BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejak awal kehadirannya, Islam sebagai agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. diharapkan mampu
memberikan pencerahan, tidak hanya kepada para pemeluknya namun lebih dari itu,
mampu memberikan pencerahan kepada umat manusia seluruhnya dalam segala aspek
kehidupan. Berbeda dengan agama lain yang bersifat dogmatik, islam berisi nilai-nilai dan petunjuk-petunjuk
bagaimana menghadirkan kesejahteraan lahir batin dan membuat hidup dan
kehidupan agar lebih bermakna dan dalam arti yang seluas-luasnya.
Pemahaman isi Al-Qur’an dan Hadis sebagai sumber
utama ajaran Islam tidak lagi terbatas pada pemahaman tekstual/tersurat saja,
tetapi perlu dikembangkan ke arah pemahaman yang kontekstual/tersirat. Dengan
kata lain, pendekatan yang digunakan dalam studi Islam dan keislaman tidak lagi
hanya menggunakan pendekatan normatifitas saja, tetapi perlu dan sangat penting
untuk menggunakan jenis-jenis pendekatan lain yang dapat diterima oleh
masyarakat yang sangat majemuk/kompleks. Agar Islam dapat diterima, dipelajari,
dipahami dan diamalkan ajarannya oleh umat manusia yang tersebar
diseluruh penjuru dunia yang berbeda-beda suku, adat istiadat, ras, bahasa,
letak geografis, dan lainnya, maka perlu tindakan nyata yang lebih arif dan bijaksana
dari para ilmuwan Islam.
Dengan pendekatan-pendekatan yang sesuai dalam
studi Islam dan keislaman, maka diharapkan akan tercapai Islam yang ideal dan
benar-benar menjadi rahmatan lil ‘alamin. Dalam hal ini, para
ilmuwan mengemukakan beberapa pendekatan dalam studi Islam yang dapat
diterapkan yaitu pendekatan teologis normatis, antropologis, sosiologis,
filosofis, historis, kebudayaan dan psikologi. Dengan berbagai
pendekatan ini, diharapkan umat Islam akan terbebas dari belenggu yang
senantiasa mengungkungnya.
Salah
satu pendekatan yang perlu diterapkan dalam studi Islam adalah
pendekatan antropologi. Antropologi seperti semua disiplin ilmu pengetahuan lainnya, harus
membebaskan dirinya dari visi yang sempit. Ia harus mempelajari sesuatu yang
baru, sederhana, tetapi kebenaran yang primordinal dari semua ilmu pengetahuan
yaitu kebenaran pertama Islam. Untuk mengetahui lebih jauh tentang apa itu
antropologi dan pendekatan antropologi dalam studi agama, serta bagaimana
implementasi pendekatan antropologi dalam studi Islam, maka penulis berusaha
untuk mengkaji dan mengungkap lebih jauh tentang “Pendekatan Antropologi
dalam Studi Islam”.
B.
Rumusan
Masalah
Berangkat
dari latar belakang diatas penulis dapat merumuskan isi makalah bahwa :
1.
Apa pengertian
pendekatan antropologi ?
2.
Apa saja objek kajian dalam pendekatan antropologi ?
3.
Bagaimana kerangka operasional pendekatan antropologi ?
4.
Apa saja wilayah pendekatan antropologi dalam studi
Islam?
C.
Tujuan Penulisan Makalah
1.
Untuk
mengetahui pengertian pendekatan antropologi.
2.
Untuk mengetahui
objek kajian dalam pendekatan antropologi.
3.
Untuk mengetahui kerangka operasional pendekatan
antropologi
4.
Untuk
mengetahui wilayah pendekatan antropologi dalam studi Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pendekatan Antropologis
Antropologi berasal
dari kata anthropos yang berarti "manusia", dan logos yang berarti
ilmu. Kata antropologi dalam bahasa Inggris yaitu
“anthropology” yang didefinisikan sebagai the social science that studies the origins and
social relationships of human beings atau the science of
the structure and functions of the human body.[1] yaitu (ilmu sosial yang mempelajari asal-usul dan
hubungan sosial manusia atau Ilmu tentang
struktur dan fungsi tubuh manusia).
Antropologi juga bisa
diartikan sebagai ilmu tentang manusia,
khususnya tentang asal-usul,
aneka warna bentuk fisik, adat istiadat, dan kepercayaannya pada masa lampau. Menurut Koentjaraningrat
antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan
mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta kebudayaan yang
dihasilkan.[2]
Dari
beberapa pengertian seperti yang telah dikemukakan, dapat disusun suatu
pengertian yang sederhana bahwa antropologi adalah sebuah ilmu yang mempelajari
tentang manusia dari segi keanekaragaman fisik serta kebudayaan (cara-cara
berprilaku, tradisi-tradisi, nilai-nilai) yang dihasilkannya, sehingga setiap
manusia yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda.
Antropologi adalah sebuah ilmu yang didasarkan atas
observasi yang luas tentang kebudayaan, menggunakan data yang terkumpul, dengan
menetralkan nilai, analisis yang tenang (tidak memihak).[3]
Adapun pengertian
pendekatan, dalam dunia ilmu pengetahuan makna dari istilah pendekatan adalah
sama dengan metodologi, yaitu sudut pandang atau cara melihat dan memperlakukan
sesuatu yang menjadi perhatian atau masalah yang dikaji. Bersamaan dengan itu,
makna metodologi juga mencakup berbagai teknik yang digunakan untuk melakukan
penelitian atau pengumpulan data sesuai dengan cara melihat dan memperlakukan
masalah yang dikaji. Dengan demikian, pengertian pendekatan atau metodologi
bukan hanya diartikan sebagai sudut pandang atau cara melihat sesuatu
permasalahan yang menjadi perhatian tetapi juga mencakup pengertian
metode-metode atau teknik-teknik penelitian yang sesuai dengan pendekatan
tersebut.[4]
Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah
satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang
tumbuh dan berkembang dalam masayarakat. Melalui pendekatan ini agama tampak
akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berusaha
memberikan jawabannya.
Dengan kata lain bahwa cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu
antropologi dalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami agama.
Antrapologi dalam kaitan ini sebagaimana dikatakan Dawam Raharjo, lebih
mengutamakan pengamatan langsung, bahkan sifatnya partisipasif. Dari sini
timbul kesimpulan-kesimpulan yang sifatnya induktif yang mengimbangi pendekatan
deduktif sebagaimana digunakan dalam pendekatan sosiologis.
B. Objek Kajian
dalam Pendekatan Antropologi
Ditinjau
dari pengertian antropologi tersebut, obyek kajian dalam antropologi mencakup 2
(dua) hal yaitu :
1.
Keanekaragaman
bentuk fisik manusia.
2.
Keanekaragaman
budaya/kebudayaan sebagai hasil dari cipta, karsa dan rasa manusia.
Hal
tersebut sesuai dengan pendapat yang mengatakan bahwa secara umum obyek kajian antropologi dapat dibagi menjadi dua bidang, yaitu
antropologi fisik yang mengkaji makhluk manusia sebagai organisme biologis, dan
antropologi budaya dengan tiga cabangnya: arkeologi, linguistik
dan etnografi. Meski antropologi fisik menyibukan diri dalam usahanya
melacak asal usul nenek moyang manusia serta memusatkan studi terhadap variasi
umat manusia, tetapi pekerjaan para ahli di bidang ini sesungguhnya menyediakan
kerangka yang diperlukan oleh antropologi budaya. Sebab tidak ada kebudayaan
tanpa manusia. [5]
Jika budaya tersebut
dikaitkan dengan agama, maka agama yang dipelajari adalah agama sebagai
fenomena budaya, bukan ajaran agama yang datang dari Allah. Antropologi
tidak membahas salah benarnya suatu agama dan segenap perangkatnya, seperti
kepercayaan, ritual dan kepercayaan kepada yang sakral. Wilayah antropologi hanya terbatas pada kajian
terhadap fenomena yang muncul. Menurut Atho Mudzhar, ada lima fenomena agama
yang dapat dikaji, yaitu: [6]
1.
Scripture atau naskah atau sumber ajaran dan simbol
agama.
2.
Para penganut atau pemimpin atau pemuka agama,
yakni sikap, perilaku dan penghayatan para penganutnya.
3.
Ritus, lembaga dan ibadat, seperti shalat,
haji, puasa, perkawinan dan waris.
4.
Alat-alat seperti masjid, gereja, lonceng, peci
dan semacamnya.
5.
Organisasi keagamaan tempat para penganut agama
berkumpul dan berperan, seperti Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Gereja
Protestan, Syi’ah dan lain-lain.
Kelima obyek di atas dapat dikaji dengan
pendekatan antropologi, karena kelima obyek tersebut memiliki unsur budaya dari
hasil pikiran dan kreasi manusia.
C.
Kerangka Operasional Pendekatan Antropologis
Menurut Amin Abdullah, cara kerja yag dalam hal ini
bisa kita artikan sebagai langkah dan tahapan pendekatan antropologi dalam
studi Islam memiliki empat cirri fundamental yang meliputi
1. Bercorak descriptive,
bukannya normative.
Pendekatan
antropologi bermula dan diawali dari kerja lapangan (field work),
berhubungan dengan orang, masyarakat, kelompok setempat yang
diamati dan diobservasi dalam jangka waktu yang lama dan mendalam.
Inilah yang biasa disebut dengan thick description (pengamatan
dan observasi di lapangan yang dilakukan secara serius, terstuktur, mendalam dan berkesinambungan). Thick
description dilakukan dengan cara antara lain Living in
, yaitu hidup bersama masyarakat yang diteliti, mengikuti ritme dan
pola hidup sehari-hari mereka dalam waktu yang cukup lama.
2. Local practices , yaitu praktik
konkrit dan nyata di lapangan.
Praktik hidup yang
dilakukan sehari-hari, agenda mingguan, bulanan dan tahunan, lebih -lebih ketika manusia
melewati hari-hari atau peristiwa-peristiwa penting dalam menjalani
kehidupan. Ritus-ritus atau amalan-amalan apa saja yang dilakukan untuk melewati
peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan tersebut (rites de
pessages) ? Persitiwa kelahiran, perkawinan, kematian, penguburan
. Apa yang dilakukan oleh manusia ketika menghadapi dan menjalani ritme
kehidupan yang sangat penting tersebut? [7]
3. Keterkaitan antar berbagai domain kehidupan secara lebih utuh (connections
across social domains).
Bagaimana hubungan
antara wilayah ekonomi, sosial, agama, budaya dan politik.
Kehidupan tidak dapat dipisah-pisah. Keutuhan dan kesalingterkaitan antar berbagai
domain kehidupan manusia. Hampir-hampir tidak ada satu domain wilayah kehidupan
yang dapat berdiri sendiri, terlepas dan tanpa terkait dan terhubung
dengan lainnya.
4.
Comparative (Perbandingan) artinya studi dan pendekatan
antropologi memerlukan perbandingan dari berbagai tradisi, sosial, budaya dan
agama-agama. Studi dan pendekatan antropologi memerlukan perbandingan dari berbagai
tradisi, sosial, budaya dan agama-agama.
Meskipun menyebut
local practices untuk era globalisasi sekarang adalah debatable,
tetapi ada empat rangkaian tindakan keagamaan yang perlu dicermati oleh
penelitian antropologi. Pertama, adalah bagaimana seseorang dan atau
kelompok melakukan praktik-praktik lokal dalam mata rantai tindakan
keagamaan yang terkait dengan dimensi social, ekonomi, politik, dan budaya.
Sebagai contoh ada ritus baru yang disebut “walimah al-Safar”, yang
biasa dilakukan orang sebelum berangkat haji. Apa makna praktik dan
tindakan lokal ini dalam keterkaitannya dengan agama, sosial, ekonomi, politik
dan budaya? Religious ideas yang diperoleh dari teks atau ajaran
pasti ada di balik tindakan ini. Bagaimana tindakan ini membentuk emosi
dan menjalankan fungsi sosial dalam kehidupan yang luas?. Bagaimana
walimah safar yang tidak saja dilakukan di rumah tetapi juga di laksanakan
di pendopo kabupaten? Oleh karenanya, keterkaitan dan keterhubungan antara
local practices, religious ideas, emosi individu dan kelompok
maupun kepentingan sosial – poilitik tidak dapat dihindari. Semuanya
membentuk satu tindakan yang utuh.
D. Wilayah
Pendekatan Antropologi dalam Studi Islam
Antropologi sebagai sebuah ilmu yang
mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk memahami agama. Antropologi
mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk dapat memahami
perbedaan kebudayaan manusia. Dengan dibekali oleh pendekatan yang holistic dan
komitmennya tentang manusia, sesungguhnya antropologi merupakan ilmu penting
untuk mempelajari agama dan interaksi sosialnya dengan berbagai budaya.
Nurcholish Madjid mengungkapkan bahwa pendekatan antropologis sangat penting
untuk memahami agama Islam karena konsep manusia sebagai khalifah (wakil Tuhan)
di bumi, misalnya merupakan symbol akan pentingnya posisi manusia dalam Islam.[8]
Posisi penting manusia dalam Islam
juga mengindikasikan bahwa sesungguhnya persoalan utama dalam memahami agama
Islam adalah bagaimana memahami manusia. Persoalan-persoalan yang dialami
manusia sesungguhnya adalah persoalan agama yang sebenarnya.Pergumulan dalam
kehidupan kemanusiaan pada dasarnya adalah pergumulan keagamaanya.
Pemahaman Islam yang telah berproses
dalam sejarah dan budaya tidak lengkap tanpa memahami manusia. Realitas
keagamaan sesungguhnya adalah realitas kemanusiaan. Terlebih dari itu, makna
hakiki dari keberagamaan terletak pada interpretasi dan pengalaman agama. Oleh
karena itu antropologi diperlukan untuk memahami Islam, sebagai alat untuk
memahami realitas kemanusiaan dan memahami Islam yang telah dipraktikkan yang
menjadi gambaran sesungguhnya dari keberagaman manusia.
Oleh karena itu, dapat diketahui
bahwa signifikansi antropologi dalam studi islam adalah sebagai salah satu
upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh
dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini, agama tampak akrab dan
dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan
memberikan jawabannya. Dengan kata lain, cara-cara yang digunakan dalam
disiplin ilmu antropologis dalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk
memahami agama.
Penelitian antropologis yang induktif dan grounded, yaitu turun ke lapangan
tanpa berpijak pada, atau setidak-tidaknya dengan upaya membebaskan diri dari
kungkungan teori-teori formal yang pada dasarnya sangat abstrak sebagaimana
yang dilakukan dibidang sosiologi dan lebih-lebih ekonomi yang mempergunakan
model-model matematics, banyak juga memberi sumbangan kepada penelitian
historis.
Sejalan dengan pendekatan tersebut, maka dalam berbagai penelitian
antropologi agama dapat ditemukan adanya hubungan positif dengan
berbagai bidang kehidupan, diantaranya:
1.
Agama berkorelasi dengan etos kerja dan perkembangan
ekonomi suatu masyarakat. Golongan
masyarakat yang kurang mampu dan miskin pada umumnya, lebih tertarik kepada
gerakan-gerakan keagamaan yang bersifat mesianis, yang menjanjikan perubahan
tatanan sosial kemasyarakatan. Sedangkan golongan orang kaya lebih cenderung untuk
mempertahankan tatanan masyarakat yang sydah mapan secara ekonomi lantaran
tatanan itu menguntungkan pihaknya. Karl Marx (1818-1883), sebagai contoh,
melihat agama sebagai opium atau candu masyarakat tertentu sehingga
mendorongnya untuk memperkenalkan teori konflik atau yang biasa disebut dengan
teori pertentangan kelas. Menurutnya agama bisa disalahfungsikan oleh kalangan
tertentu untuk melestarikan status quo peran tokoh-tokoh agama yang
mendukung sistem kapitalsime di Eropa yang beragama Kristen. Lain halnya dengan
Max Weber (1864-1920). Dia melihat adanya korelasi positif antara ajaran
Protestan dengan munculnya semangat kapitalisme modern. Etika Protestan
dilihatnya sebagai cikal bakal etos kerja semangat masyarakat industri yang
kapitalistik. Cara pandang Weber ini kemudian diteruskan oleh Robert N. Bellah
dalam karyanya The Religion of Tokugawa.Dia juga melihat adanya korelasi
positif antara ajaran agama Tokugawa, yakni semacam percampuran antara ajaran
agama budha dan sinto pada era pemerintahan Meiji dengan semangat etos kerja
orang Jepang modern. Tidak ketinggalan, seorang Yahudi kelahiran Prancis,
Maxime Rodinson, dalam bukunya Islam and Capitalism menganggap bahwa ekonomi islam
itu lebih dekat dengan sistem kapitalisme atau sekurang-kurangnya tidak
mengharamkan prinsip-prinsip dasar kapitalisme.
2.
Agama dalam hubungannya dengan mekanisme organisasi
social budaya.
Peneliti Clifford Geertz dalam karyanya The Religion of Java melihat adanya klasifikasi sosial dalam masyarakat muslim di Jawa, antara
santri, priyayi, dan abangan. Sungguhpun hasil penelitian antropologis di Jawa
Timur ini mendapat sanggahan dari berbagai ilmuwan sosial yang lain, namun
kontruksi stratifikasi sosial yang dikemukakannya cukup membuat orang berfikir
ulang untuk mengecek ulang keabsahannya. [9]
3.
Keterkaitan
agama dengan psikoterapi.
Sigmund Freud (1856-1939) pernah
mengaitkan agama dengan oedipus complex, yakni pengalaman infantil seorang anak
yang tidak berdaya dihadapan kekuatan dan kekuasaan bapaknya. Agama dinilainya
sebagai neurosis. Dalam psikoanalisanya dia mengungkapkan adanya hubungan
antara id, ego dan superego. Meskipun hasil penelitian Freud berakhir dengan
kurang simpati terhadap realita keberagamaan manusia, tetapi temuannya ini
cukup memberi peringatan terhadap beberapa kasus keberagamaan tertentu yang
lebih terkait dengan patologi sosial mupun kejiwaan. Jika Freud dianggap
terlalu minor melihat fenomina keberagaman manusia, lain halnya dengan
psikoanalis yang dikemukakan C.G.Jung. Jung malah menemukan hasil temuan
psikoanalisanya yang berbalik arah dari apa yang ditemukan Freud. Menurutnya
ada korelasi antara agama dan kesehatan mental.
4.
Agama dengan Budaya
Jika kembali pada persoalan kajian
antropologi bagi kajian Islam, maka dapat dilihat relevansinya dengan melihat
dari dua hal. Pertama, penjelasan antropologi sangat berguna untuk membantu
mempelajari agama secara empirik, artinya kajian agama harus diarahkan
pada pemahaman aspek-aspek social context yang melingkupi agama. Kajian agama
secara empiris dapat diarahkan ke dalam dua aspek yaitu manusia dan budaya.
Pada dasarnya agama diciptakan untuk membantu manusia untuk dapat memenuhi
keinginan-keinginan kemanusiaannya, dan sekaligus mengarahkan kepada kehidupan
yang lebih baik. Hal ini jelas menunjukkan bahwa persoalan agama yang harus
diamati secara empiris adalah tentang manusia. Tanpa memahami manusia maka
pemahaman tentang agama tidak akan menjadi sempurna.
Kemudian sebagai akibat dari
pentingnya kajian manusia, maka mengkaji budaya dan masyarakat yang
melingkupi kehidupan manusia juga menjadi sangat penting. Kebudayaan, sebagai system
of meaning yang memberikan arti bagi kehidupan dan perilaku manusia, adalah
aspek esensial manusia yang tidak dapat dipisahkan dalam memahami manusia.
Mengutip Max Weber bahwa manusia adalah makhluk yang terjebak dalam
jaring-jaring kepentingan yang mereka buat sendiri, maka budaya adalah jaring-jaring
itu. Geertz kemudian mengelaborasi pengertian kebudayaan sebagai pola makna
(pattern of meaning) yang diwariskan secara historis dan tersimpan dalam
simbol-simbol yang dengan itu manusia kemudian berkomunikasi, berperilaku dan
memandang kehidupan. Oleh karena itu analisis tentang kebudayaan dan manusia
dalam tradisi antropologi tidaklah berupaya menemukan hukum-hukum seperti di
ilmu-ilmu alam, melainkan kajian interpretatif untuk mencari makna (meaning).
Kesulitan mempelajari agama dengan
pendekatan budaya, dengan mempelajari wacana, pemahaman dan tingkah laku
manusia dalam hubungannya dengan ajaran agama, dirasakan juga oleh mereka yang
beragama. Kesulitan itu terjadi karena ketakutan untuk membicarakan masalah
agama yang sakral dan bahkan mungkin tabu untuk dipelajari. Persoalan itu
ditambah lagi dengan keyakinan bahwa agama adalah bukan hasil rekayasa
intelektual manusia, tetapi berasal dari wahyu suci Tuhan. Sehingga realitas
keagamaan diyakini sebagai sebuah “takdir sosial” yang tak perlu lagi dipahami.
Namun sesungguhnya harus disadari
bahwa tidak dapat dielakkan agama tanpa pengaruh budaya-ulah pikir
manusia-tidak akan dapat berkembang meluas ke seluruh manusia. Bukankah
penyebaran agama sangat terkait dengan usaha manusia untuk menyebarkannya ke
wilayah-wilayah lain. Dan bukankah pula usaha-usaha manusia, jika dalam Islam
bisa dilihat peran para sahabat, menerjemahkan dan mengkonstruksi ajaran agama
ke dalam suatu kerangka sistem yang dapat diikuti oleh manusia. Lahirnya ilmu
tafsir, ilmu hadits, ilmu fikih dan ilmu usul fikih adalah hasil konstruksi
intelektual manusia dalam menerjemahkan ajaran agama sesuai dengan kebutuhan
manusia di dalam lingkungan sosial dan budayanya.
Secara garis besar kajian agama
dalam antropologi dapat dikategorikan ke dalam empat kerangka teoritis; intellectualist,
structuralist, functionalist dan symbolist. Tradisi kajian agama dalam
antropologi diawali dengan mengkaji agama dari sudut pandang intelektualisme
yang mencoba untuk melihat definisi agama dalam setiap masyarakat dan kemudian
melihat perkembangan (religious development) dalam satu masyarakat. Termasuk
dalam tradisi adalah dengan mendefinisikan agama sebagai kepercayaan terhadap
adanya kekuatan supranatural. Walaupun definisi agama ini sangat minimalis, definisi
ini menunjukkan kecenderungan melakukan generalisasi realitas agama dari
animisme sampai kepada agama monoteis.
Jamaluddin ‘Athiyyah, dalam
artikelnya di jurnal The Contemporery Muslim menawarkan bahwa obyek
kajian dari antropologi Islam adalah sebagai berikut ini :
a.
Penciptaan
manusia, meliputi awal penciptaan manusia dan bagaimana manusia kemudian
berkembang termasuk teori evolusi Darwin sebagai komparasinya. Juga pertanyaan
tentang apakah sebelum Adam AS. ada Adam-Adam lain. Seperti kecenderungan
Iqbal, misalnya, yang mengatakan dalam bukunya The Reconstraction of
Religious Thought in Islam, bahwa Adam yang disebut dalam al Qur’an lebih
banyak bersifat konsep tinimbang histories.
b.
Susunan
manusia, meliputi susunan yang membentuk manusia; tubuh, jiwa, ruh, akal, hati,
mata hati dan nurani. Sehingga dapat didapatkan konsep manusia yang utuh sesuai
dengan konsep Islam. Sehingga dengannya manusia akan berbeda dengan malaikat,
jin, hewan, tumbuhan dan benda mati. Sambil menjelaskan perbedaan manusia
dengan makhluk tersebut.
c.
Macam-macam
manusia, yaitu perbedaan manusia antara lelaki dan perempuan, suku-suku,
bangsa-bangsa, perbedaan bahasa, dan hikmah dibalik perbedaan ini.
d.
Tujuan
diciptakannya manusia dan apa misi yang dibawanya di atas bumi, pengkajian
tentang ibadah, khilafah, pembumidayaan dunia dan sebagainya.
e.
Hubungan
manusia dengan semesta, yakni manusia sebagai pusat semesta dan pembahasan
tentang lingkungan hidup.
f.
Hubungan
manusia dengan Tuhan-nya, yakni mengkaji tentang beragama manusia, peran
nabi-nabi, kitab-kitab suci dan ibadah.
g.
Manusia masa
depan, yang mengkaji tentang rekayasa manusia masa depan yaitu tentang
pembibitan buatan, bioteknologi, manusia robot dan hal-hal lainnya.
h.
Manusia setelah
mati, yang membahas bagaiman manusia setelah mati, serta apa yang harus ia
persiapkan di dunia ini bagi kehidupannya di akherat nanti.
Di Indonesia
usaha para antropolog untuk memahami hubungan agama dan sosial telah banyak
dilakukan. Barangkali karya Clifford Geertz The Religion of Java yang ditulis
pada awal 1960an menjadi karya yang populer sekaligus penting bagi diskusi
tentang agama di Indonesia khususnya di Jawa. Pandangan Geertz yang
mengungkapkan tentang adanya trikotomi-santri, abangan dan priyayi di
dalam masyarakat Jawa, ternyata telah mempengaruhi banyak orang dalam melakukan
analisis baik tentang hubungan antara agama dan budaya, ataupun hubungan antara
agama dan politik. Dalam diskursus interaksi antara agama-khususnya Islam-dan
budaya di Jawa, pandangan Geertz telah mengilhami banyak orang untuk melihat
lebih mendalam tentang interrelasi antara keduanya. Keterpengaruhan itu bisa
dilihat dari beberapa pandangan yang mencoba menerapkan kerangka berfikir
Geertz ataupun mereka yang ingin melakukan kritik terhadap wacana Geertz.
Pandangan
trikotomi Geertz tentang pengelompokan masyarakat Jawa berdasar
religio-kulturalnya berpengaruh terhadap cara pandang para ahli dalam melihat
hubungan agama dan politik. Penjelasan Geertz tentang adanya pengelompokkan
masyarakat Jawa ke dalam kelompok sosial politik didasarkan pada orientasi
ideologi keagamaan. Walaupun Geertz mengkelompokkan masyarakat Jawa ke dalam
tiga kelompok, ketika dihadapkan pada realitas politik, yang jelas-jelas
menunjukkan oposisinya adalah kelompok abangan dan santri. Pernyataan Geertz
bahwa abangan adalah kelompok masyarakat yang berbasis pertanian dan santri
yang berbasis pada perdagangan dan priyayi yang dominan di dalam birokrasi,
ternyata mempunyai afiliasi politik yang berbeda. Kaum abangan lebih dekat
dengan partai politik dengan isu-isu kerakyatan, priyayi dengan partai
nasionalis, dan kaum santri memilih partai-partai yang memberikan perhatian
besar terhadap masalah keagamaan.
Melalui pendekatan antropologis
sebagaimana tersebut diatas terlihat dengan jelas hubungan agama dengan
berbagai masalah kehidupan manusia dan dengan itu pula agama terlihat akrab dan
fungsional dengan berbagai fenomina kehidupan manusia.
Antropogi memberikan pemahaman yang khusus berkenaan
dengan cara hidup dan perilaku manusia. Lingkup antropologi mencakup seluruh
aspek kehidupan sehari-hari. Pernyataan Socrates yang berbunyi, “Saya bukanlah
orang Athena atau Yunani, melainkan warga dunia, “ dewasa ini cenderung
diartikan secara harfiah daripada secara filosofis. Manusia di seluruh dunia
sudah mampu berhubungan antara satu sama lainnya melalui bantuan teknologi
canggih: computer, kaset video, dan televisi. Dalam dunia kita yang kompleks
ini, antropologi dapat membantu kita dengan cara yang sederhana, tetapi
bermanfaat untuk memahami berbagai masalah masa kini, misalnya masalah
kependudukan, pengungsi, kemiskinan, obat bius, polusi, kelaparan, dan bom
nuklir. Jadi penerapan antropologi dalam upaya memahami masalah tersebut
merupakan antropologi masa kini.
BAB III
Penutup
KESIMPULAN
Pendekatan
antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya
memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan
berkembang dalam masayarakat. Dengan kata lain bahwa cara-cara yang digunakan
dalam disiplin ilmu antropologi dalam melihat suatu masalah digunakan pula
untuk memahami agama.
Pendekatan antropologis digunakan
sebagai salah satu solusi dalam memecahkan permasalahan yang melilit umat Islam
saat ini. Pendekatan antropologis diperlukan sebagai wahana untuk memberikan
pemahaman kepada manusia dan solusi alternative dalam menganalisis dan
memecahkan problematika social kontemporer sehingga mampu menjembatani berbagai
persoalan yang dihadapi oleh manusia kontemporer.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar,
Rosihan. 2009. Pengantar Studi Islam. Bandung: Pustaka
Setia.
Baharun, Hasan. 2001. Metodologi
Studi Islam. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media
Muhaimin, Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir. 2007. Kawasan dan Wawasan Studi Islam.
Jakarta: Prenada Media
M. Atho Mudzhar. 1998. Pendekatan
Studi Islam dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Nata, Abudin. 2004.
Metodologi
Studi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Amin Abdullah, Urgensi Pendekatan Antropologi Untuk Studi
Agama Dan Studi Islam,
http://aminabd.wordpress.com/2011/01/14/urgensi-pendekatan-antropologi-untuk-studi-agama-dan-studi-islam/ diakses 29 Maret 2016.
http://pascasarjanastainkds.blogspot.co.id/2013/10/pendekatan-antropologi
dalam-studi-islam_8948.html, diakses tanggal 29 Maret 2016.
[1] Wawan, Definisi antropologi, lihat di http://wawan-satu.blogspot.com/2011/11/definisi
antropologi.html, diakses tanggal 28 Maret 2016.
[2] Artikata.com, Definisi'antropologi', lihat di http://www.artikata.com/arti-319317-antropologi.html, diakses tanggal 28 Maret 2016.
[3] Akbar S.Ahmad,
“Ke Arah Antropologi Islam” dalam Hasan Baharun dan Akmal Mundiri,
Metodologi Studi Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2011)hlm.232
[4] Parsudi Suparlan,“Agama Islam: Tinjauan Disiplin
Antropologi”, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam; Tinjauan antar Disiplin
Ilmu, (Bandung:
Nuansa bekerja sama dengan Pusjarlit, Cet. I, 1998), h. 110.
[5] http://pascasarjanastainkds.blogspot.co.id/2013/10/pendekatan-antropologi-dalam-studi-islam_8948.html, diakses
tanggal 29 Maret 2016
[6] M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan
Praktek, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 15.
[7] Amin Abdullah,
Urgensi Pendekatan Antropologi Untuk Studi Agama Dan
Studi Islam, http://aminabd.wordpress.com/2011/01/14/urgensi-pendekatan-antropologi-untuk-studi-agama-dan-studi-islam/ diakses 29
Maret 2016.
[8] Hasan Baharun,
Metodologi Studi Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media) hlm. 234
Tidak ada komentar:
Posting Komentar