Proses Belajar Menurut Teori Konstruktivistik
Pada bagian ini akan dibahas proses belajar dari
pandangan konstruktivistik, dan dari aspek-aspek si-belajar, peranan guru,
sarana belajar, dan evaluasi belajar. Proses
belajar konstruktivistik. Secara
konseptual, proses belajar
jika dipandang dari pendekatan
kognitif, bukan sebagai
perolehan informasi yang berlangsung satu arah dari luar ke dalam
diri siswa, melainkan sebagai pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya
melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara pada pemutahkiran struktur
kognitifnya. Kegiatan belajar lebih dipandang dari segi prosesnya dari pada
segi perolehan pengetahuan dari fakta-fakta
yang terlepas-lepas.
Proses
tersebut berupa “…..constructing and restructuring of knowledge and skills
(schemata) within the individual in a complex network of increasing conceptual
consistency…..”. Pemberian makna terhadap obyek dan pengalaman oleh individu
tersebut tidak dilakukan secara sendiri-sendiri oleh siswa, melainkan melalui
interaksi dalam jaringan sosial yang unik, yang terbentuk baik dalam budaya
kelas maupun di luar kelas.
Oleh sebab itu pengelolaan pembelajaran harus diutamakan
pada pengelolaan siswa dalam memproses gagasannya, bukan semata-mata pada
pengelolaan siswa dan lingkungan belajarnya bahkan pada unjuk kerja atau
prestasi belajarnya yang dikaitkan dengan sistem penghargaan dari luar seperti
nilai, ijasah, dan sebagainya.
Peranan Siswa (Si-belajar). Menurut pandangan konstruktivistik, belajar merupakan
suatu proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh si
belajar. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berpikir, menyusun konsep dan
memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari.
Guru memang dapat dan
harus mengambil prakarsa untuk menata lingkungan yang memberi peluang optimal
bagi terjadinya belajar. Namun yang akhirnya paling menentukan terwujudnya
gejala belajar adalah niat belajar siswa sendiri. Dengan istilah lain, dapat
dikatakan bahwa hakekatnya kendali belajar sepenuhnya ada pada siswa.
https://tahjud69.blogspot.co.id/2016/12/teori-belajar-konstruktivisme.html
Paradigma konstruktivistik memandang siswa
sebagai pribadi yang sudah memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Kamampuan awal
tersebut akan menjadi dasar dalam mengkonstruksi pengetahuan yang baru. Oleh
sebab itu meskipun kemampuan awal tersebut masih sangat sederhana atau tidak
sesuai dengan pendapat guru, sebaiknya diterima dan dijadikan dasar
pembelajaran dan pembimbingan.
Peranan Guru. Dalam belajar konstruktivistik guru
atau pendidik berperan membantu agar proses pengkonstruksian belajar oleh siswa
berjalan lancar.
Guru tidak menstransferkan pengetahuan yang telah dimilikinya,
melainkan membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri. Guru dituntut
untuk lebih memahami jalan pikiran atau cara pandang siswa dalam belajar. Guru
tidak dapat mengklaim bahwa satusatunya cara yang tepat adalah yang sama dan
sesuai dengan kemauannya.
Peranan kunci guru dalam interaksi
pendidikan adalah pengendalian yang meliputi;
1.
Menumbuhkan kemandirian dengan menyediakan kesempatan
untuk mengambil keputusan dan bertindak.
2.
Menumbuhkan kemampuan mengambil keputusan dan bertindak,
dengan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan siswa.
3.
Menyediakan sistem dukungan yang memberikan kemudahan
belajar agar siswa mempunyai peluang optimal untuk berlatih.
Sarana belajar. Pendekatan konstruktivistik menekankan bahwa peranan utama dalam
kegiatan belajar adalah aktifitas siswa dalam mengkonstruksi
pengetahuannya sendiri. Segala sesuatu seperti bahan, media, peralatan,
lingkungan, dan fasilitas lainnya disediakan untuk membantu pembentukan
tersebut.
Siswa diberi kebebasan untuk mengungkapkan pendapat dan pemikirannya
tentang sesuatu yang dihadapinya. Dengan cara demikian, siswa akan terbiasa dan
terlatih untuk berpikir sendiri, memecahkan masalah yang dihadapinya, mandiri,
kritis, kreatif, dan mampu mempertanggung jawabkan pemikirannya secara
rasional.
Evaluasi belajar. Pandangan konstruktivistik
mengemukakan bahwa lingkungan belajar sangat mendukung munculnya berbagai
pandangan dan interpretasi terhadap realitas, konstruksi pengetahuan, serta
aktivitas-aktivitas lain yang didasarkan pada pengalaman. Hal ini memunculkan
pemikiran terhadap usaha mengevaluasi belajar konstruktivistik. Ada perbedaan
penerapan evaluasi belajar antara pandangan behavioristik (tradisional) yang
obyektifis dan konstruktivistik.
Pembelajaran yang diprogramkan dan didesain banyak
mengacu pada obyektifis, sedangkan Piagetian dan tugas-tugas belajar discovery
lebih mengarah pada konstruktivistik. Obyektifis mengakui adanya reliabilitas
pengetahuan, bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, dan tetap, tidak
berubah.
Pengetahuan telah tersetruktur dengan rapi. Guru bertugas untuk
menyampaikan pengetahuan tersebut. Realitas dunia dan strukturnya dapat
dianalisis dan diuraikan, dan pemahaman seseorang akan dihasilkan oleh
proses-proses eksternal dari struktur dunia nyata tersebut, sehingga belajar
merupakan asimilasi obyek-obyek nyata.
Tujuan para perancang dan guru-guru tradisional
adalah menginterpretasikan
kejadian-kejadian nyata yang akan diberikan kepada para siswanya. Pandangan
konstruktivistik mengemukakan bahwa realitas ada pada pikiran seseorang.
Manusia mengkonstruksi dan menginterpretasikannya berdasarkan pengalamannya.
Konstruktivistik mengarahkan perhatiannya pada
bagaimana seseorang mengkonstruksi pengetahuan dari pengalamannya, struktur
mental, dan keyakinan yang digunakan untuk menginterpretasikan obyek dan
peristiwa-peristiwa. Pandangan konstruktivistik mengakui bahwa pikiran
adalah instrumen penting dalam menginterpretasikan kejadian, obyek, dan
pandangan terhadap dunia nyata, di mana interpretasi tersebut terdiri dari
pengetahuan dasar manusia secara individual.
Teori belajar konstruktivistik mengakui bahwa siswa akan
dapat menginterpretasikan informasi ke dalam pikirannya, hanya pada konteks
pengalaman dan pengetahuan mereka sendiri, pada kebutuhan, latar belakang dan
minatnya. Guru dapat membantu siswa mengkonstruksi pemahaman representasi
fungsi konseptual dunia eksternal. Jika hasil belajar dikonstruksi secara
individual, bagaimana mengevaluasinya? Evaluasi belajar pandangan behavioristik
tradisional lebih diarahkan pada tujuan belajar.
Sedangkan pandangan
konstruktivistik menggunakan goal-free
evaluation, yaitu suatu konstruksi untuk mengatasi kelemahan evaluasi
pada tujuan spesifik. Evaluasi akan lebih obyektif jika evaluator tidak diberi
informasi tentang tujuan selanjutnya. Jika tujuan belajar diketahui sebelum
proses belajar dimulai, proses belajar dan evaluasinya akan berat sebelah.
Pemberian kriteria pada evaluasi mengakibatkan pengaturan pada pembelajaran.
Tujuan belajar mengarahkan pembelajaran yang juga akan mengontrol aktifitas
belajar siswa.
Pembelajaran dan evaluasi yang menggunakan kriteria
merupakan prototipe obyektifis/behavioristik, yang tidak sesuai bagi teori
konstruktivistik. Hasil belajar konstruktivistik lebih
tepat dinilai dengan metode evaluasi goal-free. Evaluasi yang digunakan
untuk menilai hasil belajar konstruktivistik, memerlukan proses pengalaman
kognitif bagi tujuan-tujuan konstruktivistik.
Bentuk-bentuk
evaluasi konstruktivistik dapat diarahkan pada tugas-tugas autentik,
mengkonstruksi pengetahuan yang menggambarkan proses berpikir yang lebih tinggi
seperti tingkat “penemuan” pada taksonomi Merrill, atau “strategi kognitif”
dari Gagne, serta “sintesis” pada taksonomi Bloom. Juga mengkonstruksi
pengalaman siswa, dan mengarahkan evaluasi pada konteks yang luas dengan
berbagai perspektif.
@MENZOUR_ID
Tidak ada komentar:
Posting Komentar