Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Sabtu, 19 November 2016

MAKALAH TEORI KEPEMIMPINAN BERBASIS BUDAYA JAWA



A. PENDAHULUAN
1.   Latar Belakang Masalah
Tata tertib dan keteraturan itu sama dengan kebutuhan akan makanan dan perlindungan yang sangat diperlukan oleh manusia. Bahkan binatang misalnya, kawanan ikan, segerombolan burung dan sekumpulan gajah di hutan rimba, mempertahankan kehidupannya secara menggerombol atau kooperatif; dan mengikuti mengikuti pola tata tertib yang pasti, walaupun semuanya berlangsung atas dasar instingnya. Tanpa pola tata tertib dan kooferatif  mereka tidak akan mampu mempertahankan keberadaannya.
Juga terbit dan tenggelamnya matahari , bulan dan bintang- bintang, pergantian hari menjadi malam, semua itu merupakan bentuk keteraturan dan tertib alam. Demikian pula dengan keaadaan manusia : dari bayi, kanak-kanak sampai usia dewasa,relasi pria dan wanita dan anak keturunannya yang paling sederhana dalam bentuk relasi sosial yang serba rumit berwujud kompleks industri, serikat-serikat perdagangan dan uni bangsa-bangsa;semuanya merupakan gejala ketertiban dari budaya manusia yang terus-menerus bergerak secara dinamis.
Dalam kekompleksan masyarakat demikian manusia harus hidup bersama-sama dan bekerja sama dalam suasana yang tertib dan terbimbing oleh pemimpin; dan tidak bisa hidup menyendiri. Maka demi efisiensi kerja  dalam upaya mencapai tujuan bersama, dan untuk mempertahankan hidup bersama, diperlukan bentuk kerja kooferatif. Dan semua kegiatan kooferatif dan karya budaya (aktivitas membuat budaya) itu perlu diatur, perlu dipimpin.
Dalam kepemimpinan ini terdapat hubungan antar manusia, yaitu hubungan mempengaruhi (dari pemimpin) dan hubungan kepatuhan-ketaatan para pengikut /bawahan karena dipengaruhi  oleh kewibawaan  pemimpin. Para pengikut  terkena pengaruh kekuatan dari pemimpinnya, dan bangkitlah secara spontan rasa ketaatan pada pemimpin.[1]
Tampaknya ada kecenderungan di tanah  air sekarang ini untuk lebih menyukai gaya kepemimpinan yang datang dari luar negeri- khususnya Negara Eropa dan Amerika Serikat. Sedangkan ciri-ciri utama dari kepemimpinan yang diwariskan oleh nenek moyang sendiri ( raja- raja, negarawan, pemimpin agama, seniman, satrawan besar  dan tokoh pemimpin masyarakat lainnya cenderung diabaikan atau dilupakan. Padahal syarat-syarat kepemimpinan yang diwariskan oleh para leluhur itu bila dikaji kembali dan diterapkan, pasti akan memberikan bobot moral, ajaran untuk membentuk watak dan kepribadian pemimpin, seta dapat meningkatkan kualitas teknis sosialnya.
Kepemimpinan membawa arti adanya fenomena kompleks yang melibatkan pemimpin, pengikut, dan situasi. Tiga elemen ini saling berinteraksi dalam hubungan saling membutuhkan dengan kapasitasnya masing-masing: pemimpin terkait dengan personalitas, posisi, kepakaran, dan sebagainya; kemudian pengikut berhubungan dengan kepercayaan, kepatuhan, pemikiran kritis, sedangkan situasi berkaitan dengan kerja, tekanan/stress, lingkungan, dan sebagainya. Kita bisa memahami proses kepemimpinan dengan baik ketika kita tidak hanya melihat pada sosok seorang pemimpin, tetapi juga pengikut, bagaimana pemimpin dan pengikut saling mempengaruhi, dan juga bagaimana situasi bisa mempengaruhi kemampuan dan tingkah laku pemimpin dan pengikut.
Karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang heterogen dilihat dari banyak aspek, salah satunya adalah dari aspek suku bangsa yang membentuk bangsa Indonesia. Untuk itu pemakalah mencoba memaparkan  teori kepemimpinan yang diambil dari kearifan budaya nasional salah satu di antaranya adalah budaya jawa. Realitas menunjukkan suku jawa adalah suku mayoritas.
Dalam masyarakat jawa terdapat tingkatan masyarakat yaitu priyai dan masyarakat biasa. Ada lagi tingkatan berikutnya golongan santri dan golongan abangan. Tetapi dengan masuknya budaya Islam sedikit demi sedikit mulai menipis tingkatan social pada masyarakat jawa. Untuk itu pemakalah ingin mengupas kepemimpinan teori kepemimpinan yang terdapat dalam budaya jawa. 

2.      Rumusan Masalah
a.   Apa yang dimaksud teori kepemimpinan?
b. Bagaimana prinsip-prinsip kepemimpinan yang berbasis budaya jawa?
c. Bagaimana konsep kepemimpinan jawa?

3. Tujuan Pembahasan 
a. Mengetahui teori Kepemimpinan
b. Mengetahui prinsip-prinsip kepemimpinan yang berbasis budaya jawa
c. Mengetahui konsep-konsep kepemimpinan jawa.



B.  PEMBAHASAN

1. Pengertian Teori Kepemimpinan
            Secara etimologi, kepemimpinan berasal dari kata dasar pemimpin. Dalam bahasa Inggris, leadership yang berarti kepemimpinan, dari kata dasar leader berarti pemimpin dan akar katanya to lead yang terkandung beberapa arti yang saling erat berhubungan : bergerak lebih lebih awal, mengambil langkah lebih awal, berbuat paling dulu, mempelopori, mengarahkan pikiran-pikiran pendapat-pendapat orang lain, membimbing, menuntun, dan menggerakkan orang lain melalui pengaruhnya.[2]
            Kebudayaan erat hubungannya dengan masyarakat. Menurut Koentjaraningrat sebagaimana di kutip yusasatra, kebudayaan dengan kata dasar budaya berasal dari bahasa sangsakerta ”buddhayah”, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Jadi Koentjaraningrat, mendefinisikan budaya sebagai “daya budi” yang berupa cipta, karsa dan rasa, sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa itu.
            Banyak studi ilmiah dilakukan orang mengenai kepemimpinan, dan hasilnya berupa teori-teori tentang kepemimpinan. Teori–teori yang di munculkan menunjukkan perbedaan dalam : pendapat dan uraiannya, metodologinya, interpretasi yang diberikan dan kesimpulan yang di tarik.
            G. R Terry mengemukakan sejumlah teori kepemimpinan, yaitu teori-teori sendiri ditambah dengan teori penulis lain, sebagai berikut:
1. Teori Otokrasi
            Kepemimpinan menurut teori ini didsarkan atas perintah-perintah, paksaan, dan tindakan-tindakan arbitrer(sebagainwasit). Ia mealkukan pengawasan yang ketat, agar semua pekerjaan berlangsung secara efisien. Kepemimpinannya berorientasi pada struktur organisasi dan tugas-tugas.
2.   Teori Psikologis
            Teori ini menyatakan, bahwa fungsi seorang pemimpin adalah memunculkan dan mengembangkan system motivasi terbaik, untuk merangsang kesediaan bekerja dari para pengikut dan anak buah. Pemimpin merangsang bawahan, agar mereka mau bekerja, guna mencapai sasaran-sasaran organisatoris maupun untuk memenuhi tujuan-tujuan pribadi.
3.Teori Sosiologis
            Kepemimpinan dianggap sebagai usaha-usaha untuk melancarkan antar-relasi dalam organisasi; dan sebagai usaha untuk menyelesaikan setiap konflik organisatoris antara para pengikutnya, agar tercapai kerja sama yang baik.pemimpin menetapkan tujuan-tujuan, dengan menyertakan para pengikut dalam pengambilan keputusan.
4.Teori Suportif
            Menurut teori ini, para pengikut harus berusaha sekuat mungkin, dan bekerja dengan penuh gairah, sedang pemimpin akan membimbing dengan sebaik-baiknya melalui policy tertentu. Untuk maksud ini pemimpin perlu mencipkatan suatu lingkungan kerja yang menyenangkan, dan bisa membantu mempertebal keinginan setiap pengikutnya untuk melaksanakan pekerjaan sebaik mungkin, sanggup bekerja sama dengan pihak lain, mau mengembangkan bakat dan keterampilan, dan menyadari benar keinginan sendiri untuk maju.
5. Teori Laissez Faire
            Kepemimpinan laissez faire ditampilkan oleh seorang tokoh yang kurang becus mengurus dan selalu memberikan tanggung jawab serta pekerjaan kepada bawahan. Kepemimpinan seperti ini akan menyebabkan anggota kelompok menjadi santai dan tidak terkontrol.
6. Teori Kelakuan Pribadi
            Kepemimpinana jenis ini muncul berdasarkan kualitas-kualitas pribadi atau pola-pola kelakuan para pemimpinnya. Teori ini menyatakan, bahwa seorang pemimpin itu selalu berkelakuan kurang lebih sama, yaitu  tidak melakukan tindakan-tindakan yang identik sama dalam setiap situasi yang dihadapi., dengan kata lain dia harus mampu mengambil langkah-langkah yang paling tepat untuk sesuatu masalah.
7. Teori Sifat
            Teori ini menyatakan seorang pemimpin harus memilki cirri-ciri unggul yaitu memiliki intelengensi tinggi, banyak inisiatif, energik, punya kedewasaan emosional, memiliki daya persuasive dan keterampilan komunikatif, memiliki kepercayaan diri, peka dan kreatif.
8. Teori Situasi
            Teori ini menjelaskan, bahwa harus terdapat daya lenting yang tinggi/luwes pada pemimpin untuk menyesuaikan diri terhadap situasi, lingkungan dan zamannya. Faktor lingkungn itu harus dijadikan tantangan untuk diatasi.
9. Teori Humanistik
            Fungsi  kepemimpinan menurut teori ini ialah merealisir kebebasan manusia dan memenuhi segenap kebutuhan insane, yang dicapai melalui interaksi pemimpin dengan rakyat. Untuk melakukan hal ini perlu adanya organisasi yang baik dan pemimpin yang baik, yang mau memperhatikan kepentingan dan kebutuhan rakyat. [3]    
            Selain teori-teori di atas dikenal juga teori Jawanisasi oleh Tomi Pires, yang menyatakan awalnya masyarakat jawa sangat dipengaruhi oleh budaya hindu, yang kemudian masuknya agama Isam yang melalui perdagangan dan pada akhirnya disebarkan oleh para wali melalui budaya yang ada. Islam diperkenalkan melalui seni yaitu pewayangan atau pun tembang-tembang jawa. Jadi nilai kepemimpinan yang dimasukkan melalui kesenian juga dipengaruhi budaya hindu dari kisah-kisah mahabarata dan ramayana sekaligus disisipkan nilai-nilai keIslaman. [4] 

2.Prinsip-Prinsip Kepemimpinan Jawa

Prinsip – prinsip kepemimpinan Jawa menurut Parokusuma yang ideal adalah sebagi berikut:
a. Orang-orang yang suci dan ikhlas memberikan ajaran dan bimbingan hidup sejahtera lahir dan batin kepada rakyatnya, seperti para pendeta dan pembantu-pembantunya serta seperti kyai dan santri-santrinya;
b. Orang-orang dari keturunan baik-baik, berkedudukan pantas, yang ahli, yang rajin menambah pengetahuan, yang hidup berkecukupan dan jujur. Itulah persyaratan guru yang baik;
c. Orang-orang yang paham akan hukum-hukum agama, yang beribadah dan tidak ragu-ragu akan kebenaran Tuhan, yang suka bertapa, yang tekun mengabdi masyarakat dan yang tidak mengharapkan pemberian orang lain. Itulah persyaratan bagi orang yang pantas dijadikan guru.[5]
Pemimpin masyarakat yang memiliki watak dan iktikad seperti tersebut niscaya memiliki wibawa atau kharisma yang tinggi. Kepemimpinannya berpengaruh besar dan mendatangkan kebahagiaan lahir dan batin kepada rakyat. Namun bilamana watak sang pemimpin bertentangan dengan masyarakat luas dan sedikitpun tidak mendekati persyaratan seperti tersebut di atas, niscaya akan mendatangkan malapetaka kepada Negara dan anak keturunannya.
Oleh karena itu menjadi penting untuk menyimak uraian mengenai prinsip-prinsip kepemimpinan yang diungkap Sri Sultan Hamengku Buwana (HB) X, menurut Sultan HB X, dalam sebuah seminar tentang kepemimpinandi  di Milenium III, yang tertuang dalam serat sastra gending, yang memuat tujuh Amanah.
Butir pertama, Swadana Maharjeng-tursita, seorang pemimpin haruslah sosok intelektual, berilmu, jujur, dan pandai menjaga nama, mampu menjalin komunikasi atas dasar prinsip kemandirian.
Kedua, Bahni-bahna Amurbeng-jurit, selalu berada didepan dengan memberikan keteladanan dalam membela keadilan dan kebenaran.
Ketiga, Rukti-setya Garba-rukmi, bertekad bulat menghimpun segala daya dan potensi guna kemakmuran dan ketinggian martabat bangsa.
Keempat, Sripandayasih-Krani, bertekad menjaga sumber-sumber kesucian agama dan kebudayaan, agar berdaya manfaat bagi masyarakat luas.
Kelima, Gaugana-Hasta, mengembangkan seni sastra, seni suara dan seni tari guna mengisi peradaban bangsa.
Keenam, Stiranggana-Cita, sebagai lestari dan pengembangan budaya, pencetus sinar pencerahan ilmu, dan pembawa obor kebahagiaan umat manusia.
Ketujuh, Smarabhumi Adi-manggala, tekad juang lestari untuk menjadi pelopor pemersatu dari berbagai kepentingan yang berbeda-beda dari waktu ke waktu, serta berperan dalam perdamaian di mayapada.[6]
Kemudian ada lagi prinsip kepemimpinan Jawa yang tertuang dalam Serat Witaradya karya pujangga besar sastra klasik Jawa, Raden Ngabehi Ranggawarsita III, didalamnya memuat tentang kepemimpinan negara dan kewajiban para pegawai-yang diterjemahkan oleh Karkono sebagai berikut:

a) Sri Begawan Ajipamasa memberi amanat kepada putra yang menggantikanya sebagai raja berupa lima amanat yang disebut Pancapratama (lima yang terbaik), yakni:
1) Mulat (awas, hati-hati) agar memerinci tugas punggawa atau pegawai. Yang senang kepada pekerjaan halus, jangan diberi pekerjaan kasar atau demikian pula sebaliknya. Waspadalah terhadap punggawa yang baik dan yang buruk.
2) Amilala (memelihara, memanjakan) agar mengajar dan manaikkan pangkat punggawa yang baik dan tepat pekerjaannya.
3) Amiluta (membujuk, membelai), agar suka mendekatkan punggawa dengan kata-kata yang menyenangkan, membengkitkan kecintaan kepada raja (negara) dengan kesaktianya.
4) Miladarma, (menghendaki kebajikan), agar mengerjakan hal-hal yang menuju keselamatan dilingkungan masing-masing menuju kesejahteraan batin.
5) Parimarma (belas kasihan), agar bersifat serba memaafkan. Dengan demikian terjagalah negaranya.

b) Amanat Sri Begawan Ajipamasa kepada Patih Sukarta disebut Pancaguna (lima manfaat), yakni:

1) Rumeksa (menjaga), agar menjaga negara seisinya sebagai milik sendiri, terutama bila terjadi bahaya di wilayahnya. Janganlah menunggu perintah dan supaya bertindak sehingga terjaga keselamatan negara.
2) Agar memperhaikan hal-hal sebagai berikut:
a) Ilat (lidah), berkatakah dengan sopan santun, menuju hati, itu menjadikan selamat pengabdianya.
b) Ulat (raut wajah), agar dapat menyesuaikan dengan tempat dan waktu. Hal itu mendatangkan kebahagiaan.
c) Ulah (tingkah laku), agar dapat membawa diri hingga memperoleh kasih sayang raja. Tingkah lakumu jangan ragu-ragu.
3) Rumasuk (meresap), agar penjagaan kepada negara dilakukan dengan seia-sekata.
4) Rumesep (menyenangkan), agar mantab berbakti kepada raja tidak renggang serambutpun. Dan jangan berhenti mengasuh punggawa yang pangkatnya lebih rendah atau pegawai bawahan.
5) Rumasa (merasa), agar merasa sebagai abdi raja(negara), janganlah sesekali sombong dan tak mau kalah. [7]

Kearifan dari prinsip prinsip kepemimpinan jawa tersebut, hendaknya diterapkan dalam kehidupan, sehingga masyarakat yang dipimpin menjadi lebih tenteram apabila para pemimpin telah menerapkan prinsip-prinsip tersebut dalam kehidupan.


3.      Konsep Kepemimpinan Jawa
Konsep kepemimpinan jawa banyak dikenal dengan tembang yang memiliki makna yang dalam sebagai motivasi bagi kehidupan kita umumnya, khususnya jawa. Berikut ini tembang yang dikutip dari kitab serat wedhatama  yang memiliki nasehat- nasehat :
Nulada laku utama, tumrap wong tanah jawi, Wong Agung ing Ngeksiganda, Panembahan Senapati, Kapati amarsudi, sudane hawa napsu, pinepsu tapa brata, tanapi ing siyang ratri, Amamangun krya-nak tyasing sasami
(Teladanilah pola hidup yang utama, untuk orang Jawa, yakni: Orang besar di Mataram, Panembahan Senapati, yang memiliki kesungguhan hati menekan gejolak hawa nafsu, diusahaakan dengan bertapa brata, diwaktu siang dan malam, tujuanya adalah untuk memberikan kebahagiaan, kesejahteraan kepada sesama).[8]
Konsep kepemimpinan jawa di antaranya :
a.      Manunggaling Kawula-Gusti Dalam Konsep Kepemimpinan Jawa = Kepemimpinan yang Berorientasi Kerakyatan.
            Kupasan mengenai keberadaan pemimpin atau raja di Jawa adalah sesuatu yang agung dan keramat menurut Kartohadikoesoemo yang di kutip Yasasusastra, raja adalah bapa-babu rakyat; raja adalah lebih dari kepala, pemimpin, pemuka, dan panutan. Seorang raja dianggap memiliki kekuatan mistik. Antara raja dan rakyatnya terjalinlah ikatan mistik.
            Di zaman dahulu bila rakyat menderita misalnya diserang wabah penyakit menular, maka raja melakukan tapa brata untuk menanges kersaning pangeran (memohon petunjuk dan pertolongan Tuhan), untuk mencegah dan melawan malapetaka tersebut. Menghadapi malapetaka yang melampaui batas kemampuan manusia, tidaklah cukup kiranya hanya dengan ikhtiar lahir, maka perlulah dilengkapi ikhtiar batin. Menurut alur nalar orang Jawa, timbulnya malapetaka antara lain disebabkan dosa manusia terhadap Tuhan. Berkaitan dengan hal itu maka raja sebagai bapa-baboning praja (bapak-ibu bagi negara beserta segenap rakyatnya) yang pertama-tama harus bertanggungjawab. Atas keinsyafan bertanggungjawab terhadap keselamatan dan kesejahteraan segenap rakyatnya, maka raja lalu banyak berdoa dan memohon petunjuk serta pertolongan atau perlindungan dari penguasa alam semesta, agar segenap rakyatnya selalu terhindar dari segala penderitaan yang menimpanya. Tidak layaklah raja hidup berfoya-foya dan bersuka ria, sementara rakyatnya hidup dalam cekaman bencana dan penderitaan. Keterkaitan antara seorang pemimpin dengan Yang Maha Kuasa inilah yang menjadikan pola kepemimpinan dalam budaya Jawa bersifat agung dan sakral. Oleh karena itu, dalam mainstream kepemimpinan Jawa muncul istilah Manunggaling Kawula- Gusti.
b.       Memayu Hayuning Bawana
Pola kekuasaan pemerintahan original Jawa bersentral pada raja dan kraton. Pemimpin yang bijaksana berarti telah memayu hayuning bawana. Ayu-hayu dan rahayu menunjuk makna keselamatan. Memayu berarti membuat selamat. Sedangkan bawana adalah istilah lain untuk buana, dunia atau jagat. [9]Di kutip dalam buku yusasusastra tahun 2011, Sumodiningrat menyatakan kepemimpinan dan keraton merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Serat Centhini-sebanyak 12 jilid- karya Kanjeng Gusti Pangeran Anom Amangkurat III yang kemudian disebut Paku Buwana V, menggambarkan kehidupan dan perkembangan keraton. Riwayat kehidupan dan perkembangan keraton diuraikan dalam Tembang Raras, dapat dipahami antara lain bahwa: ratu adalah manusia. Manusia adalah pelaku kehidupan. Pelaku kehidupan adalah pemimpin. Pemimpin adalah yang menciptakan, mempersiapkan, dan menjaga hukum alam. Hukum alam adalah terciptanya dunia yang damai. Keraton dari kata ke-ratuan, adalah tempat pemimpin, pemimpin, tempat menyelenggarakan kepemimpinan. Ratu dari kata rat (jagad atau dunia), yang hayu (damai). Kraton merupakan ”pusat jagad raya”, adalah tempat kepemimpinan yang "mempercantik dunia", to make the world peace, hamemayu hayuning bawono, baldatun toyibatun warrabun ghafur. Masih menurut Sumodiningrat, dalam kepemimpinan Jawa terdiri dari kepemimpinan dalam diri pribadi, kepemimpinan dalam bermasyarakat, dan kepemimpinan dalam hubunganya dengan Tuhan Yang Mahakuasa. Seperti halnya dalam pengertian modern yang dikenal dengan lingkup makro, mikro dan global (globalisasi), tingkatan ini merupakan "hierarki"yang menjadikan sifat-sifat kepemimpinan yang memimpin dengan arif dan bijaksana. Selain itu hasil penelitian dari tim peneliti lembaga studi Jawa memberikan bukti bahwa konsep kepemimpinan Jawa erat kaitanya dengan unsur kosmologi yaitu suatu bukti bahwa diantara kata-kata gelar yang disandang para raja zaman Islam dan masih tetap memelihara tradisi dari zaman sebelumnya dapat diketahui dari rangkaian kata gelar Paku Buwana, Hamengku Buwana, Mangku Negara, Paku Alam, Amangkurat. Kata-kata buwana, rat,(jagad), negara, alam merupakan gambaran alam raya yang dipangku, dipaku sehingga keseimbanganya tetap terjaga terhindar dari kegoyahan. Nama-nama gelar tersebut juga mengandung nilai religius magis bagi pemerintahan atau kekuasaan yang diembannya. Raja mempunyai tugas untuk selalu mengupayakan memayu-hayuning bawana, sehingga dapat dikatakan merupakan simbolisme sebuah misi seorang raja dalam melestarikan dunia.
Perlu kiranya digaris bawahi pada kalimat memayu-hayuning bawana. Istilah tersebut menurut Karkono Kamajaya semula berasal dari ujaran dalam Serat Wiwaha karya raja Kraton Kasunanan Surakarta, Paku Buwana III (1749-1788), yakni: memayu jagad puniki, angrekasa kang parahita, hanya saja ada juga yang berpendapat bahwa kalimat memayu-hayuning bawana merupkan pengucapan lain dari mangayu hayuning bawana. Meskipun ada kata yang berbeda , yakni memayu dan mangayu namun memiliki makna yang sama.
Koentjaraningrat menyinggung pula tentang kalimat memayu hayuning bawana pada bagian Hubungan antara Manusia dengan Alam sebagai berikut: "Namun orang Jawa merasa berkewajiban untuk memayu ayuning bawana atau memperindah keindahan dunia; hanya inilah yang memberi arti pada hidup". Sehingga dari penjelasan oleh para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa konsep memayu hayuning bawana merupakan salah satu konsep ajaran kepemimpinan Jawa yang mengajarkan bahwa seorang pemimpin harus mampu menjaga keseimbangan hidup antara manusia dan alam, dan yang paling utama adalah harus dapat menjaga alam serta keselamatan dan kesejahteraan masyarakatnya.

c.       Hasta Brata
            Secara etimologis kata Hasta Brata berasal dari bahasa Sansekerta, asta artinya delapan dan brata artinya laku atau pedoman.[10] Ajaran Hasta Brata diberikan oleh Rama kepada wibisana pada saat wibisana akan diangkat menjadi Raja di kerajaan Alengka menggantikan kakaknya yaitu prabu Rahwana. Disitu wibisana diperintahkan melindung rakyat dan memulihkan kerajaan yang telah hancur karena perbuatan Rahwana.[11]
            Konsep kepemimpinan Hasta brata merupakan salah satu konsep yang cukup luas diapresiasi dan berasal dari naskah kuna Mahabarata. Menurut konsepsi ini maka seorang pemimpin harus meniru 8 sifat alam yang merupakan sifat inti seirang pemimpin dalam tradisi Jawa, yaitu:
 1)  Bumi (tegas, konsisten, dan menawarkan kesejahteraan);
 2) Matahari (sumber pengetahuan dan sebagai sumber motivasi bagi    masyarakat);
3) Bulan (mampu memberikan solusi bagi setiap permasalahan yang datang dengan baik);
4) Bintang (sebagai suri tauladan yang baik bagi masyarakat);
5) Api (mampu menumpas seluruh pengahalang yang dapat merusak keamanan dan kententraman);
6) Angin (bersifat mandiri, netral dan selalu mengawasi kinerja anak buah); 7) Laut atau samudra (Air) (tidak sombong dan menyerahkan segala hal kepada Tuhan Semesta Alam;
8) Langit (mampu mengayomi masyarakat).[12]
 Konsep kepemimpinan hasta brata adalah salah satu referensi penting sebab di dalamnya mengandung Leadership power yang memiliki kelebihan sifat yaitu kemanusiaan yang manusiawi dari seorang pemimpin. Jika diteaalah  lebih mendalam , kajian tentang hasta brata di atas sebenarnya menyangkut dua hal. Pertama, kteladanan seorang pemimpin- prabu rama wijaya dan prabu sri bathara kresna yang mampu memimpin Negara dengn adil dan bijaksana sehingga namanya harum di mata rakyat. Kedua, dengan meneladani perwatakan delapan alam di atas membuat sang pelaku ( pemimpin) secara otomatis masuk ke pendalaman wilayah spiritual-religius.

d.                  Konsep Kepemimpinan Ki Hajar Dewantara
Konsep kepemimpinan Jawa lainnya yang juga cukup banyak diapresiasi adalah konsep kepemimpinan yang disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara yang terdiri dari 3 aspek kepemimpinan yaitu
a.       ing ngarsa sung tuladha, menekankan peran seorang pemimpin sebagai tokoh yang harus bisa diteladani, yang harus bisa membimbing dan memberi arah ke mana organisasi hendak di bawa. Kalau dikaitkan dengan hasta brata maka konsep ini sama sengan sifat bintang dimana seorang peminpin harus bisa menjadi petujuk arah yang jelas
b.      ing madya mangun karsa, berarti bahwa seorang pemimpin harus bisa membangkitkan semangat orang-orang yang dia pimpin. Harus bisa membangkitkan gairah untuk mewujudkan kepentingan bersama. Seorang pemimpin adalah seorang motivator, seperti matahari yang mampu memberikan energi kepada semua mahluk hidup di bumi
c.       tut wuri handayani, yaitu seorang pemimpin harus mampu menyediakan kesempatan untuk berkembang bagi yang dipimpinnya.[13]
Konteks “ing ngarso sung tulada” mengarah pada peranan sang pemimpin yang diharapkan mampu memberikan keteladanan yang baik kepada rakyat kecil. Misalnya, dalam kondisi krisis seperti sekarang ini, hendaknya para pejabat tidak menghambur-hamburkan uang Negara maupun pribadi, sebab akibatnya kurang positif. Sedangkan, “ing madya mangun karsa “ identik dengan pejabat di level menengah yang diharapkan mampu menuangkan gagasan dan ide-ide baru sesuai dengan aspirasin masyarakat untuk dijadikan program yang positif. Dan, dalam “tut wuri handayani” merupakan sikap dari rakyat kebanyakan. Rakyat itu bisa bermakna bawahan sekaligus sebagai atasan pejabat. Dalam konteks ini yang dimaksud adalah rakyat sebagai bawahan yang diharapkan tunduk patuh dalam mendukung dan melaksanakan kebijaksanaan yang telah dikeluarkan pemerintah. 

C.          KESIMPULAN
Dalam kepemimpinan yang berbasis budaya jawa kita memahami prinsip dan konsep kepemimpinan jawa dipengaruhi budaya hindu yang terdapat dalam kitab dan cerita pewayangan Mahabrata dan Ramayana yang melekat kuat sebagai akar budaya masyarakat jawa. Adapun konsep kepemimpinan tersebut antara lain :
1. Manunggaling Kawula-Gusti Dalam Konsep Kepemimpinan Jawa = Kepemimpinan yang Berorientasi Kerakyatan.
2.  Memayu hayuning Bawana kawula manunggal gusti dimana pemimpin   harus selalu menjaga keselamatan dan ketentraman negara.
3. Dalam konsep kepemimpian Jawa kita mengenal Ki hajar Dewantoro, juga mengajarkan konsep kepemimpinan, yaitu ” Ing ngarso sung tuladha, Ing Madya mangun karsa, Tut wuri handayani ”atau terjemahan dalam bahasa Indonesia : ”Di depan memberi teladan, di tengah membangkitkan semangat, di belakang memberi dorongan kekuatan”
4. Konsep kepemimpinan yang diangkat dari budaya jawa , ditegaskan dalam 8 sifat teladan dari figur pemimpin dalam melaksanakan fungsi kepemimpinannya sebagaimana ajaran ”Hasta Brata” . Ajaran ini mengangkat sifat positif dari simbol – simbol alam yang berupa:  Surya, Candra, Kartika, Angkasa, Maruta, Samudra, Dahana dan Bhumi.
            Selain itu kita mengenal konsep diharapkan para pemimpin negara ini dengan latar belakang  budaya jawa dapat menjaga konsistensi prinsip dan konsep budaya Nusantara sebagai bagian kekayaan nusantara yang harus dilestarikan dan dilaksanakan dengan baik untuk mendapat negara yang tenteram, damai gemah ripah loh jinawi.


[1] Kartini Kartono, pemimpin dan kepemimpinan,( Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014), hlm. 2
[2] Baharuddin & umiarso,  kepemimpinan  pendidikan Islam antara teori dan praktik, (Yogyakarta: Arruz media, 2012), hlm. 47
[3] Kartini Kartono, pemimpin dan kepemimpinan , (Jakarta: Grafindo Persada, 2014, hlm. 71
[4] http://digilib.uinsby.ac.id/72/2/Bab%201.pdf, akses tgl  12 desember 2015
[5] J.Syahban Yasasusastra, Mengenal tokoh pewayangan,(Yogyakarta: Pustaka Mahardika, 2011), hlm. 41
[6] http / core.ac. Desy utami prajayanti, sebuah kontruksi kepemimpinan Jokowidodo, hlm. 49, diakses 5  Nopember 2015
[7] http / core.ac. Desy utami prajayanti,  sebuah kontruksi kepemimpinan Jokowidodo, hlm.50, diakses 5  Nopember 2015
[8] Ki Sabdacakrakatama, Serat Wedhatama , (Yogyakarta:Penerbit Narasi ,2010), hlm 28
[9] Mulyono, el Harakah jurnal Budaya Islam, vol 11 no 1 januari-april 2009
[10] M As’ad, anggoro,& virdanianty, Jurnal psikologi,Studi Eksplorasi Kepemimpinan model Jawa: Asta Brata,volume 38,no.2, Desember 2011: 228-239
[11] Suyami, Konsep Kepemimpinan jawa,( Jogyakarta; Kepel  pres, 2008) hlm. 144
[12] M As’ad, anggoro,& virdanianty, Jurnal psikologi,Studi Eksplorasi Kepemimpinan model Jawa: Asta Brata,volume 38,no.2, Desember 2011: 228-239
[13] Wawan Susetya, Kepemimpinan Jawa, (Yogyakarta : PT. Narasi, 2007), hlm 56-63

Tidak ada komentar:

Posting Komentar