Muncul kesan yang sangat kencang baik pendidik, orang tua, maupun peserta didik untuk selalu didorong agar mengejar dan menghimpun informasi keilmuan sebanyak mungkin, namun melupakan aspek pendidikan yang fundamental, yaitu bagaimana menjalani hidup dengan terhormat dihadapan Tuhan dan makhluknya. Salah satu penyebab merebaknya korupsi ialah gagalnya dunia pendidikan dalam pembentukan karakter yang membentuk manusia yang mulia dan terthormat agar hidup selalu dipandu nurani dan ahlak.
Pendidikan
adalah usaha sistematis dengan penuh kasih sayang serta keikhlasan untuk
membangun peradaban bangsa menjadi lebih baik. Dibalik sukses ekonomi dan
teknologi yang ditunjukkan negara-negara maju, semua itu semula disemangati
nilai-nilai kemanusiaan agar kehidupan bisa dijalani lebih mudah, lebih produktif,
dan lebih bermakna. Namun banyak masyarakat yang lalu gagal menjaga komitmen
kemanusiaannya setelah sukses di bidang materi. Gaya hidup yang selalu mengejar
sukses materi, tetapi tidak disertai dengan pemaknaan hidup yang dalam.
Akibatnya, orang lalu menitipkan harga dirinya pada jabatan dan materi yang
menempel, tetapi kepribadiannya keropos (John Naisbit).
Akhir
zaman yang sudah edan ini seseorang akan merasa diri hebat dan berharga bukan
karena kualitas pribadinya, tetapi jabatan
dan kekayaan, meski diraih dengan
cara tidak terhormat, tidak baik dan tidak halal. Pribadi semacam ini disebut
having oriented, bukan being oriented (Erich Froom), artinya apa, kepribadian
yang obsesif untuk selalu mengejar harta dan status, tetapi tidak peduli pada pengembangan
kualitas moral.
Ketika
pendidikan tidak lagi menempatkan prinsip-prinsip moralitas agung (akhlakul karimah) sebagai basisnya,
maka yang akan dihasilkan adalah orang yang selalu mengejar materi untuk
memenuhi tuntutan physical happiness (kesenangan fisik) yang durasinya hanya
sesaat dan potensial membunuh nalar sehat dan nurani. Padahal, aktualisasi
nilai kemanusiaan membutuhkan perjuangan hidup sehingga seseorang akan merasa
lebih berharga dan bahagia saat mampu meraih kebahagiaan nonmateri. Yang
temasuk kebahagiaan nonmateri ialah kebahagiaan intelektual, kebahagiaan
aesthetica, kebahagiaan secara moral, dan kebahagiaan beragama (spiritual
happiness). Pendidikan yang sehat adalah yang secara sadar membantu peserta
didik bisa merasakan, menghayati, dan menghargai jenjang makna hidup dari yang
bersifat fisikal sampai yang moral, estetika, dan spiritual. Peradaban dunia
selalu dibangun oleh tokoh-tokoh moral-spiritual contohnya Nabi Muhammad SAW,
yang dihancurkan politisi dan teknokrat yang mabuk kekuasaan.
Selama
ini produk pendidikan amat kurang membantu pertumbuhan spiritualitas peserta
didik sehingga mereka sulit mengagumi keramahan langit terhadap bumi umpamanya
munculnya pelangi, terjadinya hujan, kekompakan hidup dunia semut, dan perilaku
alam lain yang semua itu merupakan ayat-ayat Tuhan dan bacaan terbuka yang amat
indah bagi orang-orang yang beakal dan berfikir. Ini semua disebabkan kesalahan
proses pendidikan yang kita dapat, yang hampir melupakan dimensi akal budi dan
emosi serta tidak memandang alam sebagai entitas yang hidup.
Sebenarnya
tak ada benda mati di hadapan orang yang akal budinya hidup. Terlebih di
hadapan Tuhan, semuanya hidup dan bekerja atas perintah-Nya karena tercipta
bukan tanpa tujuan. Pendidikan kita kurang mengajarkan bagaimana bersahabat dan
berdialog dengan kehidupan secara menyeluruh.
Dalam
Sebuah kasus bencana alam yang setiap saat menjadi santapan dan tayangan media
cetak dan elektronik, hampir tidak pernah kita saksikan dan ditemukan beritanya
bangkai sapi atau kerbau dan hewan lainnya karena semuanya telah menyelamatkan
diri. Hewan-hewan itu memiliki kepekaan dan mampu berdialog dengan sesama
penghuni bumi saat bahaya akan dating. Kalaupun ada yang mati, itu lebih
dikarenakan hewan-hewan itu kurang makan atau terjebak di kandang, bagaimana
dengan manusia yang katanya dilengkapi akal dan fikiran yang melebihi hewan?.
Seiring
munculnya kesadaran dan tuntutan moral dalam dunia bisnis, dalam dunia
pendidikan juga muncul gerakan baru untuk melibatkan emosi dan nurani dalam
proses pembelajaran, karena betapa vitalnya dimensi spiritual dan emosional
dalam kerja dan belajar maka dibutuhkan sebuah kecerdasan yang bisa mengimbangi
kecerdasan satu dengan yang lainnya. Kecerdasan yang dimaksud ialah kecerdasan
intelektual, emosional dan spritual. Hal ini tentu amat menggembirakan, sebuah
kebangkitan kesadaran etis dan spiritual dalam upaya membangun bangsa yang
bermartabat serta mendorong lahirnya generasi baru yang setia dengan
nilai-nilai luhur kemanusiaan dan ketuhanan.
Pendidik
haruslah memikirkan bagaimana menciptakan proses dan suasana pembelajaran
dengan mengacu pada sifat otak dan emosi (brain based learning) sehingga
suasana belajar menjadi nyaman, kreatif, dan kontemplatif. Pembelajaran yang
menjadikan siswa sebagai subyek, di mana anak-anak itu memiliki nurani dan
potensi multikecerdasan, namun belum tergali dan teraktualisasi. Dengan
demikian, proses pembelajaran sebaiknya dimulai dengan melihat, mengamati, dan
merasakan lingkungan sosial yang dihadapi, guru dan murid berempati menjadi
bagian integral dari realitas sosial dan semesta. Dari situ keilmuan dibangun
untuk membantu peserta didik menjadi manusiawi serta memecahkan problem
kemanusiaan.
Substansinya
semua ilmu pengetahuan awalnya berupa produk kegelisahan akal budi dan nurani
guna meringankan beban hidup manusia sehingga menjadi manusia yang terhormat
dan melindungi sesasama. Celakanya, banyak kaum profesional dan birokrat yang
dengan ilmu dan jabatannya malah menjadi penindas rakyat dalam segala aspek.
Rakyat amat merindukan pemimpin, birokrat, dan
pejabat yang senantiasa mempertahankan prinsip hidup terhormat, hidup
yang bimbing suara hati, meski bisa jadi harus siap hidup sederhana. Itu semua
harus dimulai dari pendidikan keluarga dan sekolah yang menjunjung tinggi
pendidikan karakter serta selalu menerapkan dan membiasakan diri dalam hidup
berperilaku dan berakhlak terpuji (akhlakul
mahmudah), mudah-mudahan amin!!!.
http://menzour.blogspot.com
@menzour_id
Tahun 2013
@menzour_id
Tahun 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar