Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Selasa, 02 Juli 2019

MODUL AKIDAH KB 4 PPG PAI


MODUL AKIDAH KB 4 PPG PAI

URAIAN MATERI

A.   PENGERTIAN QADHA DAN QADAR

Kita sejak lama menggunakan kata “qadha” dan “qadar”. kepercayaan terhadap konsep kata ini juga merupakan salah satu rukun iman dalam agama Islam. Kita sering menggunakan kedua kata itu secara bergantian untuk sebuah pengertian yang sama. Tetapi ulama menyimpan penjelasan kedua kata tersebut yang mengandung pengertian berbeda.

Di samping memiliki pengertian berbeda, kata “qadha” dan “qadar” juga dipahami secara berbeda oleh para ulama tauhid atau mutakallimin. Dengan kata lain, kelompok Asyariyyah, kelompok Maturidiyyah, dan sejumlah kelompok ulama lainnya berbeda pendapat perihal pengertian kata “qadha” dan “qadar”. Imam Nawawi mengatakan bahwa:

 اختلفوا في معنى القضاء والقدر فالقضاء عند الأشاعرة إرادة الله الأشياء في الأزل على ما هي عليه في غير الأزل والقدر عندهم إيجاد الله الأشياء على قدر مخصوص على وفق الإرادة

“Ulama tauhid atau mutakallimin berbeda pendapat perihal makna qadha dan qadar. Qadha menurut ulama Asy’ariyyah adalah kehendak Allah atas sesuatu pada azali untuk sebuah ‘realitas’ pada saat sesuatu di luar azali kelak. Sementara qadar menurut mereka adalah penciptaan (realisasi) Allah atas sesuatu pada kadar tertentu sesuai dengan kehendak-Nya pada azali.” 

Iman kepada Qadla dan Qadar adalah termasuk pokok-pokok iman yang enam (Ushûl al-Îmân as-Sittah) yang wajib kita percayai sepenuhnya. Belakangan ini telah timbul beberapa orang atau beberapa kelompok yang mengingkari Qadla dan Qadar dan berusaha mengaburkannya, baik melalui tulisan-tulisan, maupun di bangku-bangku kuliah. Tentang kewajiban iman kepada Qadla dan Qadar, dalam sebuah hadits shahih Rasulullah bersabda:



“Iman ialah engkau percaya kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari akhir, dan engkau percaya kepada Qadar Allah, yang baik maupun yang buruk”. (HR. Muslim).

Al-Qadlā maknanya al-Khalq, artinya penciptaan, dan al-Qadar maknanya at-Tadbīr, artinya ketentuan. Secara istilah al-Qadar artinya ketentuan Allah atas segala sesuatu sesuai dengan pengetahuan (al-‘Ilm) dan kehendak-Nya (al-Masyī’ah) yang Azali (tidak bermula), di mana sesuatu tersebut kemudian terjadi pada waktu yang telah ditentukan dan dikehendaki oleh-Nya terhadap kejadiannya.

Penggunaan kata “al-Qadar” terbagi kepada dua bagian, yaitu: pertama; Kata alQadar bisa bermaksud bagi sifat “Taqdīr” Allah, yaitu sifat menentukannya Allah terhadap segala sesuatu yang ia kehendakinya. al-Qadar dalam pengertian sifat “Taqdīr” Allah ini tidak boleh kita sifati dengan keburukan dan kejelekan, karena sifat menentukan Allah terhadap segala sesuatu bukan suatu keburukan atau kejelekan, tetapi sifat menentukannya Allah terhadap segala sesuatu yang Ia kehendakinya adalah sifat yang baik dan sempurna, sebagaimana sifat-sifat Allah lainnya. Sifat-sifat Allah tersebut tidak boleh dikatakan buruk, kurang, atau sifat-sifat jelek lainnya. Kedua; Kata al-Qadar dapat bermaksud bagi segala sesuatu yang terjadi pada makhluk, atau disebut dengan al-Maqdūr. Al-Qadar dalam pengertian al-Maqdūr ini ialah mencakup segala apapun yang terjadi pada seluruh makhluk ini; dari keburukan dan kebaikan, kesalehan dan kejahatan, keimanan dan kekufuran, ketaatan dan kemaksiatan, dan lain-lain.

Dalam makna yang kedua inilah yang dimaksud oleh hadits Jibril di atas, “Wa Tu-mina Bi al-Qadar; Khayrih wa Syarrih”. Al-Qadar dalam hadits ini adalah dalam pengertian al-Maqdūr. Pemisahan makna antara sifat Taqdîr Allah dengan al-Maqdûr adalah sebuah keharusan. Hal ini karena sesuatu yang disifati dengan baik dan buruk, atau baik dan jahat, adalah hanya sesuatu yang ada pada makhluk saja. Artinya, siapa yang melakukan kebaikan maka perbuatannya tersebut disebut “baik”, dan siapa yang melakukan keburukan maka perbuatannya tersebut disebut “buruk”, dengan demikian penyebutan kata “baik” dan “buruk” seperti ini hanya berlaku pada makhluk saja.

Adapun sifat Taqdîr Allah, yaitu sifat menentukan Allah terhadap segala sesuatu yang Ia kehendakinya, maka sifat-Nya ini tidak boleh dikatakan buruk. Sifat Taqdīr Allah ini, sebagaimana sifat-sifat-Nya yang lain, adalah sifat yang baik dan sempurna, tidak boleh dikatakan buruk atau jahat. Dengan demikian, bila seorang hamba melakukan keburukan, maka itu adalah perbuatan dan sifat yang buruk dari hamba itu sendiri. Adapun Taqdīr Allah terhadap keburukan yang terjadi pada hamba itu bukan berarti bahwa Allah menyukai dan memerintahkan hamba itu kepada keburukan tersebut.

Demikian pula, ketika kita katakan; Allah yang menciptakan kejahatan, bukan berarti bahwa Allah itu jahat. Inilah yang dimaksud bahwa kehendak Allah meliputi segala perbuatan hamba, terhadap yang baik maupun yang buruk.  Segala perbuatan yang terjadi pada alam ini, baik kekufuran dan keimanan, ketaatan dan kemaksiatan, dan berbagai hal lainnya, semunya terjadi dengan kehendak dan dengan penciptaan Allah.

Hal ini menunjukan akan kesempurnaan Allah, serta menunjukan akan keluasan dan ketercakupan kekuasaan dan kehendak-Nya atas segala sesuatu. Karena apa bila pada makhluk ini ada sesuatu yang terjadi yang tidak dikehendaki kejadiannya oleh Allah, maka berarti hal itu menafikan sifat ketuhanan-Nya, karena dengan demikian berarti kehendak Allah dikalahkan oleh kehendak makhluk-Nya. Tentu, ini adalah sesuatu yang mustahil terjadi. Karena itu dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda: 



“Apa yang dikehendaki oleh Allah -akan kejadiannya- pasti terjadi, dan apa yang tidak dikehandaki oleh-Nya maka tidak akan pernah terjadi”. (HR. Abu Dawud).

Dengan demikian segala apapun yang dikehendaki oleh Allah terhadap kejadiannya maka semua itu pasti terjadi. Karena bila ada sesuatu yang terjadi di luar kehendak-Nya, maka hal itu menunjukkan akan kelemahan, padahal sifat lemah itu mustahil bagi Allah. Bukankah Allah maha kuasa?! Maka di antara bukti kekuasaannya adalah bahwa segala sesuatu yang dikehendaki-Nya pasti terlaksana. Oleh karena itu, dari sudut pandang syara’ dan akal, terjadinya segala sesuatu yang dikehendaki oleh Allah akan kejadiannya adalah perkara yang wajib adanya. Dalam hal ini Allah berfirman:




“Allah maha mengalahkan (menang) di atas segala urusan-Nya”. (Artinya, segala sesuatu yang dikehendaki oleh Allah pasti akan terjadi, tidak ada siapapun yang menghalangi-Nya”. (QS. Yusuf: 21).

Allah menghendaki orang-orang mukmin dengan ikhtiar mereka untuk beriman kepada-Nya, maka mereka menjadi orang-orang yang beriman. Dan Allah menghendaki orangorang kafir dengan ikhtiar mereka untuk kufur kepada-Nya, maka mereka semua menjadi orang-orang yang kafir. Seandainya Allah berkehendak semua makhluk-Nya beriman kepadaNya, maka mereka semua pasti beriman kepada-Nya. Allah berfirman:



“Dan seandainya Tuhanmu (Wahai Muhammad) berkehendak, niscaya seluruh yang ada di bumi ini akan beriman”. (QS. Yunus: 99).

Tetapi Allah tidak menghendaki semuanya beriman kepada-Nya. Namun demikian Allah memerintah mereka semua untuk beriman kepada-Nya. Maka di sini harus dipahami, bahwa “kehendak Allah” dan “perintah Allah” adalah dua hal berbeda. Tidak segala sesuatu yang dikehendaki oleh Allah adalah sesuatu yang diperintah oleh-Nya, dan tidak segala sesuatu yang diperintah oleh Allah adalah sesuatu yang dikehendaki oleh-Nya.

Perkataan sebagian orang “Segala sesuatu adalah atas perintah Allah”, atau “Banyak sekali perbuatan kita yang tidak dikehendaki oleh Allah (ia bermaksud kemaksiatan-kemaksiatan)”, adalah perkataan yang salah, karena Allah tidak memerintahkan kepada perbuatan-perbuatan maksiat atau kekufuran. Benar, kejadian kemasiatan atau kekufuran tersebut adalah dengan kehendak Allah, tetapi Allah tidak memerintah kepadanya.

Dengan demikian perkataan yang benar ialah; “Segala sesuatu yang terjadi di alam ini adalah dengan kehendak Allah, dengan Taqdir-Nya dan dengan Ilmu-Nya. Kebaikan terjadi dengan kehendak Allah, dengan Taqdir-Nya, dengan Ilmu-Nya, serta kebaikan ini juga dengan perintah-Nya, Mahabbah-Nya, dan dengan keridlaan-Nya.

Sementara keburukan terjadi dengan kehendak Allah, dengan Taqdir-Nya, dan dengan Ilmu-Nya, tapi tidak dengan perintah-Nya, tidak dengan Mahabbah-Nya, dan tidak dengan keridlaan-Nya”. Artinya keburukan, kejahatan, atau kemaksiatan tidak disukai dan tidak diridlai oleh Allah. Dengan kata lain, segala sesuatu terjadi dengan kehendak Allah, akan tetapi tidak semuanya dengan perintah Allah.

Di antara bukti yang menunjukan bahwa perintah Allah berbeda dengan kehendak-Nya adalah apa yang terjadi dengan Nabi Ibrahim. Beliau diberi wahyu lewat mimpi untuk menyembelih putranya; Nabi Isma’il. Hal ini merupakan perintah dari Allah atas Nabi Ibrahim. Kemudian saat Nabi Ibrahim hendak melaksanakan apa yang diperintahkan Allah ini, bahkan telah meletakan pisau yang sangat tajam dan menggerak-gerakannya di atas leher Nabi Isma’il, namun Allah tidak berkehendak terjadinya sembelihan terhadap Nabi Isma’il tersebut. Kemudian Allah mengganti Nabi Isma’il dengan seekor domba yang bawa oleh Malaikat Jibril dari surga. Peristiwa ini menunjukan perbedaan yang sangat nyata antara “perintah Allah” dan “kehendak-Nya”.

Contoh lainnya, Allah memerintah kepada seluruh hamba-hamba-Nya untuk beribadah kepada-Nya, akan tetapi Allah berkehendak tidak semua hamba tersebut beribadah kepada-Nya. Karenanya, ada sebagian mereka yang dikehendaki oleh Allah untuk menjadi orang-orang beriman, dan ada sebagian lainnya yang dikehendaki oleh Allah menjadi orangorang kafir. Allah berfirman:




“Dan tidaklah Aku (Allah) ciptakan manusia dan jin melainkan Aku “perintahkan” mereka untuk menyembah-Ku”. (QS. adz-Dzariyat: 56).

Makna firman Allah “illā lī-ya’budūn” dalam ayat di atas artinya “illā lī-‘āmurahum bi ‘ibādatī”, artinya bahwa Allah menciptakan manusia dan jin tidak lain ialah untuk Dia perintah mereka agar beribadah kepada-Nya. Makna ayat ini bukan “Aku (Allah) ciptakan manusia dan jin melainkan aku berkehendak pada mereka untuk menyembah-Ku”. Karena jika diartikan bahwa Allah berkehendak dari seluruh manusia dan jin untuk beriman atau beribadah kepada-Nya, maka berarti kehendak Allah dikalahkan oleh kehendak orang-orang kafir, karena pada kenyataannya tidak semua hamba beriman dan beribadah kepada Allah, tapi ada di antara mereka yang kafir dan menyembah selain Allah. Tentunya mustahil jika kehendak Allah dikalahkan oleh kehendak makhluk-makhluk-Nya sendiri. Syekh M Nawawi Banten memberikan contoh konkret qadha dan qadar menurut kelompok Asyariyyah. Qadha adalah putusan Allah pada azali bahwa kelak kita akan menjadi apa. Sementara qadar adalah realisasi Allah atas qadha terhadap diri kita sesuai kehendak-Nya. 

فإرادة الله المتعلقة أزلا بأنك تصير عالما قضاء وإيجاد العلم فيك بعد وجودك على وفق الإرادة قدر

“Kehendak Allah yang berkaitan pada azali, misalnya kau kelak menjadi orang alim atau berpengetahuan adalah qadha. Sementara penciptaan ilmu di dalam dirimu setelah ujudmu hadir di dunia sesuai dengan kehendak-Nya pada azali adalah qadar,”  

Sedangkan bagi kelompok Maturidiyyah, qadha dipahami sebagai penciptaan Allah atas sesuatu disertai penyempurnaan sesuai ilmu-Nya. Dengan kata lain, qadha adalah batasan yang Allah buat pada azali atas setiap makhluk dengan batasan yang ada pada semua makhluk itu seperti baik, buruk, memberi manfaat, menyebabkan mudarat, dan seterusnya. Singkat kata, qadha adalah ilmu azali Allah atas sifat-sifat makhluk-Nya.

Ada lagi ulama yang berpendapat bahwa qadha adalah ilmu azali Allah dalam kaitannya dengan materi yang diketahui oleh-Nya. Sementara qadar adalah penciptaan Allah atas sesuatu sesuai dengan ilmu-Nya. Jadi, ilmu Allah pada azali bahwa si A kelak akan menjadi ulama atau ilmuwan adalah qadha. Sedangkan penciptaan ilmu pada diri si A setelah ia diciptakan adalah qadar, Imam Nawami menyatakan bahwa: 

وقول الأشاعرة هو المشهور وعلى كل فالقضاء قديم والقدر حادث بخلاف قول الماتريدية وقيل كل منهما بمعنى إرادته تعالى 

“Pandangan ulama Asy’ariyyah cukup masyhur. Atas setiap pandangan itu, yang jelas qadha itu qadim (dulu tanpa awal). Sementara qadar itu hadits (baru). Pandangan ini berbeda dengan pandangan ulama Maturidiyyah. Ada ulama berkata bahwa qadha dan qadar adalah pengertian dari kehendak-Nya.”  

Hanya saja yang perlu diperhatikan adalah bahwa qadha merupakan sesuatu yang ghaib. Oleh karena itu, dalam tradisi ahlussunnah wal jamaah keyakinan kita atas qadha dan qadar itu tidak boleh menjadi alasan kita untuk bersikap pasif. Tradisi ahlussunnah wal jamaah justru mendorong kita untuk melakukan ikhtiar dan upaya-upaya manusiawi serta mendayagunakan secara maksimal potensi yang Allah anugerahkan kepada manusia sambil tetap bersandar memohon inayah-Nya. Misalnya, pada usia belasan dalam tradisi Islam Nusantara sering mendengar doa dan sedekah sebagai tolak bala.
  
B.   TAKDIR: MUBRAM DAN MUALLAQ 

Di atas telah dijelaskan bahwa segala sesuatu terjadi dengan kehendak Allah. Apa bila Allah menghendaki sesuatu akan terjadi pada seorang hamba-Nya, maka pasti sesuatu itu akan menimpanya, sekalipun orang tersebut bersedekah, berdoa, bersilaturrahim, dan berbuat baik kepada sanak kerabatnya; kepada ibunya, dan saudara-saudaranya, atau lainnya. Artinya, apa yang telah ditentukan oleh Allah tidak dapat dirubah oleh amalan-amalan kebaikan bentuk apapun. Adapun hadits Rasulullah yang berbunyi:




“Tidak ada sesuatu yang dapat menolak Qadla kecuali doa” (HR. at-Tirmidzi). 

Qadla di dalam hadits di atas adalah Qadlā Mu’allaq. Di sini harus kita ketahui bahwa Qadla terbagi kepada dua bagian: Qadlā Mubram dan Qadlā Mu’allaq.

Pertama: Qadlā Mubram, ialah ketentuan Allah yang pasti terjadi dan tidak dapat berubah. Ketentuan ini hanya ada pada Ilmu Allah, tidak ada siapapun yang mengetahuinya selain Allah sendiri, seperti ketentuan mati dalam keadaan kufur (asy-Syaqāwah), dan mati dalam keadaan beriman (asSa’ādah), ketentuan dalam dua hal ini tidak berubah. Seorang yang telah ditentukan oleh Allah baginya mati dalam keadaan beriman maka itulah yang akan terjadi baginya, tidak akan pernah berubah. Sebaliknya, seorang yang telah ditentukan oleh Allah baginya mati dalam keadaan kufur maka pasti itulah pula yang akan terjadi pada dirinya, tidak ada siapapun, dan tidak ada perbuatan apapun yang dapat merubahnya. Allah berfirman:



“Allah menyesatkan terhadap orang yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki”. (QS. an-Nahl: 93).

Kedua, Qadlā Mu’allaq, yaitu ketentuan Allah yang berada pada lambaran-lembaran para Malaikat, yang telah mereka kutip dari al-Lauh al-Mahfuzh, seperti si fulan apa bila ia berdoa maka ia akan berumur seratus tahun, atau akan mendapat rizki yang luas, atau akan mendapatkan kesehatan, dan seterusnya. Namun, misalkan si fulan ini tidak mau berdoa, atau tidak mau bersillaturrahim, maka umurnya hanya enam puluh tahun, ia tidak akan mendapatkan rizki yang luas, dan tidak akan mendapatkan kesehatan.

Inilah yang dimaksud dengan Qadlâ Mu’allaq atau Qadar Mu’allaq, yaitu ketentuan-ketentuan Allah yang berada pada lebaranlembaran para Malaikat. Dari uraian ini dapat dipahami bahwa doa tidak dapat merubah ketentuan (Taqdīr) Allah yang Azali yang merupakan sifat-Nya, karena mustahil sifat Allah bergantung kepada perbuatan-perbuatan atau doa-doa hamba-Nya. Sesungguhnya Allah maha mengetahui segala sesuatu, tidak ada suatu apapun yang tersembunyi dari-Nya, dan Allah maha mengetahui perbuatan manakah yang akan dipilih oleh si fulan dan apa yang akan terjadi padanya sesuai yang telah tertulis di al-Lauh al-Mahfuzh.

Namun demikian doa adalah sesuatu yang diperintahkan oleh Allah atas para hamba-Nya. Dalam al-Qur’an Allah berfirman:




“Dan jika hamba-hamba-ku bertanya kepadamu (Wahai Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat (bukan dalam pengertian jarak), Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa jika ia memohon kepada-Ku. Maka hendaklah mereka memohon terkabulkan doa kepada-Ku dan beriman kepada-Ku, semoga mereka mendapatkan petunjuk” (QS. al-Baqarah: 186).

Ayat di atas menjelaskan bahwa seorang yang berdoa tidak akan sia-sia belaka. Ia pasti akan mendapatkan salah satu dari tiga kebaikan; dosa-dosanya yang diampuni, permintaannya yang dikabulkan, atau mendapatkan kebaikan yang disimpan baginya untuk di kemudian hari kelak. Semua dari tiga kebaikan ini adalah merupakan kebaikan yang sangat berharga baginya. Dengan demikian maka tidak mutlak bahwa setiap doa yang dipintakan oleh para hamba pasti dikabulkan oleh Allah. Akan tetapi ada yang dikabulkan dan ada pula yang tidak dikabulkan. Yang pasti, bahwa setiap doa yang dipintakan oleh seorang hamba kepada Allah adalah sebagai kebaikan bagi dirinya sendiri, artinya bukan sebuah kesia-siaan belaka.

Dalam keadaan apapun, seorang yang berdoa paling tidak akan mendapatkan salah satu dari kebaikan yang telah kita sebutkan di atas. Pada nisfyu Sya’ban, dari dulu tradisi Islam Nusantara juga mengajukan tiga permintaan kepada Allah SWT. Bagaimana memahami semua pengertian itu di tengah tuntutan keimanan pada takdir? Dari semua itu kemudian tradisi Islam Nusantara beranggapan bahwa doa bermanfaat bagi putusan atau takdir Allah yang masih menggantung di Lauh Mahfuzh.

Terkait ini, selanjutnya dikenal dengan istilah takdir mubram dan takdir muallaq di kalangan tradisi Islam Nusantara. Doa atau permintaan masyarakat dalam nisfu Syaban atau melalui bentuk sedekah dipercaya oleh tradisi Islam Nusantara dapat “mengubah” bala yang ditakdirkan Allah SWT akan menimpa mereka, terutama takdir muallaq yang realisasinya sangat berkaitan erat dengan doa.

والدعاء ينفع مما نزل ومما لم ينزل وإن البلاء لينزل ويتلقاه الدعاء فيتعالجان إلى يوم القيامة. والدعاء ينفع في القضاء المبرم والقضاء المعلق. أما الثانى فلا استحالة في رفع ما علق رفعه منه على الدعاء ولا في نزول ما علق نزوله منه على الدعاء 

“Doa bermanfaat terhadap apa yang datang dan apa yang belum datang (dari langit). Bala pun akan datang dan bertemu dengan doa. Keduanya (bala dan doa) senantiasa ‘berperang’ hingga hari qiamat. Doa bermanfaat pada qadha mubram dan qadha muallaq. Perihal yang kedua (qadha muallaq), maka tidak mustahil menghilangkan apa (putusan) yang penghilangannya digantungkan pada doa dan tidak mustahil mendatangkan apa (putusan) yang penghadirannya digantungkan pada doa.” 

Situasi takdir muallaq berlainan dengan takdir mubram. Doa tidak dapat mengubah kenyataan yang digariskan dalam takdir mubram. Meskipun demikian, doa dipercaya dapat meminimalisir dampak bala yang timbul karena takdir mubram.

 وأما الأول فالدعاء وإن لم يرفعه لكن الله تعالى ينزل لطفه بالداعى كما إذا قضى عليه قضاء مبرما بأن ينزل عليه صخرة فإذا دعا الله تعالى حصل له اللطف بأن تصير الصخرة متفتتة كالرمل وتنزل عليه 

“Adapun perihal pertama (qadha mubram), (peran) doa meskipun tidak dapat menghilangkan bala, tetapi Allah mendatangkan kelembutan-Nya untuk mereka yang berdoa. Misalnya, ketika Allah menentukan qadha mubram kepada seseorang, yaitu kecelakaan berupa tertimpa batu besar, ketika seseorang berdoa kepada Allah, maka kelembutan Allah datang kepadanya, yaitu batu besar yang jatuh menimpanya menjadi remuk berkeping-keping sehingga dirasakan olehnya sebagai butiran pasir saja yang jatuh menimpanya.” 

Meskipun takdir terbagi dua, muallaq dan mubram, kita sebagai manusia tidak mengetahui mana takdir muallaq dan takdir mubram. Oleh karena itu, ahlusunnah wal jamaah memandang doa sebagai ikhtiar manusiawi yang tidak boleh ditinggalkan sebagaimana pada umumnya aliran ahlusunnah wal jamaah memandang perlunya ikhtiar dalam segala hal, bukan menyerah begitu saja pada putusan takdir. Dari sini, kita dapat memahami tiga permintaan atau doa yang lazim diamalkan masyarakat Indonesia di malam nisfu Syaban sebagai bentuk ikhtiar dalam menolak bala dan ikhtiar dalam mendatangkan kemaslahatan.

وانقسام القضاء إلى مبرم ومعلق ظاهر بحسب اللوح المحفوظ وأما بحسب العلم فجميع الأشياء مبرمة لأنه إن علم الله حصول المعلق عليه حصل المعلق ولا بد وإن علم الله عدم حصوله لم يحصل ولا بد لكن لا يترك الشخص الدعاء اتكالا على ذلك كما يترك الأكل اتكالا على إبرام الله الأمر فى الشبع 

“Pembagian qadha menjadi mubram dan muallaq itu tampak pada Lauh Mahfuzh. Adapun dari sisi ilmu Allah, semua putusan itu bersifat mubram karena ketika Allah mengetahui datangnya putusan muallaq, maka hasillah muallaq tersebut, dan tidak boleh tidak ketika Allah mengetahui ketiadaan putusan muallaq, maka tiadalah muallaq tersebut. Tetapi manusia tiada jalan lain, seseorang tidak boleh meninggalkan doa hanya karena bersandar pada putusan qadha tersebut sebagaimana larangan seseorang untuk meinggalkan makan karena bersandar pada putusan Allah perihal kenyang.”  

Sementara aliran muktazilah tidak mempercayai peran dan manfaat doa karena kata ‘doa’ dalam Al-Quran itu adalah ibadah secara umum. “Siapa saja yang beribadah, niscaya Allah akan menerimanya,” menurut mereka. Mereka tidak mengartikan ayat itu demikian, “Siapa saja yang berdoa, niscaya Allah akan mengabulkannya.” 

وأما عند المعتزلة فالدعاء لا ينفع ولا يكفرون بذلك لأنهم لم يكذبوا القرآن كقوله تعالى ادعوني أستجب لكم بل أولوا الدعاء بالعبادة والإجابة بالثواب

“Bagi kalangan Muktazilah, doa tidak memberikan manfaat. Tetapi mereka tidak jatuh dalam kekufuran dengan pandangan demikian karena mereka tidak mendustakan AlQuran perihal ini seperti ayat ‘Serulah Aku, niscaya Aku membalasnya.’ Mereka menakwil kata ‘seruan’ dengan ibadah, dan ‘balasan’ dengan pahala.”  

Meskipun demikian, kelompok ahlusunnah wal jamaah Asy’ariyah tidak menempatkan aliran muktazilah ke dalam aliran kufur karena mereka masih meyakini Al-Quran sebagai wahyu Allah. Semua pengertian yang diangkat oleh pendukung kelompok ahlusunnah wal jamaah Asy’ariyah ini dimaksudkan agar umat Islam tidak salah paham menempatkan signifikansi doa, peran ikhtiar manusia, dan dapat meningkatkan keimanan terhadap takdir di tengah peran atau ikhtiar manusiawi. Semua ini dijelaskan oleh pendukung kelompok ahlusunnah wal jamaah asy’ariyah agar masyarakat sunni tidak bersikap su'ul adab dan su'uzzhan kepada Allah. 

C.   KEBEBASAN MANUSIA DAN TAKDIR

Hampir setiap orang menginginkan kemauannya terwujud baik itu kemauan baik maupun kemauan buruk. Hanya saja ada kemauan tertentu yang dapat terwujud dengan syaratsyarat tertentu. Di sini hukum kausalitas berlaku. Tetapi ada juga kemauan orang-orang tertentu yang terwujud tanpa bergantung pada syarat apapun. Meski demikian, kemauan yang terwujud itu tak mungkin bersalahan dengan takdir Allah SWT sebagai tampak pada hikmah berikut ini.

 سوابق الهمم لا تخرق أسوار الأقدار

“Kemauan keras tak bisa menerobos pagar takdir.”

Kalau mau dipetakan, menurut Syekh Zarruq kemauan manusia terdiri atas tiga macam. Pertama, ada kemauan yang tinggal kemauan tanpa upaya dan tanpa hasil. Kemauan seperti ini kerap kali kita dapati melekat pada banyak orang di sekitar kita terutama pada kebaikan sehingga kita sering mendengar orang mengatakan, ‘Saya sebenarnya ingin sekali menghadiri majelis taklim, menuntut ilmu,’ tanpa ada upaya riil. Kedua, kemauan kuat yang diiringi usaha nyata dengan atau tanpa hasil. Ini kita temukan pada pegawai kantoran, petani, nelayan, pemulung, pengusaha, dan seterusnya. Ketiga, kemauan kuat tanpa upaya, tetapi membawa hasil. Kemauan seperti ini jarang kita temukan karena kemauan seperti ini hanya dimiliki oleh para rasul, wali Allah, dan para wali setan seperti penyihir dan lain sebagainya.
 
قلت: بل تدور مع القدر كيفما دار، حسبما دلت عليه العقول وقضايا الشرع والنقول، فقد قال  . وقال صلى الله عليه وسلم كل شيء بقضاء وقدر ً را ِدَتْقُ م ٍءْيَ ش ِّلُ ى ك َلَ ع ُ َّ اللَّ َ ان َكَ الله تعالى و حتى العجز والكيس. وأنواع الهمم ثلاثة: الهمم القواصر: وهي التى تقتضى العزم والحزم من غير فعل ولا انفعال. والهمم المتوسطة وهي التى توجب مع العزم فعلا ومع الحزم كمالا، سواء وقع انفعال أم لا. والهمم السوابق وهي قوى النفس الفعالة فى الوجود بلا توقف كما يكون من العائن عن خبثة ومن الساحر عن عقده ونفثه ومن المتريض عن تجريد قوى نفسه ومن الولي عن تحققه فى يقينه إذ لا يتوقف انفعال فى كل عن حركة وذلك بقضاء وقدره كما  َِّ اللَّ ِنْذِإِ ب َّ لاِ إ ٍدَحَ أ ْنِ م ِهِ ب َ ين ِّ ار َضِ ب ْمُ ا ه َمَ هو. وقد قال في حق السحرة و

“Menurut saya, kemauan keras itu dapat terjadi sesuai ke mana takdir itu berpihak. Hal ini ditunjukkan oleh dalil aqli dan naqli seperti firman Allah, ‘Allah menentukan segala sesuatu,’ dan sabda Rasulullah SAW, ‘Segala sesuatu itu sesuai dengan putusan dan takdir termasuk kelemahan dan kecerdasan.’ Kemauan terbagi tiga. Pertama, kemauan lemah, yaitu hasrat yang menghadirkan tekad dan keteguhan tanpa upaya nyata dan pengaruh konkret (hasil). Kedua, kemauan standar, yaitu hasrat yang melahirkan upaya nyata di samping tekad, dan totalitas di samping keteguhan baik berhasil atau tidak atas upaya dan tekadnya. Ketiga, kemauan keras, yaitu hasrat berupa kekuatan jiwa yang berpengaruh dalam dunia nyata tanpa tergantung pada sebab seperti ahli hipnotis dengan mata, penyihir berdasar simpul-simpul peraga, mereka yang melatih konsentrasinya dengan memfokuskan pikiran, atau seorang wali berdasarkan keyakinannya. Pengaruh dari kemauan keras mereka atas sesuatu dapat nyata terjadi tanpa didasarkan pada gerak (upaya). Tetapi semua itu terjadi berdasarkan putusan dan takdir Allah. Allah berfirman mengenai para penyihir pada Surat Al-Baqarah ayat 102, ‘Mereka tidak bisa memberi mudharat pada apapun selain dengan izin Allah.” 

Kemauan keras atau kemauan pada kategori ketiga dapat dikategorikan menjadi dua. Pertama, kemauan untuk tujuan baik (kemauan mulia) seperti mencari ridha Allah, kemakrifatan, dan seterusnya. Kedua, kemauan untuk tujuan buruk (kemauan tercela) seperti kesenangan duniawi dan seterusnya. Tetapi sekuat apapun kemauan keras itu, putusan dan takdir Allah tetap mengatasinya sehingga para rasul, para wali Allah, dan hali makrifat lainnya– ketika kemauan kerasnya tak terwujud–tetap menjaga adab waktu.

   لو أقسموا ً ولما كانت همة الفقير المتجرد لا تخطيء في الغالب لقوله عليه السلام أن لله رجالا ً على الله لأ برهم في قسمهم قال شيخنا ولله رجال إذا اهتموا بالشيء كان بإذن الله وقال أيضا عليه السلام اتقوا فراسة المؤمن فإنه ينظر بنور الله خشى الشيخ أن يتوهم أحد أن الهمة تخرق سور القدر وتفعل ما لم يجر به القضاء والقدر فرفع ذلك بقوله سوابق الهمم لا تخرق أسوار الأقدار   كمعرفة الله ً والهمة قوة انبعاث القلب في طلب الشيء والاهتمام به فإن كان ذلك الأمر رفيعا  كطلب الدنيا وحظوظها سميت همة دنية ً خسيسا ً وطلب رضاه سميت همة عالية وإن أمرا وسوابق الهمم من إضافة الموصوف إلى الصفة أي الهمم السوابق لا تخرق أسوار الأقدار أي إذا اهتم العارف أو المريد بشيء وقويت همته بذلك فإن الله تعالى يكون ذلك بقدرته في ساعة واحدة حتى يكون أمره بأمر... فهمة العارف تتوجه للشيء فإن وجدت القضاء سبق به كان   عليه لا تخرقه بل تتأدب معه وترجع لوصفها ً ذلك بإذن الله وإن وجدت سور القدر مضروبا وهي العبودية فلا تتأسف ولا تحزن بل ربما تفرح لرجوعها لمحلها وتحققها بوصفها وقد كان شيخ شيوخنا سي  فخرج فرحنا مرة واحدة وإذا ً دي علي رضي الله عنه يقول نحن إذا قلنا شيئا لم يخرج فرحنا عشر مرات وذلك لتحققه بمعرفة الله قيل لبعضهم بماذا عرفت ربك قال بنقض   كما يقع للعاين والساحر ً العزائم وقد يحصل هذا التأثير للهمة القوية وإن كان صاحبها ناقصا ً عن خبثهما أو لخاص ية جعلها الله فيها إذا نظرا لشيء بقصد انفعل ذلك بإذن الله وهذا كله أيضا لا يخرق أسوار الأقدار بل لا يكون إلا ما أراد الواحد القهار قال تعالى "وما هم بضارين به من أحد إلا بإذن الله" وقال تعالى "إنا كل شيء خلقناه بقدر وقال تعالى "وما تشاؤن إلا أن
يشاء الله" وقال صلى الله عليه وسلم كل شيء بقضاء وقدر حتى العجز والكيس أي النشاط للفعل وأشعر قوله سوابق أن الهمم الضعيفة لا ينفعل لها شيء وهو كذلك في الخير والشر وفي استعارته الخرق والأسوار ما يشعر بالقوة في الجانبين لكن الحاصر قاهر فلا عبرة بقوة العبد القاصر وإذا كانت الهمة لا تخرق أسوار الأقدار فما بالك بالتدبير والاختيار الذي أشار إليه بقوله أرح نفسك من التدبير فما قام به غيرك عنك لا تقم به أنت لنفسك.

Artinya : “Ketika kemauan keras seorang sufi yang tajrid (sebuah maqam di mana kebutuhannya tersedia tanpa usaha) tak pernah meleset karena sabda Rasulullah SAW ‘Allah mempunyai sejumlah hamba yang bila bersumpah atas nama-Nya niscaya Allah akan mewujudkannya,’ kata guru kami, ‘Allah mempunyai sejumlah hamba yang bila menginginkan sesuatu niscaya terjadi berkat izin-Nya,’ dan sabda Rasulullah, ‘Takutlah kepada firasat orang beriman karena ia melihat dengan cahaya Allah,’ Syekh Ibnu Athaillah khawatir seseorang mengira bahwa kemauan keras (himmah) mereka dapat menerobos pagar takdir dan bergerak di luar ketentuan putusan dan takdir Allah. Karenanya Syekh Ibnu Athaillah mengangkat hikmah, ‘Kemauan keras tak bisa menerobos pagar takdir...’ Kemauan (himmah) adalah kekuatan hati yang tergugah dalam menuntut sesuatu dan memikirkannya. Bila sesuatu itu mulia, yaitu makrifatullah dan pengharapan atas ridha-Nya, maka kemauan itu disebut himmah ‘aliyah. Tetapi jika sesuatu itu nista, yaitu mengejar dunia dan bagian-bagian dari duniawi, maka kemauan itu disebut himmah daniyyah. ‘Sawabiqul himam’ merupakan pelekatan diterangkan (D) pada menerangkan (M). Maksud dari ‘Kemauan keras tak bisa menerobos pagar takdir’ adalah bila seorang arifin dan murid memikirkan sesuatu dan berkemauan keras, niscaya Allah mewujudkannya seketika dengan kuasaNya hingga semua urusannya menjadi urusan Allah. Kemauan al-arif billah mengarah pada sesuatu. Jika sesuai dengan putusan Allah, maka kemauan itu akan terwujud dengan izin-Nya. Tetapi bila pagar takdir tertutup, maka keinginan itu tak bisa menerobosnya tetapi justru ia menyesuaikan dengan adab yang seharusnya dalam kondisi demikian terhadap Allah dan keinginan itu kembali pada sifatnya, yaitu penghambaan tanpa penyesalan dan kesedihan. Bahkan ia menjadi senang karena keinginan itu kembali pada tempatnya dan sesuai pada sifat aslinya. Guru dari guru kami, Syekh Ali RA berkata, ‘Kami bila ingin sesuatu dan mengatakannya, lalu terwujud, kami sekali senang. Tetapi bila keinginan kami tak terwujud, maka kami sepuluh kali lipat senangnya.’ Hal ini terjadi karena kesejatian makrifatullah orang tersebut. Ketika ditanya, ‘Dengan apa kau kenal Tuhanmu?’ Seorang ulama menjawab, ‘Dengan pembatalan kemauan dan hasrat (kami).’ Kemauan kuat dapat terwujud sekalipun orang yang menginginkannya tidak sempurna seperti mereka yang mengandalkan kekuatan mata dan penyihir atau sebuah benda yang Allah berikan keistimewaan padanya. Ketika keduanya memandang sesuatu dengan tujuan tertentu, maka sesuatu yang dipandang itu akan berubah sesuai kemauan mereka berdua dengan izin Allah. Semua itu juga takkan dapat menerobos pagar takdir. Itu terjadi hanya karena kehendak Allah yang maha esa dan kuasa sesuai firman Allah, ‘Mereka tidak bisa mencelakai seorang pun kecuali dengan izin Allah,’ ‘Sungguh, kami menciptakan sesuatu dengan takdir,’ ‘Tidaklah kalian berkehendak kecuali Allah menghendaki,’ dan sabda Rasulullah SAW, ‘Setiap sesuatu mesti sesuai putusan dan takdir termasuk lemah dan kecerdasan (maksudnya semangat bergerak).’ Hikmah ini menyatakan secara tersirat bahwa kemauan yang kendur dan lemah tidak membekas apapun dalam kehidupan nyata sekalipun itu berupa kebaikan maupun keburukan. Kata ‘menerobos’ dan ‘pagar’ mengisyaratkan kekuatan di kedua pihak. Tetapi dinding yang memagari itu begitu perkasa sehingga tiada artinya kekuatan seorang hamba yang serba terbatas. Kalau sebuah kemauan keras saja (dalam pengertian Syekh Zarruq) tidak bisa menerobos pagar takdir, apa artinya gagasan yang masih dalam rencana dan upaya sebagai diisyaratkan dalam hikmah Ibnu Athaillah berikutnya, ‘Rihatkan dirimu dari rencana-rencana. Apa yang dilakukan oleh selainmu (Allah) untukmu, jangan lagi kau melakukannya.” 

Meskipun semua terjadi berdasarkan kehendak Allah, kita tetap harus mempertimbangkan hukum kausalitas, hukum alam sebagai ketetapan Allah. Pasalnya, hukum kausalitas dan hokum alam sebagai sunatullah cukup kuat dan kuasa. Syekh M Said Ramadhan Al-Buthi menjelaskan bahwa:




“Jawabannya dapat diringkas bahwa sikap kita terhadap Allah harus sesuai dengan perintah-Nya. Sedangkan sikap kita terhadap sunatullah harus sesuai dengan hukumhukum alam yang ditetapkan oleh-Nya sebagai asas keteraturan alam. Allah memerintahkan kita untuk makan bila lapar, minum bila haus, mencari obat bila sakit, dan menjaga kesehatan serta waspada terhadap segala yang menyebabkan kita celaka dan sakit. Kemudian Allah juga memerintahkan kita untuk mengetahui dengan ilmul yakin bahwa tidak ada satupun yang berbuat sesuatu selain Allah, tiada sesuatu berpengaruh selain dengan sunatullah. Kita juga diperintahkan untuk meyakini bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dan memerintahkan segala sesuatu di alam ini untuk menjalankan tugas sesuai amanah yang dititipkan padanya sebagai firman Allah pada Surat Al-Araf ayat 54, ‘Ketahuilah, di hanya milik-Nya segenap makhluk dan segenap urusan.” 

Syekh Said Ramadhan Al-Buthi menempatkan takdir dengan menyarankan untuk memperhatikan hukum kausalitas dan hukum alam. Meskipun sakit dan sehat adalah kehendak Allah, kita sebagai manusia–menurutnya–harus tetap berupaya untuk menjaga kesehatan dan berupaya hidup sehat. Di tangan Syekh Said Ramadhan Al-Buthi, takdir mengajarkan kita menjadi manusia secara wajar dan fithri. Jangan sekali-kali tidak tertib lalu lintas.

Jangan berdiam diri tanpa mencari obat ketika sakit meski kesembuhan ada di tangan Allah. Jangan coba-coba berdiam diri tidak belajar, tidak sekolah, tidak ngaji, tidak mondok. Aqidah Ahlussunnah menetapkan bahwa Allah yang menciptakan kebaikan dan keburukan. Namun demikian ada beberapa faham yang berusaha mengaburkan kebenaran ini dengan mengutip beberapa ayat yang sering disalahpahami oleh mereka, di antaranya, mereka mengutip firman Allah:


“Dengan kekuasaan-Mu segala kebaikan”. (QS. Ali ‘Imran: 26).

Dalam ayat di atas, terkesan Allah hanya menyebutkan kata “al-Khayr” (kebaikan) saja, tidak menyebutkan al-Syarr (keburukan). Dengan demikian maka Allah hanya menciptakan kebaikan saja, adapun keburukan bukan ciptaan-Nya. Kata al-Syarr (keburukan) tidak disandingkan dengan kata al-Khayr (kabaikan) dalam ayat di atas bukan berarti bahwa Allah bukan pencipta keburukan. Ungkapan semacam ini dalam istilah Ilmu Bayan (salah satu cabang Ilmu Balaghah) dinamakan dengan al-Iktifâ’; yaitu meninggalkan penyebutan suatu kata karena telah diketahui padanan katanya. Contoh semacam ini di dalam al-Qur’an firman Allah:



“Dia (Allah) menjadikan bagi kalian pakaian-pakaian yang memelihara kalian dari dari panas”. (QS. an-Nahl: 81).

Yang dimaksud ayat ini adalah pakaian yang memelihara kalian dari panas, dan juga dari dingin. Artinya, tidak khusus memelihara dari panas saja. Demikian pula dengan pemahaman firman Allah: “Bi-Yadika al-Khayr” (QS. Ali ‘Imran: 26) di atas bukan berarti Allah khusus menciptakan kebaikan saja, tapi yang yang dimaksud adalah menciptakan segala kebaikan dan juga segala keburukan. Kemudian dari pada itu, dalam ayat lain dalam al-Qur’an Allah berfirman:



“Dan Dia Allah yang telah menciptakan segala sesuatu”. (QS. al-Furqan: 2).

Kata “Syai’”, yang secara hafiyah bermakna “sesuatu” dalam ayat ini mencakup segala suatu apapun selain Allah. Mencakup segala benda dan semua sifat benda, termasuk segala perbuatan manusia, juga termasuk segala kebaikan dan segala keburukan. Artinya, segala apapun selain Allah adalah ciptaan Allah. Dalam ayat lain firman Allah:


“Katakanlah (Wahai Muhammad), Ya Allah yang memiliki kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki”. (QS. Ali ‘Imran: 26).

Dari makna firman Allah di atas: “Engkau (Ya Allah) berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki”, kita dapat pahami bahwa Allah adalah Pencipta kebaikan dan keburukan. Allah yang memberikan kerajaan kepada raja-raja kafir seperti Fir’aun, dan Allah pula yang memberikan kerajaan kepada raja-raja mukmin seperti Dzul Qarnain. Adapun firman Allah:



Ayat ini bukan berarti bahwa kebaikan ciptaan Allah, sementara keburukan sebagai ciptaan manusia. Pemaknaan seperti ini adalah pemaknaan yang rusak dan merupakan kekufuran. Makna yang benar ialah, sebagaimana telah ditafsirkan oleh para ulama, bahwa kata “Hasanah” dalam ayat di atas artinya nikmat, sedangkan kata “Sayyi-ah” artinya musibah atau bala (bencana).

Dengan demikian makna ayat di atas ialah: “Segala apapun dari nikmat yang kamu peroleh adalah berasal dari Allah, dan segala apapun dari musibah dan bencana yang menimpamu adalah balasan dari kesalahanmu”. Artinya, amalan buruk yang dilakukan oleh seorang manusia akan dibalas oleh Allah dengan musibah dan bala. Dalam hukum kausalitas, ada sesuatu yang dinamakan “sebab” dan ada yang dinamakan “akibat”. Misalnya, obat sebagai sebab bagi akibat sembuh, api sebagai sebab bagi akibat kebakaran, makan sebagai sebab bagi akibat kenyang, dan lain-lain.

Aqidah Ahlussunnah menetapkan bahwa sebab-sebab dan akibat-akibat tersebut tidak berlaku dengan sendirinya. Artinya, setiap sebab sama sekali tidak menciptakan akibatnya masing-masing. Tapi keduanya, baik sebab maupun akibat, adalah ciptaan Allah dan dengan ketentuan Allah. Dengan demikian, obat dapat menyembuhkan sakit karena kehendak Allah, api dapat membakar karena kehendak Allah, dan demikian seterusnya. Segala akibat jika tidak dikehendaki oleh Allah akan kejadiannya maka itu semua tidak akan pernah terjadi. Dalam sebuah hadits Shahih, Rasulullah bersabda:




“Sesungguhnya Allah yang menciptakan segala obat dan yang menciptakan segala penyakit. Apa bila obat mengenai penyakit maka sembuhlah ia dengan izin Allah”. (HR. Ibn Hibban).

Sabda Rasulullah dalam hadits di atas, “… maka sembuhlah ia dengan izin Allah” adalah bukti bahwa obat tidak dapat memberikan kesembuhan dengan sendirinya. Fenomena ini nyata dalam kehidupan kita sehari-hari, seringkali kita melihat banyak orang dengan berbagai macam penyakit, ketika berobat mereka mempergunakan obat yang sama, padahal jelas penyakit mereka bermacam-macam, dan ternyata sebagian orang tersebut ada yang sembuh, namun sebagian lainnya tidak sembuh.

Tentunya apa bila obat bisa memberikan kesembuhan dengan sendirinya maka pastilah setiap orang yang mempergunakan obat tersebut akan sembuh, namun kenyataan tidak demikian. Inilah yang dimaksud sabda Rasulullah: “… maka akan sembuh dengan izin Allah”. Dengan demikian dapat kita pahami bahwa adanya obat adalah dengan kehendak Allah, demikian pula adanya kesembuhan sebagai akibat dari obat tersebut juga dengan kehendak dan ketentuan Allah, obat tidak dengan sendirinya menciptakan kesembuhan.

Demikian pula dengan sebab-sebab lainnya, semua itu tidak menciptakan akibatnya masing-masing. Kesimpulannya, kita wajib berkeyakinan bahwa sebab tidak menciptakan akibat, akan tetapi Allah yang menciptakan segala sebab dan segala akibat. Salah satu tanda orang mukmin sejati adalah memiliki sikap tawakal kepada Allah subhānahu wa ta‘ālā. Tawakal merupakan bagian dari buah tauhid. Allamah Sayyid Abdullah bin Alawi Al-Haddad dalam kitabnya berjudul Risālatul Mu‘āwanah wal Mudhāharah wal Muwāzarah menjelaskan tentang tiga tanda orang yang benar-benar bertawakal sebagai berikut:





“Ada tiga tanda bagi orang yang bertawakal dengan sebenarnya, yakni pertama, tidak berharap kecuali kepada Allah sekaligus tidak takut kecuali kepada-Nya. Hal itu ditandai dengan keberaniannya mengatakan sesuatu yang benar di hadapan seseorang yang umumnya orang memiliki harapan sekaligus merasa takut kepadanya seperti para amir dan raja.”  Tanda pertama ini berkiatan erat dengan apa yang diucapkan seorang Muslim dalam setiap menunaikan shalatnya, yakni pada saat membaca surah Al-Fatihah, ayat 5: 



“Hanya kepada Engulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.” 

Wujud menyembah dan memohon pertolongan hanya kepada Allah tentu saja tidak hanya berupa shalat, tetapi juga dalam bertawakal kepada-Nya dalam seluruh urusan hidup dan mati. Orang-orang yang benar-benar bertawakal kepada Allah tidak merasa takut untuk berkata benar di depan para penguasa maupun orang-orang kaya yang bisa memberikan fasilitas apa saja.

Demikian pula mereka tidak takut berkata “tidak” ketika suatu persoalan bertentangan dengan apa yang telah disyariatkan oleh Allah meskipun mendapat ancaman atau hukuman dari para penguasa maupun dari orang-orang kaya yang bisa memberikan fasilitas apa saja. Jadi orang yang bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya akan menyerahkan seluruh urusannya kepada Yang Maha Satu semata sehingga tidak ada yang mereka takuti kecuali Allah.

     الرزق ثقة بضمان الله بحيث يكون سكون قلبه عند فقد ما يحتاج ُّ والثانية أن لا يدخل قلبه هم اليه كسكونه في حال وجوده وأشد  

“Kedua, tidak pernah merisaukan masalah rezeki disebabkan merasa yakin akan adanya jaminan Allah sehingga hatinya tetap tenang dan tentram di kala suatu keuntungan luput darinya, sama seperti di kala ia memperolehnya.” Tanda kedua ini berkaitan erat dengan jaminan Allah tentang rezeki sebagaimana termaktub dalam surah Al-An’am, ayat 151:




 “Kamilah yang memberikan rezeki kepadamu dan kepada mereka.”  Orang-orang yang benar-benar bertawakal kepada Allah tidak menujukkan kekhawatiran dan ketakutannya berkaitan dengan rezeki bagi dirinya maupun bagi orang-orang yang menjadi tanggungannya. Hal ini disebabkan mereka meyakini kebenaran surah AlAn’am, ayat 151 di atas. Allahlah yang memberi rezeki kepada setiap makhluk yang diciptakannya. Oleh karena itu, orang-orang yang benar-benar bertawakal kepada Allah tetap merasa tenang ketika kesulitan ekonomi sedang melanda baik dalam sekala terbatas mapun luas sebagaimana ketika ekonomi sedang dalam puncak kesuksesan. Seorang karyawan perusahaan yang terkena PHK karena sesuatu hal sedangkan ia benar-benar bertawakal kepada Allah tentu bersikap tenang karena meyakini “Bos Besar” tidak pernah mem-PHK siapapun. Dialah – dan bukan bos kecil - yang memberinya rezeki lewat pintu mana saja yang Dia kehendaki. 

والثالثة أن لا يضطرب قلبه في مظان الخوف علما منه أن ما أخطأه لم يكن ليصيبه وما أصابه لم يكن ليخطئه

“Ketiga, tidak pernah hatinya terguncang pada saat diperkirakan akan datangnya suatu bahaya disebabkan ia yakin sepenuhnya bahwa tak satu pun ditetapkan ia terhindari darinya, akan tetap menimpanya; dan tak satu pun ditetapkan akan menimpanya, akan terhindar dari dirinya.”  Tanda ketiga ini berkaitan dengan keyakinan akan ketetapan Allah. Orang-orang yang benar-benar bertawakal kepada Allah tentu bersikap tenang menghadapi segala keadaan yang mungkin terjadi disebabkan keridhaannya atas apa yang telah ditetapkan-Nya.

Ancaman bahaya sebesar apapun tidak akan mengguncangkan jiwa mereka. Mereka meyakini apa yang akan terjadi kepada mereka hanyalah apa yang telah ditetapkan-Nya. Singkatnya, orang-orang yang benar-benar bertawakal kepada Allah akan terlihat tanda-tandanya dari tiga hal. Pertama, mereka mandiri dan berani dalam mengatakan kebenaran tanpa rasa takut akan hukuman dari orang-orang berkuasa dan berpengaruh. Kedua, mereka tidak merisaukan soal rejeki karena meyakini Allah telah menjamin rezeki bagi semua yang diciptakan-Nya. Ketiga, mereka bersikap tenang terhadap musibah yang akan menimpa atau tidak akan menimpa mereka karena mengimani takdir dan iradat Allah.  



Sumber : http://ppg.siagapendis.com

@menzour_id


Tidak ada komentar:

Posting Komentar