URAIAN MATERI
A. HAKEKAT AKHLAK TERHADAP DIRI SENDIRI
Berbicara akhlak
adalah berbicara mengenai perbuatan baik dan buruk. Perbuatan baik yang
dimaksud adalah perbuatan yang membawa manfaat dan kemuliaan. Sebaliknya
perbuatan buruk maksudnya ialah perbutan yang menyebabkan kemadharatan dan
kehinaan. Dengan demikian dapat difahami
bahwa akhlak terhadap diri sendiri dasarnya adalah sifat jiwa yang sudah
mendarah daging yang dapat menjadi inspirasi dan mendorong perbuatan-perbuatan
yang akibatnya kembali pada dirinya sendiri, baik itu perbuatan yang bermanfaat
maupun perbuatan yang madharat.
Meski hakekatnya
tidak ada satupun manusia di dunia ini yang ingin mendapatkan keburukan apalagi
keburukan tersebut jelas dari akibat perbuatannya, tatapi realitanya banyak
orang yang berakhlak buruk terhadap dirinya sendiri Sejatinya apabila Saudara sudah beramal
shalih, maka berarti Saudara telah berakhlak baik kepada Allah Swt., kepada
diri sendiri dan kepada sesama makhluk. Masih ingatkan kan, pengertian amal
shaleh dan hakekat implementasi imannya? Semua perbuatan yang dilakukan seorang
hamba karena Allah Swt. semata sebagai bentuk pengabdiannya, yakni amal yang implementasinya didasari dengan hakekat
tauhid.
Akhlak yang mulia
kepada diri sendiri adalah bagian dari amal shalih. Sebagai contoh sifat malu.
Sifat malu bisa baik dan sebaiknya bisa buruk bagi seseorang. Apabila ia malu
melakukan sesuatu karena Allah, dipastikan ia malu meninggalkan perbuatan yang
diperintahkan oleh-Nya, atau melakukan perbuatan yang dilarang-Nya. Sifat malu
seperti ini, adalah bagian dari keshalehan seseorang dan akan memberikan
manfaat bagi dirinya serta akan menyebabkan ia akan menjadi orang mulia.
Bagaimana sudah nyambung? Mari kita lanjutkan sub bab berikutnya!
B. MACAM-MACAM AKHLAK TERHADAP DIRI SENDIRI
Setelah Saudara
memahami dengan saksama mengenai akhlak terhadap diri sendiri, bagaimana apa
saja kira-kira yang termasuk akhlak terhadap diri sendiri? Ingat indikatornya
adalah sifat perbuatan yang langsung berpengaruh atau berakibat baik atau
memberi manfaat dan menjadikan derajatnya mulia bagi diri orang yang
menyandangnya. Sifat tersebut akan menagantar pemiliknya menjadi orang yang
sukses dunia akhirat.
Untuk lebih
memudahkan Saudara, berikut ini adalah beberapa sifat yang di masud di atas,
yaitu; khauf dan raja’, malu, rajin, hemat dan istiqamah. Dengan kelima sifat
tersebut apabila sudah terpatri dalam jiwa, insyaAllah Saudara akan dapat
menjadi pribadi sukses dunia akhirat. Selanjutnya mari kita bahas satu
persatu:
1. Khauf dan Raja’
Secara bahasa,
khauf adalah lawan kata al-amnu. Al-Amnu adalah rasa aman, dan khauf adalah
rasa takut. Khaufa adalah perasaan takut terhadap siksa dan keadaan yang tidak
mengenakkan karena kemaksiatan dan dosa yang telah diperbuat. Sedangkan raja’ adalah perasaan penuh harap
akan surga dan berbagai kenikmatan lainnya, sebagai buah dari ketaatan kepada
Allah dan Rasul-Nya.
Bagi seorang
muslim, kedua rasa ini mutlak dihadirkan. Karena akan mengantarkan pada satu
keadaan spiritual yang mendukung kualitas keberagamaan seorang muslim. Kenapa kita harus mempunyai sifat khauf. Ada
beberapa alasan:
Pertama, supaya ada proteksi diri. Terutama
dari perbuatan kemaksiatan atau dosa. Karena, nafsu selalu menyuruh kita untuk
melakukan perbuatan buruk dan tidak ada kata berhenti dalam menjerumuskan kita.
Oleh karena itu,
kita harus membuat nafsu menjadi takut.
Seorang ahli hikmah berkata, “Suatu ketika nafsu mengajak berbuat
maksiat, lalu ia keluar dan berguling- guling di atas pasir yang panas seraya
berkata kepada nafsunya, “Rasakanlah! Neraka jahanam itu lebih panas dari pada
yang anda rasakan ini.”
Kedua, agar tidak ujub atau berbangga diri
dan sombong. Sekalipun kita sedang dalam zona taat, kita harus selalu waspada
terhadap nafsu. Perasaan paling suci, paling bersih dan paling taat adalah di
antara siasat halus nafsu. Karena itulah nafsu harus tetap dipaksa dan
dihinakan tentang apa yang ada padanya, kejahatannya, dosa-dosa dan berbagai
macam bahayanya. Allah Swt. berfirman;
Jangan engkau
merasa paling suci, karena Aku tahu siapa yang paling bertakwa.” (QS an-Najm,
53: 32). Berikutnya, kenapa manusia perlu memiliki sifat raja’. Alasannya
adalah pertama, agar tetap bersemangat dalam ketaatan. Sebab berbuat baik itu
berat dan setan senantiasa akan mencegahnya dengan berbagai cara. Allah Swt.
berfirman:
Artinya: Kemudian
pasti aku akan datangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan dan dari kiri
mereka. Dan Engka tidak akan mendapatka mereka banyak bersyukur. (Al-‘Araf/7:
17) Imam al-Ghazali berkata, “Kesedihan itu dapat mencegah manusia dari makan.
Khauf dapat mencegah orang berbuat dosa. Sedang raja’ bisa menguatkan keinginan
untuk melakukan ketaatan.
Ingat mati dapat
menjadikan orang bersikap zuhud dan tidak mengambil kelebihan harta duniawi
yang tidak perlu. Kedua, agar tetap
tenang dengan berbagai kesulitan hidupnya. Ketika orang benar-benar menyukai
sesuatu, tentu ia sanggup memikul beban beratnya. Bahkan merasa senang dengan
keadaan sulitnya itu. Seperti orang yang mengambil madu di sarang lebah, ia
tidak akan pedulikan sengatan lebah itu, karena ingat akan manisnya madu.
Begitu pula
orang-orang yang tekun beribadah, mereka akan berjibaku apabila ia teringat
surga yang indah dengan berbagai kenikmatannya; kecantikan bidadaribidadarinya,
kemegahan istananya, kelezatan makanan dan minumannya, keindahan pakaian dan
keelokan perhiasannya dan semua yang disediakan Allah di dalamnya.
Di waktu yang
lain, Imam Al-Ghazali menjelaskan ketika ditanya, Manakah yang lebih utama di
antara sikap khauf dan raja`? Sang Hujjatul Islam menjawab dengan pertanyaan
balik. Mana yang lebih enak, roti atau air? Bagi orang yang lapar, roti lebih
tepat. Bagi yang kehausan, air lebih pas. Jika rasa lapar dan haus hadir
bersamaan dan kedua rasa ini sama-sama besar porsinya, maka roti dan air perlu
diasupkan bersama-sama, tambah sufi terbesar sepanjang masa ini.
Bagaimana kalau
orang yang tidak memiliki rasa takut dan tidak punya harapan? Tentu dia akan
sembarangan dalam beramal atau tidak mau berbuat apa-apa. Dan tentunya sulit
dijelaskan bagaimana ia bisa menjadi orang yang sukses.
2. Malu
Menurut bahasa
malu berarti merasa sangat tidak enak hati seperti hina atau segan melakukan
sesuatu karena ada rasa hormat, agak takut, kepada pihak lain. Sedang menurut
istilah adalah adalah sifat yang
mendorong seseorang merasa tidak enak apabila meninggalkan
kewajiban-kewajiabannya sebagai hamba Allah Swt dan meninggalkan
larangan-larangan-Nya.
Malu adalah sifat
atau perasaan yang membentengi seseorang dari melakukan yang rendah atau kurang
sopan. Ajaran Islam mengajarkan pemeluknya memiliki sifat malu karena dapat
menyebankan akhlak seseorang menjadi tinggi. Orang yang tidak memiliki sifat
malu, akhlaknya akan rendah dan tidak mampu mengendalikan hawa nafsu.
Sifat malu
merupakan ciri khas akhlak orang beriman. Orang yang memiliki sifat ini apabila
melakukan kesalahan atau yang tidak patut bagi dirinya akan menunjukkan penyesalan.
Sebaliknya, orang yang tidak memiliki malu merasa biasa saja ketika melakukan
kesalahan dan dosa meskipun banyak orang mengetahuinya. Perasaan malu muncul
dari kesadaran akan perasaan bersalah tetapi sebenarnya perasaan malu tidak
sama dengan perasaaan bersalah.
Rasa malu
merupakan perasaan tidak nyaman tentang bagaimana kita dilihat oleh pihak lain,
yakni Allah semata. Sebagaimana konsep ihsan yang dijelaskan oleh Rasulullah
sebagai berikut:
Artinya:Kamu
mengabdi (melakukan segala sesuatu perbuatan) kepada Allah Swt. seakanakan
melihat kamu melihatnya, lalu jika kamu tidak bisa melihat-Nya, maka
sesungguhnya Dia melihatmu. (HR. Muslim) Ibnul Qoyyim menjelaskan dalam
kitabnya Madarijus Salikin bahwa kuatnya
sifat malu itu tergantung kondisi kualitas hatinya. Sedikit sifat malu disebabkan
oleh kematian hati dan ruhnya, sehingga semakin hidup hati itu maka sifat
malupun semakin sempurna.
Beliau juga
mengatakan, Sifat malu darinya tergantung kepada pengenalannya terhadap
Rabbnya. Atau dengan kata malu adalah sifat yang melekat pada diri seseorang
itu sangat terkait dengan kualitas imannya.
Diriwayatkan oleh Ibnu Umar dalam sebuah hadis Rasulullah Saw. sebagai
berikut:
Artinya: Dari Ibn.
Umar ra. Berkata, Nabi Saw. bersabda:, Malu dan iman senantiasa bersama.
Apabila salah satunya dicabut, maka hilanglah yang lainnya. (HR. Hakim) Islam
menempatkan malu sebagai bagian dari iman. Orang beriman pasti memiliki sifat
malu. Orang yang tidak memiliki malu berarti tidak ada iman dalam dirinya
meskipun lidahnya menyatakan beriman.
Rasulullah SAW
bersabda, ''Iman itu lebih dari 70 atau 60 cabang, cabang iman tertinggi adalah
mengucapkan 'La ilaha illallah', dan cabang iman terendah adalah membuang
gangguan (duri) dari jalan, dan rasa malu merupakan cabang dari iman.'' (HR
Bukhari-Muslim).
Apabila seseorang
hilang malunya, secara bertahap perilakunya akan buruk, kemudian menurun kepada
yang lebih buruk, dan terus meluncur ke bawah dari yang hina kepada lebih hina
sampai ke derajat paling rendah. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw. sebagai
berikut:
Artinya: Dari Ibn.
Umar bahwasannya Nabi Saw. bersabda, ''Sesungguhnya Allah apabila hendak
membinasakan seseorang, Dia mencabut rasa malu dari orang itu. Sesungguhnya
apabila rasa malu seorang hamba sudah dicabut, kamu tidak menjumpainya kecuali
dibenci. Apabila tidak menjumpainya kecuali dibenci, dicabutlah darinya sifat
amanah. Apabila sifat amanah sudah dicabut darinya maka tidak akan didapati
dirinya kecuali sebagai pengkhianat dan dikhianati. Kalau sudah jadi
pengkhianat dan dikhianati, dicabutlah darinya rahmat. Kalau rahmat sudah
dicabut darinya, tidak akan kamu dapati kecuali terkutuk yang mengutuk. Apabila
terkutuk yang mengutuk sudah dicabut darinya, maka akhirnya dicabutlah ikatan
keislamannya.'' (HR Ibn Majah).
Ada tiga macam
malu yang perlu melekat pada seseorang, yaitu:
1. Malu kepada diri sendiri
Ketika sedikit
melakukan amal saleh kepada Allah dan kebaikan untuk umat dibandingkan orang
lain. Malu ini mendorongnya meningkatkan kuantitas amal saleh dan pengabdian
kepada Allah dan umat.
2. Malu kepada manusia.
Ini penting karena
dapat mengendalikan diri agar tidak melanggar ajaran agama, meskipun yang
bersangkutan tidak memperoleh pahala sempurna lantaran malunya bukan karena
Allah. Namun, malu seperti ini dapat memberikan kebaikan baginya dari Allah
karena ia terpelihara dari perbuatan dosa.
3. Malu kepada Allah.
Ini malu yang
terbaik dan dapat membawa kebahagiaan hidup. Orang yang malu kepada Allah,
tidak akan berani melakukan kesalahan dan meninggalkan kewajiban selama
meyakini Allah selalu mengawasinya. Sifat malu begitu penting karena sebagai
benteng pemelihara akhlak seseorang dan bahkan sumber utama kebaikan. Maka dari
itu, sifat ini perlu dimiliki dan dipelihara dengan baik. Sifat malu dapat
meneguhkan iman seseorang.
3. Rajin
Menurut bahasa
rajin berarti suka bekerja, getol (sungguh-sungguh bekerja), giat berusaha dan
kerapkali; terus-menerus. Kata rajin sangat terkenal dengan sebuah peribahasa
“rajin pangkal pandai” Sifat rajin dapat difahami sebagai kondisi jiwa yang
dapat mendorong kesungguhan untuk melakukan kegiatan tertentu secara
terus-menerus dalam mencapai suatu tujuan.
Kebalikannya
adalah sifat malas, sifat yang melekat dengan kuat di dalam sudah yang
mendorong seseorang tidak mau, segan atau tidak berminat melakukan sesuatu.
Perlu difahami bahwa perubahan kondisi dalam hidup kita sangat ditentukan
dengan tingkat keseriusan dan kerja keras yang kita lakukan. Allah Swt. tidak
akan pernah mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu berusaha untuk mengubah
apa yang ada di dalam dirinya. Allah Swt. berfirman sebagai berikut:
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib
suatu kaum, sehingga mereka mau merubah apa yang ada dalam diri mereka sendiri.
(QS. Ar-Ra’du/13: 11)
Merubah sesuatu
yang ada di dalam diri mereka (manusia) yang dimaksud adalah merubah akhlaknya.
Terutama dalam hal ini merubah sifat-sifat yang membangun seperti sifat malas
menjadi rajin, boros/pelit menjadi hemat dan lain-lain. Siapa yang bau berubah
nasibnya menjadi lebih baik maka ia harus merubah sifat-sifat destruktif
menjadi sifat-sifat yang konstruktif.
Keberhasilan tak
akan pernah datang hanya dengan mengkhayal. Sunnatullah dalam kehidupan ini
menegaskan bahwa tidak mungkin kita kenyang hanya dengan mengkhayal, tetapi
rasa kenyang akan datang setelah kita makan, begitu pun juga kesulitan hanya
akan dapat diatasi ketika kita melakukan usaha untuk mengatasinya. Rezeki akan
datang ketika kita berusaha untuk menjemputnya, dan tidak akan pernah datang
hanya dengan bermimpi.
Pentingnya usaha
atau ikhtiar yang kita keluarkan dalam mencapai suatu tujuan yang kita harapkan
itu menjadi landasan penting dari kesungguhan kita dalam bertawakal kepada
Allah Swt. Bertawakal bukanlah berpasrah tanpa usaha, tawakkal ialah upaya yang
diawali kebulatan tekad, menyusun rencana yang matang berdasarkan kemampuan dan
ilmu yang kita miliki.
Jihad juga jangan
hanya dimaknai sebatas mengangkat senjata, tapi pelajaran penting dari jihad
adalah bagaimana pentingnya motivasi untuk berusaha. Pergi ke medan perang
membutuhkan kekuatan lahir dan batin, butuh kekuatan untuk mengusir rasa malas
dan rasa takut. Mungkin kita harus merenungkan pula, jika saja para sesepuh dan
tokoh bangsa ini di masa lalu tak mampu mengusir rasa malasnya, nikmat
kemerdekaan negara ini belum tentu sebaik seperti yang kita rasakan.
Terkait dengan
sifat malas sebagai penyakit yang harus diperangi, Rasulullah Saw. mengajarkan
kepada kita sebuah doa yang sering beliau panjatkan kepada Allah Swt. seperti
diriwayatkan dari Anas ra. sebagai berikut:
Artinya Dari Anas
berkata, dalu Rasulullah Saw. mohon perlindungan kepada Allah dengan
kalimat-kalimat ini. Beliau berdoa, “Ya Allah ya Tuhan kami, sesungguhnya aku
berlindung kepada-Mu dari keluh kesah dan dukacita, aku berlindung kepada-Mu
dari lemah kemauan dan malas, aku berlindung kepadaMu dari sifat pengecut dan
kikir, aku berlindung kepada-Mu dari tekanan utang dan kezaliman manusia.” (HR
Baihaqi)
Melalui doa tersebut,
Rasulullah Saw. mengajarkan kepada kita, bahwa sosok seorang muslim sejati
haruslah tergambar sebagai sosok yang penuh semangat, memiliki motivasi tinggi
dan rajin dalam mengejar kesuksesan, dermawan, mandiri, serta peduli terhadap
sesama. Tidak patut disebut sebagai
seorang muslim sejati, jika kita senantiasa mengeluh, malas, takut, dan kikir,
bahkan selalu bergantung kepada orang lain dan sering berbuat zalim.
Ingatlah bahwa
surga Allah Swt. tak akan dapat kita raih hanya melalui lamunan dan angan-angan,
tapi harus diraih dengan semangat yang tinggi untuk konsisten dalam jalan hidup
yang diridai Allah Swt. Seorang muslim harus rajin dalam segala hal; rajin
beramal, belajar, bekerja, dan berbagai usaha untuk memperbaiki kualitas diri
sehingga menjadi orang yang terbaik, sukses hidupnya dunia akhirat.
d. Hemat
Dalam Kamus Besar
Bahasa Indosenia hemat diartikan dengan berhati-hati dalam membelanjakan uang.
Semenjak Saudara ada di bangku sekolah dasar, pasti Saudara sudah hafal betul
dengan pepatah yang satu ini, "Hemat Pangkal Kaya". Seakan atau
sepintas hemat hanya berhubungan dengan harta. Hemat Pangkal Kaya dimaknai,
apabila kita senang menabung alias hidup hemat dalam kehidupan sehari-hari,
maka kita bisa dengan mudah mencapai apa yang kita inginkan atau kita dambakan.
Bahkan, tidak
mustahil jika ingin menjadi orang yang sukses juga harus hemat. Hemat dalam
kehidupan sehari-hari adalah sifat jiwa yang sudah menyatu dengan dirinya yang
dapat mendorong seseorang menggunakan segala sesuatu yang dimilikinya, baik
harta, tenaga maupun waktu sesuai dengan kebutuhan. Hemat berarti tidak boros dan juga tidak kikir atau pelit.
Orang-orang yang
hemat bisa menahan nafsunya untuk tidak membeli barang yang tidak penting.
Orang yang hemat akan berusaha dengan upaya yang maksimal untuk membeli dan
memenuhi kebutuhannya, meskipun dalam kondisi serba kekurangan. Sikap boros
dilarang oleh ajaran agama Islam sebagaimana firman Allah sebagai berikut:
Artinya:
Sesungguhnya mubadzir itu adalah teman setan. Dan setan itu ingkar kepada
Tuhannya (QS. Al-Isra’/17:27) Sementara pelit atau bakhil itu adalah sesuatu
yang dibenci oleh Allah Swt. dan menyebabkan jauh dari rahmat-Nya. Rasulullah
Saw. bersabda:
Artinya: Dari Abu
Hurairah ra. Dari Nabi Saw. bersabda, ‘Sifat dermawan itu dekat kepada Allah,
dekat dari surga, dekat dengan manusia dan jauh dari neraka. Sedangkan sifat
kikir itu jauh dari Allah, jauh dari surga, jauh dengan manusia dan dekat
dengan neraka (HR. At-Turmudzi)
Bagaimana menurut
Saudara, apakah hemat itu lawan dari boros? Saya berharap Saudara mulai faham
kalau hemat adalah sifat yang terbaik dan yang terbaik adalah yang ada di
tengah.
Hemat bukan boros dan juga bukan pelit. Sementara dermawan adalah memberikan
sesuatu yang kita miliki sesuai dengan yang disyariatkan Allah sedang pelit
adalah menahan hak orang lain yang ada pada diri kita. Hemat adalah
membelanjakan apa yang kita punya secara sempurna. Allah Swt. berfirman:
Artinya: Dan
orag-orang yang membelanjakan (hartanya) dengan tidak berlebih dan tidak pelit.
Dan pembelanjaannya itu sempurna diantara yang demikian itu (QS.
AlFurqan/25:67).
Di era modern ini,
kebanyakan masyarakat memiliki pola hidup yang konsumtif. Ini tentu sangat
susah dihilangkan apabila sudah melekat di dalam diri masing-masing. Dengan
perilaku yang super konsumtif ini, maka akan membuat kesenjangan sosial menjadi
lebih terlihat mencolok. Hal ini juga yang akan menimbulkan dan meningkatkan
kecemburuan sosial di dalam kehidupan bermasyarakat.
Selanjutnya hemat
juga berlaku pada hal-hal selain dalam penggunaan barang/harta dan uang. Orang
yang hemat juga pandai dalam menggunakan kesempatan dan waktu. Ia akan membuat rencana dan jadwal untuk
menggunakan waktu, sehingga tidak ada waktu yang terbuang sia-sia karena hanya
sebuah alasan yang tidak jelas.
Sangat penting
bagi kita apabila bisa menggunakan waktu dengan hal-hal yang positif dan
bermanfaat. Betapa pentingnya kita untuk bisa mengatur waktu, hemat dengan
karunia kesempatan waktu yang sudah Allah Swt. berikan kepada kita. Dia yang
Maha Mengatur beberapa kali bersumpah terkait dengan waktu. Diantaranya adalah
sebagai berikut:
Artinya: Demi
waktu ashr, sesungguhnya manusia dalam kerugian, kecuali orangorang yang
beriman, beramal shalih, saling menasehati dalam kebenaran dan saling
menasehati dalam kesabaran (QS. Al-‘Ashr/103: 1-3)
Waktu merupakan
sesuatu yang berharga dalam setiap kehidupan seseorang. Banyak orang yang gagal
memperoleh kesuksesan karena beranggapan bahwa waktu yang tersedia terbatas.
Padahal waktu yang diberikan kepada kita hakekatnya sama, satu tahun 12 bulan
atau 365 hari, satu hari 24 jam dan seterunya. Masalahnya adalah bagaimana kita
dapat mengatur waktu, menghemat waktu. Keberhasilan kita dalam mengelola waktu
dengan baik dapat membantu kita menghadapi stress yang dapat menimpa pada
sitiap orang.
Dalam hal ini,
kegiatan mengatur waktu menjadi penting bagi kita dan harus dilakukan oleh
setiap pribadi yang ingin hidupnya lebih teratur, terarah, sehat dan terkendali
dan tentunya terhindar dari stress. Proses mengatur waktu dimulai dengan
mengidentifikasi sejumlah kegiatan yang biasa kita lakukan setiap harinya,
dengan kata lain mengidentifikasi kegiatan rutinitas kita setiap harinya.
Hal ini akan
memudahkan kita mengatur dan mengorganisir setiap kegiatan satu per satu dan
menempatkannya pada kuadran waktu yang telah kita tentukan. Bagaimana pendapat
Saudara tentang hubungan hemat dan akhlak terhadap diri sendiri? Mudah-mudahan
Saudara faham dan mengerti. Yang jelas orang yang hemat berarti ia telah
berbuat baik kepada diri sendiri.
Ia akan menjadi
orang yang bisa menahan diri dalam menggunakan karunia Allah, pandai mengelola nikmat terutama sehat dan
waktu, sehingga kita dapat berharga bagi orang lain, merasakan kebahagian tanpa
penyesalan, dan bisa hidup sederhana.
4. Istiqamah
Menurut bahasa
Istiqomah berarti “lurus, menjadi lurus atau tegak lurus”, adalah bentuk
mashdâr dari fiil istaqama – yastaqimu istiqamatan (Almunawwir; 1173), atau
jalan yang lurus dan benar (Mufradat Alfazh al-Qur’an, hlm. 692) juga berarti
tetap beramal berdasarkan agama tauhid, tidak kembali pada kemusyrikan
(AlMaraghi, Juz 24: hlm. 127).
Menurut Istilah
istiqamah adalah kata yang mencakup semua urusan agama yakni mendirikan
(melaksanakannya secara sempurna) dan menunaikan janji terkait dengan ucapan,
perbuatan, keadaan dan niat dengan sebenar-benarnya kehadirat Allah Swt. (Ibn.
Qayyim, Madarid as-Salikin, Juz III, h. 1708)
Abdur Razaq mendefinisikan
bahwa istiqamah itu menuju jalan yang lurus yakni agama yang sempurna dari
keterpihakan ke kanan atau ke kiri, mencakup ketaatan lahir dan batin terhadap
pelaksanaan perintah dan meninggalkan larangan sehingga dapat dikatakan sebagai
wasiat ketaatan agama secara menyeluruh (Asyru Qawaid fi al-Istiqamah, hal.
13).
Dengan demikian
dapat difahami bahwa istiqamah adalah sifat yang sudah menyatu dengan jiwa
seseorang yang mendorong untuk melakukan jalan yang lurus (benar) berupa
ketaatan mutlak kepada Allah Swt. secara konsisten dan terus menerus dalam
keadaan apapun dan di mana pun ketika menjalankan perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya. Ketaan kepada Allah Swt. yang dawam (terus-menerus) merupakan
bagian penting dari Istiqamah.
Jiwa yang istiqamah
adalah jiwa yang muttaqin sejati. Siapa yang dapat menjaga ketakwaannya berarti
dia berkhlak mulia kepada Rabnya sekaligus kepada dirinya sediri. Bahkan ia
juga berakhlak baik kepada semua makluk Allah Swt. Kebaikan dan keutamaan yang
kembali pada diri orang yang istiqamah adalah mendapat jaminan menjadi kekasih
Allah. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an sebagai berikut:
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan bahwa “Tuhan kami adalah Allah,
kemudian mereka istiqamah, maka turunlah malaikat-malaikat kepada mereka sembari berkata “Janganlah
kalian takut dan jangan pula bersedih dan bersenangsenanglah dengan surge yang
telah dijanjikan kepada kalian”. Kami adalah pelindung-pelindung kalian dalam
kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Di dalamnya terdapat sesuatu untuk kalian
yang kalian inginkan dan kalian minta. Sesuatu yang turun dari Tuhan yang Maha
Pengampun dan Maha Penyayang. (QS Fussilat/41:30 -32)
Orang yang
istiqamah, konsisten jalan pikirannya, ucapan dan perbuatannya akan selalu
mendapatkan kemudahan dalam menghadapi kesulitan, akan mendapatkan pertolongan
dari Dzat yang Maha segalanya. Baginya yang susah akan jadi mudah, yang jauh
akan jadi dekat, yang sedikit akan jadi banyak dan seterusnya.
Sumber : http://ppg.siagapendis.com
@menzour_id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar