Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Selasa, 18 Juni 2019

MODUL HADIS KB 2 PPG PAI



KB 2 MODUL HADIS

Silakan mulai belajar dengan membaca hadis di bawah ini, memahami arti katakata penting, memahami terjemah Hadis kemudian membaca uraian berikutnya. Hadis Nabi:

Terjemah Hadis: Dari Sahl bin Sa’ad, Rasulullah saw bersabda: Saya dan orang yang menanggung hidup anak yatim akan berada di surga seperti ini –Rasulullah bersabda demikian dengan sambil merekatkan jari telunjuk dan jari tengahnya. (HR Bukhari dan Turmudzi)

Penjelasan Hadis: Al-Ahwadzi dalam menjelaskan hadis di atas mengatakan bahwa yang dimaksud kata “Kafilul Yatim” adalah orang mengurus keperluan anak yatim dan yang mendidiknya. Dalam hadis di atas, Rasulullah memberikan dorongan agar kita mau menjamin dalam arti yang tidak hanya membesarkan secara fisik, tetapi mencakup Ahwadzi, Syarh Sunan al-Turmudzi, CD Barnamaj al-Hadis al-Syarif

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, anak yang tidak mempunyai ayah atau ibu karena ditinggal mati disebut “yatim”. Tetapi menurut al-Khuly, yatim adalah anak yang ditinggal mati ayahnya, dan kata yatim juga bisa dipakaikan untuk hewan yang ditinggal mati induknya.

Kalau dalam Terminologi (istilah) Bahasa Arab dikatakan bahwa kata yatim hanya diperuntukkan bagi anak yang ditinggal mati ayahnya, hal itu –sebagaimana dikatakan al-Jurjani—dikarenakan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah, bukan ibu. Karena itu pula anak binatang yang ditinggal mati induknya disebut yatim pula karena induknyalah yang bertanggung jawab memberi makan kepadanya. Dalam sejarah bangsa Arab masa lampau diketahui pula bahwa dalam intern bangsa Arab pada umumnya sering terjadi peperangan antar suku yang melibatkan kaum laki-laki dan banyak diantara mereka yang terbunuh. Mereka mingggalkan anak-anak yatim pada istriistri mereka yang secara cultural bukanlah orang-orang yang bertanggungjawab mencari nafkah, melainkan menjadi penanggung jawab urusan domestic atau rumah tangga. Karena itu, kesan yang timbul dari konsep menyantuni anak yatim adalah memberi nafkah atau bantuan materi. Uraian berikut akan mencoba menjelaskan bahwa kebutuhan hidup seorang anak yatim tidak hanya kebutuhan makanan, pakaian, dan tempat tinggal.

1.   Kehidupan Anak Yatim

Sungguh bahagia seorang anak yang lahir kedunia dan mendapatkan kasih sayang lahir dan batin dari kedua orang tuanya. Anak yang dibesarkan dengan kasih sayang, dukungan dan nasehat akan tumbuh menjadi orang yang mampu mengatasi persoalan hidup di kemudian hari.

Namun tidak semua anak selalu beruntung memiliki kedua orang tua. Ada anak yang ketika lahir, ayah dan ibunya masih ada tetapi selagi dia masih membutuhkan kasih sayang dari keduanya dan masih ingin bermanja-manja tiba-tiba harus menghadapi kenyataan, menerima musibah kematian ayahnya atau ibunya. Ada pula anak-anak yang sejak lahir sudah tidak mempunyai ayah atau ibu.

Setiap anak lahir dengan membawa potensi-potensi fisik, psikis, moral, intelektual, dan spiritual yang dapat dikembangkan dan akan sangat dipengaruhi oleh lingkungannya. Ibarat kertas yang masih putih bersih, apa saja bisa digoreskan di atasnya, tulisan yang indah, gambar yang elok, atau sebaliknya coretan-coretan yang tidak jelas, maupun lukisan yang buruk dapat dituangkan diatas kertas tersebut.

Begitulah, setiap anak sedikit banyak terpengaruh oleh orang tua atau lingkungannya di waktu kecil. Seorang anak yang dibesarkan oleh orang yang baik dan di lingkungan yang baik, maka akan terbentuk pada dirinya kepribadian yang baik. Sebaliknya jika dibesarkan oleh orang yang berkepribadian buruk dan tinggal di lingkungan yang buruk, maka akan lahir darinya kepribadian yang buruk. Setiap anak memiliki karakter khas yang merupakan hasil bentukan di masa kecil. Bisa berupa karakter yang baik, bisa juga berupa karakter yang kurang baik. Bisa berupa karakter yang sulit diubah, bisa juga karakter yang mudah sekali untuk diubah.

Anak yang dibesarkan dengan kasih sayang orang tua akan berbeda dengan karakternya dengan anak yang tidak atau sedikit mendapatkan kasih sayang orang tuanya karena telah meninggal. Karena itulah kita sangat dianjurkan untuk mau memberikan kasih sayang kepada anak yatim dengan berbagai cara sesuai dengan kebutuhan mereka. Dalam hal ini harus disadari bahwa anak yatim adalah anak belum menemukan pijakan yang utuh kepada siapa dia seharusnya menyandarkan kehidupan dan mengharapkan kasih sayang. Oleh karenanya, dia perlu dihibur, dikuatkan mentalnya, dan ditunjukkan kepada hakikat cinta dan kasih sayang yang bermuara kepada Allah SWT.

Anak yang tidak atau jarang mendapatkan sentuhan kasih sayang, adakalanya memiliki karakter yang kurang kondusif bagi kemajuan atau kesuksesan hidupnya di masa depan. Salah satu penyebabnya adalah karena telah terbentuknya zona aman (comfort zone) atas karakter yang telah tertanam pada dirinya sejak kecil itu. Sebagai misal persepsi anak tentang sabar. Telah tertanam dalam dirinya bahwa apa-apa yang dialaminya adalah bagian dari takdir Allah SWT yang harus diterima dengan sabar.

 Namun karena penanaman yang kurang tepat, kesabarannya itu tidak berbuah pada kegigihan/kemandirian dalam menjalani kehidupan. Dia mengidentikan sabar dengan pasrah atau nrimo yang berkonotasi pasif. Dan dia memiliki persepsi bahwa sabar itu hanya dilakukan di kala menerima musibah saja. Padahal kapan pun, baik di kala susah maupun senang, seorang hamba Allah dituntut untuk bersabar. Namun apakah anak yang kurang mendapat sentuhan kasih sayang orang tuanya akan selalu tumbuh dengan kepribadian yang tidak mendorong pada kesuksesan? Data empiris menunjukkan tidaklah selalu demikian. Hal ini dikarenakan apa yang berpengaruh pada dirinya tidak terbatas dari kedua orang tuanya, melainkan juga lingkungan hidupnya dan pendidikan yang diperolehnya. Sebaliknya kita menyaksikan banyak anak yang tumbuh dengan belaian kasih sayang orang tua yang "berlebih", malah tumbuh dengan kepribadian yang labil.

Riwayat hidup Nabi Muhammad SAW yang ketika lahir sudah menjadi yatim karena ayahnya telah wafat pada saat dia masih dalam kandungan ibunya, kemudian 6 tahun sesudah itu ibunya wafat menyusul kepergian sang ayah, adalah kisah yang patut menjadi cerminan dan sumber motivasi. Dia hanya sebentar mendapat sentuhan dan belaian kasih sayang dari ibunya, namun dia dibesarkan di tengah keluarga terhormat, yang disegani oleh kaumnya. Sepeninggal ibunya dia dipelihara oleh kakeknya, Abdul Muttalib seorang tokoh keagamaan yang dipercaya memegang kunci Ka’bah, selama dua tahun. Berikutnya sampai beranjak dewasa dia dipelihara oleh pamannya, Abu Talib seorang pedagang, yang memberinya pengalaman penting sebagai calon pemimpin, yakni perjalanan dagang ke berbagai negeri sehingga memberinya bekal wawasan yang luas. Pribadi dan akhlak yang muncul dari dirinya tentu merupakan perpaduan dari watak yang diwarisinya dari kedua orang tuanya dan persentuhannya dengan orang-orang di sekitarnya.

Dalam bahasa agama, semua itu adalah karena kehendak dan bimbingan Allah SWT, yang Maha Pengasih Maha Penyayang, melebihi kasih sayang seorang pendidik yang terbaik sekalipun. Karena itu kehilangan seorang ayah atau ibu, bukanlah akhir dari sebuah kehidupan. Meski terasa berat, kehilangan seorang ayah atau ibu adalah bentuk ujian agar seseorang bisa menemukan sumber cinta dan kasih sayang yang sesungguhnya, yang tidak pernah lapuk, tidak pernah lekang, dan tidak terukur dan terbatasi oleh dimensi ruang dan waktu, yang abadi, dan tidak fana sebagaimana kasih sayang seorang ibu di dunia ini.

Kehadiran seorang ibu adalah wasilah dari cinta Allah SWT. Allah SWT berkehendak menunjukkan keagungan cintaNya, maka diutuslah seorang ibu. Seorang ibu yang memahami akan esensi ini, maka ia merasa bahwa kehadirannya adalah amanah dariNya, sehingga ia berusaha mencurahkan kasih sayang kepada anak-anaknya sesuai dengan petunjuk-petunjuk yang diberikanNya. Dia tidak akan pernah mengharapkan imbal jasa, pamrih, atau menuntut balas. Dia tidak ingin disanjung dan dipuji karena pemilik segala puji hanyalah Allah yang menurunkan sifat rahman dan rahimNya itu.

2.   Kebutuhan Psikologis Anak Yatim

Orang-orang miskin dan anak yatim termasuk dalam kelompok duafa (orang-orang yang lemah) posisinya, karena hidupnya tergantung pada bantuan pihak lain. Anak anak yatim membutuhkan bimbingan dan kasih sayang orang tua untuk perkembangan kepribadiannya. Namun, mereka tidak mendapatkan hal tersebut, karena ayah atau ibunya sudah meninggal. Maka, diperlukan orang lain yang dapat menggantikan peran orang tua untuk menuntun mereka ke jalan yang benar. Tanpa perhatian dan kasih sayang, anakanak yang kehilangan orang tua itu, tidak dapat tumbuh secara seimbang antara jasmani dan rohaninya, sehingga memungkinkan anak mengalami perkembangan yang timpang.

Oleh karena itu, Rasulullah menganjurkan umat Islam untuk bersikap lembut dan penuh perhatian kepada anak yatim, yang digambarkan dengan ''usapan atau belaian sayang pada kepala anak''. Dengan usapan itu, anak akan merasakan kedamaian dalam hatinya. Selama ini pengertian menyantuni anak yatim cenderung pada kebutuhan fisiknya saja. Sedang yang bersifat psikologis belum banyak dilakukan. Padahal anak-anak yatim yang tinggal di panti maupun di rumahnya sendiri, mereka merindukan figur ayah/ibu yang menjadi tempat curhat dan bermanja.

Oleh karena itu sebaiknya pemberian bantuan untuk kebutuhan fisik, disertai pula dengan komunikasi pribadi yang intens untuk memahami kebutuhan psikologis maupun pengembangan bakat minat anak yang bermanfaat bagi masa depannya. Yang termasuk dalam pengertian anak yatim, tidak hanya yatim biologis (yang ayah/ibunya meninggal), tetapi ada pula yatim psikologis yakni yang orang tuanya masih hidup, tetapi tidak pernah memberi perhatian atau kasih sayang kepada anaknya, sehingga mereka telantar. Anak-anak semacam ini, belum mendapat perhatian dari umat Islam sebagaimana yatim biologis.

3.     Usaha Usaha Menolong Anak Yatim

Kematian ibu atau bapa akan menyebabkan anak-anak merasa kekosongan dalam diri mereka. Hilangnya belaian kasih sayang dari orang tua serta tempat untuk berlindung, menjadikan anak-anak ini dihantui perasaan sedih. Selain kehilangan kasih sayang, keperluan hidup mereka juga tidak lagi seperti sebelumnya. Makan, minum, pakaian dan lain-lain juga turut berubah seiring dengan kepergian yang tersayang.

Realiti kehidupan masyarakat hari ini menunjukkan bahwa kebanyakan anak yatim yang tidak mendapat perhatian sewajarnya akan mengharungi kehidupan yang begitu sukar, perih dan menyedihkan. Sesungguhnya Islam adalah satu agama yang menitikberatkan soal kasih sayang. Ia menekankan kepada kita agar tidak menyisihkan dan mengabaikan anak yatim terutama yang datang dari keluarga yang serba kekurangan dan tidak berkemampuan. Anak-anak ini juga memerlukan belaian dan kasih sayang serta keperluan hidup seperti makan, minum dan pakaian seperti anusia yang lain. Ini supaya mereka dapat menjalani kehidupan yang mendatang dengan bahagia.

Salah satu upaya untuk menolong anak yatim yang dilakukan oleh yayasanyayasan ataupun organisasi-organisasi Islam di Indonesia adalah mendirikan Panti Asuhan yang dapat menampung sekian banyak anak yatim, dan kemudian yayasan atau organisasi tersebut mendapatkan dana dari para donatur untuk mencukupi kebutuhan anak-anak yatim yang ditampungnya, baik dalam hal makanan, pakaian, pendidikan maupun keperluan sehari-hari.

Pada dasarnya seluruh kaum muslimin mempunyai tanggung jawab yang sama dalam mengangkat harkat dan martabat anak-anak yatim di daerah tempat tinggalnya. Soal apakah mereka dibawa di rumah dan tinggal bersama atau tidak itu hanya teknis saja. Tapi prinsipnya tidak boleh kaum muslimin berdiam diri saja, ketika ada anak-anak yatim telantar dan tidak ada yang mengurus. Demikian dikemukakan Ketua Umum Gabungan Ormas Islam Bersatu (GOIB), H Andi M Sholeh kepada Harian Terbit, menjelang datangnya tanggal 10 Muharram yang selama ini dikenal sebagai hari anakanak yatim. Sholeh juga mengingatkan masalah penanganan anak-anak yatim harus menjadi tanggung jawab semua kaum muslimin. Anak-anak yatim dinisbatkan oleh Rasulullah sebagai anak-anak beliau. Karena itu kalau memang kita mencintai Rasulullah kita juga harus ikut mencintai mereka.

Lebih lanjut dia berharap agar pemeliharaan anak-anak yatim betul-betul dilaksanakan dengan semangat tolong menolong. Pengelolaan panti asuhan yang sekarang ini banyak ditemukan hendaknya dilaksanakan dengan prinsip-prinsip amanah. "Jangan sekali-sekali anak-anak yatim itu dijadikan komoditas untuk kepentingan diri sendiri, pengelola anak-anak yatim harus juga menjaga martabat dan harga diri anak-anak yatim tersebut. Artinya, janganlah memanfaatkan anak-anak yatim tersebut sebagai komoditas, dan dimanfaatkan untuk cari-cari sumbangan ke sana ke mari." Mengenai anak-anak yatim yang dikelola oleh panti asuhan, Sholeh mengatakan pengelola Panti Asuhan yang memelihara anak-anak yatim, hendaknya betul-betul orang yang ikhlas dan tidak memanfaatkan anak-anak yatim untuk kepentingan dirinya sendiri.

Justru sebaliknya, para pengelola panti asuhan itulah yang harus menghidupi anak-anak yatim dengan penuh kasih sayang sebagaimana yang dianjurkan Rasulullah. Sholeh menyebutkan Alquran dan juga hadist Nabi banyak isyarat yang harus dilakukan oleh kaum muslimin terhadap anak-anak yatim. Karena itulah bagi mereka yang memelihara anak-anak yatim haruslah mengikuti pedoman yang sudah digariskan oleh Al-Quran dan keteladanan yang sudah diperlihatkan oleh Rasulullah. "Jika memang tidak mampu menghadapi godaan yang ditimbulkan oleh ulah anak-anak yatim yang dipelihara di rumah masing-masing boleh saja mereka menyantuni anak-anak yatim yang dipelihara di panti asuhan," Konsep panti asuhan sendiri, ujarnya tidak bertentangan dengan prinsip Islam dalam memelihara anak-anak yatim. Hanya saja persyaratannya pun sangat berat. Jangan sekali-sekali memanfaatkan anak-anak yatim itu untuk kepentingan diri sendiri.

Sangat disayangkan apabila ada orang yang menjadi pengurus panti asuhan, tapi memanfaatkan anak-anak yatim piatu. Begitu juga ketika mengadakan acara yang diperuntukkan membahagiakan anak-anak yatim, jangan sekali-sekali dikurangi jatah yang seharusnya dinikmati oleh anak-anak yatim. Artinya, kalau ada yang menyumbang untuk yatim, maka semuanya harus untuk anak yatim. Kalaupun mau untuk konsumsi, harus dicarikan jalan lain, selain dari sumbangan untuk yatim tersebut. Dalam sebuah hadis dikatakan bahwa memakan harta anak yatim termasuk dosa besar. Rasulullah saw bersabda:

 َع قَا َل ا جتَنِبهوا ال َّس ب َ م َّ َو َسل ي ِه َّى َّّللاه َعلَ ِ يِ َصل َع ن النَّب َر ِض َي َّّللاه َع نهه َرةَ ِي هه َر ي ب َ َع ن أ َّ هل النَّ ف ِس ال َوال ِ س ح هر َوقَت ِا ََّّللِ َو َما هه َّن قَا َل ال شِ ر هك ب َر هسو َل َّّللاِ هوا يَا ِقَا ِت قَال هموب ال تِي هف ال َّز ح ِف َوقَذ َ ِي يَ وم َول َوالتَّ يَتِيِم ِل ال َ ك هل َما َوأ ِ ربَا َ ك هل ال َح قِ َوأ ِال ََّّل ب ِ َّّللاه إ َ َح َّرم ََل ِت غَافِ هم ؤ ِمنَا ِت ال هم ح َصنَا ِت ال ال )رواهْالبخاري(

Artinya: Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda: “Jauhilah tujuh dosa besar yang membinasakan”. Para sahabat bertanya “Apa dosa-dosa itu”? Rasulullah menjawab: “Syirik, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan menuduh zina terhadap orang-orang perempuan yang menjaga kehormatannya”. Hadis di atas mensejajarkan dosa memakan harta anak yatim dengan dosa-dosa besar lainnya yang merusak keagamaan pelakunya. Hal itu dapat dimengerti bahwa perbuatan yang demikian jelas merupakan tindakan dzalim, sebab anak yatim yang seharusnya dibantu, tetapi malah sebaliknya harta benda miliknya malah dimakan orang lain.

Meskipun demikian, ibarat amil (panitia) yang melaksanakan pengumpulan dan pembagian zakat yang dibolehkan mengambil jatah dari zakat yang dikumpulkan, orangorang yang mengurus pemeliharaan anak-anak yatim diperbolehkan memperoleh harta yang diperuntukan bagi anak yatim, dalam jumlah yang sepatutnya, atau dalam istilah alQur’an bi al-ma’ruf atau billati hiya ahsan. Sebagaimana dapat kita baca pada surat alNisa ayat 6 dan al-An’am ayat 152 berikut ini:

 9 عِف ف َو َم ن َكا َن يَ ستَ ًّا فَل َو َم ن َكا َن َغنِي كبَ هر وا ن يَ َ ِدَا ًرا أ َوب ا س َرافً ِ هو َها إ هكل َوََّل تَأ ... َم عهر و ِف...)النساء: ِال هك ل ب يَأ فَ 6ِ ْ)ق ي ًرا فَل

Artinya: “…dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan janganlah kamu tergesa-gesa membelanjakannya sebelum mereka dewasa. Barangsiapa (di antara pemelihara anak yatim itu) kaya, maka hendaklah ia menahan diri (tidak memakan harta anak yatim) dan barangsiapa (di antara pemelihara anak yatim itu) miskin, maka bolehlah memakan harta itu menurut yang patut (bi al-ma’ruf) … (Al-Nisa:6)

 ََل ِ َيتِ ْيِم إ ْ َما َل ال َربُوا َوََل تَقْ ُش َده... )األنعام: َ َغ أ ُ ََ ْح َسن َحتَى َيْبل َ َي أ تِي ِه َ بِ 152 )ال

Artinya: Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat), hingga sampai ia dewasa…(al-An’am: 152)

4.     Ancaman Kepada Orang Yang Menyakiti Anak Yatim

Dalam surat al-Ma’un Allah berfirman:

ِن ِم ْس ِكي ْ ُّض َعلَى َطعَاِم ال َ َوَلَ يَ ُح يَِتيم ْ ع ال ُّ ِذي يَ ُد َ ِن فَ َذاِل َك ال ِ ُب بِالِ دي ِذي يُ َكذ َ ْي َت ال َ َرأ َ أ )3-1:الماعون)

“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama, itulah orang-orang yang menindas anak-anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan kepada orang-orang miskin”. (al-Ma’un ayat 1-3). Keimanan terhadap agama Allah itu tidaklah dapat dinilai hanya dengan shalat atau ibadah lain semata-mata, sebab Islam bukanlah agama kulit dan agama ritual. Sesungguhnya hakikat iman itu mempunyai ciri-ciri yang dapat membuktikan perwujudannya. Selama ciri-ciri itu belum terwujudkan, maka keimanan dan kepercayaan itu pun tidak akan terwujud.

Sebenarnya, di antara akidah dan syariat Islam tidak boleh berpisah antara satu bagian dengan bagian yang lain. Islam adalah agama yang bersatu padu di mana kegiatan akidah membuahkan ibadah, sedangkan ibadat berkaitan dengan 10 tugas perseorangan. Tugas perseorangan berkaitan erat dengan tugas masyarakat yang kesemuanya menuju ke arah kebaikan manusia dan pengabdian kepada Allah SWT.

Seorang Muslim tidak boleh mengambil sebagian dari syariat Islam yang dianggapnya menguntungkan dan menolak sebagian lain yang dianggapnya merugikan. Ia tidak boleh menerima sesuatu dari syariah yang dia sukai dan menolak sebagiannya yang tidak dia sukai. Seorang Muslim sudah memproklamirkan diri dan menyerah diri sepenuhnya yang tersimpul dalam kalimat syahadat “Sesunguhnya aku bersaksi bahwa tiada tuhan melainkan Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah”. Syahadat ini, memberi pengertian yang bahwa dengan mengakui Allah SWT adalah Tuhannya dan Muhammad sebagai pesuruh Allah, maka seorang Muslim wajib tunduk dan ta’at kepada aturan yang dibuat oleh Allah SWT dan dibawa oleh Rasulullah saw serta wajib menjalankan perintahNya dan wajib pula menjahui segala larangNya.

Inilah pengertian Islam dalam kontek penyerahan diri dan pengabdian kepada Allah SWT dan di sinilah letaknya batas perbedan antara iman dan kufur, antara percaya dan tidak percaya. Tiga ayat dalam surat Al Ma’un tersebut, menjadi contoh serta gambaran yang jelas mengenai hakikat keberagamaan. Firman Allah itu, dimulai dengan pertanyaan Allah: “Adakah engkau melihat atau adakah engkau tahu siapakah pendusta-pendusta agama itu?” Kemudian Allah menegaskan sebagai jawabannya. Sesungguhnya, yang demikian itu adalah mereka yang menindaskan anak-anak yatim dan orang-orang tidak memberi makan kepada orang-orang miskin.

Kalimat tersebut adalah suatu jawaban yang mengejutkan, karena hanya dengan sebab mengabaikan beberapa kebaikan terhadap anak yatim dan orang-orang miskin, digolongkan sebagai pendusta-pendusta agama sendiri. Terlebih jika kita juga melakukan perbuatan jahat, seperti; meninggalkan sembahyang, berjudi, berzina, korupsi, perampok, pengkhianat dan sebagainya. Allah memberi peringatan kepada kita tentang kebaikan anak-anak yatim dan orang-orang miskin sehingga ia dihubungkan dengan pengertian agama itu sendiri. Mengabaikan kebaikan mereka bererti mengabaikan agama, sebaliknya memuliakan mereka menjadi sifat-sifat orang yang beragama. Dalam surat lain Allah berfirman: 

 11 َه ر )الضحى: َسائِل فََل تَ ن َّما ال َ َه ر وأ فََلَ تَق َ َّما اليَتِ يم فَأ 9-10َ )

Artinya: “Adapun terhadap anak-anak yatim maka janganlah kamu bersikap kasar terhadapnya dan adapun orang yang meminta-minta maka janganlah engkau usir (Surah Adh Dhuha Ayat 9-10). Orang yang paling bertanggungjawab untuk memelihara, mendidik dan membesarkannya anak yatim adalah ahli waris orang tuanya yang meninggal, hingga dia dapat menjalani hidup secara mandiri. Mereka tidak boleh menganiaya, menindas, mengkhianati dan berbuat zholim terhadap harta kepunyaan mereka.

Maka apabila ahli waris tidak mampu memeliharanya kerana kemiskinan dan ketidakmampuan, maka wajiblah bagi orang yang mampu dan berupaya memberikan bantuan dan memelihara mereka. Sekiranya golongan yang kaya dan mampu mengabaikannya, maka yang bertanggungjawab terhadap anak yatim adalah seluruh masyarakat. Memelihara anak yatim dalam rumah sendiri adalah sebaik-baik amal yang dituntut oleh Islam, sehingga Rasulullah saw pernah bersabda: “Rumah-rumah yang dicintai di sisi Allah ialah rumah yang di dalamnya terdapat anak-anak yatim yang dimuliakannya”.

5.     Fungsi Fungsi Hadis Terhadap Al-Qur’an

Setelah anda mempelajari hadis-hadis dan ayat-ayat al-Qur’an di atas, anda dapat menyimpulkan bahwa hadis-hadis itu memperkuat ayat-ayat al-Qur’an yang membahas persoalan yang sama. Demikianlah memang hadis memiliki beberapa fungsi bila dikaitkan dengan al-Qur’an. Untuk memperkaya wawasan anda dalam hal ini, anda akan diajak memehami fungsi Hadis terhadap al-Qur’an. Secara umum fungsi hadis adalah sebagai penjelas (bayân) terhadap makna al-Qur’an yang umum, global dan mutlak. Sebagaimana firman Allah swt dalam Surah al-Nahl/16 :

 44 هه م يَتَفَ َّكهرو َن َّ ل َولَعَ ِه م ي لَ ِ َّا ِس َما نه زِ َل إ َن ِللن ِ كَر ِلتهبَي ِ ي َك الذ لَ ِ نَا إ ن َزل َ َوأ

“Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”, 12 Secara lebih rinci fungsi penjelasan (bayân) Hadis terhadap al-Qur’an, dikelompokkan sebagai berikut:

   a. Bayân Taqrîr

Posisi Hadis sebagai penguat (taqrîr/ta’kid) keterangan al-Qur’an. Artinya Hadis menjelaskan apa yang sudah dijelaskan al-Qur’an, sepert Hadis tentang shalat, zakat, puasa, dan haji. Begitu juga hadis-hadis tentang kepedulian terhadap anak yatim yang sudah diuraikan di atas menjadi penguat terhadap ayatayat al-Qur’an yang membahas hal yang sama.

    b.     Bayân Tafsîr 

 Hadis sebagai penjelas (tafsîr) terhadap al-Qur’an dan fungsi inilah yang terbanyak pada umumnya. Penjelasan yang diberikan ada 3 macam, yaitu sebagai berikut :

1.     Tafsîl al-Mujmal

Hadis memberi penjelasan secara terperinci pada ayat-ayat al-Qur’an yang masih global (tafsîl al-mujmal= memperinci yang gelobal), baik menyangkut masalah ibadah maupun hukum, sebagian ulama menyebutnya bayân tafshîl atau bayân tafsîr. Misalnya perintah shalat pada beberapa ayat dalam al-Qur’an hanya diterangkan secara global “dirikanlah shalat” tanpa disertai petunjuk bagaimana pelaksanaannya berapa kali sehari semalam, berapa raka`at, kapan waktunya, rukun-rukunnya, dan lain sebagainya. Perincian itu adanya dalam Hadis Nabi, misalnya sabda Nabi saw : “Shalatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat “. (HR. al-Bukhari) Dalam masalah haji al-Qur’an hanya menjelaskan secara gelobal, rinciannya dijelaskan Hadis, Nabi bersabda : ك َس ِاَمنَ وا هخذه " " ِلتَأ هك م “Ambilah (dari padaku) ibadah hajjimu “. (HR. Muslim)

2.     Takhshîsh al-`Amm

Hadis mengkhususkan (mengecualikan) ayat-ayat al-Qur’an yang umum, sebagian ulama menyebut bayân takhshîsh. Misalnya ayat-ayat tentang waris dalam QS. Al-Nisa’/4: 10 “ Allah mensyari`atkan bagi mu tentang (bagian pusaka untuk) anakanakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang perempuan…” Kandungan ayat di atas menjelaskan pembagian harta pusaka terhadap ahli waris, baik anak-lelaki, anak perempuan, satu, dan atau banyak, orang tua (bapak dan ibu) jika ada anak atau tidak ada anak, jika ada saudara atau tidak ada dan seterusnya. Ayat harta warisan ini bersifat umum, kemudian dikhususkan (takhsîsh) dengan Hadis Nabi yang melarang mewarisi harta peninggalan para Nabi, berlainan agama, dan pembunuh.

3.     Taqyîd al-Muthlaq

Hadis membatasi kemutlakan ayat-ayat al-Qur’an. Artinya al-Qur’an keterangannya secara mutlak, kemudian ditakhshish dengan Hadis yang khusus. Sebagian ulama menyebut bayân taqyîd. Misalnya firman Allah dalam QS. Al-Mâidah : 38

 يِديَ ههَما ..." َ فَاق َطعه وا أ ِرقَةه سا ِر هق َوال َّ سا " َوال َّ

“Pencuri lelaki dan pencuri perempuan, maka potonglah tangan-tangan mereka…” Pemotongan tangan pencuri dalam ayat di atas secara mutlak nama tangan tanpa dijelaskan batas tangan yang harus dipotong apakah dari pundak, sikut, dan pergelangan tangan. Kata tangan mutlak meliputi hasta dari bahu pundak, lengan, dan sampai telapak tangan. Kemudian pembatasan itu baharu dijelaskan dengan Hadis ketika ada seorang pencuri tertangkap dan didatangkan ke hadapan Nabi dan diputuskan hukuman dengan pemotongan tangan, maka Nabi memerintahkan agar percuri tersebut dipotong pada pergelangan tangan.

     c.      Bayân Tasyrî`î

Hadis menciptakan hukum syari`at (tasyri`) yang belum dijelaskan oleh al-Qur’an. Para ulama berbeda pendapat tentang fungsi Sunah sebagai dalil pada sesuatu hal yang tidak disebutkan dalam al-Qur’an. Mayoritas mereka berpendapat bahwa Sunah berdiri sendiri sebagai dalil hukum dan yang lain berpendapat bahwa Sunah menetapkan dalil yang terkandung atau tersirat secara implisit dalam teks al-Qur’an.

Misalnya keharaman makan daging keledai ternak, keharaman setiap binatang yang bertelalai, dan keharaman menikahi seorang wanita bersama bibik dan paman wanitanya. Hadis tasyri` diterima oleh para ulama karena kapasitas Hadis juga sebagai wahyu dari Allah swt yang menyatu dengan al-Qur’an, hakekatnya ia juga merupakan penjelasan secara implisit dalam al-Qur’an. Jelasnya, hubungan antara Hadis dan al-Qur’an sangat integral keduanya tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya, karena keduanya berdasrkan wahyu yang datang dari Allah swt kepada Nabi Muhammad saw untuk disampaikan kepada umatnya, hanya proses penyampaiannya dan periwayatannya yang berbeda. Sunnah mempunyai peran yang utama yakni menjelaskan al-Qur’an baik secara eksplisit atau implisit, sehingga tidak ada istilah kontra antara satu dengan lain.

#PPGPAI2019                            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar