KB
2 MODUL HADIS
Silakan mulai belajar
dengan membaca hadis di bawah ini, memahami arti katakata penting, memahami
terjemah Hadis kemudian membaca uraian berikutnya. Hadis Nabi:
Terjemah Hadis: Dari Sahl
bin Sa’ad, Rasulullah saw bersabda: Saya dan orang yang menanggung hidup anak yatim
akan berada di surga seperti ini –Rasulullah bersabda demikian dengan sambil
merekatkan jari telunjuk dan jari tengahnya. (HR Bukhari dan Turmudzi)
Penjelasan Hadis:
Al-Ahwadzi dalam menjelaskan hadis di atas mengatakan bahwa yang dimaksud kata
“Kafilul Yatim” adalah orang mengurus keperluan anak yatim dan yang
mendidiknya. Dalam hadis di atas, Rasulullah memberikan dorongan agar kita mau
menjamin dalam arti yang tidak hanya membesarkan secara fisik, tetapi mencakup Ahwadzi,
Syarh Sunan al-Turmudzi, CD Barnamaj al-Hadis al-Syarif
Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, anak yang tidak mempunyai ayah atau ibu karena ditinggal mati
disebut “yatim”. Tetapi menurut al-Khuly, yatim adalah anak yang ditinggal mati
ayahnya, dan kata yatim juga bisa dipakaikan untuk hewan yang ditinggal mati
induknya.
Kalau dalam Terminologi
(istilah) Bahasa Arab dikatakan bahwa kata yatim hanya diperuntukkan bagi anak
yang ditinggal mati ayahnya, hal itu –sebagaimana dikatakan
al-Jurjani—dikarenakan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah, bukan ibu. Karena
itu pula anak binatang yang ditinggal mati induknya disebut yatim pula karena
induknyalah yang bertanggung jawab memberi makan kepadanya. Dalam sejarah
bangsa Arab masa lampau diketahui pula bahwa dalam intern bangsa Arab pada
umumnya sering terjadi peperangan antar suku yang melibatkan kaum laki-laki dan
banyak diantara mereka yang terbunuh. Mereka mingggalkan anak-anak yatim pada
istriistri mereka yang secara cultural bukanlah orang-orang yang bertanggungjawab
mencari nafkah, melainkan menjadi penanggung jawab urusan domestic atau rumah
tangga. Karena itu, kesan yang timbul dari konsep menyantuni anak yatim adalah
memberi nafkah atau bantuan materi. Uraian berikut akan mencoba menjelaskan
bahwa kebutuhan hidup seorang anak yatim tidak hanya kebutuhan makanan,
pakaian, dan tempat tinggal.
1.
Kehidupan
Anak Yatim
Sungguh bahagia seorang anak yang lahir
kedunia dan mendapatkan kasih sayang lahir dan batin dari kedua orang tuanya.
Anak yang dibesarkan dengan kasih sayang, dukungan dan nasehat akan tumbuh
menjadi orang yang mampu mengatasi persoalan hidup di kemudian hari.
Namun tidak semua anak selalu beruntung
memiliki kedua orang tua. Ada anak yang ketika lahir, ayah dan ibunya masih ada
tetapi selagi dia masih membutuhkan kasih sayang dari keduanya dan masih ingin
bermanja-manja tiba-tiba harus menghadapi kenyataan, menerima musibah kematian
ayahnya atau ibunya. Ada pula anak-anak yang sejak lahir sudah tidak mempunyai
ayah atau ibu.
Setiap anak lahir dengan membawa potensi-potensi fisik, psikis, moral,
intelektual, dan spiritual yang dapat dikembangkan dan akan sangat
dipengaruhi oleh lingkungannya. Ibarat kertas yang masih putih bersih, apa saja
bisa digoreskan di atasnya, tulisan yang indah, gambar yang elok, atau
sebaliknya coretan-coretan yang tidak jelas, maupun lukisan yang buruk dapat
dituangkan diatas kertas tersebut.
Begitulah, setiap anak sedikit banyak
terpengaruh oleh orang tua atau lingkungannya di waktu kecil. Seorang anak yang
dibesarkan oleh orang yang baik dan di lingkungan yang baik, maka akan
terbentuk pada dirinya kepribadian yang baik. Sebaliknya jika dibesarkan oleh
orang yang berkepribadian buruk dan tinggal di lingkungan yang buruk, maka akan
lahir darinya kepribadian yang buruk. Setiap anak memiliki karakter khas yang
merupakan hasil bentukan di masa kecil. Bisa berupa karakter yang baik, bisa
juga berupa karakter yang kurang baik. Bisa berupa karakter yang sulit diubah,
bisa juga karakter yang mudah sekali untuk diubah.
Anak yang dibesarkan dengan kasih sayang
orang tua akan berbeda dengan karakternya dengan anak yang tidak atau sedikit
mendapatkan kasih sayang orang tuanya karena telah meninggal. Karena itulah
kita sangat dianjurkan untuk mau memberikan kasih sayang kepada anak yatim
dengan berbagai cara sesuai dengan kebutuhan mereka. Dalam hal ini harus
disadari bahwa anak yatim adalah anak belum menemukan pijakan yang utuh kepada
siapa dia seharusnya menyandarkan kehidupan dan mengharapkan kasih sayang. Oleh
karenanya, dia perlu dihibur, dikuatkan mentalnya, dan ditunjukkan kepada
hakikat cinta dan kasih sayang yang bermuara kepada Allah SWT.
Anak yang tidak atau jarang mendapatkan
sentuhan kasih sayang, adakalanya memiliki karakter yang kurang kondusif bagi
kemajuan atau kesuksesan hidupnya di masa depan. Salah satu penyebabnya adalah
karena telah terbentuknya zona aman (comfort zone) atas karakter yang telah
tertanam pada dirinya sejak kecil itu. Sebagai misal persepsi anak tentang sabar.
Telah tertanam dalam dirinya bahwa apa-apa yang dialaminya adalah bagian dari
takdir Allah SWT yang harus diterima dengan sabar.
Namun karena penanaman yang kurang tepat,
kesabarannya itu tidak berbuah pada kegigihan/kemandirian dalam menjalani
kehidupan. Dia mengidentikan sabar dengan pasrah atau nrimo yang berkonotasi
pasif. Dan dia memiliki persepsi bahwa sabar itu hanya dilakukan di kala
menerima musibah saja. Padahal kapan pun, baik di kala susah maupun senang,
seorang hamba Allah dituntut untuk bersabar. Namun apakah anak yang kurang
mendapat sentuhan kasih sayang orang tuanya akan selalu tumbuh dengan
kepribadian yang tidak mendorong pada kesuksesan? Data empiris menunjukkan
tidaklah selalu demikian. Hal ini dikarenakan apa yang berpengaruh pada dirinya
tidak terbatas dari kedua orang tuanya, melainkan juga lingkungan hidupnya dan
pendidikan yang diperolehnya. Sebaliknya kita menyaksikan banyak anak yang
tumbuh dengan belaian kasih sayang orang tua yang "berlebih", malah
tumbuh dengan kepribadian yang labil.
Riwayat hidup Nabi Muhammad SAW yang
ketika lahir sudah menjadi yatim karena ayahnya telah wafat pada saat dia masih
dalam kandungan ibunya, kemudian 6 tahun sesudah itu ibunya wafat menyusul
kepergian sang ayah, adalah kisah yang patut menjadi cerminan dan sumber
motivasi. Dia hanya sebentar mendapat sentuhan dan belaian kasih sayang dari
ibunya, namun dia dibesarkan di tengah keluarga terhormat, yang disegani oleh
kaumnya. Sepeninggal ibunya dia dipelihara oleh kakeknya, Abdul Muttalib seorang
tokoh keagamaan yang dipercaya memegang kunci Ka’bah, selama dua tahun.
Berikutnya sampai beranjak dewasa dia dipelihara oleh pamannya, Abu Talib
seorang pedagang, yang memberinya pengalaman penting sebagai calon pemimpin,
yakni perjalanan dagang ke berbagai negeri sehingga memberinya bekal wawasan
yang luas. Pribadi dan akhlak yang muncul dari dirinya tentu merupakan
perpaduan dari watak yang diwarisinya dari kedua orang tuanya dan
persentuhannya dengan orang-orang di sekitarnya.
Dalam bahasa agama, semua itu adalah
karena kehendak dan bimbingan Allah SWT, yang Maha Pengasih Maha Penyayang,
melebihi kasih sayang seorang pendidik yang terbaik sekalipun. Karena itu
kehilangan seorang ayah atau ibu, bukanlah akhir dari sebuah kehidupan. Meski
terasa berat, kehilangan seorang ayah atau ibu adalah bentuk ujian agar
seseorang bisa menemukan sumber cinta dan kasih sayang yang sesungguhnya, yang
tidak pernah lapuk, tidak pernah lekang, dan tidak terukur dan terbatasi oleh
dimensi ruang dan waktu, yang abadi, dan tidak fana sebagaimana kasih sayang
seorang ibu di dunia ini.
Kehadiran seorang ibu adalah wasilah dari
cinta Allah SWT. Allah SWT berkehendak menunjukkan keagungan cintaNya, maka
diutuslah seorang ibu. Seorang ibu yang memahami akan esensi ini, maka ia
merasa bahwa kehadirannya adalah amanah dariNya, sehingga ia berusaha
mencurahkan kasih sayang kepada anak-anaknya sesuai dengan petunjuk-petunjuk
yang diberikanNya. Dia tidak akan pernah mengharapkan imbal jasa, pamrih, atau
menuntut balas. Dia tidak ingin disanjung dan dipuji karena pemilik segala puji
hanyalah Allah yang menurunkan sifat rahman dan rahimNya itu.
2.
Kebutuhan
Psikologis Anak Yatim
Orang-orang miskin dan anak yatim termasuk
dalam kelompok duafa (orang-orang yang lemah) posisinya, karena hidupnya
tergantung pada bantuan pihak lain. Anak anak yatim membutuhkan bimbingan dan
kasih sayang orang tua untuk perkembangan kepribadiannya. Namun, mereka tidak
mendapatkan hal tersebut, karena ayah atau ibunya sudah meninggal. Maka,
diperlukan orang lain yang dapat menggantikan peran orang tua untuk menuntun
mereka ke jalan yang benar. Tanpa perhatian dan kasih sayang, anakanak yang
kehilangan orang tua itu, tidak dapat tumbuh secara seimbang antara jasmani dan
rohaninya, sehingga memungkinkan anak mengalami perkembangan yang timpang.
Oleh karena itu, Rasulullah menganjurkan
umat Islam untuk bersikap lembut dan penuh perhatian kepada anak yatim, yang
digambarkan dengan ''usapan atau belaian sayang pada kepala anak''. Dengan
usapan itu, anak akan merasakan kedamaian dalam hatinya. Selama ini pengertian
menyantuni anak yatim cenderung pada kebutuhan fisiknya saja. Sedang yang
bersifat psikologis belum banyak dilakukan. Padahal anak-anak yatim yang tinggal
di panti maupun di rumahnya sendiri, mereka merindukan figur ayah/ibu yang menjadi
tempat curhat dan bermanja.
Oleh karena itu sebaiknya pemberian
bantuan untuk kebutuhan fisik, disertai pula dengan komunikasi pribadi yang
intens untuk memahami kebutuhan psikologis maupun pengembangan bakat minat anak
yang bermanfaat bagi masa depannya. Yang termasuk dalam pengertian anak yatim,
tidak hanya yatim biologis (yang ayah/ibunya meninggal), tetapi ada pula yatim
psikologis yakni yang orang tuanya masih hidup, tetapi tidak pernah memberi
perhatian atau kasih sayang kepada anaknya, sehingga mereka telantar. Anak-anak
semacam ini, belum mendapat perhatian dari umat Islam sebagaimana yatim biologis.
3.
Usaha
Usaha Menolong Anak Yatim
Kematian ibu atau bapa akan menyebabkan
anak-anak merasa kekosongan dalam diri mereka. Hilangnya belaian kasih sayang
dari orang tua serta tempat untuk berlindung, menjadikan anak-anak ini dihantui
perasaan sedih. Selain kehilangan kasih sayang, keperluan hidup mereka juga
tidak lagi seperti sebelumnya. Makan, minum, pakaian dan lain-lain juga turut
berubah seiring dengan kepergian yang tersayang.
Realiti kehidupan masyarakat hari ini
menunjukkan bahwa kebanyakan anak yatim yang tidak mendapat perhatian
sewajarnya akan mengharungi kehidupan yang begitu sukar, perih dan menyedihkan.
Sesungguhnya Islam adalah satu agama yang menitikberatkan soal kasih sayang. Ia
menekankan kepada kita agar tidak menyisihkan dan mengabaikan anak yatim
terutama yang datang dari keluarga yang serba kekurangan dan tidak
berkemampuan. Anak-anak ini juga memerlukan belaian dan kasih sayang serta
keperluan hidup seperti makan, minum dan pakaian seperti anusia yang lain. Ini
supaya mereka dapat menjalani kehidupan yang mendatang dengan bahagia.
Salah satu upaya untuk menolong anak yatim
yang dilakukan oleh yayasanyayasan ataupun organisasi-organisasi Islam di
Indonesia adalah mendirikan Panti Asuhan yang dapat menampung sekian banyak
anak yatim, dan kemudian yayasan atau organisasi tersebut mendapatkan dana dari
para donatur untuk mencukupi kebutuhan anak-anak yatim yang ditampungnya, baik
dalam hal makanan, pakaian, pendidikan maupun keperluan sehari-hari.
Pada dasarnya seluruh kaum muslimin mempunyai
tanggung jawab yang sama dalam mengangkat harkat dan martabat anak-anak yatim
di daerah tempat tinggalnya. Soal apakah mereka dibawa di rumah dan tinggal
bersama atau tidak itu hanya teknis saja. Tapi prinsipnya tidak boleh kaum
muslimin berdiam diri saja, ketika ada anak-anak yatim telantar dan tidak ada
yang mengurus. Demikian dikemukakan Ketua Umum Gabungan Ormas Islam Bersatu
(GOIB), H Andi M Sholeh kepada Harian Terbit, menjelang datangnya tanggal 10
Muharram yang selama ini dikenal sebagai hari anakanak yatim. Sholeh juga
mengingatkan masalah penanganan anak-anak yatim harus menjadi tanggung jawab
semua kaum muslimin. Anak-anak yatim dinisbatkan oleh Rasulullah sebagai
anak-anak beliau. Karena itu kalau memang kita mencintai Rasulullah kita juga
harus ikut mencintai mereka.
Lebih lanjut dia berharap agar
pemeliharaan anak-anak yatim betul-betul dilaksanakan dengan semangat tolong
menolong. Pengelolaan panti asuhan yang sekarang ini banyak ditemukan hendaknya
dilaksanakan dengan prinsip-prinsip amanah. "Jangan sekali-sekali
anak-anak yatim itu dijadikan komoditas untuk kepentingan diri sendiri,
pengelola anak-anak yatim harus juga menjaga martabat dan harga diri anak-anak
yatim tersebut. Artinya, janganlah memanfaatkan anak-anak yatim tersebut
sebagai komoditas, dan dimanfaatkan untuk cari-cari sumbangan ke sana ke
mari." Mengenai anak-anak yatim yang dikelola oleh panti asuhan, Sholeh
mengatakan pengelola Panti Asuhan yang memelihara anak-anak yatim, hendaknya
betul-betul orang yang ikhlas dan tidak memanfaatkan anak-anak yatim untuk
kepentingan dirinya sendiri.
Justru sebaliknya, para pengelola panti
asuhan itulah yang harus menghidupi anak-anak yatim dengan penuh kasih sayang
sebagaimana yang dianjurkan Rasulullah. Sholeh menyebutkan Alquran dan juga
hadist Nabi banyak isyarat yang harus dilakukan oleh kaum muslimin terhadap
anak-anak yatim. Karena itulah bagi mereka yang memelihara anak-anak yatim
haruslah mengikuti pedoman yang sudah digariskan oleh Al-Quran dan keteladanan
yang sudah diperlihatkan oleh Rasulullah. "Jika memang tidak mampu
menghadapi godaan yang ditimbulkan oleh ulah anak-anak yatim yang dipelihara di
rumah masing-masing boleh saja mereka menyantuni anak-anak yatim yang
dipelihara di panti asuhan," Konsep panti asuhan sendiri, ujarnya tidak
bertentangan dengan prinsip Islam dalam memelihara anak-anak yatim. Hanya saja
persyaratannya pun sangat berat. Jangan sekali-sekali memanfaatkan anak-anak
yatim itu untuk kepentingan diri sendiri.
Sangat disayangkan apabila ada orang yang
menjadi pengurus panti asuhan, tapi memanfaatkan anak-anak yatim piatu. Begitu
juga ketika mengadakan acara yang diperuntukkan membahagiakan anak-anak yatim,
jangan sekali-sekali dikurangi jatah yang seharusnya dinikmati oleh anak-anak
yatim. Artinya, kalau ada yang menyumbang untuk yatim, maka semuanya harus
untuk anak yatim. Kalaupun mau untuk konsumsi, harus dicarikan jalan lain,
selain dari sumbangan untuk yatim tersebut. Dalam sebuah hadis dikatakan bahwa
memakan harta anak yatim termasuk dosa besar. Rasulullah saw bersabda:
َع قَا َل ا جتَنِبهوا ال َّس ب َ م َّ َو َسل ي
ِه َّى َّّللاه َعلَ ِ يِ َصل َع ن النَّب َر ِض َي َّّللاه َع نهه َرةَ ِي هه َر ي
ب َ َع ن أ َّ هل النَّ ف ِس ال َوال ِ س ح هر َوقَت ِا ََّّللِ َو َما هه َّن قَا
َل ال شِ ر هك ب َر هسو َل َّّللاِ هوا يَا ِقَا ِت قَال هموب ال تِي هف ال َّز ح ِف
َوقَذ َ ِي يَ وم َول َوالتَّ يَتِيِم ِل ال َ ك هل َما َوأ ِ ربَا َ ك هل ال َح قِ
َوأ ِال ََّّل ب ِ َّّللاه إ َ َح َّرم ََل ِت غَافِ هم ؤ ِمنَا ِت ال هم ح َصنَا ِت
ال ال )رواهْالبخاري(
Artinya: Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah
saw bersabda: “Jauhilah tujuh dosa besar yang membinasakan”. Para sahabat
bertanya “Apa dosa-dosa itu”? Rasulullah menjawab: “Syirik, sihir, membunuh
jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar, memakan riba,
memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan menuduh zina terhadap
orang-orang perempuan yang menjaga kehormatannya”. Hadis di atas mensejajarkan
dosa memakan harta anak yatim dengan dosa-dosa besar lainnya yang merusak
keagamaan pelakunya. Hal itu dapat dimengerti bahwa perbuatan yang demikian
jelas merupakan tindakan dzalim, sebab anak yatim yang seharusnya dibantu,
tetapi malah sebaliknya harta benda miliknya malah dimakan orang lain.
Meskipun demikian, ibarat amil (panitia)
yang melaksanakan pengumpulan dan pembagian zakat yang dibolehkan mengambil
jatah dari zakat yang dikumpulkan, orangorang yang mengurus pemeliharaan
anak-anak yatim diperbolehkan memperoleh harta yang diperuntukan bagi anak
yatim, dalam jumlah yang sepatutnya, atau dalam istilah alQur’an bi al-ma’ruf
atau billati hiya ahsan. Sebagaimana dapat kita baca pada surat alNisa ayat 6
dan al-An’am ayat 152 berikut ini:
9 عِف ف َو َم ن َكا َن يَ ستَ ًّا فَل َو َم ن َكا
َن َغنِي كبَ هر وا ن يَ َ ِدَا ًرا أ َوب ا س َرافً ِ هو َها إ هكل َوََّل تَأ
... َم عهر و ِف...)النساء: ِال هك ل ب يَأ فَ 6ِ ْ)ق ي ًرا فَل
Artinya: “…dan janganlah kamu makan harta anak yatim
lebih dari batas kepatutan dan janganlah kamu tergesa-gesa membelanjakannya
sebelum mereka dewasa. Barangsiapa (di antara pemelihara anak yatim itu) kaya,
maka hendaklah ia menahan diri (tidak memakan harta anak yatim) dan barangsiapa
(di antara pemelihara anak yatim itu) miskin, maka bolehlah memakan harta itu
menurut yang patut (bi al-ma’ruf) … (Al-Nisa:6)
ََل ِ َيتِ ْيِم إ ْ َما َل ال َربُوا َوََل تَقْ
ُش َده... )األنعام: َ َغ أ ُ ََ ْح َسن َحتَى َيْبل َ َي أ تِي ِه َ بِ 152 )ال
Artinya: Dan janganlah kamu dekati harta
anak yatim kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat), hingga sampai ia
dewasa…(al-An’am: 152)
4. Ancaman
Kepada Orang Yang Menyakiti Anak Yatim
Dalam surat al-Ma’un Allah berfirman:
ِن ِم ْس ِكي ْ ُّض
َعلَى َطعَاِم ال َ َوَلَ يَ ُح يَِتيم ْ ع ال ُّ ِذي يَ ُد َ ِن فَ َذاِل َك ال ِ
ُب بِالِ دي ِذي يُ َكذ َ ْي َت ال َ َرأ َ أ )3-1:الماعون)
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan
agama, itulah orang-orang yang menindas anak-anak yatim, dan tidak menganjurkan
memberi makan kepada orang-orang miskin”. (al-Ma’un ayat 1-3). Keimanan
terhadap agama Allah itu tidaklah dapat dinilai hanya dengan shalat atau ibadah
lain semata-mata, sebab Islam bukanlah agama kulit dan agama ritual.
Sesungguhnya hakikat iman itu mempunyai ciri-ciri yang dapat membuktikan
perwujudannya. Selama ciri-ciri itu belum terwujudkan, maka keimanan dan
kepercayaan itu pun tidak akan terwujud.
Sebenarnya, di antara akidah dan syariat
Islam tidak boleh berpisah antara satu bagian dengan bagian yang lain. Islam
adalah agama yang bersatu padu di mana kegiatan akidah membuahkan ibadah,
sedangkan ibadat berkaitan dengan 10 tugas perseorangan. Tugas perseorangan
berkaitan erat dengan tugas masyarakat yang kesemuanya menuju ke arah kebaikan
manusia dan pengabdian kepada Allah SWT.
Seorang Muslim tidak boleh mengambil
sebagian dari syariat Islam yang dianggapnya menguntungkan dan menolak sebagian
lain yang dianggapnya merugikan. Ia tidak boleh menerima sesuatu dari syariah
yang dia sukai dan menolak sebagiannya yang tidak dia sukai. Seorang Muslim
sudah memproklamirkan diri dan menyerah diri sepenuhnya yang tersimpul dalam
kalimat syahadat “Sesunguhnya aku bersaksi bahwa tiada tuhan melainkan Allah,
dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah”. Syahadat ini, memberi
pengertian yang bahwa dengan mengakui Allah SWT adalah Tuhannya dan Muhammad
sebagai pesuruh Allah, maka seorang Muslim wajib tunduk dan ta’at kepada aturan
yang dibuat oleh Allah SWT dan dibawa oleh Rasulullah saw serta wajib
menjalankan perintahNya dan wajib pula menjahui segala larangNya.
Inilah pengertian Islam dalam kontek
penyerahan diri dan pengabdian kepada Allah SWT dan di sinilah letaknya batas
perbedan antara iman dan kufur, antara percaya dan tidak percaya. Tiga ayat
dalam surat Al Ma’un tersebut, menjadi contoh serta gambaran yang jelas
mengenai hakikat keberagamaan. Firman Allah itu, dimulai dengan pertanyaan
Allah: “Adakah engkau melihat atau adakah engkau tahu siapakah
pendusta-pendusta agama itu?” Kemudian Allah menegaskan sebagai jawabannya.
Sesungguhnya, yang demikian itu adalah mereka yang menindaskan anak-anak yatim
dan orang-orang tidak memberi makan kepada orang-orang miskin.
Kalimat tersebut adalah suatu jawaban yang
mengejutkan, karena hanya dengan sebab mengabaikan beberapa kebaikan terhadap
anak yatim dan orang-orang miskin, digolongkan sebagai pendusta-pendusta agama
sendiri. Terlebih jika kita juga melakukan perbuatan jahat, seperti;
meninggalkan sembahyang, berjudi, berzina, korupsi, perampok, pengkhianat dan
sebagainya. Allah memberi peringatan kepada kita tentang kebaikan anak-anak
yatim dan orang-orang miskin sehingga ia dihubungkan dengan pengertian agama
itu sendiri. Mengabaikan kebaikan mereka bererti mengabaikan agama, sebaliknya
memuliakan mereka menjadi sifat-sifat orang yang beragama. Dalam surat lain
Allah berfirman:
11 َه ر )الضحى: َسائِل فََل تَ ن َّما ال َ َه ر
وأ فََلَ تَق َ َّما اليَتِ يم فَأ 9-10َ )
Artinya: “Adapun terhadap anak-anak yatim maka janganlah kamu bersikap kasar terhadapnya dan adapun orang yang meminta-minta maka janganlah engkau usir (Surah Adh Dhuha Ayat 9-10). Orang yang paling bertanggungjawab untuk memelihara, mendidik dan membesarkannya anak yatim adalah ahli waris orang tuanya yang meninggal, hingga dia dapat menjalani hidup secara mandiri. Mereka tidak boleh menganiaya, menindas, mengkhianati dan berbuat zholim terhadap harta kepunyaan mereka.
Maka apabila ahli waris tidak mampu
memeliharanya kerana kemiskinan dan ketidakmampuan, maka wajiblah bagi orang
yang mampu dan berupaya memberikan bantuan dan memelihara mereka. Sekiranya
golongan yang kaya dan mampu mengabaikannya, maka yang bertanggungjawab
terhadap anak yatim adalah seluruh masyarakat. Memelihara anak yatim dalam
rumah sendiri adalah sebaik-baik amal yang dituntut oleh Islam, sehingga
Rasulullah saw pernah bersabda: “Rumah-rumah yang dicintai di sisi Allah ialah
rumah yang di dalamnya terdapat anak-anak yatim yang dimuliakannya”.
5.
Fungsi
Fungsi Hadis Terhadap Al-Qur’an
Setelah anda mempelajari hadis-hadis dan
ayat-ayat al-Qur’an di atas, anda dapat menyimpulkan bahwa hadis-hadis itu
memperkuat ayat-ayat al-Qur’an yang membahas persoalan yang sama. Demikianlah
memang hadis memiliki beberapa fungsi bila dikaitkan dengan al-Qur’an. Untuk
memperkaya wawasan anda dalam hal ini, anda akan diajak memehami fungsi Hadis
terhadap al-Qur’an. Secara umum fungsi hadis adalah sebagai penjelas (bayân)
terhadap makna al-Qur’an yang umum, global dan mutlak. Sebagaimana firman Allah
swt dalam Surah al-Nahl/16 :
44 هه
م يَتَفَ َّكهرو َن َّ ل َولَعَ ِه م ي لَ ِ َّا ِس َما نه زِ َل إ َن ِللن ِ كَر ِلتهبَي
ِ ي َك الذ لَ ِ نَا إ ن َزل َ َوأ
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an,
agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada
mereka dan supaya mereka memikirkan”, 12 Secara lebih rinci fungsi penjelasan (bayân)
Hadis terhadap al-Qur’an, dikelompokkan sebagai berikut:
a. Bayân Taqrîr
Posisi
Hadis sebagai penguat (taqrîr/ta’kid) keterangan al-Qur’an. Artinya Hadis
menjelaskan apa yang sudah dijelaskan al-Qur’an, sepert Hadis tentang shalat,
zakat, puasa, dan haji. Begitu juga hadis-hadis tentang kepedulian terhadap
anak yatim yang sudah diuraikan di atas menjadi penguat terhadap ayatayat
al-Qur’an yang membahas hal yang sama.
b.
Bayân Tafsîr
Hadis sebagai penjelas (tafsîr) terhadap al-Qur’an dan fungsi inilah yang terbanyak pada umumnya. Penjelasan yang diberikan ada 3 macam, yaitu sebagai berikut :
Hadis sebagai penjelas (tafsîr) terhadap al-Qur’an dan fungsi inilah yang terbanyak pada umumnya. Penjelasan yang diberikan ada 3 macam, yaitu sebagai berikut :
1. Tafsîl
al-Mujmal
Hadis memberi penjelasan secara terperinci
pada ayat-ayat al-Qur’an yang masih global (tafsîl al-mujmal= memperinci yang
gelobal), baik menyangkut masalah ibadah maupun hukum, sebagian ulama
menyebutnya bayân tafshîl atau bayân tafsîr. Misalnya perintah shalat pada
beberapa ayat dalam al-Qur’an hanya diterangkan secara global “dirikanlah
shalat” tanpa disertai petunjuk bagaimana pelaksanaannya berapa kali sehari
semalam, berapa raka`at, kapan waktunya, rukun-rukunnya, dan lain sebagainya.
Perincian itu adanya dalam Hadis Nabi, misalnya sabda Nabi saw : “Shalatlah
sebagaimana engkau melihat aku shalat “. (HR. al-Bukhari) Dalam masalah haji
al-Qur’an hanya menjelaskan secara gelobal, rinciannya dijelaskan Hadis, Nabi
bersabda : ك َس ِاَمنَ وا هخذه " " ِلتَأ هك م “Ambilah (dari padaku)
ibadah hajjimu “. (HR. Muslim)
2. Takhshîsh
al-`Amm
Hadis mengkhususkan (mengecualikan)
ayat-ayat al-Qur’an yang umum, sebagian ulama menyebut bayân takhshîsh.
Misalnya ayat-ayat tentang waris dalam QS. Al-Nisa’/4: 10 “ Allah
mensyari`atkan bagi mu tentang (bagian pusaka untuk) anakanakmu. Yaitu :
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang perempuan…”
Kandungan ayat di atas menjelaskan pembagian harta pusaka terhadap ahli waris,
baik anak-lelaki, anak perempuan, satu, dan atau banyak, orang tua (bapak dan
ibu) jika ada anak atau tidak ada anak, jika ada saudara atau tidak ada dan
seterusnya. Ayat harta warisan ini bersifat umum, kemudian dikhususkan
(takhsîsh) dengan Hadis Nabi yang melarang mewarisi harta peninggalan para
Nabi, berlainan agama, dan pembunuh.
3. Taqyîd
al-Muthlaq
Hadis membatasi kemutlakan ayat-ayat
al-Qur’an. Artinya al-Qur’an keterangannya secara mutlak, kemudian ditakhshish
dengan Hadis yang khusus. Sebagian ulama menyebut bayân taqyîd. Misalnya firman
Allah dalam QS. Al-Mâidah : 38
يِديَ ههَما ..." َ فَاق َطعه وا أ ِرقَةه سا
ِر هق َوال َّ سا " َوال َّ
“Pencuri lelaki dan pencuri perempuan,
maka potonglah tangan-tangan mereka…” Pemotongan tangan pencuri dalam ayat di
atas secara mutlak nama tangan tanpa dijelaskan batas tangan yang harus
dipotong apakah dari pundak, sikut, dan pergelangan tangan. Kata tangan mutlak
meliputi hasta dari bahu pundak, lengan, dan sampai telapak tangan. Kemudian
pembatasan itu baharu dijelaskan dengan Hadis ketika ada seorang pencuri
tertangkap dan didatangkan ke hadapan Nabi dan diputuskan hukuman dengan
pemotongan tangan, maka Nabi memerintahkan agar percuri tersebut dipotong pada
pergelangan tangan.
c.
Bayân Tasyrî`î
Hadis
menciptakan hukum syari`at (tasyri`) yang belum dijelaskan oleh al-Qur’an. Para
ulama berbeda pendapat tentang fungsi Sunah sebagai dalil pada sesuatu hal yang
tidak disebutkan dalam al-Qur’an. Mayoritas mereka berpendapat bahwa Sunah
berdiri sendiri sebagai dalil hukum dan yang lain berpendapat bahwa Sunah
menetapkan dalil yang terkandung atau tersirat secara implisit dalam teks
al-Qur’an.
Misalnya
keharaman makan daging keledai ternak, keharaman setiap binatang yang
bertelalai, dan keharaman menikahi seorang wanita bersama bibik dan paman
wanitanya. Hadis tasyri` diterima oleh para ulama karena kapasitas Hadis juga
sebagai wahyu dari Allah swt yang menyatu dengan al-Qur’an, hakekatnya ia juga
merupakan penjelasan secara implisit dalam al-Qur’an. Jelasnya, hubungan antara
Hadis dan al-Qur’an sangat integral keduanya tidak dapat dipisahkan antara satu
dengan lainnya, karena keduanya berdasrkan wahyu yang datang dari Allah swt
kepada Nabi Muhammad saw untuk disampaikan kepada umatnya, hanya proses
penyampaiannya dan periwayatannya yang berbeda. Sunnah mempunyai peran yang
utama yakni menjelaskan al-Qur’an baik secara eksplisit atau implisit, sehingga
tidak ada istilah kontra antara satu dengan lain.
#PPGPAI2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar