BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Lintasan sejarah
mencerminkan perkembangan peradaban manusia di muka bumi. Gelombang perubahan
tersebut terjewantahkan dalam perkembangan kehidupan sosialnya. Manusia
senantiasa merasa tidak puas dan tidak dapat bertahan dengan perkembangan
pengetahuan pada periode-periode sebelumnya.
Secara
teologis, pengetahuan animisme, bergeser menuju dinamisme, dari dinamisme menuju ke politeisme, dan politeisme
menuju konsep monoteisme. Menyangkut paradigma ilmu pengetahuan, dari
teosentris, ke empirisme, dari empirisme ke rasionalisme, dari rasionalisme ke
positivisme, dari positivisme ke materialisme, dari materialisme ke idealisme
dan pada tataran tertentu intuisionisme juga mendapat posisinya sebagai
paradigma ilmu pengetahuan. Berbagai simbol telah diciptakan manusia untuk
dilekatkan mewakili bahasa manusia dalam menyebut pergeseran paradigma
pemikiran dan pengetahuan manusia dari waktu ke waktu.
Begitu pula sejarah perkembangan umat manusia
setidaknya mempunyai empat fase pemikiran dalam filsafat. Pertama, Kosmosentrisme,
yaitu alam semesta sebagai obyek discourse, yang terjadi pada zaman
kuno. Kedua, Teosentrisme, yaitu obyek kajiannya adalah tuhan, terjadi
pada abad pertengahan. Ketiga, Antroposentrisme, yaitu wacana dominannya
adalah seputar manusia (terutama kekuatan rasio), terjadi pada zaman modern.
Dan keempat, Logosentrisme, yaitu pusat pembicaraannya adalah bahasa,
terjadi pada abad mutakhir, abad kedua puluh.[1]
Pertama dan kedua merupakan identik dengan era tradisional, sedangkan ketiga
adalah era modern atau pencerahan, dimana semua hal bertitik tumpuh pada
manusia.
Sedangkan kerangka
pikir atas pergeseran pengetahuan manusia mengacu pada sebuah frame besar yakni
masa kuno/klasik, masa pertengahan, masa modern dan postmodern. Secara
siginifikan masa klasik dan pertengahan di barat, wacana pikir dan rasionalisme
manusia, belum mendapatkan porsi yang signifikan. Pada masa modern rasio
manusia seolah-olah sebuah kendaraan yang sangat daksyat mengantarkan manusia
pada sebuah kehidupan yang seolah-olah nyaman dan penuh kemapanan. Dengan
perkembangan teknologi yang terstruktur sedemikian rupa. Disinilah modernisme
dicirikan dengan gerakan rasionalisme yang begitu gencar. Rasionalisme telah
menggiring manusia pada sebuah masa pencerahan yang disebut dengan mainstream
pemikiran modernisme dan fakta sosialnya disebut modernitas. Setelah berjalan
sekian dekade kemapanan dan kenyamanan paham modernisme mendapat kritik dan
pergeseran paradigma. Pergeseran pemikiran modernisme itu mendapat kritik yang
cukup signifikan yang merupakan mainstream gerakan postmodernisme dengan segala
lingkup dan permasalahannya.[2]
Masyarakat (kita) dikagetkan dengan
munculnya gejala postmodernisme yang cukup untuk meluluh-lantakkan dimensi
ontologi, epistemologi bahkan aksiologi yang tumbuh dalam pengetahuan dasar
masyarakat mengenai realitas. Bagi gerakan postmodernisme, manusia tidak akan mengetahui
realitas yang objektif dan benar. Yang diketahui manusia hanyalah sebuah versi
dari realitas, bukan keseluruhannya. Arief Budiman mengatakan, ibarat teks
bacaan, realitas yang diketahui manusia merupakan teks yang sudah dibentuk oleh
pengarang. Pada titik ini, posmo terjun ke arah relativisme.[3]
Pada
dasarnya gerakan postmodern ini muncul sebagai kritik atas kegagalan manusia
modern (kehidupan modernitas) dalam menciptakan situasi sosial yang lebih baik,
kondusif dan berkeadilan sosial. Munculnya perang, gejolak sosial dan revolusi
yang menimbulkan anarki dan relativisme total. Keadaan tersebut melahirkan
sejumlah kegelisahan (epistemik) berkaitan dengan problem pengetahuan dasar
manusia mengenai modernisme yang diklaim mengusung kemajuan, rasionalitas dan
sebagainya. Rasio manusia yang oleh masyarakat modern diyakini sebagai suatu
kemampuan otonom, mengatasi kekuatan metafisis dan transendental. Yang diyakini
pula mengatasi semua pengalaman yang bersifat pastikular dan khusus dan
(ironisnya) dianggap menghasilkan kebenaran mutlak, universal dan tidak terikat
waktu.
Ibrahim
Ali Fauzi berpendapat, sebagaimana dikutip oleh Ainur Rahman Hidayat bahwa
asumsi-asumsi mutlak di atas mulai ditolak oleh postmodernis. Mereka berusaha
membebaskan diri dari dominasi konsep dan praktek ilmu, filsafat dan kebudayaan
modern. Jika dalam visi modernisme, penalaran (reason) dipercaya sebagai
sumber utama ilmu pengetahuan yang menghasilkan kebenaran-kebenaran universal,
maka dalam visi postrmodernisme hal ini justru dipandang sebagai alat dominasi
terselubung yang kemudian tampil dalam bentuk imperialisme dan hegemoni
kapitalistik. Sebuah warna yang paling dominan dalam masyarakat modern.[4]
Bahkan
menurut Mudji Sutrisno postmodernisme menyadari bahwa seluruh budaya modernisme
yang bersumber pada ilmu pengetahuan dan teknologi pada titik tertentu tidak
mampu menjelaskan kriteria dan ukuran epistemologi yang ‘benar’ itu adalah yang
real. Dan yang real benar itu adalah ‘rasional’.[5]
Persoalannya,
bangunan epistemologi yang demikian, apakah mempunyai pengaruh siginifikan
dalam bidang pendidikan?. Kalaulah ia terintegrasi dalam filsafat sebagimana
dilontarkan oleh Lyotard, apakah sistem filsafat pendidikan dalam banyak hal
juga mulai bersinggungan dengan gejala postmodernisme?. Lalu, bagaimana bentuk
keterpengaruhan (kalau memang ada) dalam sistem pendidikan, baik persoalan
kurikulum maupun praktek pengajarannya?. Sebab sejak beberapa dekade tema
postmodern lebih banyak dikonteks-kan pada seni, arsitektur, kebudayaan dan
juga filsafat. Untuk melihat keterpengaruhan tersebut ada baiknya, dipahami
dahulu latar belakang kemunculan gejala postmodern dan prinsip-prinsip umum
dalam postmodern. Dari penjelasan tersebut dapat secara jelas ditemukan
pengaruhnya pada bidang pendidikan.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas,
maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.
Apa pengertian postmodernisme?
2.
Apa pengertian pendidikan dan
kurikulum?
3.
Bagaimana pengaruh posmodernisme
terhadap kurikulum?
4.
Bagaimana Implikasi Postmodernisme
terhadap pendidikan?
C.
Tujuan Pembahasan
1.
Dapat memahami pengertian
postmodernisme.
2.
Dapat memahami pengertian
pendidikan dan kurikulum.
3.
Mengetahui pengaruh
posmodernisme terhadap kurikulum.
4.
Memahami implikasi postmodernisme
terhadap pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian dan Latar Belakang
Lahirnya Postmodernisme
Secara
etimologis Postmodernisme terdiri dari dua kata, post dan modern. Kata
post adalah bentuk prefix, diartikan dengan ‘later or after’ dalam Webster’s
Dictionary Library. Hal ini berarti Postmodern adalah sebagai koreksi terhadap
modern itu sendiri dengan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak
dapat terjawab di jaman modern yang muncul karena adanya modernitas itu sendiri.[6]
Istilah
“posmodern” muncul untuk pertama kalinya di wilayah seni. Menurut Hasan dan
Jencks istilah itu pertama-tama dipakai oleh Federico de Onis pada tahun
1930-an dalam karyanya, Antologia de la Poesia Espanola a Hispanoamericana, untuk
menunjukkan reaksi yang muncul dari dalam modernisme. Kemudian di bidang
historiografi oleh Toynbee dalam A Study of History (1947).[7]
Dalam bidang
sosial-ekonomi, Daniel Bell mengartikan postmodernisme sebagai kian
berkembangnya kecenderungan-kecenderungan yang saling bertolak belakang, yang
bersama dengan makin terbebasnya daya daya instingtual dan kian membubungnya
kesenangan dan keinginan. Di bidang kebudayaan Frederic Jameson mengartikan
postmodernisme adalah logika kulturan yang membawa transformasi dalam suasana
kebudayaan umumnya.
Sedangkan di
bidang filsafat istilah postmodern diperkenalkan oleh Jean-Francois Lyotard
dalam bukunya The Postmodern Condition: A Report on Knowladge, yang
dalam bahasa Inggris terbit pada tahun 1984 dan sejak itu menjadi locus
classicus untuk diskusi-diskusi tentang postmodernisme di bidang filsafat
kini.[8] Buku
ini merupakan laporan untuk Dewan Universitas Quebec di Kanada yang berisi
tentang perubahan-perubahan di bidang ilmu pengetahuan dalam masyarakat indusri
maju akibat pengaruh teknologi baru. Sehingga teknologi informasi tersebut
dengan prinsip kesatuan ontologis yang selama ini mendasari ide dasar filsafat
modern, sudah tidak lagi relevan dengan realitas kontemporer.
Dalam
konteks ini Lyotard berusaha mengintrodusir suatu pemahaman bahwa postmodern
merupakan suatu periode dimana segala sesuatu itu didelegitimasikan.7
Delegitimasi
tersebut merupakan akibat logis dari perubahan mendasar dari teknologi
informasi yang memberikan berbagai informasi yang secara bertubi-tubi datang
dalam wilayah masyarakat manapun, dan kapanpun. Ketika posisi pengetahuan
dilegitimasikan oleh narasi-narasi besar (grand narrative) seperti
kebebasan, kemajuan, emansipasi, dsb, maka kini, narasi-narasi besar tersebut
atau metanarasi telah mengalami nasib sama dengan narasinarasi besar sebelumnya
seperti religi, dialektika, roh, subyektivitas, yang menjadi patokan filsafat
modern, yaitu mengalami kehilangan kekuatannya dan menjadi sulit dipercaya.
Artinya dalam abad metailmiah ini narasi-narasi besar menjadi tidak mungkin,
khususnya narasi tentang peranan dan keahlian ilmu itu sendiri. Maka nihilisme,
anarkisme dan pluralisme permainan bahasa menjadi merajalela. Hal ini bagi
Lyotard tidak jadi soal, sebab di sisi lain, kondisi ini menunjukkan situasi
munculnya kepekaan baru terhadap perbedaan-perbedaan dan keberanian melawan
segala bentuk totalitarisme.
Menurut Amin
Abdullah sulit memberi definisi yang tepat tentang apa yang disebut dengan
postmodernisme. Istilah postmodernisme dipergunakan dalam berbagai arti, dan
tidak mudah untuk membuat atau merumuskan satu definisi yang bersifat
exhaustive, yang dapat mencakup atau menjangkau semua demensi arti yang
dikandungnya.[9]
Postmodernisme
adalah gerakan abad akhir ke-20 dalam seni, arsitektur, dan kritik itu adalah
keberangkatan dari modernisme. Postmodernisme termasuk interpretasi
skeptis terhadap budaya, sastra, seni, filsafat, sejarah, ekonomi, arsitektur,
fiksi, dan kritik sastra. Hal ini sering dikaitkan dengan dekonstruksi dan post-strukturalisme
karena penggunaannya sebagai istilah mendapatkan popularitas yang signifikan
pada waktu yang sama sebagai abad kedua puluh dalam pemikiran pasca-struktural.
Postmodernisme adalah faham yang berkembang setelah era modern dengan modernisme-nya.
Postmodernisme bukanlah faham tunggal sebuah teori, namun justru menghargai
teori-teori yang bertebaran dan sulit dicari titik temu yang tunggal. Banyak
tokoh-tokoh yang memberikan arti pascamodernisme sebagai kelanjutan dari
modernisme.[10] Namun
kelanjutan itu menjadi sangat beragam.
B.
Pengertian Pendidikan dan Kurikulum
1. Pengertian
Pendidikan
Pada dasarnya pengertian pendidikan (UU SISDIKNAS No.20 tahun 2003) adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara.
Menurut kamus
Bahasa Indonesia Kata pendidikan berasal dari kata ‘didik’ dan mendapat imbuhan
‘pe’ dan akhiran ‘an’, maka kata ini mempunyai arti proses atau cara atau
perbuatan mendidik. Secara bahasa definisi pendidikan adalah proses pengubahan
sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan
manusiamelalui upaya pengajaran dan pelatihan.[11]
Selanjutnya, menurut tokoh pendidikan dari Indonesia yakni, Ki Hajar
Dewantara pendidikan adalah upaya menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada
anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai masyarakat dapat mencapai
keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.[12]
Dengan demikian pendidikan dapat maknai sebagai segala usaha orang dewasa
dalam pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan
rohaninya ke arah kedewasaan dan dilakukan sepanjang hayatnya . Dalam konteks
ini, orang dewasa yang dimaksud bukan berarti pada kedewasaan fisik belaka,
akan tetapi bisa pula dipahami pada kedewasaan psikis. Kedewasaan psikis dapat
ditunjukkan dengan kemampuan seseorang dalam mengatasi permasalahan
hidupnya. Padahal selama manusia itu
hidup permasalahan akan terus datang silih berganti. Jadi, selama manusia masih
menghadapi masalah yang harus diselesaikan, selama itu pula ia masih menjalani
pendidikan.
2. Pengertian
Kurikulum
Secara etimologis, kurikulum berasal dari kata
dalam Bahasa Latin ”curir”
yang artinya pelari, dan ”curere”
yang artinya ”tempat berlari”, yang mengandung pengertian suatu jarak yang
harus ditempuh oleh pelari mulai dari garis start
sampai dengan finish.[13]
Dengan demikian, istilah kurikulum pada awalnya berasal dari dunia olah
raga pada zaman Romawi kuno di Yunani, dan kemudian diadopsi ke dalam dunia
pendidikan. Pengertian tersebut kemudian digunakan dalam dunia
pendidikan, dengan pengertian sebagai rencana dan pengaturan tentang sejumlah
mata pelajaran yang harus dipelajari peserta didik dalam menempuh pendidikan di
lembaga pendidikan.
Secara terminologis,
istilah kurikulum yang digunakan dalam dunia pendidikan mengandung pengertian
sebagai sejumlah pengetahuan atau mata pelajaran yang harus ditempuh atau
diselesaikan siswa untuk mencapai satu tujuan pendidikan atau kompetensi yang
ditetapkan. Sebagai tanda atau
bukti bahwa seseorang peserta didik telah mencapai standar kompetensi tersebut
adalah dengan sebuah ijazah atau sertifikat yang diberikan kepada peserta
didik.
Dewasa ini terdapat banyak sekali definisi kurikulum, yang kalau dipelajari secara mendalam ternyata
dipengaruhi oleh filosofi atau aliran filsafat tertentu. Pertama, pakar
kurikulum yang beraliran perenialisme
mendefinisikan kurikulum sebagai ”subject
matter” atau mata pelajaran, ”content”
atau isi, dan ”transfer of culture”
atau alih kebudayaan Said Hamid Hasan dan Tanner kedua pakar kurikulum yang menganut aliran essesialisme mendefinisikan kurikulum
sebagai ”academic exellence” atau
keunggulan akademis dan ”cultivation of
intellect” atau pengolahan intelek.[14] Persamaan kedua aliran
tersebut sama-sama mengagungkan keunggulan akademis dan intelektualitas.
Sedangkan perbedaannya, aliran perenialisme menitikberatkan pada tradisi
intelektualitas Bangsa Barat, seperti membaca, retorika, logika, dan
matematika, sementara aliran esensialisme mengutamakan disiplin akademis yang
lebih luas seperti Bahasa Inggris, matematika, sains, sejarah, dan bahasa-bahasa
modern.
Dari berbagai definisi tentang kurikulum yang telah
banyak dirumuskan oleh para ahli pendidikan tersebut, dapat disimpulkan bahwa
kurikulum dirumuskan sebagai jumlah kegiatan yang mencakup berbagai rencana
setrategi belajar mengajar, pengaturan-pengaturan program agar dapat
diterapkan, dan hal-hal yang mencakup pada kegiatan yang bertujuan mencapai
tujuan yang diinginkan. Dalam
system pendidikan, eksistensi kurikulum merupakan salah satu komponen. Dalam
hal ini, Hasan Langgulung memandang bahwa, paling tidak ada empat komponen
utama dalam kurikulum, yaitu :
a. Tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh suatu jenjang pendidikan. Dengan
lebih tegas lagi orang yang bagaimana yang ingin dibentuk dengan kurikulum
tersebut.
b. Pengetahuan (knowledge), informasi data-data, aktivitas dan pengalaman dari
mana dan bagaimana yang dimuat oleh suatu kurikulum. Dengan acuan ini akan
dirumuskan mata pelajaran mana yang dibutuhkan, mata pelajaran mana yang bisa
digabungkan, dan mata pelajaran mana yang tidak diperlukan.
c. Metode dan cara-cara mengajar yang dipakai oleh pendidik untuk mengajar dan
memotivasi peserta didik untuk membawa mereka kea rah yang dikehendaki
kurikulum.
d.
Metode dan
cara penilaian yang dipergunakan dalam mengukur dan menilai kurikulum dan hasil
proses pendidikan yang direncanakan kurikulum tersebut.[15]
C.
Pengaruh Posmodernisme Terhadap Kurikulum
Berdasarkan ciri menonjol postmodernisme yang mengusung tema pluralitas,
heterogenitas serta deferensiasi, maka dapat dilacak dimana letak
keterpengaruhan gerakan ini terhadap paradigma KURIKULUM. Berdasarkan pengalaman dan pengamatan di
lapangan bahwa sejak pendidikan dasar sampai perguruan tinggi terdapat sejumlah
fakta, di antaranya adalah :
1. Muatan kurikulum dan pelaksanaannya oleh para guru cenderung lebih
mengutamakan banyaknya materi pelajaran yang diberikan (overload). Guru
dibebani target menghabiskan materi. Devinisi keberhasilan proses pendidikan
lantas diukur dengan angka-angka kuantitatif, baik angka perolehan ujian maupun
persentase kelulusan peserta ujian. Akibatnya pendidikan hanya menjunjung
tinggi supremasi otak.
2. Tuntutan Kurikulum yang tidak dapat diterjemahkan dengan cerdas oleh
pelaksana di lapangan seperti Proses pendidikan
berlangsung dalam komunikasi “satu arah” dari guru kepada siswa. Situasi
demikian dapat kesempatan untuk menyampaikan kreatifitas berpikir dan sikap
siswa. Teori lebih diutamakan sehingga kehilangan keterkaitan aplikasinya
dengan dunia nyata.
3. Birokrasi pengelola pendidikan mempunyai “kekuasaan” yang acapkali bertolak
belakang dengan tujuan pendidikan. Memang di zaman kini, penyeragaman tidak
lagi menjadi persoalan penting. Di sisi lain, atas nama otonomi pun bisa
memunculkan praktik di lapangan yang membebani pengelola langsung di tingkat
sekolah.[16]
Selama ini, materi pendidikan seolah hanya diarahkan pada pembentukan kemampuan
ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga beban berat pengajaran seringkali
diarahkan pada penguasaan pada bidang-bidang tersebut. Padahal dalam perspektif
postmodernisme, justru masyarakat modern mengalami degradasi, krisis
moral, krisis sosial dan sebagainya, yang dimulai dari dominasi iptek dengan
penerapan rasio manusia sebagai ukuran kebenarannya telah mendatangkan
persoalan yang cukup berat menimpa masyarakat modern.
Rasio manusia an sich tidak lagi diharapkan dapat memberikan jawaban
atas berbagai problem yang muncul dalam masyarakat modern, sehingga proses
pendidikan yang hanya diarahkan pada
kepentingan rasio atau nalar rasionalitas justru akan mendatangkan bencana
kemanusiaan. Padahal sejak awal diyakini bahwa pendidikan diselenggarakan sebagai
alat untuk memanusiakan manusia.[17]
Pengangkatan harkat dan martabat kemanusian tidak hanya dapat dimainkan
oleh nalar rasio semata, tetapi harus integratif antara nalar rasional dan
nalar spiritual. Dalam konteks ini tidak berlebihan bila dalam konsep
pendidikan nasional pengembangan kemampuan anak didik juga diarahkan pada tiga
kemampuan dasar yaitu kognitif, afektif serta psikomotorik. Ketidakmampuan
mengembangkan ketiga ranah tersebut akan melahirkan out put pendidikan
yang timpang. Itulah sebabnya, proses pendidikan harus dijalankan untuk
memainkan ketiga ranah tersebut agar tetap berjalan.
Kritik postmodernisme atas situasi masyarakat modern sebenarnya juga
merupakan kritik atas proses pendidikan yang hanya mengedepankan satu aspek
dari keseluruhan nilai yang dimiliki manusia.Dalam kondisi yang demikian
postmodernisme tampil memberikan berbagai alternatif bagi proses pendidikan
yang harus dijalankan. Kritik mendasar postmodernisme terhadap modernisme telah
memunculkan berbagai tema-tema penting seperti paralogy atau pluralisme,
deferensiasi atau desentralisasi, dekontsruksi atau kritik dasar
atas sebuah tatanan, relativisme, dan sebagainya[18].
Tema-tema inilah yang sesungguhnya memberikan peluang baru bagi munculnya model
(paradigma) pendidikan yang perlu diselenggarakan oleh negara ataupun
masyarakat khususnya di Indonesia.
D. Implikasi Posmodernisme Atas Paradigma Pendidikan Di Indonesia
Bangsa Indonesia saat ini tengah disibukkan dengan geliat reformasi di
segala bidang, termasuk bidang pendidikan. Salah satu upaya yang hendak
dilakukan adalah mereformasi sejumlah fakta negatif pada sistem pendidikan nasional ke arah
perbaikan. Menurut Kartono yang perlu
dilakukan secara mendasar adalah
perubahan paradigma antara lain :
1. Dari pendidikan yang menekankan segi kognitif menuju pendidikan yang
menekankan seluruh segi kemanusiaan yang lebih utuh.
2. Dari pembelajaran yang lebih menekankan keaktifan guru/dosen menuju kepada
pembelajaran yang lebih menekankan peserta didik aktif untuk mengembangkan diri
dan mengkonstruksi pengetahuan mereka. Secara sistematis telah diperkenalkan
metodologi CTL (Contextual Teaching & Learning) yang memungkinkan guru
cermat membangun pengalaman bagi siswa.
3. Dari pendidikan yang hanya memperhatikan hasil akhir menuju pendidikan yang
menghargai proses dan memperhatikan perkembangan peserta didik. Kejujuran
sebagai bagian dari proses perlu menjadi perhatian dalam pendidikan di jenjang
manapun.
4. Dari kurikulum yang berorientasi pada banyaknya materi menuju kepada
kurikulum yang memperhatikan konsep dasar, tantangan zaman, dan juga kebutuhan
lokal. Ada peluang untuk memilih materi yang sesuai konteks setempat.
5. Dari pendidikan yang hanya dikelola oleh sekolah/institusi menuju
pendidikan yang dikelola dan menjadi tanggung jawab sekolah, masyarakat, dan
pemerintah.
6. Dari pendidikan yang dikelola secara sentralistik dan otoriter menuju
pendidikan yang lebih desentralistik, otonom, demokratis, dan dialogal.
7. Dari pendidikan yang membedakan gender menuju kepada pendidiokan yang lebih
menghargai semua gender baik perempuan maupun laki-laki.
8. Dari pendidikan yang diasingkan dari masyarakat menuju pendidikan yang peka
dan kritis terhadap masyarakat.
9. Dari pendidikan yang mengakibatkan orang hidup eksklusif menuju pendidikan
yang membantu setiap orang menjadi saudara, sesama, sahabat yang dapat bekerja
sama membangun dirinya yang damai dan
maju.[19]
Adapun ikhtiar untuk merealisasikan
paradigm tersebut antara lain diawali
dengan dibentuknya Komite Reformasi Pendidikan (KRP) yang bertugas untuk
menyempurnakan Undang-Undang No 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Selain mempersiapkan RUU Sistem Pendidikan Nasional, KRP juga akan menyiapkan
aturan pelaksanaannya dengan beberapa argumentasi berikut :[20] Pertama,
dengan mengesampingkan bahwa UUSPN adalah produk pemerintahan Orde Baru, dalam
10 tahun usianya sejak disahkan 27 Maret 1989, muatan UU tersebut dianggap
sudah kadaluwarsa. Maksudnya, perkembangan terakhir menunjukkan banyak sekali
substansi muatan UU tersebut yang dirasa berbagai kalangan tidak lagi akomodatif
bagi kepentingan perkembangan dan kemajuan dunia pendidikan nasional. Semangat
sentralistik yang dianut UU tersebut dalam mengelola pendidikan nasional,
selain menjadikan praktik pendidikan nasional sebagai sub-ordinat kekuasaan,
juga dirasakan tidak mampu lagi menjawab tantangan kekinian dan kemasadepanan.
Kedua, mau tidak mau,
kelahiran UU No. 22/1999 tentang Pemerintah Daerah (UUPD) dalam beberapa hal
mesti berbenturan dengan muatan UUSPN. Dimana UU tersebut mengisyaratkan adanya
kewenangan penuh bagi daerah untuk mengelola daerahnya secara mandiri.
Terlebih-lebih diketahui, pemerintah pusat tidak lagi memiliki kewenangan untuk
mengelola pendidikan nasional karena Pasal 11 ayat 2 UUPD menyatakan bahwa satu
diantara 11 kewenangan bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh
pemerintah daerah sebagai daerah otonom adalah pendidikan dan kebudayaan.
Ketiga, Menurut Francis
Wahono dalam artikelnya “Kapitalisme Pendidikan Antara Kompetensi dan Keadilan”
disebutkan bahwa dari berbagai kajian
hasil Konferensi Asia Pasifik mengenai pelaksanaan Education for All
(EFA) yang berlangsung di Bangkok, Thailand pada 17-20 Januari tampak jelas
bahwa ada persoalan serius dalam hal pembiayaan pendidikan nasional
masing-masing negara. Sementara anggaran untuk pendidikan di Indonesia, pada tahun
1998/1999 berkisar 8 % dan telah menurun menjadi 6 % pada tahun
1999/2000. Anggaran pendidikan yang kecil tersebut sampai sekarang walaupun sudah mencapai 20 % namun itu sudah termasuk dengan gaji guru dan tunjangan lainnya dalam aspek
kepentingan pendidikan.
Pendidikan di berbagai belahan dunia selalu dipakai sebagai modal dasar
pengembangan dan pemilihan kebijakan pembangunan. Hampir di semua negara selalu
menggunakan pendidikan sebagai proses pencapaian pembentukan kualitas
sumberdaya manusia, baik sebagai subjek sekaligus objek pembangunan. Negara
yang mempunyai konsep dan proses pendidikan yang baik dan modern biasanya
menghasilkan output pendidikan yang mempunyai kemampuan melaksanakan
segenap agenda pembangunan. Melalui pendidikan, proses pemenuhan kualitas
sumberdaya manusia (SDM) dan penggalian potensi nasional maupun lokal sebagai
pendukung utama keberlangsungan pembangunan dapat terpenuhi. Itulah sebabnya di
banyak negara maju, selalu menggunakan pendidikan sebagai proses mengejar
ketertinggalan di berbagai bidang. Dalam hal ini bisa dilihat negara Jepang,
dan Jerman, yang memiliki SDM berkualitas dapat membangun negara mereka dengan
cepat meskipun dalam perang dunia (PD) II, kedua negara tersebut mengalami
kekalahan dan hampir seluruh infrastrukturnya hancur.[21]
Memahami apsek pendidikan sebagai bagian yang tidak terpusatkan dalam
proses berlangsungnya pembangunan nasional maupun lokal, selayaknya untuk
selalu dikedepankan. Selama ini terkesan bahwa pendidikan nasional kita selalu
menjadi agenda yang dinomor sekiankan setelah agenda pembangunan bidang ekonomi
dan politik. Padahal kedua bidang tersebut tidak pernah bisa berjalan tanpa
keberhasilan di sektor pendidikan. Apalagi dalam terminologi memasuki otonomi
daerah (otda) yang telah dilaksanakan pada bulan Januari 2001, maka sektor
pendidikan sebagai sarana awal pemecahan persoalan-persoalan lokal, seperti
pemenuhan kebutuhan SDM, penentuan kurikulum yang selaras dengan kebutuhan
lokal dan sebagainya, harus menjadi agenda pembangunan yang tidak bisa
ditunda-tunda.
Selama ini yang terjadi adalah
proses pendidikan selalu tidak sejalan dengan agenda pembangunan lokal.
Artinya, proses pendidikan formal
(sekolah) yang seharusnya diterapkan
dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan akan sumberdaya manusia yang
(minimal) sanggup menyelesaikan persoalan lokal yang melingkupinya, namun
prakteknya setiap proses pendidikan di dalamnya tidak mengandung berbagai bentuk pelajaran yang
sesuai dengan muatan lokal yang signifikan dengan kebutuhan masyarakat sehingga
output pendidikan adalah manusia yang tidak sanggup untuk memetakan
sekaligus memecahkan masalah yang sedang dihadapi oleh masyarakat. Bagaimana
mungkin dapat diperoleh keluaran pendidikan yang mengerti kebutuhan daerah
(lokal), manakala proses belajarnya tidak pernah bersentuhan dengan
kebutuhan-kebutuhan yang memang mengakar dalam masyarakat.
Berbagai ilustrasi dimunculkan, betapa proses pendidikan yang dijalankan
seringkali tercabut dari akar persoalan riil, tapi ilustrasi tersebut hanya
menjadi bahan pembicaraan yang tidak bergaung. Misalnya; fakta bahwa mayoritas
masyarakat Indonesia ada di pedesaan yang notabene adalah masyarakat
agraris, tetapi dalam praktek pendidikannya hampir tidak berorientasi pada
problem masyarakat, khususnya masyarakat desa. Praktek pendidikan yang demikian
disinyalir membuat orang sekolahan menjadi asing dan tidak mengenal persoalan
yang sedang terjadi di sekitarnya. Bahkan tidak jarang, justru banyak
produk-produk pendidikan tersebut seringkali malah melecehkan kehidupan dan pekerjaan
masyarakat sekitar misalnya sebagai petani. Hal ini karena anak didik lebih
banyak di ‘intervensi’ oleh praktek pendidikan model perkotaan dengan tipikal
masyarakat industrialnya sehingga muncul ketidak percayaan diri anak didik atas
profesi sebagai petani dan memilih gaya hidup sebagai priyayi dengan fenomena
rebutan keluaran pendidikan untuk menjadi pegawai negeri sipil atau minimal
bekerja di perkantoran.
Selain itu ada sebuah ilustrasi menarik untuk mencoba menggambarkan
seringnya praktek pendidikan yang tidak berkorelasi dengan kebutuhan mendasar.
Di beberapa daerah pedalaman dan masyarakat terisolir, yang merupakan daerah
pedesaan dan perkampungan hutan serta masyarakat nelayan; ditemui suatu
kenyataan betapa anak-anak yang seharusnya berada pada jam sekolah tetapi
justru melakukan kegiatan atau aktivitas kerja, semisal bertani, mencari
rumput, menggembala, berladang di hutan serta mencari ikan dan sebagainya.
Secara spontan kita akan menuduh bahwa budaya masyarakat di tempat tersebut
kurang mendukung pembangunan pendidikan dengan adanya kebiasaan orang tua untuk
mengajak anak-anak mereka masuk hutan, bertani atau berlayar mencari ikan.
Pernyataan tersebut nampaknya mau menunjuk bahwa kebiasaan orang tua mengajak
mereka untuk masuk ke hutan berladang dan menangkap ikan adalah anti
tesis tersendiri dari dunia pendidikan yang seharusnya diikuti oleh
anak-anak. Anti tesis dunia pendidikan bisa diperluas cakupannya
menyangkut kebiasaan orang tua nelayan yang mengajak anaknya melaut, kebiasaan
orang tua perkotaan yang mengharuskan anaknya bekerja di sektor informal.
Ilustrasi di atas sekedar memberikan sebuah gambaran bahwa banyak sekali
praktek pendidikan yang diterapkan justru mencerabut anak didik dari akar
budayanya, mencerabut juga dari persoalan-persoalan yang semestinya ia pelajari
untuk kemudian bersama dicarikan titik solusinya melalui proses yang
bernama pendidikan. Kegagalan membentuk hasil pendidikan yang sesuai dengan
kebutuhan lokal sesungguhnya seringkali menghambat keberhasilan agenda
pembangunan daerah yang sudah dicanangkan. Hal ini karena, sekali lagi proses
pendidikan yang tidak bersentuhan langsung dengan persoalan kehidupan yang
dihadapi oleh anak didik dan masyarakat sekitar.
Berdasarkan ilustrasi ini sebenarnya yang menjadi landasan pijak bagi dunia
pendidikan untuk kembali merenungkan beberapa aspek yang berkaitan dengan
proses belajar-mengajar. Apalagi dalam konteks saat ini telah diberlakukan
paket otonomi pada masing-masing daerah, tentang pelimpahan wewenang dari pusat
ke daerah yang tentu saja di dalamnya ada bidang pendidikan, maka praktek
pendidikan harus dibuat sedemikian rupa agar berkorelasi dengan kebutuhan
mendasar masyarakat, yang pada akhirnya pola kebijakan pendidikan selaras
dengan pemenuhan keberhasilan program otonomi daerah. Itulah sebabnya, maka
wacana mengenai desentralisasi pendidikan menjadi mengedepan seiring dengan
pelimpahan kewenangan pusat ke daerah. Dalam konteks ini pola pengambilan
keputusan mengenai proses pendidikan yang berintikan pada kepentingan lokal, tanpa
mengesampingkan kepentingan lain yang melingkupinya yaitu kepentingan
nasional.
Berkaitan dengan sistem penyenggaraan pendidikan, maka revisi UUSPN tentang
perlunya asas desentralisasi dan otonomi pendidikan merupakan babak baru
menguatnya iklim demokratisasi dalam pendidikan nasional. Desentralisasi
pendidikan mengandaikan dimulainya pemberian peran lebih besar kepada
pemerintah daerah tingkat kabupaten kota atau kotamadya sebagai basis
pengelolaan pendidikan. Desentralisasi ini berkaitan oleh sebuah keinginan
mendasar bahwa kebutuhan lokal atau juga nilai-nilai sosial kultural setiap
daerah berbeda sehingga memungkinkan diberlakukannya suatu sistem pendidikan
yang mengakomodir kebudayaan lokal tersebut. Dengan desentralisasi itu
diharapkan hasil pendidikan dapat memenuhi hajat nasional dan hajat daerah
bahkan hajat unit.[22]
Desentralisasi pendidikan mengisyarakatkan suatu sistem pendidikan yang
bersifat indegneous (pribumisasi) karena didasarkan pada aspek-aspek
dasar dari lokalitas masyarakat. Hal ini agar masyarakat atau peserta didik
tidak tercabut dari akar kebudayaannya. Dengan demikian ada relasi mutualistik
antara penyelenggaraan pendidikan dengan situasi lokal yang membutuhkan
penjelasan dan pengenalan secara lebih komprehensif. Sistem ini jelas
memberikan peluang terjadinya demokratisasi pendidikan, karena ia tidak lagi
terpusat dalam soal penyusunan kurikulum bahkan soal pengangkatan guru.
Desentralisasi pendidikan merupakan langkah strategis untuk menguatkan
daerah dan memberikan kebebasan dalam menyusun sebuah kurikulum yang belakangan
sedang ramai dibicarakan. Peralihan kewenangan dari pusat ke daerah ini
bertujuan agar setiap daerah mampu memberikan kontribusi positif bagi
pengembangan pendidikan nasional yang disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan
daerah untuk mampu dihadapkan pada wacana global. Misalnya, daerah Sabang yang
dikelilingi oleh laut, hendaknya juga diberikan penekanan pada sistem
pembelajaran mengenai kelautan dan perikanan, sehingga sumberdaya alam dapat
dioptimalisasikan dan sumberdaya manusia dapat diarahkan pada kerja-kerja
tersebut.
Dari uraian tentang desentralisasi pendidikan tersebut tampak jelas tentang Negara yang memainkan peranan besar
untuk menghegemoni sistem penyelenggaraan pendidikan di setiap sekolah. Negara
mencoba menerapkan pendidikan yang sifatnya homogen. Situasi ini jelas menjadi
tema dan sasaran kritik utama postmodernisme, yang sejak semula tidak sepakat
dengan apa yang disebut sebagai homogen, sebab masyarakat adalah heteregon,
baik karakter maupun kebutuhannya. Sehingga menjadi tidak populer kalau negara
masih memaksakan kehendaknya untuk mempengaruhi dan menjadi pendidikan
persekolahan menjadi seragam atau homogen. Dengan adanya pergeseran peran yang
semula sentralistik menuju desentralistik, maka dalam menentukan berbagai
kebijakan menyangkut pendidikan persekolahan, pihak sekolah dan masyarakatlah yang harus
berperan aktif secara profesional mengembangkan sistem pendidikan persekolahannya.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1.
Secara etimologis Postmodernisme
terdiri dari dua kata, post dan modern. Kata post adalah bentuk prefix,
diartikan dengan ‘later or after’ dalam Webster’s Dictionary Library. Hal ini
berarti Postmodern adalah sebagai koreksi terhadap modern itu sendiri dengan
mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat terjawab di jaman
modern yang muncul karena adanya modernitas itu sendiri.
2.
Pendidikan dapat dimaknai segala
usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan dan
dilakukan sepanjang hayatnya . Kurikulum adalah sebagai rencana dan pengaturan tentang sejumlah mata
pelajaran yang harus dipelajari peserta didik dalam menempuh pendidikan di
lembaga pendidikan.
3.
Pengaruh
Postmodern terhadap kurikulum : 1. Muatan kurikulum dan pelaksanaannya oleh
para guru cenderung lebih mengutamakan banyaknya materi pelajaran yang diberikan
(overload). 2. Tuntutan Kurikulum yang tidak dapat diterjemahkan dengan cerdas
oleh pelaksana di lapangan. 3. Birokrasi pengelola pendidikan mempunyai
“kekuasaan” yang acapkali bertolak belakang dengan tujuan pendidikan.
4.
Implikasi
Postmodern terhadap Pendidikan, dengan geliat reformasi di segala bidang,
termasuk bidang pendidikan. Salah satu upaya yang hendak dilakukan adalah
mereformasi sejumlah fakta negatif pada
sistem pendidikan nasional ke arah perbaikan.
DAFTAR RUJUKAN
Al-Rasyid dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan
Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Jakarta: Ciputat Press,
2005
Arsyar, Mohammad, Dasar-dasar Pengembangan
Kurikulum, Jakarta: Proyek Pengembangan LPTK Ditjen PT Departemen P&K.,
1989
Bambang, I.
Sugiharto, Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat cet. 8, Yogyakarta:
Kanisius, 2008
Budiman, Arief, Postmodernisme dan Realitas,
dalam Postmodernisme dan Masa Depan Peradaban, ed. Suyono, et. all. Yogyakarta:
Aditya Media, 1994
Drost, J., Sekolah
Mengajar atau Mendidik, Yogyakarta : Kanisius, 1998
Hidayat, Ainurrahman “Implikasi Postmodernisme dalam
Pendidikan”, Tadris Vol.1 No.1 2006
https://nonkshe.wordpress.com/2012/03/13/filsafat-positivisme-dan-postmodernisme-positivisme/
Ismail, Mohammad, Postmodernisme dan Kritik Ideologis
Terhadap Ilmu Pengetahuan,
http://mohismaiel.blogspot.com/2013/06/postmodernisme-dan-kritik-edeologis_22.html
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Didik, http://kbbi.web.id/didik
Machalli, Imam
dan Musthofa, Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi, Buah Pikiran
Seputar; Filsafat, politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya, Yogjakarta :
Ar-ruzz, 2004
Nugroho, Heru, Menumbuhkan Ide-Ide Kritis,
Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2003
Pidarta, Made, Landasan
Kependidikan, Jakarta : Rineka Cipta, 1994
Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan
Islam Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya, Jakarta : Kalam
Mulia, 2010
Santoso,
Listiyono, Postmodernisme ; Kritik Atas Epistimilogi Modern dalam
Epistimologi Kiri, Yogyakarta : Ar-Ruzz, 2003
Suyoto, dkk, Postmodern Dan Masa Depan Peradaban,
Yogyakarta: Aditya Media, 1994
Tafsir, Ahmad, Filsafat
Pendidikan Islam,
Warsiman, Posmodernisme, Pedagogi, Dan Filsafat
Pendidikan http://blog.sunan-ampel.ac.id/warsiman/2010/05/18/posmodernisme-pedagogi-dan-filsafat-pendidikan
Wikipedia, Postmodernisme,
https://id.wikipedia.org/wiki/Postmodernisme
Tidak ada komentar:
Posting Komentar