Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Senin, 24 Juni 2019

MODUL AL-QUR'AN KB 3 PPG PAI


MODUL AL-QUR’AN KB 3 PPG PAI

INDIKATOR KOMPETENSI :

     1.      Menjelaskan penafsiran konsep Ikhlas, murah hati dan toleransi,
     2.      Menganalisis Penafsiran ayat ayat tentang Ikhlas, murah hati dan toleransi.
  
URAIAN MATERI

A.    Ikhlas

Salah satu contoh sifat terpuji yang telah termaktub dalam al Qur’an ialah sifat ikhlas. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ikhlas dapat diartikan sebagai hati yang bersih atau hati yang tulus. Ikhlas merupakan sebuah pangkal dan puncak dari segala tujuan. Dalam kata ikhlas terdapat sebuah kondisi di mana seseorang dapat mengosongkan diri dari berbagai kehendak dan keinginan yang dimiliki serta mengabaikan segala amal yang telah dilakukan. Lebih lanjut dikatakan, bahwa ikhlas menurut bahasa ialah bersih dari kotoran. Sehingga seorang yang memiliki keikhlasan ialah orang yang benar-benar menyembah hanya kepada Allah semata dengan tanpa menyekutukan-Nya. 

Dalam hal ini ia tidak menjadikan agama dan amalannya sebagai bagian dari riya’ maupun sum’ah. Sedangkan menurut istilah, ikhlas dapat diartikan sebagai kondisi di mana seorang hamba hanya mengharap ridha Allah semata dalam menjalankan ibadah ataupun dalam beramal dan memurnikan niatnya dari hal-hal yang dapat merusak niat itu sendiri.  Ikhlas dapat dirasakan pada hati nurani manusia, yang dalam hati nurani itu pulalah tempat niat berada. Adanya niat ialah sebagai sebuah pengikat amal yang di sana amal seseorang dipertaruhkan. 

Bagi mereka yang mengabaikan kemurnian niatnya, maka ia harus bersiap untuk mendapatkan kesia-siaan dari amalnya. Karena ikhlas ialah melakukan amalan dengan niat yang murni hanya untuk meraih Ridla Allah semata, sehingga ia tidak lagi mengharap balasan kecuali ridla Allah SWT. Pada kondisi ini, seseorang tidak lagi memiliki rasa ingin dihargai, ingin diterima, ingin memperoleh pujian, merasa istimewa, merasa lebih dan lain sebagainya. Berkenaan dengan pentingnya pemupukan sifat ikhlas tersebut, Allah telah bersabda dalam beberapa firman-Nya sebagai berikut: - Surah Ghafir (QS.40: 14)

  َ ون ُرِفََٰكْ ٱل َهِرَ ك ْوَلَ و َ ين ِ ٱلد ُهَ ل َ ين ِصِلْخُ م َ ٱللَّه ۟وا ُعْ ٱد َ ف

Artinya:  Maka sembahlah Allah dengan memurnikan (mengikhlaskan) ibadah kepadaNya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukainya. 

- Kajian Tafsir

a. Tafsir Jalalain 

Berdasarkan tafsir Jalalain, disebutka bahwa maksud dari memurnikan (mengikhlaskan) ibadah kepada-Nya ialah memurnikan agama Allah dari segala macam kemusyrikan, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai keikhlasan ibadah kalian kepada Allah SWT. 

b. Tafsir Ibnu Katsir 

Dalam kitab tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwasanya Allah telah memerintahkan kepada manusia untuk memurnikan (mengikhlaskan) penyembahan dan doanya hanya kepada Allah meskipun orang-orang kafir maupun orang-orang musyrik memiliki pendapat yang berbeda mengenai hal ini. Penjelasan ini kemudian diperkuat dengan adanya beberapa hadits yang relevan, diantaranya ialah:
   اَنَ دهث َ : ح ُدَمْحَ أ ُ ام َمِ ْ ٌ الْ َ ال َق ِ - ام َشِ ا ه َنَ دهث َ ح ،ٍرْيَمُ ن ُنْ ب ِ اللَّه ُدْبَع ْ -رْيَبُّ الز ِنْ ب َةَوْرُ يعني بن ع نَع ِرُبُ ي د ِ ف ُ ول ُقَ ي ِرْيَبُّ الز ُنْ ب ِ اللَّه ُدْبَ ع َ ان َ : ك َ ال َ قِ  يِكَمْ بن مسلم بن مدرس ال ِ مهد َحُ م ِرْيَبُّ ي الز ِبَأ ه لَِ إ َهَلِ إ َ : لَ ُ مِلَسُ ي َ ين ِ ح ٍة َ لََ  ص ِلُك َلَ ع َوُهَ و ،ُدْمَحْ ال ُهَلَ و َُْلُمْ ال ُهَ ل ،ُهَ ل ََيِرََ َ لَ ُهَدْحَ و ،ُ اللَّه َ ل ،ُ يهاه ِ ه إ لَِ إُدُبْعَ ن َ لََ و ،ُ ه اللَّه لَِ إ َهَلِ إ َ لَ ،ِ اللَّه ِ ه ب لَِ إَ وهة ُ ق َ لََ و َلْوَ ح َ ُ لَ ،ٌ ير ِدَ ق ٍءْيََ  ِلُك هَلَ و َُُمْ عِ الن ُه
َ الثهن ُهَلَ و ،ُلْضَفْال :َ الَ " ق َ ون ُرِ اف َكْ ال َهِرَ ك ْوَلَ و َ ين ِ الد ُهَ ل َ ين ِصِلْخُ م ،ُ ه اللَّه لَِ إ َهَلِ إ َ لَ ،ُنَسَحْ ال ُ اء ٍ ة َ لََ  ص ِلُ ك َرُبُ نه د ِهِ ل ب ِلَهُ ي َ لهم َسَ و ِهْيَلَ ع ُ له  اللَّه َ ص ِ اللَّه ُ ول ُسَ ر َ ان َكَو

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Namir, telah menceritakan kepada kami Hisyam (yakni Urwah ibnuz Zubair), dari Abuz Zubair alias Muhammad ibnu Muslim seorang guru di Mekah yang mengatakan bahwa Abdullah ibnuz Zubair selalu mengucapkan doa berikut seusai dalam salatnya, yaitu: Tidak ada Tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, bagiNya kerajaan dan bagiNya segala puji, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah. Tidak ada Tuhan selain Allah, dan kami tidak menyembah selain kepada-Nya, milik-Nyalah semua nikmat, karunia, dan pujian yang baik. Tidak ada Tuhan selain Allah, (kami nyatakan ini dengan) memurnikan penyembahan hanya kepada-Nya, sekalipun orang-orang kafir tidak menyukai (nya). Lalu Ibnuz Zubair mengatakan bahwa Rasulullah Saw selalu mengucapkan doa tersebut setiap usai salatnya.  Di dalam kitab sahih disebutkan dari Ibnu Zubair r.a., bahwa Rasulullah Saw. setiap usai mengerjakan salat fardunya mengucapkan doa berikut:

  َ . لَ ٌ ير ِدَ ق ٍءْيََ  ِلُ  ك َلَ ع َوُهَ و ،ُدْمَحْ ال ُهَلَ و َُْلُمْ ال ُهَ ل ،ُهَ ل ََيِرََ َ لَ ُهَدْحَ و ،ُ ه اللَّه لَِ إ َهَلِ إ َ "لَ  ِ  الن ُهَ ل ،ُ يهاه ِ ه إ لَِ إ ُدُبْعَ ن َ لََ و ُ ه اللَّه لَِ إ َهَلِ إ َ لَ ،ِ اللَّه ِ ه ب لَِ إ َ وهة ُ ق َ ُ لََ و َلْوَح اءَ الثهن ُهَلَ و ،ُلْضَفْ ال ُهَلَ و َُُمْع "َ ون ُرِ اف َكْ ال َهِرَ ك ْوَلَ و َ ين ِ الد ُهَ ل َ ين ِصِلْخُ م ُ ه اللَّه لَِ إ َهَلِ إ َ  لَ ،ُنَسَحْال

Tidak ada Tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya kerajaan dan bagi-Nya segala puji, dan adalah Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Tidak ada daya dan tidak ada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah. Tidak ada Tuhan selain Allah, dan kami tidak menyembah selain hanya kepada-Nya. Bagi-Nya semua nikmat, karunia, dan pujian yang baik. Tidak ada Tuhan selain Allah (dengan) memurnikan ketaatan kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai (nya).
 
يِ - ٌحِال َ ا ص َنَ دهث َ ح ،ٍح ِ اص َ ن ُنْ يب ب ِصَ ا الخ َنَ دهث َ ح ُ يع ِ ا الرهب َنَ دهث َ : ح ٍمِ ات َ ي ح ِبَ أ ُنْ اب َ ال َق ِ - رِ ي الم ِنْعَي نْ ب ِام َشِ ه ْنَع  ِنَ ع ،َ سهان َح :َ ال َ ق َ لهم َسَ و ِهْيَلَ ع ُ له  اللَّه َ ص ِ يِ النهب ِنَ ع ،ُهْنَ ع ُ اللَّه َي ِضَ ر ،َةَرْيَرُ ي ه ِبَ أ ْنَ ع َ ين ِ ير ِ س ِنْاب "ٍ "ادعوا الله ه َ لَ ٍلِ اف َ غ ٍبْلَ ق ْنِ م ً اء َعُ د ُ يب ِجَتْسَ ي َ لَ َ نه اللَّه َ وا أ ُمَلْ اع َ و ،َُِ اب َجِْ الْ ِ ب َ ون ُنِ وق ُ م ْمُتْنَأَو

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ar-Rabi', telah menceritakan kepada kami Al-Khasib ibnu Nasih, telah menceritakan kepada kami Saleh (yakni Al-Murri), dari Hisyam ibnu Hassan, dari Ibnu Sirin, dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Berdoalah kepada Allah Swt., sedangkan kalian merasa yakin akan diperkenankan. Dan ketahuilah bahwa Allah Swt. tidak memperkenankan doa dari orang yang hatinya lalai lagi tidak khusyuk. 

Berdasarkan beberapa penafsiran di atas, dapat difahami bahwa islam telah mengajarkan konsep keikhlasan melalui firman Allah yang menjelaskan tentang pentingnya kemurnian hati, niat dan amalan hanya mengharap ridla Allah SWT. Dengan hadirnya keikhlasan dalam menjalankan setiap amalan, maka seorang tidak akan lagi menghiraukan apapun yang mungkin akan mempengaruhi keikhlasannya tersebut, seperti tanggapan, komentar mapun tindakan orang lain yang mungkin tidak menyukainya. - Surat Gahfir SQ 40: 65 Ayat yang menjelaskan tentang pentingnya sifat ikhlas yang kedua ialah ayat ke 65 pada Surah Ghafir yang berbunyi:

  َ ين ِمَلََٰعْ ٱل ِ بَ ر ِ ه ِ للَُّدْمَحْ ٱل َ ين ِ ٱلد ُهَ ل َ ين ِصِلْخُ م ُ وه ُعْ ٱد َ ف َوُ ه ه لَِ إ َهََٰ لِ إ ٓ َ لَ ُّ َحْ ٱل َوُ ه

Artinya: Dialah Yang hidup kekal, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia; maka sembahlah Dia dengan memurnikan ibadat kepada-Nya. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. - Kajian Tafsir a. Tafsir Jalalain Dalam kitab Tafsir Jalalain, ayat ini ditafsirkan dengan makna: (Dialah Yang hidup kekal tiada Tuhan melainkan Dia, maka serulah Dia) sembahlah Dia (dengan memurnikan ibadah kepada-Nya) dari kemusyrikan. (Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam.)

Berdasarkan teks di atas, dapat ditafsirkan bahwa Allah merupakan satu-satunya Dzat yang Abadi, sehingga sudah menjadi sebuah keharusan bagi seluruh makhluk untuk menyembah dan berdoa hanya kepada-Nya dengan segala ketulusan. b. Tafsir Ibnu Katsir Selanjutnya, ayat ini juga dibahas dalam tafsir ibnu katsir dengan menafsirkan beberapa penggal ayat terlebih dahulu, barulah kemudian penafsiran ayat secara keseluruhan. Adapun penafsiran berdasarkan penggalan ayat 65 Surah Ghafir yang tercantum dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir ialah sebagai berikut:

  َ وُ لَ ه ِ إ َهَلِ إ َ  لَ ُّيَحْ ال َوُه 

Dialah Yang hidup kekal, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. (Ghafir: 65) 

Yakni Dialah Yang Hidup sejak zaman azali dan selama-lamanya, Dia tetap dan tetap Hidup, Dialah Yang Pertama dan Yang Terakhir, dan Yang Maha lahir lagi Maha batin.  َ وُ لَ ه ِ إ َهَلِ إ َ لَ Tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. (Ghafir: 65) Yaitu tiada tandingan dan tiada saingan bagi-Nya.

  َ  ين ِ الد ُهَ ل َ ين ِصِلْخُ م ُ وه ُعْ اد َف

maka sembahlah Dia dengan memurnikan ibadah kepada-Nya. (Ghafir: 65) dengan mengesakan-Nya dan mengakui bahwa tiada Tuhan yang wajib disembah selain Dia, segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Berdasarkan penafsiran ini, beberapa ulama’ menyebutkan bahwa dalam mengucapkan kalimat “Tiada Tuhan (yang waib disembah) selain Allah” hendaklah seseorang tersebut mengikutinya dengan kalimat “Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam”. 

Beberapa ulama’ tersebut diantaranya ialah Ibnu Jarir dan Abu Usamah. Hal ini sejalan dengan Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Imam Abu Daud, dan Imam Nasai melalui Hisyam Ibnu Urwah, Hajjaj ibnu Abu Usman dan Musa ibnu Uqbah; ketiga-tiganya dari Abuz Zubair, dari Abdullah ibnuz Zubair yang telah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. selalu mengucapkan doa berikut seusai tiap salatnya, yaitu:

 ه « ل ََيِرََ َ لَ ُهَدْحَ و ُ ه اللَّه لَِ إ َهَلِ إ َ » لَ

“Tidak ada Tuhan yang wajib disembah kecuali Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya” Berdasarkan penafsiran dari ayat di atas, dapat difahami bahwa keikhlasan dalam beribadah dan beramal berarti memurnikan ibadah dan amalan kita hanya untuk Allah semata, dengan meng-Esakan-Nya dan tanpa menyekutukannya.  - Surat Al A’raf ayat 29 Ayat ketiga yang menjelaskan tentang keikhlasan ialah ayat ke 29 surah Al A’raf yang berbunyi:

 َ ُ ا ب َمَ ك ۚ َ ين ِ الد ُهَ ل َ ين ِصِلْخُ م ُ وه ُعْ اد َ و ٍدِجْسَ  م ِلُ ك َدْنِ ع ْمُكَ وه ُجُ وا و ُ يم ِقَأَ و ۖ ِطْسِقْال ِ ي ب ِ بَ ر َرَمَ أ ْلُق َ ود ُعَ ت ْمُكَأَد ون

Katakanlah:  "Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan". Dan (katakanlah): "Luruskanlah muka (diri)mu di setiap sembahyang dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya. Sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah kamu akan kembali kepada-Nya)".  - Kajian Tafsir

1.    Tafsir Jalalain

Dalam tafsir Jalalain, ayat di atas ditafsirkan sebagai berikut: (Katakanlah, "Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan") yaitu perbuatan yang adil. (Dan luruskanlah) diathafkan secara makna kepada lafal bil qisthi, yang artinya, Ia berkata, "Berlaku adillah kamu dan luruskanlah dirimu." Atau diathafkan kepada lafal sebelumnya dengan menyimpan taqdir yakni: Hadapkanlah dirimu (mukamu) kepada Allah (di setiap salatmu) ikhlaslah kamu kepada-Nya di dalam sujudmu (dan sembahlah Allah) beribadahlah kepada-Nya (dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya) bersih dari kemusyrikan. (Sebagaimana Dia menciptakanmu pada permulaan) yang sebelumnya kamu bukanlah merupakan sesuatu (demikian pulalah akan kembali kepada-Nya) artinya Dia akan mengembalikan kamu pada hari kiamat dalam keadaan hidup kembali. 

Berdasarkan penafsiran di atas, kata “mengikhlaskan ketaan kepada-Nya” diartikan sebagai kondisi di mana seorang hamba hendaknya hanya menujukan ibadahnya untuk Allah semata dan bukan untuk yang lainnya. Memurnikan ibadah hanya kepada Allah bukan kepada yang lainnya.

2.    Tafsir Al Mishbah

Dalam kitab tafsir yang ditulis oleh Quraish Shihab, ayat di atas memiliki penafsiran sebagai berikut: Terangkan kepada mereka apa yang diperintahkan Allah. Katakanlah, "Tuhanku menyuruh berlaku adil dan tidak berlaku keji. Dia menyuruh kalian beribadah hanya kepada-Nya di setiap waktu dan tempat. Dan Dia juga menyuruh kalian ikhlas dalam beribadah kepada-Nya. Masingmasing kalian akan kembali kepada- Nya setelah mati. Seperti halnya Dia menciptakan kalian dengan mudah di saat kalian tidak memiliki apa- apa, kalian akan dikembalikan kepada-Nya dengan mudah pula, meninggalkan semua nikmat yang ada di sekeliling kalian."

3.   Tafsir Ibnu Katsir

Dalam tafsir ibnu katsir, pada penggalan ayat 29 surat Al A’raf yang berbunyi:
 ِ طْسِقْال ِ ي ب ِ بَ ر َرَمَ أ ْلُ ق

Yang berarti: Katakanlah “Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan” ini ditafsirkan bahwa Allah memerintahkan manusia untuk berlaku adil dan berada pada jalan yang lurus dalam segala perkara. 
Selanjutnya, pada potongan ayat 29 yang kedua, yang berbunyi: 

 َ َ  و ٍدِجْسَ م ِ لُ ك َدْنِ ع ْمُكَ وه ُجُ وا و ُ يم ِقَأَو ين ِ الد ُهَ ل َ ين ِصِلْخُ م ُ وه ُعْ اد

Yang berarti: “Dan (katakanlah), "Luruskanlah muka (diri) kalian di setiap salat dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kalian kepada-Nya”,  Dalam kitab tafsir Ibnu Katsir potongan ayat ini ditafsirkan dengan penjelasan sebagai berikut: “Allah memerintahkan kalian agar beristiqamah dalam menyembah-Nya, yaitu dengan mengikuti para rasul yang diperkuat dengan mukjizatmukjizat dalam menyampaikan apa yang mereka terima dari Allah dan syariat-syariat yang mereka datangkan. Allah memerintahkan kepada kalian untuk ikhlas dalam beribadah hanya untuk-Nya. Karena sesungguhnya Allah tidak akan menerima amal, melainkan bila di dalam amal itu terhimpun dua rukun berikut, yaitu hendaknya amal dikerjakan secara benar lagi sesuai dengan tuntutan syariat, dan hendaknya amal dikerjakan dengan ikhlas karena Allah bersih dari syirik.” 
Selanjutnya, potongan ayat 29 yang terakhir yang berbunyi: 
 َ ون ُ ود ُعَ ت ْمُكَأَدَ ا ب َمَ ك

Yang berarti: Sebagaimana Dia telah menciptakan kalian pada permulaan (demikian pula) kalian akan kembali (kepada-Nya) 

Makna penggalan ayat ini masih diperselisihkan. Menurut Ibnu Abu Nujaih melalui riwayatnya dari Mujahid menyebutkan bahwa makna firman-Nya: Sebagaimana Dia telah menciptakan kalian pada permulaan (demikian pulalah) kalian akan kembali (kepada-Nya). (Al-A'raf: 29) ialah, kelak Allah akan menghidupkan kalian sesudah kalian mati. Adapun menurut Al-Hasan Al-Basri, penggalan ayat di atas memiliki makna “sebagaimana Dia menciptakan kalian pada permulaan di dunia ini, demikian pula kalian akan kembali kepada-Nya kelak di hari kiamat dalam keadaan hidup”. 

Selanjutnya Qatadah mengatakan bahwa Firman Allah tersebut dimaknai dengan penjelasan bahwa “Allah memulai penciptaan-Nya, maka Dia menciptakan mereka. Sebelum itu mereka tidak ada, kemudian mereka mati, lalu Allah mengembalikan mereka dalam keadaan hidup”. Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi mengatakan bahwa penggalan ayat tersebut memiliki makna bahwa “barang siapa yang sejak semula diciptakan oleh Allah dalam keadaan celaka, maka ia akan menjadi orang seperti yang ditakdirkan-Nya semula sejak permulaan kejadiannya, sekalipun ia mengamalkan amalan ahli kebahagiaan (ahli surga). Barang siapa yang sejak semula ditakdirkan bahagia oleh Allah, maka ia akan dikembalikan kepada apa yang telah ditakdirkan untuknya sejak semula, sekalipun ia mengamalkan amalan orang-orang yang celaka (penghuni neraka). 

Sebagaimana para ahli sihir mengamalkan amalan orang-orang yang celaka, maka pada akhirnya ia pasti akan menjadi orang seperti yang ditakdirkan untuknya sejak semula.”  As Saddi mengatakan, bahwa makna dari penggalan ayat tersebut ialah “sebagaimana Kami menciptakan kalian; sebagian dari kalian ada yang mendapat petunjuk, dan sebagian yang lain ada yang disesatkan. Maka demikian pulalah kelak kalian dikembalikan, dan demikian pulalah keadaannya sewaktu kalian dilahirkan dari perut ibu-ibu kalian.” 

Secara umum, kata ikhlas dalam ayat ini dikaitkan secara erat dengan syarat diterimanya sebuah amalan oleh Allah SWT. Syarat dari diterimanya sebuah amal ibadah ialah ibadah tersebut telah memenuhi rukun-rukunnya serta dilaksanakan dengan penuh keikhlasan hanya mengharap ridla Allah semata, tanpa penyekutuan sedikitpun.   - Surat Az Zumar Ayat 11 Ayat keempat ialah ayat ke 11 pada surat Az Zumar yang berbunyi:

  َ ين ِ الد ُهَ ا ل ًصِلْخُ م َ اللَّه َدُبْعَ أ ْنَ أ ُتْرِمُ ي أ ِ نِ إ ْلُ ق

Katakanlah: "Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama. 

     a.    Tafsir Jalalain

Dalam tafsir Jalalain, dijelaskan bahwa penafsiran dari memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama ialah murni dari perbuatan syirik.

                  b.      Tafsir Al Mishbah

Dalam tafsir yang ditulis oleh Quraish Shihab tersebut dijelaskan bahwa penafsiran ayat di atas ialah sebuah perintah untuk mengatakan “aku diperintahkan untuk meyembah Allah dengan penuh ikhlas dan tulus murni, tanpa ada kesyirikan dan riya’ atau pamrih”

                 c.   Tafsir Ibnu Katsir

Dalam tafsir ibnu katsir, dijelaskan bahwa pemaknaan atau penafsiran atas ayat di atas ialah sebuah perintah untuk mengatakan bahwa “sesungguhnya aku hanya diperintahkan untuk memurnikan ibadah hanya kepada Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya” Berdasarkan penjelasan beberapa tafsir di atas, dapat difahami betapa pentingnya esensi keikhlasan dalam beribadah. Manusia sebagai hamba yang berkewajiban untuk mengabdi dan beribadah hanya kepada Allah, hendaknya dapat melaksanakan kewajiban tersebut dengan penuh kesadaran dan kemurnian hati. Sehingga ibadah dan amalan dapat diterima oleh Allah SWT. Sebagaimana Allah telah berfirman:  ِ
 ون ُدُبْعَيِ ه ل لَِ إ َسْنِْ الْ َ نه و ِجْ ال ُتْقَلَ ا خ َمَ و
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56) 

B.     Toleransi

Toleransi secara bahasa berasal dari Bahasa Inggris “Tolerance” yang berarti membiarkan. Dalam Bahasa Indonesia diartikan sebagai sifat atau sikap toleran, mendiamkan membiarkan. Dalam bahasa Arab kata toleransi (mengutip kamus Al-Munawir disebut dengan istilah tasamuh yang berarti sikap membiarkan atau lapang dada). Badawi mengatakan, tasamuh (toleransi) adalah pendirian atau sikap yang termanifestasikan pada kesediaan untuk menerima berbagai pandangan dan pendirian yang beraneka ragam meskipun tidak sependapat.
 
Toleransi menurut istilah berarti menghargai, membolehkan membiarkan pendirian, pendapat, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan dan sebagainya yang lain atau yang bertentangan dengan pendiriannya sendiri. Misalnya agama, ideologi dan ras. Firman-Nya,

  َ هِ و ب ُنِم ۡ ؤُّ ي ۡ مهن ۡمُهۡ نِ م

Di antara mereka ada orang-orang yang beriman kepada Al-Qur’an, dan seterusnya. Maksudnya, di antara mereka yang kamu diutus kepada mereka, hai Muhammad, ada yang beriman dengan AlQur’an ini, dia mengikutimu dan mengambil manfaat dengan apa yang kamu diutus dengannnya.
   هِ ب ُنِم ۡ ؤُ ه ي لَ ۡ مهن ۡمُهۡ نِمَ و

“Dan di antaranya ada (pula) orangorang yang tidak beriman kepadannya.” Bahkan dia mati dalam keadaan seperti itu dan dibangkitkan dalam keadaan seperti itu pula.

  َ َ َُّبَرَو ين ِدِ فس ُ الم ِ ب ُمَعل َ  ا

“Dan Rabbmu lebih mengetahui tentang orang-orang yang berbuat kerusakan.” Maksudnya, Allah lebih mengetahui siapa yang berhak mendapat petunjuk, maka Allah memberinya petunjuk. Dan siapa yang berhak mendapatkan kesesatan, maka Allah menyesatkannya. Allahlah  yang Maha Adil yang tidak berbuat zalim, akan tetapi Allah Memberi masingmasing sesuai haknya, Maha Suci Allah Ta’ala Yang Maha Tinggi dan Maha Bersih, tiada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Allah berfirman kepada Nabi-Nya Muhammad SAW: “Jika orang-orang musyrik mendustakanmu, maka berlepas dirilah dari mereka dan amal mereka.

 مُكُلَمَ م ع ُ ـكَلَ  و ِلَمَ   ع ِ ل ْلُقَ ف

“Maka katakanlah: “Bagiku pekerjaanku dan bagimu pekerjaanmu.“ sebagaimana firman-Nya:

  َ َ هُّيَ اأ َ ي ْلُق نْوُدُبْعَ ا ت َ م ُدُبْعَ ا َ ن # لَ ْوُرِ اف َكْ ا ال

“Katakanlah: ‘Hai orang-orang kafir, aku tidak akan beribadah kepada apa yang kamu ibadahi,” (hingga akhir). (QS. Al-Kafiruun: 1-2). Lebih lanjut Allah mengajarkan manusia tentang pentingnya toleransi melalui firman-Nya dalam surat Al Kafirun ayat 6 yang berbunyi:

  َيِلَ و ْمُكُنْيِ د ْمُكَل ِ نْيِ د

“Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” Dalam kitab tafsir Jalalain dijelaskan sebagai berikut: “(Untuk kalianlah agama kalian) yaitu agama kemusyrikan (dan untukkulah agamaku") yakni agama Islam. Ayat ini diturunkan sebelum Nabi saw. diperintahkan untuk memerangi mereka. Ya’ Idhafah yang terdapat pada lafal ini tidak disebutkan oleh ahli qiraat sab'ah, baik dalam keadaan Waqaf atau pun Washal. Akan tetapi Imam Ya'qub menyebutkannya dalam kedua kondisi tersebut.” Adapun menurut Quraish Shihab dalam Tafsirnya, ia menjelaskan makna dari ayat tersebut ialah ” Bagi kalian agama kalian yang kalian yakini, dan bagiku agamaku yang Allah perkenankan untukku.” 

Adapun asbabun nuzul surat Al kafirun ialah adanya kaum kafir Quraisy berusaha keras membujuk dan mempengaruhi Rasulullah saw. untuk mengikuti ajaran mereka. Kaum kafir Quraish menawarkan harta yang melimpah sehingga Rasulullah dapat menjadi orang terkaya di Makkah. Selain itu, Rasulullah juga dijanjikan hendak dikawinkan dengan wanita paling cantik, baik yang gadis maupun yang sudah janda, sesuai kehendak beliau. Dalam upaya ini, kaum kafir Quraish mengatakan, “Inilah wahai Muhammad yang kami sediakan untukmu, agar kamu tidak memaki dan menghina tuhan kami dalam satu tahun!” Rasulullahpun menjawab, “Saat ini, aku belum bisa menjawab. Aku akan menunggu wahyu dari Allah Tuhanku lebih dahulu.”. karena terjadinya peristiwa ini, maka Allah Subhanahu wata’ala menurunkan wahyu kepada Rasulullah SAW  berupa surah Al-Kafirun. Melalui wahyu ini, Allah menunjukkan Rasulullah untuk menolak tawaran mereka. (HR. Thabrani dan Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abbas) 

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa orang-orang kafir Quraisy mengajukan tawaran kepada Rasulullah SAW, “Wahai Muhammad, sekiranya kamu tidak keberatan mengikuti agama kami selama satu tahun, maka kami akan berbalik mengikuti agamamu selama satu tahun pula.” Beradasarkan peristiwa inipun kemudian Allah SWT memerintahkan malaikat Jibril untuk menurunkan wahyu kepada Rasulullah SAW, yaitu surah Al-Kafirun sebagai petunjuk jawaban yang harus diberikan Rasulullah.  Selanjutnya Rasulullah Saw  menyampaikan jawaban berdasarkan wahyu Allah tersebut secara terangterangan dengan kalimat: “selamanya tidak akan bertemu dalam satu titik agama kufur dengan agama Islam yang hak”. (HR. Abdurrazak dari Wahbin. Dan Ibnu Mundzir meriwayatkan bersumber dari Juraij).

C.       Murah Hati

Dalam kamus besar bahasa Indonesia murah hati adalah suka (mudah) memberi; tidak pelit; penyayang dan pengasih; suka menolong; baik hatikebaikan hati; sifat kasih dan sayang; kedermawanan. Sifat hati yang mulia dan hangat berupa kesdiaan untuk mendatangkan kebaikan bagi orang lain dengan memberi secara limpah, dengan tangan terbuka, tanpa ditahan-tahan.

  ِ إ َ ون ُقِ نفُ ا ت َمَ و ۚمُكِسُ نفَ ِ لَِ  ف ير َ ن خ ِ م ْوا ُقِ نفُ ا ت َمَ و ُُۗ اء َشَ ن ي َ ي م ِ هد َ ي َ نه ٱللَّه ِكََٰ لَ م و ُهَٰىَدُ ه ََيَلَ ع َ لهيس اَمَ و ِۚ ٱللَّه ِ جه َ و َ اء ََِ ه ٱبت لَ َ ون ُمَظل ُ ت َ )272 م لَ)البقرة: ُ نتَأَ م و ُ يك َلِ فه إ َوُ ير ي َ ن خ ِ م ْوا ُقِ نفُت

Artinya:  “Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya.”   

Asbabun Nuzul ayat ini adalah: “Bahwa ada orang-orang yang tidak suka memberikan sedekah kepada keturunan mereka dari kalangan musyrik, lalu mereka menanyakan hal itu, hingga diberikan rukhshah (keringanan) bagi mereka. Maka turunlah ayat ini yang membolehkan memberi sedekah kepada kaum Musyrikin.” (Diriwayatkan oleh An-Nasai, Al-Hakim, Al-Bazzar, Ath-Thabrani dan lain-lain, yang bersumber dari Ibnu Abbas. Asbabun Nuzul riwayat lainnya adalah: “Bahwa Nabi Saw melarang umatnya bersedekah kecuali untuk kaum Muslimin. Setelah itu turunlah ayat ini yang beliau diperintahkan Allah Swt untuk memberi sedekah kepada orang yang beragama apapun, yang datang meminta kepadanya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Ibnu Abbas), Firman-Nya

(وما تنفقوا من خير فلِنفسكم)

sebgaimana dalam Surah Fushishilat ayat 46 yang artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal yang shalih, maka [pahalanya] untuk dirinya sendiri.” Dan yang semisal dengan hal tersebut cukup banyak di dalam Al-Quran.  Firman-Nya
 (وما تنفقون إلَ ابتَاء وجه الله)

Al-Hasari AlBashri mengatakan, “Yaitu nafkah yang diberikan orang mukmin untuk dirinya sendiri. Dan seorang mukmin tidak menafkahkan hartanya melainkan dalam rangka mencari keridhaan Allah Ta’ala. Atha’ Al-Khurasani mengatakan: “Yakni, jika engkau memberikan sesuatu karena mencari keridhaan Allah Swt, maka pahala amal itu bukanlah urusanmu.” Ini merupakan makna yang bagus. Maksudnya adalah bahwa jika seseorang bersedekah dalam rangka mencari keridhaan Allah Ta’ala, maka pahalanya terserah pada-Nya, dan tidak ada masalah baginya, apakah sedekah itu diterima oleh orang yang baik atau orang yang jahat, orang yang berhak menerima maupun orang yang tidak berhak menerima. Orang yang bersedekah ini tetap mendapatkan pahala atas niatnya.  Firman-Nya
(وما تنفقوا من خير يوف إليكم وأنتم لَ تظلمون)

yang menjadi sandaran dalam kalimat ayat sebelumnya adalah kelanjutan kalimat ayat ini. Juga berdasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan dalam sahihain, melalui jalan Abu Zinad, dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah, ia menceritakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:

  النها َحَبْصَأَ ف ،ٍَُيِ ان َ ز ِدَ ي ي ِ ا ف َهَعَضَوَ ف ِهِتَقَدَصِ ب َجَرَخَ ف ،ٍَُقَدَصِ ب ََُلْ نه اللهي َ دهق َصَتَ َ ُ : لَ ٌلُجَ "قال ر س َ صِ ب ََُلْ نه اللهي َ دهق َصَتَ َ َ لَ ،ٍَُيِ ان َ  ز َلَ ع ُدْمَحْ ال َََ مه ل ُ : اللهه َ ال َقَ ! ف ٍَُيِ ان َ  ز َلَ ع َ دق ُصُ : ت َ ون ُ دهث َحَتَي جَرَخَ ف ،ٍَُقَد َ ال َقَ ني! ف َ  غ َلَ ع ََُلْ دق اللهي ُصُ : ت َ ون ُ دهث َحَتَ وا ي ُحَبْصَأَ ف ،ٍ يِنَ غ ِدَ ي ي ِ ا ف َهَعَضَوَ ف ِهِتَقَدَصِب َلَ ع ُدْمَحْ ال َََ مه ل ُ : اللهه ُ دهث َحَتَ وا ي ُحَبْصَأَ ف ،ٍقِ ار َ س ِدَ ي ي ِ ا ف َهَعَضَوَ ف ِهِتَقَدَصِ ب َجَرَخَ ف ،ٍَُقَدَصِ ب ََُلْ نه اللهي َ دهق َصَتَ َ  لَ ،ٍ يِنَغ صدق ُ : ت َ ون َ لَعَ و ،ٍَُيِ ان َ  ز َلَ ع ُدْمَحْ ال َََ مه ل ُ : اللهه َ ال َقَ ! ف ٍقِ ار َ  س َلَ ع ََُلْ اللهي مها َ : أ ُهَ ل َ يل ِقَ ف َيِتُأَ ف ،ٍقِ ار َ  س َلَعَ و ،ٍ يِنَ  غ ْ ُ عَ يه ي ِنََْ له ال َعَلَ و ،اَ اه َنِ ز ْنَ ا ع َهِ فه ب ِعَتْسَ ت ْنَ ا أ َ لههَعَلَ ف َُُيِ مها الزهان َأَ ؛ و ْتَلِبُ ق ْدَقَ ف ََُتَقَدَص اه ََْعَ مها أ ِ م ُُِفْنُيَ ف ُرِبَت َ "ِ ي ْنَ أ َقِ له السهار َعَلَ و ،ُاللَّه هِتَقِرَ س ْنَ ا ع َهِ فه ب ِعَتْس

Artinya: “Ada seseorang berkata: ‘Aku akan mengeluarkan sedekah pada malam ini.’ Kemudian ia pergi dengan membawa sedekah, lalu sedekah itu jatuh ke tangan seorang pezina, maka pada pagi harinya, orang-orang pun membicarakan: ‘Seorang pezina diberi sedekah.’ Kemudian ia berucap: ‘Ya Allah, segala puji hanya untuk-Mu atas (sedekah) kepada seorang pezina.’

Selanjutnya orang itu berkata: ‘Aku akan mengeluarkan sedekah pada malam ini.’ Kemudian sedekah itu jatuh ke tangan orang kaya. Dan pada pagi harinya, orang-orang membicarakan: ‘Tadi malam ada orang kaya yang diberi sedekah.’ Maka orang itu pun berucap: ‘Ya Allah, segala puji bagi-Mu atas (segala sedekah) kepada orang kaya. Dan pada malam ini aku akan mengeluarkan sedekah.’ Maka ia pun keluar dan sedekah itu jatuh ke tangan seorang pencuri. Dan pada pagi harinya, orang-orang pun membicarakan: ‘Tadi malam seorang pencuri diberi sedekah.’ Maka orang itu pun berucap: ‘Ya Allah, segala puji bagi-Mu atas (sedekah) kepada pezina, orang kaya, dan pencuri.’ 

Kemudian ia didatangi (oleh malaikat) dan dikatakan kepadanya: “Sedekahmu telah diterima. Adapun si pezina itu semoga ia menjaga diri dari zina. Dan semoga orang kaya akan mengambil pelajaran sehingga ia mau menginfakkan apa yang telah diberikan Allah Ta’ala kepadanya. Dan semoga si pencuri itu menjaga diri dari perbuatan mencurinya.” (HR. Al-Bukhari 1421 dan Muslim 1022). Sayyid Quthub dalam tafsirnya fi Zilalil Qur’an menjelaskan bahwa kita memperhatikan juga dalam konteks ayat ini tentang keadaan orang-orang mukmin ketika menafkahkan hartanya, jangan kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah. Inilah keadaan orang-orang mukmin, bukan yang lainnya. 

Dia tidak menginfakkan hartanya melainkan mencari keridhaan Allah, bukan karena mengikuti hawa nafsu dan bukan pula karena tujuan-tujuan lain. Ia menginfakkan hartanya ukan bermaksud untuk mengungguli orang lain dan menyombongi mereka. Ia tidak melakukan infak melainkan semata-mata mencari keridhaan Alah, tulus ikhlas karena Allah. Karena itu hatinya merasa mantap bahwa Allah akan menerima sedekahnya; hatinya percaya bahwa Allah akan memberi berkah pada hartanya; ia percaya kepada kebaikan dan kebajikan dari Allah sebagai balasan kebaikan dan kebajikannya kepada hamba-hambanya Allah. Karena anugerah Allah di bumi, maka ia meningkat kedudukannya, menjadi suci dan bersih. Sedangkan, karunia akhirat sesudah itu semua adalah sangat utama. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar