Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Rabu, 12 Juni 2019

SEJARAH PERKEMBANGAN FILSAFAT YUNANI KUNO


A.    Sejarah Perkembangan Filsafat Pada Yunani Kuno

Untuk mempelajari filsafat kita tidak bisa terlepas dari belajar atau mengkaji sejarah filsafat. Hal ini sangat penting mengingat dalam mempelajari sejarah kita juga akan mempelari ruang lingkup dimensi yang ada dalam ruang dan waktu yang melandasi suatu fenomena.
 Dengan fenomena yang ada kita bisa mengetahui sebab dan akibat yang saling terkait. Oleh karena itu dalam kajian filsafat belajar sejarah filsafat merupakan metode bahkan merupakan subject matter sebagaimana ,yang dijelaskan Wiramhardja: “sejarah filsafat merupakan metode yang terkenal dan banyak digunakan orang dalam mempelajari filsafat bahkan merupakan metode yang sangat penting dalam belajar berfilsafat. Sejarah filsafat pun merupakan subject matter itu sendiri”. [1]
Mempelajari sejarah filsafat berarti kita mempejari dengan dasar kategori waktu mengenai pemikira secara kronologis, yang di dalamnya antara lain, tempat kejadian, lingkungan sosial, kebudayaan yang melingkupiya. Dengan mempelajari berbagai latar belakang yang merupakan bagian dari kronologi maka kita akan mengetahui watak dari pemikiran berdasarkan pereode sejarah tertentu.
Disamping itu seringkali persoalan-persoalan hanya dapat dipahami jika dilihat dari perkembangan sejarahnya. Pemikiran para filosof besar seperti Aristoteles, Thomas Aquino, Imanuel Kant hanya dapat dimengerti dari aliran aliran yang mendahului mereka. Aliran yang satu biasanya tesis dan yang lainnya merupakan sintesis, atau bisa jadi merupakan reaksi dari pemikiran yang lain pada masa yang berbeda. Dan dari seluruh perjalanan pemikiran filsafat itu menjadi sangat terlihat juga persoalan-persoalan manakah yang selalu tampil kembali bagi setiap kurun waktu[2].
 Maka untuk mengetahui watak dan karakter masing – masing pereode waktu atau dalam sejarah filsafat maka penulis membagi sejarah filsafat menjadi, pertama zaman Yunani Kuno atau Filsafat Alam (600 SM – 200 SM). Kedua Zaman Keemasan (470 SM – 300 SM). Kemudian yang ketiga dilanjutkan pada masa Abad Pertengahan pada masa Filsafat Islam (Arab) (awal abad VIII M – abad XII M).  pereode Kristen (abad IX – XII M). Kemudian masuk pada zaman modern (1600 – 1800 M), diteruskan Zaman Baru (1800  – 1950 M). Dan terakhir adalah Postmodernism atau Kontemporer (1950 -…M) .[3]

1.      Pra Socrates

Pada masa awal ini sering di sebut dengan filsafat alam. Penyebutan tersebut didasarkan pada munculnya banyak pemikir/filosof yang memfokuskan pemikirannya pada apa yang diamati di sekitarnya, yakni alam semesta. Mereka memikirkan alam- mencari unsur induk yang dianggap asal dari segala sesuatu. Pandangan para filosof ini melahirkan monisme, yaitu aliran yang menyatakan bahwa hanya ada satu kenyataan fundamental. Kenyataan tersebut dapat berupa jiwa, materi, Tuhan atau sebutansi lainnya yang tidak dapat di ketahui.[4]
Pada zaman masa ini para filosof mulai berfikir ulang dan tidak mempercayai sepenuhnya pengetahuan yang didasarkan pada mitos-mitos, legenda, kepercayaan yang sedang menjadi meanstream di masyarakat waktu itu. Mereka mempercayai bahwa pengetahuan bisa didapatkan melalui proses  pemikiran dan mengamati.
Salah satu pemikir pertama pada masa ini adalah Thales (624 – 545 SM) berfikiran bahwa zat utama yang menjadi dasar semua kehidupan adalah air. Anaximander (610 – 546 SM) adalah murid dari Thales, tetapi walaupun begitu Thales berbeda pendapat dengan gurunya. Thales berfikiran bahwa permulaan yang pertama tidak bisa ditemukan (apeiron) karena tidak memiliki sifat-sifat zat yang ada sekarang. Ia mengatakan bahwa segala hal berasal dari satu subtansi azali yang abadi, tanpa terbatas yang melingkupi seluruh alam. [5]

2.      Zaman Keemasan

Jika pada masa Pra Socrates para pemikir masih berkutat pada wilayah kemenjadian, maka pada masa keemasan sudah masuk pada pemikiran dan keutamaan moral. Pada masa keemasan kajian sudah mengarah kepada manusia sebagai objek pemikiran. Pada masa ini juga sudah mulai berkembang dialektis- kritis untuk menunjukkan kebenaran.
Socrates (470 – 399 SM) merupakan generasi pertama dari tiga filsafat besar dari Yunani. Pemikiran Socrates sangat dipengaruhi oleh kondisi kaum “sophis”  cerdik cendekia yang dalam mengajarkan pengetahuannya meminta imbalan. Dan pada masa hidupnya kekuasaan politik di Athena sedang dikuasai oleh para “sophis”  yang jahat dan sombong pada masa sebelumnya.
Socrates adalah seorang yang meyakini bahwa menegakkan moral merupakan tugas filosof, yang berdasarkan ide-ide rasional dan keahlian dalam pengetahuan. Menurut Socrates ada kebenaran objektif yang tidak tergantung pada saya atau kita. Setiap orang bisa berpendapat benar dan salah tergantung pada pengujian rasionya.
Socrates percaya bahwa kebaikan berasal dari pengetahuan diri, manusia pada dasarnya adalah jujur, dan kejahatan merupakan upaya akibat salah pengarahan yang membebani kondisi seseorang. Ia menjelaskan gagasan sistematis bagi pembelajaran mengenai keseimbangan alam dan lingkungan yang kemudian akan mengarah pada perkembangan method ilmu pengetahuan. Socrates berpendapat bahwa pemerintahan yang ideal harus melibatkan orang-orang yang bijak, dan dipersiapkan dengan baik dan mengatur kebaikan-kebaikan untuk masyarakat. [6]
Socrates memiliki pandangan atau gagasan tunggal dan transenden yang ada di balik pergerakan ini. Sampai dia di suruh bunuh diri meminum racun karena pandangannya dianggap meracuni kepercayaan umum yang saat itu masyarakat mempercayai kuil dan dewa-dewa.
Berikutnya adalah Plato (427 – 347 SM) adalah murid Socrates. Menurutnya dunia yang tampak ini sebuah bayangan atau refleksi dari dunia yang ideal.  Bahkan kebenaran dan definisi lahir bukan dari hasil dialog melainkan hasil bayangan dari dunia ide. Menurutnya dunia ide adalah realitas yang sebenarnya.  Untuk menjelaskan tentang pemikiran filosofisnya Plato membagi realitas menjadi dua yakni pertama dunia ide. Kedua dunia baying-bayang dan dunia yang tampak ini adalah di dalamnya.
Aristoteles (384 – 322 SM) adalah filosof yang sangat berpengaruh sama sebagaimana Plato, namun Aristoteles sangat empiris dan mulai memperlihatkan kecenderungan berfikir yang saintific. Menururnya tidak ada sesuatu pun di dalam kesadaran yang belum pernah dialami oleh indra. Seluruh pemikiran dan gagasan yang masuk ke dalam kesadaran kita melaui apa yang pernah kita lihat dan dengar sebelumnya.[7] 
Manusia memiliki akal pembawaan untuk mengorganisasikan seluruh kesan inderawi ke dalam kategori-kategori atau kelompok-kelompok. Aristoteles juga mulai membagi benda dengan melaui “bentuk” dan “substansi” nya. [8] Selain pemikiran yang empiris ini, Aristoteles juga mengembangkan logika, bahkan Aristoteles terkenal dengan bapak logika. Logikanya disebut logika tradisional, sebab nanti berkembang logika modern.



[1] Suterdjo A. Wiramihardjo. Pengantar Filsafat.  (Bandung: Refika Aditama 2007) hlm. 43.
[2] Burhanudin Salam. pengantar Filsafat (Jogyakarta: Bumi Aksara 2009) hlm. 186.
[3] Suterdjo A. Wiramihardjo. Pengantar Filsafat.  (Bandung: Refika Aditama 2007) hlm. 45
[4] Burhanudin Salam. pengantar Filsafat (Jogyakarta: Bumi Aksara 2009) hlm. 187.
[5] Ali Maksum Pengantar Filsafat Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme (Ar-Ruzz Media:2008) hlm. 43 – 46.
[6] Ali Maksum Pengantar Filsafat Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme (Ar-Ruzz Media:2008), hlm. 57
[7] Ali Maksum Pengantar Filsafat Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme (Ar-Ruzz Media:2008), hlm. 60
[8] Jostein Gaarder, Dunia Sophie (Terj.) Rahmani Astuti (Bandung: Mizan. Cet X. 2013) hlm. 176 – 184

Tidak ada komentar:

Posting Komentar