BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Eksistensi suatu bangsa sangat ditentukan oleh
karakter yang dimiliki. Hanya bangsa yang memiliki karakter kuat yang mampu
menjadikan dirinya sebagai bangsa yang bermartabat dan disegani oleh
bangsa-bangsa lain. Oleh karena itu, menjadi bangsa yang berkarakter adalah
keinginan kita semua.Keinginan menjadi bangsa yang berkarakter sesunggungnya
sudah lama tertanam pada bangsa Indonesia. Para pendiri negara menuangkan
keinginan itu dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-2 dengan pernyataan yang
tegas, mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara
Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Para pendiri
negara menyadari bahwa hanya dengan menjadi bangsa yang merdeka, bersatu,
berdaulat, adil dan makmurlah bangsa Indonesia menjadi bermartabat dan
dihormati bangsa-bangsa lain.
Di kalangan pelajar dan mahasiswa dekadensi moral
ini tidak kalah memprihatinkan.Perilaku menabrak etika, moral dan hukum dari
yang ringan sampai yang berat masih kerap diperlihatkan oleh pelajar dan
mahasiswa dan bahkan kelas Pejabat Negara. Kebiasaan mencontek‘ pada saat
ulangan atau ujian masih dilakukan. Keinginan lulus dengan cara mudah dan tanpa
kerja keras pada saat ujian nasional menyebabkan mereka berusaha mencari
jawaban dengan cara tidak beretika. Mereka mencari bocoran jawaban‘ dari berbagai sumber yang
tidak jelas. Apalagi jika keinginan lulus dengan mudah ini bersifat
institusional karena direkayasa atau dikondisikan oleh pimpinan sekolah dan
guru secara sistemik. Pada mereka yang tidak lulus, ada di antaranya yang
melakukan tindakan nekat dengan menyakiti diri atau bahkan bunuh diri.Perilaku
tidak beretika juga ditunjukkan oleh mahasiswa.Plagiarisme atau penjiplakan
karya ilmiah di kalangan mahasiswa juga masih bersifat massif.Bahkan ada yang
dilakukan oleh mahasiswa program doktor.Semuanya ini menunjukkan kerapuhan
karakter di kalangan pelajar dan mahasiswa.
Kondisi yang memprihatinkan itu tentu saja
menggelisahkan semua komponen bangsa, termasuk Presiden Republik Indonesia kala
itu (mantan).Susilo Bambang Yudhoyono
memandang perlunya pembangunan karakter saat itu bahkan terlebih saat ini.Pembangunan
karakter (character building) amat penting.Kita ingin membangun manusia
Indonesia yang berakhlak, berbudi pekerti, dan mulia.Bangsa kita ingin pula
memiliki peradaban yang unggul dan mulia.Peradaban demikian dapat kita capai
apabila masyarakat kita juga merupakan masyarakat yang baik (good society).Dan,
masyarakat idaman seperti ini dapat kita wujudkan manakala manusia-manusia
Indonesia merupakan manusia yang berakhlak baik, manusia yang bermoral, dan
beretika baik, serta manusia yang bertutur dan berperilaku baik pula.
Untuk itu perlu dicari jalan terbaik untuk membangun
dan mengembangkan karkater manusia dan bangsa Indonesia agar memiliki karkater
yang baik, unggul dan mulia.Upaya yang tepat untuk itu adalah melalui
pendidikan, karena pendidikan memiliki peran penting dan sentral dalam
pengembangan potensi manusia, termasuk potensi mental.Melalui pendidikan diharapkan
terjadi transformasi yang dapat menumbuhkembangkan karakter positif,
serta mengubah watak dari yang tidak baik menjadi baik.Ki Hajar Dewantara
dengan tegas menyatakan bahwa Pendidikan merupakan daya upaya untuk memajukan
bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect),
dan tubuh anak.Jadi jelaslah, pendidikan merupakan wahana utama untuk
menumbuhkembangkan karakter yang baik.Di sinilah pentingnya pendidikan
karakter.
Pendidikan
karakter sebenarnya bukan hal yang baru. Sejak awal kemerdekaan, masa orde
lama, masa orde baru, dan masa reformasi sudah dilakukan dengan nama dan bentuk
yang berbeda-beda. Namun hingga saat ini belum menunjukkan hasil yang optimal,
terbukti dari fenomena sosial yang menunjukkan perilaku yang tidak berkarakter
sebagaimana disebut di atas. Dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang
Sistem pendidikan Naional telah ditegaskan bahwa Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.‖ Namun tampaknya upaya pendidikan yang dilakukan oleh lembaga pendidikan
dan institusi pembina lain belum sepenuhnya mengarahkan dan mencurahkan
perhatian secara komprehensif pada upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional.
Konsep
pendidikan karakter dari segi materi yang terdapat dalam Al-Qur’an surat Luqman
ayat 12-14.
รด
|
12. dan
Sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, Yaitu:
"Bersyukurlah kepada Allah. dan Barangsiapa yang bersyukur (kepada
Allah), Maka Sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan
Barangsiapa yang tidak bersyukur, Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi
Maha Terpuji".
13. dan (ingatlah)
ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran
kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah,
Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang
besar".
14. dan Kami perintahkan kepada
manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah
mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya
dalam dua tahun[1180]. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu
bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.
|
Dari ayat diatas dapatsaya disimpulkanbahwa karakter syukur, karakter
iman, dan karakter berbakti kepada kedua orang tua. Karakter-karakter tersebut
secara umum dapat disebut sebagai karakter religius.
Berangkat dari latar belakang diatas pemakalah /
penulis dapat mengemukakan dalam Rumusan Masalah dan tujuan pembahasan makalah
ini sebagaiman berukt :
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
Pengertian Pendekatan Pendidikan Karakter ?
2. Ada
berapa macam Pendekatan Pendidikan Karakter ?
3. Bagaimana
Penilaian pendekatan pendidikan karakter di sekolah ?
C.
Tujuan
Pembahasan
2.
Mampu mendeskripsikan macam macam
Pendekatan Pendidikan Karakter.
3.
Dapat melaksanakan penilaian dalam
Pendekatan Pendidikan Karakter.
BAB
II
PEMBAHASAN
Rasionalisasi
Keterpaduan Pendidikan yang difokuskan pada terbentuknya karakter siswa
merupakan tanggungjawab semua guru.Oleh karena itu, pembinaannya pun
dilaksanakan oleh semua guru.Dengan demikian, kurang tepat jika dikatakan bahwa
mendidik para siswa agar memiliki karakter hanya ditimpahkan pada guru mata
pelajaran tertentu, contoh guru pendidikan agama.Walaupun dapat dipahami bahwa
porsi yang dominan untuk mengajarkan pendidikan karakter adalah para guru yang
relevan dengan pendidikan karakter.
Berikut
kami paparkan pengertian dan devinisi istilah dalam pembahasan makalah ini.
A.
Pengertian
1. Pendekatan
Pendekatan dapat diartikan sebagai titik tolak atau
sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran. Pendekatan yang berpusat pada
guru menurunkan strategi pembelajaran langsung (direct instruction),
pembelajaran deduktif atau pembelajaran ekspositori.Sedangkan, pendekatan
pembelajaran yang berpusat pada siswa menurunkan strategi pembelajaran
discovery dan inkuiri serta strategi pembelajaran induktif.[1]
Pendekatan (Approach) dalam pengajaran diartikan sebagai a way of beginning something, yang artinya cara memulai sesuatu. Pendekatan pembelajaran adalah titik
tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada
pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, di
dalamnya mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran
dengan cakupan teoretis tertentu.
Dari segi pendekatannya, pada
pembelajaran ada dua jenis pendekatan, yaitu Pendekatan pembelajaran yang
berorientasi atau berpusat pada Siswa (Student
Centere Approach).Pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat
pada Guru (Teacher Centered Approach).[2]
2. Pendidikan
dan karakter
a. Pendidikan
Manusia
sejak lahir ke dunia sudah mendapatkan pendidikan hingga ia masuk ke bangku
sekolah. kata pendidikan sudah tidak asing lagi ditelinga, karena semua manusia
yang hidup pasti membutuhkan pendidikan, agar tujuan hidupnya tercapai dan dapat
menghilangkan kebodohan.
Didalam
Al-Qur‟an dijelaskan dalam QS Al-Alaq ayat 1-5:[3]
Dari ayat ini
jelas, bahwa agama islam telah mendorong umatnya senantiasa belajar dan menjadi
umat yang pandai, dimulai dengan belajar baca tulis dan diteruskan dengan
belajar berbagai macam ilmu pengetahuan lainnya.
Prof. Herman H. Horn: Beliau
berpendapat bahwa pendidikan adalah suatu proses dari penyesuaian lebih tinggi
bagi makhluk yang telah berkembang secara fisik dan mental yang bebas dan sadar
kepada Tuhan seperti termanifestasikan dalam alam sekitar, intelektual,
emosional dan kemauan dari manusia.
Ki Hajar Dewantara:
Menurutnya pendidikan adalah suatu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak.
Maksudnya ialah bahwa pendidikan menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada
peserta didik agar sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan
dan kebahagiaan hidup yang setinggi-tingginya.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI):
Pendidikan yaitu sebuah proses pembelajaran bagi setiap individu untuk mencapai
pengetahuan dan pemahaman yang lebih tinggi mengenai obyek tertentu dan
spesifik. Pengetahuan yang diperoleh secara formal tersebut berakibat pada
setiap individu yaitu memiliki pola pikir, perilaku dan akhlak yang sesuai
dengan pendidikan yang diperolehnya.[4]
Ensiklopedi Pendidikan Indonesia: Menjelaskan
mengenai pendidikan, yaitu sebagai proses membimbing manusia atau anak didik
dari kegelapan, ketidaktahuan, kebodohan, dan kecerdasan pengetahuan.
UU SISDIKNAS No.20 tahun 2003: Pendidikan
merupakan suatu usaha yang dilakukan secara sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mampu mengembangkan potensi yang ada didalam dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, kepribadian yang baik, pengendalian diri,
berakhlak mulia, kecerdasan,dan keterampilan yang diperlukan oleh dirinya
dan masyarakat.[5]
Dalam dunia
pendidikan, terdapat dua istilah yang hampir sama bentuknya, yaitu paedagogie
dan paedagogiek. Paedagogie artinya pendidikan,
sedangkan paedagogiek berarti ilmu pendidikan.Pedagogik atau ilmu
pendidikan ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki, merenungkan tentang
gejala-gejala perbuatan mendidik. Pedagogik berasal dari kata Yunani paedagogia
yang berarti “pergaulan dengan anak-anak”[6]
Dari beberapa
definisi diatas, maka pendidikan dapat difahami sebagai bentuk aktivitas dan
usaha manusia untuk meningkatkan kepribadiannya dengan jalan membina
potensi-potensi pribadinya, baik pribadi rohani (pikir, rasa, karsa, cipta dan
budi nurani) maupun jasmaninya (panca indera dan keterampilan-keterampilan).
b. Karakter
Karakter,
menurut Michael Novak yang dikutip oleh Thomas Lickona, merupakan campuran
kompatibel dari seluruh kebaikan yang diidentifikasikan oleh tradisi religius,
cerita sastra, kaum bijaksana, dan kumpulan orang berakal sehat yang ada dalam
sejarah.[7]Dengan
pengertian semacam ini, menurut Lickona, karakter yang tepat dalam ruang
lingkup pendidikan adalah karakter sebagai nilai operatif, nilai dalam
tindakan.[8]Meski
dalam pengertian yang sebenarnya karakter yang baik tidak saja dapat dilihat
dari aktualisasinya semata.
Karakter
yang baik, menurut Lickona, terdiri dari mengetahui yang baik (moral knowing),
menginginkan yang baik (moral feeling), dan melakukan hal yang baik (moral
action), yang dalam penjelasannya disebutkan sebagai kebiasaan dalam cara
berfikir, kebiasaan dalam hati, dan kebiasaan dalam tindakan.[9]
Karakter
adalah kumpulan tata nilai yang menuju suatu sistem, yang melandasi pemikiran,
sikap, dan perilaku yang ditampilkan.[10]Dalam
pengertian karakter yang demikian, peran lingkungan menjadi penting dalam
pembentukan karakter, karena hakekatnya karakter terbentuk oleh lingkungan,
selain tentu saja bawaan.
Karakter seseorang dalam proses perkembangan dan
pembentukannya dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor lingkungan (nurture)
dan faktor bawaan (nature). Tinjauan teoretis perilaku berkarakter
secara psikologis merupakan perwujudan dari potensi Intellegence Quotient (IQ),
Emotional Quentient (EQ), Spritual Quotient (SQ) dan Adverse
Quotient (AQ) yang dimiliki oleh seseorang.
Sedangkan dalam perspektif Islam karakter unggul dan
mulia digambarkan dengan akhlak Nabi Muhammad SAW yang termanifestasi dalam
semua perkataan, perbuatan, dan persetujuan Nabi. Akhlak unggul Nabi antara
lain; benar (ash-shidq), cerdas (al-fathanah), amanah (al-amanah),
menyampaikan (at-tabligh), komitmen yang sempurna (al-iltizam),
berakhlaq mulia (‘ala khuluqin ‘azhiim), dan teladan yang baik (uswatun
hasanah). Sehingga Nabi Muhammad SAW merupakan Nabi paripurna sebagai
teladan bagi seluruh umat Islam.Karakter mulia tersebut juga tercermin ke dalam
peringai Nabi, Rosul, dan orang saleh sebelum Nabi Muhammad.Juga pada sikap
para sahabat, tabi’in, ulama, dan tokoh yang senantiasa mengikuti jalan
kebenaran yang telah digariskan Allah SWT.
Mengenai
pentingnya lingkungan dalam hubungannya dengan karakter, dalam bahasa lain
Lickona menyebutkan bahwa kebudayaan itu sangat penting.Karakter dari suatu
komunitas atau negeri mempengaruhi karakter warga kotanya.[11]
Dengan
kesadaran akan pentingnya peran lingkungan, baik lingkungan keluarga, sekolah,
ataupun masyarakat, maka lingkungan menjadi ujung tombak dalam penanaman
karakter. Salah satu cara yang dapat ditempuh oleh lingkungan adalah dengan
pendidikan nilai dan karakter.
Dari
pengertian tentang pendidikan dan karakter di atas penulis dapat
dipahami bahwa pengertian pendidikan karakter adalah serangkaian usaha yang
dilakukan secara sadar dan terencana sehingga memunculkan kesadaran dalam diri
individu untuk mengembangkan segala potensi manusia sehingga memiliki kekuatan
spiritual, kecerdasan, dan akhlak mulia menuju kedewasaan dan kesempurnaan
sebagai bekal yang diperlukan dalam menjalani kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara yang baik sesuai cita cita bersama yaitu Baldatun Toyyibatu warobbun Ghofuur.
B.
Macam-macam
Pendekatan
Dalam
penjelasannya Lickona menulis:
“Schools committed to character development look at
themselves through a character lens to assess how virtually everything that
goes on in school affects the character of students. A comprehensive approach
uses all aspects of schooling as opportunities for character development. This
includes the formal academic curriculum and extracurricular activities, as well
as what is sometimes called the hidden or informal curriculum (e.g., how school
procedures reflect core values, how adults model good character, how the
instructional process respects students, how student diversity is addressed,
and how the discipline policy encourages student reflection and growth)”.[12]
Douglas P Superka dengan lebih
detail memberikan 5 pendekatan yang dapat digunakan dalam pendidikan nilai dan
karakter. Pendekatan tersebut adalah pendekatan penanaman nilai (inculcation
approach), pendekatan perkembangan moral kognitif (cognitive moral
development approach), pendekatan analisis nilai (values analysis
approach), pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach),
dan pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach).
1.
Pendekatan
Penanaman Nilai (Inculcation Approach)
Pendekatan penanaman nilai (inculcation
approach) merupakan pendekatan yang memberi penekanan pada penanaman
nilai-nilai sosial dalam peserta didik.Tujuan dari pendekatan penanaman nilai
adalah untuk menanamkan nilai-nilai tertentu yang diinginkan.Menurut pendekatan
ini, nilai-nilai dipandang sebagai standar atau aturan perilaku yang bersumber
dari masyarakat dan budaya. Menilai dianggap sebagai identifikasi proses dan
sosialisasi dimana seseorang, kadang-kadang secara tidak sadar, mengambil
standar atau norma-norma dari orang, kelompok, atau masyarakat lain dan
menggabungkan mereka ke dalam sistem nilai sendiri.[13]
Dalam pandangan ini tugas pendidikan
nilai adalah untuk menanamkan nilai-nilai sehingga orang harus menempatkan
dirinya secara efisien sesuai peran yang ditentukan oleh masyarakat.Lebih
lanjut, pendekatan penanaman nilai ini sering diasumsikan sebagai pendekatan
negatif.Namun pendekatan ini seringkali digunakan oleh banyak kalangan,
termasuk di dalamnya kaum agamawan.[14]
Sebagai contoh dari pendekatan ini,
Superka mengemukakan seorang guru, misalnya, mungkin bereaksi sangat mendalam
dan keras terhadap seorang mahasiswa yang baru saja mengucapkan hinaan yang
bersifat rasial kepada siswa lain di kelas.[15]
Hal ini bisa menjadi salah satu
contoh bentuk pendidikan singkat tapi emosional pada kejahatan rasisme atau
ekspresi sederhana kekecewaan dalam perilaku siswa. Bagaimanapun, guru dalam
posisi ini sedang melakukan apa yang disebut dengan menanamkan. Mungkin ini
karena ia percaya bahwa nilai-nilai abadi martabat manusia dan menghormati
individu sangat penting untuk kelangsungan hidup masyarakat demokratis. Hal ini
mencerminkan keyakinan luas bahwa, dalam rangka untuk memastikan kelangsungan
budaya, nilai-nilai dasar tertentu harus ditanamkan dalam anggotanya.
Metode yang sering digunakan dalam
proses pembelajaran menurut pendekatan ini antara lain: keteladanan, penguatan
positif dan negatif, simulasi, permainan peranan, dan lain-lain.[16]
Dari beberapa metode-metode di atas,
menurut Superka, yang sering digunakan dan efektif adalah metode penguatan.
Proses ini mungkin melibatkan penguatan positif, seperti guru memuji siswa
untuk berperilaku sesuai dengan nilai tertentu. sedangkan penguatan negatif,
dapat dilakukan guru dengan, misalnya, menghukum siswa yang berperilaku bertentangan
dengan nilai tertentu yang diinginkan. Dalam banyak hal penguatan seringkali
hanya tersenyum atau, cemberut akan cenderung memperkuat nilai-nilai tertentu.
Namun penguatan tetap diterapkan secara sadar dan sistematis.[17]
Metode lain yang dapat digunakan
adalah metode teladan, yang dalam bahasa Superka disebut dengan metode
modeling, di mana orang tertentu dijadikan model nilai-nilai yang diinginkan
dimana guru mengaharapkan agar siswa dapat mengadopsi
nilai-nilai tersebut.[18]
Namun demikian, sebagai sebuah
pendekatan dari proses pendidikan, pendekatan penanaman nilai memiliki
kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dan kekurangan tersebut antara lain:[19]
Kelebihan
Pendekatan Penanaman Nilai
a.
pendekatan
ini digunakan secara meluas dalam berbagai masyarakat.
b.
Para
penganut agama memiliki kecenderungan yang kuat untuk menggunakan
pendekatan ini dalam pelaksanaan program-program pendidikan agama.
Kekurangan
Pendekatan Penanaman Nilai
a. Pendekatan ini dipandang
indoktrinatif, tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan demokrasi.
b. Pendekatan ini dinilai mengabaikan
hak anak untuk memilih nilainya sendiri secara bebas.
2.
Pendekatan
Perkembangan Moral Kognitif (Cognitive Moral Development Approach)
Pendekatan ini seringkali disebut
dengan pendekatan perkembangan kognitif karena karakteristiknya memberikan
penekanan pada aspek kognitif dan perkembangannya.[20]Pendekatan
ini merupakan upaya untuk merangsang siswa untuk mengembangkan pola penalaran
moral yang lebih kompleks melalui tahap berturut-turut dan berurutan.[21]
Tahap berurutan disini dimkasudkan sebagai tahapan perkembangan tingkat
berpikir dalam membuat pertimbangan moral, dari tingkat rendah menuju tingkatan
yang lebih tinggi.
Pendekatan perkembangan moral
kognitif ini didasarkan pada teori perkembangan moral. Di dalam teori yang
dikemukakan oleh Kolhberg, bahwasanya perkembangan kognitif manusia terbagi
menjadi tiga tingkat, yaitu:
a. Tingkat pra-konvensional
Pada
tingkat ini aturan berisi ukuran moral yang dibuat berdasarkan otoritas.Anak
tidak melanggar aturan moral karena takut ancaman atau hukuman dari otoritas.[22]
Tingkat
ini dibagi menjadi dua tahap.Pertama, tahap orientasi terhadap kepatuhan
dan hukuman.Pada tahap ini anak hanya mengetahui bahwa aturan-aturan itu
ditentukan oleh adanya kekuasaan yang tidak bisa diganggu gugat. Anak harus
menurut, atau kalau tidak, akan mendapat hukuman. Kedua, tahap
relativistik hedonisme. Pada tahap ini anak tidak lagi secara mutlak tergantung
pada aturan yang berada di luar dirinya yang ditentukan orang lainyang memiliki
otoritas. Anak mulai sadar bahwa setiap kejadian mempunyai beberapa segi yang
bergantung pada kebutuhan (relativisme) dan kesenangan seseorang (hedonisme).[23]
b. Tingkat konvensional
Pada
tingkatan ini anak mematuhi aturan yang dibuat bersama agar diterima dalam
kelompoknya.Sikap diartikan tidak hanya sebatas kesesuaian dengan tatanan
sosial, tetapi juga kesetiaan.Akibatnya individu secara aktif mempertahankan,
mendukung dan dan mengidentifikasikan diri dengan orang atau kelompok di
dalamnya.[24]
Tingkat
ini juga terdiri dari dua tahap.Pertama, tahap orientasi mengenai
anak yang baik. Pada tahap ini anak mulai memperlihatkan orientasi perbuatan
yang dapat dinilai baik atau tidak baik oleh orang lain atau masyarakat.
Sesuatu dikatakan baik dan benar apabila sikap dan perilakunya dapat diterima
orang lain atau masyarakat. Kedua, tahap mempertahan-kan norma sosial
dan otoritas. Pada tahap ini anak menunjukkan perbuatan baik dan benar bukan
hanya agar dapat diterima oleh lingkungan masyarakat sekitarnya, tetapi juga
bertujuan agar dapat ikut mempertahankan aturan dan norma/nilai sosial yang ada
sebagai kewajiban dan tanggung jawab moral untuk melaksanakan aturan yang ada.[25]
c. Tingkat post-konvensional
Pada
tingkat ini anak mematuhi aturan untuk menghindari hukuman kata hatinya. Pada
tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk mencapai definisi pribadi akan
nilai-nilai moral untuk menentukan prinsip-prinsip yang memiliki validitas dan
aplikasi terpisah dari otoritas kelompok dan terpisah dari identifikasi
individu sendiri dengan kelompok.[26]
Tingkat
ini juga terdiri dari dua tahap. Pertama, tahap orientasi
terhadap perjanjian antara dirinya dengan lingkungan sosial. Pada tahap ini ada
hubungan timbal balik antara dirinya dengan lingkungan sosial dan
masyarakat.Seseorang mentaati aturan sebagai kewajiban dan tanggung jawab
dirinya dalam menjaga keserasian hidup bermasyarakat.Kedua, tahap
universal. Pada tahap ini selain ada norma pribadi yang bersifat subjektif, ada
juga norma etik (baik/buruk, benar/salah) yang bersifat universal sebagai
sumber menentukan sesuatu perbuatan yang berhubungan dengan moralitas.[27]
Pendekatan
perkembangan kognitif sekilas dapat digunakan dalam proses pendidikan di
sekolah, karena pendekatan ini memberikan penekanan pada aspek perkembangan
kemampuan berpikir. Karena itu, pendekatan ini memberikan perhatian sepenuhnya
kepada isu moral dan penyelesaian masalah yang berhubungan dengan pertentangan
nilai tertentu dalam masyarakat dengan memperhatikan tingkat dan tahapan yang
telah disebutkan.Penggunaannya dapat menghidupkan suasana kelas.
Metode
yang dapat digunakan dalam pendekatan perkembangan kognitif ini adalah dengan
menyajikan nilai cerita faktual yang kemudian dibahas dalam kelompok-kelompok
kecil.Melalui bacaan singkat atau film, siswa disajikan dengan cerita yang
melibatkan satu atau lebih karakter yang dihadapkan pada dilema moral.
Siswa diminta untuk menyatakan apa yang harus dilakukan oleh orang dalam cerita
tersebut dan dengan memberikan alasan untuk jawaban tersebut, dan kemudian
mendiskusikannya dengan orang lain. Penelitian Kohlberg menunjukkan bahwa
mengekspos siswa untuk tingkat yang lebih tinggi dari penalaran melalui diskusi
kelompok merangsang mereka untuk mencapai tahap berikutnya dari perkembangan
moral.[28]
Teori
Kohlberg dinilai paling konsisten dengan teori ilmiah, peka untuk
membedakan kemampuan dalam membuat pertimbangan moral, mendukung
perkembangan moral, dan melebihi berbagai teori lain yang berdasarkan kepada
hasil penelitian empiris.[29]
Menurut
Galbraith dan Jones terdapat tiga variabel penting di dalam diskusi kelompok
berkaitan dengan permasalahan moral agar berjalan efektif, dan dengan demikian,
terdapat peningkatan perkembangan moral pada siswa. Tiga variabel tersebut
adalah:
1)
Cerita
yang menyajikan konflik nyata pada seorang yang menjadi tokoh utama, termasuk
sejumlah isu moral yang perlu dipertimbangkan, dan isu/permasalahan yang
menghasilkan perbedaan pendapat antara siswa tentang respon yang tepat untuk
situasi-situasi tersebut.
2)
Seorang
pemimpin yang dapat membantu untuk memfokuskan pembahasan pada penalaran moral.
3)
Iklim
kelas yang mendorong siswa untuk mengekspresikan penalaran moral mereka secara
bebas.[30]
Namun demikian, sebagai sebuah
pendekatan dari proses pendidikan, pendekatan perkembangan moral kognitif
memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dan kekurangan tersebut antara
lain:[31]
Kelebihan
Pendekatan Perkembangan Moral Kognitif
a. Pendekatan perkembangan kognitif
mudah digunakan dalam proses pendidikan di sekolah, karena pendekatan ini
memberikan penekanan pada aspek perkembangan kemampuan berpikir.
b. Karena pendekatan
ini memberikan perhatian sepenuhnya kepada isu moral dan
penyelesaian masalah yang berhubungan dengan pertentangan nilai tertentu
dalam masyarakat, penggunaan pendekatan ini menjadi menarik.
c. Penggunaannya dapat
menghidupkan suasana kelas.
Kekurangan Pendekatan Perkembangan
Moral Kognitif
a. pendekatan ini menampilkan bias
budaya barat. Antara lain sangat menjunjung tinggi kebebasan pribadi yang
berdasarkan filsafat liberal.
b. pendekatan ini juga
tidak mementingkan kriteria benar salah untuk suatu perbuatan.
Yang dipentingkan adalah alasan yang dikemukakan atau
pertimbangan moralnya.
3.
Pendekatan
Analisis Nilai (Values Analysis Approach)
Pendekatan analisis nilai (values
analysis approach) memberikan penekanan pada perkembangan kemampuan peserta
didik untuk berpikir logis, dengan cara menganalisis masalah yang berhubungan
dengan nilai- nilai sosial. Jika dibandingkan dengan pendekatan perkembangan
kognitif, salah satu perbedaan diantara keduanya adalah pendekatan analisis
nilai lebih menekankan pada pembahasan masalah-masalah yang memuat nilai-nilai
sosial.Adapun pendekatan perkembangan kognitif memberi penekanan pada dilema
moral yang bersifat perseorangan.[32]Berbeda
dengan pendekatan perkembangan moral, analisis nilai berkonsentrasi terutama
pada isu-isu nilai sosial daripada dilema moral pribadi.[33]Karena
itu, pendekatan analisis lebih memberikan pemahaman pada aspek nilai-nilai
moral yang dapat diterapkan pada kehidupan sosial.
Ada dua tujuan utama pendidikan
moral menurut pendekatan ini.Pertama, membantu
siswa untuk menggunakan kemampuan berpikir logis dan penemuan ilmiah dalam
menganalisis masalah-masalah sosial, yang berhubungan dengan nilai moral
tertentu.Kedua, membantu siswa untuk
menggunakan proses berpikir rasional dan analitik, dalam
menghubung-hubungkan merumuskan konsep tentang nilai-nilai mereka.[34]
Dasar filosofis pendekatan analisis
adalah perpaduan dari pandangan rasionalis dan empiris dari sifat manusia.
Menilai adalah proses kognitif menentukan dan membenarkan fakta-fakta.. Dengan
demikian, proses valuing dapat dan seharusnya dilakukan berdasarkan fakta dan
alasan, dan yang pertimbangan bukan berasal dari hati nurani, melainkan dengan
aturan dan prosedur logika.[35]
Metode yang paling sering digunakan
dalam pendekatan analisis untuk menilai sebuah tindakan adalah metode belajar
kelompok berdasarkan masalah dan isu-isu nilai sosial, studi kepustakaan dan
penelitian lapangan, dan diskusi kelas rasional. Tahapan operasi intelektual
yang sering digunakan dalam analisis nilai meliputi menyatakan masalah,
mempertanyakan dan menguatkan dalam relevansi laporan, menerapkan kasus yang
sama untuk memenuhi syarat dan memperbaiki posisi nilai, menunjukkan
inkonsistensi logis dan empiris dalam argumen, dan pengujian bukti.[36]
Namun demikian, sebagai sebuah
pendekatan dari proses pendidikan, pendekatan analisis nilai memiliki kelebihan
dan kekurangan. Kelebihan dan kekurangan tersebut antara lain:[37]
Kelebihan
Pendekatan Analisis Nilai
a. Mudah diaplikasikan dalam ruang
kelas, karena penekanannya pada pengembangan kemampuan kognitif.
b. Pendekatan ini
menawarkan langkah-langkah yang sistematis dalam pelaksanaan proses pembelajaran moral.
Kekurangan
Pendekatan Analisis Nilai
a. Menurut Superka, dkk. (1976),
pendekatan ini sangat menekankan aspek kognitif, dan sebaliknya
mengabaikan aspek afektif serta perilaku.
c. Menurut Ryan dan Lickona (1987),
pendekatan ini sama dengan pendekatan perkembangan kognitif dan pendekatan
klarifikasi nilai, sangat berat memberi penekanan pada proses, kurang
mementingkan isi nilai.
4.
Pendekatan
Klarifikasi Nilai (Values Clarification Approach)
Pendekatan klarifikasi nilai (values
clarification approach) memberi penekanan pada usaha untuk membantu peserta
didik dalam mengkaji perasaan dan perbuatannya sendiri, serta meningkatkan
kesadaran mereka tentang nilai-nilai mereka sendiri dengan cara berpikir secara
rasional dan juga menggunakan kesadaran emosional secara bersama-sama.[38]
Adapun tujuan pendidikan nilai
menurut pendekatan ini ada tiga, yaitu: Pertama, membantu peserta didik
untuk menyadari dan mengidentifikasi nilai-nilai mereka sendiri serta
nilai-nilai orang lain. Kedua, membantu peserta didik agar mereka mampu
berkomunikasi secara terbuka dan jujur dengan orang lain, berhubungan dengan
nilai-nilai yang dapat diaktualisasikan dalam kehidupannya sendiri.Ketiga,
membantu peserta didik, agar mereka mampu menggunakan secara bersama-sama
kemampuan berpikir rasional dan kesadaran emosional, untuk memahami perasaan,
nilai-nilai, dan pola tingkah laku mereka sendiri.[39]
Jadi, pendekatan klasifikasi nilai
bisa memberikan wawasan yang lebih objektif bagi peserta didik dalam menjalani
kehidupan sosialnya sesuai dengan nilai- nilai moral yang berlaku untuk
membentuk karakternya.
Pendekatan klarifikasi merupakan
pendekatan yang lebih kompleks dari pendekatan pendidikan nilai-nilai lain
sehingga terkadang menggunakan berbagai metode.Metode ini meliputi small group
discussion dan large group discussion, kerja individu dan kelompok,
mendengarkan lagu dan karya seni, permainan dan simulasi, serta jurnal pribadi
dan wawancara.Metode-metode tersebut dirancang untuk merangsang siswa untuk
merefleksikan mereka pikiran, perasaan, tindakan, dan nilai-nilai.[40]
Namun demikian, sebagai sebuah
pendekatan dari proses pendidikan, pendekatan klarifikasi nilai memiliki
kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dan kekurangan tersebut antara lain:[41]
Kelebihan
Pendekatan Klarifikasi Nilai
a. pendekatan ini memberikan
penghargaan yang tinggi kepada siswa sebagai individu yang mempunyai hak
untuk memilih, menghargai, dan bertindak berdasarkan kepada nilainya
sendiri (Banks, 1985).
b. Metoda pengajarannya juga sangat
fleksibel, selama dipandang sesuai dengan rumusan proses menilai dan empat
garis panduan yang ditentukan.
Kekurangan
Pendekatan Klarifikasi Nilai
a. Pendekatan ini juga menampilkan
bias budaya barat.
b. Dalam pendekatan ini, kriteria
benar salah sangat relatif, karena sangat mementingkan nilai perseorangan.
c. Menurut Banks (1985),
pendidikan nilai menurut pendekatan ini tidak memiliki suatu tujuan
tertentu berkaitan dengan nilai. Sebab, bagi penganut pendekatan ini,
menentukan sejumlah nilai untuk siswa adalah tidak wajar dan tidak etis.
5.
Pendekatan
Pembelajaran Berbuat (Action Learning Approach).
Pendekatan pembelajaran berbuat (action
learning approach) memberi penekanan pada usaha memberikan kesempatan
kepada peserta didik untuk melakukan perbuatan-perbuatan moral, baik secara
perseorangan maupun secara bersama-sama dalam suatu kelompok.[42]
Ada dua tujuan utama dari pendidikan
moral berdasarkan kepada pendekatan ini.Pertama, memberi kesempatan
kepada peserta didik untuk melakukan perbuatan moral, baik secara perseorangan
maupun secara bersama-sama, berdasarkan nilai-nilai mereka sendiri.Kedua,
mendorong peserta didik untuk melihat diri mereka sebagai makhluk individu dan
makhluk sosial dalam pergaulan dengan sesama, yang tidak memiliki kebebasan
sepenuhnya, melainkan sebagai warga dari suatu masyarakat, yang harus mengambil
bagian dalam suatu proses demokrasi.[43]
Metode-metode pengajaran yang
digunakan dalam pendekatan analisis nilai dan klarifikasi nilai digunakan juga
dalam pendekatan ini.[44]
Namun demikian, sebagai sebuah
pendekatan dari proses pendidikan, pendekatan pembelajaran berbuat memiliki
kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dan kekurangan tersebut antara lain:[45]
Kelebihan
Pendekatan Pembelajaran Berbuat
program-program
yang disediakan dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk
berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan demokrasi dimana kesempatan seperti
ini, menurut Hersh, et. al. (1980) kurang mendapat perhatian dalam
berbagai pendekatan lain.
Kelemahan
Pendekatan Pembelajaran Berbuat
Kelemahan
pendekatan ini menurut Elias (1989) sukar dijalankan. Menurut beliau,
sebahagian dari program-program yang dikembangkan oleh Newmann dapat
digunakan, namun secara keseluruhannya sukar dilaksanakan.
Dalam
pendekatan ini sekolah sebagai penyelenggara pendidikan harus melihat hampir
semua yang ada di lingkungan sekolah akan mempengaruhi pembentukan karakter
siswanya sehingga segala aspek di dalamnya dijadikan peluang untuk pengembangan
karakter, baik itu di dalam kurikulum akademik formal maupun kegiatan
ekstra kurikuler. Nilai-nilai karakter di dalam proses pembelajaran juga
sengaja dimasukkan dan dirancang dengan matang sebagai bagian integral dalam
pembelajaran.
C.
Nilai
Nilai Pendidikan Karakter di Sekolah
Dalam bentuk operasional pada pendidikan
formal maka berdasarkan identifikasi sejumlah nilai pembentuk karakter yang
merupakan kajian empirik Pusat Kurikulum maka untuk memperkuat pelaksanaan
pendidikan karakter masyarakat dan bangsa dapat kami rumuskan menjadi 18 nilai
yang bersumber dari agama, pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional.
Nilai-nilai tersebut yaitu:
(1) religius, (2) jujur, (3) toleransi,
(4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9)
rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12)
menghargai prestasi, (13) bersahabat/komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar
membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, dan (18) tanggung jawab.
Nilai-nilai tersebut secara teknis dituangkan dalam pembelajaran melalui
rencana pelaksanaan pembelajaran yang terintegrasi ke dalam seluruh mata
pelajaran .[46]
D.
Penilaian Pendidikan Karakter
Karakter
merupakan bagian dari ranah afektif.Menurut Andersen (1980) ada dua metode yang
dapat digunakan untuk mengukur ranah afektif, yaitu metode observasi dan metode
laporan-diri.Penggunaan metode observasi berdasarkan pada asumsi bahwa
karateristik afektif dapat dilihat dari perilaku atau perbuatan yang
ditampilkan, reaksi psikologi, atau keduanya.Metode laporan-diri berasumsi
bahwa yang mengetahui keadaan afektif seseorang adalah dirinya sendiri.Namun,
hal ini menuntut kejujuran dalam mengungkap karakteristik afektif diri sendiri.
Penilaian
adalah kegiatan untuk menentukan pencapaian hasil
pembelajaran.Hasilpembelajaran dapat dikategorikan menjadi tiga ranah, yaitu
ranah kognitif, psikomotor, danafektif. Setiap peserta didik memiliki tiga
ranah tersebut, hanya kedalamannya tidak sama.Ada peserta didik yang memiliki
keunggulan pada ranah kognitif, atau pengetahuan, danada yang memiliki
keunggulan pada ranah psikomotor atau keterampilan.Namun, keduanyaharus
dilandasi oleh ranah afektif yang baik.Pengetahuan yang dimiliki seseorang
harusdimanfaatkan untuk kebaikan masyarakat. Demikian juga keterampilan yang
dimilikipeserta didik juga harus dilandasi olah ranah afektif yang baik, yaitu
dimanfaatkan untukkebaikan orang lain.
Penilaian
pada ranah afektif, seperti pada ranah lainnya memerlukan data yang bias berupa
kuantitaitf atau kualitatif. Data kuantatif diperoleh melalui pengukuran atau
pengamatan dan hasilnya berbentuk angka.Data kualitiatif pada umumnya diperoleh
melalui pengamatan.Untuk itu, diperlukan instrumen nontes, yaitu instrumen yang
hasilnya tidak ada yang salah atau benar.Data kualitatif diperoleh dengan
menggunakan isntrumen dalam bentuk pedoman pengamatan. Instumen untuk
pendidikan karakter yang akan dibahas di sini adalah instrumen minat, instrumen
sikap, instrumen konsep diri, instrument nilai, dan instrumen moral. Instrumen
minat bertujuan untuk memperoleh informasi tentang minat peserta didik terhadap
mata pelajaran yang selanjutnya digunakan untuk meningkatkan minat peserta
didik terhadap mata pelajaran.Instrumen sikap bertujuan untuk mengetahui sikap
peserta didik terhadap suatu objek, misalnya sikap terhadap kegiatan sekolah,
sikap terhadap guru, dan sebagainya.Sikap terhadap mata pelajaran bisa positif
bisa negatif.Hasil pengukuran sikap berguna untuk menentukan strategi
pembelajaran yang tepat untuk peserta didik.
Instrumen
konsep diri dimaksudkan untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan diri
sendiri.Peserta didik melakukan evaluasi secara objektif terhadap potensi yang
ada dalam dirinya.Karakteristik potensi peserta didik sangat penting untuk
menentukan jenjang karirnya.Informasi kekuatan dan kelemahan peserta didik
digunakan untuk menentukan program yang sebaiknya ditempuh oleh peserta
didik.Informasi karakteristik peserta didik diperoleh dari hasil pengukuran dan
pengamatan.
Instrumen
nilai dan keyakinan dimaksudkan untuk mengungkap nilai dan keyakinan individu.Informasi
yang diperoleh berupa nilai dan keyakinan yang positif dan yang negatif.Hal-hal
yang positif diperkuat sedang yang negatif diperlemah dan akhirnya
dihilangkan.Instrumen moral dimaksudkan untuk mengungkap moral.Informasi moral
seseorang diperoleh melalui pengamatan perbuatan yang ditampilkan dan laporan
diri, yaitu mengisi kuesioner.Informasi hasil pengamatan bersama dengan hasil
kuesioner menjadi informasi penting tentang moral seseorang.
Instrumen
yang digunakan bisa dalam bentuk kuesioner.Bentuk kuesioner inimemiliki
kelemahan dan kebaikannya.Kebaikannya adalah cakupan materi yang ditanyakan
bisa lebih banyak.Kelemahan penggunaan instrumen kuesioner dalam mengukur
karakter atau aspek afektif sesorang adalah pada validitas jawaban.Karena yang
dijawab belum tentu yang dipraktikkan sehari-hari. Ada unsur social
desirability, yaitu apa yang dianggap baik oleh masyarakat. Oleh karena
itu, instrumen tersebut harus dilengkapi dengan data hasil kegiatan
pengamatan.Pengamatan karakteristik afektif peserta didik dilakukan di
tempatterjadinya kegiatan belajar dan mengajar serta di lingkungan
sekolah.Untuk mengetahui keadaan ranah afektif peserta didik, pendidik harus
menyiapkan diri untuk mencatat setiap tindakan yang muncul dari peserta didik
yang berkaitan dengan indikator ranah afektif peserta didik. Untuk itu, perlu
ditentukan indikator substansi yang akan diukur. Seperti indikator jujur,
tanggungjawab, kerja sama, hormat pada orang lain, ingin selalu berbuat baik,
dan sebagainya.
Karakter
yang baik melibatkan pemahaman, perhatian, dan bertindak sesuai dengan
nilai-nilai etika.Pendekatan yagn holistik terhadap pengembangan karakter oleh
karenanya mencari untuk mengembangkan kognitif, emosi, dan aspek prilaku dari
kehidupan moral.Peserta didik berkembang untuk memahamai nilai inti dengan
mempelajarinya, mendiskusikannya, mengamati model perilaku, dan memecahkan
masalah yang mencakup nilai-nilai.Jadi, peserta didik harus paham nilai inti
dan komitmen mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Pembelajaran
yang dilaksanakan harus menarik dan bermakna bagi peserta didik.Pembelajaran
yang bermakna dan menarik dapat melalui penggunakan metode pembelajaran yang
aktif, tidak hanya sebagai pendengar saja, seperti belajar kooperatif,
pendekatan penyelesaian masalah, dan projek berbasis pengalaman. Pendekatan ini
akan meningkatkan otonomi peserta didik, yaitu dengan membangun minat peserta
didik, memberi kesempatan untuk berpikir kreatif, dan menguji ide mereka.
Pendidik karakter yang efektif selalu mencari interseksi antara konten akademik
dan kualitas karakter yang ingin dikembangkan.
Koneksi
karakter ini bisa dalam bentuk yang banyak, seperti menentukan isu etika
mutakhir dalam bidang sains, mendiskusikan praktik selama ini dan bagaimana
yang seharusnya, mendiskusiakan trait karakter dan dilema etika dalam literatur
atau buku.
Peserta
didik merupakan pembelajar konstruktif, mereka belajar paling baik melalui
melakukan.Untuk membangun karakter yang baik, peserta didik memerlukan banyak
kesempatan untuk menerapkan rasa sosial, tanggung jawab, jujur, dan keadilan
dalam interaksi sehari-hari dan dalam diskusi-diskusi.Dalam praktik di sekolah
hal ini dapat dilakukan melalui praktik bagaimana membangun kelompok belajar
koperatif, membangun konsensus dalam pertemuan kelas, mengurangi pertentangan
dalam suatu permainan olah raga, dan bagaimana semangat kebersamaan dan
kepedulian sesama.
Ada
empat tipe karakteristik afektif yang penting, yaitu sikap, minat, konsep diri,
dan nilai. Empat tipe afektif yang akan dibahas dalam pedoman ini, khususnya
tentang penilaiannya. Pembahasan meliputi definisi konseptual, definisi
operasional dan penentuan indikator. Sesuai dengan karakteristik afektif yang
terkait dengan mata pelajaran, masalah yang akan dibahas mencakup empat ranah,
yaitu minat, sikap, nilai., dan konsep diri.
Pimpinan
lembaga pendidikan harus memimpin usaha membangun karakter yangbaik.Paling awal
usaha membangun pendidikan karakter adalah sekolah membentuk komite pendidikan
karakter yang terdiri atas pendidik, peserta didik, orang tua, dan masyarakat
yang bertugas merencanakan, menerapkan, dan memberi dukungan. Apabila empat
komponen tersebut bisa bekerja sama dalam membangun karakter peserata ddik,
akan diperoleh hasil seperti yang diharapkan.
1. Sikap
Sikap
menurut Fishbein dan Ajzen (1975) adalah suatu predisposisi yang dipelajari
untuk merespon secara positif atau negatif terhadap suatu objek, situasi,
konsep, atau orang.Objek sekolah adalah sikap siswa terhadap sekolah, sikap
siswa terhadap mata pelajaran.Ranah sikap siswa ini penting untuk ditingkatkan
(Popham, 1999:204).Sikap siswa terhadap mata pelajaran, misalnya bahasa
Inggeris, harus lebih positif setelah siswa mengikuti pelajaran bahasa
Inggeris.Jadi, sikap siswa setelah mengikuti pelajaranharuslebih positif
dibanding sebelum mengikuti pelajaran. Perubahan ini merupakan salah satu
indikator keberhasilan guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Untuk
itu, guru harus membuat rencana pembelajaran termasuk pengalaman belajar siswa
yang membuat sikap siswa terhadap matapelajaran menjadi lebih positif.
2. Minat
Menurut
Getzel (1966:98), minat adalah suatu disposisi yang terorganisir melaluipengalaman
yang mendorong seseorang untuk memperoleh objek khusus, aktivitas, pemahaman,
dan keterampilan untuk tujuan perhatian atau pencapaian. Hal penting pada minat
adalah intensitasnya.Secara umum minat termasuk karakteristik afektif yang
memiliki intensitas tinggi.
3. Nilai
Nilai menurut Rokeach (1968)
merupakan suatu keyakinan yang dalam tentangperbuatan, tindakan, atau perilaku yang
dianggap baik dan yang dianggap jelek.
Menurut Andersen target nilai
cenderung menjadi ide, tetapi sesuai dengan definisi oleh Rokeach, target dapat
juga berupa sesuatu seperti sikap dan perilaku. Arah nilai dapat positif dapat
negatif.Selanjutnya intensitas nilai dapat dikatakan tinggi atau rendah
tergantung pada situasi dan nilai yang diacu.
Definisi lain tentang nilai
disampaikan oleh Tyler (1973:7), yaitu nilai adalah suatu objek, aktivitas,
atau ide yang dinyatakan oleh individu yang mengendalikan pendidikan dalam
mengarahkan minat, sikap, dan kepuasan. Selanjutnya, dijelaskan bahwa sejak
manusia belajar menilai suatu objek, aktivitas, dan ide sehingga objek ini
menjadi pengatur penting minat, sikap, dan kepuasan.Oleh karena itu, sekolah
harus menolong siswa menemukan dan menguatkan nilai yang bermakna dan
signifikan bagi siswa dalam memperoleh kebahagiaan personal dan memberi
konstribusi positif terhadap masyarakat.
Beberapa ranah afektif yang
tergolong penting adalah sebagai berikut:
a.
Kejujuran: peserta didik harus jujur
dalam perkataan dan perbuatan dalam berinteraksi dengan lingkungan termasuk
orang lain.
b. Integritas:
peserta didik harus mengikat pada kode nilai, misalnya etika, dan moral.
c. Adil:
peserta didik harus berpendapat bahwa semua orang memperoleh perlakuan hukum
yang sama.
d. Kebebasan:
peserta didik harus yakin bahwa mereka memiliki kebebasan yangterbatas, dalam
arti bebas tetapi tidaka merugikan pihak lain.
e. Kerjasama:
peserta didik harus mempu bekerja sama dengan orang lain dalammengerjakan
kebaikan.
4. Konsep
Diri
Menurut
Smith konsep diri adalah evaluasi yang
dilakukan individu terhadap kemampuan dan kelemahan yang dimilikinya. Target,
arah, dan intensitas konsep diri pada dasarnya seperti ranah afektif yang lain.
Target konsep diri biasanya orang tetapi dapat juga institusi seperti
sekolah.Arah konsep diri bisa posititf atau negatif, dan intensitasnya bisa
dinyatakan dalam suatu daerah kontinum, yaitu mulai dari yang rendah sampai yang
tinggi.
Konsep
diri ini penting untuk menentukan jenjang karir peserta didik,, yaitu dengan
mengetahui kekuatan dan kelemahan diri sendiri sehingga ia bisa memilih karir
yang tepat bagi dirinya. Selain itu, informasi konsep diri ini penting bagi
sekolah untuk memotivasi belajar siswa dengan tepat.
Dalam
memililih karakterisitk afektif untuk pengukuran, para pengelola pendidikan
harus mempertimbangkan rational teorie dan isi program sekolah. Masalah yang
timbul adalah bagaimana ranah afektif akan diukur. Isi dan validitas konstruk
ranah afektif tergantung pada definisi operasional yang secara langung
mengikuti definisi konseptual.Andersen (1980) menggambarkan dua pendekatan
untuk mengukur ranah afektif, yaitu pendekatan acuan ranah dan pendekatan peta
kalimat.Pada pendekatan acuan ranah, hal yang pertama diperhatikan adalah
target dan arah karakteristik afektif dan selanjutnya memperhatikan
intensitasnya.
BAB III
PENUTUP
B. Kesimpulan
1. Pendekatan adalah titik tolak atau
sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan
tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya
mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran dengan
cakupan teoretis tertentu.
2. Pendidikan
dapat difahami sebagai bentuk aktivitas dan usaha manusia untuk meningkatkan
kepribadiannya dengan jalan membina potensi-potensi pribadinya, baik pribadi
rohani (pikir, rasa, karsa, cipta dan budi nurani) maupun jasmaninya (panca
indera dan keterampilan-keterampilan).
3. Karakter adalah kumpulan tata nilai
yang menuju suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang
ditampilkan. Dalam pengertian karakter yang demikian, peran lingkungan menjadi
penting dalam pembentukan karakter, karena hakekatnya karakter terbentuk oleh
lingkungan, selain tentu saja bawaan.
4. Dari
pengertian tentang pendidikan dan karakter dapat dipahami bahwa pengertian
pendidikan karakter adalah serangkaian usaha yang dilakukan secara
sadar dan terencana sehingga memunculkan kesadaran dalam diri individu untuk
mengembangkan segala potensi manusia sehingga memiliki kekuatan spiritual,
kecerdasan, dan akhlak mulia menuju kedewasaan dan kesempurnaan sebagai bekal
yang diperlukan dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
5. Ada
dua metode yang dapat digunakan untuk mengukur ranah afektif, yaitu metode
observasi dan metode laporan-diri. Penggunaan metode observasi berdasarkan pada
asumsi bahwa karateristik afektif dapat dilihat dari perilaku atau perbuatan
yang ditampilkan, reaksi psikologi, atau keduanya. Metode laporan-diri
berasumsi bahwa yang mengetahui keadaan afektif seseorang adalah dirinya
sendiri. Namun, hal ini menuntut kejujuran dalam mengungkap karakteristik
afektif diri sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Adya S, Nono. Dkk. “Pendidikan Karakter Untuk Membangun
Karakter Bangsa”, Jurnal Policy Brief, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar.
Edisi 4 (Juli 2011), 7.
Dalmeri, “Pendidikan Untuk Pengembangan Karakter, Telaah
terhadap Gagasan Thomas Lickona dalam Educating for Character”, Jurnal
Al-Ulum IAIN Sultan Amai Gorontalo.Volume 14, Nomor 14 (Juni 2014), 278.
Fauziah, Resti. dkk. “Pembelajaran Saintifik Elektronika
Dasar Berorientasi Pembelajaran Berbasis Masalah”, Jurnal Invotec,
Volume IX, No. 2 (Agustus 2013), 166.
Kurnia, Ingridwati. dkk. Perkembangan Belajar Peserta
Didik. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan
Nasional, 2008.
Tim Pengembang Buku Ajar Kurikulum 2013.Konsep Pendekatan
Scientific. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2013.
Lickona, Thomas. Educating for Character, Mendidik Untuk
Membentuk Karakter.terjemahan Juma Abdu Wamaungo. Jakarta: Bumi Aksara,
2013.
Lickona, Thomas. Pendidikan Karakter. terjemahan Saut
Pasaribu. Jakarta: Bumi Aksara, 2013.
Manullang, Belferik. “Grand Desain Pendidikan Karakter
Generasi Emas 2045”, Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun III, Nomor 1
(Februari 2013), 6.
Mu’in, Fatchul. Pendidikan Karakter, Konstruksi Teritik
dan Praktik, Uregensi Pendidikan Progresif dan Revitalisasi Peran Guru dan Orag
Tua. Yogyakarta: Ar Ruzz, 2011.
Praveena, K. dan Kanaan, G. “Moral Education – Need of The
Hour”. Innovation and Challenges in Teacher Education UGC National Seminar.
Nagar 25-26 Maret 2014.Annamalai University.
Rianto, Milan. Pendekatan, Strategi dan Metode
Pembelajaran. Jakarta: Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidikan Dan
Tenaga Kependidikan, Departemen Pendidikan Nasional, 2006.
Superka, Douglas P. dkk.Values Education Sourcebook,
Conceptual Approach, Material Analyses, and an Annotated Bibliography.
Colorado: Social Science Eucation Consortium Inc., 1976.
Zakaria, Teuku Ramli. Pendekatan Pendekatan Pendidikan Nilai
dan Implementasi dalam Pendidikan Budi Pekerti.Jurnal pendidikan dan
kebudayaan (Jakarta), Nomor 026 (2000).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar