Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Sabtu, 19 November 2016

MAKALAH STRATEGI ALTERNATIF PENGEMBANGAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang Masalah
Mutu pendidikan merupakan hal yang harus diperhatikan dan diupayakan untuk dicapai, sebab pendidikan akan menjadi sia-sia bila mutu proses dan lulusannya rendah. Lebih parah dan menyedihkan lagi jika out put pendidikannya menambah beban masyarakat, keluarga, dan negaranya. Masyarakat dan berbagai lembaga pendidikan Islam berkeinginan untuk menjadikan pendidikan Islam sebagai salah satu pendidikan alternatif. Pemikiran semacam ini memerlukan paradigma baru untuk meningkatkan kualitan pendidikannya, diperlukan penataan program pendidikan Islam mulai dari visi, misi, tujuan, kurikulum dan materi pembelajaran, strategi dan metode, manajemen dan kepemimpinan yang berkualitas, dana, dan dukungan pemerintah dan penerimaan masyarakat terhadap prodak pendidikan Islam.
Reformasi di Indonesia seakan menjadi cahaya impian yang akan memberikan banyak perubahan kehidupan bagi bangsa ini, khusunya pada sektor pendidikan. Akan tetapi, apa yang terjadi kemudian, justru pendidikan di bumi Indonesia semakin menjadi problem baru, yakni lahirnya ambiguisitas dalam wilyah pendidikan yang terus berjalan di Indonesia. Kondisi ironis pendidikan tersebut adalah mengenai goal setting yang ingin dicapai system pendidikan.[1]
Gambaran riil adalah lahirnya tipe mechanic student di mana setiap peserta didik sudah diposisikan pada orientasi pasar sehingga pendidikan bukan lagi berbasis keilmuan dan kebutuhan bakat peserta didik. Selain itu, munculnya mitologi ruang pendidikan yang dikukuhkan dengan ritual pendidikan. Artinya, anak bangsa dihadapkan pada ritual kompetisi, pemilihan sekolah favorit, penyuguhan uang “persembahan”, pemakaian seragam baru, pembelian “ramuan-ramuan” buku-buku paket baru, dan segudang ritual lain. Muncul, ambiguisitas kebijakan pemerintah yang sebenarnya sebagai pengelola potensi anak bangsa, namun pemerintah justru menjadi penjaga mitos pendidikan. Pemerintah dengan sangat percaya diri memilih posisi lebih berpihak pada kelangan elite, maka muncul adigium lelang pendidikan.[2]
Pendidikan Islam juga dihadapkan dan terperangkap pada persoalan yang sama, bahkan apabila diamati dan kemudian disimpulkan pendidikan Islam terkukung dalam kemunduran, keterbelakangan, ketidak berdayaan, dan kemiskinan, sebagaimana pula yang dialami oleh sebagian besar negara dan masyarakat Islam dibandingkan dengan mereka yang non Islam. Katakan saja, pendidikan Islam terjebak dalam lingkaran yang tak kunjung selesai yaitu persoalan tuntutan kualitas, relevansi dengan kebutuhan, perubahan zaman, dan bahkan pendidikan apabila diberi “embel-embel Islam”, dianggap berkonotasi kemunduran dan keterbelakangan, meskipun sekarang secara berangsur-angsur banyak diantara lembaga pendidikan Islam yang telah menunjukkan kemajuan.[3]
Tetapi pendidikan Islam dipandang selalu berada pada posisi deretan kedua atau posisi marginal dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia. Dalam Undang- Undang sistem pendidikan nasional menyebutkan pendidikan Islam merupakan sub-sistem pendidikan nasional. Jadi sistem pendidikan itu satu yaitu memanusiakan manusia, tetapi pendidikan memiliki banyak wajah, sifat, jenis dan jenjang pendidikan keluarga, sekolah, masyarakat, pondok pesantren, madrasah, program diploma, sekolah tinggi, institusi, universitas, dsb], dan hakekat pendidikan adalah mengembangkan harkat dan martabat manusia, memanusiakan manusia agar benar-benar mampu menjadi khalifah.[4]
Diantara cita-cita bangsa Indonesia di era reformasi adalah ingin membangun suatu masyarakat madani ala Indonesia yang disepadankan dengan civil society, upaya untuk mewujudkan cita-cita tersebut pendidikan Islam diasumsikan mempunyai peran strategi dengan membangun sistem pendidikan yang mampu mengembang sumber daya manusia berkualitas yang dilandasi dengan nilai-nilai illahiyah, insyaniyah, masyarakat, lingkungan dan berbudaya. Berbagai strategi yang harus ditempuh didalam pendidikan Islam, ini akan ditemukan pokok-pokok pikiran pembaharuan pendidikan Islam yang dapat mengantarkan dalam membangun masyarakat madani Indonesia tersebut.[5]

B.     Rumusan Masalah.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis menyimpulkan dalam rumusan masalah antara lain sebagai berikut :
1.      Apa Pengertian Lembaga Pendidikan Islam ?
2.      Apa saja yang merupakan lembaga Pendidikan Islam ?
3.      Bagaimana Strategi Alternatif Pengembangan Lembaga Pendidikan Islam ?

C.    Tujuan Pembahasan.
1.      Mengetahui pengertian lembaga Pendidikan Islam
2.      Mengetahui Lembaga – lembaga  Pendidikan Islam
3.      Mengetahui strategi alternatif pengembangan lembaga Pendidikan Islam

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Lembaga Pendidikan Islam
Lembaga menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah bakal dari sesuatu, asal mula yang akan menjadi sesuatu, bakal, bentuk, wujud, rupa, acuan, ikatan, badan atau organisasi yang mempunyai tujuan jelas terutama dalam bidang keilmuan.
Menurut ensiklopedi Indonesia, lembaga pendidikan yaitu suatu wadah pendidikan yang dikelola demi mencapai hasil pendidikan yang diinginkan.
Badan pendidikan sesungguhnya termasuk pula dalam alat-alat pendidikan, jadi badan/ lembaga pendidikan yaitu organisasi atau kelompok manusia yang karena sesuatu dan lain hal memikul tanggung jawab atas terlaksananya pendidikan agar proses pendidikan dapat berjalan dengan wajar.
Secara terminology lembaga pendidikan Islam adalah suatu wadah, atau tempat berlangsungnya proses pendidikan Islam, lembaga pendidikan itu mengandung konkirit berupa sarana dan prasarana dan juga pengertian yang abstrak, dengan adanya norma- norma dan peraturan- peraturan tertentu, serta penanggung jawab pendidikan itu sendiri.
B.     Kelembagaan Pendidikan Islam
1.       Pengertian dan Bentuk-bentuk Lembaga Pendidikan Islam
Pendidikan Islam termasuk masalah sosial, sehingga dalam kelembagaannya tidak lepas dari lembaga- lembaga sosial yang ada. Lembaga disebut juga institusi atau pranata, sedangkan lembaga sosial adalah suatu bentuk organisasi yang tersusun relative tetap atas pola- pola tingkat lalu, peranan- peranan dan relasi- relasi yang terarah dalam mengikat individu yang mempunyai otoritas formal dan sanksi hukum, guna tercapainya kebutuhan- kebutuhan sosial dasar.
 Secara konsep, lembaga Pendidikan Islam tersebut terdiri atas tiga bagian, yaitu :[6]
a.        Masjid sebagai Lembaga Pendidikan Islam.
Secara harfiah mesjid adalah “tempat untuk bersujud”, namun dalam arti terminologi, mesjid diartikan sebagai tempat khusus untuk melakukan aktifitas ibadah dalam arti yang luas.
Pendidikan Islam tingkat pemula lebih baik dilakukan dimesjid sebagai lembaga pengembangan pendidikan keluarga, sementara itu dibutuhkan suatu lingkaran (lembaga) dan ditumbuhkannya.
Al-Abdi dalam bukunya Al- Madkhal menyatakan bahwa mesjid merupakan tempat terbaik untuk kegiatan pendidikan. Dengan menjadikan lembaga pendidikan dalam mesjid, akan terlihat hidupnya sunah-sunah Islam, menghilangnya bid’ah-bid’ah, mengembangnya hukum-hukum Tuhan, serta menghilangnya stratifikasi rasa dan status ekonomi dalam pendidikan.
Oleh karena itu, mesjid merupakan lembaga kedua setelah pendidikan keluarga. Implikasi mesjid sebagai lembaga pendidikan Islam adalah :[7]
1.      Mendidik anak untuk tetap beribadah kepada allah swt.
2.      Menanamkan rasa cinta kepada ilmu pengetahuan dan menanamkan solidaritas sosial, serta menyadarkan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya sebagai insan pribadi, sosial dan warga negara.
3.      Memberikan rasa ketenteraman, kekuatan dan kemakmuran potensi-potensi rohani manusia melalui pendidikan kesabaran, keberanian kesadaran, perenungan, optimisme dan mengadakan penelitian.


b.        Pondok Pesantren Lembaga Pendidikan Islam.
Kehadiran kerajaan Bani Umaiyah menjadikan pesatnya ilmu pengetahuan, sehingga anak-anak masyarakat Islam tidak hanya belajar di mesjid tetapi juga pada lembaga-lembaga yang ketiga, yaitu “Kuttab” (pondok pesantren). Kuttab ini dengan karakteristik khasnya merupakan wahana dan lembaga pendidikan Islam yang semula sebagai lembaga baca dan tulis dengan sistem halaqoh.
Pada tahap berikutnya Kuttab mengalami perkembangan pesat , karena di dukung dana dari iuran pendidikan dari masyarakat, serta adanya rencana-rencana yang harus dipatuhi oleh pendidik dan anak didik.
Di Indonesia istilah Kuttub lebih dikenal dengan istilah pondok pesantren yaitu suatu lembaga pendidikan Islam yang didalamnya terdapat seorang Kiai (pendidik) yang mengajar dan mendidik para santri (anak didik) dengan sarana mesjid yang digunakan untuk menyelenggarakan pendidikan tersebut, serta didukung adanya pondok sebagai tempat tinggal para santri. Dengan demikian, ciri-ciri pondok pesantren adalah adanya Kiai, santri, mesjid dan pondok.
Tujuan terbentuknya pondok pesantren adalah :[8]
Tujuan Umum
Membimbing anak didik untuk menjadi manusia yang berkepribadian Islam yang dengan ilmu agamanya ia sanggup menjadi mubaligh Islam dalam masyarakat melalui ilmu dan amalnya.
Tujuan Khusus
Mempersiapkan para santri untuk menjadi orang alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh kiai yang bersangkutan serta mengamalkannya dalam masyarakat. Sebagai lembaga yang tertua, sejarah perkembangan pondok pesantren memiliki model-model pengajaran yang bersifat nonklasikal, yaitu model sistem pendidikan dengan metode pengajaran wetonan dan sorogan. Di Jawa Barat, metode tersebut diistilahkan dengan “bendungan” sedangkan disumatra digunakan istilah “halaqoh”.
Metode Wetonan (Halaqoh)
Metode yang di dalamnya terdapat seorang kiai yang membaca suatu kitab dalam waktu tertentu, sedangkan santrinya membawa kitab yang sama lalu santri mendengar dan menyimak bacaan kiai. Metode ini dapat dikatakakan sebagai proses belajar mengaji secara kolektif.
Metode Sorogan
Metode yang santrinya cukup pandai men-sorog-kan (mengajukan) sebuah kitab kepada kiai untuk dibaca dihadapannya, kesalahan dalam bacaannya itu langsung dibenarkan oleh kiai. Metode ini dapat dikatakan sebagai proses belajar mengajar individual.
c.       Madrasah sebagai Lembaga Pendidikan Islam.
Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam muncul dari penduduk “Nisapur” tetapi tersiarnya melalui menteri Saljuqi yang bernama “Nizam Am-Mulk” yang mendirikan madrasah Nizomiyah (th 1065). Selanjutnya Gibb dan Krames menuturkan bahwa pendiri madrasah terbesar setelah Nizam Al-Mulk adalah Shalahuddin Al-Ayyuni.
Kehadiran madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam setidak-tidaknya mempunyai empat latar belakang, yaitu :[9]
1.      Sebagai manifestasi dan realisasi pembaharuan sistem pendidikan Islam.
2.      Usaha penyempurnaan terhadap sistem pesantren kearah suatu sistem pendidikan yang lebih memungkinkan lulusannya memperoleh kesempatan yang sama dengan sekolah umum.
3.      Adanya sikap mental pada sementara golongan umat Islam, khususnya santri yang terpukau pada barat sebagai sistem pendidikan mereka.
4.      Sebagai upaya untuk menjembatani antara sistem pendidikan tradisional yang dilakukan oleh pesantren disistem pendidikan modern dari hasil akulturasi.

2.      Tantangan Lembaga Pendidikan Islam
Bentuk-bentuk tantangan yang dihadapi dalam pendidikan Islam adalah :[10]
a.      Politik
Kehidupan politik khususnya politik negara banyak berkaitan dengan masalah cara negara itu membimbing, mengarahkan dan mengembangkan kehidupan bangsa jangka panjang. Suatu lembaga pendidikan yang tidak bersedia mengikuti politik negara, akan mendapatkan tekanan (presure) terhadap cita-cita kelembagaan dari politik tersebut.
b.      Kebudayaan
Suatu perkembangan kebudayaan dalam abad modern saat ini tidak dapat terhindar dari pengaruh kebudayaan bangsa lain. Kondisi semacam ini menyebabkan proses akulturasi, yaitu faktor nilai yang mendasari  kebudayaannya sendiri sangat menentukan keeksistensian kebudayaan tersebut. Dalam menghadapi hal yang tidak diinginkan, dibutuhkan sikap kreatif dan wawasan pengetahuan yang dapat menjangkau masa depan bagi eksistensi kebudayaan dan kehidupannya.
c.       Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Teknologi sebagai ilmu terapan merupakan hasil kemajuan kebudayaan manusia, yang banyak bergantung pada manusia yang menggunakannya, dan lembaga pendidikan kita dituntut agar mampu mendasari teknologi tersebut dengan norma-norma agama sehingga hasil teknologi manusia berdampak positif bagi kehidupan.
d.      Ekonomi
Ekonomi merupakan tolak punggung kehidupan bangsa yang dapat menentukan maju mundurnya suatu proses pembudayaan bangsa. Perkembangan ekonomi banyak diwarnai oleh sistem pendidikan, demikian sebaliknya. Di sini pendidik dituntut untuk memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat, sehingga diadakan “ekonomi penddikan” sebagai perencanaan pendidikan dalam sektor ekonomi.
e.      Masyarakat dan Perubahan Sosial
Perubahan yang terjadi dalam sistem kehidupan sosial sering kali mengalami ketidakpastian tujuan serta tak terarah tujuan yang disepakati. Di sinilah pendidik sebagai pengarah yang rasional dan konstruktif, sehingga problem-problem sosial dapat dipecahkan mengingat lembaga pendidikan Islam sebagai lembaga kemasyarakatan yang berfungsi sebagai “agen sosial of change”.
f.        Sistem Nilai
Sistem nilai dijadikan tolak ukur bagi tingkah laku manusia dalam masyarakat yang mengandung potensi pengendali, namun sekarang perubahan itu menghilangkan nilai tradisi yang ada, lembaga pendidikan di sini sangat diperlukan karena salah satu fungsi lembaga pendidikan yaitu mengawetkan sistem nilai yang telah dikembangkan oleh masyarakat.

C.     Strategi Alternatif Pengembangan Lembaga Pendidikan Islam
1)      Model sekolah / lembaga Pendidikan Islam yang dibangun dengan format yang ideal.
Boleh jadi ada satu sekolah yang memiliki satu atau dua keunggulan, sementara sekolah lain memiliki keunggulan pada aspek lainnya. Sekolah-sekolah model inilah yang kemudian dapat dijadikan contoh yang dapat ditiru oleh sekolah-sekolah Islam lainnya. Setidaknya kita berharap akan menemukan lembaga pendidikan Islam yang memiliki karakteristik sebagai berikut :[11]
a.       Mengusung nilai dan pesan Islam sebagai ruh dalam setiap kegiatan sekolah. Seluruh dimensi kegiatan sekolah senantiasa bernafaskan semangat nilai dan pesan-pesan Islam. Adab dan etika pergaulan seluruh waga sekolah dan lingkungannya, tata tertib dan aturan, penataan lingkungan, pemfungsian mesjid, aktivitas belajar mengajar, berbagai kegiatan sekolah baik reguler ataupun non reguler semuanya mencerminkan realisasi dari ajaran Islam.
b.      Mengintegrasikan nilai kauniyah dan qauliyah dalam bangunan kurikulum. Seluruh bidang ajar dalam bangunan kurikulum dikembangkan melalui perpaduan nilai-nilai Islam yang terkandung dalam Al Qur’an dan asSunnah dengan nilai-nilai ilmu pengetahuan umum yang diajarkan. Artinya, ketika guru hendak mengajarkan ilmu pengetahuan umum semestinya ilmu pengetahuan tersebut sudah dikemas dengan perspektif bagaimana AlQur’an/AsSunnah membahasnya. Dengan demikian tidak ada lagi ambivalensi ataupun dikotomi ilmu.
c.       Menerapkan dan mengembangkan metode pembelajaran untuk mencapai optimalisasi proses belajar mengajar. Pendekatan pembelajaran mengacu kepada prinsip-prinsip belajar, azas-azas psikologi pendidikan serta perkembangan kemajuan teknologi instruksional. Menggunakan kemampuan dan keterampilan berfikir yang kaya seperti: berfikir kritis, kreatif, analitis, induktif, deduktif, problem solving melalui berbagai macam pendekatan pembelajaran. Penggunaan sumber, media dan peraga dalam kegiatan belajar merupakan bagian dari upaya memunculkan suasana belajar yang stimulatif, motivatif dan fasilitatif. Pembelajaran harus lebih diarahkan pada pada proses learning yang produktif, ketimbang proses teaching. Peserta didik diarahkan dan difasililitasi untuk mampu mendaya-gunakan kemampuannya sebagai pembelajar yang terampil dan produktif.
d.      Mengedepankan qudwah hasanah dalam membentuk karakter peserta didik. Seluruh tenaga kependidikan (baik guru maupun karyawan sekolah) mesti menjadi figure contoh bagi peserta didik. Keteladan akan sangat berpangaruh terhadap hasil belajar. Dan kualitas hasil belajar sangat dipengaruhi kualitas keteladanan yang ditunjukkan oleh tenaga kependidikan.
e.       Menumbuhkan biah solihah dalam iklim dan lingkungan sekolah: Lingkungan sekolah harus marak dan ramai dengan segala kegiatan dan perilaku yang terpuji seperti: terbiasa dengan menghidupkan ibadah dan sunnah, menebar salam, saling hormat-menghormati dan menyayangi dan melindungi, bersih dan rapih. Di sisi lain lingkungan sekolah juga harus terbebas dari segala perilaku yang tercela seperti umpatan, makian, kata-kata yang kotor dan kasar, iri, hasad dan dengki, konflik berkepanjangan, kotor dan berantakan, egois, ghibah.
f.       Melibatkan peran serta orangtua dan masyarakat dalam mendukung tercapainya tujuan pendidikan. Ada kerjasama yang sistematis dan efektif antara guru dan orangtua dalam mengembangkan dan memperkaya kegiatan pendidikan dalam berbagai aneka program. Guru dan orangtua saling bahu-membahu dalam memajukan kualitas sekolah. Orangtua harus ikut secara aktif memberikan dorongan dan bantuan baik secara individual kepada putera-puterinya maupun kesertaan mereka terlibat di dalam sekolah dalam serangkaian program yang sistematis. Keterlibatan orangtua memberikan pengaruh yang sangat signifikan dalam meningkatkan performance sekolah.
g.      Menjamin seluruh proses kegiatan sekolah untuk selalu berorientasi pada mutu. Ada system manajemen mutu terpadu yang mampu menjamin kepastian kualitas penyelenggaraan sekolah. Sistem dibangun berdasarkan standar mutu yang dikenal, diterima dan diakui oleh masyarakat.
2)      Memperkaya Kurikulum PAI.
Berwawasan perjuangan, kebangsaan, global, iptek, demokratis, pluralis.[12]
a.       Pelajaran Agama Islam bukan semata mempelajari materi-materi Islam dalam konteksnya sebagai ’ulum syar’iyah (Fiqh, Ibadah, Akhlaq, Aqidah), melainkan diposisikan sebagai pelajaran agama yang memberikan kerangka pengetahuan, sikap dan perilaku yang sangat relevan dan dibutuhkan dalam konteks kehidupan masa kini. PAI berwawasan perjuangan berarti menegaskan pentingnya semangat juang yang tinggi untuk membela kebenaran, keadilan, kezhaliman, kemunkaran sebagaimana yang banyak dipesankan oleh AlQur’anul Karim. PAI berwawasan kebangsaan berarti, di dalamnya juga terkandung muatan nilai-nilai cinta dan bela tanah air, selalu peduli akan kejayaan dan kemakmuran bangsa dan negara. PAI berwawasan global berarti menjadikan Islam agama yang mampu memberikan perspektif, arahan dan bekalan dalam kehidupan global yang sangat syarat dengan kemajuan sains dan teknologi yang berimplikasi luas bagi kehidupan antar manusia (mu’amalah). PAI berwawasan iptek berarti memberi kerangka yang tepat bagi pengembangan dan penggunaan iptek untuk kemaslahatan kehidupan (wasailul hayah), yang implikasinya adalah PAI yang seimbang antara aspek fikr dan dzikr; memicu dan memacu peserta didik, untuk berfikir keras dan mendalam tentang alam. PAI berwawasan demokratis menekankan kepada inti dari demokrasi itu sendiri yaitu: penghargaan dan penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, yang sungguh sangat dijamin dalam ajaran Islam. PAI berwawasan pluralis berarti menjelaskan bahwa Islam menerima (toleran) terhadap berbagai keragaman etnis, budaya, bangsa dan agama sebagai suatu realita kehidupan, tanpa mengorbankan prinsip-prinsip aqidah yang sudah jelas, tegas dan final (qoth’i).
3)      Membangun Jaringan Lokal dan Global Lembaga pendidikan Islam.[13]
Percepatan kemajuan lembaga pendidikan Islam sangat ditentukan oleh kemampuan mereka dalam membangun kerjasama. Diperlukan networking yang efektif yang dapat memainkan peranan dalam:[14]
a.       Meningkatkan mutu dan intensitas komunikasi virtual sehingga terjadi sharing (berbagi): masalah, penglaman, infromasi, sumber (resources), kerjasama melalui media milis, website, sms.
b.      Menggalakkan kerjasama peningkatan mutu penyelenggaraan antar jaringan sekolah pada regional/wilayah terjangkau sehingga terjadi percepatan pertumbuhan dan perkembangan mutu sekolah. Contoh: - kelompok kerja profesional (kepala sekolah, guru bidang studi, wali kelas, kepala tata usaha)
c.       Menggalakkan kompetisi yang sehat (fastabiqul khoyrot) untuk memacu dan memicu motivasi berkarya, mengembangkan inovasi dan prestasi melalui serangkaian lomba: olimpiade mata pelajaran,
d.      Menggalakkan kompetisi yang sehat (fastabiqul khoyrot) untuk memacu dan memicu motivasi berkarya, mengembangkan inovasi dan prestasi melalui serangkaian lomba: olimpiade mata pelajaran, karya kreasi guru, sekolah asri, dsb.
e.       Menyelenggarakan kegiatan siswa bersama: jambore, ekshibisi, study tour, pertukaran siswa
4)      Menjalin kemitraan dengan industri, Institusi dan pusat-pusat iptek, budaya dan ekonomi.[15]
Mendekatkan dunia pendidikan Islam dengan dunia nyata dan kongkrit merupakan salah satu upaya yang sangat berarti. Dengan jalinan kerjasama dan kemitraan yang efektif kepada industri, institusi atau lembaga-lembaga iptek, budaya ataupun lembaga ekonomi, bahkan instansi militer akan memperkaya dan memperluas sumber belajar. Jalinan kemitraan ini akan menutupi banyak kelemahan dan kekurangan sumber daya yang dimiliki lembaga pendidikan Islam. Pendidikan sains akan sangat efektif ketika peserta didik mendapatkan pengalaman nyata dan langsung di pusat-pusat penelitian dan pengembangan seperti LIPI, BPPT, Puspiptek Serpong. Wawasan HAM, Demokrasi ataupun Politik dapat dipelajari langsung di lembaga-lembaga Negara, partai politik, LSM dan sebagainya. Demikian pula pada upaya peningkatan mutu pembelajaran social, ekonomi, budaya, hukum bahkan agama dapat diperkaya dengan pendekatan “experience learning” ke sentra-sentra kegiatan nyata di tengah-tengah masyarakat.
5)      Membuat pusat pengembangan guru.[16]
Guru adalah tulang punggung pendidikan. Oleh karenanya, mutu guru harus mendapatkan kepastian dan jaminan akan kompetensi profesionalnya. Membangun pusat-pusat pelatihan dan pengembangan mutu guru sangat membantu menyediakan tenaga-tenaga kependidikan yang handal. Selain itu, dengan adanya pusat-pusat pengembangan mutu guru akan memfasilitasi terjadinya tukar pengalaman dan salimng share berbagai ide dan gagasan.
6)      Benchmarking dengan world class school.[17]
Menjadikan sekolah kelas dunia (world class school) sebagai patokan adalah upaya untuk mengangkat lembaga pendidikan Islam agar selalu “gaul” dan mengikuti perkembangan mutu sekolah berskala international. Dengan tetap menajga jati diri agama dan bangsa, pada beberapa karakteristik yang sifatnya universal, lembaga pendidikan Islam patut merujuk kepada criteria/karaktersitik sekolah-sekolah unggul di berbagai belahan dunia. Kriteria sekolah efektif menurut hasil analisis yang dilakukan oleh the Connecticut School Effectiveness Project, sebagai berikut :
a.       Lingkungan yang asri, nyaman dan aman yang memunculkan suasana kondusif bagi kegiatan belajar mengajar
b.      Misi sekolah yang jelas dengan komitmen kepada tujuan instruksional, prioritas, prosedur assessment dan akuntabilitas.
c.       Kepemimpinan instruksional di bawah arahan kepala sekolah yang memahami dan menerapkan berdasarkan karakteristik efektifitas instruksional.
d.      Adanya Iklim dimana seluruh staf guru mengharapkan dengan sangat (“high expectation”) akan tuntasnya pencapaian basic skill oleh para murid.
e.       Motivasi mengajar yang tinggi yang dibarengi dengan adanya harapan yang tinggi dari seluruh staf pengajar akan terbentuknya basic skill di kalangan seluruh murid.
f.       Tenaga kependidikan yang “high time on task”: selalu berorientasi kepada penyelesaian tugas, terampil dalam mengelola waktu secara efektif.
g.      Supervisi yang efektif kepada seluruh pengajar: upaya memberikan bimbingan, feedback (umpan balik) serta dukungan kepada staf pengajar.
h.      Pemantauan yang berkelanjutan terhadap kemajuan prestasi murid, menggunakan hasil belajar murid untuk program pengembangan individual maupun perbaikan program instruksional, serta melakukan proses penilaian yang sistematis.
i.        Hubungan sekolah dan rumah yang positif dimana orangtua memberikan dukungan yang bermakna dan memainkan peranan penting dalam upaya pencapaian misi utama sekolah.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Kebangkitan dan kejayaan suatu kaum tidak akan pernah sukses kalau sendi dan pilar pendidikannya rapuh. Menjayakan sekolah merupakan suatu keniscayaan (compulsary) yang tidak terbantahkan baik ditinjau dari aspek logis, idealis, filosofis ataupun historis. Sekolah Islam seharusnya memainkan peranan yang penting dalam memajukan mutu pendidikan, baik untuk dirinya maupun dalam konteks pendidikan nasional. Kebangkitan sekolah Islam bersendikan kepada pengembangan model sekolah yang mengacu kepada azas-azas pendidikan sebagaimana diisyaratkan dalam Al Qur’an dan As Sunnah, dan diinspirasi oleh temuan-temuan riset pendidikan dan pengalaman sekolah-sekolah modern kelas dunia.
Lembaga pendidikan Islam mempunyai tantangan-tantangan yang harus dihadapi, yaitu dalam bidang Politik, Kebudayaan, Iptek, Ekonomi, Masyarakat dan Perubahan Sosial, serta Sistem Nilai, dan semua itu harus dinetralisir agar dapat jalan beriringan dan saling mendukung di antara keduanya.
Setidaknya, di kalangan masyarakat, upaya peningkatan mutu sekolah Islam mulai bergerak. Beberapa pihak mulai menyadari pentingnya membangun sekolah/lembaga Islam yang berwawasan visioner dan global. Demikian pula komunikasi jaringan antar sekolah-sekolah Islam mulai marak di 5 tahun terakhir. Upaya-upaya yang ada, meskipun belum membuahkan hasil yang optimal, paling tidak ada kesadaran kolektif akan pentingnya membangun pendidikan Islam yang bermutu, guna menyiapkan generasi yang beriman, bertaqwa, cerdas dan terampil.

Daftar Rujukan

Arikunto, Suharsimi, 2008, Swot dan Desain Kurikulum Pendidikan Islam MSI UII, Makalah, Disampaikan dalam Workshop Kurikulum Ekonomi Islam dan Pendidikan Islam Program.
Azra, Azyumardi, 2002, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Rekonstruksi dan Demokratisasi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Aziz Abdul, [Direktur Madrasah dan Pendidikan Agama pada Sekolah Umum Kementerian Agama], 2005 Perlu Peraturan Pemerintah tentang Desentralisasi Madrasah, Kompas, Jakarta,
Baharuddin, Ahmad, 2007, Pendidikan Alternatif Qaryah Thayyibah, LKiS, Yogyakarta.
Dahriman, Ciput MSA M, dan Mahfudh Djunaidi, 2007 Berlaku Adil terhadap Madrasah,
Ma’arif, Syamsul, 2007, Revitalisasi Pendidikan Islam, Graha Ilmu, Yogyakarta.
Tim Prima Pena, tth. Kamus Besar Bahasa Indonesia, ttp : Gita Media Press.
Van Hoeve,tth.Ensiklopedi Inonesia, Jakarta : PT. Ikhtiar Baru, cet. Ke VI.
Drs. Ahmad D. Marimba, 1962. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung : PT. Al-Ma’arif. cet. Ke I.
Prof.Drs. H. Ramaijulis, 2002. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, cet. Ke VI.
Drs.Muhaimin, MA. –Drs. Abd.Mujib, 1993.Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung : PT. Trigenda Karya, cet. Ke I


[1] Kependidikan Islam, Vol.1. No.2, Agustus 2003-Januari 2004
[2] Ahmad Baharuddin, Managemen Pendidikan 2007 : 7
[3] (Soeroyo, 1991: 77)
[4] Mastuhu, 2003, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21
[5] Hujair AH. Sanaky  "Paradigma Pendidikan Islam 2001 Jakarta
[6] Tim Prima Pena, tth. Kamus Besar Bahasa Indonesia, ttp : Gita Media Press.
[7] Drs. Ahmad D. Marimba, 1962. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung : PT. Al-Ma’arif. cet. Ke I
[8] Drs.Muhaimin, MA. –Drs. Abd.Mujib, 1993.Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung : PT. Trigenda Karya, cet. Ke I
[9] Prof.Drs. H. Ramaijulis, 2002. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, cet. Ke VI.
[10] Van Hoeve,tth.Ensiklopedi Inonesia, Jakarta : PT. Ikhtiar Baru, cet. Ke VI.
[11] Azra, Azyumardi, 2002, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Rekonstruksi dan Demokratisasi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta
[12] Arikunto, Suharsimi, 2008, Swot dan Desain Kurikulum Pendidikan Islam MSI UII,
[13] Dahriman, Ciput MSA M, dan Mahfudh Djunaidi, 2007 Berlaku Adil terhadap Madrasah
[14] Arikunto, Suharsimi, 2008, Swot dan Desain Kurikulum Pendidikan Islam MSI UII,
[15] Dahriman, Ciput MSA M, dan Mahfudh Djunaidi, 2007 Berlaku Adil terhadap Madrasah
[16] Dahriman, Ciput MSA M, dan Mahfudh Djunaidi, 2007 Berlaku Adil terhadap Madrasah
[17] Arikunto, Suharsimi, 2008, Swot dan Desain Kurikulum Pendidikan Islam MSI UII,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar