PENERAPAN PROGRAM
KONSEP ZERO WASTE DI SEKOLAH
Konsep zero waste merupakan konsep yang masih baru dan asing bagi
kebanyakan masyarakat Indonesia terlebih bagi mereka yang tidak pandai
berbahasa Inggris, karena zero waste berasal dari bahasa Inggris yang
artinya nol sampah. Jadi, zero waste merupakan suatu konsep
pengurangan produksi sampah. Salah
satu cara penerapan zero waste adalah dengan cara mengurangi sampah.
Cara ini bisa diterapkan di seluruh lapisan masyarakat.
Bangsa Indonesia memperkenalkan konsep zero waste ini ke hal
layak ramai, salah satunya caranya melalui sosialisasi ke sekolah-sekolah.
Penerapan zero waste di lingkungan sekolah dapat memberikan
kontribusi dalam pemeliharaan lingkungan,
yakni dengan cara meminimalisir pembuangan sampah sembarangan atau
memanfaatkannya kembali dengan cara pengolahan kembali dengan kata lain didaur
ulang menjadi barang siap pakai.
Sudah ada beberapa lembaga swasta atau yayasan non pemerintah sudah
melakukan pengenalan serta pelatihan mengenai zero waste. Yayasan
Pengembangan Biosains dan Bioteknologi (YPPB) yang berlokasi di
Kota Bandung telah melaksanakan kegiatan kampanye hidup bebas sampah. Dimana
kampanye itu bertujuan untuk mengajak masyarakat khususnya ibu rumah tangga
agar mau melakukan upaya pengurangan sampah dan penekanan volume sampah. Sebagian
besar ibu rumah tangga menyetujui gagasan zero waste tersebut dan turut
menerapkan gagasan tersebut dalam kesehariannya[1].
Jadi, tidak hanya di lingkungan rumah tangga saja atau keluarga saja untuk
penerapan zero waste, tapi pengenalan program zero waste juga
dapat dilakukan di lingkungan lain seperti di sekolah, kampung-kampung, lembaga
dan instansi lainnya. Nah, di lingkungan sekolah untuk dapat menerapkan program
zone waste harusnya memberlakukan suatu aturan yang mengajarkan para
peserta didik untuk melakukan pemisahan sampah organik dan non
organik. Pihak sekolah harus berperan aktif dengan salah satu caranya yakni
menyediakan bak sampah khusus untuk sampah organik dan menyediakan bak
sampah yang non organik sehingga sejak dini peserta didik sudah di didik
dan dibiasakan menempatkan sesuatu pada tempatnya dan mereka bisa membedakan
sampah yang organik dan sampah yang non organik.
Peningkatan timbulan sampah dapat menimbulkan risiko negatif terhadap
lingkungan dan kesehatan masyarakat. Di daerah perkotaan, terutama di kota-kota
negara berkembang, masalah dan isu mengenai sampah merupakan permasalahan yang
sangat penting dan harus segera diatasi[2].
Dari apa yang di paparkan di atas memang betul, bahwa penumpukan sampah
sangat berdampak negatif terhadap lingkungan dan juga kesehatan masyarakat yang
berada di sekitarann dimana sampah tersebut menumpuk. Misalnya berkembang
biaknya binatang-binatang yang membawa virus penyakit dan bau menyengat
yang sangat tidak enak untuk di hirup. Terlebih lingkungan sekolah seharusnya
harus benar-benar nol dari sampah ataupun tumpukan sampah karena lingkungan
sekolah merupakan lingkungan formal untuk pendidikan yang harus steril dari
masalah-masalah baik sampah, keributan dan lainnya.
Penerapan prinsip Reduce, Reuse dan Recycle (3R) juga diharapkan
dapat menyelesaikan masalah sampah secara terintegrasi dan menyeluruh sehingga
tujuan akhir kebijakan Pengelolaan Sampah Indonesia dapat dilaksanakan dengan
baik[3].
Jadi, kegiatan pengurangan sampah bertujuan agar seluruh lapisan masyarakat,
baik pemerintah, dunia usaha maupun masyarakat luas khususnya di lingkungan
sekolah harusnya melaksanakan kegiatan pembatasan timbulan sampah. Menerapkan
pendauran ulang dan pemanfaatan kembali sampah atau yang lebih dikenal dengan
sebutan Reduce, Reuse dan Recycle (3R) melalui upaya-upaya cerdas,
efisien dan terprogram harus perlu diupayakan terutama dalam lingkungan sekolah
dalam bentuk kebijakan yang di regulasikan oleh pihak sekolah atau oleh pihak
Dinas pendidikan kabupaten/kota atau provinsi sehingga penerapan zero waste
terlaksana dengan baik.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 81 tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah
Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga mewajibkan produsen
melakukan kegiatan 3R dengan cara menghasilkan produk dengan menggunakan
kemasan yang mudah diurai oleh proses alam dan yang menimbulkan sampah
sesedikit mungkin, menggunakan bahan baku produksi yang dapat didaur ulang dan
diguna ulang dan/atau menarik kembali sampah dari produk dan kemasan produk
untuk didaur ulang dan dimanfaatkan kembali.
3R merupakan singkatan dari reuse, reduce, dan recycle. Adapun makna
dari kata-kata tersebut ialah Reuse berarti menggunakan kembali sampah
yang masih dapat digunakan untuk fungsi yang sama ataupun fungsi lainnya. Reduce
berarti mengurangi segala sesuatu yang mengakibatkan sampah. Dan Recycle
berarti mengolah kembali (daur ulang) sampah menjadi barang atau produk baru
yang bermanfaat.
Untuk diketahui bahwa ruang lingkup zero waste itu sendiri terdiri
atas beberapa konsep yang telah dikembangkan sebagai sistem pengelolalaan
sampah berkelanjutan. Dari beberapa konsep tersebut adalah menghindari,
mengurangi, menggunakan kembali, merancang ulang, regenerasi, daur ulang,
memperbaiki, memproduksi kembali, menjual kembali serta mendistribusikan
kembali sumber sampah[4].
Oleh karena itu, strategi zero waste dalam prakteknya dapat
berkembang dengan baik. Zero waste tidak hanya mendorong proses daur
ulang tetapi juga bertujuan untuk mengatur kembali rancangan, produk dan
distribusi dalam pencegahan atau pengurangan jumlah sampah. Hal ini penting di
sosialisakan kepada peserta didik dengan cara praktik baik oleh pendidik (guru)
di sekolah baik dengan instruksi kepala sekolah dan dari dinas pendidikan atau
dari kesadaran pendidik (guru) itu sendiri sehingga zero waste
menjadikan sekolah bersih, rapi dan indah sehingga proses belajar mengajar di
sekolah tersebut menjadi aman, nyaman dan kondusif.
Konsep zero waste merupakan suatu konsep berkelanjutan nyata yang dapat
diterapkan di sekolah-sekolah[5]. Jadi,
penerapan program zero waste di sekolah tujuannya untu mengajarkan
peserta didik untuk mengembangkan dan mempraktekkan pengetahuan mengenai konsep
sistem berkelanjutan dengan cara mengurai produksi sampah sehingga sekolah
merupakan kunci dari seluruh lapisan masyarakat agar konsep zero waste
dapat terlaksana dan berjalan dengan lancar dan baik.
Kerja sama dari seluruh pihak sangat dibutuhkan dalam pelaksanan zero
waste di sekolah baik itu peserta didik, pendidik, staf sekolah, kepala
sekoalh, komite sekolah singkatnya masyarakat (stakeholder)
sekolah. Pengenalan zero waste dilaksanakan dengan cara
pengajaran, pelatihan dan kerja sama pelaksanaan program pengurangan sampah
sehingga penerapan program konsep zero waste (nol sampah) di dalam
lingkungan sekoalh sekolah dapat berjalan dengan baik.
“Man syabba ‘ala syai-in syabba ‘alaih” artinya “barang siapa yang
terbiasa terhadap sesuatu maka terbiasalah ia”. Maksud dari kata bijak tersebut
ialah apabila kita terbiasa ataupun membiasakan seseorang untuk berkata sesuatu
atau berbuat sesuatu maka akan selalu terbiasa mengataka atau berbuat sesuatu
tersebut. Dalam dunia pendidikan atau di sekolah seorang pendidik (guru)
tugasnya tidak hanya mengajar akan tetapi juga mendidik. Penerapan zero
waste (nol sampah) memiliki kesamaan dengan ajaran Islam yakni “Kebersihan
itu sebagaian dari iman”. Maka, penerapan zero waste di sekolah secara
tidak langsung, kita telah membiasakan anak didik untuk terbiasa dalam
menerapkan kebersihan yang dianjurkan dalam Islam, sehingga kebiasaan baik
tersebut akan terus mereka praktikkan dalam kehidupan sehari-hari mereka, baik
dalam lingkungan sekolah maupun lingkungan luar sekolah bahkan samapi mereka
selesai dan dewasa. Itu semua karena pembiasaan yang baik yang diterapkan
pendidik kepada peserta didik.
[1]
Komari, A. S., Sikap Ibu Rumah Tangga Terhadap
Penerapan Program Zero waste Lifestyle di Kelurahan Sukaluyu Kota Bandung
(Studi Deskriptif Terhadap Anggota Yayasan Pengembangan Biosains dan
Bioteknologi Bandung dengan Latar Belakang Status Sosial Ekonomi Berbeda),
Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia, 2014
[2]
Alsheyab, M. dan Kusch, S., “Decoupling Resources Use
from Economic Growth Chances and Challenges of Recycling Electronic
Communication Devices”, Journal of Economy, Business and Financing, Vol. 1 No.
1, pp. 1615- 1619, 2013
[3]
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas),
Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 29 tahun 2011 Tentang
Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2012 Buku III: Pembangunan Berdimensi
Kewilayahan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, 2012
[4]
Zaman, A. U., “Roadmap Towards Zero Waste Cities”,
International Journal of Waste Resources, Vol. 4 No. 2, pp. 100-106, 2014
[5]
Schumpert, Kary, Dietz dan Cyndra., “Zero Waste: A
Realistic Sustainability Program for Schools”, School Business Affairs, Vol. 78
No. 2, pp. 14-17, 2012
BIODATA PENULIS
Mansur, S.Pd.I, M.Pd, lahir di Ponggong, Kopang, Kabupaten Lombok Tengah
pada tanggal 25 Juni 1983, merupakan anak kedua dari dua bersaudara dari
pasangan Marwiyadi dan Jenah. Pada tahun 1995
menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri DURIAN, dan pada tahun 1998
menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Pertama di SMP Putra At-Tohiriyah
Bodak, dan selanjutnya menyelesaikan Sekolah Menengah Atas di SMU Putra
At-Tohiriyah Bodak pada tahun 2001.Tahun 2005 berhasil menyelesaikan pendidikan
di Fakultas Tarbiyah IAIN Mataram mengambil program studi D2/PGMI. Pada tahun
tersebut langsung transfer (melanjutkan pendidikan) ke S1/PAI dan selesai pada
tahun 2008. Pada tahun 2015 mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan
pada Pascasarjana (S2) Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
dalam program studi Manajemen Pendidikan Islam atau S2/MPI yang merupakan
BEASISWA Kemenag Pusat Direktorat Kasi PAIS untuk Guru PAI. Pengalaman sebagai
pendidik, dimulai sejak Januari 2009 diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil
sebagai guru dan ditempatkan di SMP Negeri 1 Praya Timur Kabupaten Lombok
Tengah sampai sekarang. Pada tanggal 10 Oktober 2010 menikah dengan Nani
Nurhasanah, S. Pd dan dikaruniai seorang putri, yaitu Zafara
Mannani Nazra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar