A. OTORITER
Arti
dari otoriter adalah: oto.ri.ter
Adjektiva
(kata sifat) berkuasa sendiri; sewenang-wenang: tindakan yang
otoriter[2]Istilah otoriter ini berasal dari bahasa Inggris, authority, yang
berarti pengaruh, kuasa, wibawa, otoritas.
Kepemimpinan
otoriter atau bisa di sebut kepemimpinan otokratis atau kepemimpinan diktator
adalah suatu kepemimpinan dimana seorang pemimpin ber tindak sebagai diktator,
pemimpin adalah penguasa, semua kendali ada di tangan pemimpin.Otoriter adalah
suatu bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya dipegang oleh satu
orang.Istilah otokrasi berasal dari bahasa yunani. Istilah otokratis berasal
dari dua kata yaitu: autos dan kratos. Autos berarti sendiri atau diri pribadi,
kratos adalah kekuasaan atau kekuatan.Jadi otokratis berarti berkuasa sendiri
secara mutlak (centre of authority).
Pemimpin
otoriter (dictator) dalam praktik memimpin ia mengutamakan kekuasaan (power).
Seorang pemimpin bertipe otokratis menganggap dirinya adalah segala-galanya.
Egonya kokoh menyatakan dirinya adalah pusat kekuasaan dan kewenangan, sehingga
ia berhak menjadikan anak buah sesuai dengan kehendaknya, bawahan tidak boleh
membantah atau mengajukan saran. Kekuasaan pemimpin yang otoriter hanya
dibatasi oleh undang-undang.Pemimpin jenis otoriter biasanya sangat perhatian
terhadap efisiensi dan efektivitas kerja, tetapi meninggalkan perhatian pada
peran anak buah dalam satu kesatuan gerak guna keberhasilan
kepemimpinannya.Pemimpin yang otokratis tidak menghendaki rapat-rapat atau
musyawarah.Setiap perbedaan pendapat diantara para bawahannya diartikan sebagai
kepicikan, pembangkangan, atau pelanggaran disiplin terhadap perintah atau
instruksi.
2.
Gaya dan Ciri Kepemimpinan Otoriter
Gaya
Kepemimpinan Otoriteradalah gaya pemimpin yang memusatkan segala keputusan dan
kebijakan yang diambil dari dirinya sendiri secara penuh. Pada gaya
kepemimpinan ini, pemimpin mengendalikan semua aspek kegiatan. Pemimpin
memberitahukan sasaran apa saja yang ingin dicapai dan cara untuk mencapai
sasaran tersebut, baik itu sasaran utama maupun sasaran minornya.
Ciri-ciri
kepemimpinan otoriter antara lain:
1. Memegang kewenangan mutlak (bersikap
adigang, adigung, dan adiguna).
2. Kuasa dipusatkan pada diri pemimpin ( aji
mumpung).
3. Merumuskan ide sendiri, rencana dan
tujuan.
4. Memilih kebijakan sendiri.
5. Menetapkan keputusan sendiri.
Tipe
kepemimpinan Otoriter antara lain yaitu:
1. Mempraktekkan komunikasi satu arah (one
way traffic of communication).
2. Pengawasan kepada anak buah ketat.
3. Saran, pertimbangan, pendapat dari
bawahan tertutup sama sekali.
Sikap
tipe perilaku otoriter jika menghadapi bawahan:
1. Mementingkan tugas dibandingkan
pendekatan kemanusiaan.
2. Memaksa bawahan untuk patuh dan menuntut
kesetiaan mutlak.
3. Memaksa, mengancam, menghukum atau
mengintimidasi kepada anak buah.
4. Serba intruksi dan perintah.
5. Kasar dalam fikiran, perasaan dan
perbuatan.
6. Mencari perhatian keatasan kalau ia
memimpin tingkat Lini dan Menengah.
7. Lebih banyak kritik dari pada memuji
bawahan.[3]
B. TOTALITER
1. Pengertian Totaliter dan Masyarakat
Totaliter
Istilah
totaliter berasal dari bahasa Latin totus, yang berarti seluruh atau
utuh.Totaliter ini dapat diartikan sebagai bentuk pemerintahan dengan kekuasaan
mutlak negara terhadap hampir seluruh bidang kehidupan masyarakat.Kendali
pemerintahan biasanya diserahkan kepada satu partai politik dan umumnya
dipimpin oleh seorang diktator.
Menurut
Franz magnis-Suseno, totaliterisme merupakan istilah ilmu politik untuk
menyebut gejala: Negara Totaliter. Negara totaliter adalah sebuah sistem
politik yang, dengan melebihi bentuk-bentuk kenegaraan despotik tradisional,
secara menyeluruh mengontrol, menguasai dan memobilisasikan segala segi kehidupan
masyarakat.[4]
Dalam
sistem pemerintahan totaliter, hak individu bioleh dikatakan tidak ada.Individu
dipandang sebagai hamba negara yang tidak memiliki kebebasan memilih atau
bersuara.Pada umumnya peprintahan yang berkuasapun jarang memberi kesempatan
kepada masyarakat atau kelompok-kelompok untuk berkumpul, seperti serikat
buruh, partai politik, dll.
Rezim
totaliter dapat disamakan dengan rezim tradisional pra-demokrasi yang otoriter
atau otokratis.Pemerintah otoriter cenderung mempertahankan kekuasaan dari satu
orang saja serta cenderung mempertahankan struktur sosial tradisional dan
bekerja melalui garis wewenang yang ada.Yang umum terjadi dalam pemerintahan
totaliter, dalam upaya menindas atau mengintimidasi individu dan atau kelompok
lawan, biasanya mereka menggunakan tatktik teror yang dilakukan oleh tentara
atau polisi.Dalam negara yang totaliter, media masa hanya berfungsi sebagai
alat propaganda bagi penguasa.
Sebutan
totaliter diberikan karena seluruh aspek kehidupan tiap individu harus sesuai
dengan garis atau aturan negara, hal ini diperlukan untuk tercapainya tujuan
negara, tujuan bersama. Jerman di bawah Nazi misalnya sangat mengagungkan ras
Aria, sebagai ras yang unggul di atas semua ras lain di dunia. Untuk mewujudkan
hal ini, misalnya pada periode itu dilakukan pemurnian ras Aria di Jerman
dengan upaya untuk menghapus ras lain (utamanya Yahudi).Juga dengan dalih untuk
mempersatukan Jerman Raya, invasi dilakukan kenegara tetangga yang memiliki
penduduk dari Ras Aria.
Pemerintahan
Komunis juga kerap dicontohkan sebagai bentuk perwujudan totaliterisme, karena
kewenangan negara untuk mengatur tiap sisi kehidupan orang perorang.Argumen
pendukungnya adalah bahwa upaya perlawanan terhadap kelompok atau kelas yang
berkuasa menuntut pembersihan terhadap keseluruhan tatanan budaya yang
mendukungnya.
Bentuk
pemerintahan yang mendasarkan diri pada ajaran suatu agama yang menyatukan
otoritas politik dan otoritas spiritual punya potensi kuat menjadi negara
otoriter.karena negara (sebagai otoritas politik sekuler dan spiritual) bisa
mengatur setiap aspek kehidupan warganya.
Masyarakat
totaliter adalah sekumpulan kelompok dari suatu ras yang sudah diubah pola
pikir dan ideloginya melalui doktrin-doktrin oleh seorang penguasa, dimana
masyarakat itu menjadi subordinasi dari si penguasa sehingga jiwa mereka
direbut, dituntun dan dikekang sesuai kebutuhan-kebutuhan negara tersebut.
2. Negara Totaliter
Dalam
negara yang totaliter, media masa hanya berfungsi sebagai alat propaganda bagi
penguasa.Sosialisasi politik di negara totaliter adalah indoktrinasi politik.
Indoktrinasi politik ialah proses sepihak saat penguasa memobilisasi dan
memanipulasi warga masyarakat untuk menerima nilai, norma, dan simbol yang
dianggap pihak yang berkuasa sebagai ideal dan baik. Melalui berbagai forum
pengarahan yang penuh paksaaan psikologis, dan latihan penuh disiplin, partai
politik dalam sistem politik totaliter melaksanakan fungsi indoktinasi
politik.Hitler Sistem pemerintahan totaliter ini dikenal sudah cukup lama dalam
sejarah, tetapi baru mencapai puncaknya sekitar tahun 1920 – 1930. Dua rezim
yang terkondang pada abad 20 adalah pemerintahan nasional sosialisme “NAZI” di
bawah kepemimpinan Adolf Hitler (1933-1945) di jerman dan di bawah kekuasaan bolshevisme soviet
dipimpin Jossif W Stalin (1922-1953) yang lalu menyebar dengan intensitas yang
berbeda beda pada Negara Negara komunis lainya di eropa timur (akibat PD II)
serta di CINA di Korea Utara dan Indocina. Ciri-ciri Sistem Politik Totaliter
Ciri-ciri berikut merupakan hakekat pemerintahan totaliter : Totaliter bukan
sekedar peningkatan bentuk-bentuk pemerintahan opresif seperti despotisme,
pemerintahan tiranik dan diktator, melainkan sesuatu yang secara hakiki baru.
Totalitarisme itu sendiri selalu mengembangkan lembaga-lembaga politik baru dan
menghancurkan semua tradisi sosial, legal dan politik yang ada di Negara itu.
Totalitarisme mengubah kelas-kelas sosial menjadi massa, menggantikan sistem
multi-partai bukan dengan sistem partai tunggal melainkan dengan suatu gerakan
massa, mengalihkan pusat kekuasaan dari tentara ke polisi rahasia, mengarahkan
politik luar negeri secara terbuka pada kekuasaan dunia. Sistem Politik
Totaliter dibedakan menjadi dua bagian, yaitu (1) sistem politik komunis dan
(2) sistem politik fasis.[5]
3. Ciri-ciri Sistem Politik Totaliter
Pengaturan
masyarakat secara menyeluruh atas dasar tertentu dengan kelompok kecil penguasa
yang memonopoli kekuasaan. Penggunaan sistem mobilisasi massa untuk membentuk
masyarakat baru yang akan melaksanakan kebijakan. Penempatan individu di bawah
kehendak dari partai tunggal yang mengatasnamakan bangsa dan negara.
Ciri-ciri
sistem politik totaliter antara lain adalah :
1. Infrastruktur dan fasilitas pemerintahan
dikendalikan secara terpusat. Kekuatan politik diperoleh dan dipertahankan
melalui suatu sistem represiv yang menentang segala bentuk tentangan atau yang
berpotensi yang menentang.
2. Mengikuti prinsip-prinsip berikut : (a).
aturan datang dari seseorang bukan dari hokum. (b). Pemilihan Umum bersifat
kaku (sering kali orang bisa mengetahui siapa pemenangnya, bahkan sebelum
pemilu itu berlangsung). (c). semua keputusan politis ditentukan oleh satu
pihak dan berlangsung tertutup. (d). penggunaan kekuatan politik yang
seolah-olah tidak terbatas.
3. Pemimpin dipilih sendiri atau menyatakan
diri. Jika ada pemilihan, hak kebebasan masyarakat untuk memilih cenderung
tidak diacuhkan.
4. Tidak ada jaminan kebebasan sipil,
apalagi toleransi yang ingin menjadi oposisi.
5. Tidak ada kebebasan untuk membentuk suatu
kelompok, organisasi, atau partai politik untuk bersaing dengan kekuatan
politik yang incumbent.
6. Kestabilan politik dipertahankan melalui
(a). kontrol penuh terhadap dukungan pihak militer untuk mempertahankan
keamanan sistem dan kontrol terhadap masyarakat. (b). birokrasi dikuasai oleh
orang-orang yang mendukung rezim. (c). kendali terhadap oposisi dari internal
Negara. (d). pemaksaan kepatuhan kepada public melalui berbagai cara
sosialisasi.[6]
Totalitarisme
adalah versi ekstrim dari sistem otoriterisme.Sistem totalitarisme dinilai
memiliki karisma kepemimpinan yang tinggi dibanding sistem otoriterisme.Dalam
hal peran kepemimpinan, sistem totalitarisme menjalankannya sesuai fungsi,
berbeda dengan sistem otoriterisme yang menjalankan secara pribadi.
4. Bentuk Sosialisasi Politik dalam
Masyarakat Totaliter
Sosialisasi
politik dalam masyarakat totaliter memiliki banyak cara dan metodenya.[7]
Contohnya di Negara Jerman pada masa kepemimpinan Adolf Hitler, sosialisinya
yaitu melalui pendidikan formal dan
loyalitas pertama mereka adalah kepada negara, yang dipersonifikasikan oleh pemimpinnya
( fuhrer atau pemimpin ). dimana semua pemuda pada masa itu diasuh dan di dalam
keluarga serta sekolah-sekolah, secara fisik, intelektual dan moral harus
dididik dalam semangat Sosialisme Nasional lewat pemuda Hitler.
Pada
tahun 1939, setiap anak diwajibkan menjadi anggota pemuda Hitler, dan setiap
orang tua yang menolak indokrinasi tersebut dapat ditindak dengan jalan
diambilnya anak-anak dari asuhan mereka.
Antara
usia 6 sampai 10 tahun, anak-anak Jerman memperoleh latihan persiapan dalam hal
sejarah perkemahan, atletik dan ideologi. Pada usia 10 tahun mereka di tes, dan
bila cocok, anak laki-laki di tingkatkan kejunvolk, sedangkan anak perempuan
ditingkatkan ke jungmadel. Dan pada saat itu mereka mengucapkan sumpah
setia-patuh kepada Fuhrer.Pada usia 14 tahun anak laki-laki mulai memasuki
pemuda Hitler, dan menerima instruksi sistematik dalam ideologi dan latihan
fisik serta militer. Dan pada usia 18 tahun mereka masuk dinas kerja, disusul
kemudian dengan dinas militer. Pola bagi anak-anak perempuan sama juga, akan
tetapi mereka memiliki organisasi-organisasinya sendiri, yaitu jungmadle (dari
usia 10 sampai 14 tahun), dan Bund Deutscher Madel (dari usia 14 sampai 21
tahun), yang kemudian disusul dengan dinas 1 tahun di bidang pertanian. Dan
jika ada yang menentang dengan kebijakan tersebut maka akan di hukum mati.
Pola
sosialisasi yang sama terdapat juga di Uni Soviet, dengan penekananya baik pada
pendidikan formal maupun pada gerakan-gerakan pemuda. Semua pengajaran harus
disesuaikan dengan ideoligi komunis, dan buku-buku teks digunakan sebagai
saran-sarana instruksi politik.
Sosialisasi
politik itu tidak dibiarkan menempuh jalannya sendiri, akan tetapi menjadi
bagian terpadu dari sistem totaliter, merupakan sarana dengan mana rezim yang
bersangkutan secara terang-terangan berusaha mengabadikan dirinya sendiri dan
menjadi idiologi yang mendasarinya.
C. DAFTAR
PUSTAKA
A.
Prasentyantoko, 1999, Kaum Profesional Menentang Rezim Otoriter, Jakarta:
Gramedia.
Arendt
Hannah, 1995, Asal-Usul Totaliterisme: jilid III Totaliterisme, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Budiardjo,
Miriam, 2008, Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Carter,
April, 1985,Otoritas dan Demokrasi, Jakarta: Rajawali.
Magnis-Suseno,
Franz, 2003, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan
Revisionisme, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Rush
Michael, Philip Althoff, 2008,
Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta:
Rajawali Pers.
[1]Miriam
Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008),
hlm.10
[2]Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
[3]Drs.
E. Martono, B. Sc, MM, Ilmu dan Seni Kepemimpinan, (Jakarta: Pustaka Bina
Cipta,2014) hal. 56
[4]
Franz Magnis-Suseno, Etika Politik Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern (Jakarta:1991), hal.45
[5]Ibid,
hlm. 50
[6]Hannah
Arendt, 1995, Asal-Usul Totaliterisme: jilid III Totaliterisme, (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia,1995), hal. 24
[7]Ibid,
hal. 26
Tidak ada komentar:
Posting Komentar