BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Al-Qur’an merupakan sumber
ilmu dari segala sumber ilmu pengetahuan. Wahyu pertama yang diturunkan Allah
kepada nabi Muhammad saw yaitu QS. al-‘Alaq ayat 1 – 5 menjadi motivator dan inspirator dalam
menggali berbagai ilmu yang telah disediakan Allah kepada manusia sebagai
jembatan untuk mengenal suatu hakekat dengan bersandar pada sang khalik yang
maha menciptakan dan maha menguasai segala sesuatu. Manusia sejak diciptakan
telah dibekali dengan sebuah kelebihan yang tidak dimiliki oleh mahluk lain yaitu berupa akal (rasio).
Dengan akal , manusia diposisikan sebagai makhluk yang memiliki derajat yang
tinggi, bila ia menggunakannya dalam mempelajari dan menguasai berbagai ilmu.
Allah melalui al-Qur’an menyebutkan
keutamaan dan kelebihan orang yang berilmu disamping beriman sebagaimana firman-Nya adalah sebagai berikut :
QS. al-Mujadilah, 58 : 11
Allah
akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang
kamu kerjakan.
Untuk menguasai berbagai ilmu yang telah
disediakan Allah bagi manusia dapat dilakukan melalui sebuah proses pencarian
atau penemuan dengan memerhatikan prosedur, metode, teori dan sumber tentang
ilmu tersebut. Salah satunya adalah menggunakan pendekatan Epistemologi.
Epistemologi atau ilmu tentang suatu pengetahuan muncul ketika ilmu pengetahuan tersebut mulai
merambah atau menyinggung tentang
hal-hal yang berkaitan dengan persoalan metafisika.[1]
Persoalan metafisika yang muncul adalah apa itu Tuhan ?, apa yang dimaksud
dunia ?, apa itu jiwa ?.
Berangkat dari pertanyaan tersebut dan
jawabannya pun beragam (berbeda) hingga pertanyaan berikutnya adalah lebih
mengarah pada aktivitas mengetahui itu sendiri yaitu: Mungkinkah manusia
mengetahui sesuatu ? Bagaimana cara mengetahuinya ? Inilah dua
pertanyaan utama yang menjadi pintu masuk ke dalam ranah epistemology.
Menurut Muhammad Abid al-Jabiry definisi epistemologi adalah sejumlah konsep, prinsip
dasar dan aktivitas untuk memperoleh pengetahuan dalam suatu era historis
tertentu. Al-Jabiry, mengklasifikasikan pemikiran-pemikiran
epistemologi dalam Islam menjadi tiga model ‘wilayah epistemology’, yaitu: bayani,
burhani, dan irfani.[2] Epistemologi
Bayani merupakan metode pemikiran yang menekankan otoritas teks atau
nash secara langsung maupun secara tidak langsung. Secara
langsung maksudnya adalah mengerjakan suatu perbuatan secara langsung
berdasarkan teks atau nash tanpa diikutsertakan dengan logika atau pemikiran.
Sedangkan secara tidak langsung maksudnya adalah memahami suatu teks atau nash
sebagai suatu pengetahuan yang masih membutuhkan penafsiran atau penalaran
dengan menggunakan akal atau rasio. Sekalipun
demikian, karena akal memiliki keterbatasan sehingga fungsi akal dalam
menafsirkan sesuatu, dinisbatkan atau disandarkan pada teks atau nash tersebut.
Burhani merupakan pola berpikir tentang realitas (alam, sosial,
humanitas). Pola pikir ini disebut juga pola pikir induktif, yang menegaskan,
bahwa ilmu pengetahuan itu bersumber dari realitas empiris historis yang
diabstraksikan. Sedangkan Irfani merupakan corak pemikiran tasawuf, intuitif,
al`afifi, dan berdasarkan experiences. Yang lebih bersumber pada
intuisi,[3]
bukan pada nash atau teks.
Makalah ini mencoba untuk menggambarkan secara singkat
epistomologi bayani yang dirumuskan oleh pemikir muslim kontemporer Muhammad
Abid al-Jabiry.
B.
Rumusan
Masalah
Dari
latar belakang di atas maka penulis merumuskan beberapa masalah untuk membahas
tentang epistemologi bayani. Rumusan masalahnya meliputi:
1.
Apa
pengertian epistemologi bayani dan bagaimana perkembangannya?
2.
Apa
yang menjadi sumber pengetahuan epistemologi bayani?
3.
Apa metode dan pendekatan yang
digunakan dalam epistimologi bayani?
4.
Bagaimana
cara memverifikasi kebenaran ilmu dalam epistemologi bayani?
C.
Tujuan
Pembahasan
Penyusunan dan pembahasan makalah ini bertujuan :
1.
Memahami
pengertian dan perkembangan epistemologi bayani.
2.
Mengetahui
sumber pengetahuan epistemologi bayani.
3.
Mengetahui
metode dan pendekatan yang digunakan dalam epistemologi bayani.
4.
Memahami
cara verifikasi kebenaran ilmu dalam epistemologi bayani.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
dan Perkembangan Epistemologi Bayani
Secara etimologi, bayan berarti penjelasan
(eksplanasi). Al-Jabiri, berdasarkan beberapa makna yang diberikan kamus Lisan
al-Arab mengartikan sebagai al-fashl wa infishal (memisahkan dan
terpisah) dan al-dhuhur wa al-idhhar (jelas dan penjelasan). Makna al—fashl
wa al-idhhar dalam kaitannya dengan metodologi sedangkan al-infishal wa
dhuhur berkaitan dengan visi (ru`y) dari metode bayani.[4]
Sedangkan secara terminologi, bayan mempunyai dua
arti, yaitu :
1.
Sebagai
aturan-aturan penafsiran wacana,
2.
Syarat-syarat
memproduksi wacana.
Berbeda dengan makna etimologi
yang telah ada sejak awal peradaban Islam, makna-makna terminologis ini baru
lahir belakangan, yaitu pada masa kodifikasi (tadwin). Antara lain
ditandai dengan lahirnya al-asybah wa al-nazhair fi Al-Quran al-karim
karya Muqatil ibnu Sulaiman dan ma’ani Al-qu`ran karya ibn Ziyad
Al-farra’ yang keduanya sama-sama berusaha menjelaskan makna atas kata-kata dan
ibarat-ibarat yang ada dalam Al-Quran.[5]
Merujuk pada pengertian di atas,
bayani adalah penjelasan atau penafsiran terhadap suatu teks atau nash dengan mengacu pada kaidah-kaidah dan syarat –syarat yang telah berlaku secara sistimatis.
Seiring dengan perkembangan pemikiran Islam, pengertian dan
aturan-aturan metode bayani juga turut berkembang. Asy-Syafi`i (767-820 M) yang
merupakan peletak dasar yurisprudensi Islam, mengartikan bayan sebagai nama
yang mencakup makna-makna yang mengandung persoalan ushul hingga furu’.
Dari segi metodologi, Asy-Syafii membagi bayan menjadi lima bagian dan tingkatan
: [6]
1.
Bayan yang tidak butuh
penjelasan lanjut, berkenaan dengan sesuatu yang telah dijelaskan Tuhan dalam
Al-Quran sebagai ketentuan bagi makhlukNya.
2.
Bayan yang beberapa
bagiannya masih global sehingga butuh penjelasan As-sunnah.
3.
Bayan yang
keseluruhannya masih global sehingga butuh penjelasan sunnah.
4.
Bayan sunnah, sebagai
uraian atas sesuatu yang tidak terdapat dalam Al- Quran.
5.
Bayan Ijtihad, yang
dilakukan dengan qiyas atas sesuatu yang tidak terdapat dalam Al Quran maupun
sunnah.
Menurut asumsi Al-Jahizh (781 – 868 M) bahwa bayan adalah
syarat-syarat memproduksi wacana, bukan
sekedar aturan-aturan penafsiran wacana. Syarat-syaratnya meliputi :[7]
1.
Syarat
kefasihan ucapan.
2.
Seleksi
huruf dan lafal-lafal sehingga apa yang disampaikan bisa menjadi tepat guna.
3.
Adanya
keterbukaan makna yaitu bahwa makna harus bisa diungkap dari salah satu dari
lima bentuk penjelas lafal, isyarat, tulisan, keyakinan dan nisbah.
4.
Adanya
kesesuaian antara kata dan makna.
5.
Adanya
kekuatan kalimat untuk memaksa lawan mengakui kebenaran yang disampaikan dan
mengakui kelemahan serta kesalahan konsepnya sendiri.
Sampai
disini, bayani telah berkembang jauh. Ia tidak lagi sebagai sekadar penjelas
atas kata-kata sulit dalam Al Quran, tetapi telah berubah menjadi sebuah metode
bagaimana memahami sebuah teks, membuat kesimpulan dan keputusan atasnya,
kemudian memberikan uraian secara sistematis atas pemahaman tersebut kepada
pendengar, bahwa telah ditarik sebagai alat untuk memenangkan perdebatan.
Namun,
apa yang ditetapkan Al Jahizh dalam rangka memberikan uraian pada pendengar
tersebut, pada masa berikutnya, dianggap kurang tepat dan sistematis. Menurut
Ibn Wahab Al Khatib, seorang tokoh setelah Al Jahizh dan seangkatan dengan Al
Farabi, bayani bukan diarahkan untuk “mendidik”
pendengar melainkan sebuah metode untuk membangun konsep di atas dasar
ushul furu’; caranya dengan menggunakan paduan pola yang dipakai ulama
fiqih dan kalam (teologi).[8]
Paduan
antara metode fiqih yang eksplanatoris dan teologi yang dialektik dalam rangka
membangun epistemology bayani baru ini sangat penting, karena menurutnya apa
yang perlu penjelasan (bayan) tidak hanya teks suci, tetapi juga mencakup empat
hal, yaitu :
1. Wujud
materi yang mengandung aksiden dan substansi
2. Rahasia
hati yang memberi keputusan bahwa sesuatu itu benar-salah dan syubhat, saat
terjadi proses perenungan
3. Teks
suci dan ucapan yang mengandung banyak dimensi
4. Teks-teks
yang merupakan representasi pemikiran dan konsep.
Dari
empat macam objek ini, Ibn Wahhab menawarkan empat macam bayani, yaitu; bayan
al I’tibar untuk menjelaskan sesuatu yang berkaitan dengan materi, bayan
al I’tiqad berkaitan dengan hati, bayan al ibarah berkaitan dengan
teks dan bahasa, bayan al kitab berkaitan dengan konsep-konsep tertulis.
Pada
periode terakhir muncul Asy-Syathibi (w.1388 M). Sampai sejauh itu, menurutnya
bayani belum bisa memberikan pengetahuan yang pasti tapi baru derajat dugaan
sehingga tidak bisa dipertanggungjawabkan secara rasional. Dua teori utama
dalam bayani, istimbath dan qiyas, yang dikembangkan bayani hanya
berpijak pada sesuatu yang masih bersifat dugaan. Padahal, penetapan hukum
tidak bisa didasarkan pada sesuatu yang bersifat dugaan[9].
Karena
itu, Syathibi lantas menawarkan tiga teori untuk memperbaharui bayani, yaitu al-istintaj,
al-istiqra dan maqashid al-syari’, yang dikembangkan dari pemikiran
Ibn Hazm dan Ibn Rusyd. Al-istintaj sama dengan silogisme, menarik
kesimpulan berdasarkan dua premis yang mendahului, berbeda dengan qiyas
bayani yang dilakukan dengan cara menyandarkan furu’ pada ashl,
yang oleh Syathibi dianggap tidak menghasilkan pengetahuan baru. Pengetahuan
bayani harus dihasilkan melalui proses silogisme ini, sebab menurut Asy-Syathibi,
semua dalil syara’ telah mengandung dua premis, yaitu nazhariah
(teoretis) dan naqliyah (transmitif). Nazhariah berbasis pada
indra, rasio, penelitian, dan penalaran, sementara naqliah berbasis pada
proses transmitif. Nazhariyah merujuk pada tahqiq al-manath al-hukm
(uji empiris suatu sebab hukum) dalam setiap kasus, sedang naqliah
merujuk pada hukum itu sendiri dan mencakup pada semua kasus yang sejenis
sehingga ia merupakan kelaziman yang tidak terbantah dan sesuatu yang mesti
diterima. Nazhariyah merupakan premis minor sedangkan naqliyah
menjadi premis mayor[10].
Istiqra’
adalah penelitian terhadap teks-teks yang setema kemudian diambil tema
pokoknya, tidak berbeda dengan thematic induction. Sedangkan maqashid
al-syariyah berarti bahwa diturunkannya syariah ini mempunyai tujuan-tujuan
tertentu, yang menurut Syathibi terbagi dalam tiga macam, yaitu dharuriyah
(primer), hajiyah (sekunder), dan tahsiniyah (tersier)[11].
Pada tahap ini, metode bayani telah
lebih sempurna dan sistematis, proses pengambilan hukum atau pengetahuan tidak
sekedar menghiaskan furu’ pada ashl, tetapi juga lewat proses
silogisme seperti dalam filsafat.
B.
Sumber
Pengetahuan Epistemologi Bayani
Meski menggunakan metode rasional
filsafat seperti digagas Syathibi, epistemology bayani tetap berpijak pada teks
(nash). Dalam ushul al fiqih, yang dimaksud nash sebagai
sumber pengetahuan bayani adalah Al-Quran dan hadis.[12] Ini
berbeda dengan pengetahuan burhani yang mendasarkan diri pada rasio dan irfani
pada intuisi. Karena itu, epistemology bayani menaruh perhatian besar dan
teliti pada proses tranmisi teks dari generasi ke generasi. Ini penting bagi
bayani, karena sebagai sumber pengetahuan, benar tidaknya transmisi teks menentukan
benar salahnya ketentuan hukum yang diambil. Jika tranmisi teks bisa
dipertanggungjawabkan, berarti teks tersebut benar dan bisa dijadikan dasar
hukum. Sebaliknya, jika transmisinya diragukan, kebenaran teks tidak bisa
dipertanggungjawabkan dan itu berarti ia tidak bisa dijadikan sebagai landasan
hukum.
Karena itu, mengapa pada masa
tadwin (kodifikasi), khususnya kodifikasi hadis, para ilmuan begitu ketat dalam
menyeleksi sebuah teks yang diterima. Al-Bukhari misalnya, menggariskan syarat
yang tegas bagi diterimanya sebuah teks hadis :
1)
Bahwa periwayat harus
memenuhi tingkat krite ria yang paling tinggi dalam hal watak pribadi,keilmuan
dan standar akademik
2)
Harus ada informasi
positif tentang para periwayat yang menerangkan, bahwa mereka saling bertemu
muka dan para murid belajar langsung pada gurunya
Dari upaya-upaya seleksi tersebut kemudian
lahir ilmu-ilmu tertentu untuk mendeteksi dan memastikan keaslian teks, seperti
al-jarh wa al-ta’dil, Mushthalah al-hadits, Rijal al-hadits dan
seterusnya[13].
Selanjutnya, tentang nash Al
Quran, sebagai sumber utama, ia tidak selalu memberikan ketentuan pasti. Dari
segi penunjukan hukumnya, nash Al Qur`an bisa dibagi dua bagian, qathi
dan zhanni. Nash yang qath’i dilalah adalah nash-nash
yang menunjukkan adanya makna yang dapat dipahami dengan pemahaman tertentu,
atau nash yang tidak mungkin menerima tafsir dan takwil, atau sebuah teks yang
tidak mempunyai arti lain kecuali arti yang satu itu. Dalam konsep Al-Syafi’i,
inilah yang disebut bayan yang tidak butuh penjelasan lanjut. Nash yang dzanni
dilalah adalah nash-nash yang menunjukkan atas makna tapi masih
memungkinkan adanya takwil atau diubah dari makna asalnya menjadi makna yang
lain[14].
Kenyataan tersebut juga terjadi
pada sunnah, bahkan lebih luas. Jika dalam Al Quran, konsep qath’i dan dzanni
hanya berkaitan dengan dilalahnya, dalam sunnah hal itu berlaku pada
riwayat dan dilalahnya. Dari segi riwayat berarti bahwa teks hadis
tersebut diyakini benar-benar dari Nabi atau tidak, atau bahwa aspek ini akan
menentukan sah tidaknya proses transmisi teks hadis, yang dari sana kemudian
lahir berbagai macam kualitas hadis, seperti mutawatir, ahad, shahih, hasan,
gharib, ma’ruf, maqtu’ dan seterusnya. Dari segi dilalah berarti
bahwa makna teks hadis tersebut telah memberikan makna yang pasti atau masih bisa
ditakwil.
C.
Metode dan Pendekatan yang
Digunakan dalam Epistimologi Bayani
Untuk mendapatkan pengetahuan,
epistemologi bayani menempuh dua jalan. Petama, berpegang pada redaksi (lafal)
teks dengan menggunakan kaidah bahasa arab, seperti nahwu dan shorof sebagai
alat analisis. Kedua, menggunakan metode qiyas (analogi) dan inilah prinsip
utama epistemology bayani. Dalam kajian ushul al-fiqih, qiyas
diartikan sebagai memberikan keputusan hukum suatu masalah berdasarkan masalah
lain yang telah ada kepastian hukumnya dalam teks, karena adanya kesamaan illah.
Ada beberapa hal yang harus dipenuhi dalam melakukan qiyas, yaitu :
1. Adanya
al-ashl, yaitu nash suci yang memberikan hukum dan dipakai
sebagai ukuran.
2. Al
far`, sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam nash.
3. Hukum
al-ashl, ketetapan hukum yang diberikan oleh ashl.
4. Illah,
keadaan tertentu yang dipakai sebagai dasar penetapan hukum ashl.
D.
Verifikasi Kebenaran Ilmu dalam Epistemologi
Bayani
1.
Teori
kebenaran
Teori
kebenaran bertujuan untuk mencari landasan dan validitas kebenaran
(signifikasi) suatu bidang keilmuan.
2.
Teori
correspondence
Kebenaran
menurut teori correspondence yaitu terdapat perbandingan antara realita obyek
(informasi, fakta, peristiwa, pendapat) dengan apa yang ditangkap oleh subyek
(ide, kesan). Jika ide atau kesan yang dihayati subyek sesuai dengan
kenyataan (realita obyek) , maka sesuatu
itu benar. Artinya bahwa masalah kebenaran itu terjadi adanya hubungan
correspondence antara subyek yang menyadari dengan obyek yang disadarinya.
Dengan demikian kebenaran itu ditentukan oleh factor eksternal.
3.
Teori
consistency
Kebenaran
bukan didasarkan atas hubungan subyek obyek karena hubungan tersebut
menimbulkan subyektivitas. Karena itu mencari kebenaran senantiasa berdasarkan
konsistensi antara ide-ide atau kesan-kesan tentang suatu realita. Makin konsisten
idea tau kesan yang ditangkap beberapa subyek tentang sesuatu obyek yang sama,
makin benarlah idea tau kesan itu.
4.
Teori
Pragmatisme
Suatu
ide belum dikatakan benar atau salah sebelum teruji dalam praktek. Idea tau
teori itu benar hanya jika teori itu berguna, mampu memecahkan problem yang
ada. Tujuan pragmatism adalah supaya manusia selalu berada dalam keseimbangan,
untuk itu manusia harus mampu melakukan adjustment dengan
tuntutan-tuntutan lingkungan.
5.
Teori
Religious
Kebenaran
bersifat obyektif, universal dan berlaku bagi seluruh umat manusia. Bahkan
kebenaran itu bersifat mutlak dan berlaku sepanjang sejarah. Kebenaran
religious adalah kebenaran secara ontologis dan axiologis, bersumber dari Tuhan
yang disampaikan melalui wahyu. Kebenaran ini bersifat mutlak berlaku bagi
seluruh manusia dan universal. Bagi kaum religious kebenaran ilahi ini adalah
kebenaran tertinggi, dimana semua kebenaran lain (kebenaran indra, ilmiah,
filosofis) taraf dan nilai kebenarannya berada di bawah kebenaran ini.
Berdasarkan
teori kebenaran di atas, epistemologi bayani menganut kebenaran religious yang
bersumber dari ilahi melalui wahyu yang disampaikan kepada Rasulullah Muhammad
saw.
Dalam Islam
wahyu merupakan sumber ilmu tentang realitas dan kebenaran akhir berkenaan
dengan mahluk ciptaan dan Pencipta. Untuk itu kebenaran tertinggi dan bersifat
mutlak adalah kebenaran yang bersumber dari wahyu. Untuk merealisasikan sebuah
kebenaran, maka konsep islamisasi ilmu dipandang konsep yang sesuai dengan
epistemologi bayan. Islamisasi ilmu
merupakan usaha untuk mengacukan kembali ilmu, yaitu untuk mendefinisikan
kembali, menyusun ulang data, memikir kembali argument dan rasionalisasi yang
berhubungan dengan data, menilai kembali kesimpulan dan tafsiran, membentuk
kembali tujuan, dan melakukannya secara yang membolehkan disiplin itu
memperkaya visi dan perjuangan Islam.[15]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Pengertian
bayani menurut etimologi
berarti penjelasan (eksplanasi). Sedangkan menurut terminologi, bayani
mempunyai dua arti, pertama, sebagai
aturan-aturan penafsiran wacana, kedua syarat-syarat memproduksi wacana.
Jadi bayani adalah
penjelasan atau penafsiran terhadap
suatu teks atau nash dengan
mengacu pada kaidah-kaidah dan syarat
–syarat yang telah berlaku secara sistematis.
Perkembangan bayani masa Asy-Syafi`i (767-820 M) mengartikan bayan
sebagai nama yang mencakup makna-makna yang mengandung persoalan ushul hingga
furu’. Masa Al-Jahizh (781 – 868 M) bahwa bayan adalah
syarat-syarat memproduksi wacana, bukan
sekedar aturan-aturan penafsiran wacana. Masa Ibn
Wahab Al Khatib bayani sebuah metode untuk membangun konsep di atas dasar ushul
furu’. Masa Asy-Syathibi (w.1388 M). Sampai sejauh itu, menurutnya
bayani belum bisa memberikan pengetahuan yang pasti tapi baru derajat dugaan
sehingga tidak bisa dipertanggungjawabkan secara rasional. Dua teori utama
dalam bayani, istimbath dan qiyas, yang dikembangkan bayani hanya
berpijak pada sesuatu yang masih bersifat dugaan. Padahal, penetapan hukum
tidak bisa didasarkan pada sesuatu yang bersifat dugaan.
2.
Sumber Pengetahuan epistemologi bayani adalah teks (al-Qur`an dan hadits).
3.
Metode epistemologi bayani menempuh dua jalan.
Petama, berpegang pada redaksi (lafal) teks dengan menggunakan kaidah
bahasa arab, seperti nahwu dan shorof sebagai alat analisis.
Kedua, menggunakan metode qiyas (analogi) dan inilah prinsip utama
epistemologi bayani.
4.
Verifikasi kebenaran
ilmu dalam epistemologi bayani menganut
kebenaran religious yang bersumber dari Ilahi melalui wahyu yang disampaikan
kepada Rasulullah Muhammad saw. menggunakan koheren.
DAFTAR
RUJUKAN
A.
Misri, Muchsin, Filsafat Sejarah dalam Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzz
Press, 2002
Abid, Muhammad al-Jabiry. Formasi
Nalar Arab, terj. Imam Khoiri, Yogyakarta:IRCiSoD, 2003.
Azami, M.Mustofa. Metodologi
Kritik Hadis, terj. Yamin Bandung: Pustaka Hidayah, 1996.
Husaini, Ardian. Filsafat Ilmu, Jakarta : Gema Insani, 2014.
Soleh, A. Khudori . Wacana Baru Filsafat Islam, Cet. 1 Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004.
Soleh, A. Khudori . Epistemologi Bayani, http://khudorisoleh.blogspot.co.id/2009/11/epistemology-of-bayani.html,
diakses tanggal 24 November 2015.
Wahab, Abd. Khallaf. Ilm Ushl Al-Fiqh Kuwait:
Dar Al Qalam, 1978.
Wijaya, Aksin. Satu Islam Ragam Epistemologi, Jogjakarta : Pustaka Pelajar, 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar