Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Sabtu, 19 November 2016

MAKALAH PENDEKATAN ANTROPOLOGI



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Sejak awal kehadirannya, Islam sebagai agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. diharapkan mampu memberikan pencerahan, tidak hanya kepada para pemeluknya namun lebih dari itu, mampu memberikan pencerahan kepada umat manusia seluruhnya dalam segala aspek kehidupan. Berbeda dengan agama lain yang bersifat dogmatik, islam  berisi nilai-nilai dan petunjuk-petunjuk bagaimana menghadirkan kesejahteraan lahir batin dan membuat hidup dan kehidupan agar lebih bermakna dan dalam arti yang seluas-luasnya.
Pemahaman isi Al-Qur’an dan Hadis sebagai sumber utama ajaran Islam tidak lagi terbatas pada pemahaman tekstual/tersurat saja, tetapi perlu dikembangkan ke arah pemahaman yang kontekstual/tersirat. Dengan kata lain, pendekatan yang digunakan dalam studi Islam dan keislaman tidak lagi hanya menggunakan pendekatan normatifitas saja, tetapi perlu dan sangat penting untuk menggunakan jenis-jenis pendekatan lain yang dapat diterima oleh masyarakat yang sangat majemuk/kompleks. Agar Islam dapat diterima, dipelajari, dipahami dan diamalkan  ajarannya oleh umat manusia yang tersebar diseluruh penjuru dunia yang berbeda-beda suku, adat istiadat, ras, bahasa, letak geografis, dan lainnya, maka perlu tindakan nyata yang lebih arif dan bijaksana dari para ilmuwan Islam.
Dengan pendekatan-pendekatan yang sesuai dalam studi Islam dan keislaman, maka diharapkan akan tercapai Islam yang ideal dan benar-benar menjadi rahmatan lil ‘alamin.  Dalam hal ini,  para ilmuwan mengemukakan beberapa pendekatan dalam studi Islam yang dapat diterapkan yaitu pendekatan teologis normatis, antropologis, sosiologis, filosofis, historis, kebudayaan dan psikologi.  Dengan berbagai pendekatan ini, diharapkan umat Islam akan terbebas dari belenggu yang senantiasa mengungkungnya.
Salah satu pendekatan yang perlu diterapkan dalam studi Islam adalah pendekatan antropologi. Antropologi seperti semua disiplin ilmu pengetahuan lainnya, harus membebaskan dirinya dari visi yang sempit. Ia harus mempelajari sesuatu yang baru, sederhana, tetapi kebenaran yang primordinal dari semua ilmu pengetahuan yaitu kebenaran pertama Islam. Untuk mengetahui lebih jauh tentang apa itu antropologi dan pendekatan antropologi dalam studi agama, serta bagaimana implementasi pendekatan antropologi dalam studi Islam, maka penulis berusaha untuk mengkaji dan mengungkap lebih jauh tentang “Pendekatan Antropologi dalam Studi Islam”.

B.     Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang diatas penulis dapat merumuskan isi makalah bahwa :
1.      Apa pengertian pendekatan  antropologi ?
2.      Apa saja objek kajian dalam pendekatan antropologi ?
3.      Bagaimana kerangka operasional pendekatan antropologi ?
4.      Apa saja wilayah pendekatan antropologi dalam studi Islam?
C.    Tujuan Penulisan Makalah
1.      Untuk mengetahui pengertian pendekatan  antropologi.
2.      Untuk mengetahui objek kajian dalam pendekatan  antropologi.
3.      Untuk mengetahui kerangka operasional pendekatan antropologi
4.      Untuk mengetahui wilayah pendekatan antropologi dalam studi Islam.


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Pendekatan Antropologis
Antropologi berasal dari kata anthropos yang berarti "manusia", dan logos yang berarti ilmu.  Kata antropologi dalam bahasa Inggris yaitu “anthropology” yang didefinisikan sebagai the social science that studies the origins and social relationships of human beings atau the science of the structure and functions of the human body.[1]  yaitu (ilmu sosial yang mempelajari asal-usul dan hubungan sosial manusia atau Ilmu tentang struktur dan fungsi tubuh manusia).
Antropologi juga bisa diartikan sebagai ilmu tentang manusia, khususnya tentang asal-usul, aneka warna bentuk fisik, adat istiadat, dan kepercayaannya pada masa lampau. Menurut Koentjaraningrat antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan.[2]
Dari beberapa pengertian seperti yang telah dikemukakan, dapat disusun suatu pengertian yang sederhana bahwa antropologi adalah sebuah ilmu yang mempelajari tentang manusia dari segi keanekaragaman fisik serta kebudayaan (cara-cara berprilaku, tradisi-tradisi, nilai-nilai) yang dihasilkannya, sehingga setiap manusia yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda.
Antropologi adalah sebuah ilmu yang didasarkan atas observasi yang luas tentang kebudayaan, menggunakan data yang terkumpul, dengan menetralkan nilai, analisis yang tenang (tidak memihak).[3]
Adapun pengertian pendekatan, dalam dunia ilmu pengetahuan makna dari istilah pendekatan adalah sama dengan metodologi, yaitu sudut pandang atau cara melihat dan memperlakukan sesuatu yang menjadi perhatian atau masalah yang dikaji. Bersamaan dengan itu, makna metodologi juga mencakup berbagai teknik yang digunakan untuk melakukan penelitian atau pengumpulan data sesuai dengan cara melihat dan memperlakukan masalah yang dikaji. Dengan demikian, pengertian pendekatan atau metodologi bukan hanya diartikan sebagai sudut pandang atau cara melihat sesuatu permasalahan yang menjadi perhatian tetapi juga mencakup pengertian metode-metode atau teknik-teknik penelitian yang sesuai dengan pendekatan tersebut.[4]
Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masayarakat. Melalui pendekatan ini agama tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berusaha memberikan jawabannya.
Dengan kata lain bahwa cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu antropologi dalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami agama. Antrapologi dalam kaitan ini sebagaimana dikatakan Dawam Raharjo, lebih mengutamakan pengamatan langsung, bahkan sifatnya partisipasif. Dari sini timbul kesimpulan-kesimpulan yang sifatnya induktif yang mengimbangi pendekatan deduktif sebagaimana digunakan dalam pendekatan sosiologis.  
B.  Objek Kajian dalam Pendekatan Antropologi
Ditinjau dari pengertian antropologi tersebut, obyek kajian dalam antropologi mencakup 2 (dua) hal yaitu :
1.    Keanekaragaman bentuk fisik manusia.
2.    Keanekaragaman budaya/kebudayaan sebagai hasil dari cipta, karsa dan rasa manusia.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat yang mengatakan bahwa secara umum obyek kajian antropologi dapat dibagi menjadi dua bidang, yaitu antropologi fisik yang mengkaji makhluk manusia sebagai organisme biologis, dan antropologi budaya dengan tiga cabangnya: arkeologi, linguistik dan etnografi. Meski antropologi fisik menyibukan diri dalam usahanya melacak asal usul nenek moyang manusia serta memusatkan studi terhadap variasi umat manusia, tetapi pekerjaan para ahli di bidang ini sesungguhnya menyediakan kerangka yang diperlukan oleh antropologi budaya. Sebab tidak ada kebudayaan tanpa manusia. [5]
Jika budaya tersebut dikaitkan dengan agama, maka agama yang dipelajari adalah agama sebagai fenomena budaya, bukan ajaran agama yang datang dari Allah. Antropologi tidak membahas salah benarnya suatu agama dan segenap perangkatnya, seperti kepercayaan, ritual dan kepercayaan kepada yang sakral. Wilayah antropologi hanya terbatas pada kajian terhadap fenomena yang muncul. Menurut Atho Mudzhar, ada lima fenomena agama yang dapat dikaji, yaitu: [6]
1.    Scripture atau naskah atau sumber ajaran dan simbol agama.
2.    Para penganut atau pemimpin atau pemuka agama, yakni sikap, perilaku dan penghayatan para penganutnya.
3.    Ritus, lembaga dan ibadat, seperti shalat, haji, puasa, perkawinan dan waris.
4.    Alat-alat seperti masjid, gereja, lonceng, peci dan semacamnya.
5.    Organisasi keagamaan tempat para penganut agama berkumpul dan berperan, seperti Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Gereja Protestan, Syi’ah dan lain-lain.
Kelima obyek di atas dapat dikaji dengan pendekatan antropologi, karena kelima obyek tersebut memiliki unsur budaya dari hasil pikiran dan kreasi manusia.
C.  Kerangka Operasional Pendekatan Antropologis
Menurut Amin Abdullah, cara kerja yag dalam hal ini bisa kita artikan sebagai langkah dan tahapan pendekatan antropologi dalam studi Islam memiliki empat cirri fundamental yang meliputi
1.    Bercorak descriptive, bukannya normative.
Pendekatan antropologi  bermula dan diawali dari kerja lapangan  (field work),  berhubungan  dengan orang, masyarakat, kelompok  setempat yang diamati  dan diobservasi dalam jangka waktu yang lama dan mendalam.  Inilah yang biasa disebut dengan  thick description (pengamatan dan observasi di lapangan yang dilakukan secara serius, terstuktur, mendalam dan berkesinambungan).  Thick description dilakukan  dengan cara antara lain Living in , yaitu  hidup bersama masyarakat yang diteliti, mengikuti  ritme dan pola hidup sehari-hari mereka dalam waktu yang cukup lama.
2.    Local practices , yaitu praktik konkrit dan nyata di lapangan.
Praktik hidup yang dilakukan sehari-hari,  agenda mingguan, bulanan dan tahunan, lebih -lebih ketika manusia melewati hari-hari  atau peristiwa-peristiwa penting dalam menjalani  kehidupan. Ritus-ritus atau amalan-amalan apa saja yang dilakukan untuk melewati peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan tersebut  (rites de pessages) ? Persitiwa  kelahiran, perkawinan, kematian, penguburan .  Apa yang dilakukan oleh manusia ketika menghadapi dan menjalani ritme kehidupan yang sangat penting tersebut? [7]
3.    Keterkaitan antar berbagai domain kehidupan  secara lebih utuh (connections across social domains).
Bagaimana hubungan antara wilayah  ekonomi,  sosial, agama, budaya dan politik.  Kehidupan tidak dapat dipisah-pisah. Keutuhan dan kesalingterkaitan antar berbagai domain kehidupan manusia. Hampir-hampir tidak ada satu domain wilayah kehidupan yang dapat berdiri sendiri, terlepas dan  tanpa terkait dan terhubung dengan lainnya.
4.    Comparative (Perbandingan) artinya studi dan pendekatan antropologi memerlukan perbandingan dari berbagai tradisi, sosial, budaya dan agama-agama. Studi dan pendekatan antropologi memerlukan perbandingan dari berbagai tradisi, sosial, budaya dan agama-agama. 
Meskipun menyebut local practices untuk era globalisasi sekarang adalah debatable, tetapi ada empat rangkaian tindakan  keagamaan yang perlu dicermati oleh penelitian antropologi. Pertama, adalah bagaimana  seseorang dan atau kelompok melakukan praktik-praktik lokal dalam mata rantai tindakan keagamaan  yang terkait dengan dimensi social, ekonomi, politik, dan budaya.  Sebagai contoh ada ritus baru yang disebut “walimah al-Safar”, yang biasa dilakukan orang  sebelum  berangkat haji. Apa makna praktik dan tindakan lokal ini dalam keterkaitannya dengan agama, sosial, ekonomi, politik dan budaya? Religious ideas yang diperoleh  dari teks atau ajaran pasti ada di balik tindakan ini. Bagaimana tindakan ini membentuk emosi  dan menjalankan  fungsi sosial dalam kehidupan yang luas?.  Bagaimana walimah safar yang tidak saja dilakukan di rumah tetapi juga  di laksanakan di pendopo kabupaten? Oleh karenanya, keterkaitan dan keterhubungan antara local practices, religious ideas, emosi  individu dan kelompok maupun kepentingan sosial – poilitik tidak dapat dihindari.  Semuanya membentuk satu tindakan yang utuh.
D.  Wilayah Pendekatan Antropologi dalam Studi Islam
Antropologi sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk memahami agama. Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia. Dengan dibekali oleh pendekatan yang holistic dan komitmennya tentang manusia, sesungguhnya antropologi merupakan ilmu penting untuk mempelajari agama dan interaksi sosialnya dengan berbagai budaya. Nurcholish Madjid mengungkapkan bahwa pendekatan antropologis sangat penting untuk memahami agama Islam karena konsep manusia sebagai khalifah (wakil Tuhan) di bumi, misalnya merupakan symbol akan pentingnya posisi manusia dalam Islam.[8]
Posisi penting manusia dalam Islam juga mengindikasikan bahwa sesungguhnya persoalan utama dalam memahami agama Islam adalah bagaimana memahami manusia. Persoalan-persoalan yang dialami manusia sesungguhnya adalah persoalan agama yang sebenarnya.Pergumulan dalam kehidupan kemanusiaan pada dasarnya adalah pergumulan keagamaanya.
Pemahaman Islam yang telah berproses dalam sejarah dan budaya tidak lengkap tanpa memahami manusia. Realitas keagamaan sesungguhnya adalah realitas kemanusiaan. Terlebih dari itu, makna hakiki dari keberagamaan terletak pada interpretasi dan pengalaman agama. Oleh karena itu antropologi diperlukan untuk memahami Islam, sebagai alat untuk memahami realitas kemanusiaan dan memahami Islam yang telah dipraktikkan yang menjadi gambaran sesungguhnya dari keberagaman manusia.
Oleh karena itu, dapat diketahui bahwa signifikansi antropologi dalam studi islam adalah sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini, agama tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya. Dengan kata lain, cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu antropologis dalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami agama.
Penelitian antropologis yang induktif dan grounded, yaitu turun ke lapangan tanpa berpijak pada, atau setidak-tidaknya dengan upaya membebaskan diri dari kungkungan teori-teori formal yang pada dasarnya sangat abstrak sebagaimana yang dilakukan dibidang sosiologi dan lebih-lebih ekonomi yang mempergunakan model-model matematics, banyak juga memberi sumbangan kepada penelitian historis.
Sejalan dengan pendekatan tersebut, maka dalam berbagai penelitian antropologi agama dapat ditemukan adanya hubungan positif dengan berbagai bidang kehidupan, diantaranya:
1.      Agama berkorelasi dengan etos kerja dan perkembangan ekonomi suatu masyarakat. Golongan masyarakat yang kurang mampu dan miskin pada umumnya, lebih tertarik kepada gerakan-gerakan keagamaan yang bersifat mesianis, yang menjanjikan perubahan tatanan sosial kemasyarakatan. Sedangkan golongan orang kaya lebih cenderung untuk mempertahankan tatanan masyarakat yang sydah mapan secara ekonomi lantaran tatanan itu menguntungkan pihaknya. Karl Marx (1818-1883), sebagai contoh, melihat agama sebagai opium atau candu masyarakat tertentu sehingga mendorongnya untuk memperkenalkan teori konflik atau yang biasa disebut dengan teori pertentangan kelas. Menurutnya agama bisa disalahfungsikan oleh kalangan tertentu untuk melestarikan status quo peran tokoh-tokoh agama yang mendukung sistem kapitalsime di Eropa yang beragama Kristen. Lain halnya dengan Max Weber (1864-1920). Dia melihat adanya korelasi positif antara ajaran Protestan dengan munculnya semangat kapitalisme modern. Etika Protestan dilihatnya sebagai cikal bakal etos kerja semangat masyarakat industri yang kapitalistik. Cara pandang Weber ini kemudian diteruskan oleh Robert N. Bellah dalam karyanya The Religion of Tokugawa.Dia juga melihat adanya korelasi positif antara ajaran agama Tokugawa, yakni semacam percampuran antara ajaran agama budha dan sinto pada era pemerintahan Meiji dengan semangat etos kerja orang Jepang modern. Tidak ketinggalan, seorang Yahudi kelahiran Prancis, Maxime Rodinson, dalam bukunya Islam and Capitalism menganggap bahwa ekonomi islam itu lebih dekat dengan sistem kapitalisme atau sekurang-kurangnya tidak mengharamkan prinsip-prinsip dasar kapitalisme.
2.      Agama dalam hubungannya dengan mekanisme organisasi social budaya.
 Peneliti Clifford Geertz dalam karyanya The Religion of Java melihat adanya klasifikasi sosial dalam masyarakat muslim di Jawa, antara santri, priyayi, dan abangan. Sungguhpun hasil penelitian antropologis di Jawa Timur ini mendapat sanggahan dari berbagai ilmuwan sosial yang lain, namun kontruksi stratifikasi sosial yang dikemukakannya cukup membuat orang berfikir ulang untuk mengecek ulang keabsahannya. [9]     
3.      Keterkaitan agama dengan psikoterapi.
Sigmund Freud (1856-1939) pernah mengaitkan agama dengan oedipus complex, yakni pengalaman infantil seorang anak yang tidak berdaya dihadapan kekuatan dan kekuasaan bapaknya. Agama dinilainya sebagai neurosis. Dalam psikoanalisanya dia mengungkapkan adanya hubungan antara id, ego dan superego. Meskipun hasil penelitian Freud berakhir dengan kurang simpati terhadap realita keberagamaan manusia, tetapi temuannya ini cukup memberi peringatan terhadap beberapa kasus keberagamaan tertentu yang lebih terkait dengan patologi sosial mupun kejiwaan. Jika Freud dianggap terlalu minor melihat fenomina keberagaman manusia, lain halnya dengan psikoanalis yang dikemukakan C.G.Jung. Jung malah menemukan hasil temuan psikoanalisanya yang berbalik arah dari apa yang ditemukan Freud. Menurutnya ada korelasi antara agama dan kesehatan mental.
4.      Agama dengan Budaya
Jika kembali pada persoalan kajian antropologi bagi kajian Islam, maka dapat dilihat relevansinya dengan melihat dari dua hal. Pertama, penjelasan antropologi sangat berguna untuk membantu mempelajari agama secara empirik, artinya kajian agama harus diarahkan pada pemahaman aspek-aspek social context yang melingkupi agama. Kajian agama secara empiris dapat diarahkan ke dalam dua aspek yaitu manusia dan budaya. Pada dasarnya agama diciptakan untuk membantu manusia untuk dapat memenuhi keinginan-keinginan kemanusiaannya, dan sekaligus mengarahkan kepada kehidupan yang lebih baik. Hal ini jelas menunjukkan bahwa persoalan agama yang harus diamati secara empiris adalah tentang manusia. Tanpa memahami manusia maka pemahaman tentang agama tidak akan menjadi sempurna.
Kemudian sebagai akibat dari pentingnya kajian manusia, maka mengkaji budaya dan masyarakat yang melingkupi kehidupan manusia juga menjadi sangat penting. Kebudayaan, sebagai system of meaning yang memberikan arti bagi kehidupan dan perilaku manusia, adalah aspek esensial manusia yang tidak dapat dipisahkan dalam memahami manusia. Mengutip Max Weber bahwa manusia adalah makhluk yang terjebak dalam jaring-jaring kepentingan yang mereka buat sendiri, maka budaya adalah jaring-jaring itu. Geertz kemudian mengelaborasi pengertian kebudayaan sebagai pola makna (pattern of meaning) yang diwariskan secara historis dan tersimpan dalam simbol-simbol yang dengan itu manusia kemudian berkomunikasi, berperilaku dan memandang kehidupan. Oleh karena itu analisis tentang kebudayaan dan manusia dalam tradisi antropologi tidaklah berupaya menemukan hukum-hukum seperti di ilmu-ilmu alam, melainkan kajian interpretatif untuk mencari makna (meaning).
Kesulitan mempelajari agama dengan pendekatan budaya, dengan mempelajari wacana, pemahaman dan tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan ajaran agama, dirasakan juga oleh mereka yang beragama. Kesulitan itu terjadi karena ketakutan untuk membicarakan masalah agama yang sakral dan bahkan mungkin tabu untuk dipelajari. Persoalan itu ditambah lagi dengan keyakinan bahwa agama adalah bukan hasil rekayasa intelektual manusia, tetapi berasal dari wahyu suci Tuhan. Sehingga realitas keagamaan diyakini sebagai sebuah “takdir sosial” yang tak perlu lagi dipahami.
Namun sesungguhnya harus disadari bahwa tidak dapat dielakkan agama tanpa pengaruh budaya-ulah pikir manusia-tidak akan dapat berkembang meluas ke seluruh manusia. Bukankah penyebaran agama sangat terkait dengan usaha manusia untuk menyebarkannya ke wilayah-wilayah lain. Dan bukankah pula usaha-usaha manusia, jika dalam Islam bisa dilihat peran para sahabat, menerjemahkan dan mengkonstruksi ajaran agama ke dalam suatu kerangka sistem yang dapat diikuti oleh manusia. Lahirnya ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu fikih dan ilmu usul fikih adalah hasil konstruksi intelektual manusia dalam menerjemahkan ajaran agama sesuai dengan kebutuhan manusia di dalam lingkungan sosial dan budayanya.
Secara garis besar kajian agama dalam antropologi dapat dikategorikan ke dalam empat kerangka teoritis; intellectualist, structuralist, functionalist dan symbolist. Tradisi kajian agama dalam antropologi diawali dengan mengkaji agama dari sudut pandang intelektualisme yang mencoba untuk melihat definisi agama dalam setiap masyarakat dan kemudian melihat perkembangan (religious development) dalam satu masyarakat. Termasuk dalam tradisi adalah dengan mendefinisikan agama sebagai kepercayaan terhadap adanya kekuatan supranatural. Walaupun definisi agama ini sangat minimalis, definisi ini menunjukkan kecenderungan melakukan generalisasi realitas agama dari animisme sampai kepada agama monoteis.
Jamaluddin ‘Athiyyah, dalam artikelnya di jurnal The Contemporery Muslim menawarkan bahwa obyek kajian dari antropologi Islam adalah sebagai berikut ini :
a.       Penciptaan manusia, meliputi awal penciptaan manusia dan bagaimana manusia kemudian berkembang termasuk teori evolusi Darwin sebagai komparasinya. Juga pertanyaan tentang apakah sebelum Adam AS. ada Adam-Adam lain. Seperti kecenderungan Iqbal, misalnya, yang mengatakan dalam bukunya The Reconstraction of Religious Thought in Islam, bahwa Adam yang disebut dalam al Qur’an lebih banyak bersifat konsep tinimbang histories.
b.      Susunan manusia, meliputi susunan yang membentuk manusia; tubuh, jiwa, ruh, akal, hati, mata hati dan nurani. Sehingga dapat didapatkan konsep manusia yang utuh sesuai dengan konsep Islam. Sehingga dengannya manusia akan berbeda dengan malaikat, jin, hewan, tumbuhan dan benda mati. Sambil menjelaskan perbedaan manusia dengan makhluk tersebut.
c.       Macam-macam manusia, yaitu perbedaan manusia antara lelaki dan perempuan, suku-suku, bangsa-bangsa, perbedaan bahasa, dan hikmah dibalik perbedaan ini.
d.      Tujuan diciptakannya manusia dan apa misi yang dibawanya di atas bumi, pengkajian tentang ibadah, khilafah, pembumidayaan dunia dan sebagainya.
e.       Hubungan manusia dengan semesta, yakni manusia sebagai pusat semesta dan pembahasan tentang lingkungan hidup.
f.       Hubungan manusia dengan Tuhan-nya, yakni mengkaji tentang beragama manusia, peran nabi-nabi, kitab-kitab suci dan ibadah.
g.      Manusia masa depan, yang mengkaji tentang rekayasa manusia masa depan yaitu tentang pembibitan buatan, bioteknologi, manusia robot dan hal-hal lainnya.
h.      Manusia setelah mati, yang membahas bagaiman manusia setelah mati, serta apa yang harus ia persiapkan di dunia ini bagi kehidupannya di akherat nanti.
Di Indonesia usaha para antropolog untuk memahami hubungan agama dan sosial telah banyak dilakukan. Barangkali karya Clifford Geertz The Religion of Java yang ditulis pada awal 1960an menjadi karya yang populer sekaligus penting bagi diskusi tentang agama di Indonesia khususnya di Jawa. Pandangan Geertz yang mengungkapkan tentang adanya trikotomi-santri, abangan dan priyayi di dalam masyarakat Jawa, ternyata telah mempengaruhi banyak orang dalam melakukan analisis baik tentang hubungan antara agama dan budaya, ataupun hubungan antara agama dan politik. Dalam diskursus interaksi antara agama-khususnya Islam-dan budaya di Jawa, pandangan Geertz telah mengilhami banyak orang untuk melihat lebih mendalam tentang interrelasi antara keduanya. Keterpengaruhan itu bisa dilihat dari beberapa pandangan yang mencoba menerapkan kerangka berfikir Geertz ataupun mereka yang ingin melakukan kritik terhadap wacana Geertz.
Pandangan trikotomi Geertz tentang pengelompokan masyarakat Jawa berdasar religio-kulturalnya berpengaruh terhadap cara pandang para ahli dalam melihat hubungan agama dan politik. Penjelasan Geertz tentang adanya pengelompokkan masyarakat Jawa ke dalam kelompok sosial politik didasarkan pada orientasi ideologi keagamaan. Walaupun Geertz mengkelompokkan masyarakat Jawa ke dalam tiga kelompok, ketika dihadapkan pada realitas politik, yang jelas-jelas menunjukkan oposisinya adalah kelompok abangan dan santri. Pernyataan Geertz bahwa abangan adalah kelompok masyarakat yang berbasis pertanian dan santri yang berbasis pada perdagangan dan priyayi yang dominan di dalam birokrasi, ternyata mempunyai afiliasi politik yang berbeda. Kaum abangan lebih dekat dengan partai politik dengan isu-isu kerakyatan, priyayi dengan partai nasionalis, dan kaum santri memilih partai-partai yang memberikan perhatian besar terhadap masalah keagamaan.
Melalui pendekatan antropologis sebagaimana tersebut diatas terlihat dengan jelas hubungan agama dengan berbagai masalah kehidupan manusia dan dengan itu pula agama terlihat akrab dan fungsional dengan berbagai fenomina kehidupan manusia.
Antropogi memberikan pemahaman yang khusus berkenaan dengan cara hidup dan perilaku manusia. Lingkup antropologi mencakup seluruh aspek kehidupan sehari-hari. Pernyataan Socrates yang berbunyi, “Saya bukanlah orang Athena atau Yunani, melainkan warga dunia, “ dewasa ini cenderung diartikan secara harfiah daripada secara filosofis. Manusia di seluruh dunia sudah mampu berhubungan antara satu sama lainnya melalui bantuan teknologi canggih: computer, kaset video, dan televisi. Dalam dunia kita yang kompleks ini, antropologi dapat membantu kita dengan cara yang sederhana, tetapi bermanfaat untuk memahami berbagai masalah masa kini, misalnya masalah kependudukan, pengungsi, kemiskinan, obat bius, polusi, kelaparan, dan bom nuklir. Jadi penerapan antropologi dalam upaya memahami masalah tersebut merupakan antropologi masa kini.


BAB III
Penutup
KESIMPULAN
Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masayarakat. Dengan kata lain bahwa cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu antropologi dalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami agama.
            Pendekatan antropologis digunakan sebagai salah satu solusi dalam memecahkan permasalahan yang melilit umat Islam saat ini. Pendekatan antropologis diperlukan sebagai wahana untuk memberikan pemahaman kepada manusia dan solusi alternative dalam menganalisis dan memecahkan problematika social kontemporer sehingga mampu menjembatani berbagai persoalan yang dihadapi oleh manusia kontemporer.
DAFTAR PUSTAKA

Anwar,  Rosihan. 2009. Pengantar Studi Islam. Bandung:  Pustaka Setia.
Baharun, Hasan. 2001. Metodologi Studi Islam. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media
Muhaimin, Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir. 2007. Kawasan dan Wawasan Studi Islam. Jakarta: Prenada Media
M. Atho Mudzhar. 1998. Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Nata, Abudin. 2004. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Amin Abdullah, Urgensi Pendekatan Antropologi Untuk Studi Agama Dan Studi Islam,


[1] Wawan, Definisi antropologi, lihat di http://wawan-satu.blogspot.com/2011/11/definisi antropologi.html, diakses tanggal 28 Maret 2016.
[2] Artikata.com, Definisi'antropologi', lihat di http://www.artikata.com/arti-319317-antropologi.html, diakses tanggal 28 Maret 2016.
[3] Akbar S.Ahmad, “Ke Arah Antropologi Islam” dalam Hasan Baharun dan Akmal Mundiri, Metodologi Studi Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011)hlm.232
[4] Parsudi Suparlan,“Agama Islam: Tinjauan Disiplin Antropologi”, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam; Tinjauan antar Disiplin Ilmu, (Bandung: Nuansa bekerja sama dengan Pusjarlit, Cet. I, 1998), h. 110.
[6] M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 15.
[7] Amin Abdullah, Urgensi Pendekatan Antropologi Untuk Studi Agama Dan Studi Islam, http://aminabd.wordpress.com/2011/01/14/urgensi-pendekatan-antropologi-untuk-studi-agama-dan-studi-islam/ diakses 29 Maret 2016.
[8] Hasan Baharun, Metodologi Studi Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media) hlm. 234
[9] Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta, Raja Grafindo Persada: 2004), hlm. 35-37.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar