Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Sabtu, 19 November 2016

MAKALAH IMPLIKASI POSTMODERNISME TERHADAP PENDIDIKAN



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Lintasan sejarah mencerminkan perkembangan peradaban manusia di muka bumi. Gelombang perubahan tersebut terjewantahkan dalam perkembangan kehidupan sosialnya. Manusia senantiasa merasa tidak puas dan tidak dapat bertahan dengan perkembangan pengetahuan pada periode-periode sebelumnya.
Secara teologis, pengetahuan animisme, bergeser menuju dinamisme, dari dinamisme menuju ke politeisme, dan politeisme menuju konsep monoteisme. Menyangkut paradigma ilmu pengetahuan, dari teosentris, ke empirisme, dari empirisme ke rasionalisme, dari rasionalisme ke positivisme, dari positivisme ke materialisme, dari materialisme ke idealisme dan pada tataran tertentu intuisionisme juga mendapat posisinya sebagai paradigma ilmu pengetahuan. Berbagai simbol telah diciptakan manusia untuk dilekatkan mewakili bahasa manusia dalam menyebut pergeseran paradigma pemikiran dan pengetahuan manusia dari waktu ke waktu.
Begitu pula sejarah perkembangan umat manusia setidaknya mempunyai empat fase pemikiran dalam filsafat. Pertama, Kosmosentrisme, yaitu alam semesta sebagai obyek discourse, yang terjadi pada zaman kuno. Kedua, Teosentrisme, yaitu obyek kajiannya adalah tuhan, terjadi pada abad pertengahan. Ketiga, Antroposentrisme, yaitu wacana dominannya adalah seputar manusia (terutama kekuatan rasio), terjadi pada zaman modern. Dan keempat, Logosentrisme, yaitu pusat pembicaraannya adalah bahasa, terjadi pada abad mutakhir, abad kedua puluh.[1] Pertama dan kedua merupakan identik dengan era tradisional, sedangkan ketiga adalah era modern atau pencerahan, dimana semua hal bertitik tumpuh pada manusia.
Sedangkan kerangka pikir atas pergeseran pengetahuan manusia mengacu pada sebuah frame besar yakni masa kuno/klasik, masa pertengahan, masa modern dan postmodern. Secara siginifikan masa klasik dan pertengahan di barat, wacana pikir dan rasionalisme manusia, belum mendapatkan porsi yang signifikan. Pada masa modern rasio manusia seolah-olah sebuah kendaraan yang sangat daksyat mengantarkan manusia pada sebuah kehidupan yang seolah-olah nyaman dan penuh kemapanan. Dengan perkembangan teknologi yang terstruktur sedemikian rupa. Disinilah modernisme dicirikan dengan gerakan rasionalisme yang begitu gencar. Rasionalisme telah menggiring manusia pada sebuah masa pencerahan yang disebut dengan mainstream pemikiran modernisme dan fakta sosialnya disebut modernitas. Setelah berjalan sekian dekade kemapanan dan kenyamanan paham modernisme mendapat kritik dan pergeseran paradigma. Pergeseran pemikiran modernisme itu mendapat kritik yang cukup signifikan yang merupakan mainstream gerakan postmodernisme dengan segala lingkup dan permasalahannya.[2]
Masyarakat (kita) dikagetkan dengan munculnya gejala postmodernisme yang cukup untuk meluluh-lantakkan dimensi ontologi, epistemologi bahkan aksiologi yang tumbuh dalam pengetahuan dasar masyarakat mengenai realitas. Bagi gerakan postmodernisme, manusia tidak akan mengetahui realitas yang objektif dan benar. Yang diketahui manusia hanyalah sebuah versi dari realitas, bukan keseluruhannya. Arief Budiman mengatakan, ibarat teks bacaan, realitas yang diketahui manusia merupakan teks yang sudah dibentuk oleh pengarang. Pada titik ini, posmo terjun ke arah relativisme.[3]
Pada dasarnya gerakan postmodern ini muncul sebagai kritik atas kegagalan manusia modern (kehidupan modernitas) dalam menciptakan situasi sosial yang lebih baik, kondusif dan berkeadilan sosial. Munculnya perang, gejolak sosial dan revolusi yang menimbulkan anarki dan relativisme total. Keadaan tersebut melahirkan sejumlah kegelisahan (epistemik) berkaitan dengan problem pengetahuan dasar manusia mengenai modernisme yang diklaim mengusung kemajuan, rasionalitas dan sebagainya. Rasio manusia yang oleh masyarakat modern diyakini sebagai suatu kemampuan otonom, mengatasi kekuatan metafisis dan transendental. Yang diyakini pula mengatasi semua pengalaman yang bersifat pastikular dan khusus dan (ironisnya) dianggap menghasilkan kebenaran mutlak, universal dan tidak terikat waktu.
Ibrahim Ali Fauzi berpendapat, sebagaimana dikutip oleh Ainur Rahman Hidayat bahwa asumsi-asumsi mutlak di atas mulai ditolak oleh postmodernis. Mereka berusaha membebaskan diri dari dominasi konsep dan praktek ilmu, filsafat dan kebudayaan modern. Jika dalam visi modernisme, penalaran (reason) dipercaya sebagai sumber utama ilmu pengetahuan yang menghasilkan kebenaran-kebenaran universal, maka dalam visi postrmodernisme hal ini justru dipandang sebagai alat dominasi terselubung yang kemudian tampil dalam bentuk imperialisme dan hegemoni kapitalistik. Sebuah warna yang paling dominan dalam masyarakat modern.[4] Bahkan menurut Mudji Sutrisno postmodernisme menyadari bahwa seluruh budaya modernisme yang bersumber pada ilmu pengetahuan dan teknologi pada titik tertentu tidak mampu menjelaskan kriteria dan ukuran epistemologi yang ‘benar’ itu adalah yang real. Dan yang real benar itu adalah ‘rasional’.[5]
Persoalannya, bangunan epistemologi yang demikian, apakah mempunyai pengaruh siginifikan dalam bidang pendidikan?. Kalaulah ia terintegrasi dalam filsafat sebagimana dilontarkan oleh Lyotard, apakah sistem filsafat pendidikan dalam banyak hal juga mulai bersinggungan dengan gejala postmodernisme?. Lalu, bagaimana bentuk keterpengaruhan (kalau memang ada) dalam sistem pendidikan, baik persoalan kurikulum maupun praktek pengajarannya?. Sebab sejak beberapa dekade tema postmodern lebih banyak dikonteks-kan pada seni, arsitektur, kebudayaan dan juga filsafat. Untuk melihat keterpengaruhan tersebut ada baiknya, dipahami dahulu latar belakang kemunculan gejala postmodern dan prinsip-prinsip umum dalam postmodern. Dari penjelasan tersebut dapat secara jelas ditemukan pengaruhnya pada bidang pendidikan.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.         Apa pengertian postmodernisme?
2.         Apa pengertian pendidikan dan kurikulum?
3.         Bagaimana pengaruh posmodernisme terhadap kurikulum?
4.         Bagaimana Implikasi Postmodernisme terhadap pendidikan?
C.    Tujuan Pembahasan
1.         Dapat memahami pengertian postmodernisme.
2.         Dapat memahami pengertian pendidikan dan kurikulum.
3.         Mengetahui pengaruh posmodernisme terhadap kurikulum.
4.         Memahami implikasi postmodernisme terhadap pendidikan. 
BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian dan Latar Belakang Lahirnya Postmodernisme
Secara etimologis Postmodernisme terdiri dari dua kata, post dan modern. Kata post adalah bentuk prefix, diartikan dengan ‘later or after’ dalam Webster’s Dictionary Library. Hal ini berarti Postmodern adalah sebagai koreksi terhadap modern itu sendiri dengan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat terjawab di jaman modern yang muncul karena adanya modernitas itu sendiri.[6]
Istilah “posmodern” muncul untuk pertama kalinya di wilayah seni. Menurut Hasan dan Jencks istilah itu pertama-tama dipakai oleh Federico de Onis pada tahun 1930-an dalam karyanya, Antologia de la Poesia Espanola a Hispanoamericana, untuk menunjukkan reaksi yang muncul dari dalam modernisme. Kemudian di bidang historiografi oleh Toynbee dalam A Study of History (1947).[7]
Dalam bidang sosial-ekonomi, Daniel Bell mengartikan postmodernisme sebagai kian berkembangnya kecenderungan-kecenderungan yang saling bertolak belakang, yang bersama dengan makin terbebasnya daya daya instingtual dan kian membubungnya kesenangan dan keinginan. Di bidang kebudayaan Frederic Jameson mengartikan postmodernisme adalah logika kulturan yang membawa transformasi dalam suasana kebudayaan umumnya.
Sedangkan di bidang filsafat istilah postmodern diperkenalkan oleh Jean-Francois Lyotard dalam bukunya The Postmodern Condition: A Report on Knowladge, yang dalam bahasa Inggris terbit pada tahun 1984 dan sejak itu menjadi locus classicus untuk diskusi-diskusi tentang postmodernisme di bidang filsafat kini.[8] Buku ini merupakan laporan untuk Dewan Universitas Quebec di Kanada yang berisi tentang perubahan-perubahan di bidang ilmu pengetahuan dalam masyarakat indusri maju akibat pengaruh teknologi baru. Sehingga teknologi informasi tersebut dengan prinsip kesatuan ontologis yang selama ini mendasari ide dasar filsafat modern, sudah tidak lagi relevan dengan realitas kontemporer.
Dalam konteks ini Lyotard berusaha mengintrodusir suatu pemahaman bahwa postmodern merupakan suatu periode dimana segala sesuatu itu didelegitimasikan.7 Delegitimasi tersebut merupakan akibat logis dari perubahan mendasar dari teknologi informasi yang memberikan berbagai informasi yang secara bertubi-tubi datang dalam wilayah masyarakat manapun, dan kapanpun. Ketika posisi pengetahuan dilegitimasikan oleh narasi-narasi besar (grand narrative) seperti kebebasan, kemajuan, emansipasi, dsb, maka kini, narasi-narasi besar tersebut atau metanarasi telah mengalami nasib sama dengan narasinarasi besar sebelumnya seperti religi, dialektika, roh, subyektivitas, yang menjadi patokan filsafat modern, yaitu mengalami kehilangan kekuatannya dan menjadi sulit dipercaya. Artinya dalam abad metailmiah ini narasi-narasi besar menjadi tidak mungkin, khususnya narasi tentang peranan dan keahlian ilmu itu sendiri. Maka nihilisme, anarkisme dan pluralisme permainan bahasa menjadi merajalela. Hal ini bagi Lyotard tidak jadi soal, sebab di sisi lain, kondisi ini menunjukkan situasi munculnya kepekaan baru terhadap perbedaan-perbedaan dan keberanian melawan segala bentuk totalitarisme.
Menurut Amin Abdullah sulit memberi definisi yang tepat tentang apa yang disebut dengan postmodernisme. Istilah postmodernisme dipergunakan dalam berbagai arti, dan tidak mudah untuk membuat atau merumuskan satu definisi yang bersifat exhaustive, yang dapat mencakup atau menjangkau semua demensi arti yang dikandungnya.[9]
Postmodernisme adalah gerakan abad akhir ke-20 dalam seni, arsitektur, dan kritik itu adalah keberangkatan dari modernisme. Postmodernisme termasuk interpretasi skeptis terhadap budaya, sastra, seni, filsafat, sejarah, ekonomi, arsitektur, fiksi, dan kritik sastra. Hal ini sering dikaitkan dengan dekonstruksi dan post-strukturalisme karena penggunaannya sebagai istilah mendapatkan popularitas yang signifikan pada waktu yang sama sebagai abad kedua puluh dalam pemikiran pasca-struktural. Postmodernisme adalah faham yang berkembang setelah era modern dengan modernisme-nya. Postmodernisme bukanlah faham tunggal sebuah teori, namun justru menghargai teori-teori yang bertebaran dan sulit dicari titik temu yang tunggal. Banyak tokoh-tokoh yang memberikan arti pascamodernisme sebagai kelanjutan dari modernisme.[10] Namun kelanjutan itu menjadi sangat beragam.
B.       Pengertian Pendidikan dan Kurikulum
1. Pengertian Pendidikan
Pada dasarnya pengertian pendidikan (UU SISDIKNAS No.20 tahun 2003) adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Menurut kamus Bahasa Indonesia Kata pendidikan berasal dari kata ‘didik’ dan mendapat imbuhan ‘pe’ dan akhiran ‘an’, maka kata ini mempunyai arti proses atau cara atau perbuatan mendidik. Secara bahasa definisi pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusiamelalui upaya pengajaran dan pelatihan.[11]
Selanjutnya, menurut tokoh pendidikan dari Indonesia yakni, Ki Hajar Dewantara pendidikan adalah upaya menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.[12]
Dengan demikian pendidikan dapat maknai sebagai segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan dan dilakukan sepanjang hayatnya . Dalam konteks ini, orang dewasa yang dimaksud bukan berarti pada kedewasaan fisik belaka, akan tetapi bisa pula dipahami pada kedewasaan psikis. Kedewasaan psikis dapat ditunjukkan dengan kemampuan seseorang dalam mengatasi permasalahan hidupnya.  Padahal selama manusia itu hidup permasalahan akan terus datang silih berganti. Jadi, selama manusia masih menghadapi masalah yang harus diselesaikan, selama itu pula ia masih menjalani pendidikan.
2. Pengertian Kurikulum
Secara etimologis, kurikulum berasal dari kata dalam Bahasa Latincurir” yang artinya pelari, dan ”curere” yang artinya ”tempat berlari”, yang mengandung pengertian suatu jarak yang harus ditempuh oleh pelari mulai dari garis start sampai dengan finish.[13] Dengan demikian, istilah kurikulum pada awalnya berasal dari dunia olah raga pada zaman Romawi kuno di Yunani, dan kemudian diadopsi ke dalam dunia pendidikan. Pengertian tersebut kemudian digunakan dalam dunia pendidikan, dengan pengertian sebagai rencana dan pengaturan tentang sejumlah mata pelajaran yang harus dipelajari peserta didik dalam menempuh pendidikan di lembaga pendidikan.
Secara terminologis, istilah kurikulum yang digunakan dalam dunia pendidikan mengandung pengertian sebagai sejumlah pengetahuan atau mata pelajaran yang harus ditempuh atau diselesaikan siswa untuk mencapai satu tujuan pendidikan atau kompetensi yang ditetapkan. Sebagai tanda atau bukti bahwa seseorang peserta didik telah mencapai standar kompetensi tersebut adalah dengan sebuah ijazah atau sertifikat yang diberikan kepada peserta didik.
  Dewasa ini terdapat banyak sekali definisi kurikulum, yang kalau dipelajari secara mendalam ternyata dipengaruhi oleh filosofi atau aliran filsafat tertentu. Pertama, pakar kurikulum yang beraliran perenialisme mendefinisikan kurikulum sebagai ”subject matter” atau mata pelajaran, ”content” atau isi, dan ”transfer of culture” atau alih kebudayaan Said Hamid Hasan dan Tanner kedua  pakar kurikulum yang menganut aliran essesialisme mendefinisikan kurikulum sebagai ”academic exellence” atau keunggulan akademis dan ”cultivation of intellect” atau pengolahan intelek.[14] Persamaan kedua aliran tersebut sama-sama mengagungkan keunggulan akademis dan intelektualitas. Sedangkan perbedaannya, aliran perenialisme menitikberatkan pada tradisi intelektualitas Bangsa Barat, seperti membaca, retorika, logika, dan matematika, sementara aliran esensialisme mengutamakan disiplin akademis yang lebih luas seperti Bahasa Inggris, matematika, sains, sejarah, dan bahasa-bahasa modern.
Dari berbagai definisi tentang kurikulum yang telah banyak dirumuskan oleh para ahli pendidikan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kurikulum dirumuskan sebagai jumlah kegiatan yang mencakup berbagai rencana setrategi belajar mengajar, pengaturan-pengaturan program agar dapat diterapkan, dan hal-hal yang mencakup pada kegiatan yang bertujuan mencapai tujuan yang diinginkan. Dalam system pendidikan, eksistensi kurikulum merupakan salah satu komponen. Dalam hal ini, Hasan Langgulung memandang bahwa, paling tidak ada empat komponen utama dalam kurikulum, yaitu :
a.    Tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh suatu jenjang pendidikan. Dengan lebih tegas lagi orang yang bagaimana yang ingin dibentuk dengan kurikulum tersebut.
b.    Pengetahuan (knowledge), informasi data-data, aktivitas dan pengalaman dari mana dan bagaimana yang dimuat oleh suatu kurikulum. Dengan acuan ini akan dirumuskan mata pelajaran mana yang dibutuhkan, mata pelajaran mana yang bisa digabungkan, dan mata pelajaran mana yang tidak diperlukan.
c.    Metode dan cara-cara mengajar yang dipakai oleh pendidik untuk mengajar dan memotivasi peserta didik untuk membawa mereka kea rah yang dikehendaki kurikulum.
d.   Metode dan cara penilaian yang dipergunakan dalam mengukur dan menilai kurikulum dan hasil proses pendidikan yang direncanakan kurikulum tersebut.[15]
C.      Pengaruh Posmodernisme Terhadap Kurikulum
Berdasarkan ciri menonjol postmodernisme yang mengusung tema pluralitas, heterogenitas serta deferensiasi, maka dapat dilacak dimana letak keterpengaruhan gerakan ini terhadap paradigma KURIKULUM.  Berdasarkan pengalaman dan pengamatan di lapangan bahwa sejak pendidikan dasar sampai perguruan tinggi terdapat sejumlah fakta, di antaranya adalah :   
1.    Muatan kurikulum dan pelaksanaannya oleh para guru cenderung lebih mengutamakan banyaknya materi pelajaran yang diberikan (overload). Guru dibebani target menghabiskan materi. Devinisi keberhasilan proses pendidikan lantas diukur dengan angka-angka kuantitatif, baik angka perolehan ujian maupun persentase kelulusan peserta ujian. Akibatnya pendidikan hanya menjunjung tinggi supremasi otak.
2.    Tuntutan Kurikulum yang tidak dapat diterjemahkan dengan cerdas oleh pelaksana di lapangan seperti Proses pendidikan berlangsung dalam komunikasi “satu arah” dari guru kepada siswa. Situasi demikian dapat kesempatan untuk menyampaikan kreatifitas berpikir dan sikap siswa. Teori lebih diutamakan sehingga kehilangan keterkaitan aplikasinya dengan dunia nyata.
3.    Birokrasi pengelola pendidikan mempunyai “kekuasaan” yang acapkali bertolak belakang dengan tujuan pendidikan. Memang di zaman kini, penyeragaman tidak lagi menjadi persoalan penting. Di sisi lain, atas nama otonomi pun bisa memunculkan praktik di lapangan yang membebani pengelola langsung di tingkat sekolah.[16]
Selama ini, materi pendidikan seolah hanya diarahkan pada pembentukan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga beban berat pengajaran seringkali diarahkan pada penguasaan pada bidang-bidang tersebut. Padahal dalam perspektif postmodernisme, justru masyarakat modern mengalami degradasi, krisis moral, krisis sosial dan sebagainya, yang dimulai dari dominasi iptek dengan penerapan rasio manusia sebagai ukuran kebenarannya telah mendatangkan persoalan yang cukup berat menimpa masyarakat modern.
Rasio manusia an sich tidak lagi diharapkan dapat memberikan jawaban atas berbagai problem yang muncul dalam masyarakat modern, sehingga proses pendidikan yang  hanya diarahkan pada kepentingan rasio atau nalar rasionalitas justru akan mendatangkan bencana kemanusiaan. Padahal sejak awal diyakini bahwa pendidikan diselenggarakan sebagai alat untuk memanusiakan manusia.[17]
Pengangkatan harkat dan martabat kemanusian tidak hanya dapat dimainkan oleh nalar rasio semata, tetapi harus integratif antara nalar rasional dan nalar spiritual. Dalam konteks ini tidak berlebihan bila dalam konsep pendidikan nasional pengembangan kemampuan anak didik juga diarahkan pada tiga kemampuan dasar yaitu kognitif, afektif serta psikomotorik. Ketidakmampuan mengembangkan ketiga ranah tersebut akan melahirkan out put pendidikan yang timpang. Itulah sebabnya, proses pendidikan harus dijalankan untuk memainkan ketiga ranah tersebut agar tetap berjalan.
Kritik postmodernisme atas situasi masyarakat modern sebenarnya juga merupakan kritik atas proses pendidikan yang hanya mengedepankan satu aspek dari keseluruhan nilai yang dimiliki manusia.Dalam kondisi yang demikian postmodernisme tampil memberikan berbagai alternatif bagi proses pendidikan yang harus dijalankan. Kritik mendasar postmodernisme terhadap modernisme telah memunculkan berbagai tema-tema penting seperti paralogy atau pluralisme, deferensiasi atau desentralisasi, dekontsruksi atau kritik dasar atas sebuah tatanan, relativisme, dan sebagainya[18]. Tema-tema inilah yang sesungguhnya memberikan peluang baru bagi munculnya model (paradigma) pendidikan yang perlu diselenggarakan oleh negara ataupun masyarakat khususnya di Indonesia.
D.       Implikasi Posmodernisme Atas Paradigma Pendidikan Di Indonesia
Bangsa Indonesia saat ini tengah disibukkan dengan geliat reformasi di segala bidang, termasuk bidang pendidikan. Salah satu upaya yang hendak dilakukan adalah mereformasi sejumlah fakta negatif  pada sistem pendidikan nasional ke arah perbaikan. Menurut Kartono  yang perlu dilakukan  secara mendasar adalah perubahan paradigma antara lain :
1.    Dari pendidikan yang menekankan segi kognitif menuju pendidikan yang menekankan seluruh segi kemanusiaan yang lebih utuh.
2.     Dari pembelajaran yang lebih menekankan keaktifan guru/dosen menuju kepada pembelajaran yang lebih menekankan peserta didik aktif untuk mengembangkan diri dan mengkonstruksi pengetahuan mereka. Secara sistematis telah diperkenalkan metodologi CTL (Contextual Teaching & Learning) yang memungkinkan guru cermat membangun pengalaman bagi siswa.
3.    Dari pendidikan yang hanya memperhatikan hasil akhir menuju pendidikan yang menghargai proses dan memperhatikan perkembangan peserta didik. Kejujuran sebagai bagian dari proses perlu menjadi perhatian dalam pendidikan di jenjang manapun.
4.    Dari kurikulum yang berorientasi pada banyaknya materi menuju kepada kurikulum yang memperhatikan konsep dasar, tantangan zaman, dan juga kebutuhan lokal. Ada peluang untuk memilih materi yang sesuai konteks setempat.
5.    Dari pendidikan yang hanya dikelola oleh sekolah/institusi menuju pendidikan yang dikelola dan menjadi tanggung jawab sekolah, masyarakat, dan pemerintah.
6.    Dari pendidikan yang dikelola secara sentralistik dan otoriter menuju pendidikan yang lebih desentralistik, otonom, demokratis, dan dialogal.
7.    Dari pendidikan yang membedakan gender menuju kepada pendidiokan yang lebih menghargai semua gender baik perempuan maupun laki-laki.
8.    Dari pendidikan yang diasingkan dari masyarakat menuju pendidikan yang peka dan kritis terhadap masyarakat.
9.    Dari pendidikan yang mengakibatkan orang hidup eksklusif menuju pendidikan yang membantu setiap orang menjadi saudara, sesama, sahabat yang dapat bekerja sama membangun dirinya  yang damai dan maju.[19]
Adapun ikhtiar  untuk merealisasikan paradigm tersebut antara lain diawali  dengan dibentuknya Komite Reformasi Pendidikan (KRP) yang bertugas untuk menyempurnakan Undang-Undang No 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Selain mempersiapkan RUU Sistem Pendidikan Nasional, KRP juga akan menyiapkan aturan pelaksanaannya dengan beberapa argumentasi berikut :[20] Pertama, dengan mengesampingkan bahwa UUSPN adalah produk pemerintahan Orde Baru, dalam 10 tahun usianya sejak disahkan 27 Maret 1989, muatan UU tersebut dianggap sudah kadaluwarsa. Maksudnya, perkembangan terakhir menunjukkan banyak sekali substansi muatan UU tersebut yang dirasa berbagai kalangan tidak lagi akomodatif bagi kepentingan perkembangan dan kemajuan dunia pendidikan nasional. Semangat sentralistik yang dianut UU tersebut dalam mengelola pendidikan nasional, selain menjadikan praktik pendidikan nasional sebagai sub-ordinat kekuasaan, juga dirasakan tidak mampu lagi menjawab tantangan kekinian dan kemasadepanan.
Kedua, mau tidak mau, kelahiran UU No. 22/1999 tentang Pemerintah Daerah (UUPD) dalam beberapa hal mesti berbenturan dengan muatan UUSPN. Dimana UU tersebut mengisyaratkan adanya kewenangan penuh bagi daerah untuk mengelola daerahnya secara mandiri. Terlebih-lebih diketahui, pemerintah pusat tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengelola pendidikan nasional karena Pasal 11 ayat 2 UUPD menyatakan bahwa satu diantara 11 kewenangan bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh pemerintah daerah sebagai daerah otonom adalah pendidikan dan kebudayaan.
Ketiga, Menurut Francis Wahono dalam artikelnya “Kapitalisme Pendidikan Antara Kompetensi dan Keadilan” disebutkan bahwa  dari berbagai kajian hasil Konferensi Asia Pasifik mengenai pelaksanaan Education for All (EFA) yang berlangsung di Bangkok, Thailand pada 17-20 Januari tampak jelas bahwa ada persoalan serius dalam hal pembiayaan pendidikan nasional masing-masing negara. Sementara anggaran untuk pendidikan di Indonesia, pada tahun 1998/1999 berkisar 8 %  dan telah menurun menjadi 6 % pada tahun 1999/2000. Anggaran pendidikan yang kecil tersebut sampai sekarang walaupun sudah mencapai 20 % namun itu sudah termasuk dengan gaji guru dan tunjangan lainnya dalam aspek kepentingan pendidikan.
Pendidikan di berbagai belahan dunia selalu dipakai sebagai modal dasar pengembangan dan pemilihan kebijakan pembangunan. Hampir di semua negara selalu menggunakan pendidikan sebagai proses pencapaian pembentukan kualitas sumberdaya manusia, baik sebagai subjek sekaligus objek pembangunan. Negara yang mempunyai konsep dan proses pendidikan yang baik dan modern biasanya menghasilkan output pendidikan yang mempunyai kemampuan melaksanakan segenap agenda pembangunan. Melalui pendidikan, proses pemenuhan kualitas sumberdaya manusia (SDM) dan penggalian potensi nasional maupun lokal sebagai pendukung utama keberlangsungan pembangunan dapat terpenuhi. Itulah sebabnya di banyak negara maju, selalu menggunakan pendidikan sebagai proses mengejar ketertinggalan di berbagai bidang. Dalam hal ini bisa dilihat negara Jepang, dan Jerman, yang memiliki SDM berkualitas dapat membangun negara mereka dengan cepat meskipun dalam perang dunia (PD) II, kedua negara tersebut mengalami kekalahan dan hampir seluruh infrastrukturnya hancur.[21]
Memahami apsek pendidikan sebagai bagian yang tidak terpusatkan dalam proses berlangsungnya pembangunan nasional maupun lokal, selayaknya untuk selalu dikedepankan. Selama ini terkesan bahwa pendidikan nasional kita selalu menjadi agenda yang dinomor sekiankan setelah agenda pembangunan bidang ekonomi dan politik. Padahal kedua bidang tersebut tidak pernah bisa berjalan tanpa keberhasilan di sektor pendidikan. Apalagi dalam terminologi memasuki otonomi daerah (otda) yang telah dilaksanakan pada bulan Januari 2001, maka sektor pendidikan sebagai sarana awal pemecahan persoalan-persoalan lokal, seperti pemenuhan kebutuhan SDM, penentuan kurikulum yang selaras dengan kebutuhan lokal dan sebagainya, harus menjadi agenda pembangunan yang tidak bisa ditunda-tunda.
Selama ini yang terjadi adalah  proses pendidikan selalu tidak sejalan dengan agenda pembangunan lokal. Artinya, proses pendidikan  formal (sekolah)  yang seharusnya diterapkan dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan akan sumberdaya manusia yang (minimal) sanggup menyelesaikan persoalan lokal yang melingkupinya, namun prakteknya setiap proses pendidikan di dalamnya tidak  mengandung berbagai bentuk pelajaran yang sesuai dengan muatan lokal yang signifikan dengan kebutuhan masyarakat sehingga output pendidikan adalah manusia yang tidak sanggup untuk memetakan sekaligus memecahkan masalah yang sedang dihadapi oleh masyarakat. Bagaimana mungkin dapat diperoleh keluaran pendidikan yang mengerti kebutuhan daerah (lokal), manakala proses belajarnya tidak pernah bersentuhan dengan kebutuhan-kebutuhan yang memang mengakar dalam masyarakat.
Berbagai ilustrasi dimunculkan, betapa proses pendidikan yang dijalankan seringkali tercabut dari akar persoalan riil, tapi ilustrasi tersebut hanya menjadi bahan pembicaraan yang tidak bergaung. Misalnya; fakta bahwa mayoritas masyarakat Indonesia ada di pedesaan yang notabene adalah masyarakat agraris, tetapi dalam praktek pendidikannya hampir tidak berorientasi pada problem masyarakat, khususnya masyarakat desa. Praktek pendidikan yang demikian disinyalir membuat orang sekolahan menjadi asing dan tidak mengenal persoalan yang  sedang terjadi di sekitarnya. Bahkan tidak jarang, justru banyak produk-produk pendidikan tersebut seringkali malah melecehkan kehidupan dan pekerjaan masyarakat sekitar misalnya sebagai petani. Hal ini karena anak didik lebih banyak di ‘intervensi’ oleh praktek pendidikan model perkotaan dengan tipikal masyarakat industrialnya sehingga muncul ketidak percayaan diri anak didik atas profesi sebagai petani dan memilih gaya hidup sebagai priyayi dengan fenomena rebutan keluaran pendidikan untuk menjadi pegawai negeri sipil atau minimal bekerja di perkantoran.
Selain itu ada sebuah ilustrasi menarik untuk mencoba menggambarkan seringnya praktek pendidikan yang tidak berkorelasi dengan kebutuhan mendasar. Di beberapa daerah pedalaman dan masyarakat terisolir, yang merupakan daerah pedesaan dan perkampungan hutan serta masyarakat nelayan; ditemui suatu kenyataan betapa anak-anak yang seharusnya berada pada jam sekolah tetapi justru melakukan kegiatan atau aktivitas kerja, semisal bertani, mencari rumput, menggembala, berladang di hutan serta mencari ikan dan sebagainya.
Secara spontan kita akan menuduh bahwa budaya masyarakat di tempat tersebut kurang mendukung pembangunan pendidikan dengan adanya kebiasaan orang tua untuk mengajak anak-anak mereka masuk hutan, bertani atau berlayar mencari ikan. Pernyataan tersebut nampaknya mau menunjuk bahwa kebiasaan orang tua mengajak mereka untuk  masuk ke hutan berladang dan menangkap ikan adalah anti tesis tersendiri dari dunia pendidikan yang seharusnya diikuti oleh anak-anak. Anti tesis dunia pendidikan bisa diperluas cakupannya menyangkut kebiasaan orang tua nelayan yang mengajak anaknya melaut, kebiasaan orang tua perkotaan yang mengharuskan anaknya bekerja di sektor informal.
Ilustrasi di atas sekedar memberikan sebuah gambaran bahwa banyak sekali praktek pendidikan yang diterapkan justru mencerabut anak didik dari akar budayanya, mencerabut juga dari persoalan-persoalan yang semestinya ia pelajari untuk kemudian bersama dicarikan titik solusinya melalui  proses yang bernama pendidikan. Kegagalan membentuk hasil pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan lokal sesungguhnya seringkali menghambat keberhasilan agenda pembangunan daerah yang sudah dicanangkan. Hal ini karena, sekali lagi proses pendidikan yang tidak bersentuhan langsung dengan persoalan kehidupan yang dihadapi oleh anak didik dan masyarakat sekitar.
Berdasarkan ilustrasi ini sebenarnya yang menjadi landasan pijak bagi dunia pendidikan untuk kembali merenungkan beberapa aspek yang berkaitan dengan proses belajar-mengajar. Apalagi dalam konteks saat ini telah diberlakukan paket otonomi pada masing-masing daerah, tentang pelimpahan wewenang dari pusat ke daerah yang tentu saja di dalamnya ada bidang pendidikan, maka praktek pendidikan harus dibuat sedemikian rupa agar berkorelasi dengan kebutuhan mendasar masyarakat, yang pada akhirnya pola kebijakan pendidikan selaras dengan pemenuhan keberhasilan program otonomi daerah. Itulah sebabnya, maka wacana mengenai desentralisasi pendidikan menjadi mengedepan seiring dengan pelimpahan kewenangan pusat ke daerah. Dalam konteks ini pola pengambilan keputusan mengenai proses pendidikan yang berintikan pada kepentingan lokal, tanpa mengesampingkan kepentingan lain yang melingkupinya yaitu kepentingan nasional.      
Berkaitan dengan sistem penyenggaraan pendidikan, maka revisi UUSPN tentang perlunya asas desentralisasi dan otonomi pendidikan merupakan babak baru menguatnya iklim demokratisasi dalam pendidikan nasional. Desentralisasi pendidikan mengandaikan dimulainya pemberian peran lebih besar kepada pemerintah daerah tingkat kabupaten kota atau kotamadya sebagai basis pengelolaan pendidikan. Desentralisasi ini berkaitan oleh sebuah keinginan mendasar bahwa kebutuhan lokal atau juga nilai-nilai sosial kultural setiap daerah berbeda sehingga memungkinkan diberlakukannya suatu sistem pendidikan yang mengakomodir kebudayaan lokal tersebut. Dengan desentralisasi itu diharapkan hasil pendidikan dapat memenuhi hajat nasional dan hajat daerah bahkan hajat unit.[22]
Desentralisasi pendidikan mengisyarakatkan suatu sistem pendidikan yang bersifat indegneous (pribumisasi) karena didasarkan pada aspek-aspek dasar dari lokalitas masyarakat. Hal ini agar masyarakat atau peserta didik tidak tercabut dari akar kebudayaannya. Dengan demikian ada relasi mutualistik antara penyelenggaraan pendidikan dengan situasi lokal yang membutuhkan penjelasan dan pengenalan secara lebih komprehensif. Sistem ini jelas memberikan peluang terjadinya demokratisasi pendidikan, karena ia tidak lagi terpusat dalam soal penyusunan kurikulum bahkan soal pengangkatan guru.
Desentralisasi pendidikan merupakan langkah strategis untuk menguatkan daerah dan memberikan kebebasan dalam menyusun sebuah kurikulum yang belakangan sedang ramai dibicarakan. Peralihan kewenangan dari pusat ke daerah ini bertujuan agar setiap daerah mampu memberikan kontribusi positif bagi pengembangan pendidikan nasional yang disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan daerah untuk mampu dihadapkan pada wacana global. Misalnya, daerah Sabang yang dikelilingi oleh laut, hendaknya juga diberikan penekanan pada sistem pembelajaran mengenai kelautan dan perikanan, sehingga sumberdaya alam dapat dioptimalisasikan dan sumberdaya manusia dapat diarahkan pada kerja-kerja tersebut.
Dari uraian tentang desentralisasi pendidikan tersebut tampak jelas  tentang Negara yang memainkan peranan besar untuk menghegemoni sistem penyelenggaraan pendidikan di setiap sekolah. Negara mencoba menerapkan pendidikan yang sifatnya homogen. Situasi ini jelas menjadi tema dan sasaran kritik utama postmodernisme, yang sejak semula tidak sepakat dengan apa yang disebut sebagai homogen, sebab masyarakat adalah heteregon, baik karakter maupun kebutuhannya. Sehingga menjadi tidak populer kalau negara masih memaksakan kehendaknya untuk mempengaruhi dan menjadi pendidikan persekolahan menjadi seragam atau homogen. Dengan adanya pergeseran peran yang semula sentralistik menuju desentralistik, maka dalam menentukan berbagai kebijakan menyangkut pendidikan persekolahan,  pihak sekolah dan masyarakatlah yang harus berperan aktif secara profesional mengembangkan sistem pendidikan persekolahannya.
 BAB III
PENUTUP
A.      KESIMPULAN
1.         Secara etimologis Postmodernisme terdiri dari dua kata, post dan modern. Kata post adalah bentuk prefix, diartikan dengan ‘later or after’ dalam Webster’s Dictionary Library. Hal ini berarti Postmodern adalah sebagai koreksi terhadap modern itu sendiri dengan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat terjawab di jaman modern yang muncul karena adanya modernitas itu sendiri.
2.         Pendidikan dapat dimaknai segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan dan dilakukan sepanjang hayatnya . Kurikulum adalah sebagai rencana dan pengaturan tentang sejumlah mata pelajaran yang harus dipelajari peserta didik dalam menempuh pendidikan di lembaga pendidikan.
3.         Pengaruh Postmodern terhadap kurikulum : 1. Muatan kurikulum dan pelaksanaannya oleh para guru cenderung lebih mengutamakan banyaknya materi pelajaran yang diberikan (overload). 2. Tuntutan Kurikulum yang tidak dapat diterjemahkan dengan cerdas oleh pelaksana di lapangan. 3. Birokrasi pengelola pendidikan mempunyai “kekuasaan” yang acapkali bertolak belakang dengan tujuan pendidikan.
4.         Implikasi Postmodern terhadap Pendidikan, dengan geliat reformasi di segala bidang, termasuk bidang pendidikan. Salah satu upaya yang hendak dilakukan adalah mereformasi sejumlah fakta negatif  pada sistem pendidikan nasional ke arah perbaikan.
           
DAFTAR RUJUKAN


Al-Rasyid dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Jakarta: Ciputat Press, 2005

Arsyar, Mohammad, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum, Jakarta: Proyek Pengembangan LPTK Ditjen PT Departemen P&K., 1989

Bambang,  I. Sugiharto, Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat cet. 8, Yogyakarta: Kanisius, 2008

Budiman, Arief, Postmodernisme dan Realitas, dalam Postmodernisme dan Masa Depan Peradaban, ed. Suyono, et. all. Yogyakarta: Aditya Media, 1994

Drost,  J., Sekolah Mengajar atau Mendidik, Yogyakarta : Kanisius, 1998

Hidayat, Ainurrahman “Implikasi Postmodernisme dalam Pendidikan”, Tadris Vol.1 No.1 2006

 https://nonkshe.wordpress.com/2012/03/13/filsafat-positivisme-dan-postmodernisme-positivisme/

Ismail, Mohammad, Postmodernisme dan Kritik Ideologis Terhadap Ilmu Pengetahuan, http://mohismaiel.blogspot.com/2013/06/postmodernisme-dan-kritik-edeologis_22.html

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Didik, http://kbbi.web.id/didik

Machalli,  Imam dan Musthofa, Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi, Buah Pikiran Seputar; Filsafat, politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya, Yogjakarta : Ar-ruzz, 2004

Nugroho, Heru, Menumbuhkan Ide-Ide Kritis, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2003

Pidarta,  Made, Landasan Kependidikan, Jakarta : Rineka Cipta, 1994

Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya, Jakarta : Kalam Mulia, 2010

Santoso,  Listiyono, Postmodernisme ; Kritik Atas Epistimilogi Modern dalam Epistimologi Kiri, Yogyakarta : Ar-Ruzz, 2003

Suyoto, dkk, Postmodern Dan Masa Depan Peradaban, Yogyakarta: Aditya Media, 1994

Tafsir,  Ahmad, Filsafat Pendidikan Islam,

Warsiman, Posmodernisme, Pedagogi, Dan Filsafat Pendidikan http://blog.sunan-ampel.ac.id/warsiman/2010/05/18/posmodernisme-pedagogi-dan-filsafat-pendidikan

Wikipedia, Postmodernisme, https://id.wikipedia.org/wiki/Postmodernisme

Tidak ada komentar:

Posting Komentar