Pendekatan normatif erat kaitannya dengan pendekatan teologis. pendekatan normatif yaitu suatu pendekatan yang memandang agama dari segi ajarannya yang pokok dan asli dari
Tuhan yang di dalamnya belum terdapat penalaran pemikiran manusia.
Cirri- cirri yang melekat: Loyalitas
terhadap kelompok sendiri, Komitmen, dan
Dedikasi yang tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat subyektif yakni
bahasa sebagai pelaku bukan sebagai pengamat.
A.
Pengertian
teologi Islam
Secara etimologi, Teologi
berasal dari kata theos yang artinya Tuhan dan logos artinya
ilmu. Jadi, Teologi adalah Ilmu Ketuhanan. Sedangkan Teologi Islam
adalah ilmu yang mempelajari tentang Tuhan dan pertaliannya dengan manusia baik
berdasarkan kebenaran wahyu ataupun penyelidikan akal murni.[1]
Pendekatan teologis memahami agama secara harfiah atau pemahaman yang
menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa
wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar
dibandingkan dengan yang lainnya.[2]
Pendekatan teologis sering disebut juga sebagai perspektif timur, Pendekatan teologis
berarti pendekatan kewahyuan atau pendekatan keyakinan peneliti itu sendiri. Dimana agama tidak lain merupakan hak prerogatif Tuhan sendiri. Realitas sejati dari agama adalah sebagaimana yang dikatakan oleh
masing-masing agama.[3]
pendekatan seperti ini biasanya dilakukan dalam penelitian suatu agama untuk
kepentingan agama yang diyakini peneliti tersebut untuk menambah pembenaran
keyakinan terhadap agama yang dipeluknya itu.
Yang termasuk kedalam penelitian teologis ini adalah penelitian-penelitian
yang dilakukan oleh ulama-ulama, pendeta, rahib terhadap suatu subjek masalah dalam agama yang menjadi tanggung jawab
mereka,baik disebabkan oleh adanya pertanyaan dari jamaah maupun dalam rangka
penguatan dan mencari landasan yang akurat bagi suatu mazhab yang sudah ada.
Amin Abdullah dalam bukunya metodologi
study islam mengatakan, bahwa
teologi, sebagaimana kita ketahui, tidak bisa tidak, pasti mengacu kepada
agama tertentu. Loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen,
dan dedikasi yang tinggi serta penggunaan
bahasa yang bersifat subjektif, yakni bahasa sebagai pelaku, bukan
sebagai pengamat adalah merupakan ciri yang melekat pada bentuk pemikiran-teologis.
B.
Pertumbuhan
dan Perkembangan Kajian Teologi dalam Islam
Teologi
Islam muncul
karena adanya masalah-masalah politik yang terjadi setelah wafatnya Rasulullah.
Mulai dari masalah pergantian khalifah hingga masalah yang terjadi setelah
wafatnya Usman Ibn Affan. Ali bin Abi Thalib dituduh melakukan dosa besar
karena tidak mempersoalkan masalah kematian Usman Ibn Affan yang mati terbunuh.
Dari peristiwa inilah lahir beberapa aliran Teologi, seperti aliran
Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Jabariyah, Qadariyah, Asy‘ariah, dan Maturidiah.[4]
1)
Pendekatan Teologi Islam ( Mu’Tazilah )
Kaum
Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih
mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa kaum
Khawarij dan Murji’ah. Dalam pembahasan, mereka banyak menggunakan akal
sehingga mereka mendapat nama “kaum rasional Islam”.[5]
Kaum Mu’tazilah membagi sifat-sifat Tuhan ke dalam dua golongan, yaitu :
a)
Sifat-sifat
yang merupakan esensi Tuhan dan disebut sifat zatiah.
b)
Sifat-sifat
yang merupakan perbuatan-perbuatan Tuhan, yang disebut sifat fi’liyah.[6]
Kaum
Mu’tazilah meyakini adanya lima dasar keimanan dan dijadikan sebagai prasyarat
bagi orang yang ingin bergabung dengan mazhab mereka. Lima dasar tersebut
adalah :
a.
At-Tauhid (keesaan Allah)
ATauhid merupakan prinsip utama dan intisari ajaran
Mu’tazilah, bagi Mu’tazilah Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang
dapat mengurangi arti ke Maha Esaan Allah. Tuhanlah satu-satunya yang Esa yang
tidak ada satu pun menyamainya.
b.
Al-Adl (Keadilan Tuhan)
Ajaran dasar Mu’tazilah yang kedua adalah Al-Adl yang
berarti Tuhan yang Maha Adil. Adil ini merupakan sifat yang menunjukkan
kesempurnaan Tuhan. Ajaran ini bertujuan ingin menempatkan Tuhan benar-benar
adil menurut sudut pandang manusia, karena ala mini diciptakan untuk
kepentingan manusia.
c.
Al-Manzilah
bain al-Manzilatain
Artinya yaitu posisi menengah bagi orang yang berbuat dosa
besar, juga erat hubungannya dengan keadilan Tuhan. Pembuat dosa besar bukanlah
kafir, karena ia masih percaya kepada Tuhan dan Nabi Muhammad SAW tetapi
bukanlah mukmin, karena imannya tidak lagi sempurna. Karena bukan mukmin ia
tidak dapat masuk syurga, dank arena bukan kafir pula ia tidak harus masuk
neraka. Ia seharusnya ditempatkan di luar surga dan di luar neraka.
d.
Perintah
berbuat baik dan larangan berbuat jahat
Menurut mereka hal ini tidak hanya dilakukan dengan seruan
tetapi juga dengan kekerasan.
e.
Tuhan
itu Qadim
Mereka menyatakan bahwa Tuhan itu qadim (terdahulu) maka
sesuatu yang hadits (baru) setelah Tuhan adalah ciptaan Tuhan (makhluk)
sehingga mereka memandang bahwa surga dan neraka itu belum ada karena belum
dipergunakan saat ini.[7]
Adapun tokoh-tokoh Mu’tazilah yaitu:
1) Wasil bin Atha’ al-Ghazzal
2) Abu al-Huzail al-‘Allaf
3) Ibrahim bin Sayyar an-Nazam
4) Mu’ammar bin Abbad as-Sulmay
5) Bisyr bin al-Mu’tamir
2)
Pendekatan
Teologi Islam ( Asy’Ariyah )
Aliran
Teologi ini merupakan aliran yang timbul dari reaksi atas paham-paham golongan
mu’tazilah. Aliran ini dikembangkan oleh Abu al-Hasan ‘Ali Ibn Ismail
al-Asy-‘ari. Al-asy’ari dalam perkembangannya membuat aliran baru yang
kemudian banyak disebut sebagai ahli sunnah wal-jama’ah. Aliran ini timbul atas
respon terhadap paham mu’tazilah, sehingga aliran teologi ini banyak
berpendapat bertentangan dengan paham mu’tazilah. Misalnya dalam pandangan
al-Asy’ari bahwa Tuhan mengetahui dengan sifatnya. Mustahil katanya bahwa Tuhan
mengetahui dengan sifat-Nya karena dengan demikian zat-Nya adalah pengetahuan
dan Tuhan sendiri adalah pengetahuan. Tuhan bukan pengetahuan (‘ilm)
tetapi yang mengetahui (‘Alim). Tuhan mengetahui dengan pengetahuan-Nya
bukanlah dengan zat-Nya. Demikian pula dengan sifat seperti hidup, berkuasa,
mendengar, dan melihat. Begitu juga mengenai al-Qur’an. Al-Asy’ari berpendapat
bahwa al-Qur’an itu Qadim. Mengenai perbuatan, asy’ari berpendapat bahwa
perbuatan manusia bukanlah diciptakan manusia itu sendiri. Asy’ari juga
berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai tangan, muka, mata dan sebagainya
karena Tuhan tidak mempunyai bentuk dan batasan.[8]
Dalam
aliran ini membedakan antara zat, sifat dan af’al Tuhan. Zat Tuhan itu tunggal
tidak bisa difikir, diteliti dan dipelajari, yang dikaji hanyalah sifatnya
karena Tuhan memiliki sifat wajib, sifat mustahil dan sifat jaiz yang secara
normative wajib dihafal dan difahimi secara konfrehensif makna dan
penjelasannya. Misalnya sifat wajib bagi Tuhan yang 20 tebagi lagi menjadi 4
yakni nafsiah, salbiyah, ma’ani dan ma’nawiyah. Inilah sedikit gambaran tentang
aliran teologi asy’ariyah (ahlussunnah waljama’ah) yang mana mayoritas penduduk
Indonesia menganut dan menjalankan aliran ini karena diyakini kebenarannya
secara nash.
[4] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah
Analisa Perbandingan (Jakarta : UI-Press), h. 17
Tidak ada komentar:
Posting Komentar