BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Masalah
Mutu pendidikan
merupakan hal yang harus diperhatikan dan diupayakan untuk dicapai, sebab
pendidikan akan menjadi sia-sia bila mutu proses dan lulusannya rendah. Lebih
parah dan menyedihkan lagi jika out put pendidikannya menambah beban masyarakat,
keluarga, dan negaranya. Masyarakat dan berbagai lembaga pendidikan Islam
berkeinginan untuk menjadikan pendidikan Islam sebagai salah satu pendidikan
alternatif. Pemikiran semacam ini memerlukan paradigma baru untuk meningkatkan
kualitan pendidikannya, diperlukan penataan program pendidikan Islam mulai dari
visi, misi, tujuan, kurikulum dan materi pembelajaran, strategi dan metode,
manajemen dan kepemimpinan yang berkualitas, dana, dan dukungan pemerintah dan
penerimaan masyarakat terhadap prodak pendidikan Islam.
Reformasi di
Indonesia seakan menjadi cahaya impian yang akan memberikan banyak perubahan
kehidupan bagi bangsa ini, khusunya pada sektor pendidikan. Akan tetapi, apa
yang terjadi kemudian, justru pendidikan di bumi Indonesia semakin menjadi
problem baru, yakni lahirnya ambiguisitas dalam wilyah pendidikan yang
terus berjalan di Indonesia. Kondisi ironis pendidikan tersebut adalah mengenai
goal setting yang ingin dicapai system pendidikan.[1]
Gambaran riil
adalah lahirnya tipe mechanic student di mana setiap peserta didik sudah
diposisikan pada orientasi pasar sehingga pendidikan bukan lagi berbasis
keilmuan dan kebutuhan bakat peserta didik. Selain itu, munculnya mitologi
ruang pendidikan yang dikukuhkan dengan ritual pendidikan. Artinya, anak bangsa
dihadapkan pada ritual kompetisi, pemilihan sekolah favorit, penyuguhan uang
“persembahan”, pemakaian seragam baru, pembelian “ramuan-ramuan” buku-buku
paket baru, dan segudang ritual lain. Muncul, ambiguisitas kebijakan pemerintah
yang sebenarnya sebagai pengelola potensi anak bangsa, namun pemerintah justru
menjadi penjaga mitos pendidikan. Pemerintah dengan sangat percaya diri memilih
posisi lebih berpihak pada kelangan elite, maka muncul adigium lelang
pendidikan.[2]
Pendidikan
Islam juga dihadapkan dan terperangkap pada persoalan yang sama, bahkan apabila
diamati dan kemudian disimpulkan pendidikan Islam terkukung dalam kemunduran,
keterbelakangan, ketidak berdayaan, dan kemiskinan, sebagaimana pula yang
dialami oleh sebagian besar negara dan masyarakat Islam dibandingkan dengan
mereka yang non Islam. Katakan saja, pendidikan Islam terjebak dalam lingkaran
yang tak kunjung selesai yaitu persoalan tuntutan kualitas, relevansi dengan kebutuhan,
perubahan zaman, dan bahkan pendidikan apabila diberi “embel-embel Islam”,
dianggap berkonotasi kemunduran dan keterbelakangan, meskipun sekarang secara
berangsur-angsur banyak diantara lembaga pendidikan Islam yang telah
menunjukkan kemajuan.[3]
Tetapi
pendidikan Islam dipandang selalu berada pada posisi deretan kedua atau posisi
marginal dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia. Dalam Undang- Undang
sistem pendidikan nasional menyebutkan pendidikan Islam merupakan sub-sistem
pendidikan nasional. Jadi sistem pendidikan itu satu yaitu memanusiakan
manusia, tetapi pendidikan memiliki banyak wajah, sifat, jenis dan jenjang pendidikan
keluarga, sekolah, masyarakat, pondok pesantren, madrasah, program diploma, sekolah
tinggi, institusi, universitas, dsb], dan hakekat pendidikan adalah
mengembangkan harkat dan martabat manusia, memanusiakan manusia agar
benar-benar mampu menjadi khalifah.[4]
Diantara
cita-cita bangsa Indonesia di era reformasi adalah ingin membangun suatu
masyarakat madani ala Indonesia yang disepadankan dengan civil society, upaya
untuk mewujudkan cita-cita tersebut pendidikan Islam diasumsikan mempunyai
peran strategi dengan membangun sistem pendidikan yang mampu mengembang sumber
daya manusia berkualitas yang dilandasi dengan nilai-nilai illahiyah,
insyaniyah, masyarakat, lingkungan dan berbudaya. Berbagai strategi yang harus
ditempuh didalam pendidikan Islam, ini akan ditemukan pokok-pokok pikiran
pembaharuan pendidikan Islam yang dapat mengantarkan dalam membangun masyarakat
madani Indonesia tersebut.[5]
B.
Rumusan
Masalah.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis menyimpulkan
dalam rumusan masalah antara lain sebagai berikut :
1. Apa Pengertian
Lembaga Pendidikan Islam ?
2. Apa saja yang merupakan
lembaga Pendidikan Islam ?
3. Bagaimana Strategi Alternatif Pengembangan Lembaga Pendidikan Islam
?
C.
Tujuan
Pembahasan.
1.
Mengetahui pengertian lembaga Pendidikan Islam
2.
Mengetahui Lembaga – lembaga Pendidikan Islam
3.
Mengetahui
strategi alternatif pengembangan lembaga Pendidikan Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Lembaga Pendidikan Islam
Lembaga menurut kamus besar bahasa Indonesia
adalah bakal dari sesuatu, asal mula yang akan menjadi sesuatu, bakal, bentuk,
wujud, rupa, acuan, ikatan, badan atau organisasi yang mempunyai tujuan jelas
terutama dalam bidang keilmuan.
Menurut ensiklopedi Indonesia, lembaga
pendidikan yaitu suatu wadah pendidikan yang dikelola demi mencapai hasil
pendidikan yang diinginkan.
Badan pendidikan sesungguhnya termasuk pula
dalam alat-alat pendidikan, jadi badan/ lembaga pendidikan yaitu organisasi
atau kelompok manusia yang karena sesuatu dan lain hal memikul tanggung jawab
atas terlaksananya pendidikan agar proses pendidikan dapat berjalan dengan
wajar.
Secara terminology lembaga pendidikan Islam
adalah suatu wadah, atau tempat berlangsungnya proses pendidikan Islam, lembaga
pendidikan itu mengandung konkirit berupa sarana dan prasarana dan juga
pengertian yang abstrak, dengan adanya norma- norma dan peraturan- peraturan
tertentu, serta penanggung jawab pendidikan itu sendiri.
B.
Kelembagaan Pendidikan Islam
1.
Pengertian dan Bentuk-bentuk Lembaga Pendidikan
Islam
Pendidikan Islam termasuk masalah sosial,
sehingga dalam kelembagaannya tidak lepas dari lembaga- lembaga sosial yang
ada. Lembaga disebut juga institusi atau pranata, sedangkan lembaga sosial
adalah suatu bentuk organisasi yang tersusun relative tetap atas pola- pola
tingkat lalu, peranan- peranan dan relasi- relasi yang terarah dalam mengikat
individu yang mempunyai otoritas formal dan sanksi hukum, guna tercapainya
kebutuhan- kebutuhan sosial dasar.
Secara konsep, lembaga Pendidikan Islam
tersebut terdiri atas tiga bagian, yaitu :[6]
a.
Masjid sebagai Lembaga Pendidikan Islam.
Secara harfiah mesjid adalah “tempat untuk
bersujud”, namun dalam arti terminologi, mesjid diartikan sebagai tempat khusus
untuk melakukan aktifitas ibadah dalam arti yang luas.
Pendidikan
Islam tingkat pemula lebih baik dilakukan dimesjid sebagai lembaga pengembangan
pendidikan keluarga, sementara itu dibutuhkan suatu lingkaran (lembaga) dan
ditumbuhkannya.
Al-Abdi dalam bukunya Al- Madkhal menyatakan
bahwa mesjid merupakan tempat terbaik untuk kegiatan pendidikan. Dengan
menjadikan lembaga pendidikan dalam mesjid, akan terlihat hidupnya sunah-sunah
Islam, menghilangnya bid’ah-bid’ah, mengembangnya hukum-hukum Tuhan, serta
menghilangnya stratifikasi rasa dan status ekonomi dalam pendidikan.
Oleh karena itu, mesjid merupakan lembaga kedua
setelah pendidikan keluarga. Implikasi mesjid sebagai lembaga pendidikan Islam
adalah :[7]
1.
Mendidik anak untuk tetap beribadah kepada
allah swt.
2.
Menanamkan rasa cinta kepada ilmu pengetahuan
dan menanamkan solidaritas sosial, serta menyadarkan hak-hak dan
kewajiban-kewajibannya sebagai insan pribadi, sosial dan warga negara.
3.
Memberikan rasa ketenteraman, kekuatan dan
kemakmuran potensi-potensi rohani manusia melalui pendidikan kesabaran,
keberanian kesadaran, perenungan, optimisme dan mengadakan penelitian.
b.
Pondok Pesantren Lembaga Pendidikan Islam.
Kehadiran kerajaan Bani Umaiyah menjadikan
pesatnya ilmu pengetahuan, sehingga anak-anak masyarakat Islam tidak hanya
belajar di mesjid tetapi juga pada lembaga-lembaga yang ketiga, yaitu “Kuttab”
(pondok pesantren). Kuttab ini dengan karakteristik khasnya merupakan wahana
dan lembaga pendidikan Islam yang semula sebagai lembaga baca dan tulis dengan
sistem halaqoh.
Pada tahap berikutnya Kuttab mengalami
perkembangan pesat , karena di dukung dana dari iuran pendidikan dari
masyarakat, serta adanya rencana-rencana yang harus dipatuhi oleh pendidik dan
anak didik.
Di Indonesia istilah Kuttub lebih dikenal
dengan istilah pondok pesantren yaitu suatu lembaga pendidikan Islam yang
didalamnya terdapat seorang Kiai (pendidik) yang mengajar dan mendidik para santri
(anak didik) dengan sarana mesjid yang digunakan untuk menyelenggarakan
pendidikan tersebut, serta didukung adanya pondok sebagai tempat tinggal para
santri. Dengan demikian, ciri-ciri pondok pesantren adalah adanya Kiai, santri,
mesjid dan pondok.
Tujuan terbentuknya pondok pesantren adalah :[8]
Tujuan Umum
Membimbing anak didik untuk menjadi manusia
yang berkepribadian Islam yang dengan ilmu agamanya ia sanggup menjadi mubaligh
Islam dalam masyarakat melalui ilmu dan amalnya.
Tujuan Khusus
Mempersiapkan para santri untuk menjadi orang
alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh kiai yang bersangkutan serta
mengamalkannya dalam masyarakat. Sebagai lembaga yang tertua, sejarah
perkembangan pondok pesantren memiliki model-model pengajaran yang bersifat
nonklasikal, yaitu model sistem pendidikan dengan metode pengajaran wetonan dan
sorogan. Di Jawa Barat, metode tersebut diistilahkan dengan “bendungan”
sedangkan disumatra digunakan istilah “halaqoh”.
Metode Wetonan (Halaqoh)
Metode yang di dalamnya terdapat seorang kiai
yang membaca suatu kitab dalam waktu tertentu, sedangkan santrinya membawa
kitab yang sama lalu santri mendengar dan menyimak bacaan kiai. Metode ini
dapat dikatakakan sebagai proses belajar mengaji secara kolektif.
Metode Sorogan
Metode yang santrinya cukup pandai
men-sorog-kan (mengajukan) sebuah kitab kepada kiai untuk dibaca dihadapannya,
kesalahan dalam bacaannya itu langsung dibenarkan oleh kiai. Metode ini dapat
dikatakan sebagai proses belajar mengajar individual.
c.
Madrasah sebagai Lembaga Pendidikan Islam.
Madrasah
sebagai lembaga pendidikan Islam muncul dari penduduk “Nisapur” tetapi
tersiarnya melalui menteri Saljuqi yang bernama “Nizam Am-Mulk” yang mendirikan
madrasah Nizomiyah (th 1065). Selanjutnya Gibb dan Krames menuturkan bahwa
pendiri madrasah terbesar setelah Nizam Al-Mulk adalah Shalahuddin Al-Ayyuni.
Kehadiran
madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam setidak-tidaknya mempunyai empat
latar belakang, yaitu :[9]
1.
Sebagai manifestasi dan realisasi pembaharuan
sistem pendidikan Islam.
2.
Usaha penyempurnaan terhadap sistem pesantren
kearah suatu sistem pendidikan yang lebih memungkinkan lulusannya memperoleh
kesempatan yang sama dengan sekolah umum.
3.
Adanya sikap mental pada sementara golongan
umat Islam, khususnya santri yang terpukau pada barat sebagai sistem pendidikan
mereka.
4.
Sebagai upaya untuk menjembatani antara sistem
pendidikan tradisional yang dilakukan oleh pesantren disistem pendidikan modern
dari hasil akulturasi.
2.
Tantangan Lembaga Pendidikan Islam
Bentuk-bentuk tantangan yang dihadapi dalam
pendidikan Islam adalah :[10]
a.
Politik
Kehidupan politik khususnya politik negara
banyak berkaitan dengan masalah cara negara itu membimbing, mengarahkan dan
mengembangkan kehidupan bangsa jangka panjang. Suatu lembaga pendidikan yang
tidak bersedia mengikuti politik negara, akan mendapatkan tekanan (presure)
terhadap cita-cita kelembagaan dari politik tersebut.
b.
Kebudayaan
Suatu perkembangan kebudayaan dalam abad modern
saat ini tidak dapat terhindar dari pengaruh kebudayaan bangsa lain. Kondisi
semacam ini menyebabkan proses akulturasi, yaitu faktor nilai yang
mendasari kebudayaannya sendiri sangat menentukan keeksistensian
kebudayaan tersebut. Dalam menghadapi hal yang tidak diinginkan, dibutuhkan
sikap kreatif dan wawasan pengetahuan yang dapat menjangkau masa depan bagi
eksistensi kebudayaan dan kehidupannya.
c.
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Teknologi sebagai ilmu terapan merupakan hasil
kemajuan kebudayaan manusia, yang banyak bergantung pada manusia yang menggunakannya,
dan lembaga pendidikan kita dituntut agar mampu mendasari teknologi tersebut
dengan norma-norma agama sehingga hasil teknologi manusia berdampak positif
bagi kehidupan.
d.
Ekonomi
Ekonomi merupakan tolak punggung kehidupan
bangsa yang dapat menentukan maju mundurnya suatu proses pembudayaan bangsa.
Perkembangan ekonomi banyak diwarnai oleh sistem pendidikan, demikian
sebaliknya. Di sini pendidik dituntut untuk memenuhi kebutuhan ekonomi
masyarakat, sehingga diadakan “ekonomi penddikan” sebagai perencanaan
pendidikan dalam sektor ekonomi.
e.
Masyarakat dan Perubahan Sosial
Perubahan yang terjadi dalam sistem kehidupan
sosial sering kali mengalami ketidakpastian tujuan serta tak terarah tujuan
yang disepakati. Di sinilah pendidik sebagai pengarah yang rasional dan
konstruktif, sehingga problem-problem sosial dapat dipecahkan mengingat lembaga
pendidikan Islam sebagai lembaga kemasyarakatan yang berfungsi sebagai “agen
sosial of change”.
f.
Sistem Nilai
Sistem nilai dijadikan tolak ukur bagi tingkah
laku manusia dalam masyarakat yang mengandung potensi pengendali, namun
sekarang perubahan itu menghilangkan nilai tradisi yang ada, lembaga pendidikan
di sini sangat diperlukan karena salah satu fungsi lembaga pendidikan yaitu
mengawetkan sistem nilai yang telah dikembangkan oleh masyarakat.
C.
Strategi
Alternatif Pengembangan Lembaga Pendidikan Islam
1) Model sekolah / lembaga Pendidikan Islam yang dibangun dengan
format yang ideal.
Boleh jadi ada satu sekolah yang memiliki satu atau dua keunggulan,
sementara sekolah lain memiliki keunggulan pada aspek lainnya. Sekolah-sekolah
model inilah yang kemudian dapat dijadikan contoh yang dapat ditiru oleh
sekolah-sekolah Islam lainnya. Setidaknya kita berharap akan menemukan lembaga
pendidikan Islam yang memiliki karakteristik sebagai berikut :[11]
a.
Mengusung nilai dan pesan Islam sebagai ruh dalam setiap kegiatan
sekolah. Seluruh dimensi kegiatan sekolah senantiasa bernafaskan semangat nilai
dan pesan-pesan Islam. Adab dan etika pergaulan seluruh waga sekolah dan
lingkungannya, tata tertib dan aturan, penataan lingkungan, pemfungsian mesjid,
aktivitas belajar mengajar, berbagai kegiatan sekolah baik reguler ataupun non
reguler semuanya mencerminkan realisasi dari ajaran Islam.
b.
Mengintegrasikan nilai kauniyah dan qauliyah dalam bangunan
kurikulum. Seluruh bidang ajar dalam bangunan kurikulum dikembangkan melalui
perpaduan nilai-nilai Islam yang terkandung dalam Al Qur’an dan asSunnah dengan
nilai-nilai ilmu pengetahuan umum yang diajarkan. Artinya, ketika guru hendak
mengajarkan ilmu pengetahuan umum semestinya ilmu pengetahuan tersebut sudah
dikemas dengan perspektif bagaimana AlQur’an/AsSunnah membahasnya. Dengan
demikian tidak ada lagi ambivalensi ataupun dikotomi ilmu.
c.
Menerapkan dan mengembangkan metode pembelajaran untuk mencapai
optimalisasi proses belajar mengajar. Pendekatan pembelajaran mengacu kepada
prinsip-prinsip belajar, azas-azas psikologi pendidikan serta perkembangan
kemajuan teknologi instruksional. Menggunakan kemampuan dan keterampilan
berfikir yang kaya seperti: berfikir kritis, kreatif, analitis, induktif,
deduktif, problem solving melalui berbagai macam pendekatan pembelajaran.
Penggunaan sumber, media dan peraga dalam kegiatan belajar merupakan bagian
dari upaya memunculkan suasana belajar yang stimulatif, motivatif dan
fasilitatif. Pembelajaran harus lebih diarahkan pada pada proses learning yang
produktif, ketimbang proses teaching. Peserta didik diarahkan dan
difasililitasi untuk mampu mendaya-gunakan kemampuannya sebagai pembelajar yang
terampil dan produktif.
d.
Mengedepankan qudwah hasanah dalam membentuk karakter peserta
didik. Seluruh tenaga kependidikan (baik guru maupun karyawan sekolah) mesti
menjadi figure contoh bagi peserta didik. Keteladan akan sangat berpangaruh
terhadap hasil belajar. Dan kualitas hasil belajar sangat dipengaruhi kualitas
keteladanan yang ditunjukkan oleh tenaga kependidikan.
e.
Menumbuhkan biah solihah dalam iklim dan lingkungan sekolah:
Lingkungan sekolah harus marak dan ramai dengan segala kegiatan dan perilaku
yang terpuji seperti: terbiasa dengan menghidupkan ibadah dan sunnah, menebar
salam, saling hormat-menghormati dan menyayangi dan melindungi, bersih dan
rapih. Di sisi lain lingkungan sekolah juga harus terbebas dari segala perilaku
yang tercela seperti umpatan, makian, kata-kata yang kotor dan kasar, iri,
hasad dan dengki, konflik berkepanjangan, kotor dan berantakan, egois, ghibah.
f.
Melibatkan peran serta orangtua dan masyarakat dalam mendukung
tercapainya tujuan pendidikan. Ada kerjasama yang sistematis dan efektif antara
guru dan orangtua dalam mengembangkan dan memperkaya kegiatan pendidikan dalam
berbagai aneka program. Guru dan orangtua saling bahu-membahu dalam memajukan
kualitas sekolah. Orangtua harus ikut secara aktif memberikan dorongan dan
bantuan baik secara individual kepada putera-puterinya maupun kesertaan mereka
terlibat di dalam sekolah dalam serangkaian program yang sistematis. Keterlibatan
orangtua memberikan pengaruh yang sangat signifikan dalam meningkatkan
performance sekolah.
g.
Menjamin seluruh proses kegiatan sekolah untuk selalu berorientasi
pada mutu. Ada system manajemen mutu terpadu yang mampu menjamin kepastian
kualitas penyelenggaraan sekolah. Sistem dibangun berdasarkan standar mutu yang
dikenal, diterima dan diakui oleh masyarakat.
2) Memperkaya Kurikulum PAI.
a. Pelajaran Agama Islam bukan semata mempelajari materi-materi Islam
dalam konteksnya sebagai ’ulum syar’iyah (Fiqh, Ibadah, Akhlaq, Aqidah),
melainkan diposisikan sebagai pelajaran agama yang memberikan kerangka
pengetahuan, sikap dan perilaku yang sangat relevan dan dibutuhkan dalam
konteks kehidupan masa kini. PAI berwawasan perjuangan berarti menegaskan
pentingnya semangat juang yang tinggi untuk membela kebenaran, keadilan,
kezhaliman, kemunkaran sebagaimana yang banyak dipesankan oleh AlQur’anul
Karim. PAI berwawasan kebangsaan berarti, di dalamnya juga terkandung muatan
nilai-nilai cinta dan bela tanah air, selalu peduli akan kejayaan dan
kemakmuran bangsa dan negara. PAI berwawasan global berarti menjadikan Islam
agama yang mampu memberikan perspektif, arahan dan bekalan dalam kehidupan
global yang sangat syarat dengan kemajuan sains dan teknologi yang berimplikasi
luas bagi kehidupan antar manusia (mu’amalah). PAI berwawasan iptek berarti
memberi kerangka yang tepat bagi pengembangan dan penggunaan iptek untuk
kemaslahatan kehidupan (wasailul hayah), yang implikasinya adalah PAI yang
seimbang antara aspek fikr dan dzikr; memicu dan memacu peserta didik, untuk
berfikir keras dan mendalam tentang alam. PAI berwawasan demokratis menekankan
kepada inti dari demokrasi itu sendiri yaitu: penghargaan dan penghormatan
terhadap nilai-nilai kemanusiaan, yang sungguh sangat dijamin dalam ajaran
Islam. PAI berwawasan pluralis berarti menjelaskan bahwa Islam menerima
(toleran) terhadap berbagai keragaman etnis, budaya, bangsa dan agama sebagai
suatu realita kehidupan, tanpa mengorbankan prinsip-prinsip aqidah yang sudah
jelas, tegas dan final (qoth’i).
Percepatan
kemajuan lembaga pendidikan Islam sangat ditentukan oleh kemampuan mereka dalam
membangun kerjasama. Diperlukan networking yang efektif yang dapat memainkan
peranan dalam:[14]
a.
Meningkatkan mutu dan intensitas komunikasi virtual sehingga
terjadi sharing (berbagi): masalah, penglaman, infromasi, sumber (resources),
kerjasama melalui media milis, website, sms.
b.
Menggalakkan kerjasama peningkatan mutu penyelenggaraan antar
jaringan sekolah pada regional/wilayah terjangkau sehingga terjadi percepatan
pertumbuhan dan perkembangan mutu sekolah. Contoh: - kelompok kerja profesional
(kepala sekolah, guru bidang studi, wali kelas, kepala tata usaha)
c.
Menggalakkan kompetisi yang sehat (fastabiqul khoyrot) untuk memacu
dan memicu motivasi berkarya, mengembangkan inovasi dan prestasi melalui
serangkaian lomba: olimpiade mata pelajaran,
d.
Menggalakkan kompetisi yang sehat (fastabiqul khoyrot) untuk memacu
dan memicu motivasi berkarya, mengembangkan inovasi dan prestasi melalui
serangkaian lomba: olimpiade mata pelajaran, karya kreasi guru, sekolah asri,
dsb.
e.
Menyelenggarakan
kegiatan siswa bersama: jambore, ekshibisi, study tour, pertukaran siswa
Mendekatkan
dunia pendidikan Islam dengan dunia nyata dan kongkrit merupakan salah satu
upaya yang sangat berarti. Dengan jalinan kerjasama dan kemitraan yang efektif
kepada industri, institusi atau lembaga-lembaga iptek, budaya ataupun lembaga
ekonomi, bahkan instansi militer akan memperkaya dan memperluas sumber belajar.
Jalinan kemitraan ini akan menutupi banyak kelemahan dan kekurangan sumber daya
yang dimiliki lembaga pendidikan Islam. Pendidikan sains akan sangat efektif
ketika peserta didik mendapatkan pengalaman nyata dan langsung di pusat-pusat
penelitian dan pengembangan seperti LIPI, BPPT, Puspiptek Serpong. Wawasan HAM,
Demokrasi ataupun Politik dapat dipelajari langsung di lembaga-lembaga Negara,
partai politik, LSM dan sebagainya. Demikian pula pada upaya peningkatan mutu
pembelajaran social, ekonomi, budaya, hukum bahkan agama dapat diperkaya dengan
pendekatan “experience learning” ke sentra-sentra kegiatan nyata di
tengah-tengah masyarakat.
Guru adalah tulang punggung pendidikan. Oleh karenanya, mutu guru
harus mendapatkan kepastian dan jaminan akan kompetensi profesionalnya.
Membangun pusat-pusat pelatihan dan pengembangan mutu guru sangat membantu
menyediakan tenaga-tenaga kependidikan yang handal. Selain itu, dengan adanya
pusat-pusat pengembangan mutu guru akan memfasilitasi terjadinya tukar
pengalaman dan salimng share berbagai ide dan gagasan.
Menjadikan sekolah kelas dunia (world class school) sebagai patokan
adalah upaya untuk mengangkat lembaga pendidikan Islam agar selalu “gaul” dan
mengikuti perkembangan mutu sekolah berskala international. Dengan tetap
menajga jati diri agama dan bangsa, pada beberapa karakteristik yang sifatnya
universal, lembaga pendidikan Islam patut merujuk kepada criteria/karaktersitik
sekolah-sekolah unggul di berbagai belahan dunia. Kriteria sekolah efektif
menurut hasil analisis yang dilakukan oleh the Connecticut School Effectiveness
Project, sebagai berikut :
a.
Lingkungan yang asri, nyaman dan aman yang memunculkan suasana
kondusif bagi kegiatan belajar mengajar
b.
Misi sekolah yang jelas dengan komitmen kepada tujuan
instruksional, prioritas, prosedur assessment dan akuntabilitas.
c.
Kepemimpinan instruksional di bawah arahan kepala sekolah yang
memahami dan menerapkan berdasarkan karakteristik efektifitas instruksional.
d.
Adanya Iklim dimana seluruh staf guru mengharapkan dengan sangat
(“high expectation”) akan tuntasnya pencapaian basic skill oleh para murid.
e.
Motivasi mengajar yang tinggi yang dibarengi dengan adanya harapan
yang tinggi dari seluruh staf pengajar akan terbentuknya basic skill di
kalangan seluruh murid.
f.
Tenaga kependidikan yang “high time on task”: selalu berorientasi
kepada penyelesaian tugas, terampil dalam mengelola waktu secara efektif.
g.
Supervisi yang efektif kepada seluruh pengajar: upaya memberikan
bimbingan, feedback (umpan balik) serta dukungan kepada staf pengajar.
h.
Pemantauan yang berkelanjutan terhadap kemajuan prestasi murid,
menggunakan hasil belajar murid untuk program pengembangan individual maupun
perbaikan program instruksional, serta melakukan proses penilaian yang
sistematis.
i.
Hubungan sekolah dan rumah yang positif dimana orangtua memberikan
dukungan yang bermakna dan memainkan peranan penting dalam upaya pencapaian
misi utama sekolah.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kebangkitan dan kejayaan suatu kaum tidak akan pernah sukses kalau
sendi dan pilar pendidikannya rapuh. Menjayakan sekolah merupakan suatu
keniscayaan (compulsary) yang tidak terbantahkan baik ditinjau dari aspek
logis, idealis, filosofis ataupun historis. Sekolah Islam seharusnya memainkan
peranan yang penting dalam memajukan mutu pendidikan, baik untuk dirinya maupun
dalam konteks pendidikan nasional. Kebangkitan sekolah Islam bersendikan kepada
pengembangan model sekolah yang mengacu kepada azas-azas pendidikan sebagaimana
diisyaratkan dalam Al Qur’an dan As Sunnah, dan diinspirasi oleh temuan-temuan
riset pendidikan dan pengalaman sekolah-sekolah modern kelas dunia.
Lembaga pendidikan Islam mempunyai
tantangan-tantangan yang harus dihadapi, yaitu dalam bidang Politik,
Kebudayaan, Iptek, Ekonomi, Masyarakat dan Perubahan Sosial, serta Sistem
Nilai, dan semua itu harus dinetralisir agar dapat jalan beriringan dan saling
mendukung di antara keduanya.
Setidaknya, di kalangan masyarakat, upaya peningkatan mutu sekolah
Islam mulai bergerak. Beberapa pihak mulai menyadari pentingnya membangun
sekolah/lembaga Islam yang berwawasan visioner dan global. Demikian pula
komunikasi jaringan antar sekolah-sekolah Islam mulai marak di 5 tahun
terakhir. Upaya-upaya yang ada, meskipun belum membuahkan hasil yang optimal,
paling tidak ada kesadaran kolektif akan pentingnya membangun pendidikan Islam
yang bermutu, guna menyiapkan generasi yang beriman, bertaqwa, cerdas dan
terampil.
Daftar Rujukan
Arikunto, Suharsimi, 2008, Swot
dan Desain Kurikulum Pendidikan Islam MSI UII, Makalah, Disampaikan dalam
Workshop Kurikulum Ekonomi Islam dan Pendidikan Islam Program.
Azra, Azyumardi, 2002, Paradigma
Baru Pendidikan Nasional, Rekonstruksi dan Demokratisasi, Penerbit Buku
Kompas, Jakarta.
Aziz Abdul, [Direktur Madrasah dan
Pendidikan Agama pada Sekolah Umum Kementerian Agama], 2005 Perlu Peraturan
Pemerintah tentang Desentralisasi Madrasah, Kompas, Jakarta,
Baharuddin, Ahmad, 2007, Pendidikan
Alternatif Qaryah Thayyibah, LKiS, Yogyakarta.
Dahriman, Ciput MSA M, dan Mahfudh
Djunaidi, 2007 Berlaku Adil terhadap Madrasah,
Ma’arif, Syamsul, 2007, Revitalisasi
Pendidikan Islam, Graha Ilmu, Yogyakarta.
Tim
Prima Pena, tth. Kamus Besar Bahasa Indonesia, ttp : Gita Media Press.
Van
Hoeve,tth.Ensiklopedi Inonesia, Jakarta : PT. Ikhtiar Baru, cet. Ke VI.
Drs.
Ahmad D. Marimba, 1962. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung :
PT. Al-Ma’arif. cet. Ke I.
Prof.Drs.
H. Ramaijulis, 2002. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, cet.
Ke VI.
Drs.Muhaimin,
MA. –Drs. Abd.Mujib, 1993.Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung : PT.
Trigenda Karya, cet. Ke I
[1] Kependidikan
Islam, Vol.1. No.2, Agustus 2003-Januari 2004
[2] Ahmad
Baharuddin, Managemen Pendidikan 2007 : 7
[3] (Soeroyo,
1991: 77)
[4] Mastuhu, 2003,
Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21
[5]
Hujair AH. Sanaky "Paradigma
Pendidikan Islam 2001 Jakarta
[6] Tim Prima
Pena, tth. Kamus Besar Bahasa Indonesia, ttp : Gita Media Press.
[7] Drs. Ahmad D.
Marimba, 1962. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung : PT.
Al-Ma’arif. cet. Ke I
[8] Drs.Muhaimin,
MA. –Drs. Abd.Mujib, 1993.Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung : PT.
Trigenda Karya, cet. Ke I
[9] Prof.Drs. H.
Ramaijulis, 2002. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, cet. Ke
VI.
[10] Van Hoeve,tth.Ensiklopedi
Inonesia, Jakarta : PT. Ikhtiar Baru, cet. Ke VI.
[11] Azra,
Azyumardi, 2002, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Rekonstruksi dan
Demokratisasi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta
[12] Arikunto,
Suharsimi, 2008, Swot dan Desain Kurikulum Pendidikan Islam MSI UII,
[13] Dahriman,
Ciput MSA M, dan Mahfudh Djunaidi, 2007 Berlaku Adil terhadap Madrasah
[14] Arikunto,
Suharsimi, 2008, Swot dan Desain Kurikulum Pendidikan Islam MSI UII,
[15] Dahriman, Ciput
MSA M, dan Mahfudh Djunaidi, 2007 Berlaku Adil terhadap Madrasah
[16] Dahriman,
Ciput MSA M, dan Mahfudh Djunaidi, 2007 Berlaku Adil terhadap Madrasah
[17] Arikunto,
Suharsimi, 2008, Swot dan Desain Kurikulum Pendidikan Islam MSI UII,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar