BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Quran adalah
sumber utama ajaran islam dan
pedoman hidup bagi setiap muslim. Al-Quran bukan sekedar memuat petunjuk
tentang hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga mengatur hubungan manusia
dengan sesamanya, serta manusia dengan alam sekitarnya. Untuk memahami ajaran
islam secara sempurna (kaffah),
diperlukan pemahaman terhadap kandungan Al-Quran dan mengamalkannya dalam
kehidupan sehari-hari secara sungguh-sungguh dan konsisten.
Sebagaimana di
ketahui, Al-Quran diturunkan ke dalam bahasa Arab. Kendati Al-Quran berbahasa Arab,
tidak berarti semua orang Arab atau
orang yang mahir dalam bahasa Arab, dapat memahami Al-Quran secara rinci. Bahkan
para Sahabat sendiri tidak sedikit yang mengalami kesulitan dalam memahami
kandungan Al-Quran. Hal ini disebabkan untuk memahami Al-Quran tidak cukup
dengan kemampuan ddalam menguasai bahasa Arab saja, tetapi lebih dari itu juga harus
menguasai ilmu-ilmu penunjang.[1]
Selain sebagai
kitab yang memerlukan ilmu-ilmu penujang untuk mamahaminya, Al-Quran juga
merupakan kitab yang dijamin keterjagaannya. Yang menjamin bukan manusia, tapi
langsung Allah SWT sendiri. Dalam Al-Quran surah al-Hijr ayat 9 Allah SWT berfirman :
Artinya : Sesungguhnya Kami-lah yang
menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.[2]
Tidak
ada kitab pegangan umat sepanjang
sejarah yang kesucian dan kemurniannya senantiasa terjaga dari noda hitam
tangan-tangan jahil yang ingin mengotori kitab suci tersebut kecuali Al-Quran. Hanya
kitab suci ini yang cahayanya dari hari ke hari semakin kuat menyinari
kegelapan hati yang tertutup oleh kebodohan, fanatisme dan keangkuhan. Semakin kuat mereka menutupi
cahaya hakikat-hakikat Al-Quran, semakin kuat juga pancaran cahayanya.
Dalam
konteks Al-Quran dan risalah Nabi Muhammad SAW, pemeliharaan
Allah SWT terhadap
keduanya amatlah jelas. Ini dikarenakan keduanya adalah sumber utama ajaran Islam. Karena
itu, bagaimana mungkin lahir paham
tauhid dari masyarakat yang berpegang teguh kepada syirik? Dan bagaimana mungkin lahir agama kemanusiaan yang
penuh toleransi setelah sebelumnya adalah agama suku dan fanatisme? Mengapa keberadaan mukjizat dipercayai setelah lahir
keimanan, sedangkan sebelumnya keimanan itu sendiri lahir dari pembuktian
mukjizat?
Demikian
seterusnya hingga pada akhirnya harus di katakan bahwa ada sesuatu di balik
terjadinya semua itu, yakni pemeliharaan Allah SWT.
Dari
paparan latar belakang di atas, penulis
ingin membahas lebih lanjut tentang materi “Kemukjizatan Al-Quran dan Hadis”.
B. Rumusan Masalah
Mengacu
pada latar belakang yang dipaparkan di atas, maka rumusan masalah pada makalah
ini sebagai berikut :
1. Bagaimana konsep mukjizat dalam Islam?
2. Bagaimana Al-Quran sebagai sebuah mukjizat?
3. Bagaimana Hadis sebagai mukjizat?
C. Tujuan Pembahasan
1. Memahami konsep mukjizat dalam Islam.
2. Mengetahui sejauh mana Al-Quran sebagai mukjizat.
3. Mengetahui sejauh mana Hadis sebagai mukjizat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Mukjizat dalam Pandangan Islam
1. Pengertian Mukjizat
Kata “mukjizat”
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “kejadian ajaib yang sukar dijangkau oleh kemampuan
akal manusia”. Pengertian ini, mesti memiliki beberapa persamaan,
tapi ia tidak sama persis dengan pengertian kata tersebut dalam istilah agama Islam.
Kata “mukjizat” adalah bentuk isim fa’il (nama pelaku) dari kata اَعْجَزَ (a'jaza) yang berarti melemahkan atau
menghilangkan kemampuan seseorang untuk mendatangkan sesuatu, baik berupa
pekerjaan, pendangan atau pemahaman.[3]
Mukjizat secara istilah didefinisikan oleh para agama
Islam antara lain, sebagai hal atau peristiwa luar biasa yang terjadi melalui
seseorang yang mengaku nabi, sebagai bukti kenabiannya yang ditantangkan kepada
yang ragu, untuk melakukan atau mendatangkan hal serupa, namun mereka tidak
mampu memenuhi tantangan itu.[4]
Dari pengertian di atas, maka kita dapat ambil
kesimpulan bahwa suatu perkara dapat dikatakan mukjizat, apabila memenuhi empat unsur berikut:
Pertama, di luar kebiasaan manusia.
Mukjizat adalah media utama bagi seorang nabi untuk membuktikan kepada kaumnya
bahwa dia benar utusan Allah Swt. Oleh karena itu, mukjizat harus sesuatu yang
tidak biasa. Jika mukjizat adalah perkara yang
biasa maka hal ini tidak akan menarik perhatian kaumnya untuk mengimaninya.
Kedua, diberikan Allah Swt kepada nabi
atau rasul. Mukjizat harus berada di tangan seorang rasul. Jika terdapat
perkara luar biasa, tetapi bukan berada di tangan seorang rasul maka perkara
itu tidak dapat dianggap sebagai mukjizat.
Ketiga, adanya tantangan. Suatu mukjizat harusdisertai tantangan kepada manusia
untuk menandinginya. Dalam Bahasa Arab, tantangan ini dikenal dengan nama tahaddi
(التحدي), berarti suatu pekerjaan yang
sengaja dilakukan untuk menantang orang lain melakukan hal serupa dengan tujuan
menunjukkan kehebatannya.
Keempat, tidak dapat ditandingi siapapun. Syarat keempat ini berkaitan erat
dengan syarat ketiga yang disebutkan sebelumnya. Sebagian melihatnya
kontradikftif karena memuat dua halyang seakan bertentangan, yaitu menantang
dan tidak dapat ditandingi. Akan tetapi, jika dicermati justru ini nilai
kemukjizatan suatu perkara. Dia harus menantang manusia dan manusia tidak dapat
menandinginya. Jika manusia dapat menandinginya maka perkara itu tidak dapat disebut
mukjizat.
Dapat dipahami bahwa kemu’jizatan adalah sesuatu yang tak mungkin
ditandingi oleh manusia baik secara pribadi maupun kolektif. Dia merupakan
sesuatu yang berbeda dengan kebiasaan, artinya tidak terikat oleh hubungan
sebab akibat yang dikenal oleh manusia. la
merupakan pemberian Allah swt kepada Nabi-Nya sebagai bukti kebenaran risalah
yang dibawanya.
2. Tujuan dan Fungsi Mukjizat
Mukjizat berfungsi sebagai
bukti kebenaran para Nabi. Keluarbiasaan yang tampak atau
terjadi melalui mereka itu diibaratkan
sebagai ucapan Tuhan : “Apa yang dinyatakan sang Nabi adalah benar. Dia adalah
utusan- Ku, dan buktinya adalah Aku melakukan mukjizat itu”.
Mukjizat,
walaupun dari segi bahasa berarti melemahkan atau membuktikan
ketidakmampuan yang di tantang, namun secara istilah ia dimaksudkan untuk menegaskan kebenaran
ajaran seorang yang mengaku sebagai Nabi. Karena itu, mukjizat ditampilkan oleh Allah melalui hamba-hamba pilihan-Nya untuk membuktikan
kebenaran dan ajaran ilahi yang di bawa oleh masing-masing Nabi. Jika demikian
hal nya maka ini paling tidak mengandung dua konsekuensi.
Pertama, bagi yang telah percaya kepada
Nabi, maka ia tidak lagi membutuhkan mukjizat. Ia tidak lagi ditantang untuk
melakukan hal yang sama. Mukjizat yang dilihat atau dialaminya hanya berfungsi
memperkuat keimanan, serta menambah keyakinannya akan kekuasaan Allah SWT.
Kedua, para Nabi sejak Adam AS hingga Isa AS di utus untuk suatu kurun
waktu tertentu serta masyarakat
tertentu. Tantangan yang mereka kemukakan sebagai mukjizat pasti tidak dapat dilakukan
oleh umatnya. Namun apakah ini berarti peristiwa luar biasa yang terjadi melalui
mereka itu tidak dapat dilakukan oleh selain umat mereka pada generasi sesudah generasi mereka ?
Jika tujuan mukjizat
hanya untuk meyakinkan umat setiap Nabi, maka boleh jadi umat yang lain
dapat melakukannya. Kemungkinan ini lebih terbuka bagi mereka yang berpendapat
bahwa mukjizat pada hakikatnya berada dalam jangkauan hukum-hukum Allah yang
berada di alam. Namun ketika hal itu terjadi, hukum-hukum tersebut belum lagi
di ketahui oleh masyarakat Nabi yang bersangkutan.[5]
Sumber daya manusia sungguh
besar dan tidak dapat dibayangkan kapasitasnya. Potensi kalbu yang merupakan
salah satu sumber daya manusia dapat menghasilkan hal-hal luar biasa yang tidak
boleh tidak diakui oleh yang tidak mengenalnya. Hal ini sama dengan penolakan
generasi dahulu tentang banyaknya kenyataan masa kini yang lahir dari
pengembangan daya pikir. Bukanlah suatu hal yang mustahil jika kesucian jiwa
para Nabi dapat menghasilkan -melalui
bantuan Allah SWT- peristiwa luar biasa dipandang
dari ukuran hukum-hukum alam yang di ketahui umum?
Meski demikian, pada hakikatnya mukjizat mempunyai
hukum-hukumnya tersendiri, dan yang dapat dilakukan oleh siapapun selama
terpenuhi syarat-syaratnya. Boleh jadi dalam konteks ini, yang menyebabkan terjadinya mukjizat adalah kesucian jiwa tersebut. Karena itu, mukjizat tidak dapat lahir kecuali di
tangan para Nabi.
3. Macam-macam Mukjizat
Seperti jamak kita ketahui, mukjizat yang diberikan oleh Allah SWT kepada para Nabi-Nya ada 2 macam yaitu, yaitu mukjizat hissi dan mukjizat maknawi.[6]
a. Mukjizat hissi, ialah yang dapat
dilihat oleh mata, didengar oleh telinga, dicium oleh hidung, diraba oleh
tangan, dan
dirasa oleh lidah. Tegasnya, mukjizat hissi dapat dicapai dan dirasakan oleh panca indera. Mukjizat ini sengaja
ditunjukan atau diperlihatkan kepada manusia biasa, yakni mereka yang tidak bisa
menggunakan kecerdasan fikirannya, yang tidak cakap pandangan hatinya dan yang
rendah budi dan perasaannya.
b. Mukjizat maknawi, ialah mukjizat yang tidak
mungkin dapat dicapai dengan kekuatan panca indera, tetapi harus di capai
dengan kekuatan “aql” atau dengan kecerdasan pikiran.
Karena itu mukjizat maknawi ini tidak mungkin diketahui kecuali oleh orang yang berpikir sehat,
bermata hati, berbudi luhur dan yang suka menggunakan kecerdasan fikirannya
dengan jernih serta jujur.
B. Kemukjizatan Al-Qur`an
1. Al-Qur`an sebagai Mukjizat
Telah kita sebutkan di atas bahwa mukjizat adalah sesuatu yang luar
biasa yang diberikan oleh Allah kepada seorang Nabi, sebagai bukti kebenaran
risalah yang dibawa. Selain itu, kita sebutkan juga bahwa mukjizat memiliki
syarat-syarat tertentu. Jika kita melihat definisi dan syarat tersebut,
kemudian kita bandingkan kepada Al-Quran, maka kita akan mendapatkan bahwa
Al-Quran adalah mukjizat. Tidak ada ulma yang menyelisihi akan kemukjizatan
Al-Quran. Mereka juga sepakat bahwa Al-Quran adalah mukjizat terbesar yang
diberikan oleh Allah kepada Nabi Muhammad. Bahkan bisa dianggap sebagai
mukjizat teragung di antara mukjizat-mukjizat lain yang pernah diberikan oleh
Allah kepada para Nabi-Nabi-Nya.
Kemujizatan Al-Quran
salah satunya dibuktikan dengan tidak adanya manusia maupun jin yang mampu
membuat semisalnya. Padahal, berulang kali Al-Quran telah melemparkan tantangan
kepada manusia agar membuat semisalnya, walaupun sekedar satu ayat. Selain itu,
Al-Quran sebagai mukjizat maknawi menjadikannya tidak terbatas ruang dan
waktu. hKetika mukjizat hissi hanya
berlaku bagi orang yang melihat, mendengar, dan mengalami kejadian ketika
mukjizat itu turun, Al-Quran berlaku untuk siapa saja di mana saja, meskipun
hidup ribuan tahun setelah ia diturunkan.
2. Aspek Kemukjizatan Al-Quran
Walaupun telah disepakati sebagai mukjizat (bahkan mukjizat terbesar),
tetapi para ulama berbeda pandangan dalam menentukan letak nilai kemukjizatan
Al-Qur’an. Unsur apa yang menjadikan Al-Qur’an sebagai mukjizat masih menjadi
perbincangan hingga saat ini, dan belum juga terselesaikan. Menurut Aisyah
Abdurrahman (lebih dikenal sebagai Bintu Syati), seorang cendekiawan Mesir yang
mendalami kajian kemukjizatan Al-Qur’an, setiap ulama yang membahas tentang
kemukjizatan Al-Qur’an selalu merasa pendapatnya sebagai pendapat akhir yang
paling sahih. Akan tetapi, seiring bejalannya waktu akan terbukti bahwa ulama
tersebut masih meninggalkan celah kosong yang mendorong ulama setelahnya untuk
mengisi kekosongan tersebut.[7] Fenomena ini terus berlangsung hingga dia
sendiri (Bintu Syati) menuliskan pandangannya tentang kemukjizatan Al-Qur’an
dalam buku berjudul Al I’jâz Al Bayâni li Al Qur’ân.
Dengan demikian, Bintu Syati berpendapat bahwa problematika kemukjizatan
Al-Qur’an akan selalu terbuka sehingga tidak dibenarkan seseorang menganggap
pendapatnya sebagai pendapat akhir, kemudian menutup pintu pembahasan masalah
tersebut. Perbedaan sudut pandang dan problematika kemukjizatan yang tidak
berujung merupakan salah satu bentuk kemukjizatan Al-Qur’an itu sendiri.
Namun,semua ulama sepakat bahwa unsur kemukjizatan paling dominan dari
Al-Qur’an terdapat pada aspek kebahasaan atau sastra. Pendapat ini dilandasi
sebuah fakta bahwa Al-Qur’an diturunkan kepada sebuah kaum yang gemar dan
piawai dalam membuat syair serta merangkai karangan sastra.
Dalam bukunya An-Nabâ Al ‘Adîm: Nadarât Jadîdah fi Al Qur’ân,
Muhammad Abdullah Diraz, seorang cendekiawan lulusan Al-Azhar yang mendalami
kajian sastra Arab, menyebutkan tiga dimensi utama kemukjizatan Al-Qur’an,
yaitu kemukjizatan dari sisi sastra, kandungan ilmiah yang dimuat, dan pengaruh
yang ditimbulkan terhadap perjalanan sejarah.[8]
a. Kemukjizatan Sastrawi
Terkait kemukjizatan Al-Qur’an dari dimensi sastrawi, Muhammad Abdullah Diraz
melihat dua hal penting yang menjadikan Al-Qur’an sebagai perkara yang sangat
mengagumkan.
Pertama, berdasarkan bagian luar lafal Al-Qur’an (al-qasyarah al-sathiyyah).
Abdullah Diraz mengungkapkan dua hal yang membuat Al-Qur’an sangat menakjubkan,
yaitu keindahan suara karena keteraturan antara harakat, sukun, mad, dan
dengungnya saat dibaca, dan juga keserasian susunan kata karena kesempurnaan
pengaturan antara lafatl per-lafal hingga membentuk suatu kalimat sempurna.
Keistiewaan Al-Qur’an dalam hal ini dapat dengan mudah ditemukan ketika
mendengar lantunan ayat Al-Qur’an dari para qâri (pembaca Al-Qur’an).
Walaupun tidak mengetahui maknanya, tetapi dari keteraturan nada, keserasian,
dan keindahan bacaan Al-Qur’an mampu membawa yang mendengarkannya berpikir
bahwa Al-Qur’an sangat luar biasa.
Kedua, berdasarkan bagian dalam atau cakupan makna yang terkandung (lubb
al-bayân al-qur’ânî). Dari sisi ini, Abdullah Diraz menemukan empat faktor
yang membuat Al-Qur’an sangat istimewa, yaitu lafalnya sederhana, tetapi mampu
mengungkap makna yang diinginkan secara sempurna (al-qasdu fi al-lafzi wa a-
wafâ bi haqqi al-ma’na); isi kandungan Al-Qur’an mampu dipahami kalangan
awam serta golongan spesialis sekaligus (khitâb al-âmmah wa khitâb al-khâssah);
metode penuturan Al-Qur’an mampu memuaskan pikiran dan memberi kenikmatan
terhadap jiwa (iqnâ’ al-‘aql wa imthâ’ al-‘âthifah); makna yang
disampaikan Al-Qur’an sangat jelas meskipun diungkapkan hanya secara umum (al-bayân
wa al-ijmâl).
Intinya, bagi Abdullah Diraz, nilai utama kemukjizatan sastra Al-Qur’an
(dilihat dari kandungannya) adalah karena Al-Qur’an mampu mengumpulkan dua hal
yang bagi manusia terlihat sangat bertentangan. Al-Qur’an mampu dipahami orang
awam dan ilmuwan sekaligus sesuai dengan kapasitas keilmuan mereka. Padahal
dalam karangan manusia biasa, suatu karya jika mudah dipahami seorang
spesialis, dia akan terasa sulit dipahami (bahkan tidak dapat dipahami)
kalangan awam.
Begitu juga Al-Qur’an mampu memuaskan akal dan memberi kenikmatan kalbu, ketika
menjelaskan suatu makna, baik dengan cara keseluruhan maupun terperinci.
Padahal karangan manusia biasa, tidak pernah dapat memuaskan akal dan hati
sekaligus karena keduanya berbeda. Akal berhubungan dengan sesuatu yang logis,
sementara hati berhubungan dengan sesuatu yang menakjubkan. Suatu karangan yang
memuaskan akal tidak dapat memberikan kenikmatan kalbu, begitu juga sebaliknya.
Sementara, Al-Qur’an mampu menggabungkan dua hal yang terlihat sangat
kontradiktif dalam satu sentuhan.
Dalam banyak ayatnya, Al-Qur’an mengajak manusia untuk berpikir tentang
kebesaran Allah swt melalui ayat kauniyah-nya (fenomena alam) dengan uraian
yang sangat indah dan penuh nilai sastra. Al-Qur’an dapat memuaskan akal karena
mengajak berpikir rasional, juga memberikan kenikmatan kalbu karena
mengungkapkannya dalam bahasa sastra yang indah.
b. Kemukjizatan Ilmiah
Aspek kemukjizatan berikutnya yang juga dianggap bagian dari kemukjizatan
pokok Al-Qur’an adalah isyarat ilmiah yang disinggung Al-Qur’an. Aspek
kemukjizatan ini sering disebut sebagai kemukjizatan saintifik, ilmiah, atau al-i’jaz
al-‘imiy. Konsep kemukjizatan ini merupakan salah satu konsep kemukjizatan
yang baru diungkap dewasa ini.
Yang dimaksud dengan kemukjizatan saintifik adalah bahwa Al-Qur’an telah
memuat isyarat kebenaran ilmiah yang belum diketahui masyarakat ketika turunnya
Al-Qur’an.[9] Konsep kemukjizatan saintifik yang banyak
diusung para ilmuwan eksakta ini mencoba membawa Al-Qur’an ke dalam ranah
eksakta, melalui penafsiran ayat kauniyah tentang peristiwa alam dan kebenaran
ilmiah yang baru diungkap para penemu ilmiah. Contoh dari aspek kemukjizatan
ini dapatdiketahui melalui QS. An-Nuur [24]: 45.ƒ
Artinya: Dan Allah telah menciptakan semua jenis
hewan dari air, Maka sebagian dari hewan itu ada yang berjalan di atas perutnya
dan sebagian berjalan dengan dua kaki sedang sebagian (yang lain) berjalan
dengan empat kaki. Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya, Sesungguhnya
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Pandangan Al-Qur’an yang mengatakan bahwa semua makluk tercipta dari air,
ternyata sama dengan fakta ilmiah yang menyatakan bahwa lebih dari tujuh puluh
lima persen unsur tubuh suatu makhluk hidup terdiri atas air.
c. Kemukjizatan tentang Kabar Gaib
Selain kedua aspek tersebut, adanya hal gaib yang terkandung dalam
Al-Qur’an dianggap sebagai bagian dari aspek penting kemukjizatan Al-Qur’an.
Definisi kata “gaib” dalam konteks ini mengandung arti sebagai suatu perkara
yang tidak diketahui umat manusia, baik tidak diketahui karena jaraknya seperti
galaksi dan benda langit, dzatnya seperti jin dan malaikat, atau karena
waktunya. Yang tidak diketahui karena waktunya dapat dibagi menjadi tiga, yaitu
peristiwa yang terjadi di masa lampau, masa kini, atau masa yang akan datang.
Salah satu contoh peristiwa yang masuk dalam kategori masa lampau adalah
semua peristiwa yang terjadi sebelum Nabi Muhammad Saw diutus. Kategori pertama
ini juga dikenal dengan nama i’jâz târîkhiy. Peristiwa yang dimaksud
adalah kisah para nabi terdahulu dengan umatnya, kisah ashâb al-kahfi (tujuh
pemuda beriman yang sembunyi di sebuah gua untuk berlindung dari kejaran
penguasa zalim saat itu), kisah perjumpaan Nabi Musa AS dengan Khidir AS, dan
lain sebagainya.
Adapun mengenai hal gaib yang terjadi di masa saat ini (pada masa
Rasulullah Saw) adalah segala peristiwa yang terjadi di masa kenabian
Rasulullah Saw, tetapi secara logis tidak mungkin diketahui Nabi Muhammad Saw.
Misalnya adalah tentang perilaku kaum Yahudi, kaum munafikin, dan para musuh
Islam lainnya pada waktu itu. Al-Qur’an menyebutkan keburukan dan siasat untuk
menghancurkan Islam yang mereka sembunyikan.
Namun, peristiwa gaib yang termasuk dalam kategori terakhir adalah segala
peristiwa yang baru terjadi beberapa waktu setelah turunnya ayat yang membahas
kejadian tersebut. Contoh kemukjizatan dalam hal ini dapat ditemukan pada
keterangan Al-Qur’an tentang kemenangan bangsa Romawi atas bangsa Persia
setelah kekalahan mereka beberapa tahun sebelumnya yang direkam dalam QS.Ar
Ruum [30]: 1-4.
Artinya: 1. Alif laam Miim. 2. Telah dikalahkan
bangsa Rumawi. 3. Di negeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu
akan menang. 4. dalam beberapa tahun lagi. bagi Allah-lah urusan sebelum dan
sesudah (mereka menang). dan di hari (kemenangan bangsa Rumawi) itu bergembiralah
orang-orang yang beriman.
Selain tiga kemukjizatan tersebut, satu aspek
lain yang saat ini sering disebut para cendekiawan muslim kontemporer, yaitu
kemukjizatan dari sisi pokok peribadatan umat Islam yang dijelaskan Al-Qur’an
atau dalam istilah Bahasa Arab disebut i’jaz tasyri’iy. Kemukjizatan
syariat adalah sebuah pemahaman bahwa ajaran yang diturunkan Allah Swt dalam
Al-Qur’an sangat tepat bagi manusia. Ajaran yang dibawa Al-Qur’an sangat
mempertimbangkan aspek dan kondisi manusia sebagai makhluk istimewa. Syariat
tersebut tidak mungkin keluar dari manusia karena manusia pun tidak mengetahui
tentang dirinya sendiri. Para ulama menyimpulkan bahwa Al-Qur’an pasti lahir
dari Dzat yang mengetahui dengan sangat detil dan jelas semua aspek dan kondisi
manusia, baik lahir maupun batin. Jadi, yang mengetahui hal itu tidak lain
adalah Allah Swt, pencipta semesta alam beserta isinya.
Para ulama membagi pokok syariat Islammenjadi
tiga, yaitu akidah, syariah,dan akhlak. Akidah yang dijelaskan Al-Qur’an adalah
konsep ketauhidan yang menegaskan bahwa tidak ada yang wajib disembah, kecuali
Allah Swt. Konsep ini merupakan misi utama diutusnya paranabi, dari Nabi Adam
As hingga Nabi Muhammad Saw. Setelah ketauhidan, fase akidah selanjutnya adalah
keimanan kepada rasul Allah Swt beserta risalah yang disampaikannya, serta hari
akhir. Ketiga hal ini yang menjadi fondasi utama akidah Islam.
Setelah akidah, Al-Qur’an menjelaskan pokok
syariat kedua, yaitu hukum Allah swt yang mengatur hubungan antara seorang
hamba dengan Tuhan dan sesamanya. Bagian ini terdiri dari dua hal, yaitu ibadah
dan muamalah. Dalam bagian ibadah, Al-Qur’an menjelaskan bentuk peribadatan
yang harus dilakukan manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Sementara, bagian muamalah berbicara tentang kegiatan sosial yang lebih tertuju
kepada interaksi manusia dengan sesamanya. Dalam kajian para ulama kontemporer,
pengharaman terhadap hal tertentu membawa mudarat dalam tatanan sosial
masyarakat. Nilai kemukjizatan tersebut karena untuk mengetahui bahaya dari
pengharaman sesuatu tidak mungkin dapat diketahui masyarakat Arab yang sangat
terbelakang dalam dunia keilmuan. Karena itu, Al-Qur’an tidak mungkin
diciptakan masyarakat Arab, termasuk Nabi Muhammad saw, tetapi Allah swt Yang
Maha Mengetahui apapun yang telah lalu maupun yang akan datang.
Kembali kepada peran Al-Qur’an sebagai
mukjizat primer Rasulullah Saw sekaligus mukjizat terbesar sepanjang zaman,
karakteristik utama serta aspek kemukjizatan yang telah disebutkan adalah bentuk
penegasan keistimewaan Al-Qur’an dibandingkanmukjizat lain. Kedua sisi
penilaian ini cukup menjadi jawaban atas pertanyaan mengapa Al-Qur’an menjadi
mukjizat primer sekaligus terbesar yang diberikan Allah swt.
3. Kemukjizatan Al-Qur’an dalam Era Globalisasi
Perkembangan ilmu pengetahuan pada era globalisasi saat ini telah terjadi
di segala lini kehidupan dan menuntut siapapun untuk menjawab dan mengikutinya,
tidak terkecuali umat Islam. Hal ini pun berpengaruh terhadap Al-Qur’an yang
menjadi pedoman dan panduan kaum muslimin sepanjang zaman. Mereka yang
mengingkari Islam dan Al-Qur’an seakan-akan menuntut Al-Qur’an untuk
menunjukkan eksistensinya menghadapi gempuran perkembangan ilmu pengetahuan.
Para ulama pun terdorong merespon fenomena ini. Kajian Al-Qur’an akhirnya
semakin meruncing pada misi untuk menemukan nilai kemukjizatan yang diyakini
berhubungan dengan ilmu pengetahuan dan perkembangan zaman yang semakin pesat.
a. Kemukjizatan Sistem Ekonomi
Tidak heran apabila beberapa tahun terakhir mulai bermunculan bentuk baru
kemukjizatan Al-Qur’an, seperti halnya kemukjizatan ekonomi (i’jâz iqtisadiy).
Al-Qur’an ternyata banyak berbicara tentang sistem ekonomi ideal sejak 14 abad
yang lalu. Salah satunya adalah bagaimana Al-Qur’an dengan tegas mengharamkan
riba dan kecurangan dalam perdagangan. Terbukti hingga saat ini praktik riba
adalah faktor utama yang menyengsarakan masyarakat sehingga justru menjauhkan
manusia dari kesejahteraan. Firman Allah Swt,
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu
orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa
riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika
kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (QS. Al Baqarah [2]: 278-279)
Ada juga kemukijizatan metode dakwah (i’jâz da’wi), di mana Al-Qur’an telah
memuat metode jitu mengajak manusia kepada kebenaran. Contohnya dapat ditemukan
ketika Al-Qur’an menyuruh kaum muslimin agar berdakwah dengan cara yang santun,
lembut, dan penuh kebijaksanaan. Firman Allah Swt,
Artinya: Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari
pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun
mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? dan Allah
mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.
b. Kemukjizatan Metode Pendidikan
Kemukjizatan dalam bidang metode pendidikan (i’jâz tarbawi), adalah
bahwa Al-Qur’an juga telah memuat metode pendidikan ideal bagi manusia.
Pendidikan diawali dengan penanaman akidah yang benar, diikuti denganpendidikan
karakter yang luhur. Contoh metode pendidikan dapat dilihat dalam QS. Luqman
[31]: 13-19, ketika Lukman berwasiat kepada anaknya.
Artinya: Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada
anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah
kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah
benar-benar kezaliman yang besar".
Dan Kami perintahkan kepada manusia
(berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam
Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun.
bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah
kembalimu.
Dan jika keduanya memaksamu untuk
mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu,
Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia
dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya
kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
(Luqman berkata): "Hai anakku,
Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam
batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya
(membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha mengetahui.
Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah
(manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang
mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang
demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).
Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari
manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan
angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi
membanggakan diri.
Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan
lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. (QS. Luqmaan [31]: 13-19)
c. Kemukjizatan Psikologis
Kemukjizatan psikologis (i’jâz nafsiy), yaitu bahwa Al-Qur’an juga telah
berbicara banyak tentang hakikat jiwa dan tabiat manusia yang tidak diketahui
sebelumnya. Al-Qur’an memuat banyak ayat yang membangkitkan motivasi manusia
untuk hidup opitimis. Masalah yang dihadapi selalu ada solusinya sehingga tidak
perlu bersedih dan gundah gulana. Kemukjizatan psikologis ini tercantum dalam
QS. Asy Syarh [94]: 1-8.
Artinya: Bukankah
Kami telah melapangkan untukmu dadamu?,
Dan Kami telah menghilangkan daripadamu
bebanmu,
Yang memberatkan punggungmu?
Dan Kami tinggikan bagimu sebutan
(nama)mu,
Karena Sesungguhnya sesudah kesulitan itu
ada kemudahan,
Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada
kemudahan.
Maka apabila kamu telah selesai (dari
sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain’
Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu
berharap.
C.
Kemukjizatan
Hadis
1.
Hadis
sebagai Mukjizat
Hadist menurut bahasa,
mempunyai beberapa arti: antara lain jadid (baru) lawannya qadim;
qarib (dekat), dan khabar (warta). Kata hadits dalam bahasa Arab bermakna
komunikasi, cerita-cerita,
perbincangan, religius atau sekuler, historis atau kekinian.
Hadist
merupakan jalan hidup yang dijalani atau kebiasaan seseorang baik jalan hidup
itu baik atau buruk. Hadits dalam arti khabar
sering dijadikan acuan dalam penyebutan hadits secara bahasa.
Kamus umum
bahasa Indonesia hadist merupakan cerita yang bertalian dengan sabda dan
perbuatan Nabi Muhammad saw. Dalam Al-Qur’an disebutkan Hadits sebagai Khabar.[10]
Pengertian
Hadis secara istilah ialah, “Segala
ucapan Nabi, segala perbuatan dan keadaan. Pendapat ini hampir sama dengan
Muhammad Thalib dengan mengutip pendapat Imam Suyuti. Ibnu Hajar mengartikan
sesuatu yang telah datang. Mahmud Thahan Ilmu hadist adalah sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad saw Perkataan, perbuatan, ketetapan dan
sifat-sifat-Nya.[11]
Menurut
ahli Ushul, hadits ialah segala perbuatan dan segala taqrir Nabi yang
bersangkut paut dengan hukum.[12] Di sisi istilah, ulama Hadis menyakini bahwa
apa yang disebut dengan hadits adalah segala ucapan, perbuatan, taqrir maupun
hal ihwal tentang Nabi Muhammad SAW. baik ketika ia sudah diangkat
menjadi Nabi dan Rasul maupun sebelum ia di angkat menjadi Nabi dan Rasul.[13]
Dari
beberapa pengertian hadis di atas, secara garis besarnya Hadis
mengandung empat unsur, yakni: perkataan, perbuatan, pernyataan dan sifat-sifat
atau keadaan-keadaan Nabi Muhammad saw, yang semuanya disandarkan kepada
beliau, tidak termasuk hal-hal yang disandarkan kepada para sahabat dan tidak
pula kepada tabi’in.
Terkait dengan pemabahasan Kemukjizatan
Hadis, sejatinya perlu penulis sebutkan di sini bahwa istilah “kemukjizatan
Hadis” sejatinya adalah istilah yang perlu didiskusikan lebih lanjut. Pasalnya,
berbeda dengan Al-Quran yang disepakati sebagai mukjizat yang diberikan kepada
Nabi Muhammad SAW, Hadis bukanlah demikian. Artinya, Hadis bukanlah mukjizat
sebagaimana Al-Quran. Selain karena hadis, secara lafalnya berasal dari
Rasulullah SAW sendiri, bukan dari Allah, dalam Hadis juga tidak terdapat
tantangan kepada orang lain untuk membuat semisalnya.
Memang, hadis memuat nilai-nilai yang
luar biasa, yang kiranya cukup musthil datang dari seorang buta huruf seperti
Muhammad SAW pada masa di mana masyarakat ketika itu sangat terbelakang dari
sisi keilmuan. Tapi, perlu juga disebutkan bahwa tidak semua hal yang luar
biasa itu dengan mudah dimasukkan dalam kategori mukjizat. Mukjizat memang luar
biasa, tapi tidak semua yang luar biasa itu mukjizat.
Karena itu, kiranya perlu penulis sebutkan
bahwa yang penulis maksudkan dari istilah "kemukjizatan hadis" adalah
bahwa Hadis memiliki nilai-nilai luar biasa yang tidak dapat didatangkan oleh manusia
pada masa kenabian dahulu. Bukan berarti bahwa Hadis adalah mukjizat Nabi
Muhammad sebagai mana tangan yang bercahaya adalah mukjizat Nabi Musa. Kita
semua maklum bahwa mukjizat Rasulullah adalah Al-Quran.
Penulis menggunakan “nilai-nilai luar
biasa” Hadis dengan istilah “kemukjizatan” tak lain adalah untuk mengikuti istilah
yang selama ini telah popular di kalangan masyarakat umum. Jadi sekali lagi
penulis tidak bermaksud mengatakan bahwa Hadis adalah mukjizat sehingga
nilainya sebanding dengan Al-Quran.
2.
Aspek-Aspek Kemukjizatan Hadis
Sebagaimana halnya Al-Quran, ternyata
Hadis juga memuat nilai-nilai, makna-makna, dan ajaran-ajaran yang berada di
luar kemampuan manusia pada masanya. Berikut penulis uraikan beberapa aspek kemu’jizatan
Hadis atau Sunah yang dapat kita temukan dalam ucapan-ucapan yang diriwayatkan
dari Nabi Muhammad SAW.
a.
Kemukjizatan ilmiah
Kemukjizatan ilmiah Hadis bermaksud bahwa
Hadis telah menetapkan isyarat fakta-fakta ilmiah sebelum kita sampai pada
penemuan-penemuan ilmiah dewasa ini.[14]
Sebagai contoh kemukjizatan ilmiah dalam Hadis adalah apa yang diriwayatkan Imam Bukhari
dalam shahihnya (kitab Al-Iman)
tentang fungsi dan posis hati bagi manusia. Rasulullah SAW bersabda:
اَلَا اِنَّ فِى
الْجَسَدِ مُضْغَةً اِذَاصَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُكُلُّهُ وَاِذَافَسَدَتْ فَسَدَالْجَسَدُ كُلُّهُ
اَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ
“Sesungguhnya didalam tubuh terdapat segumpal Darah yang apabila ia sehat dan baik maka baiklah seluruh tubuh, sebaliknya apabila ia sakit maka sakitlah seluruh tubuh, ketahuilah, segumpal darah itu adalah hati.[15]
“Sesungguhnya didalam tubuh terdapat segumpal Darah yang apabila ia sehat dan baik maka baiklah seluruh tubuh, sebaliknya apabila ia sakit maka sakitlah seluruh tubuh, ketahuilah, segumpal darah itu adalah hati.[15]
Hadis senada diriwayatkan oleh Imam
Muslim Dalam kitabnya Shahih-nya dengan redaksi sebagai berikut :
“Kami
mendapat hadis dari Muhammad bin Abdullah bin Numair Al-Hamdani; tuturnya: kami
mendapat hadis dari bapak saya; tuturnya: kami mendapat hadis dari Zakariyya,
dari Asy-Sya’bi, dari An-Nu’man bin Basyir. Asy-Sya’bi mengatakan: saya melihat
An-Nu’man bin Basyir mengarahkan jari tangannya kearah keua telinganya dan
berkata: saya pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda: sesungguhnya perkara
halal itu sudah jelas dan sesungguhnya perkara haram juga sudah jelas.
Sedangkan diantara keduanya adalah subhat (samar) yang tidak diketahui oleh
banyak orang. Barangsiapa menjaga dari perkara yang subhat, maka ia telah
membersihkan Agama dan kehormatannya. Dan barang siapa masuk kedalam hal-hal
subhat, maka ia bagaikan seorang gembala yang mengembalakan ternaknya disekitar
daerah terlarang yang dikhawatirkan ia akan merumput didalamnya. Ingatlah,
bahwa setiap penguasa mempunyai batasan-batasan tertentu dan sesungguhnya
batasan-batasan Allah adalah larangan-larangan-nya. Ingatlah, sesungguhnya
didalam tubuh terdapat segumpal darah, yang apabila ia baik maka baiklah
seluruh tubuh dan apabila ia buruk maka buruklah seluruh tubuh, ketahuilah ia
adalah hati.
Menurut kajian Dr Zaghlul
An-Najjar, Hadis ini memuat secercah kemukjizatan ilmiah, karena ternyata
ditemukan suatu fakta bahwa penyakit apapun apabila telah menyerang hati atau
jantung, maka ia akan merusaknya dan akhirnya akan merusak seluruh tubuh. Hal
ini diarenakan jantung berfungsi memompa darah yang tidak bersih (belum teroksidasi) dari bilik jantung
bagian kanan ke paru-paru yang lansung melakukan proses oksidasi darah, lalu
mengembalikan darah yang sudah bersih (teroksidasi) dari paru-paru kebilik
jantung bagian kiri yang kemudian
memompanya keseluruh bagian tubuh. Jantung dalam hal ini mensuplay
triliunan sel-sel pembentuk tubuh manusia dengan gas oksigen dan sari-sari
makanan. Sehingga ia sampai rusak atau macet, maka seluruh sel tubuh pun akan
ikut rusak.[16]
Dari uraian ini, kita akan
terheran-heran dengan Hadis Rasulullah SAW. Diatas yang telah menyinggung fakta
ini denga detail. ini merupakan fakta medis yang baru bagi disiplin ilmu
manusia sampai ketika Ibnu An-Nafis menemukan sirkulasi darah kecil pada abad
ke-13 M. Namun buah pemikirannya ini terkubur dan terlupakan selama tiga (3)
abad dan baru terkuak ketika orang-orang barat berusaha menisbahkan penemuan
tersebut pada diri mereka dengan cara memunculkan kembali pemikiran tersebut,
mengembangkannya, dan mmengakui sebagai penemuan mereka.
Lepas dari hal ini, yang pasti
isyarat Rasulullah SAW apabila hati atau jantung baik maka proses sirkulasi
darah akan menjadi baik dan sehat, begitu seluruh bagian tubuh, namun apabila
ia rusak, maka rusaklah pula seluruh organ tubuh, dan ini sudah dapat
dibuktikan secara ilmiah[17]
Dari sini kita patut
bertanya-tanya, siapakah yang mengajari Rasulullah SAW. Tentang fakta-fakta
tersebut juika bukan Allah ? siapa pula yang mampu menemukan proses sirkulasi darah didalam tubuh manusia
dan menemukan peran dan fungsi jantung dalam proses sirkulasi darah empat belas
(14) abad yang silam jika reperensinya bukan berasal dari langit ?
Hati sebagai organ tubuh manusia
(jantung) merupakan organ yang vital di dalam tubuh Manusia. Dalam satu menit
jantung melekukan sekitar 70 denyutan atau detakan atau sekitar 100.000
denyutan dalam sehari untuk memompa lima (5) liter darah dalam setiap detiknya
atau sekitar 7.200 liter dalam satu hari melalui jaringan rumit yang terdiri
dari pembuluh nadi, urat-urat, dan saluran kepiler darah yang panjannya
mencapai ribuan kilo meter.
Dari sini kilauan kemu’jizatan
Hadis Rasulullah SAW. Akan semakin jelas jika kita memahami hati dalam dimensi
fisiknya sebagai organ tubuh yang dapat diraba dan dalam dimensi spritualnya
sebagai sesuatu yang bersifat immateri dan tidak dapat dilihat. Dengan sinergi
ini, pemahaman kita menjadi lurus, akurat, dan konprehensif.
Sebagai organ fisik, hati merupakan
pilar kehidupan tubuh, Sehingga jika ia baik dan sehat maka sehat dan baiklah
semua tubuhnya. Dan sebaliknya, jika ia bobrok dan rusak, maka akan bobrok dan
rusaklah seluruh tubuh.
Sedangkan sebagai organ maknawi,
hati merupakan pilar perasaan, keyakinan, nalar, pemikiran, pemahaman, ahlak,
dan budi pekerti. Sehingga jika ia baik dan sholeh, maka baik dan sholeh pula
seluruh tubuhnya, namun jika ia bobrok dan bejat, maka bobrok dan bejat pula
seluruh tubuhnya.[18]
b.
Kemukjizatan Kabar Gaib
Selain memuat
isyarat ilmah, ada banyak Hadis yang membuat pemberitaan-pemberitaan gaib,
dalam artian pemberitaan perkara yang tidak diketahui oleh manusia pada saat
itu. Perkara gaib bagi manusia bisa terbagi menjadi tiga macam: gaib dari sisi
tempat, yaitu tempat yang tidak terjangkau oleh manusia, seperti tentang langit
ke tujuh, planet-planet yang belum terjangkau oleh manusia, dll; gaib dari sisi
waktu, yaitu peristiwa yang terjadi sebelum manusia tersebut lahir, seperti kanar
tentang umat-umat dahulu; atau gaib dari sisi keadaan, di mana keadaan tersebut
tidak mungkin diketaui oleh manusia, seperti perkara akhirat, malaikat, jin,
dll.
Contoh dari
kemukjizata gaib dalam Hadis adalah peristiwanya terjadi pada masa Rasulullah
saw masih berada di Makkah, yaitu peristiwa terbelahnya bulan.
Peristiwa
terbelahnya Bulan, diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari Dalam Shahinya (Kitab
Al-Maghaziy), dengan redaksi sebagai
berikut:
“ Kami mendapat Hadis dari Abdullah bin Abdul Wahhab,
tuturnya : Kami mendapat hadeis dari Bisyr bin Al-Mufadhdal,tuturnyaZaid bin
Abu arubah, dari Katadah, dari Anas bin Malik ra. Bahwa Panduduk Makkah meminta
kepada Rasulullah SAW.agar memperlihatkan suatu Tanda (kenabian)kepada mereka,
Maka beliau pun memperlihatkan kepada mereka bulan yang terbelah dua sehingga
mereka melihat Gua hira disela-sela Keduanya.
Hadis senada
diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya (kitab Syfa Al-qiyamah, Al-jannah
wa An-Nar dengan redaksi sebagai berikut.
Saya mendapat hadis dari Zubair bin Harb dan
Abd bin Humaid, merka mengatakan : kami mendapat hadis dari Yunus bin Muhammad; tuturnya: kami
mendapat hadis dari
Syaiban, tuturnya: kami mendapat kadis dari Qatadah, dari Anas bahwasanya penduduk
Mekkah meminta Rasulullah SAW. Untuk memperlihatkan kepada mereka suatu tanda
(kenabian), maka beliau pun memperlihatkan terbelahnya bulan sebanyak dua kali.
Kita semua tahu, jarak antara bulan dan
bumi sangatlah jauh. Bulan baru dapat dicapai oleh manusia pada akhir-akhir ini
saja. Pada zaman dahulu, tidak pernah ada orang yang datang ke bulan, sehingga
perkara tentang bulan adalah perkara gaib bagi manusia.
Lalu bagaimana Nabi Muhamad yang tidak
pernah ke bulan mampu memberikan kabar tentang terbelahnya bulan?
Tentu kita semua yakin bahwa Bulan
terbelah tidak pernah terjadi selain saat diperlihatkan Allah SWT sebagai
mukjizat untuk membenarkan dan memperkuat kebenaran Muhammad saw sebagai Nabi
dan Rasul. Peristiwa itu termasuk mukjizat besar. Para ulama ahli tafsir
dan para ahli hadis sependapat, bahwa peristiwa tersebut merupakan mukjizat
yang diperlihatkan Allah kepada kaum Musyrikin Quraisy yang selalu menuntut
pembuktian tentang benarnya kenabian dan kerasulan Nabi Muhammad saw beserta
dakwahnya. Peristiwa luar biasa yang tidak mungkin terjadi kecuali atas
kehendak dan kekuasaan Allah SWT.
c.
Kemujizatan dalam Pensyariatan
Selain dua aspek kemukjizatan di atas, ada
satu aspek kemujizatan lain yang cukup menonjol dalam Hadis-Hadis Nabi. Kemukjizatan tersebutan
adalah kemukjizatan syariah, dalam artian dalam Hadis Nabi ada
perintah-perintah dan larangan-larangan yang manfaatnya bagi manusia baru
dikethui akhir-akhir ini. Di antara contoh aspek kemukjizatan ini adalah pada
anjuran untuk bersiwiwak.
Hadis
tentang anjuran bersiwak diriwayatkan
Imam Bukhari dalam shahihnya (kitab Al-Jumu’ah) dengan redaksi
sebagai beikut :
Kami
mendapat hadis dari Abdullah bin Yusuf; tuturnya: kami mendapat khabar dari
Malik, dari Abu Az-Zinad, dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah bahwasanya
Rasulullah SAW. Bersabda: seandainya tidak terlalu memberatkan ummatku atau
Manusia, niscaya sudah aku perintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali hendak
sholat.
Hadis senada juga diriwayatkan oleh Imam Muslim
dalam shahih Muslim (kitab At-Thaharah) dengan redaksi sebagai berikut:
Kami
mendapat hadis dari Qutaibah bin Sa’id, Amr An-Naqid, dan Zuhair bin Harb,
mereka mengatakan kami mendapat hadis dari Sopyan, dari Abu Az-Zinad, dari
Al-A’raj, dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW. Beliau besabda: seandainya tidak
terlalu memberatkan kaum Mukminin niscaya
sudah Aku perintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali hendak Sholat.
Salah satu petunjuk Nabi SAW dalam konteks Hadis
ini adalah imbauan untuk menggunakan siwak setiap kali hendak Sholat (minimal
lima kali dalam sehari).
Akhir-akhir ini ternyata ditemukan suatu
fakta bahwa siwak adalah batang semak (pohon kecil-kecil) yaang biasa dikenal
dengan “arak”. Namun, siwak juga dapat dibuat dari batang kayu dari pohon-pohon
kecil seperti pohon zaitun liar atau pohon sambur. Siwak yang paling baik
kualitasnya adalah siwak yang dibuat dari akar-akar pohon ara, sedangkan siwak
yang dibuat dari cabang-cabang pohon ara kualitasnya kurang baik.[19]
Penelitan laboratorium atas batang pohon
arak (siwak) membuktikan bahwa ia mengandung sejumlah komposisi kimia yang
dapat menjaga gigi dari gangguan kerapuhan dan kebusukan, dan merawat gusi dari
peradangan, misalnya asam asrid. Juga komposisi kimia lainnya seperti
minyak lada (mustard) dan gula anggur yang mempunyai aroma menyengat dan rasa
menggigit. Dua komposisi kimia ini memilki kemampuan luar biasa untuk
membinasakan kuman-kuman mulut. Komposisi kimia lain yang terkandung dalam
batang ara (siwak) adalah zat volatile, zat gula, getah, mineral, bulu-bulu
alamiah dari serat-serat nabati yang mengandung karbonat sodium yang merupakan
zat yang biasa digunakan untuk membuat pasta gigi.[20]
Data-data
klinis tentang kandungan pohon siwak ini tentu saja belum ada pada zaman
diturunkannya wahyu, maupun beberapa abad setelahnya. Sehingga imbauan
Rasulullah SAW. untuk menggunakan siwak setiap kali hendak sholat merupakan
sebuah gebrakan ilmiah dan behaviorial dengan segala aspeknya.
Imbauan
bersiwak ini sekaligus merupakan wujud antusiasme Rasulullah SAW. Agar menjaga
kebersihan dan kesucian mulut dan gigi. Sebab, mulut adalah pintu gerbang
masuknya makanan kedalam system pencernaan didalam tubuh manusia. Ketika
manusia mengunyah makanan, maka pasti ada sisa-sisa makanan yang tertinggal
disela-sela gigi dan gusi. Jika tidak dibersihkan, sisa-sisa makanan ini bias
membusuk dan menybabkan bakteri dan jamur yang sering menjadi penyebab berbagai
macam penyakit, disamping menyebabkan bau mulut yang tidak sedap danmengganggu
orang lain.
Oleh
Karna itu, Rasulullah SAW mengingatkan
dan berpesan agar ummatnya rajin menggunakan siwak setiap kali hendak shalat
demi membersihkan mulut dan gigi dari berbagai sisa-sisa makanan,
menghilaangkan bau yang tidak sedap, sekaligus menghasilkan aroma mulut yang
harum, merawat mulut dan gigi, dan mmelindungi seluruh anggota tubuh dari
penyakit yang diakibatkan keduanya.
Dari
sini muncul pertanyaan, siapakah yang member tahu Rasulullah SAW yang ummi ini tentang manfaat dan faedah
menggunakan siwak ? Padahal
ini terjadi empat belas (14) abad yang lalu. Dimana masa itu belum dietahui dan
dipahami kerusakan dan kerapuhan gigi. Mengapa Rsulullah SAW menganjrkan dan memerintahkan kepada ummatnya untuk bersiwak setiap hendak
sholat pada masa di mana tidak
seorang pun yang mengetahui kandungan kimiawinya, kecuali baru pada beberapa
decade terakhir abad ke-20.?
Untuk
menjawab pertanyaan tersebut ingin kami tegaskan bahwa gebrakan Hadis Nabi yang mendahului berbagai temuan ilmu pengetahuan dengan jarak 14 abad silam dengan isyarat
tentang manfaat penggunaan siwak untuk membersihkan gigi dan mulut tidak mungkin bersumber dari
selain Allah sang Maha pencipta langit dan bumi.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Kata Mukjizat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia di artikan
sebagai kejadian ajaib yang sukar di jangkau oleh kemampuan akal manusia
. Mukjizat didefinisikan
oleh pakar agama Islam antara lain, sebagai hal atau peristiwa luar biasa yang
terjadi melalui seseorang yang mengaku nabi, sebagai bukti kenabiannya yang ditantangkan
kepada yang ragu, untuk melakukan atau mendatangkan hal serupa, namun mereka
tidak mampu memenuhi tantangan itu.
2.
Al-Quran merupakan mukjizat Nabi Muhammad SAW yang bersifat aqliyah yang abadi, karena ai
merupakan risalah penghabisan. Maka dari itu, kemukjizatan Al-Quran berlangsung
abadi sepanjang masa selama manusia masih menghuni dunia ini.
3.
Selain
Al-Quran, Hadis-hadis Rasulullah SAW juga mengandung nilai-nilai ajaran yang
luar biasa dan menakjubkan yang kemudian sering diistilah sebagai kemukjizatan
Hadis. Kemukjizatan Hadis mencakup beberapa aspek, seperti aspek keilmuan,
aspek pemberitaan gaib, dan aspek penysariatan.
DAFTAR
RUJUKAN
Abdurrahman, Aisyah. Al-I’jaz Al-Bayani
lil Quran. Kairo: Darul Maarif, t.th.
Al-Munawar, Said Agil
Husen, Al-Quran membangun Tradisi Keshalehan Hakiki, Jakarta: Ciputat
Press, 2002.
Al-Munawwar, Said Agil Husain. I’jaz Al-Quran dan Metodologi Tafsir. Semarang:
Dimas, 2002.
Al-Qaradhawi, Yusuf. Kaifa Nata’amal
ma’al Al-Quran Al-Karim. Kairo: Darusy Syuruq, 2005.
An-Najjar, Zaghlul. Al-I'jaz Al-Ilmi fi
As-Sunnah An-Nabawiyah. Kairo: Dar Nahdah Misriyyah, tt.
An-Najjar, Zaghlul. Min Ayat Al-I'jaz
Al-Ilmi. Kairo: Maktabah Asy-Syuruq Ad-Dauliyah, 2008.
Diraz, Muhammad Abdullah. Al Naba‘ Al Adzim. Alexandria: Dar Al
Murabithin, 1997.
Husnan, Ahmad. Gerakan Inkar as-Sunnah. Jakarta: Media
Dakwah, 1981.
Manzur, Ibnu. Lisan Al-Arab.
Beirut: Dar Shadir, 1414 H.
Rahman, Farhur. Ikhtisar Musthalahul Hadits. Bandung: Pt
Ma’arif, 1987.
Shaleh, Subhi. Mabahits fi Ulum Al-Qur‘an.
Beirut: Dar Al ‘Ilmi lilmalayin, 1988.
Shihab, M. Quraish. Mukjizat
Al-Quran. Bandung: Mizan, 1998.
Sodikin, Abuy. Metodologi Studi Islam. Bandung: Pt Ma’arif, 2002.
Sumarna, Cecep. Pengantar Ilmu Hadits. T.t: Pustaka
Bani Quraisy, 2004.
[1] Said Agil Husen Almunawar, Al-Quran Membangun Tradisi Keshalehan Hakiki, ( Jakarta: Ciputat Press, 2002 ), hlm. 18.
[2] Ayat ini
memberikan jaminan tentang kesucian dan kemurnian Al Quran selama-lamanya.
[6] Yusuf
Al-Qaradhawi, Kaifa Nata’amal ma’al Al-Quran Al-Karim, (Kairo: Darusy
Syuruq, 2005), hlm 41.
[7] Aisyah
Abdurrahman, Al-I’jaz Al-Bayani lil Quran, (Kairo: Darul Maarif, t.th.),
hlm. 13.
[9] Zaghlul
An-Najjar, Min Ayat Al-I'jaz Al-Ilmi, (Kairo: Maktabah Asy-Syuruq
Ad-Dauliyah, 2008), hlm. 36.
[10] Ahmad Husnan, Gerakan
Inkar As-Sunnah, (Jakarta: Media Dakwah, 1981), hlm. 51.
[11] Farhur Rahman,
Ikhtisar Musthalahul Hadits, (Bandung: Pt Ma’arif, 1987), hlm. 6.
[12] Abuy Sodikin, Metodologi
Studi Islam, (Bandung: Pt
Ma’arif,2002), hlm. 68.
[13] Cecep Sumarna,
Pengantar Ilmu Hadits, (T.t, Pustaka Bani Quraisy, 2004), hlm. 1.
[14] Zaghlul
An-Najjar, Al-I'jaz Al-Ilmi fi As-Sunnah An-Nabawiyah, (Kairo: Dar
Nahdah Misriyyah, tt), hlm. 33.
[15] Zaghlul
An-Najjar, Al-I'jaz Al-Ilmi fi As-Sunnah, hlm. 33.
[16] Zaghlul
An-Najjar, Al-I'jaz Al-Ilmi fi As-Sunnah, hlm. 432.
[17] Zaghlul
An-Najjar, Al-I'jaz Al-Ilmi fi As-Sunnah, hlm. 433.
[18] Zaghlul
An-Najjar, Al-I'jaz Al-Ilmi fi As-Sunnah, hlm. 434.
[19] Zaghlul
An-Najjar, Al-I'jaz Al-Ilmi fi As-Sunnah, hlm. 465.
[20] Zaghlul
An-Najjar, Al-I'jaz Al-Ilmi fi As-Sunnah, hlm. 465.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar