penyinaran atau illuminasi. Kosmos ini terdiri dari susunan
bertingkat-tingkat berupa pancaran cahaya. Cahaya yang tertinggi sebagai sumber
dari segala cahaya, yanga ia namakan Nurul Anwar atau Nurul A’zham, dan inilah
Tuhan yang azali. Manusia berasal dari Nurul Anwar yang diciptakan melalui
pancaran cahaya dengan proses yang hampir sama dengan emanasi atau al-faidh
yang di kembangkan oleh Al-Farabi dan Ibn Sina. Oleh karena itu, hubungan
manusia dengan Tuhan merupakan arus bolak-balik. Artinya, ada hubungan yang
bersifat dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas yang kemudian terjadilah
ittihad (menyatunya manusia dengan Tuhan). Konsep tasawuf Suhrawardi berujung
pada konsep cahaya (iluminasi) yang lahir sebagai perpaduan antara rasio dan
intuisi.[31]
Bagi suhrawardi,
apa yang disebut eksistensi hanya ada dalam pikiran. Gagasan umum maupun konsep
tidak terdapat pada realitas. Sedangkan yang benar-benar ada atau realitas yang
sesungguhnya hanyalah esensi-esensi yang tidak lain merupakan bentuk-bentuk
cahaya.[32]
Cahaya-cahaya inilah yang nyata dengan dirinya sendiri karena ketidak adaanya
berarti kegelapan yang tidak dikenali, namun demikian cahaya mempunyai
hierarki- hierarki dari yang paling atas sampai terbawah. Hal ini sama dengan
filsafat emanasi dalam peripatetisme. Hanya saja dalam emanasi
hierarki-hierarki atau tingkatan-tingkatan itu diidentikkan dengan cahaya.
Dalam pemahaman
tentang hierarki- hierarki wujud, semakin dekat pada sumber cahaya, maka
intensitas cahaya suatu tingkatan wujud akan lebih banyak. Semakin jauh dari
sumber cahaya maka akan lebih sedikit intensitas cahaya yang diterimanya. Yakni
wujud yang lebih dekat kepada Tuhan sebagai sumber cahaya akan lebih banyak
menerima pancaran dari-Nya, sementara wujud yang jauh dari-Nya semakin lemah
intensitas cahayanya. Dan dengan demikian makin rendah tingkatan dalam hierarki
keberadaannya.
Proses iluminasi
Suhrawardi dimulai dari Nur al-Anwar yang merupakan sumber dari segala cahaya
yang ada. Ia Maha Sempurna, Mandiri, Esa, sehingga tidak ada satupun yang
menyerupai-Nya, Ia adalah Allah. Dalam pemaparan teori penciptaan, Suhrawardî
sepakat dengan pandangan kaum Peripatetik yang meyakini bahwa Zat manunggal
hanya memancarkan pada satu bentuk yang tunggal. Nur al-Anwar yang ditegaskan
sebelumnya sebagai sumber penciptaan hanya memancarkan cahayaNya pada satu
cahaya murni, yang juga memiliki sifat kesamaan dengan Nur al-Anwar. Pemancaran
cahaya ini diakibatkan oleh aktivitas Nur al-Anwar yang senantiasa memancarkan
cahaya dari substansinya. Dan sebenarnya mata rantai dari aktivitas Nur al-Anwar
inilah, yang dalam pemikiran kelompok Iluminasioner mendasari perannya (Nur al-Anwar)
sebagai pencipta alam semesta.
Sebagai hasil
pemancaran cahaya substansinya terjadilah satu pelimpahan atau emanasi pada
Cahaya Murni pertama dan dibarengi dengan satu materi alam abadi (yang disebut
dengan Huyuli) yang menjadi materi dasar pembentuk alam semesta. Cahaya Murni
pertama ini, seperti Nur al-Anwar, dicirikan oleh aktivitasnya yang serupa,
yaitu menerima pancaran cahaya Nur al-Anwar dan memancarkan Cahaya-Nya kembali
dari substansinya. Tapi walaupun demikiran keduanya tetap memiliki perbedaan
fundamental, baik dalam zat ataupun strata fungsionalnya.
Suhrawardi menjelaskan
dalam satu contoh sederhana yang mengambarkan proses pemancaran Nur al-Anwar
pada Cahaya Murni pertama. Nur al-Anwar digambarkan sebagai Matahari sedangkan
Cahaya Murni-pertama adalah cermin, pancaran sinar matahari yang tak beraturan
dalam sebuah cermin, yang dengannya terpantul sebuah cahaya yang berbeda dari
cahaya sebelumnya. Keduanya sama-sama memancarkan cahaya, tetapi cahaya yang
dipancarkan cermin tidaklah sama dengan cahaya Matahari, karena cermin hanyalah
perantara yang menerima cahaya yang besar dan memantulkan cahaya sesuai
kemampuanny.[33]
Memperhatikan
pemikiran Suhrawardi tentang iluminasi ini, mengingatkan kepada sebuah firman
Allah dalam surat al-Nur Ayat 35, artinya: “Allah (Pemberi) cahaya (kepada)
langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang
tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan)
kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan
dengan minyak dari pohon yang berkah, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di
sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya
(saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas
cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki,
dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha
mengetahui segala sesuatu”.
Dalam konteks
iluminasi Suhrawardi, posisi pelita besar dalam ayat di atas merupakan
penjelmaan dari Nur al-Anwar yang menjadi sumber dari segala cahaya, sedangkan
cahaya yang terpancar dari pelita besar itu diposisikan sebagai Nur al-Aqrab
sebagai cahaya yang pertama kali terpancar dari sumber cahaya. Selanjutnya
cahaya yang terpancar dari Nur al-Aqrab ini membentur dinding-dinding kaca yang
kemudian menghasilkan banyak cahaya yang saling memancar dan menghasilkan
cahaya lain. Dari proses seperti inilah cahaya kedua, ketiga dan seterusnya
lahir.
7. Epistemologi
Dalam epistemologinya, Suhrawardi
membahas secara panjang lebar masalah pengetahuan, namun pada akhirnya
mendasarkannya pada iluminasi dan mengusulkan satu teori visi. Ia menganggap cara nalar
dan cara intuisi sebagai pasangan yang saling melengkapi, karena nalar tanpa
intuisi dan iluminasi tidak akan pernah bisa mencapai sumber transenden dari
segala kebenaran dan penalaran. Sedangkan intuisi tanpa penyiapan logika serta
latihan dan pengembangan kemampuan rasional bisa tersesat dan tidak akan dapat
mengungkapkan dirinya secara ringkas dan metodis.
Menurut Suhrawardi, jika kita hendak
dapat mendalami secara lengkap sisi intelektual murni falsafah transcendental,
maka harus memahami secara mendalam filsafat Aristoteles, Logika, Matematika
dan Sufisme. Kita harus membebaskan sepenuhnya pikiran kita dari prasangka dan
dosa, sehingga pikiran kita secara bertahap mampu mengembangkan indera batin kita, yang mampu
mengoreksi apa yang dimengerti oleh pikiran hanya sebagai teori. Ciri yang
paling nampak dalam falsafah Isyraqi Suhrawardi adalah bahwa akal tanpa bantuan
Dzauq maka tidak dapat dipercaya, karena Dzauq berfungsi sebagai
penyerap misterius atas segala esensi dan membuang skeptisisme.Namun pengalaman
spiritual itu pun perlu dirumuskan dan disistematisasikan oleh pikiran yang
logis. Jadi setiap bentuk dari pengetahuan, akan bertujuan akhir pada iluminasi
dan ma’rifat (gnosis), yang ditempatkan oleh Suhrawardi pada puncak hierarki
pengetahuan.
8. Metode
Mendapatkan Pengetahuan
Selanjutnya,
berdasarkan atas perbedaan metode untuk menghasilkan tingkat validitas keilmuan
ini, Suhrawardi membagi para pencari ilmu dalam empat tingkatan: (1) Para
pencari ilmu yang mulai merasakan kehausan ma`rifat, yang pada putaran
berikutnya memajukan diri untuk membahas filsafat; (2) para pencari yang telah
memperoleh ilmu secara formal dan telah sempurna mempelajari filsafat pembuktian
(burhani) tetapi masih asing dengan pengetahuan yang sesungguhnya, seperti al-Farabi
dan Ibn Sina; (3) para pencari yang belum merasa puas dengan bentuk-bentuk
ma`rifat secara mutlak tetapi telah membersihkan diri sehingga mencapai derajat
perkiraan akal dan illuminasi batin, seperti al-Hallaj, Yazid Bustami dan
Tustari; (4) para pencari yang telah menamatkan filsafat pembuktian sebagaimana
mereka mengetahui tahapan illuminasi atau pengetahuan. Pada tahap terakhir ini,
pengetahuan dan kualitas individu meningkat pada posisi yang dinamakan sebagai
kelompok ‘Ahli Hikmah Ketuhanan’ seperti pada Pyithagoras dan Plato. Suhrawardi
sendiri masuk dalam tingkatan ini.
9. Kosmologi
Dalam pandangannya tentang kosmologi, Suhrawardi mengembangkan prinsip
emanasi menjadi teori pancaran (iluminasi, isyraqi). Menurutnya, pancaran
cahaya bersumber dari sumber pertama yang ia sebut Nur al-Anwar. Pancaran dari
sumber pertama akan berjalan terus sepanjang sumbernya tetap eksis.
Konsekuensinya alam semesta akan selalu ada selama Tuhan ada. Namun menurut
Suhrawardi, Tuhan sangat berbeda dengan alam.Ia mengumpamakan hubungan antara
lampu dan sinarnya, lampu sebagai sumber cahaya jelas berbeda dengan sinar yang
dihasilkannya.[34]
Dalam teori emanasinya, Suhrawardi membaginya menjadi dua, yaitu:
a. Adanya
emanasi dari masing-masing cahaya yang berada di bawah Nur al-Anwar.
Cahaya-cahaya ini benar-benar ada dan diperoleh (yahshul) namun berbeda pada
tingkat intensitasnya yang menjadi ukuran kesempurnaan. Cahaya-cahaya itu
bercirikan: (a) ada sebagai cahaya abstrak, (b) mempunyai gerak ganda,
mencintai (yuhibbuh) serta melihat (yusyahiduh) yang di atasnya dan
mengendalikan (yaqharu) serta menyinari (asyraqah) apa yang ada di bawahnya.
(c) mempunyai atau mengambil “sandaran” di mana sandaran ini mengimplikasaikan
sesuatu, seperti “zat” yang disebut barzah, dan mempunyai “kondisi” (hay’ah);
zat dan kondisi ini sama-sama berperan sebagai “wadah” bagi cahaya. (d)
mempunyai sesuatu semisal “kualitas” atau sifat, yakni “kaya” (ghani) dalam hubungannya
dengan cahaya di bawahnya dan “miskin” (fakir) dalam kaitannya dengan cahaya di
atas. Ketika cahaya pertama melihat Nur al-Anwar dengan berlandaskan dengan
cinta dan kesamaan, ia memperoleh cahaya abstrak yang lain. Sebaliknya ketika
cahaya perrtama melihat kemiskinannya, ia memperoleh “zat” dan “kondisi”nya
sendiri. proses ini terus berlanjut, sehingga menjadi bola dan dunia dasar
(elemental world).
b. Proses ganda iluminasi dan visi (penglihatan). Ketika cahaya pertama
muncul, ia mempunyai visi langsung pada Nur al-Anwar tanpa durasi dan pada
“momen” tersendiri Nur al-Anwar menyinarinya sehingga “menyalakan” cahaya kedua
dan zat serta kondisi yang dihubungkan dengan cahaya pertama. Cahaya kedua ini
pada prosesnya menerima tiga cahaya, dari Nur al-Anwar secara langsung, dari
cahaya pertama dan Nur al-Anwar yang tembus lewat cahaya pertama. Proses ini
terus berlanjut dengan jumlah cahaya meningkat sesuai dengan urutan 2n-1 dari
cahaya pertama.
Lebih lanjut lagi
mengenai konsep kosmologi Suhrawardi, ia membagi alam kepada empat tingkatan,
yaitu:[35]
a. Alam cahaya
dominator (‘alam al-anwar al-qahirah), yaitu alam cahaya-cahaya mujarradad al-‘aqliyyah
yang terbebas dari bentuk sama sekali, mereka adalah pasukan Allah dan para
malaikat yang dekat dengan Allah serta para hamba yang ikhlas (mukhlish)
b. Alam
cahaya-cahaya pengatur (‘alam al-anwar al-mudabbirah al-isfahbadiyyah al-falakiyah
wa al-insaniyyah)
c. Alam bentuk
(‘alam al-ajsam) yang terdiri atas dua alam barzakh (barzakhiyyani), yaitu alam
materi (alam indrawi, ‘alam al-hissi) salah satunya adalah alam barzakh
falak-falak (barzakhiyyah al-falak) yang di dalamnya terdapat bintang-bintang (al-kawakib)
sedangkan yang lainnya adalah alam barzakh anasir-anasir yang di dalamnya
terdapat unsure-unsur gabungan (al-murakkabat)
d. Alam citra
dan alam imajiner (‘alam al-mitsal wa al-khayal) atau disebut juga alam
bayangan murni. Di dalam alam ini akan terlihat bagaimana jasad dibangkitkan
kembali dan segala yang pernah dijanjikan melalui risalah kenabian.
Begitulah pembagian ataupun
pengelompokan alam menurut Suhrawardi. Namun semua fenomena alam yaitu hujan,
awan, halilintar, meteor, guntur, adalah berbagai kerja dari prinsip imanen
gerak ini, dan diterangkan oleh operasi langsung dan tidak langsung Cahaya
Pertama atas segala sesuatu, yang satu sama lainnya berbeda dalam kapasitas
penerimaan banyak-sedikitnya penerangan. Singkatnya, Alam Semesta ialah suatu
hasrat yang membawa suatu kristalisasi kerinduan kepada cahaya.
[3] Seyyed Hosen Naser dan Oliver
Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2003), hlm.
544.
[4] Abul Hadi, Filsafat
dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Cet II (Jakarta: Bakhtiar van Hoeve,
2002), hlm. 214.
[5] A. Mustofa, Filsafat
Islam (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm. 247.
[6] Abul Hadi, Filsafat dalam... hlm.
214.
[7] A. Mustofa, Filsafat Islam…
hlm. 247.
[8] Sayyed Husein Nashr, Thalathatu
Hukama’ Muslimin (Beirut: 1986), hlm. 77-78.
[9] Dedi Supriyadi, Pengantar
Filsafat Islam Konsep, Filosof dan Ajarannya (Bandung: Pustaka Setia, 2009),
hlm.178.
[10] Hussein Ziai, Suhrawardi
dan Filsafat Iluminasi, terj. Alif Muhammad dan Munir (Bandung: Zaman, 1998),
hlm. 36.
[11] Abul Hadi, Filsafat Dalam… hlm 547.
[12] M. Subkhan Anshori, Filsafat
Islam Antara Ilmu dan Pengertian, Cet. I (Kediri: Pustaka Azhar, 2011), hlm.
229.
[13] M. Subkhan Anshori, Filsafat
Islam Antara… hlm. 230.
[14] M. Subkhan Anshori, Filsafat
Islam Antara… hlm. 230.
[15] M. Subkhan Anshori, Filsafat
Islam Antara… hlm. 230-231.
[16] M. Subkhan Anshori, Filsafat
Islam Antara… hlm. 233.
[17] Syayid Hossein Nasr, Intelektual
Islam Teologi, Filsafat dan Gnosis, terj. Suharsono dan Jamaluddin MZ
(Yogyakarta: CIIS Press, 1995), hlm. 75.
[18] Taufik Abdullah dkk,
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Pemikiran dan Peradaban (Jakarta: Ichtiar
Baru van Hoeve, 1995), hlm. 215.
[19] A. Khudori Shaleh, Wacana
Baru Filsafat Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 120-121.
[20] Taufik Abdullah dkk, Ensiklopedi
Tematis… hlm. 221.
[21] Oliver Leaman, Pengantar
Filsafat Islam, Sebuah Pendekatan Tematis, terj. Musa Khazim dan Arif
Mulyadi (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 104.
[22] Majid Fakhry, Sejarah
Filsafat Islam, Sebuah Peta Kronologis, terj. Zaimul Am (Bandung: Mizan,
2002), hlm. 131.
[23] Hussein Ziai, Suhrawardi… hlm.
148.
[24] M. Wawan Shafwan, Metafisika
dalam Simbolisasi Cahaya: Mengkaji Pemikiran Suhrawardi Al-Maqtul, dalam jurnal
Refleksi (Yogyakarta, Vol. 2, No. 2, Juli 2002), hlm. 103.
[25] M. Wawan Shafwan, Metafisika
dalam…, hlm. 104.
[28] Majid Fakhry, Sejarah
Filsafat… hlm. 131.
[29] Hussein Ziai, Suhrawardi dan…
hlm. 148.
[30] A. Khudori Soleh, Wacana Baru
Filsafat Islam… hlm. 132.
[31] Rivay Siregar, Tasawuf dari
Sufisme Klasik ke Neo Sufisme (Jakarta: Grafindo Persada, 2002), hlm. 164-169.
[32] A. Khudori Soleh, Wacana Baru…
hlm. 124.
[33] Annemarie Schimmel, Dimensi
Mistik dalam Islam, Terj.Supardi Djoko Danamo dkk. (Jakarta, Pustaka
Firdaus, 2003), hlm. 331.
[34] Amroeni Drajat,
Suhrawardi: Kritik Falsafah Peripatetik (Yogyakarta: LKiS, 2005), hlm. 243-244.
[35] Amroeni Drajat,
Suhrawardi… hlm. 248.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar