Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Sabtu, 19 November 2016

MAKALAH KONSEP MUKJIZAT



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Al-Quran  adalah  sumber  utama ajaran islam dan pedoman hidup bagi setiap muslim. Al-Quran bukan sekedar memuat petunjuk tentang hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya, serta manusia dengan alam sekitarnya. Untuk memahami ajaran islam secara sempurna  (kaffah), diperlukan pemahaman terhadap kandungan Al-Quran dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari secara sungguh-sungguh dan konsisten.
Sebagaimana di ketahui, Al-Quran diturunkan ke dalam bahasa Arab. Kendati Al-Quran berbahasa Arab, tidak berarti semua orang Arab  atau orang yang mahir dalam bahasa Arab, dapat memahami Al-Quran secara rinci. Bahkan para Sahabat sendiri tidak sedikit yang mengalami kesulitan dalam memahami kandungan Al-Quran. Hal ini disebabkan untuk memahami Al-Quran tidak cukup dengan kemampuan ddalam menguasai bahasa Arab saja, tetapi lebih dari itu juga harus menguasai ilmu-ilmu penunjang.[1]
Selain sebagai kitab yang memerlukan ilmu-ilmu penujang untuk mamahaminya, Al-Quran juga merupakan kitab yang dijamin keterjagaannya. Yang menjamin bukan manusia, tapi langsung Allah SWT sendiri. Dalam Al-Quran surah al-Hijr ayat 9 Allah SWT berfirman :
Artinya : Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.[2]
Tidak ada kitab pegangan umat  sepanjang sejarah yang kesucian dan kemurniannya senantiasa terjaga dari noda hitam tangan-tangan jahil yang ingin mengotori kitab suci tersebut kecuali Al-Quran. Hanya kitab suci ini yang cahayanya dari hari ke hari semakin kuat menyinari kegelapan hati yang tertutup oleh kebodohan, fanatisme dan keangkuhan. Semakin kuat mereka menutupi cahaya hakikat-hakikat Al-Quran, semakin kuat juga pancaran cahayanya.
Dalam konteks Al-Quran dan risalah Nabi Muhammad SAW, pemeliharaan Allah SWT terhadap keduanya amatlah jelas. Ini dikarenakan keduanya adalah sumber utama ajaran Islam. Karena itu, bagaimana mungkin lahir paham tauhid dari masyarakat yang berpegang teguh kepada syirik? Dan bagaimana mungkin lahir agama kemanusiaan yang penuh toleransi setelah sebelumnya adalah agama suku dan fanatisme? Mengapa keberadaan mukjizat dipercayai setelah lahir keimanan, sedangkan sebelumnya keimanan itu sendiri lahir dari pembuktian mukjizat?
Demikian seterusnya hingga pada akhirnya harus di katakan bahwa ada sesuatu di balik terjadinya semua itu, yakni pemeliharaan Allah SWT.
Dari paparan latar belakang di atas, penulis ingin membahas lebih lanjut tentang materi “Kemukjizatan Al-Quran dan Hadis”.

B.       Rumusan Masalah
Mengacu pada latar belakang yang dipaparkan di atas, maka rumusan masalah pada makalah ini sebagai berikut :
1.    Bagaimana konsep mukjizat dalam Islam?
2.    Bagaimana Al-Quran sebagai sebuah mukjizat?
3.    Bagaimana Hadis sebagai mukjizat?

C.      Tujuan Pembahasan
1.      Memahami konsep mukjizat dalam Islam.
2.      Mengetahui sejauh mana Al-Quran sebagai mukjizat.
3.      Mengetahui sejauh mana Hadis sebagai mukjizat.


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Konsep Mukjizat dalam Pandangan Islam
1.    Pengertian Mukjizat
Kata “mukjizat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai kejadian ajaib yang sukar dijangkau oleh kemampuan akal manusia. Pengertian ini, mesti memiliki beberapa persamaan, tapi ia tidak sama persis dengan pengertian kata tersebut dalam istilah agama Islam. Kata “mukjizat” adalah bentuk isim fa’il (nama pelaku) dari kata اَعْجَزَ  (a'jaza) yang berarti melemahkan atau menghilangkan kemampuan seseorang untuk mendatangkan sesuatu, baik berupa pekerjaan, pendangan atau pemahaman.[3]
Mukjizat secara istilah didefinisikan oleh para agama Islam antara lain, sebagai hal atau peristiwa luar biasa yang terjadi melalui seseorang yang mengaku nabi, sebagai bukti kenabiannya yang ditantangkan kepada yang ragu, untuk melakukan atau mendatangkan hal serupa, namun mereka tidak mampu memenuhi tantangan itu.[4]
Dari pengertian di atas, maka kita dapat ambil kesimpulan bahwa suatu perkara dapat dikatakan mukjizat, apabila memenuhi empat unsur berikut: 
Pertama, di luar kebiasaan manusia. Mukjizat adalah media utama bagi seorang nabi untuk membuktikan kepada kaumnya bahwa dia benar utusan Allah Swt. Oleh karena itu, mukjizat harus sesuatu yang tidak biasa. Jika mukjizat adalah perkara yang biasa maka hal ini tidak akan menarik perhatian kaumnya untuk mengimaninya.
Kedua, diberikan Allah Swt kepada nabi atau rasul. Mukjizat harus berada di tangan seorang rasul. Jika terdapat perkara luar biasa, tetapi bukan berada di tangan seorang rasul maka perkara itu tidak dapat dianggap sebagai mukjizat.
Ketiga, adanya tantangan. Suatu mukjizat harusdisertai tantangan kepada manusia untuk menandinginya. Dalam Bahasa Arab, tantangan ini dikenal dengan nama tahaddi (التحدي), berarti suatu pekerjaan yang sengaja dilakukan untuk menantang orang lain melakukan hal serupa dengan tujuan menunjukkan kehebatannya.
Keempat, tidak dapat ditandingi siapapun. Syarat keempat ini berkaitan erat dengan syarat ketiga yang disebutkan sebelumnya. Sebagian melihatnya kontradikftif karena memuat dua halyang seakan bertentangan, yaitu menantang dan tidak dapat ditandingi. Akan tetapi, jika dicermati justru ini nilai kemukjizatan suatu perkara. Dia harus menantang manusia dan manusia tidak dapat menandinginya. Jika manusia dapat menandinginya maka perkara itu tidak dapat disebut mukjizat.
Dapat dipahami bahwa kemu’jizatan adalah sesuatu yang tak mungkin ditandingi oleh manusia baik secara pribadi maupun kolektif. Dia merupakan sesuatu yang berbeda dengan kebiasaan, artinya tidak terikat oleh hubungan sebab akibat yang dikenal oleh manusia. la merupakan pemberian Allah swt kepada Nabi-Nya sebagai bukti kebenaran risalah yang dibawanya.

2.    Tujuan dan Fungsi Mukjizat
Mukjizat berfungsi sebagai bukti kebenaran para Nabi. Keluarbiasaan yang tampak atau terjadi melalui mereka itu  diibaratkan sebagai ucapan Tuhan : “Apa yang dinyatakan sang Nabi adalah benar. Dia adalah utusan- Ku, dan buktinya adalah Aku melakukan mukjizat itu”.
Mukjizat, walaupun dari segi bahasa berarti melemahkan atau membuktikan ketidakmampuan yang di tantang, namun secara istilah ia dimaksudkan untuk menegaskan kebenaran ajaran seorang yang mengaku sebagai Nabi. Karena itu, mukjizat ditampilkan oleh Allah melalui hamba-hamba pilihan-Nya untuk membuktikan kebenaran dan ajaran ilahi yang di bawa oleh masing-masing Nabi. Jika demikian hal nya maka ini paling tidak mengandung dua konsekuensi.
Pertama, bagi yang telah percaya kepada Nabi, maka ia tidak lagi membutuhkan mukjizat. Ia tidak lagi ditantang untuk melakukan hal yang sama. Mukjizat yang dilihat atau dialaminya hanya berfungsi memperkuat keimanan, serta menambah keyakinannya akan kekuasaan Allah SWT.
Kedua, para Nabi sejak Adam AS hingga Isa  AS di utus untuk suatu kurun waktu tertentu  serta masyarakat tertentu. Tantangan yang mereka kemukakan sebagai mukjizat pasti tidak dapat dilakukan oleh umatnya. Namun apakah ini berarti peristiwa luar biasa yang terjadi melalui mereka itu tidak dapat dilakukan oleh selain umat mereka  pada generasi sesudah generasi mereka ?
Jika tujuan mukjizat  hanya untuk meyakinkan umat setiap Nabi, maka boleh jadi umat yang lain dapat melakukannya. Kemungkinan ini lebih terbuka bagi mereka yang berpendapat bahwa mukjizat pada hakikatnya berada dalam jangkauan hukum-hukum Allah yang berada di alam. Namun ketika hal itu terjadi, hukum-hukum tersebut belum lagi di ketahui oleh masyarakat Nabi yang bersangkutan.[5]
Sumber daya manusia sungguh besar dan tidak dapat dibayangkan kapasitasnya. Potensi kalbu yang merupakan salah satu sumber daya manusia dapat menghasilkan hal-hal luar biasa yang tidak boleh tidak diakui oleh yang tidak mengenalnya. Hal ini sama dengan penolakan generasi dahulu tentang banyaknya kenyataan masa kini yang lahir dari pengembangan daya pikir. Bukanlah suatu hal yang mustahil jika kesucian jiwa para Nabi dapat menghasilkan -melalui bantuan Allah SWT- peristiwa luar biasa dipandang dari ukuran hukum-hukum alam yang di ketahui umum?
Meski demikian, pada hakikatnya mukjizat mempunyai hukum-hukumnya tersendiri, dan yang dapat dilakukan oleh siapapun selama terpenuhi syarat-syaratnya. Boleh jadi dalam konteks ini, yang menyebabkan terjadinya mukjizat adalah kesucian jiwa tersebut. Karena itu, mukjizat tidak dapat lahir kecuali di tangan para Nabi.

3.    Macam-macam Mukjizat
Seperti jamak kita ketahui, mukjizat yang diberikan oleh Allah SWT kepada para Nabi-Nya ada 2 macam yaitu, yaitu mukjizat hissi dan mukjizat maknawi.[6]
a.    Mukjizat hissi, ialah yang dapat dilihat oleh mata, didengar oleh telinga, dicium oleh hidung, diraba oleh tangan, dan dirasa oleh lidah. Tegasnya, mukjizat hissi dapat dicapai dan dirasakan oleh panca indera. Mukjizat ini sengaja ditunjukan atau diperlihatkan kepada manusia biasa, yakni mereka yang tidak bisa menggunakan kecerdasan fikirannya, yang tidak cakap pandangan hatinya dan yang rendah budi dan perasaannya.
b.    Mukjizat maknawi, ialah mukjizat yang tidak mungkin dapat dicapai dengan kekuatan panca indera, tetapi harus di capai dengan kekuatan “aql atau dengan kecerdasan pikiran. Karena itu mukjizat maknawi ini tidak mungkin diketahui kecuali oleh orang yang berpikir sehat, bermata hati, berbudi luhur dan yang suka menggunakan kecerdasan fikirannya dengan jernih serta jujur.

B.       Kemukjizatan Al-Qur`an
1.    Al-Qur`an sebagai Mukjizat
Telah kita sebutkan di atas bahwa mukjizat adalah sesuatu yang luar biasa yang diberikan oleh Allah kepada seorang Nabi, sebagai bukti kebenaran risalah yang dibawa. Selain itu, kita sebutkan juga bahwa mukjizat memiliki syarat-syarat tertentu. Jika kita melihat definisi dan syarat tersebut, kemudian kita bandingkan kepada Al-Quran, maka kita akan mendapatkan bahwa Al-Quran adalah mukjizat. Tidak ada ulma yang menyelisihi akan kemukjizatan Al-Quran. Mereka juga sepakat bahwa Al-Quran adalah mukjizat terbesar yang diberikan oleh Allah kepada Nabi Muhammad. Bahkan bisa dianggap sebagai mukjizat teragung di antara mukjizat-mukjizat lain yang pernah diberikan oleh Allah kepada para Nabi-Nabi-Nya.
            Kemujizatan Al-Quran salah satunya dibuktikan dengan tidak adanya manusia maupun jin yang mampu membuat semisalnya. Padahal, berulang kali Al-Quran telah melemparkan tantangan kepada manusia agar membuat semisalnya, walaupun sekedar satu ayat. Selain itu, Al-Quran sebagai mukjizat maknawi menjadikannya tidak terbatas ruang dan waktu.  hKetika mukjizat hissi hanya berlaku bagi orang yang melihat, mendengar, dan mengalami kejadian ketika mukjizat itu turun, Al-Quran berlaku untuk siapa saja di mana saja, meskipun hidup ribuan tahun setelah ia diturunkan.
2.    Aspek Kemukjizatan Al-Quran
Walaupun telah disepakati sebagai mukjizat (bahkan mukjizat terbesar), tetapi para ulama berbeda pandangan dalam menentukan letak nilai kemukjizatan Al-Qur’an. Unsur apa yang menjadikan Al-Qur’an sebagai mukjizat masih menjadi perbincangan hingga saat ini, dan belum juga terselesaikan. Menurut Aisyah Abdurrahman (lebih dikenal sebagai Bintu Syati), seorang cendekiawan Mesir yang mendalami kajian kemukjizatan Al-Qur’an, setiap ulama yang membahas tentang kemukjizatan Al-Qur’an selalu merasa pendapatnya sebagai pendapat akhir yang paling sahih. Akan tetapi, seiring bejalannya waktu akan terbukti bahwa ulama tersebut masih meninggalkan celah kosong yang mendorong ulama setelahnya untuk mengisi kekosongan tersebut.[7] Fenomena ini terus berlangsung hingga dia sendiri (Bintu Syati) menuliskan pandangannya tentang kemukjizatan Al-Qur’an dalam buku berjudul Al I’jâz Al Bayâni li Al Qur’ân.
Dengan demikian, Bintu Syati berpendapat bahwa problematika kemukjizatan Al-Qur’an akan selalu terbuka sehingga tidak dibenarkan seseorang menganggap pendapatnya sebagai pendapat akhir, kemudian menutup pintu pembahasan masalah tersebut. Perbedaan sudut pandang dan problematika kemukjizatan yang tidak berujung merupakan salah satu bentuk kemukjizatan Al-Qur’an itu sendiri.
Namun,semua ulama sepakat bahwa unsur kemukjizatan paling dominan dari Al-Qur’an terdapat pada aspek kebahasaan atau sastra. Pendapat ini dilandasi sebuah fakta bahwa Al-Qur’an diturunkan kepada sebuah kaum yang gemar dan piawai dalam membuat syair serta merangkai karangan sastra.
Dalam bukunya An-Nabâ Al ‘Adîm: Nadarât Jadîdah fi Al Qur’ân, Muhammad Abdullah Diraz, seorang cendekiawan lulusan Al-Azhar yang mendalami kajian sastra Arab, menyebutkan tiga dimensi utama kemukjizatan Al-Qur’an, yaitu kemukjizatan dari sisi sastra, kandungan ilmiah yang dimuat, dan pengaruh yang ditimbulkan terhadap perjalanan sejarah.[8]
a.    Kemukjizatan Sastrawi
Terkait kemukjizatan Al-Qur’an dari dimensi sastrawi, Muhammad Abdullah Diraz melihat dua hal penting yang menjadikan Al-Qur’an sebagai perkara yang sangat mengagumkan.
Pertama, berdasarkan bagian luar lafal Al-Qur’an (al-qasyarah al-sathiyyah). Abdullah Diraz mengungkapkan dua hal yang membuat Al-Qur’an sangat menakjubkan, yaitu keindahan suara karena keteraturan antara harakat, sukun, mad, dan dengungnya saat dibaca, dan juga keserasian susunan kata karena kesempurnaan pengaturan antara lafatl per-lafal hingga membentuk suatu kalimat sempurna.
Keistiewaan Al-Qur’an dalam hal ini dapat dengan mudah ditemukan ketika mendengar lantunan ayat Al-Qur’an dari para qâri (pembaca Al-Qur’an). Walaupun tidak mengetahui maknanya, tetapi dari keteraturan nada, keserasian, dan keindahan bacaan Al-Qur’an mampu membawa yang mendengarkannya berpikir bahwa Al-Qur’an sangat luar biasa.
Kedua, berdasarkan bagian dalam atau cakupan makna yang terkandung (lubb al-bayân al-qur’ânî). Dari sisi ini, Abdullah Diraz menemukan empat faktor yang membuat Al-Qur’an sangat istimewa, yaitu lafalnya sederhana, tetapi mampu mengungkap makna yang diinginkan secara sempurna (al-qasdu fi al-lafzi wa a- wafâ bi haqqi al-ma’na); isi kandungan Al-Qur’an mampu dipahami kalangan awam serta golongan spesialis sekaligus (khitâb al-âmmah wa khitâb al-khâssah); metode penuturan Al-Qur’an mampu memuaskan pikiran dan memberi kenikmatan terhadap jiwa (iqnâ’ al-‘aql wa imthâ’ al-‘âthifah); makna yang disampaikan Al-Qur’an sangat jelas meskipun diungkapkan hanya secara umum (al-bayân wa al-ijmâl).
Intinya, bagi Abdullah Diraz, nilai utama kemukjizatan sastra Al-Qur’an (dilihat dari kandungannya) adalah karena Al-Qur’an mampu mengumpulkan dua hal yang bagi manusia terlihat sangat bertentangan. Al-Qur’an mampu dipahami orang awam dan ilmuwan sekaligus sesuai dengan kapasitas keilmuan mereka. Padahal dalam karangan manusia biasa, suatu karya jika mudah dipahami seorang spesialis, dia akan terasa sulit dipahami (bahkan tidak dapat dipahami) kalangan awam.
Begitu juga Al-Qur’an mampu memuaskan akal dan memberi kenikmatan kalbu, ketika menjelaskan suatu makna, baik dengan cara keseluruhan maupun terperinci. Padahal karangan manusia biasa, tidak pernah dapat memuaskan akal dan hati sekaligus karena keduanya berbeda. Akal berhubungan dengan sesuatu yang logis, sementara hati berhubungan dengan sesuatu yang menakjubkan. Suatu karangan yang memuaskan akal tidak dapat memberikan kenikmatan kalbu, begitu juga sebaliknya. Sementara, Al-Qur’an mampu menggabungkan dua hal yang terlihat sangat kontradiktif dalam satu sentuhan.
Dalam banyak ayatnya, Al-Qur’an mengajak manusia untuk berpikir tentang kebesaran Allah swt melalui ayat kauniyah-nya (fenomena alam) dengan uraian yang sangat indah dan penuh nilai sastra. Al-Qur’an dapat memuaskan akal karena mengajak berpikir rasional, juga memberikan kenikmatan kalbu karena mengungkapkannya dalam bahasa sastra yang indah.

b.   Kemukjizatan Ilmiah
Aspek kemukjizatan berikutnya yang juga dianggap bagian dari kemukjizatan pokok Al-Qur’an adalah isyarat ilmiah yang disinggung Al-Qur’an. Aspek kemukjizatan ini sering disebut sebagai kemukjizatan saintifik, ilmiah, atau al-i’jaz al-‘imiy. Konsep kemukjizatan ini merupakan salah satu konsep kemukjizatan yang baru diungkap dewasa ini.
Yang dimaksud dengan kemukjizatan saintifik adalah bahwa Al-Qur’an telah memuat isyarat kebenaran ilmiah yang belum diketahui masyarakat ketika turunnya Al-Qur’an.[9] Konsep kemukjizatan saintifik yang banyak diusung para ilmuwan eksakta ini mencoba membawa Al-Qur’an ke dalam ranah eksakta, melalui penafsiran ayat kauniyah tentang peristiwa alam dan kebenaran ilmiah yang baru diungkap para penemu ilmiah. Contoh dari aspek kemukjizatan ini dapatdiketahui melalui QS. An-Nuur [24]: 45.ƒ
Artinya:   Dan Allah telah menciptakan semua jenis hewan dari air, Maka sebagian dari hewan itu ada yang berjalan di atas perutnya dan sebagian berjalan dengan dua kaki sedang sebagian (yang lain) berjalan dengan empat kaki. Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya, Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Pandangan Al-Qur’an yang mengatakan bahwa semua makluk tercipta dari air, ternyata sama dengan fakta ilmiah yang menyatakan bahwa lebih dari tujuh puluh lima persen unsur tubuh suatu makhluk hidup terdiri atas air.
c.    Kemukjizatan tentang Kabar Gaib
Selain kedua aspek tersebut, adanya hal gaib yang terkandung dalam Al-Qur’an dianggap sebagai bagian dari aspek penting kemukjizatan Al-Qur’an. Definisi kata “gaib” dalam konteks ini mengandung arti sebagai suatu perkara yang tidak diketahui umat manusia, baik tidak diketahui karena jaraknya seperti galaksi dan benda langit, dzatnya seperti jin dan malaikat, atau karena waktunya. Yang tidak diketahui karena waktunya dapat dibagi menjadi tiga, yaitu peristiwa yang terjadi di masa lampau, masa kini, atau masa yang akan datang.
Salah satu contoh peristiwa yang masuk dalam kategori masa lampau adalah semua peristiwa yang terjadi sebelum Nabi Muhammad Saw diutus. Kategori pertama ini juga dikenal dengan nama i’jâz târîkhiy. Peristiwa yang dimaksud adalah kisah para nabi terdahulu dengan umatnya, kisah ashâb al-kahfi (tujuh pemuda beriman yang sembunyi di sebuah gua untuk berlindung dari kejaran penguasa zalim saat itu), kisah perjumpaan Nabi Musa AS dengan Khidir AS, dan lain sebagainya.
Adapun mengenai hal gaib yang terjadi di masa saat ini (pada masa Rasulullah Saw) adalah segala peristiwa yang terjadi di masa kenabian Rasulullah Saw, tetapi secara logis tidak mungkin diketahui Nabi Muhammad Saw. Misalnya adalah tentang perilaku kaum Yahudi, kaum munafikin, dan para musuh Islam lainnya pada waktu itu. Al-Qur’an menyebutkan keburukan dan siasat untuk menghancurkan Islam yang mereka sembunyikan.
Namun, peristiwa gaib yang termasuk dalam kategori terakhir adalah segala peristiwa yang baru terjadi beberapa waktu setelah turunnya ayat yang membahas kejadian tersebut. Contoh kemukjizatan dalam hal ini dapat ditemukan pada keterangan Al-Qur’an tentang kemenangan bangsa Romawi atas bangsa Persia setelah kekalahan mereka beberapa tahun sebelumnya yang direkam dalam QS.Ar Ruum [30]: 1-4.
 
Artinya: 1. Alif laam Miim. 2. Telah dikalahkan bangsa Rumawi. 3. Di negeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang. 4. dalam beberapa tahun lagi. bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). dan di hari (kemenangan bangsa Rumawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman.

Selain tiga kemukjizatan tersebut, satu aspek lain yang saat ini sering disebut para cendekiawan muslim kontemporer, yaitu kemukjizatan dari sisi pokok peribadatan umat Islam yang dijelaskan Al-Qur’an atau dalam istilah Bahasa Arab disebut i’jaz tasyri’iy. Kemukjizatan syariat adalah sebuah pemahaman bahwa ajaran yang diturunkan Allah Swt dalam Al-Qur’an sangat tepat bagi manusia. Ajaran yang dibawa Al-Qur’an sangat mempertimbangkan aspek dan kondisi manusia sebagai makhluk istimewa. Syariat tersebut tidak mungkin keluar dari manusia karena manusia pun tidak mengetahui tentang dirinya sendiri. Para ulama menyimpulkan bahwa Al-Qur’an pasti lahir dari Dzat yang mengetahui dengan sangat detil dan jelas semua aspek dan kondisi manusia, baik lahir maupun batin. Jadi, yang mengetahui hal itu tidak lain adalah Allah Swt, pencipta semesta alam beserta isinya.
Para ulama membagi pokok syariat Islammenjadi tiga, yaitu akidah, syariah,dan akhlak. Akidah yang dijelaskan Al-Qur’an adalah konsep ketauhidan yang menegaskan bahwa tidak ada yang wajib disembah, kecuali Allah Swt. Konsep ini merupakan misi utama diutusnya paranabi, dari Nabi Adam As hingga Nabi Muhammad Saw. Setelah ketauhidan, fase akidah selanjutnya adalah keimanan kepada rasul Allah Swt beserta risalah yang disampaikannya, serta hari akhir. Ketiga hal ini yang menjadi fondasi utama akidah Islam.
Setelah akidah, Al-Qur’an menjelaskan pokok syariat kedua, yaitu hukum Allah swt yang mengatur hubungan antara seorang hamba dengan Tuhan dan sesamanya. Bagian ini terdiri dari dua hal, yaitu ibadah dan muamalah. Dalam bagian ibadah, Al-Qur’an menjelaskan bentuk peribadatan yang harus dilakukan manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Sementara, bagian muamalah berbicara tentang kegiatan sosial yang lebih tertuju kepada interaksi manusia dengan sesamanya. Dalam kajian para ulama kontemporer, pengharaman terhadap hal tertentu membawa mudarat dalam tatanan sosial masyarakat. Nilai kemukjizatan tersebut karena untuk mengetahui bahaya dari pengharaman sesuatu tidak mungkin dapat diketahui masyarakat Arab yang sangat terbelakang dalam dunia keilmuan. Karena itu, Al-Qur’an tidak mungkin diciptakan masyarakat Arab, termasuk Nabi Muhammad saw, tetapi Allah swt Yang Maha Mengetahui apapun yang telah lalu maupun yang akan datang.
Kembali kepada peran Al-Qur’an sebagai mukjizat primer Rasulullah Saw sekaligus mukjizat terbesar sepanjang zaman, karakteristik utama serta aspek kemukjizatan yang telah disebutkan adalah bentuk penegasan keistimewaan Al-Qur’an dibandingkanmukjizat lain. Kedua sisi penilaian ini cukup menjadi jawaban atas pertanyaan mengapa Al-Qur’an menjadi mukjizat primer sekaligus terbesar yang diberikan Allah swt.
3.    Kemukjizatan Al-Qur’an dalam Era Globalisasi
Perkembangan ilmu pengetahuan pada era globalisasi saat ini telah terjadi di segala lini kehidupan dan menuntut siapapun untuk menjawab dan mengikutinya, tidak terkecuali umat Islam. Hal ini pun berpengaruh terhadap Al-Qur’an yang menjadi pedoman dan panduan kaum muslimin sepanjang zaman. Mereka yang mengingkari Islam dan Al-Qur’an seakan-akan menuntut Al-Qur’an untuk menunjukkan eksistensinya menghadapi gempuran perkembangan ilmu pengetahuan.
Para ulama pun terdorong merespon fenomena ini. Kajian Al-Qur’an akhirnya semakin meruncing pada misi untuk menemukan nilai kemukjizatan yang diyakini berhubungan dengan ilmu pengetahuan dan perkembangan zaman yang semakin pesat.
a.    Kemukjizatan Sistem Ekonomi
Tidak heran apabila beberapa tahun terakhir mulai bermunculan bentuk baru kemukjizatan Al-Qur’an, seperti halnya kemukjizatan ekonomi (i’jâz iqtisadiy). Al-Qur’an ternyata banyak berbicara tentang sistem ekonomi ideal sejak 14 abad yang lalu. Salah satunya adalah bagaimana Al-Qur’an dengan tegas mengharamkan riba dan kecurangan dalam perdagangan. Terbukti hingga saat ini praktik riba adalah faktor utama yang menyengsarakan masyarakat sehingga justru menjauhkan manusia dari kesejahteraan. Firman Allah Swt,
Artinya:   Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (QS. Al Baqarah [2]: 278-279)

Ada juga kemukijizatan metode dakwah (i’jâz da’wi), di mana Al-Qur’an telah memuat metode jitu mengajak manusia kepada kebenaran. Contohnya dapat ditemukan ketika Al-Qur’an menyuruh kaum muslimin agar berdakwah dengan cara yang santun, lembut, dan penuh kebijaksanaan. Firman Allah Swt,

Artinya:  Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.
b.   Kemukjizatan Metode Pendidikan
Kemukjizatan dalam bidang metode pendidikan (i’jâz tarbawi), adalah bahwa Al-Qur’an juga telah memuat metode pendidikan ideal bagi manusia. Pendidikan diawali dengan penanaman akidah yang benar, diikuti denganpendidikan karakter yang luhur. Contoh metode pendidikan dapat dilihat dalam QS. Luqman [31]: 13-19, ketika Lukman berwasiat kepada anaknya.
Artinya:   Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.
Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
 (Luqman berkata): "Hai anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha mengetahui.
Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).
Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.
Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. (QS. Luqmaan [31]: 13-19)
c.    Kemukjizatan Psikologis
Kemukjizatan psikologis (i’jâz nafsiy), yaitu bahwa Al-Qur’an juga telah berbicara banyak tentang hakikat jiwa dan tabiat manusia yang tidak diketahui sebelumnya. Al-Qur’an memuat banyak ayat yang membangkitkan motivasi manusia untuk hidup opitimis. Masalah yang dihadapi selalu ada solusinya sehingga tidak perlu bersedih dan gundah gulana. Kemukjizatan psikologis ini tercantum dalam QS. Asy Syarh [94]: 1-8.
Artinya: Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?,
Dan Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu,
Yang memberatkan punggungmu?
Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu,
Karena Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,
Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.
Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain’
Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.

C.      Kemukjizatan Hadis
1.    Hadis sebagai Mukjizat
Hadist menurut bahasa, mempunyai beberapa arti: antara lain jadid (baru) lawannya qadim; qarib (dekat), dan khabar (warta).  Kata hadits dalam bahasa Arab bermakna komunikasi, cerita-cerita, perbincangan, religius atau sekuler, historis atau kekinian.
Hadist merupakan jalan hidup yang dijalani atau kebiasaan seseorang baik jalan hidup itu baik atau buruk.  Hadits dalam arti khabar sering dijadikan acuan dalam penyebutan hadits secara bahasa.
Kamus umum bahasa Indonesia hadist merupakan cerita yang bertalian dengan sabda dan perbuatan Nabi Muhammad saw. Dalam Al-Qur’an disebutkan Hadits sebagai Khabar.[10]
Pengertian Hadis secara istilah  ialah, “Segala ucapan Nabi, segala perbuatan dan keadaan. Pendapat ini hampir sama dengan Muhammad Thalib dengan mengutip pendapat Imam Suyuti. Ibnu Hajar mengartikan sesuatu yang telah datang. Mahmud Thahan Ilmu hadist adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw Perkataan, perbuatan, ketetapan dan sifat-sifat-Nya.[11]
Menurut ahli Ushul, hadits ialah segala perbuatan dan segala taqrir Nabi yang bersangkut paut dengan hukum.[12]  Di sisi istilah, ulama Hadis menyakini bahwa apa yang disebut dengan hadits adalah segala ucapan, perbuatan, taqrir maupun hal ihwal tentang  Nabi Muhammad SAW. baik ketika ia sudah diangkat menjadi Nabi dan Rasul maupun sebelum ia di angkat menjadi Nabi dan Rasul.[13]
Dari beberapa pengertian hadis di atas, secara garis besarnya Hadis mengandung empat unsur, yakni: perkataan, perbuatan, pernyataan dan sifat-sifat atau keadaan-keadaan Nabi Muhammad saw, yang semuanya disandarkan kepada beliau, tidak termasuk hal-hal yang disandarkan kepada para sahabat dan tidak pula kepada tabi’in.
Terkait dengan pemabahasan Kemukjizatan Hadis, sejatinya perlu penulis sebutkan di sini bahwa istilah “kemukjizatan Hadis” sejatinya adalah istilah yang perlu didiskusikan lebih lanjut. Pasalnya, berbeda dengan Al-Quran yang disepakati sebagai mukjizat yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW, Hadis bukanlah demikian. Artinya, Hadis bukanlah mukjizat sebagaimana Al-Quran. Selain karena hadis, secara lafalnya berasal dari Rasulullah SAW sendiri, bukan dari Allah, dalam Hadis juga tidak terdapat tantangan kepada orang lain untuk membuat semisalnya.
Memang, hadis memuat nilai-nilai yang luar biasa, yang kiranya cukup musthil datang dari seorang buta huruf seperti Muhammad SAW pada masa di mana masyarakat ketika itu sangat terbelakang dari sisi keilmuan. Tapi, perlu juga disebutkan bahwa tidak semua hal yang luar biasa itu dengan mudah dimasukkan dalam kategori mukjizat. Mukjizat memang luar biasa, tapi tidak semua yang luar biasa itu mukjizat.
Karena itu, kiranya perlu penulis sebutkan bahwa yang penulis maksudkan dari istilah "kemukjizatan hadis" adalah bahwa Hadis memiliki nilai-nilai luar biasa yang tidak dapat didatangkan oleh manusia pada masa kenabian dahulu. Bukan berarti bahwa Hadis adalah mukjizat Nabi Muhammad sebagai mana tangan yang bercahaya adalah mukjizat Nabi Musa. Kita semua maklum bahwa mukjizat Rasulullah adalah Al-Quran.
Penulis menggunakan “nilai-nilai luar biasa” Hadis dengan istilah “kemukjizatan” tak lain adalah untuk mengikuti istilah yang selama ini telah popular di kalangan masyarakat umum. Jadi sekali lagi penulis tidak bermaksud mengatakan bahwa Hadis adalah mukjizat sehingga nilainya sebanding dengan Al-Quran.
2.    Aspek-Aspek Kemukjizatan Hadis
Sebagaimana halnya Al-Quran, ternyata Hadis juga memuat nilai-nilai, makna-makna, dan ajaran-ajaran yang berada di luar kemampuan manusia pada masanya. Berikut penulis uraikan beberapa aspek kemu’jizatan Hadis atau Sunah yang dapat kita temukan dalam ucapan-ucapan yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW.
a.    Kemukjizatan ilmiah
Kemukjizatan ilmiah Hadis bermaksud bahwa Hadis telah menetapkan isyarat fakta-fakta ilmiah sebelum kita sampai pada penemuan-penemuan ilmiah dewasa ini.[14] Sebagai contoh kemukjizatan ilmiah dalam Hadis adalah apa yang diriwayatkan Imam Bukhari dalam shahihnya (kitab Al-Iman) tentang fungsi dan posis hati bagi manusia. Rasulullah SAW bersabda:
اَلَا اِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً اِذَاصَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُكُلُّهُ   وَاِذَافَسَدَتْ فَسَدَالْجَسَدُ كُلُّهُ اَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ                  
“Sesungguhnya didalam tubuh terdapat segumpal Darah yang apabila ia sehat dan baik maka baiklah seluruh tubuh, sebaliknya apabila ia sakit maka sakitlah seluruh tubuh, ketahuilah, segumpal darah itu adalah hati.[15]
Hadis senada diriwayatkan oleh Imam Muslim Dalam kitabnya Shahih-nya dengan redaksi sebagai berikut :
“Kami mendapat hadis dari Muhammad bin Abdullah bin Numair Al-Hamdani; tuturnya: kami mendapat hadis dari bapak saya; tuturnya: kami mendapat hadis dari Zakariyya, dari Asy-Sya’bi, dari An-Nu’man bin Basyir. Asy-Sya’bi mengatakan: saya melihat An-Nu’man bin Basyir mengarahkan jari tangannya kearah keua telinganya dan berkata: saya pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda: sesungguhnya perkara halal itu sudah jelas dan sesungguhnya perkara haram juga sudah jelas. Sedangkan diantara keduanya adalah subhat (samar) yang tidak diketahui oleh banyak orang. Barangsiapa menjaga dari perkara yang subhat, maka ia telah membersihkan Agama dan kehormatannya. Dan barang siapa masuk kedalam hal-hal subhat, maka ia bagaikan seorang gembala yang mengembalakan ternaknya disekitar daerah terlarang yang dikhawatirkan ia akan merumput didalamnya. Ingatlah, bahwa setiap penguasa mempunyai batasan-batasan tertentu dan sesungguhnya batasan-batasan Allah adalah larangan-larangan-nya. Ingatlah, sesungguhnya didalam tubuh terdapat segumpal darah, yang apabila ia baik maka baiklah seluruh tubuh dan apabila ia buruk maka buruklah seluruh tubuh, ketahuilah ia adalah hati.
Menurut kajian Dr Zaghlul An-Najjar, Hadis ini memuat secercah kemukjizatan ilmiah, karena ternyata ditemukan suatu fakta bahwa penyakit apapun apabila telah menyerang hati atau jantung, maka ia akan merusaknya dan akhirnya akan merusak seluruh tubuh. Hal ini diarenakan jantung berfungsi memompa darah yang tidak  bersih (belum teroksidasi) dari bilik jantung bagian kanan ke paru-paru yang lansung melakukan proses oksidasi darah, lalu mengembalikan darah yang sudah bersih (teroksidasi) dari paru-paru kebilik jantung bagian kiri yang kemudian  memompanya keseluruh bagian tubuh. Jantung dalam hal ini mensuplay triliunan sel-sel pembentuk tubuh manusia dengan gas oksigen dan sari-sari makanan. Sehingga ia sampai rusak atau macet, maka seluruh sel tubuh pun akan ikut rusak.[16]
Dari uraian ini, kita akan terheran-heran dengan Hadis Rasulullah SAW. Diatas yang telah menyinggung fakta ini denga detail. ini merupakan fakta medis yang baru bagi disiplin ilmu manusia sampai ketika Ibnu An-Nafis menemukan sirkulasi darah kecil pada abad ke-13 M. Namun buah pemikirannya ini terkubur dan terlupakan selama tiga (3) abad dan baru terkuak ketika orang-orang barat berusaha menisbahkan penemuan tersebut pada diri mereka dengan cara memunculkan kembali pemikiran tersebut, mengembangkannya, dan mmengakui sebagai penemuan mereka.
Lepas dari hal ini, yang pasti isyarat Rasulullah SAW apabila hati atau jantung baik maka proses sirkulasi darah akan menjadi baik dan sehat, begitu seluruh bagian tubuh, namun apabila ia rusak, maka rusaklah pula seluruh organ tubuh, dan ini sudah dapat dibuktikan secara ilmiah[17]
Dari sini kita patut bertanya-tanya, siapakah yang mengajari Rasulullah SAW. Tentang fakta-fakta tersebut juika bukan Allah ? siapa pula yang mampu menemukan  proses sirkulasi darah didalam tubuh manusia dan menemukan peran dan fungsi jantung dalam proses sirkulasi darah empat belas (14) abad yang silam jika reperensinya bukan berasal dari langit ?
Hati sebagai organ tubuh manusia (jantung) merupakan organ yang vital di dalam tubuh Manusia. Dalam satu menit jantung melekukan sekitar 70 denyutan atau detakan atau sekitar 100.000 denyutan dalam sehari untuk memompa lima (5) liter darah dalam setiap detiknya atau sekitar 7.200 liter dalam satu hari melalui jaringan rumit yang terdiri dari pembuluh nadi, urat-urat, dan saluran kepiler darah yang panjannya mencapai ribuan kilo meter.
Dari sini kilauan kemu’jizatan Hadis Rasulullah SAW. Akan semakin jelas jika kita memahami hati dalam dimensi fisiknya sebagai organ tubuh yang dapat diraba dan dalam dimensi spritualnya sebagai sesuatu yang bersifat immateri dan tidak dapat dilihat. Dengan sinergi ini, pemahaman kita menjadi lurus, akurat, dan konprehensif.
Sebagai organ fisik, hati merupakan pilar kehidupan tubuh, Sehingga jika ia baik dan sehat maka sehat dan baiklah semua tubuhnya. Dan sebaliknya, jika ia bobrok dan rusak, maka akan bobrok dan rusaklah seluruh tubuh.
Sedangkan sebagai organ maknawi, hati merupakan pilar perasaan, keyakinan, nalar, pemikiran, pemahaman, ahlak, dan budi pekerti. Sehingga jika ia baik dan sholeh, maka baik dan sholeh pula seluruh tubuhnya, namun jika ia bobrok dan bejat, maka bobrok dan bejat pula seluruh tubuhnya.[18]
b.   Kemukjizatan Kabar Gaib
Selain memuat isyarat ilmah, ada banyak Hadis yang membuat pemberitaan-pemberitaan gaib, dalam artian pemberitaan perkara yang tidak diketahui oleh manusia pada saat itu. Perkara gaib bagi manusia bisa terbagi menjadi tiga macam: gaib dari sisi tempat, yaitu tempat yang tidak terjangkau oleh manusia, seperti tentang langit ke tujuh, planet-planet yang belum terjangkau oleh manusia, dll; gaib dari sisi waktu, yaitu peristiwa yang terjadi sebelum manusia tersebut lahir, seperti kanar tentang umat-umat dahulu; atau gaib dari sisi keadaan, di mana keadaan tersebut tidak mungkin diketaui oleh manusia, seperti perkara akhirat, malaikat, jin, dll.
Contoh dari kemukjizata gaib dalam Hadis adalah peristiwanya terjadi pada masa Rasulullah saw masih berada di Makkah, yaitu peristiwa terbelahnya bulan.
            Peristiwa terbelahnya Bulan, diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari Dalam Shahinya (Kitab Al-Maghaziy), dengan redaksi sebagai berikut:
“ Kami mendapat Hadis dari Abdullah bin Abdul Wahhab, tuturnya : Kami mendapat hadeis dari Bisyr bin Al-Mufadhdal,tuturnyaZaid bin Abu arubah, dari Katadah, dari Anas bin Malik ra. Bahwa Panduduk Makkah meminta kepada Rasulullah SAW.agar memperlihatkan suatu Tanda (kenabian)kepada mereka, Maka beliau pun memperlihatkan kepada mereka bulan yang terbelah dua sehingga mereka melihat Gua hira disela-sela Keduanya.
Hadis senada diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya (kitab Syfa Al-qiyamah, Al-jannah wa An-Nar dengan redaksi sebagai berikut.
            Saya mendapat hadis dari Zubair bin Harb dan Abd bin Humaid, merka mengatakan : kami mendapat  hadis dari Yunus bin Muhammad; tuturnya: kami mendapat hadis dari Syaiban, tuturnya: kami mendapat kadis dari Qatadah, dari Anas bahwasanya penduduk Mekkah meminta Rasulullah SAW. Untuk memperlihatkan kepada mereka suatu tanda (kenabian), maka beliau pun memperlihatkan terbelahnya bulan sebanyak dua kali.
Kita semua tahu, jarak antara bulan dan bumi sangatlah jauh. Bulan baru dapat dicapai oleh manusia pada akhir-akhir ini saja. Pada zaman dahulu, tidak pernah ada orang yang datang ke bulan, sehingga perkara tentang bulan adalah perkara gaib bagi manusia.
Lalu bagaimana Nabi Muhamad yang tidak pernah ke bulan mampu memberikan kabar tentang terbelahnya bulan?
Tentu kita semua yakin bahwa Bulan terbelah tidak pernah terjadi selain saat diperlihatkan Allah SWT sebagai mukjizat untuk membenarkan dan memperkuat kebenaran Muhammad saw sebagai Nabi dan Rasul. Peristiwa itu termasuk mukjizat besar. Para ulama ahli tafsir dan para ahli hadis sependapat, bahwa peristiwa tersebut merupakan mukjizat yang diperlihatkan Allah kepada kaum Musyrikin Quraisy yang selalu menuntut pembuktian tentang benarnya kenabian dan kerasulan Nabi Muhammad saw beserta dakwahnya. Peristiwa luar biasa yang tidak mungkin terjadi kecuali atas kehendak dan kekuasaan Allah SWT.
c.    Kemujizatan dalam Pensyariatan
Selain dua aspek kemukjizatan di atas, ada satu aspek kemujizatan lain yang cukup menonjol dalam Hadis-Hadis Nabi. Kemukjizatan tersebutan adalah kemukjizatan syariah, dalam artian dalam Hadis Nabi ada perintah-perintah dan larangan-larangan yang manfaatnya bagi manusia baru dikethui akhir-akhir ini. Di antara contoh aspek kemukjizatan ini adalah pada anjuran untuk bersiwiwak.
Hadis tentang anjuran bersiwak diriwayatkan Imam Bukhari dalam shahihnya (kitab Al-Jumu’ah) dengan redaksi sebagai beikut :
Kami mendapat hadis dari Abdullah bin Yusuf; tuturnya: kami mendapat khabar dari Malik, dari Abu Az-Zinad, dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah SAW. Bersabda: seandainya tidak terlalu memberatkan ummatku atau Manusia, niscaya sudah aku perintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali hendak sholat.
Hadis senada juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahih Muslim (kitab At-Thaharah) dengan redaksi sebagai berikut:
Kami mendapat hadis dari Qutaibah bin Sa’id, Amr An-Naqid, dan Zuhair bin Harb, mereka mengatakan kami mendapat hadis dari Sopyan, dari Abu Az-Zinad, dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW. Beliau besabda: seandainya tidak terlalu memberatkan kaum Mukminin niscaya  sudah Aku perintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali hendak Sholat.
Salah satu petunjuk Nabi SAW dalam konteks Hadis ini adalah imbauan untuk menggunakan siwak setiap kali hendak Sholat (minimal lima kali dalam sehari).
Akhir-akhir ini ternyata ditemukan suatu fakta bahwa siwak adalah batang semak (pohon kecil-kecil) yaang biasa dikenal dengan “arak”. Namun, siwak juga dapat dibuat dari batang kayu dari pohon-pohon kecil seperti pohon zaitun liar atau pohon sambur. Siwak yang paling baik kualitasnya adalah siwak yang dibuat dari akar-akar pohon ara, sedangkan siwak yang dibuat dari cabang-cabang pohon ara kualitasnya kurang baik.[19]
Penelitan laboratorium atas batang pohon arak (siwak) membuktikan bahwa ia mengandung sejumlah komposisi kimia yang dapat menjaga gigi dari gangguan kerapuhan dan kebusukan, dan merawat gusi dari peradangan, misalnya asam asrid. Juga komposisi kimia lainnya seperti minyak lada (mustard) dan gula anggur yang mempunyai aroma menyengat dan rasa menggigit. Dua komposisi kimia ini memilki kemampuan luar biasa untuk membinasakan kuman-kuman mulut. Komposisi kimia lain yang terkandung dalam batang ara (siwak) adalah zat volatile, zat gula, getah, mineral, bulu-bulu alamiah dari serat-serat nabati yang mengandung karbonat sodium yang merupakan zat yang biasa digunakan untuk membuat pasta gigi.[20]
Data-data klinis tentang kandungan pohon siwak ini tentu saja belum ada pada zaman diturunkannya wahyu, maupun beberapa abad setelahnya. Sehingga imbauan Rasulullah SAW. untuk menggunakan siwak setiap kali hendak sholat merupakan sebuah gebrakan ilmiah dan behaviorial dengan segala aspeknya.
Imbauan bersiwak ini sekaligus merupakan wujud antusiasme Rasulullah SAW. Agar menjaga kebersihan dan kesucian mulut dan gigi. Sebab, mulut adalah pintu gerbang masuknya makanan kedalam system pencernaan didalam tubuh manusia. Ketika manusia mengunyah makanan, maka pasti ada sisa-sisa makanan yang tertinggal disela-sela gigi dan gusi. Jika tidak dibersihkan, sisa-sisa makanan ini bias membusuk dan menybabkan bakteri dan jamur yang sering menjadi penyebab berbagai macam penyakit, disamping menyebabkan bau mulut yang tidak sedap danmengganggu orang lain.
Oleh Karna itu, Rasulullah SAW mengingatkan dan berpesan agar ummatnya rajin menggunakan siwak setiap kali hendak shalat demi membersihkan mulut dan gigi dari berbagai sisa-sisa makanan, menghilaangkan bau yang tidak sedap, sekaligus menghasilkan aroma mulut yang harum, merawat mulut dan gigi, dan mmelindungi seluruh anggota tubuh dari penyakit yang diakibatkan keduanya.
Dari sini muncul pertanyaan, siapakah yang member tahu Rasulullah SAW yang ummi ini tentang manfaat dan faedah menggunakan siwak ? Padahal ini terjadi empat belas (14) abad yang lalu. Dimana masa itu belum dietahui dan dipahami kerusakan dan kerapuhan gigi. Mengapa Rsulullah SAW menganjrkan dan memerintahkan kepada ummatnya untuk bersiwak setiap hendak sholat pada masa di mana tidak seorang pun yang mengetahui kandungan kimiawinya, kecuali baru pada beberapa decade terakhir abad ke-20.?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut ingin kami tegaskan bahwa gebrakan Hadis Nabi yang mendahului berbagai temuan ilmu pengetahuan dengan jarak 14 abad silam dengan isyarat tentang manfaat penggunaan siwak untuk membersihkan gigi dan mulut tidak mungkin bersumber dari selain Allah sang Maha pencipta langit dan bumi.



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.    Kata Mukjizat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia di artikan sebagai kejadian ajaib yang sukar di jangkau oleh kemampuan akal manusia . Mukjizat didefinisikan oleh pakar agama Islam antara lain, sebagai hal atau peristiwa luar biasa yang terjadi melalui seseorang yang mengaku nabi, sebagai bukti kenabiannya yang ditantangkan kepada yang ragu, untuk melakukan atau mendatangkan hal serupa, namun mereka tidak mampu memenuhi tantangan itu.
2.    Al-Quran merupakan mukjizat Nabi Muhammad SAW yang  bersifat aqliyah yang abadi, karena ai merupakan risalah penghabisan. Maka dari itu, kemukjizatan Al-Quran berlangsung abadi sepanjang masa selama manusia masih menghuni dunia ini.
3.    Selain Al-Quran, Hadis-hadis Rasulullah SAW juga mengandung nilai-nilai ajaran yang luar biasa dan menakjubkan yang kemudian sering diistilah sebagai kemukjizatan Hadis. Kemukjizatan Hadis mencakup beberapa aspek, seperti aspek keilmuan, aspek pemberitaan gaib, dan aspek penysariatan.
DAFTAR RUJUKAN
Abdurrahman, Aisyah. Al-I’jaz Al-Bayani lil Quran. Kairo: Darul Maarif, t.th.
Al-Munawar, Said Agil Husen, Al-Quran membangun Tradisi Keshalehan Hakiki, Jakarta: Ciputat Press, 2002.
Al-Munawwar, Said Agil Husain. I’jaz Al-Quran dan Metodologi Tafsir. Semarang: Dimas, 2002.
Al-Qaradhawi, Yusuf. Kaifa Nata’amal ma’al Al-Quran Al-Karim. Kairo: Darusy Syuruq, 2005.
An-Najjar, Zaghlul. Al-I'jaz Al-Ilmi fi As-Sunnah An-Nabawiyah. Kairo: Dar Nahdah Misriyyah, tt.
An-Najjar, Zaghlul. Min Ayat Al-I'jaz Al-Ilmi. Kairo: Maktabah Asy-Syuruq Ad-Dauliyah, 2008.
Diraz, Muhammad Abdullah.  Al Naba‘ Al Adzim. Alexandria: Dar Al Murabithin, 1997.
Husnan, Ahmad. Gerakan Inkar as-Sunnah. Jakarta: Media Dakwah, 1981.
Manzur, Ibnu. Lisan Al-Arab. Beirut: Dar Shadir, 1414 H.
Rahman, Farhur. Ikhtisar Musthalahul Hadits. Bandung: Pt Ma’arif, 1987.
Shaleh, Subhi. Mabahits fi Ulum Al-Qur‘an. Beirut: Dar Al ‘Ilmi lilmalayin, 1988.
Shihab, M. Quraish. Mukjizat Al-Quran. Bandung: Mizan, 1998.
Sodikin, Abuy. Metodologi Studi Islam. Bandung: Pt Ma’arif, 2002.
Sumarna, Cecep. Pengantar Ilmu Hadits. T.t: Pustaka Bani Quraisy, 2004.



[1] Said Agil Husen Almunawar, Al-Quran Membangun Tradisi Keshalehan Hakiki, ( Jakarta: Ciputat Press, 2002 ), hlm. 18.
[2] Ayat ini memberikan jaminan tentang kesucian dan kemurnian Al Quran selama-lamanya.
[3] Ibnu Manzur, Lisan Al-Arab, Juz V,(Beirut: Dar Shadir, 1414 H), hlm 369.
[4] M.Quraish Shihab, Mukjizat Al-Quran, (Bandung : Mizan 1998),  hlm. 25.
[5] M.Quraish Shihab, Mukjizat Al-Quran, (Bandung: Mizan 1998), hlm. 36.
[6] Yusuf Al-Qaradhawi, Kaifa Nata’amal ma’al Al-Quran Al-Karim, (Kairo: Darusy Syuruq, 2005), hlm 41.
[7] Aisyah Abdurrahman, Al-I’jaz Al-Bayani lil Quran, (Kairo: Darul Maarif, t.th.), hlm. 13.
[8] Muhammad Abdullah Diraz, Al-Naba‘ Al- Adzim, (Alexandria: Dar Al Murabithin, 1997), hlm. 9-10.
[9] Zaghlul An-Najjar, Min Ayat Al-I'jaz Al-Ilmi, (Kairo: Maktabah Asy-Syuruq Ad-Dauliyah, 2008), hlm. 36.
[10] Ahmad Husnan, Gerakan Inkar As-Sunnah, (Jakarta: Media Dakwah, 1981), hlm. 51.
[11] Farhur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits, (Bandung: Pt Ma’arif, 1987), hlm. 6.
[12] Abuy Sodikin, Metodologi Studi Islam,  (Bandung: Pt Ma’arif,2002), hlm. 68.
[13] Cecep Sumarna, Pengantar Ilmu Hadits, (T.t, Pustaka Bani Quraisy, 2004), hlm. 1.
[14] Zaghlul An-Najjar, Al-I'jaz Al-Ilmi fi As-Sunnah An-Nabawiyah, (Kairo: Dar Nahdah Misriyyah, tt), hlm. 33.
[15] Zaghlul An-Najjar, Al-I'jaz Al-Ilmi fi As-Sunnah, hlm. 33.
[16] Zaghlul An-Najjar, Al-I'jaz Al-Ilmi fi As-Sunnah, hlm. 432.
[17] Zaghlul An-Najjar, Al-I'jaz Al-Ilmi fi As-Sunnah, hlm. 433.
[18] Zaghlul An-Najjar, Al-I'jaz Al-Ilmi fi As-Sunnah, hlm. 434.
[19] Zaghlul An-Najjar, Al-I'jaz Al-Ilmi fi As-Sunnah, hlm. 465.
[20] Zaghlul An-Najjar, Al-I'jaz Al-Ilmi fi As-Sunnah, hlm. 465.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar