MODUL
AKIDAH KB 4 PPG PAI
URAIAN MATERI
A.
PENGERTIAN QADHA DAN QADAR
Kita sejak lama menggunakan kata “qadha” dan
“qadar”. kepercayaan terhadap konsep kata ini juga merupakan salah satu rukun
iman dalam agama Islam. Kita sering menggunakan kedua kata itu secara
bergantian untuk sebuah pengertian yang sama. Tetapi ulama menyimpan penjelasan
kedua kata tersebut yang mengandung pengertian berbeda.
Di samping memiliki pengertian berbeda, kata
“qadha” dan “qadar” juga dipahami secara berbeda oleh para ulama tauhid atau
mutakallimin. Dengan kata lain, kelompok Asyariyyah, kelompok Maturidiyyah, dan
sejumlah kelompok ulama lainnya berbeda pendapat perihal pengertian kata
“qadha” dan “qadar”. Imam Nawawi mengatakan bahwa:
اختلفوا في معنى القضاء والقدر فالقضاء عند الأشاعرة إرادة الله الأشياء في الأزل على ما هي عليه في غير الأزل والقدر عندهم إيجاد الله الأشياء على قدر مخصوص على وفق الإرادة
“Ulama tauhid atau mutakallimin berbeda
pendapat perihal makna qadha dan qadar. Qadha menurut ulama Asy’ariyyah adalah
kehendak Allah atas sesuatu pada azali untuk sebuah ‘realitas’ pada saat
sesuatu di luar azali kelak. Sementara qadar menurut mereka adalah penciptaan
(realisasi) Allah atas sesuatu pada kadar tertentu sesuai dengan kehendak-Nya
pada azali.”
Iman kepada Qadla dan Qadar adalah termasuk
pokok-pokok iman yang enam (Ushûl al-Îmân as-Sittah) yang wajib kita percayai
sepenuhnya. Belakangan ini telah timbul beberapa orang atau beberapa kelompok
yang mengingkari Qadla dan Qadar dan berusaha mengaburkannya, baik melalui
tulisan-tulisan, maupun di bangku-bangku kuliah. Tentang kewajiban iman kepada
Qadla dan Qadar, dalam sebuah hadits shahih Rasulullah bersabda:
“Iman ialah engkau percaya kepada Allah,
Malaikat-Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari akhir, dan engkau
percaya kepada Qadar Allah, yang baik maupun yang buruk”. (HR. Muslim).
Al-Qadlā
maknanya al-Khalq, artinya penciptaan, dan al-Qadar maknanya at-Tadbīr, artinya
ketentuan. Secara istilah al-Qadar artinya ketentuan Allah atas
segala sesuatu sesuai dengan pengetahuan (al-‘Ilm) dan kehendak-Nya
(al-Masyī’ah) yang Azali (tidak bermula), di mana sesuatu tersebut kemudian
terjadi pada waktu yang telah ditentukan dan dikehendaki oleh-Nya terhadap
kejadiannya.
Penggunaan kata “al-Qadar” terbagi kepada dua bagian, yaitu: pertama; Kata alQadar bisa bermaksud bagi sifat “Taqdīr” Allah,
yaitu sifat menentukannya Allah terhadap segala sesuatu yang ia kehendakinya.
al-Qadar dalam pengertian sifat “Taqdīr” Allah ini tidak boleh kita sifati
dengan keburukan dan kejelekan, karena sifat menentukan Allah terhadap segala
sesuatu bukan suatu keburukan atau kejelekan, tetapi sifat menentukannya Allah
terhadap segala sesuatu yang Ia kehendakinya adalah sifat yang baik dan
sempurna, sebagaimana sifat-sifat Allah lainnya. Sifat-sifat Allah tersebut
tidak boleh dikatakan buruk, kurang, atau sifat-sifat jelek lainnya. Kedua; Kata al-Qadar dapat bermaksud
bagi segala sesuatu yang terjadi pada makhluk, atau disebut dengan al-Maqdūr.
Al-Qadar dalam pengertian al-Maqdūr ini ialah mencakup segala apapun yang
terjadi pada seluruh makhluk ini; dari keburukan dan kebaikan, kesalehan dan
kejahatan, keimanan dan kekufuran, ketaatan dan kemaksiatan, dan lain-lain.
Dalam makna yang kedua inilah yang dimaksud
oleh hadits Jibril di atas, “Wa Tu-mina
Bi al-Qadar; Khayrih wa Syarrih”. Al-Qadar dalam hadits ini adalah dalam
pengertian al-Maqdūr. Pemisahan makna antara sifat Taqdîr Allah dengan
al-Maqdûr adalah sebuah keharusan. Hal ini karena sesuatu yang disifati dengan
baik dan buruk, atau baik dan jahat, adalah hanya sesuatu yang ada pada makhluk
saja. Artinya, siapa yang melakukan kebaikan maka perbuatannya tersebut disebut
“baik”, dan siapa yang melakukan keburukan maka perbuatannya tersebut disebut
“buruk”, dengan demikian penyebutan kata “baik” dan “buruk” seperti ini hanya
berlaku pada makhluk saja.
Adapun sifat Taqdîr Allah, yaitu sifat
menentukan Allah terhadap segala sesuatu yang Ia kehendakinya, maka sifat-Nya
ini tidak boleh dikatakan buruk. Sifat Taqdīr Allah ini, sebagaimana
sifat-sifat-Nya yang lain, adalah sifat yang baik dan sempurna, tidak boleh
dikatakan buruk atau jahat. Dengan demikian, bila seorang hamba melakukan
keburukan, maka itu adalah perbuatan dan sifat yang buruk dari hamba itu
sendiri. Adapun Taqdīr Allah terhadap keburukan yang terjadi pada hamba itu
bukan berarti bahwa Allah menyukai dan memerintahkan hamba itu kepada keburukan
tersebut.
Demikian pula, ketika kita katakan; Allah
yang menciptakan kejahatan, bukan berarti bahwa Allah itu jahat. Inilah yang
dimaksud bahwa kehendak Allah meliputi segala perbuatan hamba, terhadap yang
baik maupun yang buruk. Segala perbuatan
yang terjadi pada alam ini, baik kekufuran dan keimanan, ketaatan dan
kemaksiatan, dan berbagai hal lainnya, semunya terjadi dengan kehendak dan
dengan penciptaan Allah.
Hal ini menunjukan akan kesempurnaan Allah,
serta menunjukan akan keluasan dan ketercakupan kekuasaan dan kehendak-Nya atas
segala sesuatu. Karena apa bila pada makhluk ini ada sesuatu yang terjadi yang
tidak dikehendaki kejadiannya oleh Allah, maka berarti hal itu menafikan sifat
ketuhanan-Nya, karena dengan demikian berarti kehendak Allah dikalahkan oleh
kehendak makhluk-Nya. Tentu, ini adalah sesuatu yang mustahil terjadi. Karena
itu dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda:
“Apa yang dikehendaki oleh Allah -akan
kejadiannya- pasti terjadi, dan apa yang tidak dikehandaki oleh-Nya maka tidak
akan pernah terjadi”. (HR. Abu Dawud).
Dengan demikian segala apapun yang dikehendaki oleh Allah
terhadap kejadiannya maka semua itu pasti terjadi. Karena bila ada sesuatu yang
terjadi di luar kehendak-Nya, maka hal itu menunjukkan akan kelemahan, padahal
sifat lemah itu mustahil bagi Allah. Bukankah Allah maha kuasa?! Maka di antara
bukti kekuasaannya adalah bahwa segala sesuatu yang dikehendaki-Nya pasti
terlaksana. Oleh karena itu, dari sudut pandang syara’ dan akal, terjadinya
segala sesuatu yang dikehendaki oleh Allah akan kejadiannya adalah perkara yang
wajib adanya. Dalam hal ini Allah berfirman:
“Allah maha mengalahkan (menang) di atas
segala urusan-Nya”. (Artinya, segala sesuatu yang dikehendaki oleh Allah pasti
akan terjadi, tidak ada siapapun yang menghalangi-Nya”. (QS. Yusuf: 21).
Allah menghendaki orang-orang mukmin dengan ikhtiar
mereka untuk beriman kepada-Nya, maka mereka menjadi orang-orang yang beriman.
Dan Allah menghendaki orangorang kafir dengan ikhtiar mereka untuk kufur
kepada-Nya, maka mereka semua menjadi orang-orang yang kafir. Seandainya Allah
berkehendak semua makhluk-Nya beriman kepadaNya, maka mereka semua pasti
beriman kepada-Nya. Allah berfirman:
“Dan seandainya Tuhanmu (Wahai Muhammad)
berkehendak, niscaya seluruh yang ada di bumi ini akan beriman”. (QS. Yunus:
99).
Tetapi Allah tidak menghendaki semuanya
beriman kepada-Nya. Namun demikian Allah memerintah mereka semua untuk beriman
kepada-Nya. Maka di sini harus dipahami, bahwa “kehendak Allah” dan “perintah
Allah” adalah dua hal berbeda. Tidak segala sesuatu yang dikehendaki oleh Allah
adalah sesuatu yang diperintah oleh-Nya, dan tidak segala sesuatu yang
diperintah oleh Allah adalah sesuatu yang dikehendaki oleh-Nya.
Perkataan sebagian orang “Segala sesuatu
adalah atas perintah Allah”, atau “Banyak sekali perbuatan kita yang tidak
dikehendaki oleh Allah (ia bermaksud kemaksiatan-kemaksiatan)”, adalah
perkataan yang salah, karena Allah tidak memerintahkan kepada
perbuatan-perbuatan maksiat atau kekufuran. Benar, kejadian kemasiatan atau
kekufuran tersebut adalah dengan kehendak Allah, tetapi Allah tidak memerintah kepadanya.
Dengan demikian perkataan yang benar ialah;
“Segala sesuatu yang terjadi di alam ini adalah dengan kehendak Allah, dengan
Taqdir-Nya dan dengan Ilmu-Nya. Kebaikan terjadi dengan kehendak Allah, dengan
Taqdir-Nya, dengan Ilmu-Nya, serta kebaikan ini juga dengan perintah-Nya,
Mahabbah-Nya, dan dengan keridlaan-Nya.
Sementara keburukan terjadi dengan kehendak
Allah, dengan Taqdir-Nya, dan dengan Ilmu-Nya, tapi tidak dengan perintah-Nya,
tidak dengan Mahabbah-Nya, dan tidak dengan keridlaan-Nya”. Artinya keburukan,
kejahatan, atau kemaksiatan tidak disukai dan tidak diridlai oleh Allah. Dengan
kata lain, segala sesuatu terjadi dengan kehendak Allah, akan tetapi tidak
semuanya dengan perintah Allah.
Di antara bukti yang menunjukan bahwa
perintah Allah berbeda dengan kehendak-Nya adalah apa yang terjadi dengan Nabi
Ibrahim. Beliau diberi wahyu lewat mimpi untuk menyembelih putranya; Nabi
Isma’il. Hal ini merupakan perintah dari Allah atas Nabi Ibrahim. Kemudian saat
Nabi Ibrahim hendak melaksanakan apa yang diperintahkan Allah ini, bahkan telah
meletakan pisau yang sangat tajam dan menggerak-gerakannya di atas leher Nabi
Isma’il, namun Allah tidak berkehendak terjadinya sembelihan terhadap Nabi
Isma’il tersebut. Kemudian Allah mengganti Nabi Isma’il dengan seekor domba
yang bawa oleh Malaikat Jibril dari surga. Peristiwa ini menunjukan perbedaan
yang sangat nyata antara “perintah Allah” dan “kehendak-Nya”.
Contoh lainnya, Allah memerintah kepada
seluruh hamba-hamba-Nya untuk beribadah kepada-Nya, akan tetapi Allah
berkehendak tidak semua hamba tersebut beribadah kepada-Nya. Karenanya, ada
sebagian mereka yang dikehendaki oleh Allah untuk menjadi orang-orang beriman,
dan ada sebagian lainnya yang dikehendaki oleh Allah menjadi orangorang kafir.
Allah berfirman:
“Dan tidaklah Aku (Allah) ciptakan manusia
dan jin melainkan Aku “perintahkan” mereka untuk menyembah-Ku”. (QS.
adz-Dzariyat: 56).
Makna firman Allah “illā lī-ya’budūn” dalam
ayat di atas artinya “illā lī-‘āmurahum bi ‘ibādatī”, artinya bahwa Allah
menciptakan manusia dan jin tidak lain ialah untuk Dia perintah mereka agar
beribadah kepada-Nya. Makna ayat ini bukan “Aku (Allah) ciptakan manusia dan
jin melainkan aku berkehendak pada mereka untuk menyembah-Ku”. Karena jika
diartikan bahwa Allah berkehendak dari seluruh manusia dan jin untuk beriman
atau beribadah kepada-Nya, maka berarti kehendak Allah dikalahkan oleh kehendak
orang-orang kafir, karena pada kenyataannya tidak semua hamba beriman dan
beribadah kepada Allah, tapi ada di antara mereka yang kafir dan menyembah
selain Allah. Tentunya mustahil jika kehendak Allah dikalahkan oleh kehendak
makhluk-makhluk-Nya sendiri. Syekh M Nawawi Banten memberikan contoh konkret
qadha dan qadar menurut kelompok Asyariyyah. Qadha adalah putusan Allah pada
azali bahwa kelak kita akan menjadi apa. Sementara qadar adalah realisasi Allah
atas qadha terhadap diri kita sesuai kehendak-Nya.
فإرادة الله المتعلقة أزلا بأنك تصير عالما قضاء وإيجاد العلم فيك بعد وجودك على وفق الإرادة قدر
“Kehendak Allah yang berkaitan pada azali,
misalnya kau kelak menjadi orang alim atau berpengetahuan adalah qadha.
Sementara penciptaan ilmu di dalam dirimu setelah ujudmu hadir di dunia sesuai
dengan kehendak-Nya pada azali adalah qadar,”
Sedangkan bagi kelompok Maturidiyyah, qadha
dipahami sebagai penciptaan Allah atas sesuatu disertai penyempurnaan sesuai
ilmu-Nya. Dengan kata lain, qadha adalah batasan yang Allah buat pada azali
atas setiap makhluk dengan batasan yang ada pada semua makhluk itu seperti
baik, buruk, memberi manfaat, menyebabkan mudarat, dan seterusnya. Singkat
kata, qadha adalah ilmu azali Allah atas sifat-sifat makhluk-Nya.
Ada lagi ulama yang berpendapat bahwa qadha adalah ilmu
azali Allah dalam kaitannya dengan materi yang diketahui oleh-Nya. Sementara
qadar adalah penciptaan Allah atas sesuatu sesuai dengan ilmu-Nya. Jadi, ilmu
Allah pada azali bahwa si A kelak akan menjadi ulama atau ilmuwan adalah qadha.
Sedangkan penciptaan ilmu pada diri si A setelah ia diciptakan adalah qadar,
Imam Nawami menyatakan bahwa:
وقول الأشاعرة هو المشهور وعلى كل فالقضاء قديم والقدر حادث بخلاف قول الماتريدية وقيل كل منهما بمعنى إرادته تعالى
“Pandangan ulama Asy’ariyyah cukup masyhur. Atas setiap pandangan itu, yang jelas qadha itu qadim (dulu tanpa awal). Sementara qadar itu hadits (baru). Pandangan ini berbeda dengan pandangan ulama Maturidiyyah. Ada ulama berkata bahwa qadha dan qadar adalah pengertian dari kehendak-Nya.”
Hanya saja yang perlu diperhatikan adalah
bahwa qadha merupakan sesuatu yang ghaib. Oleh karena itu, dalam tradisi
ahlussunnah wal jamaah keyakinan kita atas qadha dan qadar itu tidak boleh
menjadi alasan kita untuk bersikap pasif. Tradisi ahlussunnah wal jamaah justru
mendorong kita untuk melakukan ikhtiar dan upaya-upaya manusiawi serta
mendayagunakan secara maksimal potensi yang Allah anugerahkan kepada manusia
sambil tetap bersandar memohon inayah-Nya. Misalnya, pada usia belasan dalam
tradisi Islam Nusantara sering mendengar doa dan sedekah sebagai tolak bala.
B.
TAKDIR: MUBRAM DAN MUALLAQ
Di atas telah dijelaskan bahwa segala sesuatu terjadi
dengan kehendak Allah. Apa bila Allah menghendaki sesuatu akan terjadi pada
seorang hamba-Nya, maka pasti sesuatu itu akan menimpanya, sekalipun orang
tersebut bersedekah, berdoa, bersilaturrahim, dan berbuat baik kepada sanak
kerabatnya; kepada ibunya, dan saudara-saudaranya, atau lainnya. Artinya, apa
yang telah ditentukan oleh Allah tidak dapat dirubah oleh amalan-amalan
kebaikan bentuk apapun. Adapun hadits Rasulullah yang berbunyi:
“Tidak ada sesuatu yang dapat menolak Qadla kecuali doa” (HR. at-Tirmidzi).
“Tidak ada sesuatu yang dapat menolak Qadla kecuali doa” (HR. at-Tirmidzi).
Qadla di dalam hadits di atas adalah Qadlā
Mu’allaq. Di sini harus kita ketahui bahwa Qadla
terbagi kepada dua bagian: Qadlā Mubram dan Qadlā Mu’allaq.
Pertama:
Qadlā Mubram, ialah ketentuan Allah
yang pasti terjadi dan tidak dapat berubah. Ketentuan ini hanya ada pada Ilmu
Allah, tidak ada siapapun yang mengetahuinya selain Allah sendiri, seperti
ketentuan mati dalam keadaan kufur (asy-Syaqāwah), dan mati dalam keadaan
beriman (asSa’ādah), ketentuan dalam dua hal ini tidak berubah. Seorang yang
telah ditentukan oleh Allah baginya mati dalam keadaan beriman maka itulah yang
akan terjadi baginya, tidak akan pernah berubah. Sebaliknya, seorang yang telah
ditentukan oleh Allah baginya mati dalam keadaan kufur maka pasti itulah pula
yang akan terjadi pada dirinya, tidak ada siapapun, dan tidak ada perbuatan
apapun yang dapat merubahnya. Allah berfirman:
“Allah menyesatkan terhadap orang yang Dia
kehendaki, dan memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki”. (QS. an-Nahl:
93).
Kedua,
Qadlā Mu’allaq, yaitu ketentuan Allah
yang berada pada lambaran-lembaran para Malaikat, yang telah mereka kutip dari
al-Lauh al-Mahfuzh, seperti si fulan apa bila ia berdoa maka ia akan berumur
seratus tahun, atau akan mendapat rizki yang luas, atau akan mendapatkan
kesehatan, dan seterusnya. Namun, misalkan si fulan ini tidak mau berdoa, atau
tidak mau bersillaturrahim, maka umurnya hanya enam puluh tahun, ia tidak akan
mendapatkan rizki yang luas, dan tidak akan mendapatkan kesehatan.
Inilah yang dimaksud dengan Qadlâ Mu’allaq
atau Qadar Mu’allaq, yaitu ketentuan-ketentuan Allah yang berada pada
lebaranlembaran para Malaikat. Dari uraian ini dapat dipahami bahwa doa tidak
dapat merubah ketentuan (Taqdīr) Allah yang Azali yang merupakan sifat-Nya,
karena mustahil sifat Allah bergantung kepada perbuatan-perbuatan atau doa-doa
hamba-Nya. Sesungguhnya Allah maha mengetahui segala sesuatu, tidak ada suatu
apapun yang tersembunyi dari-Nya, dan Allah maha mengetahui perbuatan manakah
yang akan dipilih oleh si fulan dan apa yang akan terjadi padanya sesuai yang
telah tertulis di al-Lauh al-Mahfuzh.
Namun demikian doa adalah sesuatu yang
diperintahkan oleh Allah atas para hamba-Nya. Dalam al-Qur’an Allah berfirman:
“Dan jika hamba-hamba-ku bertanya kepadamu (Wahai Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat (bukan dalam pengertian jarak), Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa jika ia memohon kepada-Ku. Maka hendaklah mereka memohon terkabulkan doa kepada-Ku dan beriman kepada-Ku, semoga mereka mendapatkan petunjuk” (QS. al-Baqarah: 186).
“Dan jika hamba-hamba-ku bertanya kepadamu (Wahai Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat (bukan dalam pengertian jarak), Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa jika ia memohon kepada-Ku. Maka hendaklah mereka memohon terkabulkan doa kepada-Ku dan beriman kepada-Ku, semoga mereka mendapatkan petunjuk” (QS. al-Baqarah: 186).
Ayat di atas menjelaskan bahwa seorang yang
berdoa tidak akan sia-sia belaka. Ia pasti akan mendapatkan salah satu dari
tiga kebaikan; dosa-dosanya yang diampuni, permintaannya yang dikabulkan, atau
mendapatkan kebaikan yang disimpan baginya untuk di kemudian hari kelak. Semua
dari tiga kebaikan ini adalah merupakan kebaikan yang sangat berharga baginya.
Dengan demikian maka tidak mutlak bahwa setiap doa yang dipintakan oleh para
hamba pasti dikabulkan oleh Allah. Akan tetapi ada yang dikabulkan dan ada pula
yang tidak dikabulkan. Yang pasti, bahwa setiap doa yang dipintakan oleh
seorang hamba kepada Allah adalah sebagai kebaikan bagi dirinya sendiri,
artinya bukan sebuah kesia-siaan belaka.
Dalam keadaan apapun, seorang yang berdoa paling
tidak akan mendapatkan salah satu dari kebaikan yang telah kita sebutkan di
atas. Pada nisfyu Sya’ban, dari dulu tradisi Islam Nusantara juga mengajukan
tiga permintaan kepada Allah SWT. Bagaimana memahami semua pengertian itu di
tengah tuntutan keimanan pada takdir? Dari semua itu kemudian tradisi Islam
Nusantara beranggapan bahwa doa bermanfaat bagi putusan atau takdir Allah yang
masih menggantung di Lauh Mahfuzh.
Terkait ini, selanjutnya dikenal dengan
istilah takdir mubram dan takdir muallaq di kalangan tradisi Islam Nusantara.
Doa atau permintaan masyarakat dalam nisfu Syaban atau melalui bentuk sedekah
dipercaya oleh tradisi Islam Nusantara dapat “mengubah” bala yang ditakdirkan
Allah SWT akan menimpa mereka, terutama takdir muallaq yang realisasinya sangat
berkaitan erat dengan doa.
والدعاء ينفع مما نزل ومما لم ينزل وإن البلاء لينزل ويتلقاه الدعاء فيتعالجان إلى يوم القيامة. والدعاء ينفع في القضاء المبرم والقضاء المعلق. أما الثانى فلا استحالة في رفع ما علق رفعه منه على الدعاء ولا في نزول ما علق نزوله منه على الدعاء
“Doa bermanfaat terhadap apa yang datang dan apa yang belum datang (dari langit). Bala pun akan datang dan bertemu dengan doa. Keduanya (bala dan doa) senantiasa ‘berperang’ hingga hari qiamat. Doa bermanfaat pada qadha mubram dan qadha muallaq. Perihal yang kedua (qadha muallaq), maka tidak mustahil menghilangkan apa (putusan) yang penghilangannya digantungkan pada doa dan tidak mustahil mendatangkan apa (putusan) yang penghadirannya digantungkan pada doa.”
Situasi takdir muallaq berlainan dengan
takdir mubram. Doa tidak dapat mengubah kenyataan yang digariskan dalam takdir
mubram. Meskipun demikian, doa dipercaya dapat meminimalisir dampak bala yang
timbul karena takdir mubram.
وأما الأول فالدعاء وإن لم يرفعه لكن الله تعالى ينزل لطفه بالداعى كما إذا قضى عليه قضاء مبرما بأن ينزل عليه صخرة فإذا دعا الله تعالى حصل له اللطف بأن تصير الصخرة متفتتة كالرمل وتنزل عليه
“Adapun perihal pertama (qadha mubram),
(peran) doa meskipun tidak dapat menghilangkan bala, tetapi Allah mendatangkan
kelembutan-Nya untuk mereka yang berdoa. Misalnya, ketika Allah menentukan
qadha mubram kepada seseorang, yaitu kecelakaan berupa tertimpa batu besar,
ketika seseorang berdoa kepada Allah, maka kelembutan Allah datang kepadanya,
yaitu batu besar yang jatuh menimpanya menjadi remuk berkeping-keping sehingga
dirasakan olehnya sebagai butiran pasir saja yang jatuh menimpanya.”
Meskipun takdir terbagi dua, muallaq dan
mubram, kita sebagai manusia tidak mengetahui mana takdir muallaq dan takdir
mubram. Oleh karena itu, ahlusunnah wal jamaah memandang doa sebagai ikhtiar
manusiawi yang tidak boleh ditinggalkan sebagaimana pada umumnya aliran
ahlusunnah wal jamaah memandang perlunya ikhtiar dalam segala hal, bukan
menyerah begitu saja pada putusan takdir. Dari sini, kita dapat memahami tiga
permintaan atau doa yang lazim diamalkan masyarakat Indonesia di malam nisfu
Syaban sebagai bentuk ikhtiar dalam menolak bala dan ikhtiar dalam mendatangkan
kemaslahatan.
وانقسام القضاء إلى مبرم ومعلق ظاهر بحسب اللوح المحفوظ وأما بحسب العلم فجميع الأشياء مبرمة لأنه إن علم الله حصول المعلق عليه حصل المعلق ولا بد وإن علم الله عدم حصوله لم يحصل ولا بد لكن لا يترك الشخص الدعاء اتكالا على ذلك كما يترك الأكل اتكالا على إبرام الله الأمر فى الشبع
“Pembagian qadha menjadi mubram dan muallaq
itu tampak pada Lauh Mahfuzh. Adapun dari sisi ilmu Allah, semua putusan itu
bersifat mubram karena ketika Allah mengetahui datangnya putusan muallaq, maka
hasillah muallaq tersebut, dan tidak boleh tidak ketika Allah mengetahui
ketiadaan putusan muallaq, maka tiadalah muallaq tersebut. Tetapi manusia tiada
jalan lain, seseorang tidak boleh meninggalkan doa hanya karena bersandar pada
putusan qadha tersebut sebagaimana larangan seseorang untuk meinggalkan makan
karena bersandar pada putusan Allah perihal kenyang.”
Sementara aliran muktazilah tidak mempercayai
peran dan manfaat doa karena kata ‘doa’ dalam Al-Quran itu adalah ibadah secara
umum. “Siapa saja yang beribadah, niscaya Allah akan menerimanya,” menurut
mereka. Mereka tidak mengartikan ayat itu demikian, “Siapa saja yang berdoa,
niscaya Allah akan mengabulkannya.”
وأما عند المعتزلة فالدعاء لا ينفع ولا يكفرون بذلك لأنهم لم يكذبوا القرآن كقوله تعالى ادعوني أستجب لكم بل أولوا الدعاء بالعبادة والإجابة بالثواب
“Bagi kalangan Muktazilah, doa tidak
memberikan manfaat. Tetapi mereka tidak jatuh dalam kekufuran dengan pandangan
demikian karena mereka tidak mendustakan AlQuran perihal ini seperti ayat
‘Serulah Aku, niscaya Aku membalasnya.’ Mereka menakwil kata ‘seruan’ dengan
ibadah, dan ‘balasan’ dengan pahala.”
Meskipun demikian, kelompok ahlusunnah wal
jamaah Asy’ariyah tidak menempatkan aliran muktazilah ke dalam aliran kufur
karena mereka masih meyakini Al-Quran sebagai wahyu Allah. Semua pengertian
yang diangkat oleh pendukung kelompok ahlusunnah wal jamaah Asy’ariyah ini
dimaksudkan agar umat Islam tidak salah paham menempatkan signifikansi doa,
peran ikhtiar manusia, dan dapat meningkatkan keimanan terhadap takdir di
tengah peran atau ikhtiar manusiawi. Semua ini dijelaskan oleh pendukung
kelompok ahlusunnah wal jamaah asy’ariyah agar masyarakat sunni tidak bersikap
su'ul adab dan su'uzzhan kepada Allah.
C.
KEBEBASAN MANUSIA DAN TAKDIR
Hampir setiap orang menginginkan kemauannya
terwujud baik itu kemauan baik maupun kemauan buruk. Hanya saja ada kemauan
tertentu yang dapat terwujud dengan syaratsyarat tertentu. Di sini hukum
kausalitas berlaku. Tetapi ada juga kemauan orang-orang tertentu yang terwujud
tanpa bergantung pada syarat apapun. Meski demikian, kemauan yang terwujud itu
tak mungkin bersalahan dengan takdir Allah SWT sebagai tampak pada hikmah
berikut ini.
سوابق الهمم لا تخرق أسوار الأقدار
“Kemauan keras tak bisa menerobos pagar takdir.”
Kalau mau dipetakan, menurut Syekh Zarruq
kemauan manusia terdiri atas tiga macam. Pertama, ada kemauan yang tinggal
kemauan tanpa upaya dan tanpa hasil. Kemauan seperti ini kerap kali kita dapati
melekat pada banyak orang di sekitar kita terutama pada kebaikan sehingga kita
sering mendengar orang mengatakan, ‘Saya sebenarnya ingin sekali menghadiri
majelis taklim, menuntut ilmu,’ tanpa ada upaya riil. Kedua, kemauan kuat yang
diiringi usaha nyata dengan atau tanpa hasil. Ini kita temukan pada pegawai
kantoran, petani, nelayan, pemulung, pengusaha, dan seterusnya. Ketiga, kemauan
kuat tanpa upaya, tetapi membawa hasil. Kemauan seperti ini jarang kita temukan
karena kemauan seperti ini hanya dimiliki oleh para rasul, wali Allah, dan para
wali setan seperti penyihir dan lain sebagainya.
قلت: بل تدور مع القدر كيفما دار، حسبما دلت عليه العقول وقضايا الشرع والنقول، فقد قال . وقال صلى الله عليه وسلم كل شيء بقضاء وقدر ً را ِدَتْقُ م ٍءْيَ ش ِّلُ ى ك َلَ ع ُ َّ اللَّ َ ان َكَ الله تعالى و حتى العجز والكيس. وأنواع الهمم ثلاثة: الهمم القواصر: وهي التى تقتضى العزم والحزم من غير فعل ولا انفعال. والهمم المتوسطة وهي التى توجب مع العزم فعلا ومع الحزم كمالا، سواء وقع انفعال أم لا. والهمم السوابق وهي قوى النفس الفعالة فى الوجود بلا توقف كما يكون من العائن عن خبثة ومن الساحر عن عقده ونفثه ومن المتريض عن تجريد قوى نفسه ومن الولي عن تحققه فى يقينه إذ لا يتوقف انفعال فى كل عن حركة وذلك بقضاء وقدره كما َِّ اللَّ ِنْذِإِ ب َّ لاِ إ ٍدَحَ أ ْنِ م ِهِ ب َ ين ِّ ار َضِ ب ْمُ ا ه َمَ هو. وقد قال في حق السحرة و
“Menurut saya, kemauan keras itu dapat
terjadi sesuai ke mana takdir itu berpihak. Hal ini ditunjukkan oleh dalil aqli
dan naqli seperti firman Allah, ‘Allah menentukan segala sesuatu,’ dan sabda
Rasulullah SAW, ‘Segala sesuatu itu sesuai dengan putusan dan takdir termasuk
kelemahan dan kecerdasan.’ Kemauan terbagi tiga. Pertama, kemauan lemah, yaitu
hasrat yang menghadirkan tekad dan keteguhan tanpa upaya nyata dan pengaruh
konkret (hasil). Kedua, kemauan standar, yaitu hasrat yang melahirkan upaya
nyata di samping tekad, dan totalitas di samping keteguhan baik berhasil atau
tidak atas upaya dan tekadnya. Ketiga, kemauan keras, yaitu hasrat berupa
kekuatan jiwa yang berpengaruh dalam dunia nyata tanpa tergantung pada sebab
seperti ahli hipnotis dengan mata, penyihir berdasar simpul-simpul peraga,
mereka yang melatih konsentrasinya dengan memfokuskan pikiran, atau seorang
wali berdasarkan keyakinannya. Pengaruh dari kemauan keras mereka atas sesuatu
dapat nyata terjadi tanpa didasarkan pada gerak (upaya). Tetapi semua itu
terjadi berdasarkan putusan dan takdir Allah. Allah berfirman mengenai para
penyihir pada Surat Al-Baqarah ayat 102, ‘Mereka tidak bisa memberi mudharat
pada apapun selain dengan izin Allah.”
Kemauan keras atau kemauan pada kategori
ketiga dapat dikategorikan menjadi dua. Pertama, kemauan untuk tujuan baik
(kemauan mulia) seperti mencari ridha Allah, kemakrifatan, dan seterusnya.
Kedua, kemauan untuk tujuan buruk (kemauan tercela) seperti kesenangan duniawi
dan seterusnya. Tetapi sekuat apapun kemauan keras itu, putusan dan takdir
Allah tetap mengatasinya sehingga para rasul, para wali Allah, dan hali
makrifat lainnya– ketika kemauan kerasnya tak terwujud–tetap menjaga adab
waktu.
لو أقسموا ً ولما كانت همة الفقير المتجرد لا تخطيء في الغالب لقوله عليه السلام أن لله رجالا ً على الله لأ برهم في قسمهم قال شيخنا ولله رجال إذا اهتموا بالشيء كان بإذن الله وقال أيضا عليه السلام اتقوا فراسة المؤمن فإنه ينظر بنور الله خشى الشيخ أن يتوهم أحد أن الهمة تخرق سور القدر وتفعل ما لم يجر به القضاء والقدر فرفع ذلك بقوله سوابق الهمم لا تخرق أسوار الأقدار كمعرفة الله ً والهمة قوة انبعاث القلب في طلب الشيء والاهتمام به فإن كان ذلك الأمر رفيعا كطلب الدنيا وحظوظها سميت همة دنية ً خسيسا ً وطلب رضاه سميت همة عالية وإن أمرا وسوابق الهمم من إضافة الموصوف إلى الصفة أي الهمم السوابق لا تخرق أسوار الأقدار أي إذا اهتم العارف أو المريد بشيء وقويت همته بذلك فإن الله تعالى يكون ذلك بقدرته في ساعة واحدة حتى يكون أمره بأمر... فهمة العارف تتوجه للشيء فإن وجدت القضاء سبق به كان عليه لا تخرقه بل تتأدب معه وترجع لوصفها ً ذلك بإذن الله وإن وجدت سور القدر مضروبا وهي العبودية فلا تتأسف ولا تحزن بل ربما تفرح لرجوعها لمحلها وتحققها بوصفها وقد كان شيخ شيوخنا سي فخرج فرحنا مرة واحدة وإذا ً دي علي رضي الله عنه يقول نحن إذا قلنا شيئا لم يخرج فرحنا عشر مرات وذلك لتحققه بمعرفة الله قيل لبعضهم بماذا عرفت ربك قال بنقض كما يقع للعاين والساحر ً العزائم وقد يحصل هذا التأثير للهمة القوية وإن كان صاحبها ناقصا ً عن خبثهما أو لخاص ية جعلها الله فيها إذا نظرا لشيء بقصد انفعل ذلك بإذن الله وهذا كله أيضا لا يخرق أسوار الأقدار بل لا يكون إلا ما أراد الواحد القهار قال تعالى
"وما هم بضارين به من أحد إلا بإذن الله"
وقال تعالى
"إنا كل شيء خلقناه بقدر وقال تعالى
"وما تشاؤن إلا أن
يشاء الله"
وقال صلى الله عليه وسلم كل شيء بقضاء وقدر حتى العجز والكيس أي النشاط للفعل وأشعر قوله سوابق أن الهمم الضعيفة لا ينفعل لها شيء وهو كذلك في الخير والشر وفي استعارته الخرق والأسوار ما يشعر بالقوة في الجانبين لكن الحاصر قاهر فلا عبرة بقوة العبد القاصر وإذا كانت الهمة لا تخرق أسوار الأقدار فما بالك بالتدبير والاختيار الذي أشار إليه بقوله أرح نفسك من التدبير فما قام به غيرك عنك لا تقم به أنت لنفسك.
Artinya : “Ketika kemauan keras seorang sufi yang
tajrid (sebuah maqam di mana kebutuhannya tersedia
tanpa usaha) tak pernah meleset karena sabda Rasulullah SAW ‘Allah mempunyai
sejumlah hamba yang bila bersumpah atas nama-Nya niscaya Allah akan
mewujudkannya,’ kata guru kami, ‘Allah mempunyai sejumlah hamba yang bila
menginginkan sesuatu niscaya terjadi berkat izin-Nya,’ dan sabda Rasulullah,
‘Takutlah kepada firasat orang beriman karena ia melihat dengan cahaya Allah,’
Syekh Ibnu Athaillah khawatir seseorang mengira bahwa kemauan keras (himmah) mereka
dapat menerobos pagar takdir dan bergerak di luar ketentuan putusan dan takdir
Allah. Karenanya Syekh Ibnu Athaillah mengangkat hikmah, ‘Kemauan keras tak
bisa menerobos pagar takdir...’ Kemauan (himmah) adalah kekuatan hati yang
tergugah dalam menuntut sesuatu dan memikirkannya. Bila sesuatu itu mulia,
yaitu makrifatullah dan pengharapan atas ridha-Nya, maka kemauan itu disebut
himmah ‘aliyah. Tetapi jika sesuatu itu nista, yaitu mengejar dunia dan
bagian-bagian dari duniawi, maka kemauan itu disebut himmah daniyyah.
‘Sawabiqul himam’ merupakan pelekatan diterangkan (D) pada menerangkan (M).
Maksud dari ‘Kemauan keras tak bisa menerobos pagar takdir’ adalah bila seorang
arifin dan murid memikirkan sesuatu dan berkemauan keras, niscaya Allah mewujudkannya
seketika dengan kuasaNya hingga semua urusannya menjadi urusan Allah. Kemauan
al-arif billah mengarah pada sesuatu. Jika sesuai dengan putusan Allah, maka
kemauan itu akan terwujud dengan izin-Nya. Tetapi bila pagar takdir tertutup,
maka keinginan itu tak bisa menerobosnya tetapi justru ia menyesuaikan dengan
adab yang seharusnya dalam kondisi demikian terhadap Allah dan keinginan itu
kembali pada sifatnya, yaitu penghambaan tanpa penyesalan dan kesedihan. Bahkan
ia menjadi senang karena keinginan itu kembali pada tempatnya dan sesuai pada
sifat aslinya. Guru dari guru kami, Syekh Ali RA berkata, ‘Kami bila ingin
sesuatu dan mengatakannya, lalu terwujud, kami sekali senang. Tetapi bila
keinginan kami tak terwujud, maka kami sepuluh kali lipat senangnya.’ Hal ini
terjadi karena kesejatian makrifatullah orang tersebut. Ketika ditanya, ‘Dengan
apa kau kenal Tuhanmu?’ Seorang ulama menjawab, ‘Dengan pembatalan kemauan dan
hasrat (kami).’ Kemauan kuat dapat terwujud sekalipun orang yang
menginginkannya tidak sempurna seperti mereka yang mengandalkan kekuatan mata
dan penyihir atau sebuah benda yang Allah berikan keistimewaan padanya. Ketika
keduanya memandang sesuatu dengan tujuan tertentu, maka sesuatu yang dipandang
itu akan berubah sesuai kemauan mereka berdua dengan izin Allah. Semua itu juga
takkan dapat menerobos pagar takdir. Itu terjadi hanya karena kehendak Allah
yang maha esa dan kuasa sesuai firman Allah, ‘Mereka tidak bisa mencelakai
seorang pun kecuali dengan izin Allah,’ ‘Sungguh, kami menciptakan sesuatu
dengan takdir,’ ‘Tidaklah kalian berkehendak kecuali Allah menghendaki,’ dan
sabda Rasulullah SAW, ‘Setiap sesuatu mesti sesuai putusan dan takdir termasuk
lemah dan kecerdasan (maksudnya semangat bergerak).’ Hikmah ini menyatakan
secara tersirat bahwa kemauan yang kendur dan lemah tidak membekas apapun dalam
kehidupan nyata sekalipun itu berupa kebaikan maupun keburukan. Kata
‘menerobos’ dan ‘pagar’ mengisyaratkan kekuatan di kedua pihak. Tetapi dinding
yang memagari itu begitu perkasa sehingga tiada artinya kekuatan seorang hamba
yang serba terbatas. Kalau sebuah kemauan keras saja (dalam pengertian Syekh
Zarruq) tidak bisa menerobos pagar takdir, apa artinya gagasan yang masih dalam
rencana dan upaya sebagai diisyaratkan dalam hikmah Ibnu Athaillah berikutnya,
‘Rihatkan dirimu dari rencana-rencana. Apa yang dilakukan oleh selainmu (Allah)
untukmu, jangan lagi kau melakukannya.”
Meskipun semua terjadi berdasarkan kehendak
Allah, kita tetap harus mempertimbangkan hukum kausalitas, hukum alam sebagai
ketetapan Allah. Pasalnya, hukum kausalitas dan hokum alam sebagai sunatullah
cukup kuat dan kuasa. Syekh M Said Ramadhan Al-Buthi menjelaskan bahwa:
“Jawabannya dapat diringkas bahwa sikap kita terhadap Allah harus sesuai dengan perintah-Nya. Sedangkan sikap kita terhadap sunatullah harus sesuai dengan hukumhukum alam yang ditetapkan oleh-Nya sebagai asas keteraturan alam. Allah memerintahkan kita untuk makan bila lapar, minum bila haus, mencari obat bila sakit, dan menjaga kesehatan serta waspada terhadap segala yang menyebabkan kita celaka dan sakit. Kemudian Allah juga memerintahkan kita untuk mengetahui dengan ilmul yakin bahwa tidak ada satupun yang berbuat sesuatu selain Allah, tiada sesuatu berpengaruh selain dengan sunatullah. Kita juga diperintahkan untuk meyakini bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dan memerintahkan segala sesuatu di alam ini untuk menjalankan tugas sesuai amanah yang dititipkan padanya sebagai firman Allah pada Surat Al-Araf ayat 54, ‘Ketahuilah, di hanya milik-Nya segenap makhluk dan segenap urusan.”
“Jawabannya dapat diringkas bahwa sikap kita terhadap Allah harus sesuai dengan perintah-Nya. Sedangkan sikap kita terhadap sunatullah harus sesuai dengan hukumhukum alam yang ditetapkan oleh-Nya sebagai asas keteraturan alam. Allah memerintahkan kita untuk makan bila lapar, minum bila haus, mencari obat bila sakit, dan menjaga kesehatan serta waspada terhadap segala yang menyebabkan kita celaka dan sakit. Kemudian Allah juga memerintahkan kita untuk mengetahui dengan ilmul yakin bahwa tidak ada satupun yang berbuat sesuatu selain Allah, tiada sesuatu berpengaruh selain dengan sunatullah. Kita juga diperintahkan untuk meyakini bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dan memerintahkan segala sesuatu di alam ini untuk menjalankan tugas sesuai amanah yang dititipkan padanya sebagai firman Allah pada Surat Al-Araf ayat 54, ‘Ketahuilah, di hanya milik-Nya segenap makhluk dan segenap urusan.”
Syekh Said Ramadhan Al-Buthi menempatkan
takdir dengan menyarankan untuk memperhatikan hukum kausalitas dan hukum alam.
Meskipun sakit dan sehat adalah kehendak Allah, kita sebagai
manusia–menurutnya–harus tetap berupaya untuk menjaga kesehatan dan berupaya
hidup sehat. Di tangan Syekh Said Ramadhan Al-Buthi, takdir mengajarkan kita
menjadi manusia secara wajar dan fithri. Jangan sekali-kali tidak tertib lalu
lintas.
Jangan berdiam diri tanpa mencari obat ketika sakit meski
kesembuhan ada di tangan Allah. Jangan coba-coba berdiam diri tidak belajar,
tidak sekolah, tidak ngaji, tidak mondok. Aqidah Ahlussunnah menetapkan bahwa
Allah yang menciptakan kebaikan dan keburukan. Namun demikian ada beberapa
faham yang berusaha mengaburkan kebenaran ini dengan mengutip beberapa ayat
yang sering disalahpahami oleh mereka, di antaranya, mereka mengutip firman
Allah:
“Dengan kekuasaan-Mu segala kebaikan”. (QS.
Ali ‘Imran: 26).
Dalam ayat di atas, terkesan Allah hanya
menyebutkan kata “al-Khayr” (kebaikan) saja, tidak menyebutkan al-Syarr
(keburukan). Dengan demikian maka Allah hanya menciptakan kebaikan saja, adapun
keburukan bukan ciptaan-Nya. Kata al-Syarr (keburukan) tidak disandingkan
dengan kata al-Khayr (kabaikan) dalam ayat di atas bukan berarti bahwa Allah
bukan pencipta keburukan. Ungkapan semacam ini dalam istilah Ilmu Bayan (salah
satu cabang Ilmu Balaghah) dinamakan dengan al-Iktifâ’; yaitu meninggalkan
penyebutan suatu kata karena telah diketahui padanan katanya. Contoh semacam
ini di dalam al-Qur’an firman Allah:
“Dia (Allah) menjadikan bagi kalian
pakaian-pakaian yang memelihara kalian dari dari panas”. (QS. an-Nahl: 81).
Yang dimaksud ayat ini adalah pakaian yang memelihara
kalian dari panas, dan juga dari dingin. Artinya, tidak khusus memelihara dari
panas saja. Demikian pula dengan pemahaman firman Allah: “Bi-Yadika al-Khayr”
(QS. Ali ‘Imran: 26) di atas bukan berarti Allah khusus menciptakan kebaikan
saja, tapi yang yang dimaksud adalah menciptakan segala kebaikan dan juga
segala keburukan. Kemudian dari pada itu, dalam ayat lain dalam al-Qur’an Allah
berfirman:
“Dan Dia Allah yang telah menciptakan segala sesuatu”. (QS. al-Furqan: 2).
“Dan Dia Allah yang telah menciptakan segala sesuatu”. (QS. al-Furqan: 2).
Kata “Syai’”, yang secara hafiyah bermakna
“sesuatu” dalam ayat ini mencakup segala suatu apapun selain Allah. Mencakup
segala benda dan semua sifat benda, termasuk segala perbuatan manusia, juga
termasuk segala kebaikan dan segala keburukan. Artinya, segala apapun selain
Allah adalah ciptaan Allah. Dalam ayat lain firman Allah:
“Katakanlah (Wahai Muhammad), Ya Allah yang
memiliki kerajaan, Engkau berikan kerajaan
kepada orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang
Engkau kehendaki”. (QS. Ali ‘Imran: 26).
Dari makna firman Allah di atas: “Engkau (Ya
Allah) berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki”, kita dapat pahami
bahwa Allah adalah Pencipta kebaikan dan keburukan. Allah yang memberikan
kerajaan kepada raja-raja kafir seperti Fir’aun, dan Allah pula yang memberikan
kerajaan kepada raja-raja mukmin seperti Dzul Qarnain. Adapun firman Allah:
Ayat ini bukan berarti bahwa kebaikan ciptaan
Allah, sementara keburukan sebagai ciptaan manusia. Pemaknaan
seperti ini adalah pemaknaan yang rusak dan merupakan kekufuran. Makna yang
benar ialah, sebagaimana telah ditafsirkan oleh para ulama, bahwa kata
“Hasanah” dalam ayat di atas artinya nikmat, sedangkan kata “Sayyi-ah” artinya
musibah atau bala (bencana).
Dengan demikian makna ayat di atas ialah: “Segala
apapun dari nikmat yang kamu peroleh adalah berasal dari Allah, dan segala
apapun dari musibah dan bencana yang menimpamu adalah balasan dari
kesalahanmu”. Artinya, amalan buruk yang dilakukan oleh seorang manusia akan
dibalas oleh Allah dengan musibah dan bala. Dalam hukum kausalitas, ada sesuatu
yang dinamakan “sebab” dan ada yang dinamakan “akibat”. Misalnya, obat sebagai
sebab bagi akibat sembuh, api sebagai sebab bagi akibat kebakaran, makan
sebagai sebab bagi akibat kenyang, dan lain-lain.
Aqidah Ahlussunnah menetapkan bahwa
sebab-sebab dan akibat-akibat tersebut tidak berlaku dengan sendirinya.
Artinya, setiap sebab sama sekali tidak menciptakan akibatnya masing-masing.
Tapi keduanya, baik sebab maupun akibat, adalah ciptaan Allah dan dengan ketentuan
Allah. Dengan demikian, obat dapat menyembuhkan sakit karena kehendak Allah,
api dapat membakar karena kehendak Allah, dan demikian seterusnya. Segala
akibat jika tidak dikehendaki oleh Allah akan kejadiannya maka itu semua tidak
akan pernah terjadi. Dalam sebuah hadits Shahih, Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya Allah yang menciptakan segala
obat dan yang menciptakan segala penyakit. Apa bila obat mengenai penyakit maka
sembuhlah ia dengan izin Allah”. (HR. Ibn Hibban).
Sabda Rasulullah dalam hadits di atas, “…
maka sembuhlah ia dengan izin Allah” adalah bukti bahwa obat tidak dapat
memberikan kesembuhan dengan sendirinya. Fenomena ini nyata dalam kehidupan
kita sehari-hari, seringkali kita melihat banyak orang dengan berbagai macam
penyakit, ketika berobat mereka mempergunakan obat yang sama, padahal jelas
penyakit mereka bermacam-macam, dan ternyata sebagian orang tersebut ada yang
sembuh, namun sebagian lainnya tidak sembuh.
Tentunya apa bila obat bisa memberikan
kesembuhan dengan sendirinya maka pastilah setiap orang yang mempergunakan obat
tersebut akan sembuh, namun kenyataan tidak demikian. Inilah yang dimaksud
sabda Rasulullah: “… maka akan sembuh dengan izin Allah”. Dengan demikian dapat
kita pahami bahwa adanya obat adalah dengan kehendak Allah, demikian pula
adanya kesembuhan sebagai akibat dari obat tersebut juga dengan kehendak dan
ketentuan Allah, obat tidak dengan sendirinya menciptakan kesembuhan.
Demikian pula dengan sebab-sebab lainnya,
semua itu tidak menciptakan akibatnya masing-masing. Kesimpulannya, kita wajib
berkeyakinan bahwa sebab tidak menciptakan akibat, akan tetapi Allah yang
menciptakan segala sebab dan segala akibat. Salah satu tanda orang mukmin
sejati adalah memiliki sikap tawakal kepada Allah subhānahu wa ta‘ālā. Tawakal
merupakan bagian dari buah tauhid. Allamah Sayyid Abdullah bin Alawi Al-Haddad
dalam kitabnya berjudul Risālatul Mu‘āwanah wal Mudhāharah wal Muwāzarah
menjelaskan tentang tiga tanda orang yang benar-benar bertawakal sebagai
berikut:
“Ada tiga tanda bagi orang yang bertawakal
dengan sebenarnya, yakni pertama, tidak berharap kecuali kepada Allah sekaligus
tidak takut kecuali kepada-Nya. Hal itu ditandai dengan keberaniannya
mengatakan sesuatu yang benar di hadapan seseorang yang umumnya orang memiliki
harapan sekaligus merasa takut kepadanya seperti para amir dan raja.” Tanda pertama ini berkiatan erat dengan apa
yang diucapkan seorang Muslim dalam setiap menunaikan shalatnya, yakni pada
saat membaca surah Al-Fatihah, ayat 5:
“Hanya kepada Engulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.”
“Hanya kepada Engulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.”
Wujud menyembah dan memohon pertolongan hanya
kepada Allah tentu saja tidak hanya berupa shalat, tetapi juga dalam bertawakal
kepada-Nya dalam seluruh urusan hidup dan mati. Orang-orang yang benar-benar
bertawakal kepada Allah tidak merasa takut untuk berkata benar di depan para
penguasa maupun orang-orang kaya yang bisa memberikan fasilitas apa saja.
Demikian pula mereka tidak takut berkata “tidak” ketika
suatu persoalan bertentangan dengan apa yang telah disyariatkan oleh Allah
meskipun mendapat ancaman atau hukuman dari para penguasa maupun dari
orang-orang kaya yang bisa memberikan fasilitas apa saja. Jadi orang yang
bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya akan menyerahkan seluruh
urusannya kepada Yang Maha Satu semata sehingga tidak ada yang mereka takuti
kecuali Allah.
الرزق ثقة بضمان الله بحيث يكون سكون قلبه عند فقد ما يحتاج ُّ والثانية أن لا يدخل قلبه هم اليه كسكونه في حال وجوده وأشد
“Kedua, tidak pernah merisaukan masalah rezeki disebabkan
merasa yakin akan adanya jaminan Allah sehingga hatinya tetap tenang dan
tentram di kala suatu keuntungan luput darinya, sama seperti di kala ia
memperolehnya.” Tanda kedua ini berkaitan erat dengan jaminan Allah tentang
rezeki sebagaimana termaktub dalam surah Al-An’am, ayat 151:
“Kamilah yang memberikan rezeki kepadamu dan kepada mereka.” Orang-orang yang benar-benar bertawakal kepada Allah tidak menujukkan kekhawatiran dan ketakutannya berkaitan dengan rezeki bagi dirinya maupun bagi orang-orang yang menjadi tanggungannya. Hal ini disebabkan mereka meyakini kebenaran surah AlAn’am, ayat 151 di atas. Allahlah yang memberi rezeki kepada setiap makhluk yang diciptakannya. Oleh karena itu, orang-orang yang benar-benar bertawakal kepada Allah tetap merasa tenang ketika kesulitan ekonomi sedang melanda baik dalam sekala terbatas mapun luas sebagaimana ketika ekonomi sedang dalam puncak kesuksesan. Seorang karyawan perusahaan yang terkena PHK karena sesuatu hal sedangkan ia benar-benar bertawakal kepada Allah tentu bersikap tenang karena meyakini “Bos Besar” tidak pernah mem-PHK siapapun. Dialah – dan bukan bos kecil - yang memberinya rezeki lewat pintu mana saja yang Dia kehendaki.
“Kamilah yang memberikan rezeki kepadamu dan kepada mereka.” Orang-orang yang benar-benar bertawakal kepada Allah tidak menujukkan kekhawatiran dan ketakutannya berkaitan dengan rezeki bagi dirinya maupun bagi orang-orang yang menjadi tanggungannya. Hal ini disebabkan mereka meyakini kebenaran surah AlAn’am, ayat 151 di atas. Allahlah yang memberi rezeki kepada setiap makhluk yang diciptakannya. Oleh karena itu, orang-orang yang benar-benar bertawakal kepada Allah tetap merasa tenang ketika kesulitan ekonomi sedang melanda baik dalam sekala terbatas mapun luas sebagaimana ketika ekonomi sedang dalam puncak kesuksesan. Seorang karyawan perusahaan yang terkena PHK karena sesuatu hal sedangkan ia benar-benar bertawakal kepada Allah tentu bersikap tenang karena meyakini “Bos Besar” tidak pernah mem-PHK siapapun. Dialah – dan bukan bos kecil - yang memberinya rezeki lewat pintu mana saja yang Dia kehendaki.
والثالثة أن لا يضطرب قلبه في مظان الخوف علما منه أن ما أخطأه لم يكن ليصيبه وما أصابه لم يكن ليخطئه
“Ketiga, tidak pernah hatinya terguncang pada
saat diperkirakan akan datangnya suatu bahaya disebabkan ia yakin sepenuhnya
bahwa tak satu pun ditetapkan ia terhindari darinya, akan tetap menimpanya; dan
tak satu pun ditetapkan akan menimpanya, akan terhindar dari dirinya.” Tanda ketiga ini berkaitan dengan keyakinan
akan ketetapan Allah. Orang-orang yang benar-benar bertawakal kepada Allah
tentu bersikap tenang menghadapi segala keadaan yang mungkin terjadi disebabkan
keridhaannya atas apa yang telah ditetapkan-Nya.
Ancaman bahaya sebesar apapun tidak akan mengguncangkan
jiwa mereka. Mereka meyakini apa yang akan terjadi kepada mereka hanyalah apa
yang telah ditetapkan-Nya. Singkatnya, orang-orang yang benar-benar bertawakal
kepada Allah akan terlihat tanda-tandanya dari tiga hal. Pertama, mereka
mandiri dan berani dalam mengatakan kebenaran tanpa rasa takut akan hukuman
dari orang-orang berkuasa dan berpengaruh. Kedua, mereka tidak merisaukan soal
rejeki karena meyakini Allah telah menjamin rezeki bagi semua yang
diciptakan-Nya. Ketiga, mereka bersikap tenang terhadap musibah yang akan menimpa
atau tidak akan menimpa mereka karena mengimani takdir dan iradat Allah.
Sumber : http://ppg.siagapendis.com
@menzour_id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar