Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Senin, 07 November 2016

MAKALAH MACAM MACAM PENDIDIKAN KARAKTER DAN PELAKSANAAN PENILAIANNYA


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Eksistensi suatu bangsa sangat ditentukan oleh karakter yang dimiliki. Hanya bangsa yang memiliki karakter kuat yang mampu menjadikan dirinya sebagai bangsa yang bermartabat dan disegani oleh bangsa-bangsa lain. Oleh karena itu, menjadi bangsa yang berkarakter adalah keinginan kita semua.Keinginan menjadi bangsa yang berkarakter sesunggungnya sudah lama tertanam pada bangsa Indonesia. Para pendiri negara menuangkan keinginan itu dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-2 dengan pernyataan yang tegas, mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Para pendiri negara menyadari bahwa hanya dengan menjadi bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmurlah bangsa Indonesia menjadi bermartabat dan dihormati bangsa-bangsa lain.
Di kalangan pelajar dan mahasiswa dekadensi moral ini tidak kalah memprihatinkan.Perilaku menabrak etika, moral dan hukum dari yang ringan sampai yang berat masih kerap diperlihatkan oleh pelajar dan mahasiswa dan bahkan kelas Pejabat Negara. Kebiasaan mencontek‘ pada saat ulangan atau ujian masih dilakukan. Keinginan lulus dengan cara mudah dan tanpa kerja keras pada saat ujian nasional menyebabkan mereka berusaha mencari jawaban dengan cara tidak beretika. Mereka mencari  bocoran jawaban‘ dari berbagai sumber yang tidak jelas. Apalagi jika keinginan lulus dengan mudah ini bersifat institusional karena direkayasa atau dikondisikan oleh pimpinan sekolah dan guru secara sistemik. Pada mereka yang tidak lulus, ada di antaranya yang melakukan tindakan nekat dengan menyakiti diri atau bahkan bunuh diri.Perilaku tidak beretika juga ditunjukkan oleh mahasiswa.Plagiarisme atau penjiplakan karya ilmiah di kalangan mahasiswa juga masih bersifat massif.Bahkan ada yang dilakukan oleh mahasiswa program doktor.Semuanya ini menunjukkan kerapuhan karakter di kalangan pelajar dan mahasiswa.
Kondisi yang memprihatinkan itu tentu saja menggelisahkan semua komponen bangsa, termasuk Presiden Republik Indonesia kala itu (mantan).Susilo Bambang Yudhoyono memandang perlunya pembangunan karakter saat itu bahkan terlebih saat ini.Pembangunan karakter (character building) amat penting.Kita ingin membangun manusia Indonesia yang berakhlak, berbudi pekerti, dan mulia.Bangsa kita ingin pula memiliki peradaban yang unggul dan mulia.Peradaban demikian dapat kita capai apabila masyarakat kita juga merupakan masyarakat yang baik (good society).Dan, masyarakat idaman seperti ini dapat kita wujudkan manakala manusia-manusia Indonesia merupakan manusia yang berakhlak baik, manusia yang bermoral, dan beretika baik, serta manusia yang bertutur dan berperilaku baik pula.
Untuk itu perlu dicari jalan terbaik untuk membangun dan mengembangkan karkater manusia dan bangsa Indonesia agar memiliki karkater yang baik, unggul dan mulia.Upaya yang tepat untuk itu adalah melalui pendidikan, karena pendidikan memiliki peran penting dan sentral dalam pengembangan potensi manusia, termasuk potensi mental.Melalui pendidikan diharapkan terjadi transformasi yang dapat menumbuhkembangkan karakter positif, serta mengubah watak dari yang tidak baik menjadi baik.Ki Hajar Dewantara dengan tegas menyatakan bahwa Pendidikan merupakan daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect), dan tubuh anak.Jadi jelaslah, pendidikan merupakan wahana utama untuk menumbuhkembangkan karakter yang baik.Di sinilah pentingnya pendidikan karakter.
Pendidikan karakter sebenarnya bukan hal yang baru. Sejak awal kemerdekaan, masa orde lama, masa orde baru, dan masa reformasi sudah dilakukan dengan nama dan bentuk yang berbeda-beda. Namun hingga saat ini belum menunjukkan hasil yang optimal, terbukti dari fenomena sosial yang menunjukkan perilaku yang tidak berkarakter sebagaimana disebut di atas. Dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Naional telah ditegaskan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.‖ Namun tampaknya upaya pendidikan yang dilakukan oleh lembaga pendidikan dan institusi pembina lain belum sepenuhnya mengarahkan dan mencurahkan perhatian secara komprehensif pada upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional.
Konsep pendidikan karakter dari segi materi yang terdapat dalam Al-Qur’an surat Luqman ayat 12-14.
รด

12. dan Sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, Yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. dan Barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), Maka Sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang tidak bersyukur, Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji".
13. dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".
14. dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun[1180]. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.
Artinya :


Dari ayat diatas dapatsaya  disimpulkanbahwa karakter syukur, karakter iman, dan karakter berbakti kepada kedua orang tua. Karakter-karakter tersebut secara umum dapat disebut sebagai karakter religius.
Berangkat dari latar belakang diatas pemakalah / penulis dapat mengemukakan dalam Rumusan Masalah dan tujuan pembahasan makalah ini sebagaiman berukt :
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Pendekatan Pendidikan Karakter ?
2.      Ada berapa macam Pendekatan Pendidikan Karakter ?
3.      Bagaimana Penilaian pendekatan pendidikan karakter di sekolah ?
C.    Tujuan Pembahasan
2.      Mampu mendeskripsikan macam macam Pendekatan Pendidikan Karakter.
3.      Dapat melaksanakan penilaian dalam Pendekatan Pendidikan Karakter.
   
BAB II
PEMBAHASAN
Rasionalisasi Keterpaduan Pendidikan yang difokuskan pada terbentuknya karakter siswa merupakan tanggungjawab semua guru.Oleh karena itu, pembinaannya pun dilaksanakan oleh semua guru.Dengan demikian, kurang tepat jika dikatakan bahwa mendidik para siswa agar memiliki karakter hanya ditimpahkan pada guru mata pelajaran tertentu, contoh guru pendidikan agama.Walaupun dapat dipahami bahwa porsi yang dominan untuk mengajarkan pendidikan karakter adalah para guru yang relevan dengan pendidikan karakter.
Berikut kami paparkan pengertian dan devinisi istilah dalam pembahasan makalah ini.
A.    Pengertian
1.      Pendekatan
Pendekatan dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran. Pendekatan yang berpusat pada guru menurunkan strategi pembelajaran langsung (direct instruction), pembelajaran deduktif atau pembelajaran ekspositori.Sedangkan, pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa menurunkan strategi pembelajaran discovery dan inkuiri serta strategi pembelajaran induktif.[1]
Pendekatan (Approach) dalam pengajaran diartikan sebagai a way of beginning something, yang artinya cara memulai sesuatu. Pendekatan pembelajaran adalah titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu.
Dari segi pendekatannya, pada pembelajaran ada dua jenis pendekatan, yaitu Pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada Siswa (Student Centere Approach).Pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada Guru (Teacher Centered Approach).[2]
2.      Pendidikan dan karakter
a.       Pendidikan
Manusia sejak lahir ke dunia sudah mendapatkan pendidikan hingga ia masuk ke bangku sekolah. kata pendidikan sudah tidak asing lagi ditelinga, karena semua manusia yang hidup pasti membutuhkan pendidikan, agar tujuan hidupnya tercapai dan dapat menghilangkan kebodohan.
Didalam Al-Qur‟an dijelaskan dalam QS Al-Alaq ayat 1-5:[3]

Artinya :bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Dari ayat ini jelas, bahwa agama islam telah mendorong umatnya senantiasa belajar dan menjadi umat yang pandai, dimulai dengan belajar baca tulis dan diteruskan dengan belajar berbagai macam ilmu pengetahuan lainnya.
Prof. Herman H. Horn: Beliau berpendapat bahwa pendidikan adalah suatu proses dari penyesuaian lebih tinggi bagi makhluk yang telah berkembang secara fisik dan mental yang bebas dan sadar kepada Tuhan seperti termanifestasikan dalam alam sekitar, intelektual, emosional dan kemauan dari manusia.
Ki Hajar Dewantara: Menurutnya pendidikan adalah suatu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Maksudnya ialah bahwa pendidikan menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada peserta didik agar sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan hidup yang setinggi-tingginya.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI): Pendidikan yaitu sebuah proses pembelajaran bagi setiap individu untuk mencapai pengetahuan dan pemahaman yang lebih tinggi mengenai obyek tertentu dan spesifik. Pengetahuan yang diperoleh secara formal tersebut berakibat pada setiap individu yaitu memiliki pola pikir, perilaku dan akhlak yang sesuai dengan pendidikan yang diperolehnya.[4]
Ensiklopedi Pendidikan Indonesia: Menjelaskan mengenai pendidikan, yaitu sebagai proses membimbing manusia atau anak didik dari kegelapan, ketidaktahuan, kebodohan, dan kecerdasan pengetahuan.
UU SISDIKNAS No.20 tahun 2003: Pendidikan merupakan suatu usaha yang dilakukan secara sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mampu mengembangkan potensi yang ada didalam dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, kepribadian yang baik,  pengendalian diri, berakhlak mulia, kecerdasan,dan keterampilan yang diperlukan oleh dirinya dan masyarakat.[5]
Dalam dunia pendidikan, terdapat dua istilah yang hampir sama bentuknya, yaitu paedagogie dan paedagogiek. Paedagogie artinya pendidikan, sedangkan paedagogiek berarti ilmu pendidikan.Pedagogik atau ilmu pendidikan ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki, merenungkan tentang gejala-gejala perbuatan mendidik. Pedagogik berasal dari kata Yunani paedagogia yang berarti “pergaulan dengan anak-anak”[6]
Dari beberapa definisi diatas, maka pendidikan dapat difahami sebagai bentuk aktivitas dan usaha manusia untuk meningkatkan kepribadiannya dengan jalan membina potensi-potensi pribadinya, baik pribadi rohani (pikir, rasa, karsa, cipta dan budi nurani) maupun jasmaninya (panca indera dan keterampilan-keterampilan).
b.      Karakter
Karakter, menurut Michael Novak yang dikutip oleh Thomas Lickona, merupakan campuran kompatibel dari seluruh kebaikan yang diidentifikasikan oleh tradisi religius, cerita sastra, kaum bijaksana, dan kumpulan orang berakal sehat yang ada dalam sejarah.[7]Dengan pengertian semacam ini, menurut Lickona, karakter yang tepat dalam ruang lingkup pendidikan adalah karakter sebagai nilai operatif, nilai dalam tindakan.[8]Meski dalam pengertian yang sebenarnya karakter yang baik tidak saja dapat dilihat dari aktualisasinya semata.
Karakter yang baik, menurut Lickona, terdiri dari mengetahui yang baik (moral knowing), menginginkan yang baik (moral feeling), dan melakukan hal yang baik (moral action), yang dalam penjelasannya disebutkan sebagai kebiasaan dalam cara berfikir, kebiasaan dalam hati, dan kebiasaan dalam tindakan.[9]
Karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan.[10]Dalam pengertian karakter yang demikian, peran lingkungan menjadi penting dalam pembentukan karakter, karena hakekatnya karakter terbentuk oleh lingkungan, selain tentu saja bawaan.
Karakter seseorang dalam proses perkembangan dan pembentukannya dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor lingkungan (nurture) dan faktor bawaan (nature). Tinjauan teoretis perilaku berkarakter secara psikologis merupakan perwujudan dari potensi Intellegence Quotient (IQ), Emotional Quentient (EQ), Spritual Quotient (SQ) dan Adverse Quotient (AQ) yang dimiliki oleh seseorang.
Sedangkan dalam perspektif Islam karakter unggul dan mulia digambarkan dengan akhlak Nabi Muhammad SAW yang termanifestasi dalam semua perkataan, perbuatan, dan persetujuan Nabi. Akhlak unggul Nabi antara lain; benar (ash-shidq), cerdas (al-fathanah), amanah (al-amanah), menyampaikan (at-tabligh), komitmen yang sempurna (al-iltizam), berakhlaq mulia (‘ala khuluqin ‘azhiim), dan teladan yang baik (uswatun hasanah). Sehingga Nabi Muhammad SAW merupakan Nabi paripurna sebagai teladan bagi seluruh umat Islam.Karakter mulia tersebut juga tercermin ke dalam peringai Nabi, Rosul, dan orang saleh sebelum Nabi Muhammad.Juga pada sikap para sahabat, tabi’in, ulama, dan tokoh yang senantiasa mengikuti jalan kebenaran yang telah digariskan Allah SWT.
Mengenai pentingnya lingkungan dalam hubungannya dengan karakter, dalam bahasa lain Lickona menyebutkan bahwa kebudayaan itu sangat penting.Karakter dari suatu komunitas atau negeri mempengaruhi karakter warga kotanya.[11]
Dengan kesadaran akan pentingnya peran lingkungan, baik lingkungan keluarga, sekolah, ataupun masyarakat, maka lingkungan menjadi ujung tombak dalam penanaman karakter. Salah satu cara yang dapat ditempuh oleh lingkungan adalah dengan pendidikan nilai dan karakter.
Dari pengertian tentang pendidikan dan karakter di atas penulis dapat dipahami bahwa pengertian pendidikan karakter adalah serangkaian usaha yang dilakukan secara sadar dan terencana sehingga memunculkan kesadaran dalam diri individu untuk mengembangkan segala potensi manusia sehingga memiliki kekuatan spiritual, kecerdasan, dan akhlak mulia menuju kedewasaan dan kesempurnaan sebagai bekal yang diperlukan dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang baik sesuai cita cita bersama yaitu Baldatun Toyyibatu warobbun Ghofuur.
B.     Macam-macam Pendekatan
Dalam penjelasannya Lickona menulis:
“Schools committed to character development look at themselves through a character lens to assess how virtually everything that goes on in school affects the character of students. A comprehensive approach uses all aspects of schooling as opportunities for character development. This includes the formal academic curriculum and extracurricular activities, as well as what is sometimes called the hidden or informal curriculum (e.g., how school procedures reflect core values, how adults model good character, how the instructional process respects students, how student diversity is addressed, and how the discipline policy encourages student reflection and growth)”.[12]
Douglas P Superka dengan lebih detail memberikan 5 pendekatan yang dapat digunakan dalam pendidikan nilai dan karakter. Pendekatan tersebut adalah pendekatan penanaman nilai (inculcation approach), pendekatan perkembangan moral kognitif (cognitive moral development approach), pendekatan analisis nilai (values analysis approach), pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach), dan pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach).
1.      Pendekatan Penanaman Nilai (Inculcation Approach)
Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) merupakan pendekatan yang memberi penekanan pada penanaman nilai-nilai sosial dalam peserta didik.Tujuan dari pendekatan penanaman nilai adalah untuk menanamkan nilai-nilai tertentu yang diinginkan.Menurut pendekatan ini, nilai-nilai dipandang sebagai standar atau aturan perilaku yang bersumber dari masyarakat dan budaya. Menilai dianggap sebagai identifikasi proses dan sosialisasi dimana seseorang, kadang-kadang secara tidak sadar, mengambil standar atau norma-norma dari orang, kelompok, atau masyarakat lain dan menggabungkan mereka ke dalam sistem nilai sendiri.[13]
Dalam pandangan ini tugas pendidikan nilai adalah untuk menanamkan nilai-nilai sehingga orang harus menempatkan dirinya secara efisien sesuai peran yang ditentukan oleh masyarakat.Lebih lanjut, pendekatan penanaman nilai ini sering diasumsikan sebagai pendekatan negatif.Namun pendekatan ini seringkali digunakan oleh banyak kalangan, termasuk di dalamnya kaum agamawan.[14]
Sebagai contoh dari pendekatan ini, Superka mengemukakan seorang guru, misalnya, mungkin bereaksi sangat mendalam dan keras terhadap seorang mahasiswa yang baru saja mengucapkan hinaan yang bersifat rasial kepada siswa lain di kelas.[15]
Hal ini bisa menjadi salah satu contoh bentuk pendidikan singkat tapi emosional pada kejahatan rasisme atau ekspresi sederhana kekecewaan dalam perilaku siswa. Bagaimanapun, guru dalam posisi ini sedang melakukan apa yang disebut dengan menanamkan. Mungkin ini karena ia percaya bahwa nilai-nilai abadi martabat manusia dan menghormati individu sangat penting untuk kelangsungan hidup masyarakat demokratis. Hal ini mencerminkan keyakinan luas bahwa, dalam rangka untuk memastikan kelangsungan budaya, nilai-nilai dasar tertentu harus ditanamkan dalam anggotanya.
Metode yang sering digunakan dalam proses pembelajaran menurut pendekatan ini antara lain: keteladanan, penguatan positif dan negatif, simulasi, permainan peranan, dan lain-lain.[16]
Dari beberapa metode-metode di atas, menurut Superka, yang sering digunakan dan efektif adalah metode penguatan. Proses ini mungkin melibatkan penguatan positif, seperti guru memuji siswa untuk berperilaku sesuai dengan nilai tertentu. sedangkan penguatan negatif, dapat dilakukan guru dengan, misalnya, menghukum siswa yang berperilaku bertentangan dengan nilai tertentu yang diinginkan. Dalam banyak hal penguatan seringkali hanya tersenyum atau, cemberut akan cenderung memperkuat nilai-nilai tertentu. Namun penguatan tetap diterapkan secara sadar dan sistematis.[17]
Metode lain yang dapat digunakan adalah metode teladan, yang dalam bahasa Superka disebut dengan metode modeling, di mana orang tertentu dijadikan model nilai-nilai yang diinginkan dimana guru mengaharapkan agar siswa dapat mengadopsi nilai-nilai tersebut.[18]
Namun demikian, sebagai sebuah pendekatan dari proses pendidikan, pendekatan penanaman nilai memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dan kekurangan tersebut antara lain:[19]
Kelebihan Pendekatan Penanaman Nilai
a.       pendekatan ini digunakan secara meluas dalam berbagai masyarakat.
b.       Para penganut agama memiliki kecenderungan yang kuat untuk menggunakan pendekatan ini dalam pelaksanaan program-program pendidikan agama.
Kekurangan Pendekatan Penanaman Nilai
a.       Pendekatan ini dipandang indoktrinatif, tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan demokrasi.
b.      Pendekatan ini dinilai mengabaikan hak anak untuk memilih nilainya sendiri secara bebas.
2.      Pendekatan Perkembangan Moral Kognitif (Cognitive Moral Development Approach)
Pendekatan ini seringkali disebut dengan pendekatan perkembangan kognitif karena karakteristiknya memberikan penekanan pada aspek kognitif dan perkembangannya.[20]Pendekatan ini merupakan upaya untuk merangsang siswa untuk mengembangkan pola penalaran moral yang lebih kompleks melalui tahap berturut-turut dan berurutan.[21] Tahap berurutan disini dimkasudkan sebagai tahapan perkembangan tingkat berpikir dalam membuat pertimbangan moral, dari tingkat rendah menuju tingkatan yang lebih tinggi.
Pendekatan perkembangan moral kognitif ini didasarkan pada teori perkembangan moral. Di dalam teori yang dikemukakan oleh Kolhberg, bahwasanya perkembangan kognitif manusia terbagi menjadi tiga tingkat, yaitu:
a.       Tingkat pra-konvensional
Pada tingkat ini aturan berisi ukuran moral yang dibuat berdasarkan otoritas.Anak tidak melanggar aturan moral karena takut ancaman atau hukuman dari otoritas.[22]
Tingkat ini dibagi menjadi dua tahap.Pertama, tahap orientasi terhadap kepatuhan dan hukuman.Pada tahap ini anak hanya mengetahui bahwa aturan-aturan itu ditentukan oleh adanya kekuasaan yang tidak bisa diganggu gugat. Anak harus menurut, atau kalau tidak, akan mendapat hukuman. Kedua, tahap relativistik hedonisme. Pada tahap ini anak tidak lagi secara mutlak tergantung pada aturan yang berada di luar dirinya yang ditentukan orang lainyang memiliki otoritas. Anak mulai sadar bahwa setiap kejadian mempunyai beberapa segi yang bergantung pada kebutuhan (relativisme) dan kesenangan seseorang (hedonisme).[23]
b.      Tingkat konvensional
Pada tingkatan ini anak mematuhi aturan yang dibuat bersama agar diterima dalam kelompoknya.Sikap diartikan tidak hanya sebatas kesesuaian dengan tatanan sosial, tetapi juga kesetiaan.Akibatnya individu secara aktif mempertahankan, mendukung dan dan mengidentifikasikan diri dengan orang atau kelompok di dalamnya.[24]
Tingkat ini juga terdiri dari dua tahap.Pertama,  tahap orientasi mengenai anak yang baik. Pada tahap ini anak mulai memperlihatkan orientasi perbuatan yang dapat  dinilai baik atau tidak baik oleh orang lain atau masyarakat. Sesuatu dikatakan baik dan benar apabila sikap dan perilakunya dapat diterima orang lain atau masyarakat. Kedua, tahap mempertahan-kan norma sosial dan otoritas. Pada tahap ini anak menunjukkan perbuatan baik dan benar bukan hanya agar dapat diterima oleh lingkungan masyarakat sekitarnya, tetapi juga bertujuan agar dapat ikut mempertahankan aturan dan norma/nilai sosial yang ada sebagai kewajiban dan tanggung jawab moral untuk melaksanakan aturan yang ada.[25]
c.       Tingkat post-konvensional
Pada tingkat ini anak mematuhi aturan untuk menghindari hukuman kata hatinya. Pada tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk mencapai definisi pribadi akan nilai-nilai moral untuk menentukan prinsip-prinsip yang memiliki validitas dan aplikasi terpisah dari otoritas kelompok dan terpisah dari identifikasi individu sendiri dengan kelompok.[26]
Tingkat ini juga terdiri dari dua tahap.  Pertama,  tahap orientasi terhadap perjanjian antara dirinya dengan lingkungan sosial. Pada tahap ini ada hubungan timbal balik antara dirinya dengan lingkungan sosial dan masyarakat.Seseorang mentaati aturan sebagai kewajiban dan tanggung jawab dirinya dalam menjaga keserasian hidup bermasyarakat.Kedua, tahap universal. Pada tahap ini selain ada norma pribadi yang bersifat subjektif, ada juga norma etik (baik/buruk, benar/salah) yang bersifat universal sebagai sumber menentukan sesuatu perbuatan yang berhubungan dengan moralitas.[27]
Pendekatan perkembangan kognitif sekilas dapat digunakan dalam proses pendidikan di sekolah, karena pendekatan ini memberikan penekanan pada aspek perkembangan kemampuan berpikir. Karena itu, pendekatan ini memberikan perhatian sepenuhnya kepada isu moral dan penyelesaian masalah yang berhubungan dengan pertentangan nilai tertentu dalam masyarakat dengan memperhatikan tingkat dan tahapan yang telah disebutkan.Penggunaannya dapat menghidupkan suasana kelas.
Metode yang dapat digunakan dalam pendekatan perkembangan kognitif ini adalah dengan menyajikan nilai cerita faktual yang kemudian dibahas dalam kelompok-kelompok kecil.Melalui bacaan singkat atau film, siswa disajikan dengan cerita yang melibatkan satu atau lebih karakter yang dihadapkan pada dilema moral.  Siswa diminta untuk menyatakan apa yang harus dilakukan oleh orang dalam cerita tersebut dan dengan memberikan alasan untuk jawaban tersebut, dan kemudian mendiskusikannya dengan orang lain. Penelitian Kohlberg menunjukkan bahwa mengekspos siswa untuk tingkat yang lebih tinggi dari penalaran melalui diskusi kelompok merangsang mereka untuk mencapai tahap berikutnya dari perkembangan moral.[28]
Teori Kohlberg dinilai paling konsisten dengan teori ilmiah, peka untuk membedakan kemampuan dalam membuat pertimbangan moral, mendukung perkembangan moral, dan melebihi berbagai teori lain yang berdasarkan kepada hasil penelitian empiris.[29]
Menurut Galbraith dan Jones terdapat tiga variabel penting di dalam diskusi kelompok berkaitan dengan permasalahan moral agar berjalan efektif, dan dengan demikian, terdapat peningkatan perkembangan moral pada siswa. Tiga variabel tersebut adalah:
1)       Cerita yang menyajikan konflik nyata pada seorang yang menjadi tokoh utama, termasuk sejumlah isu moral yang perlu dipertimbangkan, dan isu/permasalahan yang menghasilkan perbedaan pendapat antara siswa tentang respon yang tepat untuk situasi-situasi tersebut.
2)       Seorang pemimpin yang dapat membantu untuk memfokuskan pembahasan pada penalaran moral.
3)       Iklim kelas yang mendorong siswa untuk mengekspresikan penalaran moral mereka secara bebas.[30]
Namun demikian, sebagai sebuah pendekatan dari proses pendidikan, pendekatan perkembangan moral kognitif memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dan kekurangan tersebut antara lain:[31]
Kelebihan Pendekatan Perkembangan Moral Kognitif
a.       Pendekatan perkembangan kognitif mudah digunakan dalam proses pendidikan di sekolah, karena pendekatan ini memberikan penekanan pada aspek perkembangan kemampuan berpikir.
b.      Karena pendekatan ini memberikan perhatian sepenuhnya kepada isu moral dan penyelesaian masalah yang berhubungan dengan pertentangan nilai tertentu dalam masyarakat, penggunaan pendekatan ini menjadi menarik.
c.       Penggunaannya dapat menghidupkan suasana kelas.
Kekurangan Pendekatan Perkembangan Moral Kognitif
a.       pendekatan ini menampilkan bias budaya barat. Antara lain sangat menjunjung tinggi kebebasan pribadi yang berdasarkan filsafat liberal.
b.      pendekatan ini juga tidak mementingkan kriteria benar salah untuk suatu perbuatan. Yang dipentingkan adalah alasan yang dikemukakan atau pertimbangan moralnya.
3.      Pendekatan Analisis Nilai (Values Analysis Approach)
Pendekatan analisis nilai (values analysis approach) memberikan penekanan pada perkembangan kemampuan peserta didik untuk berpikir logis, dengan cara menganalisis masalah yang berhubungan dengan nilai- nilai sosial. Jika dibandingkan dengan pendekatan perkembangan kognitif, salah satu perbedaan diantara keduanya adalah pendekatan analisis nilai lebih menekankan pada pembahasan masalah-masalah yang memuat nilai-nilai sosial.Adapun pendekatan perkembangan kognitif memberi penekanan pada dilema moral yang bersifat perseorangan.[32]Berbeda dengan pendekatan perkembangan moral, analisis nilai berkonsentrasi terutama pada isu-isu nilai sosial daripada dilema moral pribadi.[33]Karena itu, pendekatan analisis lebih memberikan pemahaman pada aspek nilai-nilai moral yang dapat diterapkan pada kehidupan sosial.
Ada dua tujuan utama pendidikan moral menurut pendekatan ini.Pertama, membantu siswa untuk menggunakan kemampuan berpikir logis dan penemuan ilmiah dalam menganalisis masalah-masalah sosial, yang berhubungan dengan nilai moral tertentu.Kedua, membantu siswa untuk menggunakan proses berpikir rasional dan analitik, dalam menghubung-hubungkan merumuskan konsep tentang nilai-nilai mereka.[34]
Dasar filosofis pendekatan analisis adalah perpaduan dari pandangan rasionalis dan empiris dari sifat manusia. Menilai adalah proses kognitif menentukan dan membenarkan fakta-fakta.. Dengan demikian, proses valuing dapat dan seharusnya dilakukan berdasarkan fakta dan alasan, dan yang pertimbangan bukan berasal dari hati nurani, melainkan dengan aturan dan prosedur logika.[35]
Metode yang paling sering digunakan dalam pendekatan analisis untuk menilai sebuah tindakan adalah metode belajar kelompok berdasarkan masalah dan isu-isu nilai sosial, studi kepustakaan dan penelitian lapangan, dan diskusi kelas rasional. Tahapan operasi intelektual yang sering digunakan dalam analisis nilai meliputi menyatakan masalah, mempertanyakan dan menguatkan dalam relevansi laporan, menerapkan kasus yang sama untuk memenuhi syarat dan memperbaiki posisi nilai, menunjukkan inkonsistensi logis dan empiris dalam argumen, dan pengujian bukti.[36]
Namun demikian, sebagai sebuah pendekatan dari proses pendidikan, pendekatan analisis nilai memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dan kekurangan tersebut antara lain:[37]
Kelebihan Pendekatan Analisis Nilai
a.    Mudah diaplikasikan dalam ruang kelas, karena penekanannya pada pengembangan kemampuan kognitif.
b.   Pendekatan ini menawarkan langkah-langkah yang sistematis dalam pelaksanaan proses pembelajaran moral.
Kekurangan Pendekatan Analisis Nilai
a.       Menurut Superka, dkk. (1976), pendekatan ini sangat menekankan aspek kognitif, dan sebaliknya mengabaikan aspek afektif serta perilaku.
c.       Menurut Ryan dan Lickona (1987), pendekatan ini sama dengan pendekatan perkembangan kognitif dan pendekatan klarifikasi nilai, sangat berat memberi penekanan pada proses, kurang mementingkan isi nilai.
4.      Pendekatan Klarifikasi Nilai (Values Clarification Approach)
Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach) memberi penekanan pada usaha untuk membantu peserta didik dalam mengkaji perasaan dan perbuatannya sendiri, serta meningkatkan kesadaran mereka tentang nilai-nilai mereka sendiri dengan cara berpikir secara rasional dan juga menggunakan kesadaran emosional secara bersama-sama.[38]
Adapun tujuan pendidikan nilai menurut pendekatan ini ada tiga, yaitu: Pertama, membantu peserta didik untuk menyadari dan mengidentifikasi nilai-nilai mereka sendiri serta nilai-nilai orang lain. Kedua, membantu peserta didik agar mereka mampu berkomunikasi secara terbuka dan jujur dengan orang lain, berhubungan dengan nilai-nilai yang dapat diaktualisasikan dalam kehidupannya sendiri.Ketiga, membantu peserta didik, agar mereka mampu menggunakan secara bersama-sama kemampuan berpikir rasional dan kesadaran emosional, untuk memahami perasaan, nilai-nilai, dan pola tingkah laku mereka sendiri.[39]
Jadi, pendekatan klasifikasi nilai bisa memberikan wawasan yang lebih objektif bagi peserta didik dalam menjalani kehidupan sosialnya sesuai dengan nilai- nilai moral yang berlaku untuk membentuk karakternya.
Pendekatan klarifikasi merupakan pendekatan yang lebih kompleks dari pendekatan pendidikan nilai-nilai lain sehingga terkadang menggunakan berbagai metode.Metode ini meliputi small group discussion dan large group discussion, kerja individu dan kelompok, mendengarkan lagu dan karya seni, permainan dan simulasi, serta jurnal pribadi dan wawancara.Metode-metode tersebut dirancang untuk merangsang siswa untuk merefleksikan mereka pikiran, perasaan, tindakan, dan nilai-nilai.[40]
Namun demikian, sebagai sebuah pendekatan dari proses pendidikan, pendekatan klarifikasi nilai memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dan kekurangan tersebut antara lain:[41]
Kelebihan Pendekatan Klarifikasi Nilai
a.       pendekatan ini memberikan penghargaan yang tinggi kepada siswa sebagai individu yang mempunyai hak untuk memilih, menghargai, dan bertindak berdasarkan kepada nilainya sendiri (Banks, 1985).
b.      Metoda pengajarannya juga sangat fleksibel, selama dipandang sesuai dengan rumusan proses menilai dan empat garis panduan yang ditentukan.
Kekurangan Pendekatan Klarifikasi Nilai
a.       Pendekatan ini juga menampilkan bias budaya barat.
b.      Dalam pendekatan ini, kriteria benar salah sangat relatif, karena sangat mementingkan nilai perseorangan.
c.       Menurut Banks (1985), pendidikan nilai menurut pendekatan ini tidak memiliki suatu tujuan tertentu berkaitan dengan nilai. Sebab, bagi penganut pendekatan ini, menentukan sejumlah nilai untuk siswa adalah tidak wajar dan tidak etis.
5.      Pendekatan Pembelajaran Berbuat (Action Learning Approach).
Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach) memberi penekanan pada usaha memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk melakukan perbuatan-perbuatan moral, baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama dalam suatu kelompok.[42]
Ada dua tujuan utama dari pendidikan moral berdasarkan kepada pendekatan ini.Pertama, memberi kesempatan kepada peserta didik untuk melakukan perbuatan moral, baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama, berdasarkan nilai-nilai mereka sendiri.Kedua, mendorong peserta didik untuk melihat diri mereka sebagai makhluk individu dan makhluk sosial dalam pergaulan dengan sesama, yang tidak memiliki kebebasan sepenuhnya, melainkan sebagai warga dari suatu masyarakat, yang harus mengambil bagian dalam suatu proses demokrasi.[43]
Metode-metode pengajaran yang digunakan dalam pendekatan analisis nilai dan klarifikasi nilai digunakan juga dalam pendekatan ini.[44]
Namun demikian, sebagai sebuah pendekatan dari proses pendidikan, pendekatan pembelajaran berbuat memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dan kekurangan tersebut antara lain:[45]
Kelebihan Pendekatan Pembelajaran Berbuat
program-program yang disediakan dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan demokrasi dimana kesempatan seperti ini, menurut Hersh, et. al. (1980) kurang mendapat perhatian dalam berbagai pendekatan lain.
Kelemahan Pendekatan Pembelajaran Berbuat
Kelemahan pendekatan ini menurut Elias (1989) sukar dijalankan. Menurut beliau, sebahagian dari program-program yang dikembangkan oleh Newmann dapat digunakan, namun secara keseluruhannya sukar dilaksanakan.
Dalam pendekatan ini sekolah sebagai penyelenggara pendidikan harus melihat hampir semua yang ada di lingkungan sekolah akan mempengaruhi pembentukan karakter siswanya sehingga segala aspek di dalamnya dijadikan peluang untuk pengembangan karakter, baik itu di dalam kurikulum akademik formal  maupun kegiatan ekstra kurikuler. Nilai-nilai karakter di dalam proses pembelajaran juga sengaja dimasukkan dan dirancang dengan matang sebagai bagian integral dalam pembelajaran.
C.    Nilai Nilai Pendidikan Karakter di Sekolah
Dalam bentuk operasional pada pendidikan formal maka berdasarkan identifikasi sejumlah nilai pembentuk karakter yang merupakan kajian empirik Pusat Kurikulum maka untuk memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter masyarakat dan bangsa dapat kami rumuskan menjadi 18 nilai yang bersumber dari agama, pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional.
Nilai-nilai tersebut yaitu:
(1) religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat/komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, dan (18) tanggung jawab. Nilai-nilai tersebut secara teknis dituangkan dalam pembelajaran melalui rencana pelaksanaan pembelajaran yang terintegrasi ke dalam seluruh mata pelajaran .[46]
D.    Penilaian Pendidikan Karakter
Karakter merupakan bagian dari ranah afektif.Menurut Andersen (1980) ada dua metode yang dapat digunakan untuk mengukur ranah afektif, yaitu metode observasi dan metode laporan-diri.Penggunaan metode observasi berdasarkan pada asumsi bahwa karateristik afektif dapat dilihat dari perilaku atau perbuatan yang ditampilkan, reaksi psikologi, atau keduanya.Metode laporan-diri berasumsi bahwa yang mengetahui keadaan afektif seseorang adalah dirinya sendiri.Namun, hal ini menuntut kejujuran dalam mengungkap karakteristik afektif diri sendiri.
Penilaian adalah kegiatan untuk menentukan pencapaian hasil pembelajaran.Hasilpembelajaran dapat dikategorikan menjadi tiga ranah, yaitu ranah kognitif, psikomotor, danafektif. Setiap peserta didik memiliki tiga ranah tersebut, hanya kedalamannya tidak sama.Ada peserta didik yang memiliki keunggulan pada ranah kognitif, atau pengetahuan, danada yang memiliki keunggulan pada ranah psikomotor atau keterampilan.Namun, keduanyaharus dilandasi oleh ranah afektif yang baik.Pengetahuan yang dimiliki seseorang harusdimanfaatkan untuk kebaikan masyarakat. Demikian juga keterampilan yang dimilikipeserta didik juga harus dilandasi olah ranah afektif yang baik, yaitu dimanfaatkan untukkebaikan orang lain.
Penilaian pada ranah afektif, seperti pada ranah lainnya memerlukan data yang bias berupa kuantitaitf atau kualitatif. Data kuantatif diperoleh melalui pengukuran atau pengamatan dan hasilnya berbentuk angka.Data kualitiatif pada umumnya diperoleh melalui pengamatan.Untuk itu, diperlukan instrumen nontes, yaitu instrumen yang hasilnya tidak ada yang salah atau benar.Data kualitatif diperoleh dengan menggunakan isntrumen dalam bentuk pedoman pengamatan. Instumen untuk pendidikan karakter yang akan dibahas di sini adalah instrumen minat, instrumen sikap, instrumen konsep diri, instrument nilai, dan instrumen moral. Instrumen minat bertujuan untuk memperoleh informasi tentang minat peserta didik terhadap mata pelajaran yang selanjutnya digunakan untuk meningkatkan minat peserta didik terhadap mata pelajaran.Instrumen sikap bertujuan untuk mengetahui sikap peserta didik terhadap suatu objek, misalnya sikap terhadap kegiatan sekolah, sikap terhadap guru, dan sebagainya.Sikap terhadap mata pelajaran bisa positif bisa negatif.Hasil pengukuran sikap berguna untuk menentukan strategi pembelajaran yang tepat untuk peserta didik.
Instrumen konsep diri dimaksudkan untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan diri sendiri.Peserta didik melakukan evaluasi secara objektif terhadap potensi yang ada dalam dirinya.Karakteristik potensi peserta didik sangat penting untuk menentukan jenjang karirnya.Informasi kekuatan dan kelemahan peserta didik digunakan untuk menentukan program yang sebaiknya ditempuh oleh peserta didik.Informasi karakteristik peserta didik diperoleh dari hasil pengukuran dan pengamatan.
Instrumen nilai dan keyakinan dimaksudkan untuk mengungkap nilai dan keyakinan individu.Informasi yang diperoleh berupa nilai dan keyakinan yang positif dan yang negatif.Hal-hal yang positif diperkuat sedang yang negatif diperlemah dan akhirnya dihilangkan.Instrumen moral dimaksudkan untuk mengungkap moral.Informasi moral seseorang diperoleh melalui pengamatan perbuatan yang ditampilkan dan laporan diri, yaitu mengisi kuesioner.Informasi hasil pengamatan bersama dengan hasil kuesioner menjadi informasi penting tentang moral seseorang.
Instrumen yang digunakan bisa dalam bentuk kuesioner.Bentuk kuesioner inimemiliki kelemahan dan kebaikannya.Kebaikannya adalah cakupan materi yang ditanyakan bisa lebih banyak.Kelemahan penggunaan instrumen kuesioner dalam mengukur karakter atau aspek afektif sesorang adalah pada validitas jawaban.Karena yang dijawab belum tentu yang dipraktikkan sehari-hari. Ada unsur social desirability, yaitu apa yang dianggap baik oleh masyarakat. Oleh karena itu, instrumen tersebut harus dilengkapi dengan data hasil kegiatan pengamatan.Pengamatan karakteristik afektif peserta didik dilakukan di tempatterjadinya kegiatan belajar dan mengajar serta di lingkungan sekolah.Untuk mengetahui keadaan ranah afektif peserta didik, pendidik harus menyiapkan diri untuk mencatat setiap tindakan yang muncul dari peserta didik yang berkaitan dengan indikator ranah afektif peserta didik. Untuk itu, perlu ditentukan indikator substansi yang akan diukur. Seperti indikator jujur, tanggungjawab, kerja sama, hormat pada orang lain, ingin selalu berbuat baik, dan sebagainya.
Karakter yang baik melibatkan pemahaman, perhatian, dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai etika.Pendekatan yagn holistik terhadap pengembangan karakter oleh karenanya mencari untuk mengembangkan kognitif, emosi, dan aspek prilaku dari kehidupan moral.Peserta didik berkembang untuk memahamai nilai inti dengan mempelajarinya, mendiskusikannya, mengamati model perilaku, dan memecahkan masalah yang mencakup nilai-nilai.Jadi, peserta didik harus paham nilai inti dan komitmen mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Pembelajaran yang dilaksanakan harus menarik dan bermakna bagi peserta didik.Pembelajaran yang bermakna dan menarik dapat melalui penggunakan metode pembelajaran yang aktif, tidak hanya sebagai pendengar saja, seperti belajar kooperatif, pendekatan penyelesaian masalah, dan projek berbasis pengalaman. Pendekatan ini akan meningkatkan otonomi peserta didik, yaitu dengan membangun minat peserta didik, memberi kesempatan untuk berpikir kreatif, dan menguji ide mereka. Pendidik karakter yang efektif selalu mencari interseksi antara konten akademik dan kualitas karakter yang ingin dikembangkan.
Koneksi karakter ini bisa dalam bentuk yang banyak, seperti menentukan isu etika mutakhir dalam bidang sains, mendiskusikan praktik selama ini dan bagaimana yang seharusnya, mendiskusiakan trait karakter dan dilema etika dalam literatur atau buku.
Peserta didik merupakan pembelajar konstruktif, mereka belajar paling baik melalui melakukan.Untuk membangun karakter yang baik, peserta didik memerlukan banyak kesempatan untuk menerapkan rasa sosial, tanggung jawab, jujur, dan keadilan dalam interaksi sehari-hari dan dalam diskusi-diskusi.Dalam praktik di sekolah hal ini dapat dilakukan melalui praktik bagaimana membangun kelompok belajar koperatif, membangun konsensus dalam pertemuan kelas, mengurangi pertentangan dalam suatu permainan olah raga, dan bagaimana semangat kebersamaan dan kepedulian sesama.
Ada empat tipe karakteristik afektif yang penting, yaitu sikap, minat, konsep diri, dan nilai. Empat tipe afektif yang akan dibahas dalam pedoman ini, khususnya tentang penilaiannya. Pembahasan meliputi definisi konseptual, definisi operasional dan penentuan indikator. Sesuai dengan karakteristik afektif yang terkait dengan mata pelajaran, masalah yang akan dibahas mencakup empat ranah, yaitu minat, sikap, nilai., dan konsep diri.
Pimpinan lembaga pendidikan harus memimpin usaha membangun karakter yangbaik.Paling awal usaha membangun pendidikan karakter adalah sekolah membentuk komite pendidikan karakter yang terdiri atas pendidik, peserta didik, orang tua, dan masyarakat yang bertugas merencanakan, menerapkan, dan memberi dukungan. Apabila empat komponen tersebut bisa bekerja sama dalam membangun karakter peserata ddik, akan diperoleh hasil seperti yang diharapkan.
1.      Sikap
        Sikap menurut Fishbein dan Ajzen (1975) adalah suatu predisposisi yang dipelajari untuk merespon secara positif atau negatif terhadap suatu objek, situasi, konsep, atau orang.Objek sekolah adalah sikap siswa terhadap sekolah, sikap siswa terhadap mata pelajaran.Ranah sikap siswa ini penting untuk ditingkatkan (Popham, 1999:204).Sikap siswa terhadap mata pelajaran, misalnya bahasa Inggeris, harus lebih positif setelah siswa mengikuti pelajaran bahasa Inggeris.Jadi, sikap siswa setelah mengikuti pelajaranharuslebih positif dibanding sebelum mengikuti pelajaran. Perubahan ini merupakan salah satu indikator keberhasilan guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Untuk itu, guru harus membuat rencana pembelajaran termasuk pengalaman belajar siswa yang membuat sikap siswa terhadap matapelajaran menjadi lebih positif.
2.      Minat
        Menurut Getzel (1966:98), minat adalah suatu disposisi yang terorganisir melaluipengalaman yang mendorong seseorang untuk memperoleh objek khusus, aktivitas, pemahaman, dan keterampilan untuk tujuan perhatian atau pencapaian. Hal penting pada minat adalah intensitasnya.Secara umum minat termasuk karakteristik afektif yang memiliki intensitas tinggi.
3.      Nilai
Nilai menurut Rokeach (1968) merupakan suatu keyakinan yang dalam tentangperbuatan, tindakan, atau perilaku yang dianggap baik dan yang dianggap jelek.
Menurut Andersen target nilai cenderung menjadi ide, tetapi sesuai dengan definisi oleh Rokeach, target dapat juga berupa sesuatu seperti sikap dan perilaku. Arah nilai dapat positif dapat negatif.Selanjutnya intensitas nilai dapat dikatakan tinggi atau rendah tergantung pada situasi dan nilai yang diacu.
Definisi lain tentang nilai disampaikan oleh Tyler (1973:7), yaitu nilai adalah suatu objek, aktivitas, atau ide yang dinyatakan oleh individu yang mengendalikan pendidikan dalam mengarahkan minat, sikap, dan kepuasan. Selanjutnya, dijelaskan bahwa sejak manusia belajar menilai suatu objek, aktivitas, dan ide sehingga objek ini menjadi pengatur penting minat, sikap, dan kepuasan.Oleh karena itu, sekolah harus menolong siswa menemukan dan menguatkan nilai yang bermakna dan signifikan bagi siswa dalam memperoleh kebahagiaan personal dan memberi konstribusi positif terhadap masyarakat.
Beberapa ranah afektif yang tergolong penting adalah sebagai berikut:
a.       Kejujuran: peserta didik harus jujur dalam perkataan dan perbuatan dalam berinteraksi dengan lingkungan termasuk orang lain.
b.      Integritas: peserta didik harus mengikat pada kode nilai, misalnya etika, dan moral.
c.       Adil: peserta didik harus berpendapat bahwa semua orang memperoleh perlakuan hukum yang sama.
d.      Kebebasan: peserta didik harus yakin bahwa mereka memiliki kebebasan yangterbatas, dalam arti bebas tetapi tidaka merugikan pihak lain.
e.       Kerjasama: peserta didik harus mempu bekerja sama dengan orang lain dalammengerjakan kebaikan.
4.      Konsep Diri
Menurut Smith  konsep diri adalah evaluasi yang dilakukan individu terhadap kemampuan dan kelemahan yang dimilikinya. Target, arah, dan intensitas konsep diri pada dasarnya seperti ranah afektif yang lain. Target konsep diri biasanya orang tetapi dapat juga institusi seperti sekolah.Arah konsep diri bisa posititf atau negatif, dan intensitasnya bisa dinyatakan dalam suatu daerah kontinum, yaitu mulai dari yang rendah sampai yang tinggi.
Konsep diri ini penting untuk menentukan jenjang karir peserta didik,, yaitu dengan mengetahui kekuatan dan kelemahan diri sendiri sehingga ia bisa memilih karir yang tepat bagi dirinya. Selain itu, informasi konsep diri ini penting bagi sekolah untuk memotivasi belajar siswa dengan tepat.
Dalam memililih karakterisitk afektif untuk pengukuran, para pengelola pendidikan harus mempertimbangkan rational teorie dan isi program sekolah. Masalah yang timbul adalah bagaimana ranah afektif akan diukur. Isi dan validitas konstruk ranah afektif tergantung pada definisi operasional yang secara langung mengikuti definisi konseptual.Andersen (1980) menggambarkan dua pendekatan untuk mengukur ranah afektif, yaitu pendekatan acuan ranah dan pendekatan peta kalimat.Pada pendekatan acuan ranah, hal yang pertama diperhatikan adalah target dan arah karakteristik afektif dan selanjutnya memperhatikan intensitasnya.


BAB III
PENUTUP
B.     Kesimpulan
1.      Pendekatan adalah titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu.
2.      Pendidikan dapat difahami sebagai bentuk aktivitas dan usaha manusia untuk meningkatkan kepribadiannya dengan jalan membina potensi-potensi pribadinya, baik pribadi rohani (pikir, rasa, karsa, cipta dan budi nurani) maupun jasmaninya (panca indera dan keterampilan-keterampilan).
3.      Karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan. Dalam pengertian karakter yang demikian, peran lingkungan menjadi penting dalam pembentukan karakter, karena hakekatnya karakter terbentuk oleh lingkungan, selain tentu saja bawaan.
4.      Dari pengertian tentang pendidikan dan karakter dapat dipahami bahwa pengertian pendidikan karakter adalah serangkaian usaha yang dilakukan secara sadar dan terencana sehingga memunculkan kesadaran dalam diri individu untuk mengembangkan segala potensi manusia sehingga memiliki kekuatan spiritual, kecerdasan, dan akhlak mulia menuju kedewasaan dan kesempurnaan sebagai bekal yang diperlukan dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
5.      Ada dua metode yang dapat digunakan untuk mengukur ranah afektif, yaitu metode observasi dan metode laporan-diri. Penggunaan metode observasi berdasarkan pada asumsi bahwa karateristik afektif dapat dilihat dari perilaku atau perbuatan yang ditampilkan, reaksi psikologi, atau keduanya. Metode laporan-diri berasumsi bahwa yang mengetahui keadaan afektif seseorang adalah dirinya sendiri. Namun, hal ini menuntut kejujuran dalam mengungkap karakteristik afektif diri sendiri.

DAFTAR  PUSTAKA
Adya S, Nono. Dkk. “Pendidikan Karakter Untuk Membangun Karakter Bangsa”, Jurnal Policy Brief, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar. Edisi 4 (Juli 2011), 7.
Dalmeri, “Pendidikan Untuk Pengembangan Karakter, Telaah terhadap Gagasan Thomas Lickona dalam Educating for Character”, Jurnal Al-Ulum IAIN Sultan Amai Gorontalo.Volume 14, Nomor 14 (Juni 2014), 278.
Fauziah, Resti. dkk. “Pembelajaran Saintifik Elektronika Dasar Berorientasi Pembelajaran Berbasis Masalah”, Jurnal Invotec, Volume IX, No. 2 (Agustus 2013), 166.
Kurnia, Ingridwati. dkk. Perkembangan Belajar Peserta Didik. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, 2008.
Tim Pengembang Buku Ajar Kurikulum 2013.Konsep Pendekatan Scientific. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2013.
Lickona, Thomas. Educating for Character, Mendidik Untuk Membentuk Karakter.terjemahan Juma Abdu Wamaungo. Jakarta: Bumi Aksara, 2013.
Lickona, Thomas. Pendidikan Karakter. terjemahan Saut Pasaribu. Jakarta: Bumi Aksara, 2013.
Manullang, Belferik. “Grand Desain Pendidikan Karakter Generasi Emas 2045”, Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun III, Nomor 1 (Februari 2013), 6.
Mu’in, Fatchul. Pendidikan Karakter, Konstruksi Teritik dan Praktik, Uregensi Pendidikan Progresif dan Revitalisasi Peran Guru dan Orag Tua. Yogyakarta: Ar Ruzz, 2011.
Praveena, K. dan Kanaan, G. “Moral Education – Need of The Hour”. Innovation and Challenges in Teacher Education UGC National Seminar. Nagar 25-26 Maret 2014.Annamalai University.
Rianto, Milan. Pendekatan, Strategi dan Metode Pembelajaran. Jakarta: Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidikan Dan Tenaga Kependidikan, Departemen Pendidikan Nasional, 2006.
Superka, Douglas P. dkk.Values Education Sourcebook, Conceptual Approach, Material Analyses, and an Annotated Bibliography. Colorado: Social Science Eucation Consortium Inc., 1976.
Zakaria, Teuku Ramli. Pendekatan Pendekatan Pendidikan Nilai dan Implementasi dalam Pendidikan Budi Pekerti.Jurnal pendidikan dan kebudayaan (Jakarta), Nomor 026 (2000).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar