Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Senin, 10 Juni 2019

TEOLIGI ISLAM SEBAGAI PENDEKATAN NORMATIF

Pendekatan normatif erat kaitannya dengan pendekatan teologis. pendekatan normatif yaitu suatu pendekatan yang memandang agama dari segi ajarannya yang pokok dan asli dari Tuhan yang di dalamnya belum terdapat penalaran pemikiran manusia.
Cirri- cirri yang melekat: Loyalitas terhadap  kelompok sendiri, Komitmen, dan Dedikasi yang tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat subyektif yakni bahasa sebagai pelaku bukan sebagai pengamat.
A.     Pengertian teologi Islam
Secara etimologi, Teologi berasal dari kata theos yang artinya Tuhan dan logos artinya ilmu. Jadi, Teologi adalah Ilmu Ketuhanan. Sedangkan Teologi Islam adalah ilmu yang mempelajari tentang Tuhan dan pertaliannya dengan manusia baik berdasarkan kebenaran wahyu ataupun penyelidikan akal murni.[1]
Pendekatan teologis memahami agama secara harfiah atau pemahaman yang menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan yang lainnya.[2]
Pendekatan teologis sering disebut juga sebagai perspektif timur, Pendekatan teologis berarti pendekatan kewahyuan atau pendekatan keyakinan peneliti itu sendiri. Dimana agama tidak lain merupakan hak prerogatif  Tuhan sendiri. Realitas sejati dari agama adalah sebagaimana yang dikatakan oleh masing-masing agama.[3] pendekatan seperti ini biasanya dilakukan dalam penelitian suatu agama untuk kepentingan agama yang diyakini peneliti tersebut untuk menambah pembenaran keyakinan terhadap agama yang dipeluknya itu.
Yang termasuk kedalam penelitian teologis ini adalah penelitian-penelitian yang dilakukan oleh ulama-ulama, pendeta, rahib terhadap suatu subjek masalah dalam agama yang menjadi tanggung jawab mereka,baik disebabkan oleh adanya pertanyaan dari jamaah maupun dalam rangka penguatan dan mencari landasan yang akurat bagi suatu mazhab yang sudah ada.
Amin Abdullah dalam bukunya metodologi study islam mengatakan, bahwa teologi, seba­gaimana kita ketahui, tidak bisa tidak, pasti mengacu kepada agama tertentu. Loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen, dan dedikasi yang tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat subjektif, yakni bahasa sebagai pelaku, bukan sebagai pengamat adalah merupakan ciri yang melekat pada bentuk pemikiran-teologis.
B.       Pertumbuhan dan Perkembangan Kajian Teologi dalam Islam
Teologi Islam muncul karena adanya masalah-masalah politik yang terjadi setelah wafatnya Rasulullah. Mulai dari masalah pergantian khalifah hingga masalah yang terjadi setelah wafatnya Usman Ibn Affan. Ali bin Abi Thalib dituduh melakukan dosa besar karena tidak mempersoalkan masalah kematian Usman Ibn Affan yang mati terbunuh. Dari peristiwa inilah lahir beberapa aliran Teologi, seperti aliran Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Jabariyah, Qadariyah, Asy‘ariah, dan Maturidiah.[4]
1)   Pendekatan Teologi Islam ( Mu’Tazilah )
Kaum Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa kaum Khawarij dan Murji’ah. Dalam pembahasan, mereka banyak menggunakan akal sehingga mereka mendapat nama “kaum rasional Islam”.[5] Kaum Mu’tazilah membagi sifat-sifat Tuhan ke dalam dua golongan, yaitu :
a)    Sifat-sifat yang merupakan esensi Tuhan dan disebut sifat zatiah.
b)    Sifat-sifat yang merupakan perbuatan-perbuatan Tuhan, yang disebut sifat fi’liyah.[6]
Kaum Mu’tazilah meyakini adanya lima dasar keimanan dan dijadikan sebagai prasyarat bagi orang yang ingin bergabung dengan mazhab mereka. Lima dasar tersebut adalah :
a.         At-Tauhid (keesaan Allah)
ATauhid merupakan prinsip utama dan intisari ajaran Mu’tazilah, bagi Mu’tazilah Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi arti ke Maha Esaan Allah. Tuhanlah satu-satunya yang Esa yang tidak ada satu pun menyamainya.
b.         Al-Adl (Keadilan Tuhan)
Ajaran dasar Mu’tazilah yang kedua adalah Al-Adl yang berarti Tuhan yang Maha Adil. Adil ini merupakan sifat yang menunjukkan kesempurnaan Tuhan. Ajaran ini bertujuan ingin menempatkan Tuhan benar-benar adil menurut sudut pandang manusia, karena ala mini diciptakan untuk kepentingan manusia.
c.         Al-Manzilah bain al-Manzilatain
Artinya yaitu posisi menengah bagi orang yang berbuat dosa besar, juga erat hubungannya dengan keadilan Tuhan. Pembuat dosa besar bukanlah kafir, karena ia masih percaya kepada Tuhan dan Nabi Muhammad SAW tetapi bukanlah mukmin, karena imannya tidak lagi sempurna. Karena bukan mukmin ia tidak dapat masuk syurga, dank arena bukan kafir pula ia tidak harus masuk neraka. Ia seharusnya ditempatkan di luar surga dan di luar neraka.
d.        Perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat
Menurut mereka hal ini tidak hanya dilakukan dengan seruan tetapi juga dengan kekerasan.
e.         Tuhan itu Qadim
Mereka menyatakan bahwa Tuhan itu qadim (terdahulu) maka sesuatu yang hadits (baru) setelah Tuhan adalah ciptaan Tuhan (makhluk) sehingga mereka memandang bahwa surga dan neraka itu belum ada karena belum dipergunakan saat ini.[7] Adapun tokoh-tokoh Mu’tazilah yaitu:
1)   Wasil bin Atha’ al-Ghazzal
2)   Abu al-Huzail al-‘Allaf
3)   Ibrahim bin Sayyar an-Nazam
4)   Mu’ammar bin Abbad as-Sulmay
5)   Bisyr bin al-Mu’tamir
2)    Pendekatan Teologi Islam ( Asy’Ariyah )
Aliran Teologi ini merupakan aliran yang timbul dari reaksi atas paham-paham golongan mu’tazilah. Aliran ini dikembangkan oleh Abu al-Hasan ‘Ali Ibn Ismail al-Asy-‘ari. Al-asy’ari dalam perkembangannya membuat aliran baru yang kemudian banyak disebut sebagai ahli sunnah wal-jama’ah. Aliran ini timbul atas respon terhadap paham mu’tazilah, sehingga aliran teologi ini banyak berpendapat bertentangan dengan paham mu’tazilah.  Misalnya dalam pandangan al-Asy’ari bahwa Tuhan mengetahui dengan sifatnya. Mustahil katanya bahwa Tuhan mengetahui dengan sifat-Nya karena dengan demikian zat-Nya adalah pengetahuan dan Tuhan sendiri adalah pengetahuan. Tuhan bukan pengetahuan (‘ilm) tetapi yang mengetahui (‘Alim). Tuhan mengetahui dengan pengetahuan-Nya bukanlah dengan zat-Nya. Demikian pula dengan sifat seperti hidup, berkuasa, mendengar, dan melihat. Begitu juga mengenai al-Qur’an. Al-Asy’ari berpendapat bahwa al-Qur’an itu Qadim. Mengenai perbuatan, asy’ari berpendapat bahwa perbuatan manusia bukanlah diciptakan manusia itu sendiri. Asy’ari juga berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai tangan, muka, mata dan sebagainya karena Tuhan tidak mempunyai bentuk dan batasan.[8]
Dalam aliran ini membedakan antara zat, sifat dan af’al Tuhan. Zat Tuhan itu tunggal tidak bisa difikir, diteliti dan dipelajari, yang dikaji hanyalah sifatnya karena Tuhan memiliki sifat wajib, sifat mustahil dan sifat jaiz yang secara normative wajib dihafal dan difahimi secara konfrehensif makna dan penjelasannya. Misalnya sifat wajib bagi Tuhan yang 20 tebagi lagi menjadi 4 yakni nafsiah, salbiyah, ma’ani dan ma’nawiyah. Inilah sedikit gambaran tentang aliran teologi asy’ariyah (ahlussunnah waljama’ah) yang mana mayoritas penduduk Indonesia menganut dan menjalankan aliran ini karena diyakini kebenarannya secara nash.






[1] Ahmad Hanafi, Pengantar Teologi Islam (Jakarta : Mutiara Sumber Widya), h. 11-12
[2] H.Abuddin nata,Metodologi study Islam(jakarta,Raja Grafindo,2008)hal 39
[3] Khoirudin, nasution, pengantar studi islam, (yogyakarta :2009), hlm.51

[4] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta : UI-Press), h. 17
[5] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, hlm. 38
[6] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, hlm. 53

[7] Ahmad Hanafi, Theology Islam (Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1991), hlm. 43-46
[8] Ahmad Hanafi, Theology Islam (Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1991), h. 48

Tidak ada komentar:

Posting Komentar