Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Sabtu, 19 November 2016

MAKALAH VERIFIKASI KEBENARAN ILMU DALAM EPISTIMOLOGY BAYANI



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
 Al-Qur’an merupakan sumber ilmu dari segala sumber ilmu pengetahuan. Wahyu pertama yang diturunkan Allah kepada nabi Muhammad saw yaitu QS. al-‘Alaq ayat 1 – 5  menjadi motivator dan inspirator dalam menggali berbagai ilmu yang telah disediakan Allah kepada manusia sebagai jembatan untuk mengenal suatu hakekat dengan bersandar pada sang khalik yang maha menciptakan dan maha menguasai segala sesuatu. Manusia sejak diciptakan telah dibekali dengan sebuah kelebihan yang tidak dimiliki  oleh mahluk lain yaitu berupa akal (rasio). Dengan akal , manusia diposisikan sebagai makhluk yang memiliki derajat yang tinggi, bila ia menggunakannya dalam mempelajari dan menguasai berbagai ilmu. Allah melalui al-Qur’an  menyebutkan keutamaan dan kelebihan orang yang berilmu disamping beriman sebagaimana  firman-Nya adalah sebagai berikut :

QS. al-Mujadilah, 58 : 11
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
                       
Untuk menguasai berbagai ilmu yang telah disediakan Allah bagi manusia dapat dilakukan melalui sebuah proses pencarian atau penemuan dengan memerhatikan prosedur, metode, teori dan sumber tentang ilmu tersebut. Salah satunya adalah menggunakan pendekatan Epistemologi. Epistemologi atau ilmu tentang suatu pengetahuan  muncul ketika ilmu pengetahuan tersebut mulai merambah atau menyinggung  tentang hal-hal yang berkaitan dengan persoalan metafisika.[1] Persoalan metafisika yang muncul adalah apa itu Tuhan ?, apa yang dimaksud dunia ?, apa itu jiwa ?.
Berangkat dari pertanyaan tersebut dan jawabannya pun beragam (berbeda) hingga pertanyaan berikutnya adalah lebih mengarah pada aktivitas mengetahui itu sendiri yaitu: Mungkinkah manusia mengetahui sesuatu ? Bagaimana cara mengetahuinya ? Inilah dua pertanyaan utama yang menjadi pintu masuk ke dalam ranah epistemology.
Menurut Muhammad Abid al-Jabiry    definisi epistemologi adalah sejumlah konsep, prinsip dasar dan aktivitas untuk memperoleh pengetahuan dalam suatu era historis tertentu. Al-Jabiry, mengklasifikasikan pemikiran-pemikiran epistemologi dalam Islam menjadi tiga model ‘wilayah epistemology’, yaitu: bayani, burhani, dan irfani.[2] Epistemologi Bayani merupakan metode pemikiran yang menekankan otoritas teks atau nash secara langsung maupun secara tidak langsung. Secara langsung maksudnya adalah mengerjakan suatu perbuatan secara langsung berdasarkan teks atau nash tanpa diikutsertakan dengan logika atau pemikiran. Sedangkan secara tidak langsung maksudnya adalah memahami suatu teks atau nash sebagai suatu pengetahuan yang masih membutuhkan penafsiran atau penalaran dengan menggunakan akal atau rasio. Sekalipun demikian, karena akal memiliki keterbatasan sehingga fungsi akal dalam menafsirkan sesuatu, dinisbatkan atau disandarkan pada teks atau nash tersebut. Burhani merupakan pola berpikir tentang realitas (alam, sosial, humanitas). Pola pikir ini disebut juga pola pikir induktif, yang menegaskan, bahwa ilmu pengetahuan itu bersumber dari realitas empiris historis yang diabstraksikan. Sedangkan Irfani merupakan corak pemikiran tasawuf, intuitif, al`afifi, dan berdasarkan experiences. Yang lebih bersumber pada intuisi,[3] bukan pada nash atau teks.
Makalah ini mencoba untuk menggambarkan secara singkat epistomologi bayani yang dirumuskan oleh pemikir muslim kontemporer Muhammad Abid al-Jabiry.
B.       Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka penulis merumuskan beberapa masalah untuk membahas tentang epistemologi bayani. Rumusan masalahnya meliputi:
1.         Apa pengertian epistemologi bayani dan bagaimana perkembangannya?
2.         Apa yang menjadi sumber pengetahuan epistemologi bayani?
3.       Apa metode dan pendekatan yang digunakan dalam epistimologi bayani?
4.       Bagaimana cara memverifikasi kebenaran ilmu dalam epistemologi bayani?

C.      Tujuan Pembahasan
Penyusunan dan pembahasan makalah ini bertujuan :
1.         Memahami pengertian dan perkembangan epistemologi bayani.
2.         Mengetahui sumber pengetahuan epistemologi bayani.
3.         Mengetahui metode dan pendekatan yang digunakan dalam epistemologi bayani.
4.         Memahami cara verifikasi kebenaran ilmu dalam epistemologi bayani.


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian dan Perkembangan Epistemologi Bayani
Secara etimologi, bayan berarti penjelasan (eksplanasi). Al-Jabiri, berdasarkan beberapa makna yang diberikan kamus Lisan al-Arab mengartikan sebagai al-fashl wa infishal (memisahkan dan terpisah) dan al-dhuhur wa al-idhhar (jelas dan penjelasan). Makna al—fashl wa al-idhhar dalam kaitannya dengan metodologi sedangkan al-infishal wa dhuhur berkaitan dengan visi (ru`y) dari metode bayani.[4]
Sedangkan secara terminologi, bayan mempunyai dua arti, yaitu :
1.         Sebagai aturan-aturan penafsiran wacana,
2.         Syarat-syarat memproduksi wacana.
Berbeda dengan makna etimologi yang telah ada sejak awal peradaban Islam, makna-makna terminologis ini baru lahir belakangan, yaitu pada masa kodifikasi (tadwin). Antara lain ditandai dengan lahirnya al-asybah wa al-nazhair fi Al-Quran al-karim karya Muqatil ibnu Sulaiman dan ma’ani Al-qu`ran karya ibn Ziyad Al-farra’ yang keduanya sama-sama berusaha menjelaskan makna atas kata-kata dan ibarat-ibarat yang ada dalam Al-Quran.[5]
Merujuk pada pengertian di atas,  bayani  adalah  penjelasan atau penafsiran terhadap  suatu teks atau nash  dengan mengacu pada kaidah-kaidah  dan syarat –syarat yang telah berlaku  secara sistimatis.
Seiring dengan perkembangan pemikiran Islam, pengertian dan aturan-aturan metode bayani juga turut berkembang. Asy-Syafi`i (767-820 M) yang merupakan peletak dasar yurisprudensi Islam, mengartikan bayan sebagai nama yang mencakup makna-makna yang mengandung persoalan ushul hingga furu’. Dari segi metodologi, Asy-Syafii membagi bayan menjadi lima bagian dan tingkatan : [6]
1.         Bayan yang tidak butuh penjelasan lanjut, berkenaan dengan sesuatu yang telah dijelaskan Tuhan dalam Al-Quran sebagai ketentuan bagi makhlukNya.
2.         Bayan yang beberapa bagiannya masih global sehingga butuh penjelasan As-sunnah.
3.         Bayan yang keseluruhannya masih global sehingga butuh penjelasan sunnah.
4.         Bayan sunnah, sebagai uraian atas sesuatu yang tidak terdapat dalam Al- Quran.
5.         Bayan Ijtihad, yang dilakukan dengan qiyas atas sesuatu yang tidak terdapat dalam Al Quran maupun sunnah.
Menurut asumsi Al-Jahizh (781 – 868 M) bahwa bayan adalah syarat-syarat memproduksi  wacana, bukan sekedar aturan-aturan penafsiran wacana. Syarat-syaratnya meliputi :[7]
1.         Syarat kefasihan ucapan.
2.         Seleksi huruf dan lafal-lafal sehingga apa yang disampaikan bisa menjadi tepat guna.
3.         Adanya keterbukaan makna yaitu bahwa makna harus bisa diungkap dari salah satu dari lima bentuk penjelas lafal, isyarat, tulisan, keyakinan dan nisbah.
4.         Adanya kesesuaian antara kata dan makna.
5.         Adanya kekuatan kalimat untuk memaksa lawan mengakui kebenaran yang disampaikan dan mengakui kelemahan serta kesalahan konsepnya sendiri.
Sampai disini, bayani telah berkembang jauh. Ia tidak lagi sebagai sekadar penjelas atas kata-kata sulit dalam Al Quran, tetapi telah berubah menjadi sebuah metode bagaimana memahami sebuah teks, membuat kesimpulan dan keputusan atasnya, kemudian memberikan uraian secara sistematis atas pemahaman tersebut kepada pendengar, bahwa telah ditarik sebagai alat untuk memenangkan perdebatan.
Namun, apa yang ditetapkan Al Jahizh dalam rangka memberikan uraian pada pendengar tersebut, pada masa berikutnya, dianggap kurang tepat dan sistematis. Menurut Ibn Wahab Al Khatib, seorang tokoh setelah Al Jahizh dan seangkatan dengan Al Farabi, bayani bukan diarahkan untuk “mendidik”  pendengar melainkan sebuah metode untuk membangun konsep di atas dasar ushul furu’; caranya dengan menggunakan paduan pola yang dipakai ulama fiqih dan kalam (teologi).[8]
Paduan antara metode fiqih yang eksplanatoris dan teologi yang dialektik dalam rangka membangun epistemology bayani baru ini sangat penting, karena menurutnya apa yang perlu penjelasan (bayan) tidak hanya teks suci, tetapi juga mencakup empat hal, yaitu :
1.    Wujud materi yang mengandung aksiden dan substansi
2.    Rahasia hati yang memberi keputusan bahwa sesuatu itu benar-salah dan syubhat, saat terjadi proses perenungan
3.    Teks suci dan ucapan yang mengandung banyak dimensi
4.    Teks-teks yang merupakan representasi pemikiran dan konsep.
Dari empat macam objek ini, Ibn Wahhab menawarkan empat macam bayani, yaitu; bayan al I’tibar untuk menjelaskan sesuatu yang berkaitan dengan materi, bayan al I’tiqad berkaitan dengan hati, bayan al ibarah berkaitan dengan teks dan bahasa, bayan al kitab berkaitan dengan konsep-konsep tertulis.
 Pada periode terakhir muncul Asy-Syathibi (w.1388 M). Sampai sejauh itu, menurutnya bayani belum bisa memberikan pengetahuan yang pasti tapi baru derajat dugaan sehingga tidak bisa dipertanggungjawabkan secara rasional. Dua teori utama dalam bayani, istimbath dan qiyas, yang dikembangkan bayani hanya berpijak pada sesuatu yang masih bersifat dugaan. Padahal, penetapan hukum tidak bisa didasarkan pada sesuatu yang bersifat dugaan[9].
Karena itu, Syathibi lantas menawarkan tiga teori untuk memperbaharui bayani, yaitu al-istintaj, al-istiqra dan maqashid al-syari’, yang dikembangkan dari pemikiran Ibn Hazm dan Ibn Rusyd. Al-istintaj sama dengan silogisme, menarik kesimpulan berdasarkan dua premis yang mendahului, berbeda dengan qiyas bayani yang dilakukan dengan cara menyandarkan furu’ pada ashl, yang oleh Syathibi dianggap tidak menghasilkan pengetahuan baru. Pengetahuan bayani harus dihasilkan melalui proses silogisme ini, sebab menurut Asy-Syathibi, semua dalil syara’ telah mengandung dua premis, yaitu nazhariah (teoretis) dan naqliyah (transmitif). Nazhariah berbasis pada indra, rasio, penelitian, dan penalaran, sementara naqliah berbasis pada proses transmitif. Nazhariyah merujuk pada tahqiq al-manath al-hukm (uji empiris suatu sebab hukum) dalam setiap kasus, sedang naqliah merujuk pada hukum itu sendiri dan mencakup pada semua kasus yang sejenis sehingga ia merupakan kelaziman yang tidak terbantah dan sesuatu yang mesti diterima. Nazhariyah merupakan premis minor sedangkan naqliyah menjadi premis mayor[10].
Istiqra’ adalah penelitian terhadap teks-teks yang setema kemudian diambil tema pokoknya, tidak berbeda dengan thematic induction. Sedangkan maqashid al-syariyah berarti bahwa diturunkannya syariah ini mempunyai tujuan-tujuan tertentu, yang menurut Syathibi terbagi dalam tiga macam, yaitu dharuriyah (primer), hajiyah (sekunder), dan tahsiniyah (tersier)[11].
Pada tahap ini, metode bayani telah lebih sempurna dan sistematis, proses pengambilan hukum atau pengetahuan tidak sekedar menghiaskan furu’ pada ashl, tetapi juga lewat proses silogisme seperti dalam filsafat.

B.       Sumber Pengetahuan Epistemologi Bayani
Meski menggunakan metode rasional filsafat seperti digagas Syathibi, epistemology bayani tetap berpijak pada teks (nash). Dalam ushul al fiqih, yang dimaksud nash sebagai sumber pengetahuan bayani adalah Al-Quran dan hadis.[12] Ini berbeda dengan pengetahuan burhani yang mendasarkan diri pada rasio dan irfani pada intuisi. Karena itu, epistemology bayani menaruh perhatian besar dan teliti pada proses tranmisi teks dari generasi ke generasi. Ini penting bagi bayani, karena sebagai sumber pengetahuan, benar tidaknya transmisi teks menentukan benar salahnya ketentuan hukum yang diambil. Jika tranmisi teks bisa dipertanggungjawabkan, berarti teks tersebut benar dan bisa dijadikan dasar hukum. Sebaliknya, jika transmisinya diragukan, kebenaran teks tidak bisa dipertanggungjawabkan dan itu berarti ia tidak bisa dijadikan sebagai landasan hukum.
Karena itu, mengapa pada masa tadwin (kodifikasi), khususnya kodifikasi hadis, para ilmuan begitu ketat dalam menyeleksi sebuah teks yang diterima. Al-Bukhari misalnya, menggariskan syarat yang tegas bagi diterimanya sebuah teks hadis :
1)      Bahwa periwayat harus memenuhi tingkat krite ria yang paling tinggi dalam hal watak pribadi,keilmuan dan standar akademik
2)      Harus ada informasi positif tentang para periwayat yang menerangkan, bahwa mereka saling bertemu muka dan para murid belajar langsung pada gurunya
 Dari upaya-upaya seleksi tersebut kemudian lahir ilmu-ilmu tertentu untuk mendeteksi dan memastikan keaslian teks, seperti al-jarh wa al-ta’dil, Mushthalah al-hadits, Rijal al-hadits dan seterusnya[13].
Selanjutnya, tentang nash Al Quran, sebagai sumber utama, ia tidak selalu memberikan ketentuan pasti. Dari segi penunjukan hukumnya, nash Al Qur`an bisa dibagi dua bagian, qathi dan zhanni. Nash yang qath’i dilalah adalah nash-nash yang menunjukkan adanya makna yang dapat dipahami dengan pemahaman tertentu, atau nash yang tidak mungkin menerima tafsir dan takwil, atau sebuah teks yang tidak mempunyai arti lain kecuali arti yang satu itu. Dalam konsep Al-Syafi’i, inilah yang disebut bayan yang tidak butuh penjelasan lanjut. Nash yang dzanni dilalah adalah nash-nash yang menunjukkan atas makna tapi masih memungkinkan adanya takwil atau diubah dari makna asalnya menjadi makna yang lain[14].
Kenyataan tersebut juga terjadi pada sunnah, bahkan lebih luas. Jika dalam Al Quran, konsep qath’i dan dzanni hanya berkaitan dengan dilalahnya, dalam sunnah hal itu berlaku pada riwayat dan dilalahnya. Dari segi riwayat berarti bahwa teks hadis tersebut diyakini benar-benar dari Nabi atau tidak, atau bahwa aspek ini akan menentukan sah tidaknya proses transmisi teks hadis, yang dari sana kemudian lahir berbagai macam kualitas hadis, seperti mutawatir, ahad, shahih, hasan, gharib, ma’ruf, maqtu’ dan seterusnya. Dari segi dilalah berarti bahwa makna teks hadis tersebut telah memberikan makna yang pasti atau masih bisa ditakwil.
C.      Metode dan Pendekatan yang Digunakan dalam Epistimologi Bayani
Untuk mendapatkan pengetahuan, epistemologi bayani menempuh dua jalan. Petama, berpegang pada redaksi (lafal) teks dengan menggunakan kaidah bahasa arab, seperti nahwu dan shorof sebagai alat analisis. Kedua, menggunakan metode qiyas (analogi) dan inilah prinsip utama epistemology bayani. Dalam kajian ushul al-fiqih, qiyas diartikan sebagai memberikan keputusan hukum suatu masalah berdasarkan masalah lain yang telah ada kepastian hukumnya dalam teks, karena adanya kesamaan illah. Ada beberapa hal yang harus dipenuhi dalam melakukan qiyas, yaitu :
1.    Adanya al-ashl, yaitu nash suci yang memberikan hukum dan dipakai sebagai ukuran.
2.    Al far`, sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam nash.
3.    Hukum al-ashl, ketetapan hukum yang diberikan oleh ashl.
4.    Illah, keadaan tertentu yang dipakai sebagai dasar penetapan hukum ashl.

D.       Verifikasi Kebenaran Ilmu dalam Epistemologi Bayani
1.    Teori kebenaran
Teori kebenaran bertujuan untuk mencari landasan dan validitas kebenaran (signifikasi) suatu bidang keilmuan.
2.    Teori correspondence
Kebenaran menurut teori correspondence yaitu terdapat perbandingan antara realita obyek (informasi, fakta, peristiwa, pendapat) dengan apa yang ditangkap oleh subyek (ide, kesan). Jika ide atau kesan yang dihayati subyek sesuai dengan kenyataan  (realita obyek) , maka sesuatu itu benar. Artinya bahwa masalah kebenaran itu terjadi adanya hubungan correspondence antara subyek yang menyadari dengan obyek yang disadarinya. Dengan demikian kebenaran itu ditentukan oleh factor eksternal.
3.    Teori consistency
Kebenaran bukan didasarkan atas hubungan subyek obyek karena hubungan tersebut menimbulkan subyektivitas. Karena itu mencari kebenaran senantiasa berdasarkan konsistensi antara ide-ide atau kesan-kesan tentang suatu realita. Makin konsisten idea tau kesan yang ditangkap beberapa subyek tentang sesuatu obyek yang sama, makin benarlah idea tau kesan itu.
4.    Teori Pragmatisme
Suatu ide belum dikatakan benar atau salah sebelum teruji dalam praktek. Idea tau teori itu benar hanya jika teori itu berguna, mampu memecahkan problem yang ada. Tujuan pragmatism adalah supaya manusia selalu berada dalam keseimbangan, untuk itu manusia harus mampu melakukan adjustment dengan tuntutan-tuntutan lingkungan.
5.    Teori Religious
Kebenaran bersifat obyektif, universal dan berlaku bagi seluruh umat manusia. Bahkan kebenaran itu bersifat mutlak dan berlaku sepanjang sejarah. Kebenaran religious adalah kebenaran secara ontologis dan axiologis, bersumber dari Tuhan yang disampaikan melalui wahyu. Kebenaran ini bersifat mutlak berlaku bagi seluruh manusia dan universal. Bagi kaum religious kebenaran ilahi ini adalah kebenaran tertinggi, dimana semua kebenaran lain (kebenaran indra, ilmiah, filosofis) taraf dan nilai kebenarannya berada di bawah kebenaran ini.
Berdasarkan teori kebenaran di atas, epistemologi bayani menganut kebenaran religious yang bersumber dari ilahi melalui wahyu yang disampaikan kepada Rasulullah Muhammad saw.
Dalam Islam wahyu merupakan sumber ilmu tentang realitas dan kebenaran akhir berkenaan dengan mahluk ciptaan dan Pencipta. Untuk itu kebenaran tertinggi dan bersifat mutlak adalah kebenaran yang bersumber dari wahyu. Untuk merealisasikan sebuah kebenaran, maka konsep islamisasi ilmu dipandang konsep yang sesuai dengan epistemologi bayan.  Islamisasi ilmu merupakan usaha untuk mengacukan kembali ilmu, yaitu untuk mendefinisikan kembali, menyusun ulang data, memikir kembali argument dan rasionalisasi yang berhubungan dengan data, menilai kembali kesimpulan dan tafsiran, membentuk kembali tujuan, dan melakukannya secara yang membolehkan disiplin itu memperkaya visi dan perjuangan Islam.[15]



BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
1.    Pengertian bayani menurut etimologi berarti penjelasan (eksplanasi). Sedangkan menurut terminologi, bayani mempunyai dua arti, pertama, sebagai aturan-aturan penafsiran wacana, kedua syarat-syarat memproduksi wacana. Jadi  bayani  adalah  penjelasan atau penafsiran terhadap  suatu teks atau nash  dengan mengacu pada kaidah-kaidah  dan syarat –syarat yang telah berlaku  secara sistematis.
Perkembangan bayani masa Asy-Syafi`i (767-820 M) mengartikan bayan sebagai nama yang mencakup makna-makna yang mengandung persoalan ushul hingga furu’. Masa Al-Jahizh (781 – 868 M) bahwa bayan adalah syarat-syarat memproduksi  wacana, bukan sekedar aturan-aturan penafsiran wacana. Masa Ibn Wahab Al Khatib bayani sebuah metode untuk membangun konsep di atas dasar ushul furu’. Masa Asy-Syathibi (w.1388 M). Sampai sejauh itu, menurutnya bayani belum bisa memberikan pengetahuan yang pasti tapi baru derajat dugaan sehingga tidak bisa dipertanggungjawabkan secara rasional. Dua teori utama dalam bayani, istimbath dan qiyas, yang dikembangkan bayani hanya berpijak pada sesuatu yang masih bersifat dugaan. Padahal, penetapan hukum tidak bisa didasarkan pada sesuatu yang bersifat dugaan.
2.    Sumber Pengetahuan epistemologi bayani adalah teks (al-Qur`an dan hadits).
3.    Metode epistemologi bayani menempuh dua jalan. Petama, berpegang pada redaksi (lafal) teks dengan menggunakan kaidah bahasa arab, seperti nahwu dan shorof sebagai alat analisis. Kedua, menggunakan metode qiyas (analogi) dan inilah prinsip utama epistemologi bayani.
4.    Verifikasi kebenaran ilmu dalam epistemologi bayani menganut kebenaran religious yang bersumber dari Ilahi melalui wahyu yang disampaikan kepada Rasulullah Muhammad saw. menggunakan koheren.
DAFTAR RUJUKAN 

A. Misri, Muchsin, Filsafat Sejarah dalam Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Press, 2002
 Abid, Muhammad al-Jabiry. Formasi Nalar Arab, terj. Imam Khoiri, Yogyakarta:IRCiSoD, 2003.
Azami, M.Mustofa.  Metodologi Kritik Hadis, terj. Yamin Bandung: Pustaka Hidayah, 1996.
Husaini, Ardian. Filsafat Ilmu, Jakarta : Gema Insani, 2014.
Soleh, A. Khudori . Wacana Baru Filsafat Islam, Cet. 1 Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Soleh, A. Khudori . Epistemologi Bayani, http://khudorisoleh.blogspot.co.id/2009/11/epistemology-of-bayani.html, diakses tanggal 24 November 2015.
Wahab, Abd. Khallaf. Ilm Ushl Al-Fiqh Kuwait: Dar Al Qalam, 1978.
Wijaya, Aksin. Satu Islam Ragam Epistemologi,  Jogjakarta : Pustaka Pelajar, 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar