Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Sabtu, 13 Juli 2019

MODUL FIQIH KB 3 PPG PAI




MODUL FIQIH KB 3

A.  BANK DAN RENTE

Dalam Ensiklopedia Indonesia, bank atau perbankan adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang dengan tujuan memenuhi kebutuhan kredit dengan modal sendiri atau  orang lain. Dari pengertian ini maka bank memiliki dua arti penting, yaitu sebagai perantara pemberi kredit dan menciptakan uang.

Yang dimaksud dengan bank non Islam (convensional bank) adalah lembaga keuangan yang fungsi utamanya untuk menghimpun dana yang kemudian disalurkan kepada orang atau lembaga yang membutuhkannya guna investasi (penanaman  modal) dan usaha-usaha yang produktif dengan sistem bunga.

Contohnya  BNI , BRI. BCA dan sebagainya.  Sedangan yang dimaksud dengan bank Islam  adalah suatau lembaga yang fungsi utamanya menghimpun dana untuk disalurkan kepada orang atau lembaga yang membutuhkannya dengan sistem tanpa bunga. Contohnya  Bank Muamalat.

Tujuan didirikannya bank Islam adalah untuk menghindari bunga uang yang diberlakukan oleh bank convensional. Dari definsi di atas maka dapat dibedakan antara bank convensional dengan bank Islam yaitu bank convensional memakai sistem bunga sedangkan bank Islam tidak. 

Sebagai pengganti sistem bunga, maka bank Islam menempuh cara-cara  sebagai berikut:

1.  Wadiah yaitu titipan uang, barang dan surat-surat berharga).Dalam operasinya bank Islam menghimpun dengan cara menerima deposito berupa uang benda dan surat berharga sebagai amanat yang wajib dijaga keselamatannya oleh bank Islam. Bank berhak menggunakan dana tersebut tanpa harus membayar imbalannya. Namun bank harus menjamin bahwa dana itu dapat dikembalikan tepat pada waktu pemilik deposito memerlukannya.

2.  Mudharabah (kerja sama antara pemilik modal dengan pelaksana). Dengan mudharabah bank Islam dapat memberikan tambahan modal kepada pengusaha untuk perusahaannya dengan perjanjian bagi hasil, baik untung ataupun rugi sesuai dengan perjanjian yang telah ditentukan sebelumnya.

3.  Musyarakah/syirkah (persekutuan). Pihak bank dan penguasa sama-sama mempunyai andil  (saham) pada usaha patungan. Kedua belah pihak andil dalam mengelola usaha patungan itu dan menaggung untung rugi bersama atas dasar perjanjian profit and loss sharing.

4.  Murabahah (jual beli barang dengan tambahan harga atas dasar harga pembelian yang pertama secara jujur). Syarat murabahah antara lain bahwa fihak bank harus memberikan informasi selengkapnya kepada pembeli tentang harga pembeliannya dan keuntungan bersihnya dari cost plusnya.

5.  Qard hasan (pinjaman yang baik). Bank Islam dapat memberikan pinjaman tanpa bunga kepada para nasabah yang baik terutama para nasabah yang memiliki deposito di bank Islam.

6.  Bank Islam boleh mengelola zakat di Negara yang pemerintahannya tidak mengelola zakat secara langsung. Bank Islam juga dapat menggunakan sebagian zakat yang terkumpul untuk proyek-proyek yang produktif yang hasilnya untuk kepentingan agama dan umum. Bank Islam juga boleh menerima dan memungut pembayaran untuk mengganti biaya yang langsung dikeluarkan oleh bank dalam melaksanakan pekerjaannya untuk melayani kepentingan para nasabah misalnya biaya materai, telepon dalam memberitahukan rekening dan lain-lain.

7.  Membayar gaji para karyawan bank yang melakukan pekerjaan untuk kepentingan nasabah, untuk sarana dan prasarana yang disediakan oleh bank dan biaya administrasi pada umumnya.

Dilihat dari fungsinya, bank terbagi menjadi dua. Pertama, bank primer, yaitu bank sirkulasi yang menciptakan uang. Kedua, bank skunder, yaitu bank yang tidak menciptakan uang juga tidak memperbesar dan memperkecil arus uang, seperti bank-bank umum, tabungan, pembiayaan usaha dan pembangunan.

Sedangkan rente dilihat dari segi bahasa berasal dari bahasa Belanda, yang berarti bunga. Sedangkan menurut istilah sebagaimana dikemukakan oleh Dr. Fuad. M. Fachruddin, rente adalah keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan bank karena jasanya meminjamkan uang untuk melancarkan perusahaan orang yang meminjam. Berkat bantuan bank, perusahaan bertambah maju dan keuntungan yang diperolehnya juga bertambah banyak. Permasalahan yang kemudian muncul adalah apakah rente atau bunga bank itu termasuk riba atau bukan?

B.  Riba

1.    Jenis Riba dan Hukumnya
 
Secara bahasa, kata riba berarti tambahan. Dalam istilah hukum Islam, riba berarti  tambahan baik berupa tunai, benda, maupun jasa yang mengharuskan pihak peminjam untuk membayar selain jumlah uang yang dipinjamkan kepada pihak yang meminjamkan pada waktu pengembalian uang pinjaman,  riba semacam ini disebut dengan riba nasiah. 

Menurut Satria Effendi, riba nasiah adalah tambahan pembayaran atas jumlah modal yang disyaratkan lebih dahulu yang harus dibayar oleh si peminjam  kepada yang meminjam tanpa resiko sebagai imbalan dari jarak waktu pembayaran yang diberikan kepada si peminjam.

Riba nasiah ini terjadi dalam hutang piutang, oleh karena itu disebut juga dengan riba duyun dan disebut juga dengan riba jahiliyah, sebab masyarakat Arab sebelum Islam telah dikenal melakukan suatu kebiasaan membebankan tambahan pembayaran atau semua jenis pinjaman yang dikenal dengan sebutan riba. Juga disebut dengan riba jali atau qath’i, sebab dasar hukumnya disebut secara jelas dan pasti.

Sejarah mencatat bahwa praktek riba nasiah ini pernah dipraktekkan oleh kaum Thaqif yang telah terbiasa meminjamkan uang kepada Bani Mughirah. Setelah waktu pembayaran tiba, kaum Mughirah berjanji akan membayar lebih banyak apabila mereka diberi tenggang waktu pembayaran.

Sebagian tokoh sahabat Nabi, seperti paman Nabi, Abbas dan Khalid bin Walid, keduanya pernah mempraktekkannya sehingga turun ayat yang mengharamkannya yang kemudian membuat heran orang musyrik, karena mereka telah menganggap  jual beli itu sama dengan riba.  (Satria Effendi, 1988:147). Ayat tersebut berbunyi:







Artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. 2:275)

Uraian di atas memberikan kejelasan bahwa riba nasiah mengandung tiga unsur.

Pertama, terdapat tambahan pembayaran atau modal yang dipinjamkan.
Kedua, tambahan itu tanpa resiko kecuali sebagai imbalan dari tenggang waktu yang diperoleh si peminjam.
Ketiga, tambahan itu disyaratkan dalam bentuk pemberian piutang dan tenggang waktu.

Bandingkan dengan kasus lain,  penambahan yang dilakukan oleh orang yang berhutang ketika membayar dan tanpa ada syarat sebelumnya, hal itu dibolehkan, bahkan dianggap perbuatan ihsan (baik) yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah (Quraish Shihab, 1988:136).   Rasul pernah berhutang kepada seseorang seekor hewan kemudian beliau bayar dengan hewan yang lebih tua umurnya seraya bersabda:




Artinya: “Sesungguhnya sebaik-baik kamu adalah orang yang paling baik dalam membayar hutangnya.” (HR. Bukhari Muslim)

Fuqaha membedakan mana tambahan yang termasuk riba atau tindakan terpuji. Menurut mereka tambahan pembayaran hutang yang termasuk riba jika tambahan tersebut disyaratkan pada waktu aqad.

Artinya seseorang mau memberikan hutang dengan syarat ada tambahan dalam pengembaliannya. Tindakan ini dinilai tercela karena ada kezaliman dan pemerasan. Sedangkan tambahan yang terpuji itu tidak dijanjikan pada waktu aqad. Tambahan itu diberikan oleh orang yang berhutang ketika ia membayar yang sifatnya tidak mengikat hanya sebagai tanda rasa terima kasih kepada orang yang telah memberikan hutang kepadanya.

Selain riba nasiah seperti telah dijelaskan, dalam kajian fiqh dikenal juga riba dalam bentuk lain yang disebut dengan riba fadhal. Menurut Ibnu Qayyum, riba fadhal ialah riba yang kedudukannya sebagai penunjang keharaman riba nasiah. Dengan kata lain bahwa riba fadhal diharamkan supaya seseorang tidak melakukan riba nasiah yang sudah jelas keharamannya.

Maka Rasulullah melarang menjual emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, korma dengan korma, kecuali dengan sama banyak dan secara tunai. Barang siapa yang menambah atau minta tambah, masuklah ia pada riba. Yang mengambil dan yang memberi sama hukumnya (HR. Bukhari).

Dari pengertian tersebut, fuqaha menyimpulkan bahwa riba fadhal ialah kelebihan yang terdapat dalam tukar menukar antara benda-benda sejenis, seperti emas dengan emas, perak dengan perak dan sebagainya. Tentang keharaman riba, sikap semua agama samawi (Islam, Yahudi dan Nasrani) secara tegas mengharamkan riba karena dianggap sebuah praktek yang dapat merusak moral.

Di dalam kitab perjanjian lama ayat 25 pasal 22 kitab keluaran sebagaimana dikutip oleh Sayyid Sabiq “jika kamu meminjamkan harta kepada salah seorang putra bangsaku, janganlah kamu bersikap seperti orang yang menghutangkan, jangan kamu meminta keuntungan hartamu”. Hal senada dikemukakan pada ayat 35 pasal 25 kitab imamat, “jika saudaramu membutuhkan sesuatu maka tanggunglah, jangan kamu meminta darinya keuntungan dan manfaat”.

Paus Pius berkata “sesungguhya pemakan riba  akan kehilangan harga diri/kemuliaan dalam hidup di dunia dan mereka bukan orang yang pantas dikapankan setelah mereka mati”. Sedangkan dalam Islam, keharaman riba ditetapkan oleh al-Qur’an secara kronologis di berbagai tempat. Pada priode Mekkah turun firman Allah swt surat al-Ruum ayat 39.

Artinya: Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya). (QS.: 30/39)
 
Pada priode Madinah turun ayat yang secara jelas dan tegas tentang keharaman riba, terdapat dalam surat Ali Imran ayat 130

Artinya:  Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.(QS: 3/130)

Ayat terakhir yang memperkuat keharaman riba terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 278-279: 

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.  Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasulNya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.( Baqarah/2: 278-279)

Dua ayat terakhir di atas mempertegas sebuah penolakan secara jelas terhadap orang yang mengatakan bahwa riba tidak haram kecuali jika berlipat ganda. Allah tidak memperbolehkan pengembalian hutang kecuali mengembalikan modal pokok tanpa ada tambahan.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim secara jelas riba adalah perbuatan haram dan termasuk salah satu dari lima dosa besar yang membinasakan. Dalam hadits yang lain, keharaman riba bukan hanya kepada pelakunya saja tapi juga kepada semua pihak yang ikut membantu terlaksananya perbuatan riba tersebut, hal ini diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:

(لعن الله الله آكل الربا، ومؤكله، وشاهديه، وكاتبه. (رواه البخارى ومسل

Artrinya: Allah melaknat pemakan riba, orang yang memberikan makannya, saksi-saksinya dan penulisnya. (HR. Bukhari dan Muslim)
 
2.    Hikmah Keharaman Riba

Berdasar kepada keharaman riba sebagaimana telah dijelaskan di atas, Yususf Qardawi dan Sayyid Sabiq    memberikan komentar yang senada tentang  bahaya riba dalam konteks kehidupan personal dan sosial.

Menurut Yusuf Qardhawi dalam kitabnya al-halal wa al-haram menyatakan bahwa dalam praktek riba terdapat kezaliman. Dalam bentuk pengambilan harta orang lain tanpa hak. Hal ini dapat terlihat dengan jelas dengan keharusa orang yang berhutang untuk mengembalikan sejumlah tambahan dari jumlah hutang yang harus dibayarkan.

Selain itu, menurut Qardhawi bahwa dalam praktek riba terkandung potensi secara psikologis yang   dapat melemahkan kreatifitas manusia untuk bekerja, sehingga manusia melalaikan perdagangannya dan aktifitas ekonomi lainnya  yang mampu memutus kreatifitas hidupnya.

Dampak negatif ini muncul sangatlah beralasan dikarenakan uang yang mengalir ke dalam sakunya diperoleh secara  mudah tanpa mengeluarkan keringat sehingga hidupnya bergantung kepada riba yang diperolehnya tanpa usaha, sehingga muncul mental-mental manusia yang konsumtif dan tidak produktif.

Lanjut Qardhawi menjelaskan, aspek lain  yang tidak kalah pentingnya dari dua dampak terdahulu adalah bahwa dalam praktek riba berpotensi besar untuk  menghilangkan nilai kebaikan dan keadilan dalam hutang piutang.

Transaksi hutang piutang yang pada mulanya mengandung  kebaikan karena di dalamnya terdapat unsur tolong menolong dalam kehupuan sosial, akibat virus riba maka  hutang piutang akhirnya berubah menjadi sebuah praktek pemerasan terselubung yang akan mendorong pelakunya bermental lintah darat yang memanfaatkan kebaikan hutang piutang. 

Selain itu,  dilihat  secara moral, tegas Qardhawi riba sangat tidak memiliki nilai kemanusiaan karena di dalamnya terdapat eksploitasi terhadap kaum lemah, hal ini menurut beliau karena yang menjadi kebiasaan adalah  orang  yang memberi hutang adalah orang kaya dan orang yang berhutang adalah orang miskin. Mengambil kelebihan hutang dari orang yang miskin sangatlah tidak wajar dan bertentangan dengan sifat rahmah Allah swt.,  hal ini akan merusak sendi-sendi kehidupan sosial. (Qardhawi, 1994: 242-243).

Hampir senada dengan Qardhawi, Sayyid Sabiq juga menguraikan dampak negatif yang diakibatkan oleh riba. Namun terdapat point penting lain yang dapat diungkap dari Sabiq  yaitu  bahwa dalam praktek riba akan dapat menimbulkan potensi permusuhan. Hal ini muncul dimungkinkan karena dalam praktek riba menapikan unsur tolong menolong yang dapat memperkuat tali persahabatan dan persaudaraan.

Hal ini jelas bertentangan dengan nilai-nilai kebaikan yang dianjurkan oleh semua agama terutama Islam yang menyeru agar ummatnya dapat hidup selalu saling  tolong menolong dan membenci orang yang mengutamakan kepentingan pribadi dan  mengeksploitasi kerja orang lain.

Lanjut Sabiq mengatakan bahwa praktek riba berpotensi untuk  melahirkan mental hidup mewah (pemboros), pemalas yang tidak mau bekerja dan menimbulkan penimbunan harta tanpa usaha yang tak ubahnya seperti benalu (pohon parasit) yang nempel di pohon lain. Sederet dampak yang tersebut terakhir ini merupakan bentuk mental yang bertentangan dengan semangat ajaran Islam.

Pemborosan merupakan sifat yang  seharusnya dijauhi oleh ummatnya karena pemboros dalam hidupnya hanya menyia-nyiakan harta dengan perbuatan yang tidak bermanfaat yang diklaim sebagai perbuatan syetan.

Demikian halnya dengan sikap berpangku tangan juga merupakan sifat yang tidak islami, karena ajaran  Islam  menganjurkan ummatnya berusaha sekuat tenaga untuk mencari harta  dengan jalan yang benar, menghargai kerja keras dan menghormati orang yang suka bekerja dan menjadikan kerja sebagai sarana mata pencaharian, menuntun orang kepada keahlian dan kemandirian serta mengangkat semangat hidup seseorang.

Butir lain yang tidak kalah pentingnya dengan butit-butir terdahulu yang diungkap Sabiq adalah bahwa praktek  riba merupakan  salah satu cara penjajahan. Hal ini dapat dipahami karena sesungguhnya praktek riba adalah produk jahiliyah yang berkembang sampai sekarang menjadi sebuah kekuatan ekonomi global yang berbasis kapitalis yang jauh dari  nilai tolong nenolong. 

Hal ini tentunya bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri yang mengajak  manusia agar dapat memberikan pinjaman kepada yang memerlukan dengan baik semata untuk mendapat pahala bukan mengekploitasi orang lemah. Hal ini diperkuat firman Allah swt.:





Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. al-Maidah: 2)

Memperhatikan praktek riba dan segala konsekuensi yang diakibatkan darinya sebagaimana  dijelaskan di atas  maka penulis dapat berkesimpulan bahwa akibat yang ditimbulkan oleh praktek riba dapat merusak tatanan kehidupan seseorang baik secara personal maupun sosial yang diistilahkan dalam agama jauh dari keberkahan hidup.

Jika praktek riba dibiarkan tanpa usaha untuk mengembalikan kepada sistem perekonomian Islam yang terbebas dari sistem riba  maka sistem kapitalis di mana terjadi pemerasan dan penganiayaan terhadap kaum lemah akan tetap merajai sistem perekonomian dan di saat itu pula terjadi kegersangan  yang dahsyat bagi kehidupan manusia modern. Di sisi lain akan semakin kuatlah adigium yang menyatakan bahwa orang yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin tertindas.

3.  Ikhtilaf  Hukum Bunga Bank

Sebelum menampilkan perbedaan pendapat tentang hukum bunga bank, nampaknya perlu dikedepankan terlebih dahulu tentang sistem bunga bank itu sendiri.  Dalam sistem  bunga bank konvensional yang berlaku mengharuskan mereka yang menitipkan uang untuk jangka waktu tertentu, mendapat pengembalian uang titipan itu dari bank ditambah dengan bunga yang jumlahnya telah ditentukan pada hari penitipan uang.

Sebaliknya kepada mereka yang meminjam uang dari bank untuk jangka waktu tertentu oleh bank juga diharuskan untuk mengembalikan uang yang dipinjam. Selain itu, iapun harus memberikan uang tambahan yang jumlahnya telah disepakati pada waktu pengembalian pinjaman. Uang tambahan itu disebut dengan bunga.

Terhadap konsep bunga bank seperti tersebut terdapat perbedaan sikap para ulama dalam menghukuminya. Menurut penelitian penulis sedikitnya terdapat empat kelompok ulama tentang hukum bunga bank.

Pertama kelompok muharrimun (kelompok yang menghukuminya haram  secara mutlak).

Kedua kelompok yang mengharamkan jika bersifat konsumtif.

Ketiga, muhallilun (kelompok yang menghalalkan) dan

keempat, kelompok yang menganggapnya syubhat.

Berikut ini akan diuraikan empat kelompok ulama seperti dimaksud:

a.  Yang termasuk kedalam kelompok pertama ini antara lain Abu Zahra, Abu A’la alMaududi, M. Abdullah al-Araby dan Yusuf Qardhawi, Sayyid Sabiq, Jaad al-Haqq Ali Jadd al-Haqq dan Fuad Muhammad Fachruddin. Mereka berpendapat bahwa bunga bank itu riba nasiah yang mutlak keharamannya oleh karena itu, umat Islam tidak boleh berhubungan dengan bank yang memakai sistem bunga, kecuali dalam keadaan darurat. Terkait dengan kondisi yang tersebut terakhir ini, Yusuf Qardhawi berbeda dengan yang lainnya, menurutnya tidak dikenal istilah darurat dalam keharaman bunga bank,  keharamannya bersifat mutlak.

b.  Yang termasuk ke dalam kelompok yang kedua ini antara lain Mustafa A. Zarqa. Beliau berpendapat bahwa riba yang diharamkan adalah yang bersifat konsumtif  seperti yang berlaku pada zaman jahiliyah sebagai bentuk pemerasan kepada kaum lemah yang konsumtif berbeda yang bersifat produktif  tidaklah termasuk haram. Hal senada juga dikemukakan oleh M. Hatta. Tokoh yang tersebut terakhir ini  membedakan antara riba dengan rente. Menurutnya riba itu sifatnya konsumtif dan memeras si peminjam yang membutuhkan pinjaman uang untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Sedangkan rente sifatnya produktif, yaitu dana yang dipinjamkan kepada peminjam digunakan untuk modal usaha yang menghasilkan keuntungan.

c.   Yang termasuk kepada kelompok ketiga antara lain A. Hasan (persis). Beliau berpendapat bahwa bunga bank (rente) seperti yang belaku di Indonesia bukan termasuk riba yang diharamkan karena tidak berlipat ganda  sebagaimana yang dimaksud dalam ayat:




Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali Imran: 130)

d.  Yang termasuk ke dalam kelompok keempat adalah Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam muktamar di Siduarjo 1968 memutuskan bahwa bunga yang diberikan oleh bank kepada para nasabahnya atau sebaliknya termasuk perkara syubhat (belum jelas keharamannya).

Karena yang diharamkan, menurut Muhammadiyah riba yang mengarah kepada pemerasan sejalan dengan QS. 2:279. Artinya: “Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. Al-Baqarah: 279)
 
Muhammadiyah masih ragu apakah ada unsur pemerasan dalam operasional bank. Oleh karena itu Muhammadiyah menganggapnya syubhat tapi Muhammadiyah membolehkannya jika dalam keadaan terpaksa saja.

Masing-masing klaim tentang hukum bunga bank yang dikemukakan oleh para ulama seperti terlihat jelas pada uraian di atas berakar dari perbedaan penafsiran melalui ijitihad mereka terhadap nash yang berbicara tentang riba sehingga masing-masing kelompok memiliki argumentasi yang diyakininya benar.

Terlepas dari perdebatan tersebut,  melihat realitas yang ada bagi umat Islam termasuk di Indonesia sudah menjadi terbiasa hidup dengan bunga bank tanpa ada perasaan risih dan anggapan bahwa bunga bank itu sesuatu yang terpaaksa atau darurat.

Di sisi lain sebagian masyarkat juga ada terjebak dalam praktek pinjam meminjam uang dengan suku bunga tinggi seperti yang dilakukan oleh para rentenir. Berbeda dengan bunga bank, sistem rentenir yang sering disebut “lintah darat” itu  sering menimbulkan kegelisahan di masyarakat sebab .

Kondisi ini muncul dikarenakan beban yang ditanggung oleh pihak nasabah terlalu berat, sementara di sisi lain muncul sekelompok orang yang hidup mewah dari hasil rentrenir yang memeras pihak peminjam. Jika demikian halnya, maka tidaklah diragukan bahwa sisten renten seperti itu termasuk perbuatan terkutuk dan haram hukumnya karena di dalamnya terdapat unsur penganiayaan dan penindasan terhadap orang-orang yang membutuhkan dan praktek ini telah dipraktekkan sejak zaman jahikliyah.

Jadi keharaman rentenir jelas karena termausk kategori riba riba yang diharamkan di dalamnya terdapat kelebihan yang merugikan pihak peminjam, sehingga pihak peminjam merasa teraniaya dan tertindas jika kelebihan dalam batas kewajaran dan itu tidak merugikan salah satu pihak, maka tidak dinamakan riba yang diharamkan.  Dalil yang dijadikan dalil tentang keharaman riba terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 275:




Artinya: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. alBaqarah: 2/275)

Kemudian permasalahannya penting yang perlu jawaban adalah pertanyaan, apakah bunga bank di dalamnya mengandung unsur penganiayaan/penindasan atau tidak?

Bank merupakan lembaga penting dan sistem bunganya merupakan satu mekanisme bank untuk mengelola peredaran modal masyarakat. Dengan fungsi ini, masyarakat dapat menitipkan modalnya kepada bank dan di sisi lain pihak bankpun dapat meminjamkan dana itu kepada anggota masyarakat  lain yang membutuhkan.

Masyarakat yang meminjam uang ke bank pada umumnya digunakan sebagai modal usaha bukan untuk kebutuhan konsumtif  dan dari usaha itu  akan diperoleh keuntungan. Di sisi lain, pemilik modal yang menitipkan uangnya  kepada bank untuk jangka waktu tertentu, ia akan kehilangan haknya untuk menggunakan daya beli dari modalnya dalam jangka waktu tertentu.

Sebaliknya pihak yang meminjam dana tersebut melalui bank yang tidak lain berasal dari modal titipan tadi dapat memanfaatkan pinjaman sebagai modal sehingga menghasilkan keuntungan. Berdasarkan prinsip bahwa tidak terdapat pihak yang dirugikan, maka tidaklah adil kalau pemilik asli modal yang kehilangan hak untuk mempergunakan daya beli modalnya untuk jangka waktu tertentu itu tidak mendapat imbalan.

Sementara itu, peminjam dana yang menggunakannya untuk modal usaha dan memperoleh keuntungan tidak membagi keuntungannya kepada pemilik modal pertama.

Salah satu keberatan yang muncul terhadap sistem bunga bank adalah ketentuan jumlah atau presentase bunga yang sudah ditetapkan terlebih dahulu. Untuk mengatasi persoalan ini ditawarkan alternastif sistem bagi hasil yang berarti nanti diperhitungkan untung dan rugi perusahaan, kemudian  dibagi antara pemilik asli dan pengguna modal, baik keuntungannya maupun kerugiannya.

Tapi pengelolaan sistem bagi hasil sebagaimana dijelaskan di muka  yang sekarang dipraktekkan oleh bank Islam menghadapi permasalahan yang sangkat kompleks dan rumit serta tidak efesien.

Hal yang mungkin terjadi bahwa si peminjam dana dalam mengelolaannya terjadi kegagalan atau kerugian. Tapi pada umumnya masyarakat menerima dengan baik dan merasa diuntungkan oleh sistem bunga bank. Penetapan besarnya presentasi bunga yang akan diterima memberikan perasaan pasti pada para pemilik modal.

Tidak adanya kepastian prosentase bunga  seperti yang tedapat dalam bank Islam merupakan salah satu penyebab mengapa bank itu sukar menarik modal. Apa yang dipraktekkan oleh bank Islam itu sungguh sangat mulia, karena Islam mengajarkan kepada orang yang memiliki rezeki yang lebih agar membantu meminjaminya kepada orang lain yang membutuhkan tanpa mengaharap keuntungan.

Tapi himbauan ini menjadi tidak relevan kalau modal yang dipindah-tangankan untuk sementara itu meliputi jumlah besar dan untuk modal usaha bukan untuk memenuhi kebutuhan konsumtif keluarga.

Kembali tentang hukum bunga bank, mantan syekh dan seorang mufti Sayyid Thantawi berbeda dengan pendahulunya Syekh Jad al-Haq. Thantawi menyatakan bahwa bunga deposito berjangka di bank yang ditetapkan besar presentasenya terlebih dahulu itu tidak haram menurut Islam.

Fatwa ini sejalan dengan apa yang ditulis oleh Rasyid Ridha dalam Tafsit al-Manar, “Tidak termasuk riba seseorang yang memberikan kepada orang lain uang untuk diinfestasikan sambil menentukan baginya dari hasil usaha tersebut kadar tertentu. Karena transaksi semacam ini menguntungkan bagi pemilik dan pengelola modal.

Sedangkan riba yang diharamkan itu merugikan salah satu pihak tanpa alasan serta menguntungkan pihak lain tanpa usaha.”

Diriwayatkan dalam sebuah Hadits, bahwa Jabir pernah memberikan hutang kepada Nabi. Ketika Jabir mendatanginya, Nabi membayar hutangnya dan melebihkannya. Beliau bersabda:




Artinya: “Sebaik-baik kamu adalah yang terbaik dalam membayar hutang.” 

C.  BANK DAN FEE

Fee artinya pungutan dana yang dibebankan kepada nasabah bank untuk kepentingan administrasi, seperti keperluan kertas, biaya operasional, dan lain-lain. Pungutan itu pada hakikatnya bisa dikategorikan bunga, tapi apakah keberadaannya bisa dipersamakan dengan hukum bunga bank.

Untuk menjawab masalah ini dapat dikembalikan kepada pendapat ulama  tentang hukum bunga bank itu sendiri. Bagi kelompok ulama yang mengharamkan bunga bank, maka merekapun mengharamkan fee, karena berarti itu kelebihan, yaitu dengan mengambil manfaat dari sebuah transakasi utang piutang. Tegasnya, mereka menganggap fee adalah riba, meskipun fee itu digunakan untuk dana operasonal.

Sedangkan ulama yang menghalalkan bunga bank dengan alasan keadaan bank itu darurat atau alasan lainnya, merekapun mengatakan bahwa fee bukan termasuk riba, oleh karena itu hukumnya boleh selain alasan bahwa tanpa fee, maka bank tidak bisa beroperasi maka keberadaan sesuatu sebagai alat sama hukumnya dengan keberadaan asal. Dalam hal ini, hukum fee sama dengan bunga bank, yaitu boleh.


@menzour_id    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar