BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pada dasarnya pengembangan kurikulum merupakan proses untuk membuat
keputusan dan untuk merevisi suatu program pendidikan. Adanya keberagaman model pengembangan kurikulum pada dasarnya
hanya untuk mencapai satu tujuan yaitu memperoleh perubahan yang lebih baik.[1]
Dalam mengembangkan kurikulum berbasis multicultural, setidaknya mendasarkan
pada pendapat pakar kurikulum seperti Hilda Taba yang menyatakan bahwa
kebudayaan adalah salah satu landasan dalam pengembangan kurikulum.[2]
Murray Print yang menyatakan Curriculum is a construct of that culture.[3]
Dengan demikian, pengembangan kurikulum berbasis multicultural harus berpijak
pada kebudayaan dalam mengembangkan kurikulumnya.
Merupakan kenyataan yang tak bisa ditolak bahwa
negara-bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, dan
agama disebut sebagai masyarakat "multikultural". Tetapi pada pihak
lain, realitas "multikultural" tersebut berhadapan dengan kebutuhan
mendesak untuk merekonstruksi kembali "kebudayaan nasional Indonesia"
yang dapat menjadi "integrating force" yang mengikat seluruh
keragaman etnis dan budaya tersebut.
Indonesia merupakan salah satu negara multikultural
terbesar di dunia. Hal ini dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural, agama
maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Sekarang ini, jumlah pulau yang
ada di wilayah negara kesatuan republik indonesia (NKRI) sekitar 15.504 pulau
besar dan kecil.[4]
Populasi penduduknya berjumlah lebih dari 200 juta jiwa, terdiri dari 300 suku
yang menggunakan hampir 200 bahasa yang berbeda. Selain itu mereka juga
menganut agama dan kepercayaan yang beragam seperti Islam, Katolik, Kristen
Protestan, Hindu, Budha, Konghucu serta berbagai macam aliran kepercayaan.
Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, 87,18% dari
237.641.326 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam,
6,96% Protestan, 2,9% Katolik, 1,69% Hindu,
0,72% Buddha, 0,05% Kong Hu Cu, 0,13% agama lainnya, dan 0,38% tidak
terjawab atau tidak ditanyakan.[5]
Keberpijakan pada keberagaman ini berlaku pula bagi pendidikan
agama Islam yang senantiasa dituntut mampu menjawab segala persoalan yang ada
di era modern ini. Lebih-lebih dalam menjawab persoalan peradaban di masyarakat
modern negeri ini yang masih mengedepankan emosional-eksklusivitas dalam
menjalankan budaya dan peradabannya.
Sehingga akibat dari pola pikir semacam ini, menjadikan kehidupan tidak harmonis, tidak
seiring-sejalan, selaras, dan pola hidup inklusif (terbuka) menjadi sesuatu
barang yang langka dan mahal untuk diwujudkan.[6]
Dengan demikian, merupakan tugas mulia seorang guru agama Islam untuk berupaya
menjawab persoalan tersebut dengan jalan mengembangkan kurikulum berbasis
multicultural dalam Pendidikan Agama Islam.
B.
Rumusan Masalah
Mengacu pada latar belakang di atas, maka permasalahan yang muncul
dalam makalah ini adalah:
1.
Bagaimana konsep pengembangan kurikulum?
2.
Bagaimana kurikulum berbasis multikultural?
3.
Bagaimana pengembangan kurikulum PAI berbasis multikultural dalam
teori dan praktiknya?
C.
Tujuan Pembahasan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan pembahasan pada makalah
ini adalah memahami tentang:
1.
Konsep pengembangan kurikulum
2.
Konsep kurikulum berbasis multikultural
3.
Pengembangan kurikulum PAI berbasis multikultural dalam teori dan
paktiknya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Konsep Pengembangan Kurikulum
1.
Pengertian Pengembangan Kurikulum
Pengembangan berasal dari kata “kembang” yang artinya
menjadi maju, sempurna, berkembang. Jadi, pengembangan adalah proses, cara
perbuatan mengembangkan suatu hal agar dapat bertambah maju menuju ke arah yang
lebih sempurna.[7]
Pengembangan ini juga dapat diartikan sebagai perubahan dari masa ke masa,
artinya merubah suatu struktur yang telah direncanakan sebelumnya.
Pengembangan kurikulum (curriculum development) adalah the
planning of learning opportunities intended to bring about certain desired in
pupils. And assesment of the extent to which these changes have taken piece
(Audrey Nicholls dan S. Howard Nichools).[8]
Rumusan ini menunjukkan bahwa pengembangan kurikulum adalah perencanaan
kesempatan-kesempatan belajar yang dimaksudkan untuk membawa siswa ke arah
perubahan-perubahan yang diinginkan dan menilai hingga mana perubahan-perubahan
itu telah terjadi pada diri siswa. Sedangkan yang dimaksud kesempatan belajar (learning
opportunity) adalah hubungan yang telah direncanakan dan terkontrol antara
para siswa, guru, bahan peralatan, dan lingkungan dimana belajar yang
diinginkan diharapkan terjadi. Ini terjadi bahwa semua kesempatan belajar
direncanakan oleh guru, bagi para siswa sesungguhnya adalah kurikulum itu
sendiri.
2.
Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum
a. Kurikulum disusun untuk mewujudkan system pendidikan nasional
b. Kurikulum pada semua jenjang pendidikan dikembangakan dengan pendekatan
kemampuan
c. Kurikulum harus sesuai dengan cirri khas satuan pendidikan pada
masing-masing jenjang pendidikan.
d. Kurikulum pendidikan dasar, menengah dan tinggi dikembangkan atas dasar
standar nasional pendidikan untuk setiap jenis dan jenjang pendidikan.
e. Kurikulum pada semua jenjang pendidikan dikembangkan secara
berdiversifikasi sesuai dengan kebutuhan potensi, dan minat peserta didik dan
tuntutan pihak – pihak yang memerlukan dan berkepentingan.
f. Kurikulum pada semua jenjang pendidikan mencakup aspek spiritual keagamaan,
intelektualitas, watak konsep diri, ketrampilan belajar, kewirausahaan,
keterampilan hidup yang berharkat dan bermartabat, pola hidup sehat, estetik
dan rasa kebangsaan.
3. Dasar pertimbangan pengembangan kurikulum
Pengembangan kurikulum dan teknologi
pendidikan sebagai satu disiplin ilmu perlu bahkan seharusnya mendapat
perhatian secara khusus dan menempati kedudukan dan fungsi sentral dalam system
pendidikan, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan secara multidimensional
sebagai berikut :
a.
Kebijakan nasional dalam rangka pembangunan
nasional sebagai upaya merealisasi butir-butir ketetapan dalam GBHN khususnya
yang berkenaan dengan system pendidikan Nasional.
b.
Kebijakan-kebijakan dalam bidang pendidikan
dalam rangka merealisisasikan UU No. 2 tahun 1989 yang menyebutkan bahwa
kurikulum menempati kedudukan sentral.
c.
Perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan
dan teknologi yang sinkron dengan kebutuhan pembangunan dan memenuhi keperluan
system pendidikan dalam upaya memanfaatkan, mengembangkan dan menciptakan
IPTEK.
d.
Kebutuhan, tuntutan, aspirasi dan masalah
dalam system masyarakat yang bersifat dinamis dan berubah dengan cepat dewasa
ini dan masa datang.
e.
Profesionalisasi dan fungsionalisasi
ketenagaan bidang pengembangan kurikulum dan teknologi pendidikan yang
berkualitas dan mampu bekerja sama dengan unsur-unsur ketenagaan profesi
lainnya.
f.
Upaya pembinaan disiplin ilmu pengembangan
kurikulum dan teknologi pendidikan yang berkaitan dengan uapaya pembinaan
disiplin ilmu lainnya, serta pembinaan ilmu pendidikan khususnya.
4. Prinsip pengembangan kurikulum
Kurikulum
merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan yang dinamis. Hal ini berarti
bahwa kurikulum harus selalu dikembangkan dan disempurnakan agar sesuai dengan
laju perkembangan ilmu pengetahuan dalam teknologi, serta masyarakat yang
sedang membangun. Pembangunan kurikulum harus didasarkan pada prinsip-prinsip
pengembangan yang berlaku. Hal ini dimaksudkan agar hasil pengembangan
kurikulum tersebut sesuai dengan minat, bakat, kebutuhan peserta didik,
lingkungan, kebutuhan daerah sehingga dapat memperlancar pelaksanaan proses
pendidikan dalam rangka perwujudan atau pencapaian tujuan pendidikan nasional.
Selama
terjadinya perkembangan dan pengembangan kurikulum sekolah Indonesia,
masing-masing mengikuti prinsip – prinsip pengembangan kurikulum yang berbeda.
Namun sasaran yang hendak dicapai adalah sama yaitu dalam rangka mewujudkan
cita-cita pembangunan Nasional pada khususnya dengan berdasarkan pancasila dan
UUD 1945 yang didasarkan pada kerangka dasar pembangunan Nasional yang tertuang
dalam GBHN.
a.
Prinsip Relevansi
Pendidikan
dapat dipandang sebagai invested of men power resources. Oleh karena
itu, lulusan dari pendidikan harus memiliki nilai relevansi dengan tuntutan dan
kebutuhan masyarakat dan dunia kerja. Untuk dapat menghasilkan lulusan
pendidikan yang memiliki relevansi tersebut diperlukan kurikulum yang dapat
menggantisipasi apa yang terjadi pada masa yang akan datang. Apabila
kualifikasi lulusan suatu lembaga pendidikan sesuai dengan tuntutan masyarakat,
maka lulusan atau hasil pendidikan tersebut memiliki nilai relevansi yang
memadai.
b.
Prinsip Efektifitas dan Efisiensi
1)
Prinsip Efektivitas
Efektifitas
dalam suatu kegiatan berkenaan dengan sejauh mana apa yang direncanakan atau
dapat diinginkan dapat terlaksana atau tercapai. Bila ada 10 jenis kegiatan
yang kita rencanakan, dan tercapainya untuk kegiatan yang dapat dilaksanakan,
maka efektifitas kegiatan masih belum memadai. Demikian pula bila ada 10 tujuan
yang kita inginkan dan ternyata 5 yang tercapai, maka usaha untuk mencapai
tujuan tersebut masih dipandang kurang efektifas ini dapat kita tinjau dari 2
segi efektifitas mengajar guru, dan efektifitas belajar murid.
2)
Prinsip Efisiensi
Untuk
menyelesaikan suatu program kita memerlukan waktu, tenaga dan biaya-biaya yang
kadang-kadang sangat besar jumlahnya. Kesemuanya itu tergantung pada banyaknya
program yang akan diselesaikan. Jadi efisiensi merupakan perbandingan antara
hasil yang dicapai dan pengeluaran (berupa waktu, tenaga dan biaya) yang
diharapkan paling tidak menunjukkan hasil yang seimbang.
Dalam kaitan
dengan pelaksanaan kurikulum atau proses belajar mengajar. Maka proses belajar
mengajar dikatakan efisien jika usaha dan biaya waktu yang digunakan untuk
menyelesaikan program pengajaran tersebut dapat merealisasikan hasil yang
optimal.
c.
Prinsip Kesinambungan (Continuitas)
Kurikulum
sebagai wahana belajar yang dinamis perlu dikembangkan terus menerus dan
berkesinambungan. Kesinambungan dalam pengembangan kurikulum menyangkut
kesaling-hubungan dan saling menjalin antara berbagai tingkat dan jenis program
pendidikan atau bidang studi.
d.
Prinsip Fleksibilitas
Prinsip
fleksibilitas menunjukkan bahwa kurikulum adalah tidak kaku. Dalam arti tidak
kaku dalam arti bahwa ada semacam ruang gerak yang memberikan sedikit kebebasan
dalam bertindak. Hal ini berarti bahwa di dalam penyelenggaraan proses dan
program pendidikan harus diperhatikan kondisi perbedaan yang ada dalam diri
peserta didik. Oleh karena itu peserta didik harus diberi kebebasan dalam
memilih program pendidikan yang sesuai dengan bakat, minat, kebutuhan dan
lingkungannya.
e.
Prinsip Berorientasi Pada Tujuan
Prinsip
berorientasi pada tujuan berarti bahwa sebelum bahan ditentukan maka langkah
pertama yang dilakukan untuk seorang guru adalah menentukan tujuan (goal/objectives)
terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan agar segala jam dan kegiatan pelajaran
yang dilakukan oleh peserta didik maupun guru dapat benar-benar terarahkan
kepada tercapainya tujuan pendidikan yang telah ditetapkan tersebut. Dengan
kejelasan tujuan ini, guru dapat menentukan secara tepat tentang metode
mengajar, alat pengajaran dan evaluasi.
f.
Prinsip Pendidikan Seumur Hidup
Lembaga
pendidikan merupakan salah satu alternatif dalam penyediaan waktu dan kegiatan
dalam membentuk seseorang menjadi manusia yang berkembang lebih baik. Waktu
belajar disediakan dan tersedia sepanjang hidup manusia. Oleh karena itu, kita
harus dapat memanfaatkannya dengan baik. Prinsip pendidikan seumur hidup
mengandung implikasi lain yaitu agar lembaga pendidikan tidak saja memberi
pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan pada saat peserta didik tamat dari
sekolah namun juga memberikan bekal kemampuan untuk dapat menumbuhkembangkan
dirinya sendiri.
g.
Prinsip dan Model Pengembangan Kurikulum
Pengembangan
kurikulum dilakukan secara bertahap dan terus yaitu dengan jalan mengadakannya
terhadap pelaksanaan dan hasil-hasil yang telah dicapai untuk melakukan
perbaikan, dan pengembangan lebih lanjut.
5. Landasan pengembangan kurikulum
Landasan
pengembangan kurikulum dapat menjadi titik tolak sekaligus titik sampai. Titik
tolak berarti pengembangan kurikulum dapat di dorong oleh pembaharuan tertentu
seperti penemuan teori belajar yang baru dan perubahan tuntutan masyarakat
terhadap fungsi lembaga pendidikan. Titik sampai berarti kurikulum harus
dikembangkan sedemikian rupa sehingga dapat merealisasi perkembangan tertentu,
seperti impak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tuntutan-tuntutan sejarah
masa lalu. Perbedaan latar belakang murid, nilai-nilai filsafat suatu
masyarakat dan tuntutan-tuntutan tertentu.
6. Hambatan-hambatan pengembangan kurikulum
Dalam
pengembangan kurikulum terdapat beberapa hambatan. Hambatan pertama terletak
pada guru. Guru kurang berpartisipasi dalam pengembangan kurikulum. Hal itu
disebabkan beberapa hal. Pertama kurang waktu. Kedua kekurang sesuaian
pendapat, baik antara sesama guru maupun dengan kepala sekolah dan
administrator. Ketiga karena kemampuan dan pengetahuan guru sendiri.[9]
Hambatan
lain datang dari masyarakat untuk pengembangan kurikulum dibutuhkan dukungan
masyarakat baik dalam pembiayaan maupun dalam memberikan umpan balik terhadap
system pendidikan atau kurikulum yang sedang berjalan. Masyarakat adalah sumber
input dari sekolah. Keberhasilan pendidikan, ketepatan kurikulum yang digunakan
membutuhkan bantuan, serta input fakta dan pemikiran dari masyarakat.
Hambatan
lain yang dihadapi oleh pengembang kurikulum, apalagi yang berbentuk Kegiatan
eksperimen baik metode isi atau system secara keseluruhan membutuhkan biaya
yang sering tidak sedikit.
B.
Konsep Pendidikan Multikultural
1.
Pengertian Multikulural
Kata
“multicultural” menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia berasal dari dua akar
kata yaitu “multi” berarti lebih dari satu, banyak, berlipat ganda,[10]
dan “kultur” berarti kebudayaan, cara pembudidayaan, cara pemeliharaan.[11]
Banyak ilmuwan dunia yang memberikan definisi kultur. Mereka antara lain:
Elizabet B. Taylor (1832-1917) dan L.H. Morgan yang mengartikan kultur sebagai
sebuah budaya yang universal bagi manusia dalam berbagai macam tingkatan yang
dianut oleh seluruh anggota masyarakat. Emile Durkheim (1858-1917) dan Marcel
Maus (1872-1950) menjelaskan bahwa kultur adalah sekelompok masyarakat yang
menganut sekumpulan symbol-simbol yang mengikat di dalam sebuah masyarakat yang
diterapkan. Franz Boas (1858-1942) dan A.L. Kroeber (1876-1960) mendifinisikan
bahwa kultur adalah hasil hasil dari sebuah sejarah-sejarah khusus untuk umat
manusia yang melewatinya secara bersama-sama di dalam kelompoknya. A.R.
Radcliffe Brown (1881-1955) dan Bronislaw Malinowski (1884-1942) menggambarkan
kultur sebagai sebuah praktik social yang memberi support terhadap struktur
social untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan individunya dan lain-lainnya.[12]
Secara
etimologi istilah pendidikan multikultural terdiri dari dua term, yaitu
pendidikan dan multikultural. Pendidikan berarti proses pengembangan
sikap dan tata laku seseorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan melalui
pengajaran, pelatihan, proses dan cara mendidik.[13] Dan
multikultural diartikan sebagai keragaman kebudayaan, aneka kesopanan[14].
Sedangkan
secara terminologi, pendidikan multikultural berarti proses pengembangan
seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai
konsekwensi keragaman budaya, etnis, suku dan aliran (agama)[15].
Pengertian seperti ini mempunyai implikasi yang sangat luas dalam pendidikan,
karena pendidikan dipahami sebagai proses tanpa akhir atau proses sepanjang
hayat. Dengan demikian, pendidikan multikultural menghendaki penghormatan dan
penghargaan setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat manusia.
Para ahli pun
beragam pula dalam mendefinisikan tentang “Pendidikan Multikultural”.
Keberagaman difinisi itu diantaranya, Choirul Mahfud, mengutip pendapat para
pakar, yaitu: Anderson dan Chusher
menyatakan bahwa pendidikan multicultural dapat diartikan sebagai pendidikan
mengenai keragaman kebudayaan. James Bank mendifinisikan pendidikan multicultural
sebagai pendidikan untuk people for color. Artinya, pendidikan
multicultural ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan (anugerah
tuhan/sunatullah). Kemudian bagaimana kita mampu mensikapi perbedaan tersebut
dengan penuh toleran dan semangat egaliter. Sejalan dengan pemikiran di atas,
Muhaemin El-Ma’hady berpendapat bahwa secara sederhana pendidikan multicultural
dapat didefinisikan sebagai pendidikan tentang keragaman kebudayaan dalam
merespon perubahan demografis dan cultural lingkungan masyarakat tertentu atau
bahkan dunia secara keseluruhan (global). Hilda Hernandez mengartikan
pendidikan multicultural sebagai perspektif yang mengakui realitas politik,
social, dan ekonomi yang dialami oleh masing-masing individu dalam pertemuan
manusia yang kompleks dan beragam secara kultur, dan merefleksikan pentingnya
budaya, ras, seksualitas, dan gender, etnisitas, agama, status social, ekonomi,
dan pengecualian-pengecualian dalam proses pendidikan.[16]
Dengan demikian, kurikulum
pendidikan berbasis multicultural adalah sebuah kurikulum yang mengacu pada
keragaman budaya, yang mana kurikulum tersebut senantiasa mengeksplorasi
perbedaan sebagai keniscayaan (anugerah tuhan/sunatullah). Hal ini jika dikaitkan
dengan pendidikan Islam, sesuai dengan firman Allah swt dalam QS. Al-Hujurat
ayat 13 yang berbunyi:
Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa
- bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa
diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Ayat
lain menyatakan:
Artinya: Dan di antara
tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan
bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.
2.
Fokus Kurikulum Berbasis Multikultural
Kurikulum
berbasis multicultural merupakan pendidikan yang bertujuan menghargai segala
keragaman, menciptakan perdamaian, melindungi hak-hak asasi manusia dan
mengembangkan demokrasi. Untuk itu ada beberapa pembelajaran yang harus di
fokuskan guru agama pada peserta didik sebagaimana yang telah diungkapkan oleh
Ihat Hatimah, dkk[17]
berikut:
a.
Pembelajaran Perdamaian
Javier Perez
mengungkapkan bahwa perdamaian harus dimulai dari diri kita masing-masing.
Melalui pemikiran yang tenang dan sungguh-sungguh tentang maknanya, maka
cara-cara baru dan kreatif dapat ditemukan untuk mengembangkan pengertian,
persahabatan dan kerja sama antara semua manusia. Suatu kebudayaan perdamaian
di perlukan untuk kehidupan bersama yang bermakna. Di dalam kehidupan yang
beragam dalam tata cara pribadi, social dan budaya tentang keberadaan dan
kehidupan, maka pemikiran nilai-nilai manusia yang penting dapat mengatasi
perbedaan-perbedaan untuk menjamin perdamaian dan solidaritas.
Strategi yang dapat digunakan dalam
pembelajaran perdamaian di dalam kelas adalah “strategi introspeksi” dan
“interaksi yang positif”. Strategi introspektif yaitu cara untuk menumbuhkan
kesadaran bagi peserta didik untuk berani mengoreksi dirinya sendiri tentang
kegiatan/perbuatan yang sudah dilakukan. Melalui introspeksi, peserta didik
diharapkan berani untuk menilai dirinya sendiri sehingga dapat memilih
kegiatan-kegiatan apa saja yang dapat menumbuhkan perdamaian diantara peserta
didik dan kegiatan apa saja yang menimbulkan konflik di antara peserta didik.
Interaksi social yang positif yaitu cara untuk menumbuhkan hubungan yang
harmonis di antara peserta didik, dan antara peserta didik dengan lingkungan
lainnya. Dengan terciptanya interaksi social yang harmonis, diharapkan dapat
menumbuhkan saling menghargai, saling toleran di antara peserta didik,
sekalipun di antara mereka mempunyai keanekaragaman budaya.
b.
Pembelajaran Hak Asasi Manusia
Semua hak manusia adalah universal,
tak terbagi, interdependen dan saling terkait. Pendidikan adalah alat yang
paling efektif untuk pengembangan nilai-nilai yang berhubungan dengan hak-hak
asasi manusia. Pendidikan hak-hak asasi manusia haruslah mengembangkan
kemampuan untuk menilai kebebasan pemikiran, kata hati dan keyakinan, kemampuan
untuk menilai kesamaan, keadilan dan cinta, dan suatu kemauan untuk mengasuh
dan melindungi hak-hak anak, kaum wanita, kaum pekerja, minoritas etnik,
kelompok-kelompok yang tidak beruntung.
Di dalam mengembangkan pengertian
dan mewujudkan nilai-nilai terkait hak-hak asasi manusia adalah membelajarkan
peserta didik tentang apa hak-hak dan kebebasan yang dimiliki bersama sehingga
hak-hak itu dihormati dan kemauan untuk melindungi hak-hak orang lain
dipromosikan. Kegiatan dalam pembelajaran harus difokuskan pada nilai-nilai
untuk melestarikan kehidupan dan memelihara martabat manusia. Setiap peserta
didik harus diberi kesempatan yang memadai untuk menilai perwujudan dari
nilai-nilai inti yang terkait dengan hak-hak asasi manusia di dalam
kehidupannya.
c.
Pembelajaran Demokrasi
Pembelajaran untuk demokrasi pada
hakekatnya adalah untuk mengembangkan eksistensi manusia dengan jalan mengilhaminya
dalam pengertian martabat dan persamaan, saling mempercayai, toleransi,
penghargaan pada kepercayaan dan kebudayaan orang lain, penghormatan pada
individu, peran serta aktif dalam semua aspek kehidupan social, kebebasan
berekspresi, kepercayaan dan beribadat. Apabila hal-hal tersebut sudah ada,
maka dapat digunakan untuk mengembangkan pengambilan keputusan yang efektif,
demokratis pada semua tingkatan yang akan mengarah pada kewajaran, keadilan dan
perdamaian.
Untuk menciptakan demokrasi, dapat digunakan
berbagai strategi, yaitu:
1)
Etos demokrasi harus berlaku di tempat pembelajaran, baik di
sekolah maupun di luar sekolah.
2)
Pembelajaran untuk demokrasi berlangsung secara berlanjut, secara
tepat harus diperkenalkan di semua jenjang dan bentuk pendidikan melalui
pendekatan terpadu.
3)
Penafsiran demokrasi harus sesuai dengan berbagai konteks sosio
budaya, ekonomis, dan evolusinya.
C.
Pengembangan Kurikulum PAI Berbasis Multikultural
Adapun pengembangan kurikulum berbasis multicultural bila dikaitkan
dengan pendidikan agama Islam harus memperhatikan dasar kurikulum PAI
sebegaimana yang dikemukakan Ramayulis dengan mengutip Herman H. Horne ada 3
macam yaitu:[18]
1.
Dasar Psikologis, yang digunakan untuk memenuhi dan mengetahui
kemampuan yang diperoleh dari pelajar dan kebutuhan anak didik (the ability
and need of children)
2.
Dasar Sosiologis, yang digunakan untuk mengetahui tuntutan yang sah
dari masyarakat (the legitimate demand of society).[19]
3.
Dasar Filosofis, yang digunakan untuk mengetahui keadaan alam
semesta tempat kita hidup (the kind of universe in which we live).
Begitu pula dalam mengembangkan kurikulum pendidikan Islam berbasis
multicultural harus memperhatikan prinsip-prinsip yang menjadi acuan kurikulum
pendidikan Islam yang menurut Syaibany[20]
adalah:
1.
Berorientasi pada Islam, termasuk ajaran-ajaran dan nilai-nilainya.[21]
Maka setiap yang berkaitan dengan kurikulum, termasuk falsafah, tujuan-tujuan,
kandungan-kandungan, metode mengajar, cara-cara perlakuan dan hubungan-hubungan
yang berlaku dalam lembaga-lembaga pendidikan yang berdasarkan pada agama dan
akhlak Islam.
2.
Prinsip menyeluruh (universal) pada tujuan-tujuan dan
kandungan-kandungan kurikulum.
3.
Prinsip keseimbangan yang elative antara tujuan-tujuan dan
kandungan-kandungan kurikulum.
4.
Prinsip interaksi antara kebutuhan siswa dan kebutuhan-kebutuhan
masyarakat.
5.
Prinsip pemeliharaan perbedaan-perbedaan individual diantara
peserta didik, baik perbedaan dari segi bakat, minat, kemampuan, kebutuhan dan
sebagainya.
6.
Prinsip perkembangan dan perubahan sesuai dengan tuntutan yang ada
dengan tidak mengabaikan nilai-nilai absolute.
7.
Prinsip pertautan (integritas) antara mata pelajaran,
pengalaman-pengalaman dan aktifiti yang terkandung didalam kurikulum, begitu
pula dengan pertautan antara kandungan kurikulum dengan kebutuhan murid juga
kebutuhan masyarakat.
Zakiah Dardjat[22]
menawarkan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1.
Prinsip Relevansi: dalam arti kesesuaian pendidikan dalam
lingkungan hidup murid, relevansi dengan kehidupan masa sekarang dan akan
datang, relevansi dengan tuntutan pekerjaan.
2.
Prinsip Efektifitas: baik efektifitas mengajar guru, ataupun
efektifitas belajar murid.
3.
Prinsip Efesiensi: baik dalam segi waktu, tenaga dan biaya.
4.
Prinsip Fleksibilitas: artinya ada semacam ruang gerak yang
memberikan sedikit kebebasan dalam bertindak, baik yang berorientasi pada
fleksibilitas pemilihan program pendidikan maupun dalam mengembangkan program
pengajaran.
Sedangkan Muhammad Zuhaili menyatakan bahwa kurikulum yang
digunakan harus serius dan membangun, benar serta bertujuan untuk menyuntikkan
kedalam akal para pemuda (baca; anak didik) hal-hal yang bermanfaat dalam agama
dan dunia mereka. Karena kurikulum pendidikan haruslah berasal dari al-Qur’an
dan Sunnah Rasul, tradisi orang-orang terdahulu yang shalih, serta cendekiawan
muslim yang membawa cahaya terang selama berabad-abad.[23]
Dengan demikian, dari berbagai dasar dan prinsip-prinsip diatas
dapat disimpulkan bahwa untuk mengembangkan kurikulum berbasis multicultural
dalam PAI merupakan hal yang sangat lentur, mudah dirubah, tak seperti
kedudukan “kitab fikih” yang sulit untuk dirubah. Dalam hal ini, HM. Irsjad
Djuwaeli menyatakan bahwa pertimbangan kekinian, kedisinian, dan kenantian
(masa depan) penting dipertimbangkan dalam pelaksanaan dan pengembangan
kurikulum. Karena setiap kurikulum dipersiapkan hanya untuk masa tertentu dan
tempat tertentu, maka aspek elastisitas, integritas, dan efektifitas menjadi
sangat penting untuk dituangkan kedalam isi kurikulum.[24]
Kurikulum yang berorientasi kepada masa lalu cenderung menciptakan image diri
(self image) yang eksklusif dan anti perubahan. Semangat kemapanan status quo
merupakan cirri khas dari kondisi pendidikan dimana isi kurikulumnya
berorientasi kepada paradigma konservatisme yang menilai bahwa masyarakat
berada dalam ketidaksejajaran dan terikat oleh suatu belenggu takdir yang tidak
mungkin berubah.
Pendidikan agama Islam berbasis multikultural adalah
proses transformasi dan internalisasi nilai-nilai dasar dan ideal ajaran Islam
yang berusaha mengaksentuasikan aspek-aspek perbedaan dan disparitas
kemanusiaan dalam konteksnya yang luas sebagai suatu sunnatullah yang
mesti diterima dengan penuh arif dan lapang dada di tengah kenyataan
kemanusiaan yang plural dalam segala dimensinya guna mewujudkan tatanan
kehidupan yang berkeadilan.
Edi Susanto mengutip pendapat Zakiyuddin Baidhawy
memerinci karakteristik pendidikan agama Islam berwawasan multikultural, yaitu:
1.
Belajar hidup dalam perbedaan
2.
Membangun saling percaya
3.
Memelihara saling pengertian (mutual understanding)
4.
Menjunjung sikap saling menghargai (mutual respect),
konflik dan rekonsiliasi nirkekerasan.[25]
Sedangkan asumsi pendidikan agama Islam multikultural pluralistik antara lain
adalah inovasi dan reformasi pendidikan, identifikasi dan pengakuan akan
pluralitas, perjumpaan lintas batas, interdependensi dan kerja sama,
pembelajaran efektif dan proses interaksi.
Selanjutnya, dalam rangka membangun keberagamaan
inklusif di sekolah ada beberapa materi pendidikan agama Islam yang bisa
dikembangkan dengan nuansa multikultural, antara lain[26]
1.
Materi al-Qur’an, dalam menentukan ayat-ayat pilihan,
selain ayat-ayat tentang keimanan juga perlu ditambah dengan ayat-ayat yang
dapat memberikan pemahaman dan penanaman sikap ketika berinteraksi dengan orang
yang berlainan agama, sehingga sedini mungkin sudah tertanam sikap toleran, inklusif
pada peserta didik, yaitu a) materi yang berhubungan dengan pengakuan al-Qur’an
akan adanya pluralitas dan berlomba dalam kebaikan (Al-Baqarah/2:148); b)
Materi yang berhubungan dengan pengakuan koeksistensi damai dalam hubungan
antar umat beragama (al-Mumtahanah/60:8-9); c) materi yang berhubungan dengan
keadilan dan persamaan (an-Nisa’/4:135).
2.
Materi fiqih, bisa diperluas dengan kajian fikih siyasah
(pemerintahan). Dari fikih siyasah inilah terkandung konsep-konsep
kebangsaan yang telah dicontohkan pada zaman, Nabi, Sahabat ataupun
khalifah-khalifah sesudahnya. Pada zaman Nabi misalnya, bagaimana Nabi Muhammad
mengelola dan memimpin masyarakat Madinah yang multi-etnis, multi-kultur, dan
multi-agama. Keadaan masyarakat Madinah pada masa itu tidak jauh beda dengan
masyarakat Indonesia, yang juga multi-etnis, multi-kultur, dan multi-agama.
3.
Materi akhlak yang menfokuskan kajiannya pada perilaku
baik-buruk terhadap Allah, Rasul, sesama manusia, diri sendiri, serta
lingkungan, penting artinya bagi peletakan dasar-dasar kebangsaan. Sebab,
kelanggengan suatu bangsa tergantung pada Akhlak, bila suatu bangsa meremehkan
akhlak, punahlah bangsa itu. Dalam Al-Qur’an telah diceritakan tentang
kehancuran kaum Luth, disebabkan runtuhnya sendi-sendi moral. Agar Pendidikan
Agama bernuansa multikultural ini bisa efektif, peran guru agama Islam memang
sangat menentukan. Selain selalu mengembangkan metode mengajar yang variatif,
tidak monoton. Dan yang lebih penting, guru agama Islam juga perlu memberi
keteladanan.
4.
Materi Tarikh (SKI), materi yang bersumber pada
fakta dan realitas historis dapat dicontohkan praktik-praktik interaksi sosial
yang diterapkan Nabi Muhammad ketika membangun masyarakat Madinah. Dari sisi
historis proses pembangunan Madinah yang dilakukan Nabi Muhammad ditemukan
fakta tentang pengakuan dan penghargaan atas nilai pluralitas dan toleransi.[27] Agar
pemahaman pluralitas dan toleransi dapat tertanam dengan baik pada peserta
didik, maka perlu ditambahkan uraian tentang proses pembangunan masyarakat
Madinah dalam materi “Keadaan Masyarakat Madinah Sesudah Hijrah”, dalam hal ini
dapat ditelusuri dari Piagam Madinah.
Program
pendidikan multikulkural yang akan dikembangkan merupakan sebuah program
pendidikan yang menyediakan lingkungan belajar yang sesuai dengan kebutuhan
dasar akademik dan sosial. Program pendidikan yang dapat mengakses dan
merealisasikan kompotensi-komptensi yang diinginkan untuk mewujudkan masyarakat
madani. Maka perlu menyusum program pendidikan yang bersifat: [1] content
integration, yaitu mengintegrasikan bebagai budaya kelompok masyarakat
untuk mengilustrasikan dalam mata pelajaran, [2] the knowledge construction
process, yaitu membawa peserta didik untuk memahami implikasi budaya ke
dalam sebuah mata pelajaran, [3] an equity paedagogy, yaitu menyesuaikan
metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi
akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya ataupun sosial, dan [4] prejudice
reduction, yaitu mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan
metode pengajaran mereka.[28]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Pengembangan kurikulum adalah perencanaan
kesempatan-kesempatan belajar yang dimaksudkan untuk membawa siswa ke arah
perubahan-perubahan yang diinginkan dan menilai hingga mana perubahan-perubahan
itu telah terjadi pada diri siswa.
2.
Pendidikan multicultural sebagai perspektif yang mengakui realitas
politik, social, dan ekonomi yang dialami oleh masing-masing individu dalam
pertemuan manusia yang kompleks dan beragam secara kultur, dan merefleksikan
pentingnya budaya, ras, seksualitas, dan gender, etnisitas, agama, status
social, ekonomi, dan pengecualian-pengecualian dalam proses pendidikan. Dengan
demikian, kurikulum pendidikan berbasis multicultural adalah sebuah kurikulum
yang mengacu pada keragaman budaya, yang mana kurikulum tersebut senantiasa
mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan (anugerah tuhan/sunatullah).
3.
Dalam rangka membangun keberagamaan inklusif di
sekolah ada beberapa materi pendidikan agama Islam yang bisa dikembangkan
dengan nuansa multikultural.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Syaibany. Falsafah Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang,
1979.
Daradjat, Zakiah. Ilmu
Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Angkasa, 1992..
Djuwaeli, HM. Irsjad. Pembaharuan Pendidikan Islam. Ciputat:
Yayasan Karsa Utama Mandiri, 1998.
El-Ma’hady, Muhaemin. Multikulturalisme dan Pendidikan
Multikultural [Sebuah Kajian Awal], 2004. From:
http://artikel.us/muhaemin6-04.html, hal.3.
Hamolo, Oemar. Manajemen Pengembangan Kurikulum, Bandung : PT.
Remaja Rosdakarya, 2006.
Hatimah, Ihat dkk. Pendidikan Berwawasan Kemasyarakatan. Jakarta:
Universitas Terbuka, 2007.
Hernawan, Herry, dkk. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran.
Jakarta: Universitas Terbuka, 2008.
Mahfud, Choirul. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2012.
Masgnud. Pendidikan Multikultural: Pemikiran & Upaya Implementasinya.
Yogyakarta: Idea Press, 2010.
Naim, Ngainun dan Sauqi, Achmad. Pendidikan Multikultural Konsep
dan Aplikasi. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media Group, 2008.
Print, Murray. Curriculum Development Theory and Design. St. Leonard: Allen & Unwin Pty,
Ltd., 1993.
Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 2002.
Riwayadi, Susilo dan Anisyah, Suci Nur. Kamus Lengkap Bahasa
Indonesia. Surabaya: Sinar Terang, 2009.
Salamah, Husniyatus. Pendidikan Multikultural: Upaya Membangun
Keberagaman Inklusif Di Sekolah (Karya Tulis). sumber: http://fitk.uinsby.ac.id/30-karya-tulis/83-pendidikan-multikultural-upaya-membangun-keberagaman-inklusif-di-sekolah.html.
Salim, Peter dan Salim, Yeni. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer,
Jakarta: Modern English Press, 1991.
Syaodih Sukmadinata, Nana. Pengembangan Kurikulum Teori dan
Praktek. Bandung: Rema Rosdakarya, 2009.
Taba, Hilda. Curriculum Development Theory and Practice. New York: Hartcourt Brace and Word,
1962.
Umar, Bukhari. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Amzah, 2010.
Yaqin, M. Ainul. Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural
Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan. Yogyakarta: Pilar Media, 2005.
Zuhaili, Muhammad. Pentingnya Pendidikan Islam Sejak Dini. Jakarta:
A.H. Ba’adillah Press, 1999.
[1] Herry Hernawan, dkk, Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran,
(Jakarta: Universitas Terbuka, 2008), hlm. 2.27.
[2] Hilda Taba, Curriculum Development Theory and Practice, (New York: Hartcourt Brace and
Word, 1962), hal. 48.
[3] Murray Print, Curriculum Development Theory and Design, (St. Leonard: Allen & Unwin Pty,
Ltd., 1993), hal. 15.
[5] https://id.wikipedia.org/wiki/Agama_di_Indonesia
[6] Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural Konsep dan
Aplikasi, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media Group, 2008), hal.5
[7] Peter Salim dan Yeni Salim, Kamus
Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Modern English Press, 1991), hal.
700.
[8] Oemar Hamolo, Manajemen Pengembangan Kurikulum, (Bandung :
PT. Remaja Rosdakarya, 2006) Cet. Pertama hal. 96
[9] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan
Praktek, (Bandung: Rema Rosdakarya, 2009) cet ke II hlm. 160.
[10] Susilo Riwayadi dan Suci Nur Anisyah, Kamus Lengkap Bahasa
Indonesia, (Surabaya: Sinar Terang, 2009), hlm. 487.
[12] M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural, Cross-Cultural
Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan, (Yogyakarta: Pilar Media,
2005), hlm. 27-28. Lihat pula dalam
Ngainun Naim & Achmad Sauqi, Pendidikan
Multikultural Konsep dan Aplikasi, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), hlm.
121-122.
[13] Bukhari Umar, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta:
Amzah, 2010), hlm. 28
[14]Masgnud, Pendidikan Multikultural: Pemikiran & Upaya
Implementasinya (Yogyakarta: Idea Press, 2010), hlm. 19
[17] Ihat Hatimah, dkk, Pendidikan Berwawasan Kemasyarakatan,
(Jakarta: Universitas Terbuka, 2007), hlm. 7.19-7.22
[19] Sering terjadinya konflik antar agama, etnis, suku dan semacamnya
dinegeri ini menjdikan kurikulum
berbasis multicultural menjadi sebuah keniscayaan yang harus segera dirumuskan.
Tugas guru agama dalam hal ini juga
sangat berkaitan erat, yakni guru agama akan
menciptakan anak didiknya berpola pikir eksklusif atau inklusif
merupakan tugas utama bagi guru agama.
[20] Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, terj. Dr. Hasan
Langgulung, (Jakarta: Cet.I, Bulan Bintang, 1979), hal. 485. Lihat pula dalam
Ramayulis, hal. 132-133.
[21] Termasuk nilai-nilai dalam Islam adalah menghargai keragaman
(multikultur). Lihat QS. Al-Hujurat: 13, QS. Ar-Rum: 22
[23] Muhammad Zuhaili, Pentingnya Pendidikan Islam Sejak Dini,
terj. Arum Titisari, (Jakarta: A.H. Ba’adillah Press, 1999), hal. 104.
[24] HM. Irsjad Djuwaeli, Pembaharuan Pendidikan Islam, (Ciputat:
Yayasan Karsa Utama Mandiri, 1998), hal. 155-156.
[25] Susanto, Edi. ringkasan Disertasi “Pemikiran Nurcholish
Madjid Tentang Pendidikan Agama Slam Multikultural Pluralistik (Perspektif
Sosiologi Pengetahuan), 2011. hal. 31
[26] Husniyatus Salamah, Pendidikan
Multikultural: Upaya Membangun Keberagaman Inklusif Di Sekolah
(Karya Tulis) sumber:
http://fitk.uinsby.ac.id/30-karya-tulis/83-pendidikan-multikultural-upaya-membangun-keberagaman-inklusif-di-sekolah.html
[27] Bukti empiris sejarah peradaban Islam di masa lalu, menunjukkan Islam
tampil secara inklusif dan sangat menghargai non-muslim. Sikap inklusif ini ada karena al-Qur'an mengajarkan paham religius
plurality. Bagi orang Islam, dianut suatu keyakinan bahwa sampai hari
ini pun di dunia ini akan terdapat keragaman agama. Meskipun kebenaran
agama ada pada Islam (lihat: QS. Âli Imrân : 13), namun dalam al-Qur'an juga disebutkan adanya hak orang lain untuk beragama.
Dan agama tidak bisa dipaksakan kepada orang lain (lihat: QS. al-Baqarah : 256). Sikap inilah yang menjadi prinsip pada masa kejayaan Islam sekaligus
mendasari kebijakan politik kebebasan beragama.
[28] Muhaemin, el-Ma’hady, Multikulturalisme dan Pendidikan
Multikultural [Sebuah Kajian Awal], 2004. From: http://artikel.us/muhaemin6-04.html, hal.3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar