TEORI
BELAJAR KONSTRUKTIVISTIK DAN
PENERAPANNYA DALAM KEGIATAN PEMBELAJARAN
A.
Karakteristik Manusia
Masa Depan yang Diharapkan Upaya membangun sumber daya
manusia ditentukan oleh karakteristik manusia dan masyarakat masa depan yang
dikehendaki. Karakteristik manusia masa depan yang dikehendaki tersebut adalah
menusia-manusia yang memiliki kepekaan, kemandirian, tanggung jawab terhadap
resiko dalam mengambil keputusan, mengembangkan segenap aspek potensi melalui
proses belajar yang terus menerus untuk menemukan diri sendiri dan menjadi diri
sendiri yaitu suatu proses … (to) learn to be. Mampu melakukan kolaborasi dalam
memecahkan masalah yang luas dan kompleks bagi
kelestarian dan kejayaan bangsanya (Raka Joni, 1990).
Kepekaan, berarti ketajaman baik dalam arti kemampuan
berpikirnya, maupun kemudah-tersentuhan hati nurani di dalam melihat dan
merasakan segala sesuatu, mulai dari kepentingan orang lain sampai dengan
kelestarian lingkungan yang merupakan gubahan Sang Pencipta. Kemandirian,
berarti kemampuan menilai proses dan hasil berpikir sendiri di samping proses
dan hasil berpikir orang lain, serta keberanian bertindak sesuai dengan apa
yang dianggapnya benar dan perlu. Tanggungjawab, berarti kesediaan untuk
menerima segala konsekuensi keputusan serta tindakan sendiri. Kolaborasi,
berarti di samping mampu berbuat yang terbaik bagi dirinya sendiri, individu
dengan ciri-ciri di atas juga mampu bekerja sama dengan individu lainnya dalam
meningkatkan mutu kehidupan bersama.
Langkah strategis bagi perwujudan tujuan di atas adalah
adanya layanan ahli kependidikan yang berhasil guna dan berdaya guna tinggi. Student active learning atau pendekatan cara belajar siswa
aktif di dalam pengelolaan kegiatan belajar mengajar yang mengakui
sentralitas peranan siswa di dalam proses belajar, adalah landasan yang kokoh
bagi terbentuknya manusia-manusia masa depan yang diharapkan.
Pilihan tersebut bertolak dari kajian-kajian kritikal dan
empirik di samping pilihan masyarakat (Raka Joni, 1990). Penerapan ajaran tut wuri handayani merupakan wujud nyata yang bermakna
bagi manusia masa kini dalam rangka menjemput masa depan. Untuk melaksanakannya
diperlukan penanganan yang memberikan perhatian terhadap aspek strategis
pendekatan yang tepat ketika individu belajar. Dengan kata lain, pendidikan
ditantang untuk memusatkan perhatian pada terbentuknya manusia masa depan yang
memiliki karakteristik di atas. Kajian terhadap teori belajar konstruktivistik
dalam kegiatan belajar dan pembelajaran memungkinkan menuju kepada tujuan
tersebut.
B.
Konstruksi Pengetahuan
Seperti telah diuraikan pada bab pendahuluan, untuk
memperbaiki pendidikan terlebih dahulu harus mengetahui bagaimana manusia
belajar dan bagaimana cara mengajarnya. Kedua kegiatan tersebut dalam rangka
memahami cara manusia mengkonstruksi pengetahuannya tentang obyek-obyek dan
peristiwa-peristiwa yang dijumpai selama kehidupannya. Manusia akan mencari dan
menggunakan hal-hal atau peralatan yang dapat membantu memahami pengalamannya.
Demikian juga, manusia akan mengkonstruksi dan membentuk pengetahuan mereka
sendiri. Pengetahuan seseorang merupakan konstruksi dari dirinya. Pada bagian
ini akan dibahas teori belajar konstruktivistik kaitannya dengan pemahaman
tentang apa pengetahuan itu, proses mengkonstruksi pengetahuan, serta hubungan
antara pengetahuan, realitas, dan kebenaran.
Menurut bapak/ibu, apa yang dimaksud dengan
pengetahuan?
Dalam pendekatan konstruktivistik, pengetahuan bukanlah
kumpulan fakta dari suatu kenyataan yang sedang dipelajari, melainkan sebagai
konstruksi kognitif seseorang terhadap obyek, pengalaman, maupun lingkungannya.
Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ada dan tersedia dan sementara orang
lain tinggal menerimanya. Pengetahuan adalah sebagai suatu pembentukan yang
terus menerus oleh seseorang yang setiap saat mengalami reorganisasi karena
adanya pemahaman-pemahaman baru.
Pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat dipindahkan
dari pikiran seseorang yang telah mempunyai pengetahuan kepada pikiran orang
lain yang belum memiliki pengetahuan tersebut. Bila guru bermaksud untuk
mentransfer konsep, ide, dan pengetahuannya tentang sesuatu kepada siswa,
pentransferan itu akan diinterpretasikan dan dikonstruksikan oleh siswa sendiri
melalui pengalaman dan pengetahuan mereka sendiri.
Proses mengkonstruksi pengetahuan. Manusia dapat
mengetahui sesuatu dengan menggunakan indranya. Melalui interaksinya dengan
obyek dan lingkungan, misalnya dengan melihat, mendengar, menjamah, membau,
atau merasakan, seseorang dapat mengetahui sesuatu. Pengetahuan bukanlah
sesuatu yang sudah ditentukan, melainkan sesuatu proses pembentukan. Semakin
banyak seseorang berinteraksi dengan obyek dan lingkungannya, pengetahuan dan
pemahamannya akan obyek dan lingkungan tersebut akan meningkat dan lebih rinci.
Von Galserfeld (dalam Paul, S., 1996)
mengemukakan bahwa ada beberapa kemampuan yang diperlukan dalam proses mengkonstruksi pengetahuan, yaitu; 1) kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali
pengalaman, 2) kemampuan membandingkan dan
mengambil keputusan akan kesamaan dan perbedaan, dan 3)
kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengalaman yang satu dari pada
lainnya.
Faktor-faktor yang juga mempengaruhi proses
mengkonstruksi pengetahuan adalah konstruksi pengetahuan seseorang yang telah ada, domain pengalaman, dan jaringan struktur
kognitif yang dimilikinya. Proses dan hasil konstruksi pengetahuan yang
telah dimiliki seseorang akan menjadi pembatas konstruksi pengetahuan yang akan
datang. Pengalaman akan fenomena yang baru menjadi unsur penting dalam
membentuk dan mengembangkan pengetahuan. Keterbatasan pengalaman seseorang pada
suatu hal juga akan membatasi pengetahuannya akan hal tersebut. Pengetahuan
yang telah dimiliki orang tersebut akan membentuk suatu jaringan struktur
kognitif dalam dirinya.
C.
Proses Belajar Menurut Teori Konstruktivistik
Pada bagian ini akan dibahas proses belajar dari
pandangan konstruktivistik, dan dari aspek-aspek si-belajar, peranan guru,
sarana belajar, dan evaluasi belajar. Proses
belajar konstruktivistik. Secara
konseptual, proses belajar
jika dipandang dari pendekatan
kognitif, bukan sebagai
perolehan informasi yang berlangsung satu arah dari luar ke dalam
diri siswa, melainkan sebagai pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya
melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara pada pemutahkiran struktur
kognitifnya. Kegiatan belajar lebih dipandang dari segi prosesnya dari pada
segi perolehan pengetahuan dari fakta-fakta
yang terlepas-lepas.
Proses
tersebut berupa “…..constructing and restructuring of knowledge and skills
(schemata) within the individual in a complex network of increasing conceptual
consistency…..”. Pemberian makna terhadap obyek dan pengalaman oleh individu
tersebut tidak dilakukan secara sendiri-sendiri oleh siswa, melainkan melalui
interaksi dalam jaringan sosial yang unik, yang terbentuk baik dalam budaya
kelas maupun di luar kelas.
Oleh sebab itu pengelolaan pembelajaran harus diutamakan
pada pengelolaan siswa dalam memproses gagasannya, bukan semata-mata pada
pengelolaan siswa dan lingkungan belajarnya bahkan pada unjuk kerja atau
prestasi belajarnya yang dikaitkan dengan sistem penghargaan dari luar seperti
nilai, ijasah, dan sebagainya.
Peranan Siswa (Si-belajar). Menurut pandangan konstruktivistik, belajar merupakan
suatu proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh si
belajar. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berpikir, menyusun konsep dan
memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Guru memang dapat dan
harus mengambil prakarsa untuk menata lingkungan yang memberi peluang optimal
bagi terjadinya belajar. Namun yang akhirnya paling menentukan terwujudnya
gejala belajar adalah niat belajar siswa sendiri. Dengan istilah lain, dapat
dikatakan bahwa hakekatnya kendali belajar sepenuhnya ada pada siswa.
https://tahjud69.blogspot.co.id/2016/12/teori-belajar-konstruktivisme.html
Paradigma konstruktivistik memandang siswa
sebagai pribadi yang sudah memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Kamampuan awal
tersebut akan menjadi dasar dalam mengkonstruksi pengetahuan yang baru. Oleh
sebab itu meskipun kemampuan awal tersebut masih sangat sederhana atau tidak
sesuai dengan pendapat guru, sebaiknya diterima dan dijadikan dasar
pembelajaran dan pembimbingan.
Peranan Guru. Dalam belajar konstruktivistik guru
atau pendidik berperan membantu agar proses pengkonstruksian belajar oleh siswa
berjalan lancar.
Guru tidak menstransferkan pengetahuan yang telah dimilikinya,
melainkan membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri. Guru dituntut
untuk lebih memahami jalan pikiran atau cara pandang siswa dalam belajar. Guru
tidak dapat mengklaim bahwa satusatunya cara yang tepat adalah yang sama dan
sesuai dengan kemauannya.
Peranan kunci guru dalam interaksi
pendidikan adalah pengendalian yang meliputi;
1.
Menumbuhkan kemandirian dengan menyediakan kesempatan
untuk mengambil keputusan dan bertindak.
2.
Menumbuhkan kemampuan mengambil keputusan dan bertindak,
dengan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan siswa.
3.
Menyediakan sistem dukungan yang memberikan kemudahan
belajar agar siswa mempunyai peluang optimal untuk berlatih.
Sarana belajar. Pendekatan konstruktivistik menekankan bahwa peranan utama dalam
kegiatan belajar adalah aktifitas siswa dalam mengkonstruksi
pengetahuannya sendiri. Segala sesuatu seperti bahan, media, peralatan,
lingkungan, dan fasilitas lainnya disediakan untuk membantu pembentukan
tersebut. Siswa diberi kebebasan untuk mengungkapkan pendapat dan pemikirannya
tentang sesuatu yang dihadapinya. Dengan cara demikian, siswa akan terbiasa dan
terlatih untuk berpikir sendiri, memecahkan masalah yang dihadapinya, mandiri,
kritis, kreatif, dan mampu mempertanggung jawabkan pemikirannya secara
rasional.
Evaluasi belajar. Pandangan konstruktivistik
mengemukakan bahwa lingkungan belajar sangat mendukung munculnya berbagai
pandangan dan interpretasi terhadap realitas, konstruksi pengetahuan, serta
aktivitas-aktivitas lain yang didasarkan pada pengalaman. Hal ini memunculkan
pemikiran terhadap usaha mengevaluasi belajar konstruktivistik. Ada perbedaan
penerapan evaluasi belajar antara pandangan behavioristik (tradisional) yang
obyektifis dan konstruktivistik.
Pembelajaran yang diprogramkan dan didesain banyak
mengacu pada obyektifis, sedangkan Piagetian dan tugas-tugas belajar discovery
lebih mengarah pada konstruktivistik. Obyektifis mengakui adanya reliabilitas
pengetahuan, bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, dan tetap, tidak
berubah. Pengetahuan telah tersetruktur dengan rapi. Guru bertugas untuk
menyampaikan pengetahuan tersebut. Realitas dunia dan strukturnya dapat
dianalisis dan diuraikan, dan pemahaman seseorang akan dihasilkan oleh
proses-proses eksternal dari struktur dunia nyata tersebut, sehingga belajar
merupakan asimilasi obyek-obyek nyata.
Tujuan para perancang dan guru-guru tradisional
adalah menginterpretasikan
kejadian-kejadian nyata yang akan diberikan kepada para siswanya. Pandangan
konstruktivistik mengemukakan bahwa realitas ada pada pikiran seseorang.
Manusia mengkonstruksi dan menginterpretasikannya berdasarkan pengalamannya.
Konstruktivistik mengarahkan perhatiannya pada
bagaimana seseorang mengkonstruksi pengetahuan dari pengalamannya, struktur
mental, dan keyakinan yang digunakan untuk menginterpretasikan obyek dan
peristiwa-peristiwa. Pandangan konstruktivistik mengakui bahwa pikiran
adalah instrumen penting dalam menginterpretasikan kejadian, obyek, dan
pandangan terhadap dunia nyata, di mana interpretasi tersebut terdiri dari
pengetahuan dasar manusia secara individual.
Teori belajar konstruktivistik mengakui bahwa siswa akan
dapat menginterpretasikan informasi ke dalam pikirannya, hanya pada konteks
pengalaman dan pengetahuan mereka sendiri, pada kebutuhan, latar belakang dan
minatnya. Guru dapat membantu siswa mengkonstruksi pemahaman representasi
fungsi konseptual dunia eksternal. Jika hasil belajar dikonstruksi secara
individual, bagaimana mengevaluasinya? Evaluasi belajar pandangan behavioristik
tradisional lebih diarahkan pada tujuan belajar.
Sedangkan pandangan
konstruktivistik menggunakan goal-free
evaluation, yaitu suatu konstruksi untuk mengatasi kelemahan evaluasi
pada tujuan spesifik. Evaluasi akan lebih obyektif jika evaluator tidak diberi
informasi tentang tujuan selanjutnya. Jika tujuan belajar diketahui sebelum
proses belajar dimulai, proses belajar dan evaluasinya akan berat sebelah.
Pemberian kriteria pada evaluasi mengakibatkan pengaturan pada pembelajaran.
Tujuan belajar mengarahkan pembelajaran yang juga akan mengontrol aktifitas
belajar siswa.
Pembelajaran dan evaluasi yang menggunakan kriteria merupakan
prototipe obyektifis/behavioristik, yang tidak sesuai bagi teori
konstruktivistik. Hasil belajar konstruktivistik lebih
tepat dinilai dengan metode evaluasi goal-free. Evaluasi yang digunakan
untuk menilai hasil belajar konstruktivistik, memerlukan proses pengalaman
kognitif bagi tujuan-tujuan konstruktivistik. Bentuk-bentuk
evaluasi konstruktivistik dapat diarahkan pada tugas-tugas autentik,
mengkonstruksi pengetahuan yang menggambarkan proses berpikir yang lebih tinggi
seperti tingkat “penemuan” pada taksonomi Merrill, atau “strategi kognitif”
dari Gagne, serta “sintesis” pada taksonomi Bloom. Juga mengkonstruksi
pengalaman siswa, dan mengarahkan evaluasi pada konteks yang luas dengan
berbagai perspektif.
D.
Konstruksi Pengetahuan Menurut Lev Vygotsky (1896-1934)
Teori belajar kokonstruktivistik merupakan teori belajar
yang di pelopori oleh Lev Vygotsky. Teori
belajar ko-kontruktinvistik atau yang sering
disebut sebagai teori belajar sosiokultur
merupakan teori belajar yang titik tekan utamanya adalah pada bagaimana
seseorang belajar dengan bantuan orang lain dalam
suatu zona keterbatasan dirinya yaitu Zona Proksimal Developmen (ZPD) atau Zona
Perkembangan Proksimal dan mediasi.
Di mana anak dalam perkembangannya membutuhkan orang lain
untuk memahami sesuatu dan memecahkan masalah yang dihadapinya Teori yang juga
disebut sebagai teori konstruksi sosial ini menekankan bahwa intelegensi
manusia berasal dari masyarakat, lingkungan dan budayanya. Teori ini juga
menegaskan bahwa perolehan kognitif individu terjadi
pertama kali melalui interpersonal (interaksi dengan lingkungan sosial)
intrapersonal (internalisasi yang terjadi dalam diri sendiri).
Vygotsky berpendapat bahwa menggunakan alat
berfikir akan menyebabkan terjadinya perkembangan kognitif dalam diri
seseorang. Yuliani (2005: 44) Secara spesifik menyimpulkan bahwa kegunaan alat berfikir menurut Vygotsky adalah :
a.
Membantu memecahkan masalah Alat berfikir mampu membuat
seseorang untuk memecahkan masalahnya. Kerangka berfikir yang terbentuklah yang
mampu menentukan keputusan yang diambil oleh seseorang untuk menyelesaikan
permasalahan hidupnya.
b.
Memudahkan dalam melakukan tindakan Vygotsky berpendapat bahwa alat berfikirlah
yang mampu membuat seseorang mampu memilih tindakan atau perbuatan yang
seefektif dan seefisien mungkin untuk mencapai tujuan.
c.
Memperluas kemampuan Melalui alat kberfikir setiap
individu mampu memperluas wawasan berfikir dengan berbagai aktivitas untuk
mencari dan menemukan pengetahuan yang ada di sekitarnya.
d.
Melakukan sesuatu sesuai dengan kapasitas alaminya.
Semakin banyak stimulus yang diperoleh maka seseorang akan semakin intens
menggunakan alat berfikirnya dan dia akan mampu melakukan sesuatu sesuai dengan
kapasitasnya.
Inti dari teori belajar kokonstruktivistik ini
adalah penggunaan alat berfikir seseorang yang tidak dapat dilepaskan dari
pengaruh lingkungan sosial budayanya. Lingkungan sosial budaya akan
menyebabkan semakin kompleksnya kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu.
Guruvalah berpendapat bahwa teori-teori yang
menyatakan bahwa “siswa itu sendiri yang harus secara pribadi menemukan dan
menerapkan informasi kompleks, mengecek informasi baru dibandingkan dengan
aturan lama dan memperbaiki aturan itu apabila tidak sesuai lagi”. Teori
belajar kokonstruktivistik ini menekankan bahwa perubahan kognitif hanya
terjadi jika konsepsi-konsepsi yang telah dipahami diolah melalui suatu proses
ketidakseimbangan dalam upaya memakai informasi-informasi baru. Teori belajar
kokonstruktivistik meliputi tiga konsep utama, yaitu:
E.
Hukum Genetik tentang Perkembangan
Perkembangan menurut Vygotsky
tidak bisa hanya dilihat dari fakta-fakta atau keterampilan-keterampilan,
namun lebih dari itu, perkembangan seseorang melewati dua tataran. Tataran
sosial (interpsikologis dan intermental) dan tataran psikologis
(intrapsikologis). Di mana tataran sosial dilihat dari tempat terbentuknya
lingkungan sosial seseorang dan tataran psikologis yaitu dari dalam diri orang
yang bersangkutan.
Teori kokonstruktivistik menenpatkan intermental atau lingkungan sosial sebagai faktor primer dan konstitutif terhadap pembentukan
pengetahuan serta perkembangan kognitif seseorang. Fungsi-fungsi mental yang
tinggi dari seseorang diyakini muncul dari kehidupan sosialnya. Sementara itu, intramental dalam hal ini dipandang sebagai derivasi atau turunan yang terbentuk melalui
penguasaan dan internalisasi terhadap proses-proses sosial tersebut, hal ini
terjadi karena anak baru akan memahami makna dari kegiatan sosial apabila telah
terjadi proses internalisasi.
Oleh sebab itu belajar dan berkembang satu kesatuan yang
menentukan dalam perkembangan kognitif seseorang. Seperti yang dikutip oleh Yuliani (2005: 44) Vygotsky
meyakini bahwa kematangan merupakan prasyarat untuk kesempurnaan berfikir. Secara
spesifik, namun demikian ia tidak yakin bahwa kematangan yang terjadi secara
keseluruhan akan menentukan kematangan selanjutnya.
1.
Zona
Perkembangan Proksimal
Zona Perkembangan Proksimal/Zona Proximal Development
(ZPD) merupakan konsep utama yang paling mendasar dari teori belajar
konstruktivistik Vygotsky. Dalam Luis C. Moll (1993: 156-157), Vygotsky berpendapat bahwa setiap anak dalam suatu
domain mempunyai ‘level perkembangan aktual’ yang dapat dinilai dengan menguji
secara individual dan potensi terdekat bagi
perkembangan domain dalam tersebut. Vygotsky
mengistilahkan perbedaan ini berada di antara dua level Zona Perkembangan
Proksimal, Vygotsky mendefinisikan Zona Perkembangan Proksimal sebagai jarak
antara level perkembangan aktual seperti yang ditentukan untuk memecahkan
masalah secara individu dan level perkembangan potensial seperti yang
ditentukan lewat pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau dalam
kolaborasi dengan teman sebaya yang lebih mampu.
Secara jelas Vygotsky memberikan pandangan yang matang
tentang konsep tersebut seperti yang dikutip oleh Luis C. Moll (1993:
157): Zona Perkembangan Proksimal
mendefinisikan fungsi-fungsi tersebut yang belum pernah matang, tetapi dalam
proses pematangan. Fungsifungsi tersebut akan matang dalam situasi embrionil
pada waktu itu. Fungsi-fungsi tersebut dapat diistilahkan sebagai “kuncup” atau
“bunga” perkembangan yang dibandingkan dengan “buah” perkembangan.
Yuliani (2005: 45) mengartikan “Zona Perkembangan
Proksimal sebagai fungsi-fungsi atau kemampuan yang belum matang yang masih
berada pada proses pematangan”. Karena
fungsi-fungsi yang belum matang ini maka anak membutuhkan orang lain untuk
membantu proses pematangannya. Sedangkan I Gusti Putu Suharta dalam makalahnya
berpendapat bahwa :
Zone of Proximal Development (ZPD) merupakan
jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai
kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial
yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang
dewasa atau melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu.
Zona Perkembangan
Proksimal terdekat adalah ide
bahwa siswa belajar konsep paling baik apabila konsep itu
berada pada zona perkembangan terdekat mereka (Guruvalah).
Sedangkan Marysia (2003) dalam makalahnya menyatakan bahwa “ZPD merupakan suatu
wilayah aktifitas-aktifitas di mana individu dapat mengemudikan dengan
kawan-kawan sebaya, orang-orang dewasa, ataupun orang yang lebih ahli yang
memiliki kemampuan lebih”. Pandangan Vygotsky tentang interaksi antara kawan
sebaya dan pencontohan adalah cara-cara penting untuk memfasilitasi
perkembangan kognitif individu dan kemahiran pengetahuan.
Dalam makalah
lain, Julia
berpendapat bahwa “ZPD merupakan level perkembangan yang dicapai
ketika anak-anak ikut serta dalam tingkah laku sosial”. Hal ini dapat diartikan
bahwa perkembangan penuh ZPD tergantung pada interaksi sosial yang penuh, di
mana keahlian dapat diperoleh dengan bimbingan oraang dewasa atau
kolaborasi antar kawan sebaya
ataupun orang yang lebih faham melampaui apa yang
difahaminya. Dalam Yuliani (2005: 45)
Vygotsky mengemukakan ada empat tahapan PD yang terjadi dalam perkembangan dan
pembelajaran, yaitu :
Tahap 1 : Tindakan anak masih dipengaruhi atau dibantu
orang lain. Seorang anak yang masih dibantu memakai baju, sepatu dan kaos
kakinya ketika akan berangkat ke sekolah ketergantungan anak pada orang tua dan
pengasuhnya begitu besar, tetapi ia suka memperhatikan cara kerja yang
ditunjukkan orang dewasa
Tahap 2 : Tindakan anak yang didasarkan atas
inisiatif sendiri. Anak mulai berkeinginan untuk mencoba memakai baju, sepatu
dan kaos kakinya sendiri tetapi masih sering keliru memakai sepatu antara kiri
dan kanan. Memakai bajupun masih membutuhkan waktu yang lama karena keliru
memasangkan kancing.
Tahap 3 : Tindakan anak berkembang spontan dan
terinternalisasi. Anak mulai melakukan sesuatu tanpa adanya perintah dari orang
dewasa. Setiap pagi sebelum berangkat ia sudah mulai faham tentang apa saja
yang harus dilakukannya, misalnya memakai baju kemudian kaos kaki dan sepatu.
Tahap 4 : Tindakan anak spontan akan terus
diulang-ulang hingga anak siap untuk berfikir abstrak. Terwujudnya perilaku
yang otomatisasi, anak akan segera dapat melakukan sesuatu tanpa contoh tetapi
didasarkan pada pengetahuannya dalam mengingat urutan suatu kegiatan. Bahkan ia
dapat menceritakan kembali apa yang dilakukannya saat ia hendak berangkat ke
sekolah.
Pada empat tahapan ini dapat disimpulkan bahwa. Seseorang
akan dapat melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak bisa dia lakukan dengan
bantuan yang diberikan oleh orang dewasa maupun teman sebayanya yang lebih
berkompeten terhadap hal tersebut.
2.
Mediasi
Mediasi merupakan tanda-tanda
atau lambang-lambang yang digunakan seseorang untuk memahami sesuatu di luar
pemahamannya. Ada dua jenis mediasi yang dapat mempengaruhi pembelajaran
yaitu, (1) tema mediasi semiotik di mana tanda-tanda atau lambang-lambang yang
digunakan seseorang untuk memahami sesuatu diluar pemahamannya ini didapat dari
hal yang belum ada di sekitar kita, kemudian dibuat oleh orang yang lebih faham
untuk membantu mengkontruksi pemikiran kita dan akhirnya kita menjadi faham
terhadap hal yang dimaksudkan; scoffalding di
mana tanda-tanda atau lambang-lambang yang digunakan seseorang untuk memahami
sesuatu di luar pemahamannya ini didapat dari hal yang memang sudah ada di
suatu lingkungan, kemudian orang yang lebih faham tentang tanda-tanda atau
lambang-lambang tersebut akan membantu menjelaskan kepada orang yang belum
faham sehingga menjadi faham terhadap hal yang dimaksudkan.
Kunci utama untuk memahami proses sosial psikologis
adalah tanda-tanda atau lambang-lambang yang berfungsi sebagai mediator.
Tanda-tanda atau lambang-lambang tersebut sebenarnya merupakan produk dari
lingkungan sosiokultural di mana seseorang berada. Untuk memahami alat-alat
mediasi ini, anak-anak dibantu oleh guru, orang dewasa maupun teman sebaya yang
lebih faham. Wertsch dalam Yuliana (2005: 45-46)
berpendapat bahwa: Mekanisme hubungan antara pendekatan
sosiokultural dan fungsifungsi mental didasari oleh tema mediasi semiotik.
Artinya tanda atau lambang beserta makna yang terkandung di dalamnya berfungsi
sebagai penghubung antara rasionalitas-sosiokultural (intermental) dengan
individu sebagai tempat berlangsungnyaa proses mental.
Berdasarkan teori Vygotsky,
Yuliani (2005: 46) menyimpulkan beberapa hal yang perlu untuk
diperhatikan dalam proses pembelajaran, yaitu:
a.
Dalam kegiatan pembelajaran hendaknya anak memperoleh
kesempatan yang luas untuk mengembangkan zona perkembangan proksimalnya atau
potensinya melalui belajar dan berkembang.
b.
Pembelajaran perlu dikaitkan dengan tingkat perkembangan
potensialnya dari pada perkembangan aktualnya.
c.
Pembelajaran lebih diarahkan pada penggunaan strategi
untuk mengembangkan kemampuan intermentalnya daripada kemampuan intramentalnya.
d.
Anak diberikan kesempatan yang luas untuk
mengintegrasikan pengetahuan deklaratif yang telah dipelajarinya dengan
pengetahuan prosedural untuk melakukan tugas-tugas dan memecahkan masalah
e.
Proses Belajar dan pembelajaran tidak sekedar bersifat
transferal tetapi lebih merupakan ko-konstruksi Dalam teori belajar
kokonstruktivistik ini, pengetahuan yang dimiliki seseorang berasal dari
sumber-sumber sosial yang terdapat di luar dirinya. Untuk mengkonstruksi
pengetahuan, diperlukan peranan aktif dari orang tersebut. Pengetahuan dan
kemampuan tidak datang dengan sendirinya, namun harus diusahakan dan
dipengaruhi oleh orang lain.
Prinsip-prinsip utama teori belajar kokonstruktivistik
yang banyak digunakan dalam pendidikan menurut Guruvalah :
1)
Pengetahuan dibangun oleh siswa secara aktif
2)
Tekanan proses belajar mengajar terletak pada Siswa
3)
Mengajar adalah membantu siswa belajar
4)
Tekanan dalam proses belajar lebih pada proses dan bukan
pada hasil belajar
5)
Kurikulum menekankan pada partisipasi siswa
6)
Guru adalah fasilitator Dapat disimpulkan bahwa dalam
teori belajar kokonstruktivistik, proses belajar tidak dapat dipisahkan dari
aksi (aktivitas) dan interaksi, karena persepsi dan aktivitas berjalan seiring
secara dialogis.
Belajar merupakan proses penciptaan makna sebagai hasil
dari pemikiran individu melalui interaksi dalam
suatu konteks sosial. Dalam hal ini, tidak ada perwujudan dari suatu kenyataan
yang dapat dianggap lebih baik atau benar. Vygotsky
percaya bahwa beragam perwujudan dari kenyataan digunakan untuk beragam tujuan
dalam konteks yang berbeda-beda. Pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari aktivitas
di mana pengetahuan itu dikonstruksikan, dan di mana makna diciptakan, serta
dari komunitas budaya di mana pengetahuan didiseminasikan dan diterapkan.
Melalui aktivitas, interaksi sosial, tersebut penciptaan makna terjadi.
F.
Perbandingan Pembelajaran Tradisional (Behavioristik) dan
Pembelajaran konstruktivistik
Proses pembelajaran akan efektif jika diketahui inti
kegiatan belajar yang sesungguhnya. Pada bagian ini akan dibahas ciri-ciri
pembelajaran tradisional atau behavioristik dan ciri-ciri pembelajaran
konstruktivistik. Kegiatan pembelajaran yang selama ini berlangsung, yang
berpijak pada teori behavioristik, banyak didominasi oleh guru.
Guru menyampaikan materi pelajaran melalui ceramah,
dengan harapan siswa dapat memahaminya dan memberikan respon sesuai dengan
materi yang diceramahkan. Dalam pembelajaran, guru banyak menggantungkan pada
buku teks. Materi yang disampaikan sesuai dengan urutan isi buku teks.
Diharapkan siswa memiliki pandangan yang sama dengan guru, atau sama dengan
buku teks tersebut. Alternatif-alternatif perbedaan interpretasi di antara
siswa terhadap fenomena sosial yang kompleks tidak dipertimbangkan.
Siswa belajar dalam isolasi, yang mempelajari kemampuan
tingkat rendah dengan cara melengkapi buku tugasnya setiap hari. Ketika
menjawab pertanyaan siswa, guru tidak mencari kemungkinan cara pandang siswa
dalam menghadapi masalah, melainkan melihat apakah siswa tidak memahami sesuatu
yang dianggap benar oleh guru. Pengajaran didasarkan pada gagasan atau
konsep-konsep yang sudah dianggap pasti atau baku, dan siswa harus memahaminya.
Pengkonstruksian pengetahuan baru oleh siswa tidak dihargai sebagai kemampuan
penguasaan pengetahuan.
Berbeda dengan bentuk pembelajaran di atas, pembelajaran
konstruktivistik membantu siswa menginternalisasi dan mentransformasi informasi
baru. Transformasi terjadi dengan menghasilkan pengetahuan baru yang
selanjutnya akan membentuk struktur kognitif baru. Pendekatan konstruktivistik
lebih luas dan sukar untuk dipahami. Pandangan ini tidak melihat pada apa yang
dapat diungkapkan kembali atau apa yang dapat diulang oleh siswa terhadap
pelajaran yang telah diajarkan dengan cara menjawab soal-soal tes (sebagai
perilaku imitasi), melainkan pada apa yang dapat dihasilkan siswa,
didemonstrasikan, dan ditunjukkannya.
Pada pembelajaran konstruktivistik, siswa yang diharapkan
memiliki peran optimal. Selain itu siswa juga diharapkan untuk dapat
berkolaborasi dengan orang lain untuk mencapai kemampuan yang optimal. Menurut Vygotsky sebagai salah satu tokoh penghusung teori ini, Perubahan mental anak
tergantung pada proses sosialnya yaitu bagaimana anak berinteraksi dengan
lingkungan sosialnya. Lingkungan sosial yang menguntungkan anak adalah
orang-orang dewasa atau anak yang lebih mampu yang dapat memberi penjelasan
tentang segala sesuatu sesuai dengan kebutuhan anak yang sedang belajar.
Siswa dalam pembelajaran konstruktivistik di abad 21
(ISTE dalam smaldino, dkk, 2010) dituntut untuk:
1.
memiliki kreativitas dan inovasi,
2.
dapat berkomunikasi dan bekerja sama dengan orang lain,
3.
menggunakan kemampuannya untuk mencari informasi dan
menganalisis informasi yang dia dapatkan,
4.
berpikir kritis dalam memecahkan masalah ataupun dalam
membuat keputusan,
5.
memahami konsep-konsep dalam perkembangan teknologi dan
mampu mengoperasikannya. Pembelajaran konstruktivistik meyakini bahwa setiap
siswa adalah istimewa, setiap siswa unik dan setiap siswa adalah
manusia-manusia special yang memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
Oleh sebab itu, siswa harus dilihat dan dipahami secara
menyeluruh bukan hanya dari apa yang tanpak saja. Seperti penuturan Lev
Vygotsky, jalan pikiran seseorang harus dimengerti dari latar sosial dan
budayanya bukan dari apa yang ada dibalik otaknya semata. Selain itu, Vygotsky
(Collin,2012) juga menekankan bahwa kita menjadi dirikita sendiri melalui orang
lain. Aplikasi teori Vygotsky yang paling terkenal
adalah model pembelajaran colaboratif.
Selain itu, contoh aplikasi teori konstruktivistik dalam
proses pembelajaran modern adalah berkembangnya pembelajaran dengan web (web
learning) dan pembelajaran melalui social media (social media learning). Dalam
Smaldino, dkk (2012) dijelaskan bahwa pembelajaran pada abad ke 21 telah banyak
mengalami perubahan, intergrasi internet dan social media memberikan perspektif
baru dalam pembelajaran.
Pembelajaran dengan social media memberikan
kesempatan kepada siswa untuk berinteraksi, berkolaborasi, berbagi informasi
dan pemikiran secara bersama. Sama halnya dengan pembelajaran melalui social
media,pembelajaran melalui web juga memberikan
kesempatan kepada siswa untuk melengkapi satu atau lebih tugas melalui jaringan
internet. Selain itu juga dapat melakukan pembelajaran kelompok dengan
menggunakan fasilitas internet seperti google share.
Model pembelajaran melalui web maupun social media ini
sejalan dengan teori konstruktivistik, dimana siswa adalah pembelajar yang
bebas yang dapat menentukan sendiri kebutuhan belajarnya.
Secara rinci perbedaan karakteristik antara pembelajaran
tradisional atau behavioristik dan pembelajaran konstruktivistik adalah sebagai
berikut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar