MODUL FIQIH KB 3
A. BANK DAN RENTE
Dalam
Ensiklopedia Indonesia, bank atau perbankan adalah lembaga keuangan yang usaha
pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta
peredaran uang dengan tujuan memenuhi kebutuhan kredit dengan modal sendiri
atau orang lain. Dari pengertian ini
maka bank memiliki dua arti penting, yaitu sebagai perantara pemberi kredit dan
menciptakan uang.
Yang
dimaksud dengan bank non Islam (convensional bank) adalah lembaga keuangan yang
fungsi utamanya untuk menghimpun dana yang kemudian disalurkan kepada orang
atau lembaga yang membutuhkannya guna investasi (penanaman modal) dan usaha-usaha yang produktif dengan
sistem bunga.
Contohnya BNI , BRI. BCA dan sebagainya. Sedangan yang dimaksud dengan bank Islam adalah suatau lembaga yang fungsi utamanya
menghimpun dana untuk disalurkan kepada orang atau lembaga yang membutuhkannya
dengan sistem tanpa bunga. Contohnya
Bank Muamalat.
Tujuan
didirikannya bank Islam adalah untuk menghindari bunga uang yang diberlakukan
oleh bank convensional. Dari definsi di atas maka dapat dibedakan antara bank
convensional dengan bank Islam yaitu bank convensional memakai sistem bunga
sedangkan bank Islam tidak.
Sebagai
pengganti sistem bunga, maka bank Islam menempuh cara-cara sebagai berikut:
1. Wadiah yaitu titipan uang, barang dan
surat-surat berharga).Dalam operasinya bank Islam menghimpun dengan cara
menerima deposito berupa uang benda dan surat berharga sebagai amanat yang
wajib dijaga keselamatannya oleh bank Islam. Bank berhak menggunakan dana tersebut
tanpa harus membayar imbalannya. Namun bank harus menjamin bahwa dana itu dapat
dikembalikan tepat pada waktu pemilik deposito memerlukannya.
2. Mudharabah (kerja sama antara pemilik
modal dengan pelaksana). Dengan mudharabah bank Islam dapat memberikan tambahan
modal kepada pengusaha untuk perusahaannya dengan perjanjian bagi hasil, baik
untung ataupun rugi sesuai dengan perjanjian yang telah ditentukan sebelumnya.
3. Musyarakah/syirkah (persekutuan). Pihak
bank dan penguasa sama-sama mempunyai andil
(saham) pada usaha patungan. Kedua belah pihak andil dalam mengelola
usaha patungan itu dan menaggung untung rugi bersama atas dasar perjanjian
profit and loss sharing.
4. Murabahah (jual beli barang dengan
tambahan harga atas dasar harga pembelian yang pertama secara jujur). Syarat
murabahah antara lain bahwa fihak bank harus memberikan informasi selengkapnya
kepada pembeli tentang harga pembeliannya dan keuntungan bersihnya dari cost
plusnya.
5. Qard hasan (pinjaman yang baik). Bank
Islam dapat memberikan pinjaman tanpa bunga kepada para nasabah yang baik
terutama para nasabah yang memiliki deposito di bank Islam.
6. Bank Islam boleh mengelola zakat di
Negara yang pemerintahannya tidak mengelola zakat secara langsung. Bank Islam
juga dapat menggunakan sebagian zakat yang terkumpul untuk proyek-proyek yang
produktif yang hasilnya untuk kepentingan agama dan umum. Bank Islam juga boleh
menerima dan memungut pembayaran untuk mengganti biaya yang langsung
dikeluarkan oleh bank dalam melaksanakan pekerjaannya untuk melayani
kepentingan para nasabah misalnya biaya materai, telepon dalam memberitahukan
rekening dan lain-lain.
7. Membayar gaji para karyawan bank yang
melakukan pekerjaan untuk kepentingan nasabah, untuk sarana dan prasarana yang
disediakan oleh bank dan biaya administrasi pada umumnya.
Dilihat
dari fungsinya, bank terbagi menjadi dua. Pertama, bank primer, yaitu bank
sirkulasi yang menciptakan uang. Kedua, bank skunder, yaitu bank yang tidak
menciptakan uang juga tidak memperbesar dan memperkecil arus uang, seperti
bank-bank umum, tabungan, pembiayaan usaha dan pembangunan.
Sedangkan
rente dilihat dari segi bahasa berasal dari bahasa Belanda, yang berarti bunga.
Sedangkan menurut istilah sebagaimana dikemukakan oleh Dr. Fuad. M. Fachruddin,
rente adalah keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan bank karena jasanya
meminjamkan uang untuk melancarkan perusahaan orang yang meminjam. Berkat
bantuan bank, perusahaan bertambah maju dan keuntungan yang diperolehnya juga
bertambah banyak. Permasalahan yang kemudian muncul adalah apakah rente atau
bunga bank itu termasuk riba atau bukan?
B. Riba
1. Jenis Riba dan Hukumnya
Secara
bahasa, kata riba berarti tambahan. Dalam istilah hukum Islam, riba
berarti tambahan baik berupa tunai,
benda, maupun jasa yang mengharuskan pihak peminjam untuk membayar selain
jumlah uang yang dipinjamkan kepada pihak yang meminjamkan pada waktu
pengembalian uang pinjaman, riba semacam
ini disebut dengan riba nasiah.
Menurut
Satria Effendi, riba nasiah adalah
tambahan pembayaran atas jumlah modal yang disyaratkan lebih dahulu yang harus
dibayar oleh si peminjam kepada yang
meminjam tanpa resiko sebagai imbalan dari jarak waktu pembayaran yang
diberikan kepada si peminjam.
Riba
nasiah ini terjadi dalam hutang piutang, oleh karena itu disebut juga dengan
riba duyun dan disebut juga dengan riba jahiliyah, sebab masyarakat Arab
sebelum Islam telah dikenal melakukan suatu kebiasaan membebankan tambahan
pembayaran atau semua jenis pinjaman yang dikenal dengan sebutan riba. Juga
disebut dengan riba jali atau qath’i, sebab dasar hukumnya disebut secara jelas
dan pasti.
Sejarah
mencatat bahwa praktek riba nasiah ini pernah dipraktekkan oleh kaum Thaqif
yang telah terbiasa meminjamkan uang kepada Bani Mughirah. Setelah waktu pembayaran
tiba, kaum Mughirah berjanji akan membayar lebih banyak apabila mereka diberi
tenggang waktu pembayaran.
Sebagian
tokoh sahabat Nabi, seperti paman Nabi, Abbas dan Khalid bin Walid, keduanya
pernah mempraktekkannya sehingga turun ayat yang mengharamkannya yang kemudian
membuat heran orang musyrik, karena mereka telah menganggap jual beli itu sama dengan riba. (Satria Effendi, 1988:147). Ayat tersebut
berbunyi:
Artinya:
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. 2:275)
Uraian
di atas memberikan kejelasan bahwa riba nasiah mengandung tiga unsur.
Pertama, terdapat tambahan pembayaran atau
modal yang dipinjamkan.
Kedua, tambahan itu tanpa resiko kecuali
sebagai imbalan dari tenggang waktu yang diperoleh si peminjam.
Ketiga, tambahan itu disyaratkan dalam bentuk
pemberian piutang dan tenggang waktu.
Bandingkan
dengan kasus lain, penambahan yang
dilakukan oleh orang yang berhutang ketika membayar dan tanpa ada syarat
sebelumnya, hal itu dibolehkan, bahkan dianggap perbuatan ihsan (baik) yang
pernah dicontohkan oleh Rasulullah (Quraish Shihab, 1988:136). Rasul pernah berhutang kepada seseorang
seekor hewan kemudian beliau bayar dengan hewan yang lebih tua umurnya seraya
bersabda:
Artinya:
“Sesungguhnya sebaik-baik kamu adalah orang yang paling baik dalam membayar
hutangnya.” (HR. Bukhari Muslim)
Fuqaha
membedakan mana tambahan yang termasuk riba atau tindakan terpuji. Menurut
mereka tambahan pembayaran hutang yang termasuk riba jika tambahan tersebut
disyaratkan pada waktu aqad.
Artinya
seseorang mau memberikan hutang dengan syarat ada tambahan dalam
pengembaliannya. Tindakan ini dinilai tercela karena ada kezaliman dan
pemerasan. Sedangkan tambahan yang terpuji itu tidak dijanjikan pada waktu
aqad. Tambahan itu diberikan oleh orang yang berhutang ketika ia membayar yang
sifatnya tidak mengikat hanya sebagai tanda rasa terima kasih kepada orang yang
telah memberikan hutang kepadanya.
Selain
riba nasiah seperti telah dijelaskan, dalam kajian fiqh dikenal juga riba dalam
bentuk lain yang disebut dengan riba
fadhal. Menurut Ibnu Qayyum, riba fadhal ialah riba yang kedudukannya sebagai penunjang keharaman riba
nasiah. Dengan kata lain bahwa riba fadhal diharamkan supaya seseorang tidak
melakukan riba nasiah yang sudah jelas keharamannya.
Maka
Rasulullah melarang menjual emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan
gandum, korma dengan korma, kecuali dengan sama banyak dan secara tunai. Barang
siapa yang menambah atau minta tambah, masuklah ia pada riba. Yang mengambil
dan yang memberi sama hukumnya (HR. Bukhari).
Dari
pengertian tersebut, fuqaha menyimpulkan bahwa riba fadhal ialah kelebihan yang
terdapat dalam tukar menukar antara benda-benda sejenis, seperti emas dengan
emas, perak dengan perak dan sebagainya. Tentang keharaman riba, sikap semua
agama samawi (Islam, Yahudi dan Nasrani) secara tegas mengharamkan riba karena
dianggap sebuah praktek yang dapat merusak moral.
Di
dalam kitab perjanjian lama ayat 25 pasal 22 kitab keluaran sebagaimana dikutip
oleh Sayyid Sabiq “jika kamu meminjamkan harta kepada salah seorang putra
bangsaku, janganlah kamu bersikap seperti orang yang menghutangkan, jangan kamu
meminta keuntungan hartamu”. Hal senada dikemukakan pada ayat 35 pasal 25 kitab
imamat, “jika saudaramu membutuhkan sesuatu maka tanggunglah, jangan kamu
meminta darinya keuntungan dan manfaat”.
Paus
Pius berkata “sesungguhya pemakan riba
akan kehilangan harga diri/kemuliaan dalam hidup di dunia dan mereka
bukan orang yang pantas dikapankan setelah mereka mati”. Sedangkan dalam Islam,
keharaman riba ditetapkan oleh al-Qur’an secara kronologis di berbagai tempat.
Pada priode Mekkah turun firman Allah swt surat al-Ruum ayat 39.
Artinya:
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta
manusia, Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu
berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka
(yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).
(QS.: 30/39)
Pada
priode Madinah turun ayat yang secara jelas dan tegas tentang keharaman riba,
terdapat dalam surat Ali Imran ayat 130
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya
kamu mendapat keberuntungan.(QS: 3/130)
Ayat
terakhir yang memperkuat keharaman riba terdapat dalam surat al-Baqarah ayat
278-279:
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasulNya akan
memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok
hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.( Baqarah/2: 278-279)
Dua
ayat terakhir di atas mempertegas sebuah penolakan secara jelas terhadap orang
yang mengatakan bahwa riba tidak haram kecuali jika berlipat ganda. Allah tidak
memperbolehkan pengembalian hutang kecuali mengembalikan modal pokok tanpa ada
tambahan.
Dalam
hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim secara jelas riba adalah
perbuatan haram dan termasuk salah satu dari lima dosa besar yang membinasakan.
Dalam hadits yang lain, keharaman riba bukan hanya kepada pelakunya saja tapi
juga kepada semua pihak yang ikut membantu terlaksananya perbuatan riba tersebut,
hal ini diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:
(لعن الله الله آكل الربا، ومؤكله، وشاهديه، وكاتبه. (رواه البخارى ومسل
Artrinya:
Allah melaknat pemakan riba, orang yang memberikan makannya, saksi-saksinya dan
penulisnya. (HR. Bukhari dan Muslim)
2. Hikmah Keharaman Riba
Berdasar
kepada keharaman riba sebagaimana telah dijelaskan di atas, Yususf Qardawi dan
Sayyid Sabiq memberikan komentar yang
senada tentang bahaya riba dalam konteks
kehidupan personal dan sosial.
Menurut
Yusuf Qardhawi dalam kitabnya al-halal wa al-haram menyatakan bahwa dalam
praktek riba terdapat kezaliman. Dalam bentuk pengambilan harta orang lain
tanpa hak. Hal ini dapat terlihat dengan jelas dengan keharusa orang yang
berhutang untuk mengembalikan sejumlah tambahan dari jumlah hutang yang harus
dibayarkan.
Selain
itu, menurut Qardhawi bahwa dalam praktek riba terkandung potensi secara
psikologis yang dapat melemahkan
kreatifitas manusia untuk bekerja, sehingga manusia melalaikan perdagangannya
dan aktifitas ekonomi lainnya yang mampu
memutus kreatifitas hidupnya.
Dampak
negatif ini muncul sangatlah beralasan dikarenakan uang yang mengalir ke dalam
sakunya diperoleh secara mudah tanpa
mengeluarkan keringat sehingga hidupnya bergantung kepada riba yang
diperolehnya tanpa usaha, sehingga muncul mental-mental manusia yang konsumtif
dan tidak produktif.
Lanjut
Qardhawi menjelaskan, aspek lain yang
tidak kalah pentingnya dari dua dampak terdahulu adalah bahwa dalam praktek
riba berpotensi besar untuk
menghilangkan nilai kebaikan dan keadilan dalam hutang piutang.
Transaksi
hutang piutang yang pada mulanya mengandung
kebaikan karena di dalamnya terdapat unsur tolong menolong dalam
kehupuan sosial, akibat virus riba maka
hutang piutang akhirnya berubah menjadi sebuah praktek pemerasan
terselubung yang akan mendorong pelakunya bermental lintah darat yang memanfaatkan
kebaikan hutang piutang.
Selain
itu, dilihat secara moral, tegas Qardhawi riba sangat
tidak memiliki nilai kemanusiaan karena di dalamnya terdapat eksploitasi
terhadap kaum lemah, hal ini menurut beliau karena yang menjadi kebiasaan
adalah orang yang memberi hutang adalah orang kaya dan
orang yang berhutang adalah orang miskin. Mengambil kelebihan hutang dari orang
yang miskin sangatlah tidak wajar dan bertentangan dengan sifat rahmah Allah
swt., hal ini akan merusak sendi-sendi
kehidupan sosial. (Qardhawi, 1994: 242-243).
Hampir
senada dengan Qardhawi, Sayyid Sabiq juga menguraikan dampak negatif yang
diakibatkan oleh riba. Namun terdapat point penting lain yang dapat diungkap
dari Sabiq yaitu bahwa dalam praktek riba akan dapat
menimbulkan potensi permusuhan. Hal ini muncul dimungkinkan karena dalam
praktek riba menapikan unsur tolong menolong yang dapat memperkuat tali
persahabatan dan persaudaraan.
Hal
ini jelas bertentangan dengan nilai-nilai kebaikan yang dianjurkan oleh semua
agama terutama Islam yang menyeru agar ummatnya dapat hidup selalu saling tolong menolong dan membenci orang yang
mengutamakan kepentingan pribadi dan
mengeksploitasi kerja orang lain.
Lanjut
Sabiq mengatakan bahwa praktek riba berpotensi untuk melahirkan mental hidup mewah (pemboros),
pemalas yang tidak mau bekerja dan menimbulkan penimbunan harta tanpa usaha
yang tak ubahnya seperti benalu (pohon parasit) yang nempel di pohon lain.
Sederet dampak yang tersebut terakhir ini merupakan bentuk mental yang
bertentangan dengan semangat ajaran Islam.
Pemborosan
merupakan sifat yang seharusnya dijauhi
oleh ummatnya karena pemboros dalam hidupnya hanya menyia-nyiakan harta dengan
perbuatan yang tidak bermanfaat yang diklaim sebagai perbuatan syetan.
Demikian
halnya dengan sikap berpangku tangan juga merupakan sifat yang tidak islami,
karena ajaran Islam menganjurkan ummatnya berusaha sekuat tenaga
untuk mencari harta dengan jalan yang
benar, menghargai kerja keras dan menghormati orang yang suka bekerja dan
menjadikan kerja sebagai sarana mata pencaharian, menuntun orang kepada
keahlian dan kemandirian serta mengangkat semangat hidup seseorang.
Butir
lain yang tidak kalah pentingnya dengan butit-butir terdahulu yang diungkap
Sabiq adalah bahwa praktek riba
merupakan salah satu cara penjajahan. Hal
ini dapat dipahami karena sesungguhnya praktek riba adalah produk jahiliyah
yang berkembang sampai sekarang menjadi sebuah kekuatan ekonomi global yang
berbasis kapitalis yang jauh dari nilai
tolong nenolong.
Hal
ini tentunya bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri yang mengajak manusia agar dapat memberikan pinjaman kepada
yang memerlukan dengan baik semata untuk mendapat pahala bukan mengekploitasi
orang lemah. Hal ini diperkuat firman Allah swt.:
Artinya:
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu
kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. al-Maidah: 2)
Memperhatikan
praktek riba dan segala konsekuensi yang diakibatkan darinya sebagaimana dijelaskan di atas maka penulis dapat berkesimpulan bahwa akibat
yang ditimbulkan oleh praktek riba dapat merusak tatanan kehidupan seseorang
baik secara personal maupun sosial yang diistilahkan dalam agama jauh dari
keberkahan hidup.
Jika
praktek riba dibiarkan tanpa usaha untuk mengembalikan kepada sistem
perekonomian Islam yang terbebas dari sistem riba maka sistem kapitalis di mana terjadi
pemerasan dan penganiayaan terhadap kaum lemah akan tetap merajai sistem
perekonomian dan di saat itu pula terjadi kegersangan yang dahsyat bagi kehidupan manusia modern.
Di sisi lain akan semakin kuatlah adigium yang menyatakan bahwa orang yang kaya
semakin kaya dan yang miskin semakin tertindas.
3. Ikhtilaf Hukum Bunga Bank
Sebelum
menampilkan perbedaan pendapat tentang hukum bunga bank, nampaknya perlu
dikedepankan terlebih dahulu tentang sistem bunga bank itu sendiri. Dalam sistem
bunga bank konvensional yang berlaku mengharuskan mereka yang menitipkan
uang untuk jangka waktu tertentu, mendapat pengembalian uang titipan itu dari
bank ditambah dengan bunga yang jumlahnya telah ditentukan pada hari penitipan
uang.
Sebaliknya
kepada mereka yang meminjam uang dari bank untuk jangka waktu tertentu oleh
bank juga diharuskan untuk mengembalikan uang yang dipinjam. Selain itu, iapun
harus memberikan uang tambahan yang jumlahnya telah disepakati pada waktu
pengembalian pinjaman. Uang tambahan itu disebut dengan bunga.
Terhadap
konsep bunga bank seperti tersebut terdapat perbedaan sikap para ulama dalam
menghukuminya. Menurut penelitian penulis sedikitnya terdapat empat kelompok
ulama tentang hukum bunga bank.
Pertama kelompok muharrimun (kelompok yang
menghukuminya haram secara mutlak).
Kedua kelompok yang mengharamkan jika bersifat konsumtif.
Ketiga, muhallilun (kelompok yang
menghalalkan) dan
keempat, kelompok yang menganggapnya syubhat.
Berikut
ini akan diuraikan empat kelompok ulama seperti dimaksud:
a. Yang termasuk kedalam kelompok pertama
ini antara lain Abu Zahra, Abu A’la alMaududi, M. Abdullah al-Araby dan Yusuf
Qardhawi, Sayyid Sabiq, Jaad al-Haqq Ali Jadd al-Haqq dan Fuad Muhammad
Fachruddin. Mereka berpendapat bahwa bunga bank itu riba nasiah yang mutlak
keharamannya oleh karena itu, umat Islam tidak boleh berhubungan dengan bank
yang memakai sistem bunga, kecuali dalam keadaan darurat. Terkait dengan
kondisi yang tersebut terakhir ini, Yusuf Qardhawi berbeda dengan yang lainnya,
menurutnya tidak dikenal istilah darurat dalam keharaman bunga bank, keharamannya bersifat mutlak.
b. Yang termasuk ke dalam kelompok yang
kedua ini antara lain Mustafa A. Zarqa. Beliau berpendapat bahwa riba yang
diharamkan adalah yang bersifat konsumtif
seperti yang berlaku pada zaman jahiliyah sebagai bentuk pemerasan
kepada kaum lemah yang konsumtif berbeda yang bersifat produktif tidaklah termasuk haram. Hal senada juga
dikemukakan oleh M. Hatta. Tokoh yang tersebut terakhir ini membedakan antara riba dengan rente.
Menurutnya riba itu sifatnya konsumtif dan memeras si peminjam yang membutuhkan
pinjaman uang untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Sedangkan rente sifatnya
produktif, yaitu dana yang dipinjamkan kepada peminjam digunakan untuk modal
usaha yang menghasilkan keuntungan.
c. Yang termasuk kepada kelompok ketiga
antara lain A. Hasan (persis). Beliau berpendapat bahwa bunga bank (rente)
seperti yang belaku di Indonesia bukan termasuk riba yang diharamkan karena
tidak berlipat ganda sebagaimana yang dimaksud
dalam ayat:
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat
ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”
(QS. Ali Imran: 130)
d. Yang termasuk ke dalam kelompok keempat
adalah Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam muktamar di Siduarjo 1968 memutuskan
bahwa bunga yang diberikan oleh bank kepada para nasabahnya atau sebaliknya
termasuk perkara syubhat (belum jelas keharamannya).
Karena
yang diharamkan, menurut Muhammadiyah riba yang mengarah kepada pemerasan
sejalan dengan QS. 2:279. Artinya: “Maka jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok
hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. Al-Baqarah:
279)
Muhammadiyah
masih ragu apakah ada unsur pemerasan dalam operasional bank. Oleh karena itu
Muhammadiyah menganggapnya syubhat tapi Muhammadiyah membolehkannya jika dalam
keadaan terpaksa saja.
Masing-masing
klaim tentang hukum bunga bank yang dikemukakan oleh para ulama seperti
terlihat jelas pada uraian di atas berakar dari perbedaan penafsiran melalui
ijitihad mereka terhadap nash yang berbicara tentang riba sehingga
masing-masing kelompok memiliki argumentasi yang diyakininya benar.
Terlepas
dari perdebatan tersebut, melihat
realitas yang ada bagi umat Islam termasuk di Indonesia sudah menjadi terbiasa
hidup dengan bunga bank tanpa ada perasaan risih dan anggapan bahwa bunga bank
itu sesuatu yang terpaaksa atau darurat.
Di
sisi lain sebagian masyarkat juga ada terjebak dalam praktek pinjam meminjam
uang dengan suku bunga tinggi seperti yang dilakukan oleh para rentenir.
Berbeda dengan bunga bank, sistem rentenir yang sering disebut “lintah darat”
itu sering menimbulkan kegelisahan di
masyarakat sebab .
Kondisi
ini muncul dikarenakan beban yang ditanggung oleh pihak nasabah terlalu berat,
sementara di sisi lain muncul sekelompok orang yang hidup mewah dari hasil
rentrenir yang memeras pihak peminjam. Jika demikian halnya, maka tidaklah
diragukan bahwa sisten renten seperti itu termasuk perbuatan terkutuk dan haram
hukumnya karena di dalamnya terdapat unsur penganiayaan dan penindasan terhadap
orang-orang yang membutuhkan dan praktek ini telah dipraktekkan sejak zaman
jahikliyah.
Jadi
keharaman rentenir jelas karena termausk kategori riba riba yang diharamkan di
dalamnya terdapat kelebihan yang merugikan pihak peminjam, sehingga pihak
peminjam merasa teraniaya dan tertindas jika kelebihan dalam batas kewajaran
dan itu tidak merugikan salah satu pihak, maka tidak dinamakan riba yang
diharamkan. Dalil yang dijadikan dalil
tentang keharaman riba terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 275:
Artinya:
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. alBaqarah:
2/275)
Kemudian
permasalahannya penting yang perlu jawaban adalah pertanyaan, apakah bunga bank
di dalamnya mengandung unsur penganiayaan/penindasan atau tidak?
Bank
merupakan lembaga penting dan sistem bunganya merupakan satu mekanisme bank
untuk mengelola peredaran modal masyarakat. Dengan fungsi ini, masyarakat dapat
menitipkan modalnya kepada bank dan di sisi lain pihak bankpun dapat
meminjamkan dana itu kepada anggota masyarakat
lain yang membutuhkan.
Masyarakat
yang meminjam uang ke bank pada umumnya digunakan sebagai modal usaha bukan
untuk kebutuhan konsumtif dan dari usaha
itu akan diperoleh keuntungan. Di sisi
lain, pemilik modal yang menitipkan uangnya
kepada bank untuk jangka waktu tertentu, ia akan kehilangan haknya untuk
menggunakan daya beli dari modalnya dalam jangka waktu tertentu.
Sebaliknya
pihak yang meminjam dana tersebut melalui bank yang tidak lain berasal dari
modal titipan tadi dapat memanfaatkan pinjaman sebagai modal sehingga menghasilkan
keuntungan. Berdasarkan prinsip bahwa tidak terdapat pihak yang dirugikan, maka
tidaklah adil kalau pemilik asli modal yang kehilangan hak untuk mempergunakan
daya beli modalnya untuk jangka waktu tertentu itu tidak mendapat imbalan.
Sementara
itu, peminjam dana yang menggunakannya untuk modal usaha dan memperoleh
keuntungan tidak membagi keuntungannya kepada pemilik modal pertama.
Salah
satu keberatan yang muncul terhadap sistem bunga bank adalah ketentuan jumlah
atau presentase bunga yang sudah ditetapkan terlebih dahulu. Untuk mengatasi
persoalan ini ditawarkan alternastif sistem bagi hasil yang berarti nanti
diperhitungkan untung dan rugi perusahaan, kemudian dibagi antara pemilik asli dan pengguna
modal, baik keuntungannya maupun kerugiannya.
Tapi
pengelolaan sistem bagi hasil sebagaimana dijelaskan di muka yang sekarang dipraktekkan oleh bank Islam
menghadapi permasalahan yang sangkat kompleks dan rumit serta tidak efesien.
Hal
yang mungkin terjadi bahwa si peminjam dana dalam mengelolaannya terjadi
kegagalan atau kerugian. Tapi pada umumnya masyarakat menerima dengan baik dan
merasa diuntungkan oleh sistem bunga bank. Penetapan besarnya presentasi bunga
yang akan diterima memberikan perasaan pasti pada para pemilik modal.
Tidak
adanya kepastian prosentase bunga
seperti yang tedapat dalam bank Islam merupakan salah satu penyebab
mengapa bank itu sukar menarik modal. Apa yang dipraktekkan oleh bank Islam itu
sungguh sangat mulia, karena Islam mengajarkan kepada orang yang memiliki rezeki
yang lebih agar membantu meminjaminya kepada orang lain yang membutuhkan tanpa
mengaharap keuntungan.
Tapi
himbauan ini menjadi tidak relevan kalau modal yang dipindah-tangankan untuk
sementara itu meliputi jumlah besar dan untuk modal usaha bukan untuk memenuhi
kebutuhan konsumtif keluarga.
Kembali
tentang hukum bunga bank, mantan syekh dan seorang mufti Sayyid Thantawi
berbeda dengan pendahulunya Syekh Jad al-Haq. Thantawi menyatakan bahwa bunga
deposito berjangka di bank yang ditetapkan besar presentasenya terlebih dahulu
itu tidak haram menurut Islam.
Fatwa
ini sejalan dengan apa yang ditulis oleh Rasyid Ridha dalam Tafsit al-Manar,
“Tidak termasuk riba seseorang yang memberikan kepada orang lain uang untuk
diinfestasikan sambil menentukan baginya dari hasil usaha tersebut kadar
tertentu. Karena transaksi semacam ini menguntungkan bagi pemilik dan pengelola
modal.
Sedangkan
riba yang diharamkan itu merugikan salah satu pihak tanpa alasan serta
menguntungkan pihak lain tanpa usaha.”
Diriwayatkan
dalam sebuah Hadits, bahwa Jabir pernah memberikan hutang kepada Nabi. Ketika
Jabir mendatanginya, Nabi membayar hutangnya dan melebihkannya. Beliau
bersabda:
Artinya:
“Sebaik-baik kamu adalah yang terbaik dalam membayar hutang.”
C. BANK DAN FEE
Fee
artinya pungutan dana yang
dibebankan kepada nasabah bank untuk kepentingan administrasi, seperti
keperluan kertas, biaya operasional, dan lain-lain. Pungutan itu pada
hakikatnya bisa dikategorikan bunga, tapi apakah keberadaannya bisa
dipersamakan dengan hukum bunga bank.
Untuk
menjawab masalah ini dapat dikembalikan kepada pendapat ulama tentang hukum bunga bank itu sendiri. Bagi
kelompok ulama yang mengharamkan bunga bank, maka merekapun mengharamkan fee,
karena berarti itu kelebihan, yaitu dengan mengambil manfaat dari sebuah
transakasi utang piutang. Tegasnya, mereka menganggap fee adalah riba, meskipun
fee itu digunakan untuk dana operasonal.
Sedangkan
ulama yang menghalalkan bunga bank dengan alasan keadaan bank itu darurat atau
alasan lainnya, merekapun mengatakan bahwa fee bukan termasuk riba, oleh karena
itu hukumnya boleh selain alasan bahwa tanpa fee, maka bank tidak bisa
beroperasi maka keberadaan sesuatu sebagai alat sama hukumnya dengan keberadaan
asal. Dalam hal ini, hukum fee sama dengan bunga bank, yaitu boleh.
Sumber
: http://ppg.siagapendis.com
@menzour_id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar