Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Sabtu, 19 November 2016

MAKALAH PENGEMBANGAN KURIKULUM PAI BERBASIS MULTIKULTURAL



BAB I
PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang
Pada dasarnya pengembangan kurikulum merupakan proses untuk membuat keputusan dan untuk merevisi suatu program pendidikan. Adanya keberagaman  model pengembangan kurikulum pada dasarnya hanya untuk mencapai satu tujuan yaitu memperoleh perubahan yang lebih baik.[1] Dalam mengembangkan kurikulum berbasis multicultural, setidaknya mendasarkan pada pendapat pakar kurikulum seperti Hilda Taba yang menyatakan bahwa kebudayaan adalah salah satu landasan dalam pengembangan kurikulum.[2] Murray Print yang menyatakan Curriculum is a construct of that culture.[3] Dengan demikian, pengembangan kurikulum berbasis multicultural harus berpijak pada kebudayaan dalam mengembangkan kurikulumnya.
Merupakan kenyataan yang tak bisa ditolak bahwa negara-bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, dan agama disebut sebagai masyarakat "multikultural". Tetapi pada pihak lain, realitas "multikultural" tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali "kebudayaan nasional Indonesia" yang dapat menjadi "integrating force" yang mengikat seluruh keragaman etnis dan budaya tersebut.
Indonesia merupakan salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Hal ini dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural, agama maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Sekarang ini, jumlah pulau yang ada di wilayah negara kesatuan republik indonesia (NKRI) sekitar 15.504 pulau besar dan kecil.[4] Populasi penduduknya berjumlah lebih dari 200 juta jiwa, terdiri dari 300 suku yang menggunakan hampir 200 bahasa yang berbeda. Selain itu mereka juga menganut agama dan kepercayaan yang beragam seperti Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, Konghucu serta berbagai macam aliran kepercayaan. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, 87,18% dari 237.641.326 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam, 6,96% Protestan, 2,9% Katolik, 1,69% Hindu, 0,72% Buddha, 0,05% Kong Hu Cu, 0,13% agama lainnya, dan 0,38% tidak terjawab atau tidak ditanyakan.[5]
Keberpijakan pada keberagaman ini berlaku pula bagi pendidikan agama Islam yang senantiasa dituntut mampu menjawab segala persoalan yang ada di era modern ini. Lebih-lebih dalam menjawab persoalan peradaban di masyarakat modern negeri ini yang masih mengedepankan emosional-eksklusivitas dalam menjalankan budaya dan peradabannya.  Sehingga akibat dari pola pikir semacam ini,  menjadikan kehidupan tidak harmonis, tidak seiring-sejalan, selaras, dan pola hidup inklusif (terbuka) menjadi sesuatu barang yang langka dan mahal untuk diwujudkan.[6] Dengan demikian, merupakan tugas mulia seorang guru agama Islam untuk berupaya menjawab persoalan tersebut dengan jalan mengembangkan kurikulum berbasis multicultural dalam Pendidikan Agama Islam.
B.       Rumusan Masalah
Mengacu pada latar belakang di atas, maka permasalahan yang muncul dalam makalah ini adalah:
1.   Bagaimana konsep pengembangan kurikulum?
2.   Bagaimana kurikulum berbasis multikultural?
3.   Bagaimana pengembangan kurikulum PAI berbasis multikultural dalam teori dan praktiknya?

C.       Tujuan Pembahasan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan pembahasan pada makalah ini adalah memahami tentang:
1.    Konsep pengembangan kurikulum
2.    Konsep kurikulum berbasis multikultural
3.    Pengembangan kurikulum PAI berbasis multikultural dalam teori dan paktiknya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.       Konsep Pengembangan Kurikulum
1.    Pengertian Pengembangan Kurikulum
Pengembangan berasal dari kata “kembang” yang artinya menjadi maju, sempurna, berkembang. Jadi, pengembangan adalah proses, cara perbuatan mengembangkan suatu hal agar dapat bertambah maju menuju ke arah yang lebih sempurna.[7] Pengembangan ini juga dapat diartikan sebagai perubahan dari masa ke masa, artinya merubah suatu struktur yang telah direncanakan sebelumnya.
Pengembangan kurikulum (curriculum development) adalah the planning of learning opportunities intended to bring about certain desired in pupils. And assesment of the extent to which these changes have taken piece (Audrey Nicholls dan S. Howard Nichools).[8] Rumusan ini menunjukkan bahwa pengembangan kurikulum adalah perencanaan kesempatan-kesempatan belajar yang dimaksudkan untuk membawa siswa ke arah perubahan-perubahan yang diinginkan dan menilai hingga mana perubahan-perubahan itu telah terjadi pada diri siswa. Sedangkan yang dimaksud kesempatan belajar (learning opportunity) adalah hubungan yang telah direncanakan dan terkontrol antara para siswa, guru, bahan peralatan, dan lingkungan dimana belajar yang diinginkan diharapkan terjadi. Ini terjadi bahwa semua kesempatan belajar direncanakan oleh guru, bagi para siswa sesungguhnya adalah kurikulum itu sendiri.

2.    Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum
a.    Kurikulum disusun untuk mewujudkan system pendidikan nasional
b.    Kurikulum pada semua jenjang pendidikan dikembangakan dengan pendekatan kemampuan
c.    Kurikulum harus sesuai dengan cirri khas satuan pendidikan pada masing-masing jenjang pendidikan.
d.    Kurikulum pendidikan dasar, menengah dan tinggi dikembangkan atas dasar standar nasional pendidikan untuk setiap jenis dan jenjang pendidikan.
e.    Kurikulum pada semua jenjang pendidikan dikembangkan secara berdiversifikasi sesuai dengan kebutuhan potensi, dan minat peserta didik dan tuntutan pihak – pihak yang memerlukan dan berkepentingan.
f.     Kurikulum pada semua jenjang pendidikan mencakup aspek spiritual keagamaan, intelektualitas, watak konsep diri, ketrampilan belajar, kewirausahaan, keterampilan hidup yang berharkat dan bermartabat, pola hidup sehat, estetik dan rasa kebangsaan.

3.    Dasar pertimbangan pengembangan kurikulum
Pengembangan kurikulum dan teknologi pendidikan sebagai satu disiplin ilmu perlu bahkan seharusnya mendapat perhatian secara khusus dan menempati kedudukan dan fungsi sentral dalam system pendidikan, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan secara multidimensional sebagai berikut :
a.    Kebijakan nasional dalam rangka pembangunan nasional sebagai upaya merealisasi butir-butir ketetapan dalam GBHN khususnya yang berkenaan dengan system pendidikan Nasional.
b.    Kebijakan-kebijakan dalam bidang pendidikan dalam rangka merealisisasikan UU No. 2 tahun 1989 yang menyebutkan bahwa kurikulum menempati kedudukan sentral.
c.    Perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang sinkron dengan kebutuhan pembangunan dan memenuhi keperluan system pendidikan dalam upaya memanfaatkan, mengembangkan dan menciptakan IPTEK.
d.    Kebutuhan, tuntutan, aspirasi dan masalah dalam system masyarakat yang bersifat dinamis dan berubah dengan cepat dewasa ini dan masa datang.
e.    Profesionalisasi dan fungsionalisasi ketenagaan bidang pengembangan kurikulum dan teknologi pendidikan yang berkualitas dan mampu bekerja sama dengan unsur-unsur ketenagaan profesi lainnya.
f.     Upaya pembinaan disiplin ilmu pengembangan kurikulum dan teknologi pendidikan yang berkaitan dengan uapaya pembinaan disiplin ilmu lainnya, serta pembinaan ilmu pendidikan khususnya.

4.    Prinsip pengembangan kurikulum
Kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan yang dinamis. Hal ini berarti bahwa kurikulum harus selalu dikembangkan dan disempurnakan agar sesuai dengan laju perkembangan ilmu pengetahuan dalam teknologi, serta masyarakat yang sedang membangun. Pembangunan kurikulum harus didasarkan pada prinsip-prinsip pengembangan yang berlaku. Hal ini dimaksudkan agar hasil pengembangan kurikulum tersebut sesuai dengan minat, bakat, kebutuhan peserta didik, lingkungan, kebutuhan daerah sehingga dapat memperlancar pelaksanaan proses pendidikan dalam rangka perwujudan atau pencapaian tujuan pendidikan nasional.
Selama terjadinya perkembangan dan pengembangan kurikulum sekolah Indonesia, masing-masing mengikuti prinsip – prinsip pengembangan kurikulum yang berbeda. Namun sasaran yang hendak dicapai adalah sama yaitu dalam rangka mewujudkan cita-cita pembangunan Nasional pada khususnya dengan berdasarkan pancasila dan UUD 1945 yang didasarkan pada kerangka dasar pembangunan Nasional yang tertuang dalam GBHN.
a.    Prinsip Relevansi
Pendidikan dapat dipandang sebagai invested of men power resources. Oleh karena itu, lulusan dari pendidikan harus memiliki nilai relevansi dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat dan dunia kerja. Untuk dapat menghasilkan lulusan pendidikan yang memiliki relevansi tersebut diperlukan kurikulum yang dapat menggantisipasi apa yang terjadi pada masa yang akan datang. Apabila kualifikasi lulusan suatu lembaga pendidikan sesuai dengan tuntutan masyarakat, maka lulusan atau hasil pendidikan tersebut memiliki nilai relevansi yang memadai.

b.    Prinsip Efektifitas dan Efisiensi
1)   Prinsip Efektivitas
Efektifitas dalam suatu kegiatan berkenaan dengan sejauh mana apa yang direncanakan atau dapat diinginkan dapat terlaksana atau tercapai. Bila ada 10 jenis kegiatan yang kita rencanakan, dan tercapainya untuk kegiatan yang dapat dilaksanakan, maka efektifitas kegiatan masih belum memadai. Demikian pula bila ada 10 tujuan yang kita inginkan dan ternyata 5 yang tercapai, maka usaha untuk mencapai tujuan tersebut masih dipandang kurang efektifas ini dapat kita tinjau dari 2 segi efektifitas mengajar guru, dan efektifitas belajar murid.

2)   Prinsip Efisiensi
Untuk menyelesaikan suatu program kita memerlukan waktu, tenaga dan biaya-biaya yang kadang-kadang sangat besar jumlahnya. Kesemuanya itu tergantung pada banyaknya program yang akan diselesaikan. Jadi efisiensi merupakan perbandingan antara hasil yang dicapai dan pengeluaran (berupa waktu, tenaga dan biaya) yang diharapkan paling tidak menunjukkan hasil yang seimbang.
Dalam kaitan dengan pelaksanaan kurikulum atau proses belajar mengajar. Maka proses belajar mengajar dikatakan efisien jika usaha dan biaya waktu yang digunakan untuk menyelesaikan program pengajaran tersebut dapat merealisasikan hasil yang optimal.

c.    Prinsip Kesinambungan (Continuitas)
Kurikulum sebagai wahana belajar yang dinamis perlu dikembangkan terus menerus dan berkesinambungan. Kesinambungan dalam pengembangan kurikulum menyangkut kesaling-hubungan dan saling menjalin antara berbagai tingkat dan jenis program pendidikan atau bidang studi.

d.    Prinsip Fleksibilitas
Prinsip fleksibilitas menunjukkan bahwa kurikulum adalah tidak kaku. Dalam arti tidak kaku dalam arti bahwa ada semacam ruang gerak yang memberikan sedikit kebebasan dalam bertindak. Hal ini berarti bahwa di dalam penyelenggaraan proses dan program pendidikan harus diperhatikan kondisi perbedaan yang ada dalam diri peserta didik. Oleh karena itu peserta didik harus diberi kebebasan dalam memilih program pendidikan yang sesuai dengan bakat, minat, kebutuhan dan lingkungannya.

e.    Prinsip Berorientasi Pada Tujuan
Prinsip berorientasi pada tujuan berarti bahwa sebelum bahan ditentukan maka langkah pertama yang dilakukan untuk seorang guru adalah menentukan tujuan (goal/objectives) terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan agar segala jam dan kegiatan pelajaran yang dilakukan oleh peserta didik maupun guru dapat benar-benar terarahkan kepada tercapainya tujuan pendidikan yang telah ditetapkan tersebut. Dengan kejelasan tujuan ini, guru dapat menentukan secara tepat tentang metode mengajar, alat pengajaran dan evaluasi.

f.     Prinsip Pendidikan Seumur Hidup
Lembaga pendidikan merupakan salah satu alternatif dalam penyediaan waktu dan kegiatan dalam membentuk seseorang menjadi manusia yang berkembang lebih baik. Waktu belajar disediakan dan tersedia sepanjang hidup manusia. Oleh karena itu, kita harus dapat memanfaatkannya dengan baik. Prinsip pendidikan seumur hidup mengandung implikasi lain yaitu agar lembaga pendidikan tidak saja memberi pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan pada saat peserta didik tamat dari sekolah namun juga memberikan bekal kemampuan untuk dapat menumbuhkembangkan dirinya sendiri.

g.    Prinsip dan Model Pengembangan Kurikulum
Pengembangan kurikulum dilakukan secara bertahap dan terus yaitu dengan jalan mengadakannya terhadap pelaksanaan dan hasil-hasil yang telah dicapai untuk melakukan perbaikan, dan pengembangan lebih lanjut.

5.    Landasan pengembangan kurikulum
Landasan pengembangan kurikulum dapat menjadi titik tolak sekaligus titik sampai. Titik tolak berarti pengembangan kurikulum dapat di dorong oleh pembaharuan tertentu seperti penemuan teori belajar yang baru dan perubahan tuntutan masyarakat terhadap fungsi lembaga pendidikan. Titik sampai berarti kurikulum harus dikembangkan sedemikian rupa sehingga dapat merealisasi perkembangan tertentu, seperti impak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tuntutan-tuntutan sejarah masa lalu. Perbedaan latar belakang murid, nilai-nilai filsafat suatu masyarakat dan tuntutan-tuntutan tertentu.

6.    Hambatan-hambatan pengembangan kurikulum
Dalam pengembangan kurikulum terdapat beberapa hambatan. Hambatan pertama terletak pada guru. Guru kurang berpartisipasi dalam pengembangan kurikulum. Hal itu disebabkan beberapa hal. Pertama kurang waktu. Kedua kekurang sesuaian pendapat, baik antara sesama guru maupun dengan kepala sekolah dan administrator. Ketiga karena kemampuan dan pengetahuan guru sendiri.[9]
Hambatan lain datang dari masyarakat untuk pengembangan kurikulum dibutuhkan dukungan masyarakat baik dalam pembiayaan maupun dalam memberikan umpan balik terhadap system pendidikan atau kurikulum yang sedang berjalan. Masyarakat adalah sumber input dari sekolah. Keberhasilan pendidikan, ketepatan kurikulum yang digunakan membutuhkan bantuan, serta input fakta dan pemikiran dari masyarakat.
Hambatan lain yang dihadapi oleh pengembang kurikulum, apalagi yang berbentuk Kegiatan eksperimen baik metode isi atau system secara keseluruhan membutuhkan biaya yang sering tidak sedikit.

B.       Konsep Pendidikan Multikultural
1.    Pengertian Multikulural
Kata “multicultural” menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia berasal dari dua akar kata yaitu “multi” berarti lebih dari satu, banyak, berlipat ganda,[10] dan “kultur” berarti kebudayaan, cara pembudidayaan, cara pemeliharaan.[11] Banyak ilmuwan dunia yang memberikan definisi kultur. Mereka antara lain: Elizabet B. Taylor (1832-1917) dan L.H. Morgan yang mengartikan kultur sebagai sebuah budaya yang universal bagi manusia dalam berbagai macam tingkatan yang dianut oleh seluruh anggota masyarakat. Emile Durkheim (1858-1917) dan Marcel Maus (1872-1950) menjelaskan bahwa kultur adalah sekelompok masyarakat yang menganut sekumpulan symbol-simbol yang mengikat di dalam sebuah masyarakat yang diterapkan. Franz Boas (1858-1942) dan A.L. Kroeber (1876-1960) mendifinisikan bahwa kultur adalah hasil hasil dari sebuah sejarah-sejarah khusus untuk umat manusia yang melewatinya secara bersama-sama di dalam kelompoknya. A.R. Radcliffe Brown (1881-1955) dan Bronislaw Malinowski (1884-1942) menggambarkan kultur sebagai sebuah praktik social yang memberi support terhadap struktur social untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan individunya dan lain-lainnya.[12]
Secara etimologi istilah pendidikan multikultural terdiri dari dua term, yaitu pendidikan dan  multikultural. Pendidikan berarti proses pengembangan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan melalui pengajaran, pelatihan, proses dan cara mendidik.[13] Dan multikultural diartikan sebagai keragaman kebudayaan, aneka kesopanan[14].
Sedangkan secara terminologi, pendidikan multikultural berarti proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekwensi keragaman budaya, etnis, suku dan aliran (agama)[15]. Pengertian seperti ini mempunyai implikasi yang sangat luas dalam pendidikan, karena pendidikan dipahami sebagai proses tanpa akhir atau proses sepanjang hayat. Dengan demikian, pendidikan multikultural menghendaki penghormatan dan penghargaan setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat manusia.
Para ahli pun beragam pula dalam mendefinisikan tentang “Pendidikan Multikultural”. Keberagaman difinisi itu diantaranya, Choirul Mahfud, mengutip pendapat para pakar, yaitu:  Anderson dan Chusher menyatakan bahwa pendidikan multicultural dapat diartikan sebagai pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. James Bank mendifinisikan pendidikan multicultural sebagai pendidikan untuk people for color. Artinya, pendidikan multicultural ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan (anugerah tuhan/sunatullah). Kemudian bagaimana kita mampu mensikapi perbedaan tersebut dengan penuh toleran dan semangat egaliter. Sejalan dengan pemikiran di atas, Muhaemin El-Ma’hady berpendapat bahwa secara sederhana pendidikan multicultural dapat didefinisikan sebagai pendidikan tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan cultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan (global). Hilda Hernandez mengartikan pendidikan multicultural sebagai perspektif yang mengakui realitas politik, social, dan ekonomi yang dialami oleh masing-masing individu dalam pertemuan manusia yang kompleks dan beragam secara kultur, dan merefleksikan pentingnya budaya, ras, seksualitas, dan gender, etnisitas, agama, status social, ekonomi, dan pengecualian-pengecualian dalam proses pendidikan.[16]
Dengan demikian, kurikulum pendidikan berbasis multicultural adalah sebuah kurikulum yang mengacu pada keragaman budaya, yang mana kurikulum tersebut senantiasa mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan (anugerah tuhan/sunatullah). Hal ini jika dikaitkan dengan pendidikan Islam, sesuai dengan firman Allah swt dalam QS. Al-Hujurat ayat 13 yang berbunyi:
Artinya:  Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.


Ayat lain menyatakan:

Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.

2.    Fokus Kurikulum Berbasis Multikultural
Kurikulum berbasis multicultural merupakan pendidikan yang bertujuan menghargai segala keragaman, menciptakan perdamaian, melindungi hak-hak asasi manusia dan mengembangkan demokrasi. Untuk itu ada beberapa pembelajaran yang harus di fokuskan guru agama pada peserta didik sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Ihat Hatimah, dkk[17] berikut:
a.    Pembelajaran Perdamaian
Javier Perez mengungkapkan bahwa perdamaian harus dimulai dari diri kita masing-masing. Melalui pemikiran yang tenang dan sungguh-sungguh tentang maknanya, maka cara-cara baru dan kreatif dapat ditemukan untuk mengembangkan pengertian, persahabatan dan kerja sama antara semua manusia. Suatu kebudayaan perdamaian di perlukan untuk kehidupan bersama yang bermakna. Di dalam kehidupan yang beragam dalam tata cara pribadi, social dan budaya tentang keberadaan dan kehidupan, maka pemikiran nilai-nilai manusia yang penting dapat mengatasi perbedaan-perbedaan untuk menjamin perdamaian dan solidaritas.
Strategi yang dapat digunakan dalam pembelajaran perdamaian di dalam kelas adalah “strategi introspeksi” dan “interaksi yang positif”. Strategi introspektif yaitu cara untuk menumbuhkan kesadaran bagi peserta didik untuk berani mengoreksi dirinya sendiri tentang kegiatan/perbuatan yang sudah dilakukan. Melalui introspeksi, peserta didik diharapkan berani untuk menilai dirinya sendiri sehingga dapat memilih kegiatan-kegiatan apa saja yang dapat menumbuhkan perdamaian diantara peserta didik dan kegiatan apa saja yang menimbulkan konflik di antara peserta didik. Interaksi social yang positif yaitu cara untuk menumbuhkan hubungan yang harmonis di antara peserta didik, dan antara peserta didik dengan lingkungan lainnya. Dengan terciptanya interaksi social yang harmonis, diharapkan dapat menumbuhkan saling menghargai, saling toleran di antara peserta didik, sekalipun di antara mereka mempunyai keanekaragaman budaya.

b.    Pembelajaran Hak Asasi Manusia
Semua hak manusia adalah universal, tak terbagi, interdependen dan saling terkait. Pendidikan adalah alat yang paling efektif untuk pengembangan nilai-nilai yang berhubungan dengan hak-hak asasi manusia. Pendidikan hak-hak asasi manusia haruslah mengembangkan kemampuan untuk menilai kebebasan pemikiran, kata hati dan keyakinan, kemampuan untuk menilai kesamaan, keadilan dan cinta, dan suatu kemauan untuk mengasuh dan melindungi hak-hak anak, kaum wanita, kaum pekerja, minoritas etnik, kelompok-kelompok yang tidak beruntung.
Di dalam mengembangkan pengertian dan mewujudkan nilai-nilai terkait hak-hak asasi manusia adalah membelajarkan peserta didik tentang apa hak-hak dan kebebasan yang dimiliki bersama sehingga hak-hak itu dihormati dan kemauan untuk melindungi hak-hak orang lain dipromosikan. Kegiatan dalam pembelajaran harus difokuskan pada nilai-nilai untuk melestarikan kehidupan dan memelihara martabat manusia. Setiap peserta didik harus diberi kesempatan yang memadai untuk menilai perwujudan dari nilai-nilai inti yang terkait dengan hak-hak asasi manusia di dalam kehidupannya.
c.    Pembelajaran Demokrasi
Pembelajaran untuk demokrasi pada hakekatnya adalah untuk mengembangkan eksistensi manusia dengan jalan mengilhaminya dalam pengertian martabat dan persamaan, saling mempercayai, toleransi, penghargaan pada kepercayaan dan kebudayaan orang lain, penghormatan pada individu, peran serta aktif dalam semua aspek kehidupan social, kebebasan berekspresi, kepercayaan dan beribadat. Apabila hal-hal tersebut sudah ada, maka dapat digunakan untuk mengembangkan pengambilan keputusan yang efektif, demokratis pada semua tingkatan yang akan mengarah pada kewajaran, keadilan dan perdamaian.
Untuk menciptakan demokrasi, dapat digunakan berbagai strategi, yaitu:
1)   Etos demokrasi harus berlaku di tempat pembelajaran, baik di sekolah maupun di luar sekolah.
2)   Pembelajaran untuk demokrasi berlangsung secara berlanjut, secara tepat harus diperkenalkan di semua jenjang dan bentuk pendidikan melalui pendekatan terpadu.
3)   Penafsiran demokrasi harus sesuai dengan berbagai konteks sosio budaya, ekonomis, dan evolusinya.
C.       Pengembangan Kurikulum PAI Berbasis Multikultural
Adapun pengembangan kurikulum berbasis multicultural bila dikaitkan dengan pendidikan agama Islam harus memperhatikan dasar kurikulum PAI sebegaimana yang dikemukakan Ramayulis dengan mengutip Herman H. Horne ada 3 macam yaitu:[18]
1.    Dasar Psikologis, yang digunakan untuk memenuhi dan mengetahui kemampuan yang diperoleh dari pelajar dan kebutuhan anak didik (the ability and need of children)
2.    Dasar Sosiologis, yang digunakan untuk mengetahui tuntutan yang sah dari masyarakat (the legitimate demand of society).[19]
3.    Dasar Filosofis, yang digunakan untuk mengetahui keadaan alam semesta tempat kita hidup (the kind of universe in which we live).
Begitu pula dalam mengembangkan kurikulum pendidikan Islam berbasis multicultural harus memperhatikan prinsip-prinsip yang menjadi acuan kurikulum pendidikan Islam yang menurut Syaibany[20] adalah:
1.    Berorientasi pada Islam, termasuk ajaran-ajaran dan nilai-nilainya.[21] Maka setiap yang berkaitan dengan kurikulum, termasuk falsafah, tujuan-tujuan, kandungan-kandungan, metode mengajar, cara-cara perlakuan dan hubungan-hubungan yang berlaku dalam lembaga-lembaga pendidikan yang berdasarkan pada agama dan akhlak Islam.
2.    Prinsip menyeluruh (universal) pada tujuan-tujuan dan kandungan-kandungan kurikulum.
3.    Prinsip keseimbangan yang elative antara tujuan-tujuan dan kandungan-kandungan kurikulum.
4.    Prinsip interaksi antara kebutuhan siswa dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat.
5.    Prinsip pemeliharaan perbedaan-perbedaan individual diantara peserta didik, baik perbedaan dari segi bakat, minat, kemampuan, kebutuhan dan sebagainya.
6.    Prinsip perkembangan dan perubahan sesuai dengan tuntutan yang ada dengan tidak mengabaikan nilai-nilai absolute.
7.    Prinsip pertautan (integritas) antara mata pelajaran, pengalaman-pengalaman dan aktifiti yang terkandung didalam kurikulum, begitu pula dengan pertautan antara kandungan kurikulum dengan kebutuhan murid juga kebutuhan masyarakat.
Zakiah Dardjat[22] menawarkan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1.    Prinsip Relevansi: dalam arti kesesuaian pendidikan dalam lingkungan hidup murid, relevansi dengan kehidupan masa sekarang dan akan datang, relevansi dengan tuntutan pekerjaan.
2.    Prinsip Efektifitas: baik efektifitas mengajar guru, ataupun efektifitas belajar murid.
3.    Prinsip Efesiensi: baik dalam segi waktu, tenaga dan biaya.
4.    Prinsip Fleksibilitas: artinya ada semacam ruang gerak yang memberikan sedikit kebebasan dalam bertindak, baik yang berorientasi pada fleksibilitas pemilihan program pendidikan maupun dalam mengembangkan program pengajaran.
Sedangkan Muhammad Zuhaili menyatakan bahwa kurikulum yang digunakan harus serius dan membangun, benar serta bertujuan untuk menyuntikkan kedalam akal para pemuda (baca; anak didik) hal-hal yang bermanfaat dalam agama dan dunia mereka. Karena kurikulum pendidikan haruslah berasal dari al-Qur’an dan Sunnah Rasul, tradisi orang-orang terdahulu yang shalih, serta cendekiawan muslim yang membawa cahaya terang selama berabad-abad.[23]
Dengan demikian, dari berbagai dasar dan prinsip-prinsip diatas dapat disimpulkan bahwa untuk mengembangkan kurikulum berbasis multicultural dalam PAI merupakan hal yang sangat lentur, mudah dirubah, tak seperti kedudukan “kitab fikih” yang sulit untuk dirubah. Dalam hal ini, HM. Irsjad Djuwaeli menyatakan bahwa pertimbangan kekinian, kedisinian, dan kenantian (masa depan) penting dipertimbangkan dalam pelaksanaan dan pengembangan kurikulum. Karena setiap kurikulum dipersiapkan hanya untuk masa tertentu dan tempat tertentu, maka aspek elastisitas, integritas, dan efektifitas menjadi sangat penting untuk dituangkan kedalam isi kurikulum.[24] Kurikulum yang berorientasi kepada masa lalu cenderung menciptakan image diri (self image) yang eksklusif dan anti perubahan. Semangat kemapanan status quo merupakan cirri khas dari kondisi pendidikan dimana isi kurikulumnya berorientasi kepada paradigma konservatisme yang menilai bahwa masyarakat berada dalam ketidaksejajaran dan terikat oleh suatu belenggu takdir yang tidak mungkin berubah.
Pendidikan agama Islam berbasis multikultural adalah proses transformasi dan internalisasi nilai-nilai dasar dan ideal ajaran Islam yang berusaha mengaksentuasikan aspek-aspek perbedaan dan disparitas kemanusiaan dalam konteksnya yang luas sebagai suatu sunnatullah yang mesti diterima dengan penuh arif dan lapang dada di tengah kenyataan kemanusiaan yang plural dalam segala dimensinya guna mewujudkan tatanan kehidupan yang berkeadilan.
Edi Susanto mengutip pendapat Zakiyuddin Baidhawy memerinci karakteristik pendidikan agama Islam berwawasan multikultural, yaitu:
1.    Belajar hidup dalam perbedaan
2.    Membangun saling percaya
3.    Memelihara saling pengertian (mutual understanding)
4.    Menjunjung sikap saling menghargai (mutual respect), konflik dan rekonsiliasi nirkekerasan.[25] Sedangkan asumsi pendidikan agama Islam multikultural pluralistik antara lain adalah inovasi dan reformasi pendidikan, identifikasi dan pengakuan akan pluralitas, perjumpaan lintas batas, interdependensi dan kerja sama, pembelajaran efektif dan proses interaksi.
Selanjutnya, dalam rangka membangun keberagamaan inklusif di sekolah ada beberapa materi pendidikan agama Islam yang bisa dikembangkan dengan nuansa multikultural, antara lain[26]
1.    Materi al-Qur’an, dalam menentukan ayat-ayat pilihan, selain ayat-ayat tentang keimanan juga perlu ditambah dengan ayat-ayat yang dapat memberikan pemahaman dan penanaman sikap ketika berinteraksi dengan orang yang berlainan agama, sehingga sedini mungkin sudah tertanam sikap toleran, inklusif pada peserta didik, yaitu a) materi yang berhubungan dengan pengakuan al-Qur’an akan adanya pluralitas dan berlomba dalam kebaikan (Al-Baqarah/2:148); b) Materi yang berhubungan dengan pengakuan koeksistensi damai dalam hubungan antar umat beragama (al-Mumtahanah/60:8-9); c) materi yang berhubungan dengan keadilan dan persamaan (an-Nisa’/4:135).
2.    Materi fiqih, bisa diperluas dengan kajian fikih siyasah (pemerintahan). Dari fikih siyasah inilah terkandung konsep-konsep kebangsaan yang telah dicontohkan pada zaman, Nabi, Sahabat ataupun khalifah-khalifah sesudahnya. Pada zaman Nabi misalnya, bagaimana Nabi Muhammad mengelola dan memimpin masyarakat Madinah yang multi-etnis, multi-kultur, dan multi-agama. Keadaan masyarakat Madinah pada masa itu tidak jauh beda dengan masyarakat Indonesia, yang juga multi-etnis, multi-kultur, dan multi-agama.
3.    Materi akhlak yang menfokuskan kajiannya pada perilaku baik-buruk terhadap Allah, Rasul, sesama manusia, diri sendiri, serta lingkungan, penting artinya bagi peletakan dasar-dasar kebangsaan. Sebab, kelanggengan suatu bangsa tergantung pada Akhlak, bila suatu bangsa meremehkan akhlak, punahlah bangsa itu. Dalam Al-Qur’an telah diceritakan tentang kehancuran kaum Luth, disebabkan runtuhnya sendi-sendi moral. Agar Pendidikan Agama bernuansa multikultural ini bisa efektif, peran guru agama Islam memang sangat menentukan. Selain selalu mengembangkan metode mengajar yang variatif, tidak monoton. Dan yang lebih penting, guru agama Islam juga perlu memberi keteladanan.
4.    Materi Tarikh (SKI), materi yang bersumber pada fakta dan realitas historis dapat dicontohkan praktik-praktik interaksi sosial yang diterapkan Nabi Muhammad ketika membangun masyarakat Madinah. Dari sisi historis proses pembangunan Madinah yang dilakukan Nabi Muhammad ditemukan fakta tentang pengakuan dan penghargaan atas nilai pluralitas dan toleransi.[27] Agar pemahaman pluralitas dan toleransi dapat tertanam dengan baik pada peserta didik, maka perlu ditambahkan uraian tentang proses pembangunan masyarakat Madinah dalam materi “Keadaan Masyarakat Madinah Sesudah Hijrah”, dalam hal ini dapat ditelusuri dari Piagam Madinah.
Program pendidikan multikulkural yang akan dikembangkan merupakan sebuah program pendidikan yang menyediakan lingkungan belajar yang sesuai dengan kebutuhan dasar akademik dan sosial. Program pendidikan yang dapat mengakses dan merealisasikan kompotensi-komptensi yang diinginkan untuk mewujudkan masyarakat madani. Maka perlu menyusum program pendidikan yang bersifat: [1] content integration, yaitu mengintegrasikan bebagai budaya kelompok masyarakat untuk mengilustrasikan dalam mata pelajaran, [2] the knowledge construction process, yaitu membawa peserta didik untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran, [3] an equity paedagogy, yaitu menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya ataupun sosial, dan [4] prejudice reduction, yaitu mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka.[28]
BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
1.    Pengembangan kurikulum adalah perencanaan kesempatan-kesempatan belajar yang dimaksudkan untuk membawa siswa ke arah perubahan-perubahan yang diinginkan dan menilai hingga mana perubahan-perubahan itu telah terjadi pada diri siswa.
2.    Pendidikan multicultural sebagai perspektif yang mengakui realitas politik, social, dan ekonomi yang dialami oleh masing-masing individu dalam pertemuan manusia yang kompleks dan beragam secara kultur, dan merefleksikan pentingnya budaya, ras, seksualitas, dan gender, etnisitas, agama, status social, ekonomi, dan pengecualian-pengecualian dalam proses pendidikan. Dengan demikian, kurikulum pendidikan berbasis multicultural adalah sebuah kurikulum yang mengacu pada keragaman budaya, yang mana kurikulum tersebut senantiasa mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan (anugerah tuhan/sunatullah).
3.    Dalam rangka membangun keberagamaan inklusif di sekolah ada beberapa materi pendidikan agama Islam yang bisa dikembangkan dengan nuansa multikultural.


DAFTAR PUSTAKA
Al-Syaibany. Falsafah Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Daradjat, Zakiah.  Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Angkasa, 1992..
Djuwaeli, HM. Irsjad. Pembaharuan Pendidikan Islam. Ciputat: Yayasan Karsa Utama Mandiri, 1998.
El-Ma’hady, Muhaemin. Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural [Sebuah Kajian Awal], 2004. From: http://artikel.us/muhaemin6-04.html, hal.3.
Hamolo, Oemar. Manajemen Pengembangan Kurikulum, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2006.
Hatimah, Ihat dkk. Pendidikan Berwawasan Kemasyarakatan. Jakarta: Universitas Terbuka, 2007.
Hernawan, Herry, dkk. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Universitas Terbuka, 2008.
Mahfud, Choirul. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
Masgnud. Pendidikan Multikultural: Pemikiran & Upaya Implementasinya. Yogyakarta: Idea Press, 2010.
Naim, Ngainun dan Sauqi, Achmad. Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasi. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media Group, 2008.
Print, Murray. Curriculum Development Theory and  Design. St. Leonard: Allen & Unwin Pty, Ltd., 1993.
Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 2002.
Riwayadi, Susilo dan Anisyah, Suci Nur. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Sinar Terang, 2009.
Salamah, Husniyatus. Pendidikan Multikultural: Upaya Membangun Keberagaman Inklusif Di Sekolah (Karya Tulis). sumber: http://fitk.uinsby.ac.id/30-karya-tulis/83-pendidikan-multikultural-upaya-membangun-keberagaman-inklusif-di-sekolah.html.
Salim, Peter dan Salim, Yeni. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Jakarta: Modern English Press, 1991.
Syaodih Sukmadinata, Nana. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek. Bandung: Rema Rosdakarya, 2009.
Taba, Hilda. Curriculum Development Theory and  Practice. New York: Hartcourt Brace and Word, 1962.
Umar, Bukhari. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Amzah, 2010.
Yaqin, M. Ainul. Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan. Yogyakarta: Pilar Media, 2005.
Zuhaili, Muhammad. Pentingnya Pendidikan Islam Sejak Dini. Jakarta: A.H. Ba’adillah Press, 1999.




[1] Herry Hernawan, dkk, Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2008), hlm. 2.27.
[2] Hilda Taba, Curriculum Development Theory and  Practice, (New York: Hartcourt Brace and Word, 1962), hal. 48.
[3] Murray Print, Curriculum Development Theory and  Design, (St. Leonard: Allen & Unwin Pty, Ltd., 1993), hal. 15.
[4] https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_pulau_di_Indonesia
[5] https://id.wikipedia.org/wiki/Agama_di_Indonesia
[6] Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasi, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media Group, 2008), hal.5

[7] Peter Salim dan Yeni Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Modern English Press, 1991), hal. 700.
[8] Oemar Hamolo, Manajemen Pengembangan Kurikulum, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2006) Cet. Pertama hal. 96
[9] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, (Bandung: Rema Rosdakarya, 2009) cet ke II hlm. 160.
[10] Susilo Riwayadi dan Suci Nur Anisyah, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Sinar Terang, 2009), hlm. 487.
[11] Susilo Riwayadi dan Suci nur Anisyah, Kamus Lengkap... , hlm. 413
[12] M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural, Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), hlm. 27-28. Lihat pula dalam  Ngainun Naim & Achmad  Sauqi, Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasi, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), hlm. 121-122.
[13] Bukhari Umar, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 28
[14]Masgnud, Pendidikan Multikultural: Pemikiran & Upaya Implementasinya (Yogyakarta: Idea Press, 2010), hlm. 19
[15] Masgnud, Pendidikan Multikultural: Pemikiran & Upaya... , hlm. 21
[16] Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 175-176.
[17] Ihat Hatimah, dkk, Pendidikan Berwawasan Kemasyarakatan, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2007), hlm. 7.19-7.22

[18] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), hlm. 131.
[19] Sering terjadinya konflik antar agama, etnis, suku dan semacamnya dinegeri ini  menjdikan kurikulum berbasis multicultural menjadi sebuah keniscayaan yang harus segera dirumuskan. Tugas guru agama dalam  hal ini juga sangat berkaitan erat, yakni guru agama akan  menciptakan anak didiknya berpola pikir eksklusif atau  inklusif merupakan tugas utama bagi guru agama.
[20] Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, terj. Dr. Hasan Langgulung, (Jakarta: Cet.I, Bulan Bintang, 1979), hal. 485. Lihat pula dalam Ramayulis, hal. 132-133.
[21] Termasuk nilai-nilai dalam Islam adalah menghargai keragaman (multikultur). Lihat QS. Al-Hujurat: 13, QS. Ar-Rum: 22
[22] Zakiah Daradjat,  Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Angkasa, 1992), hal. 125-127.
[23] Muhammad Zuhaili, Pentingnya Pendidikan Islam Sejak Dini, terj. Arum Titisari, (Jakarta: A.H. Ba’adillah Press, 1999), hal. 104.
[24] HM. Irsjad Djuwaeli, Pembaharuan Pendidikan Islam, (Ciputat: Yayasan Karsa Utama Mandiri, 1998), hal. 155-156.
[25] Susanto, Edi. ringkasan Disertasi “Pemikiran Nurcholish Madjid Tentang Pendidikan Agama Slam Multikultural Pluralistik (Perspektif Sosiologi Pengetahuan), 2011. hal. 31
[26] Husniyatus Salamah, Pendidikan Multikultural: Upaya Membangun Keberagaman Inklusif Di Sekolah (Karya Tulis) sumber: http://fitk.uinsby.ac.id/30-karya-tulis/83-pendidikan-multikultural-upaya-membangun-keberagaman-inklusif-di-sekolah.html
[27] Bukti empiris sejarah peradaban Islam di masa lalu, menunjukkan Islam tampil secara inklusif dan sangat menghargai non-muslim. Sikap inklusif ini ada karena al-Qur'an mengajarkan paham religius plurality. Bagi orang Islam, dianut suatu keyakinan bahwa sampai hari ini pun di dunia ini akan terdapat keragaman agama. Meskipun kebenaran agama ada pada Islam (lihat: QS. Âli Imrân : 13), namun dalam al-Qur'an juga disebutkan adanya hak orang lain untuk beragama. Dan agama tidak bisa dipaksakan kepada orang lain (lihat: QS. al-Baqarah : 256). Sikap inilah yang menjadi prinsip pada masa kejayaan Islam sekaligus mendasari kebijakan politik kebebasan beragama.
[28] Muhaemin, el-Ma’hady, Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural [Sebuah Kajian Awal], 2004. From: http://artikel.us/muhaemin6-04.html, hal.3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar