TEORI BELAJAR
HUMANISTIK DAN PENERAPANNYA DALAM
KEGIATAN PEMBELAJARAN
URAIAN MATERI
Pendidikan harus berkualitas untuk
menghasilkan lulusan yang mampu menghadapi dinamika perkembangan masyarakat dan
teknologi yang begitu pesat. Di satu sisi teknologi mampu digunakan untuk
membantu menyelesaikan berbagai masalah, di sisi lain merupakan tantangan yang
sangat besar bagi dunia pendidikan untuk bertransformasi (Christensen, 1997).
Pendidikan harus dikelola untuk menghasilkan lulusan yang memiliki kecakapan
yang dibutuhkan di abad 21, yaitu mampu belajar dan berinovasi, berfikir kritis
dan mampu memecahkan masalah, memiliki kreativitas serta mampu berkomunikasi
dan berkolaborasi. Siswa harus menguasai literasi digital meliputi literasi
informasi, literasi media dan literasi teknologi. Siswa perlu memiliki
kecakapan hidup yaitu fleksibilitas dan adaptabilitas, inisiatif dan mandiri,
mampu berinteraksi lintas sosial budaya, produktifitas dan akuntabilitas serta
sikap kepemimpinan dan tanggung jawab. Di samping hal-hal tersebut, siswa harus
kuat karakter moralnya, seperti cinta tanah air, memiliki nilai-nilai budi
pekerti luhur, jujur, adil, empati, penyayang, rasa hormat dan kesederhanaan,
pengampun dan rendah hati. Guna mencapai semua tujuan tersebut diperlukan
pembelajaran yang berkualitas. Ini semua menjadi tantangan bagi para guru untuk
membekali para siswanya dengan berbagai pengetahuan ketrampilan dan sikap, guna
mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan di atas.
Apa yang bapak/ibu ketahui tentang teori
belajar humanistik?
Dalam kegiatan belajar ini, bapak/ibu
akan menemukan jawaban dari pertanyaan di atas melalui uraian materi yang
diberikan.
A.
Pengertian Belajar Menurut Teori Humanistik
Selain teori belajar behavioristik dan teori kognitif,
teori belajar humanistik juga penting untuk dipahami. Menurut teori humanistik, proses belajar harus dimulai dan ditujukan untuk
kepentingan memanusiakan manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, teori
belajar humanistik sifatnya lebih abstrak dan lebih mendekati bidang kajian
filsafat, teori kepribadian, dan psikoterapi, dari pada bidang kajian psikologi
belajar. Teori humanistik sangat mementingkan isi
yang dipelajari dari pada proses belajar itu
sendiri.
Teori belajar ini lebih banyak berbicara tentang
konsep-konsep pendidikan untuk membentuk manusia yang dicita-citakan, serta
tentang proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain,
teori ini lebih tertarik pada pengertian belajar dalam bentuknya yang paling
ideal dari pada pemahaman tentang proses belajar sebagaimana apa adanya,
seperti yang selama ini dikaji oleh teori-teori belajar lainnya. Dalam
pelaksanaannya, teori humanistik ini antara lain tampak juga dalam pendekatan
belajar yang dikemukakan oleh Ausubel.
Pandangannya tentang belajar bermakna atau “Meaningful
Learning” yang juga tergolong dalam aliran kognitif ini, mengatakan
bahwa belajar merupakan asimilasi bermakna.
Materi yang dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan
dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Faktor motivasi dan
pengalaman emosional sangat penting dalam peristiwa belajar, sebab tanpa
motivasi dan keinginan dari pihak si belajar, maka tidak akan terjadi asimilasi
pengetahuan baru ke dalam struktur kognitif yang telah dimilikinya. Teori humanistik berpendapat bahwa teori belajar apapun dapat
dimanfaatkan, asal tujuannya untuk memanusiakan manusia yaitu mencapai
aktualisasi diri, pemahaman diri, serta realisasi diri orang yang belajar,
secara optimal.
Pemahaman terhadap belajar yang diidealkan menjadikan
teori humanistik dapat memanfaatkan teori belajar apapun asal tujuannya untuk
memanusiakan manusia. Hal ini menjadikan teori humanistik bersifat sangat
eklektik. Tidak dapat disangkal lagi bahwa setiap pendirian atau pendekatan
belajar tertentu, akan ada kebaikan dan ada pula kelemahannya. Dalam arti ini eklektisisme bukanlah suatu sistem dengan membiarkan
unsur-unsur tersebut dalam keadaan sebagaimana adanya atau aslinya.
Teori humanistik akan memanfaatkan teori-teori apapun,
asal tujuannya tercapai, yaitu memanusiakan manusia. Manusia adalah makhluk
yang kompleks. Banyak ahli di dalam menyusun teorinya hanya terpukau pada aspek
tertentu yang sedang menjadi pusat perhatiannya. Dengan
pertimbangan-pertimbangan tertentu setiap ahli melakukan penelitiannya dari
sudut pandangnya masing-masing dan menganggap bahwa keterangannya tentang
bagaimana manusia itu belajar adalah sebagai keterangan yang paling memadai.
Maka akan terdapat berbagai teori tentang belajar sesuai
dengan pandangan masing-masing. Dari penalaran di atas ternyata bahwa perbedaan
antara pandangan yang satu dengan pandangan yang lain sering kali hanya timbul
karena perbedaan sudut pandangan semata, atau kadang-kadang hanya perbedaan aksentuasi. Jadi keterangan atau pandangan yang
berbeda-beda itu hanyalah keterangan mengenai hal yang satu dan sama dipandang
dari sudut yang berlainan.
Dengan demikian teori humanistik dengan pandangannya yang eklektik yaitu dengan cara memanfaatkan atau
merangkumkan berbagai teori belajar dengan tujuan untuk memanusiakan manusia
bukan saja mungkin untuk dilakukan, tetapi justru harus dilakukan. Banyak tokoh penganut
aliran humanistik, di antaranya adalah Kolb
yang terkenal dengan “Belajar Empat
Tahap”, Honey dan Mumford
dengan pembagian tentang macam-macam siswa, Hubermas
dengan “Tiga macam tipe belajar”,
serta Bloom dan Krathwohl
yang terkenal dengan “Taksonomi Bloom”.
B.
Pandangan David A. Kolb
terhadap Belajar.
Kolb (1939-sekarang) seorang ahli penganut aliran
humanistik membagi tahap-tahap belajar menjadi 4,
yaitu:
1.
Tahap pengalaman konkrit Pada tahap
paling awal dalam peristiwa belajar adalah seseorang mampu atau dapat mengalami
suatu peristiwa atau suatu kejadian sebagaimana adanya. Ia dapat melihat dan
merasakannya, dapat menceriterakan peristiwa tersebut sesuai dengan apa yang
dialaminya. Namun dia belum memiliki kesadaran tentang hakekat dari peristiwa
tersebut. Ia hanya dapat merasakan kejadian tersebut apa adanya, dan belum
dapat memahami serta menjelaskan bagaimana peristiwa itu terjadi. Ia juga belum
dapat memahami mengapa peristiwa tersebut harus terjadi seperti itu. Kemampuan
inilah yang terjadi dan dimiliki seseorang pada tahap paling awal dalam proses
belajar.
2.
Tahap pengamatan aktif dan reflektif Tahap kedua
dalam peristiwa belajar adalah bahwa seseorang makin lama akan semakin mampu
melakukan observasi secara aktif terhadap peristiwa yang dialaminya. Ia mulai
berupaya untuk mencari jawaban dan memikirkan kejadian tersebut. Ia melakukan
refleksi terhadap peristiwa yang dialaminya, dengan mengembangkan
pertanyaan-pertanyaan bagaimana hal itu bisa terjadi, dan mengapa hal itu mesti
terjadi. Pemahamannya terhadap peristiwa yang dialaminya semakin berkembang.
Kemampuan inilah yang terjadi dan dimiliki seseorang pada tahap ke dua dalam
proses belajar.
3.
Tahap konseptualisasi Tahap ke tiga
dalam peristiwa belajar adalah seseorang sudah mulai berupaya untuk membuat
abstraksi, mengembangkan suatu teori, konsep, atau hukum dan prosedur tentang
sesuatu yang menjadi obyek perhatiannya. Berfikir induktif banyak dilakukan
untuk merumuskan suatu aturan umum atau generalisasi dari berbagai contoh
peristiwa yang dialaminya. Walaupun kejadian-kejadian yang diamati tampak
berbeda-beda, namun memiliki komponen-komponen yang sama yang dapat dijadikan
dasar aturan bersama.
4.
Tahap eksperimentasi aktif. Tahap terakhir
dari peristiwa belajar menurut Kolb adalah melakukan eksperimentasi secara
aktif. Pada tahap ini seseorang sudah mampu mengaplikasikan konsep-konsep,
teori-teori atau aturan-aturan ke dalam situasi nyata. Berfikir deduktif banyak
digunakan untuk mempraktekkan dan menguji teori-teori serta konsep-konsep di
lapangan. Ia tidak lagi mempertanyakan asal usul teori atau suatu rumus, tetapi
ia mampu menggunakan teori atau rumus-rumus tersebut untuk memecahkan masalah
yang dihadapinya, yang belum pernah ia jumpai sebelumnya. Tahap-tahap belajar
demikian dilukiskan oleh Kolb sebagai suatu siklus yang berkesinambungan dan
berlangsung di luar kesadaran orang yang belajar. Secara teoretis tahap-tahap
belajar tersebut memang dapat dipisahkan, namun dalam kenyataannya proses
peralihan dari satu tahap ke tahap belajar di atasnya sering kali terjadi
begitu saja sulit untuk ditentukan kapan terjadinya.
C.
Pandangan Peter Honey dan Alan Mumford terhadap Belajar.
Tokoh teori humanistik lainnya adalah Peter Honey (1937- sekarang) dan Alan Mumford (1933- sekarang). Pandangannya tentang
belajar diilhami oleh pandangan Kolb mengenai tahap-tahap belajar di atas. Honey dan Mumford menggolonggolongkan orang yang belajar ke
dalam empat macam atau golongan, yaitu kelompok aktivis, golongan reflektor,
kelompok teoritis dan golongan pragmatis. Masing-masing kelompok memiliki
karakteristik yang berbeda dengan kelompok lainnya. Karakteristik
yang dimaksud adalah:
1.
Kelompok aktivis. Orang-orang yang termasuk ke
dalam kelompok aktivis adalah mereka yang senang
melibatkan diri dan berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan dengan
tujuan untuk memperoleh pengalaman-pengalaman baru. Orang-orang tipe ini mudah
diajak berdialog, memiliki pemikiran terbuka, menghargai pendapat orang lain,
dan mudah percaya pada orang lain. Namun dalam melakukan sesuatu tindakan
sering kali kurang pertimbangan secara matang, dan lebih banyak didorong oleh
kesenangannya untuk melibatkan diri. Dalam kegiatan belajar, orang-orang
demikian senang pada hal-hal yang sifatnya penemuan-penemuan baru, seperti
pemikiran baru, pengalaman baru, dan sebagainya, sehingga metode yang cocok
adalah problem solving, brainstorming. Namun mereka akan cepat bosan dengan
kegiatan-kegiatan yang implementasinya memakan waktu lama.
2.
Kelompok reflektor. Mereka yang
termasuk dalam kelompok reflektor mempunyai kecenderungan
yang berlawanan dengan mereka yang termasuk kelompok aktivis. Dalam
melakukan suatu tindakan, orang-orang tipe reflektor sangat berhati-hati dan
penuh pertimbangan. Pertimbangan-pertimbangan baik-buruk dan untung-rugi,
selalu diperhitungkan dengan cermat dalam memutuskan sesuatu. Orang-orang
demikian tidak mudah dipengaruhi, sehingga mereka cenderung bersifat
konservatif.
3.
Kelompok Teoris. Lain halnya dengan orang-orang
tipe teoris, mereka memiliki kecenderungan yang sangat
kritis, suka menganalisis, selalu berfikir rasional dengan menggunakan
penalarannya. Segala sesuatu sering dikembalikan kepada teori dan
konsep-konsep atau hukum-hukum. Mereka tidak menyukai pendapat atau penilaian
yang sifatnya subyektif. Dalam melakukan atau memutuskan sesuatu, kelompok
teoris penuh dengan pertimbangan, sangat skeptis dan tidak menyukai hal-hal
yang bersifat spekulatif. Mereka tampak lebih tegas dan mempunyai pendirian
yang kuat, sehingga tidak mudah terpengaruh oleh pendapat orang lain.
4.
Kelompok pragmatis. Berbeda dengan
orang-orang tipe pragmatis, mereka memiliki sifat-sifat
yang praktis, tidak suka berpanjang lebar dengan teori-teori, konsep-konsep,
dalil-dalil, dan sebagainya. Bagi mereka yang penting adalah aspek-aspek
praktis, sesuatu yang nyata dan dapat dilaksanakan. Sesuatu hanya bermanfaat
jika dapat dipraktekkan. Teori, konsep, dalil, memang penting, tetapi jika itu
semua tidak dapat dipraktekkan maka teori, konsep, dalil, dan lain-lain itu
tidak ada gunanya. Bagi mereka, susuatu adalah baik dan berguna jika dapat
dipraktekkan dan bermanfaat bagi kehidupan manusia.
D.
Pandangan Jurgen Habermas terhadap belajar.
Tokoh
humanis lain adalah Hubermas (1929-sekarang). Menurutnya, belajar baru akan terjadi jika ada interaksi antara individu dengan
lingkungannya. Lingkungan belajar yang dimaksud di sini adalah
lingkungan alam maupun lingkungan sosial, sebab antara keduanya tidak dapat
dipisahkan. Dengan pandangannya yang demikian, ia
membagi tipe belajar menjadi tiga, yaitu;
1.
belajar teknis ( technical learning),
2.
belajar praktis ( practical learning), dan
3.
belajar emansipatoris (emancipatory learning).
Masing-masing
tipe memiliki cirri-ciri sebagai berikut:
a.
Belajar Teknis ( technical learning) Yang dimaksud
belajar teknis adalah
belajar bagaimana seseorang
dapat berinteraksi dengan lingkungan alamnya secara benar. Pengetahuan
dan ketarampilan apa yang dibutuhkan dan perlu dipelajari agar mereka dapat
menguasai dan mengelola lingkungan alam sekitarnya dengan baik. Oleh sebab itu,
ilmu-ilmu alam atau sain amat dipentingkan dalam belajar teknis.
b.
Belajar Praktis ( practical learning) Sedangkan
yang dimaksud belajar praktis adalah belajar bagaimana seseorang dapat
berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, yaitu dengan orang-orang di
sekelilingnya dengan baik. Kegiatan belajar ini lebih mengutamakan terjadinya interaksi
yang harmonis antar sesama manusia. Untuk itu bidang-bidang ilmu yang
berhubungan dengan sosiologi, komunikasi, psikologi, antrophologi, dan
semacamnya, amat diperlukan. Sungguhpun demikian, mereka percaya bahwa
pemahaman dan ketrampilan seseorang dalam mengelola lingkungan alamnya tidak
dapat dipisahkan dengan kepentingan manusia pada umumnya. Oleh sebab itu,
interaksi yang benar antara individu dengan lingkungan alamnya hanya akan
tampak dari kaitan atau relevansinya dengan kepentingan manusia.
c.
Belajar Emansipatoris (emancipatory
learning). Lain halnya dengan belajar emansipatoris. Belajar emansipatoris
menekankan upaya agar seseorang mencapai suatu pemahaman dan kesadaran yang
tinggi akan terjadinya perubahan atau transformasi budaya dalam lingkungan
sosialnya. Dengan pengertian demikian maka dibutuhkan pengetahuan dan
ketrampilan serta sikap yang benar untuk mendukung terjadinya transformasi
kultural tersebut. Untuk itu, ilmu-ilmu yang berhubungan dengan budaya dan
bahasa amat diperlukan. Pemahaman dan kesadaran terhadap transformasi kultural
inilah yang oleh Habermas dianggap sebagai tahap belajar yang paling tinggi,
sebab transformasi kultural adalah tujuan pendidikan yang paling tinggi.
E.
Pandangan Benjamin Samuel Bloom (1913-1999) dan David
Krathwohl (1921-2016) terhadap Belajar.
Selain tokoh-tokoh di atas, Bloom
dan Krathwohl (1956) juga termasuk penganut aliran humanis. Mereka lebih
menekankan perhatiannya pada apa yang mesti dikuasai oleh individu (sebagai
tujuan belajar), setelah melalui peristiwa-peristiwa belajar. Tujuan belajar
yang dikemukakannya dirangkum ke dalam tiga kawasan yang dikenal dengan sebutan
Taksonomi Bloom. Melalui taksonomi Bloom inilah telah berhasil memberikan
inspirasi kepada banyak pakar pendidikan dalam mengembangkan teori-teori maupun
praktek pembelajaran. Pada tataran praktis, taksonomi Bloom ini telah membantu
para pendidik dan guru untuk merumuskan tujuan-tujuan belajar yang akan
dicapai, dengan rumusan yang mudah dipahami. Berpijak pada taksonomi Bloom ini
pulalah para praktisi pendidikan dapat merancang program-program pembelajarannya.
Setidaknya di Indonesia, taksonomi Bloom ini telah banyak dikenal dan paling
populer di lingkungan pendidikan. Secara ringkas, ketiga kawasan dalam
taksonomi Bloom tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Domain kognitif, terdiri atas 6 tingkatan, yaitu:
konsep)
https://blog.commlabindia.com/elearning-design/blooms- taxonomy-learning-objectives-part1
a.
Pengetahuan (mengingat, menghafal)
b.
Pemahaman (menginterpretasik an)
c.
Aplikasi (menggunakan konsep untuk memecahkan masalah)
d.
Analisis
(menjabarkan suatu
e.
Sintesis (menggabungkan bagian-bagian kosep menjadi suatu
konsep utuh)
f.
Evaluasi (membandingkan nilai-nilai, ide. metode, dsb.)
2.
Domain psikomotor, terdiri atas 5 tingkatan, yaitu:
https://impremedia.net/psycho-motor-domain/
a.
Peniruan (menirukan gerak)
b.
Penggunaan (menggunakan konsep untuk melakukan gerak)
c.
Ketepatan (melakukan gerak dengan benar)
d.
Perangkaian
(melakukan beberapa gerakan
sekaligus dengan benar).
e.
Naturalisasi (melakukan gerak secara wajar)
3.
Domain afektif, terdiri atas 5 tingkatan, yaitu:
http://edunesiania.blogspot.co.id/2017/01/penerapan-
sebagai bagian dari pola hidupnya) teori -behaviorisme.html?m=1
a.
Pengenalan (ingin menerima, sadar akan adanya sesuatu)
b.
Merespon (aktif berpartisipasi)
c.
Penghargaan (menerima nilainilai, setia kepada
nilai-nilai tertentu)
d.
Pengorganisasian(menghubung- hubungkan nilai-nilai yang
dipercayainya)
e.
Pengamalan (menjadikan nilai-nilai
F.
Aplikasi Teori Belajar Humanistik dalam Kegiatan
Pembelajaran
Teori humanistik sering dikritik karena sukar diterapkan dalam
konteks yang lebih praktis. Teori ini dianggap lebih
dekat dengan bidang filsafat, teori kepribadian dan psikoterapi dari
pada bidang pendidikan, sehingga sukar meterjemahkannya ke dalam
langkah-langkah yang lebih konkrit dan praktis. Namun karena sifatnya yang
ideal, yaitu memanusiakan manusia, maka teori humanistik mampu memberikan arah
terhadap semua komponen pembelajaran untuk mendukung tercapainya tujuan
tersebut. Semua komponen pendidikan termasuk tujuan pendidikan diarahkan pada
terbentuknya manusia yang ideal, manusia yang dicita-citakan, yaitu manusia
yang mampu mencapai aktualisasi diri. Untuk itu, sangat perlu diperhatikan
bagaimana perkembangan siswa dalam mengaktualisasikan dirinya, pemahaman
terhadap dirinya, serta realisasi diri.
Pengalaman emosional dan karakteristik khusus individu
dalam belajar perlu diperhatikan oleh guru dalam merencanakan pembelajaran.
Karena seseorang akan dapat belajar dengan baik jika mempunyai pengertian
tentang dirinya sendiri dan dapat membuat pilihan-pilihan secara bebas ke arah
mana ia akan berkembang. Dengan demikian teori humanistik mampu menjelaskan
bagaimana tujuan yang ideal tersebut dapat dicapai. Teori humanistik akan
sangat membantu para pendidik dalam memahami arah belajar pada dimensi yang
lebih luas, sehingga upaya pembelajaran apapun dan pada konteks manapun akan
selalu diarahkan dan dilakukan untuk mencapai tujuannya. Meskipun teori
humanistik ini masih sukar diterjemahkan ke dalam langkah-langkah pembelajaran
yang praktis dan operasional, namun sumbangan teori ini amat besar.
Ideide, konsep-konsep, taksonomi-taksonomi tujuan yang
telah dirumuskannya dapat membantu para pendidik dan guru untuk memahami
hakekat kejiwaan manusia. Hal ini akan dapat membantu mereka dalam menentukan
komponen-komponen pembelajaran seperti perumusan tujuan, penentuan materi,
pemilihan strategi pembelajaran, serta pengembangan alat evaluasi, ke arah
pembentukan manusia yang dicita-citakan tersebut. Kegiatan pembelajaran yang dirancang
secara sistematis, tahap demi tahap secara ketat, sebagaimana tujuan-tujuan
pembelajaran yang telah dinyatakan secara eksplisit dan dapat diukur, kondisi
belajar yang diatur dan ditentukan, serta pengalamanpengalaman belajar yang
dipilih untuk siswa, mungkin saja berguna bagi guru tetapi tidak berarti bagi
siswa (Rogers dalam Snelbecker, 1974).
Hal tersebut tidak sejalan dengan teori humanistik. Menurut teori ini, agar belajar bermakna bagi siswa,
diperlukan inisiatif dan keterlibatan penuh dari siswa sendiri. Maka
siswa akan mengalami belajar eksperiensial (experiential learning). Pada teori
humanistik, guru diharapkan tidak hanya melakukan kajian bagaimana dapat
mengajar yang baik, namun kajian mendalam justru dilakukan untuk menjawab
pertanyaan bagaimana agar siswa dapat belajar dengan baik. Jigna dalam jurnal CS Canada (2012)
menekankan bahwa “To learn well, we must give the
students chances to develop freely”. Pernyataan ini mengandung arti
untuk menghasikan pembelajaran yang baik, guru harus memberikan kesempatan
kepada siswa untuk berkembang secara bebas. Pendidikan modern mengalami banyak
perubahan jika dibandingkan dengan pendidikan tradisional.
Pada pendidikan modern, siswa menyadari hal-hal yang
terjadi dalam proses pembelajaran, hal ini menunjukkan hubungan dua arah antara
guru dan siswa. Sementara itu, dalm pendidikan tradisional Proses belajar
terjadi secara stabil, dimana siswa dituntut untuk mengetahui informasi melalui
buku teks, memahami informasi yang mereka dapatkan tesebut dan menggunakan
informasi terbut dalam aktivitas keseharian siswa. Sedangkan dalam pendidikan
modern, siswa memanfaatkan teknologi untuk membuat kognisi, pemahaman dan
membuat konten pembelajaran menjadi lebih menarik dan lebih berwarna. Pada
penerapan teori humanistic ini adalah hal yang sangat baik bila guru dapat
membuat hubungan yang kuat dengan siswa dan membantu siswa untuk membantu siswa
berkembang secara bebas.
Dalam proses pembelajaran, guru dapat menawarkan berbagai sumber
belajar kepada siswa, seperti situs-situs web yang mendukung pembelajaran. Inti
dari pembelajaran humanistic adalah bagaimana memanusiakan siswa dan membuat
proses pembelajaran yang menyenangkan bagi siswa. Dalam
prakteknya teori humanistik ini cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir induktif, mementingkan
pengalaman, serta membutuhkan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses
belajar.
SUMBER : PPG.SIAGAPENDIS.COM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar