MODUL
AL-QUR’AN KB 3 PPG PAI
INDIKATOR KOMPETENSI :
1.
Menjelaskan penafsiran konsep Ikhlas,
murah hati dan toleransi,
2.
Menganalisis Penafsiran ayat ayat tentang
Ikhlas, murah hati dan toleransi.
URAIAN MATERI
A.
Ikhlas
Salah satu contoh sifat terpuji yang telah
termaktub dalam al Qur’an ialah sifat ikhlas. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), ikhlas dapat diartikan sebagai hati yang bersih atau hati
yang tulus. Ikhlas merupakan sebuah pangkal dan puncak dari segala tujuan.
Dalam kata ikhlas terdapat sebuah kondisi di mana seseorang dapat mengosongkan
diri dari berbagai kehendak dan keinginan yang dimiliki serta mengabaikan
segala amal yang telah dilakukan. Lebih lanjut dikatakan, bahwa ikhlas menurut
bahasa ialah bersih dari kotoran. Sehingga seorang yang memiliki keikhlasan
ialah orang yang benar-benar menyembah hanya kepada Allah semata dengan tanpa
menyekutukan-Nya.
Dalam hal ini ia tidak menjadikan agama dan amalannya sebagai
bagian dari riya’ maupun sum’ah. Sedangkan menurut istilah, ikhlas dapat
diartikan sebagai kondisi di mana seorang hamba hanya mengharap ridha Allah
semata dalam menjalankan ibadah ataupun dalam beramal dan memurnikan niatnya
dari hal-hal yang dapat merusak niat itu sendiri. Ikhlas dapat dirasakan pada hati nurani
manusia, yang dalam hati nurani itu pulalah tempat niat berada. Adanya niat
ialah sebagai sebuah pengikat amal yang di sana amal seseorang dipertaruhkan.
Bagi mereka yang mengabaikan kemurnian niatnya, maka ia harus bersiap untuk
mendapatkan kesia-siaan dari amalnya. Karena ikhlas ialah melakukan amalan
dengan niat yang murni hanya untuk meraih Ridla Allah semata, sehingga ia tidak
lagi mengharap balasan kecuali ridla Allah SWT. Pada kondisi ini, seseorang
tidak lagi memiliki rasa ingin dihargai, ingin diterima, ingin memperoleh
pujian, merasa istimewa, merasa lebih dan lain sebagainya. Berkenaan dengan
pentingnya pemupukan sifat ikhlas tersebut, Allah telah bersabda dalam beberapa
firman-Nya sebagai berikut: - Surah Ghafir (QS.40: 14)
َ ون ُرِفََٰكْ ٱل َهِرَ ك ْوَلَ و َ ين ِ ٱلد ُهَ ل َ ين ِصِلْخُ م َ ٱللَّه
۟وا ُعْ ٱد َ ف
Artinya:
Maka sembahlah Allah dengan memurnikan (mengikhlaskan) ibadah kepadaNya,
meskipun orang-orang kafir tidak menyukainya.
- Kajian Tafsir
a. Tafsir
Jalalain
Berdasarkan tafsir Jalalain, disebutka bahwa maksud dari memurnikan
(mengikhlaskan) ibadah kepada-Nya ialah memurnikan agama Allah dari segala
macam kemusyrikan, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai keikhlasan ibadah
kalian kepada Allah SWT.
b. Tafsir Ibnu Katsir
Dalam kitab tafsir Ibnu Katsir
dijelaskan bahwasanya Allah telah memerintahkan kepada manusia untuk memurnikan
(mengikhlaskan) penyembahan dan doanya hanya kepada Allah meskipun orang-orang
kafir maupun orang-orang musyrik memiliki pendapat yang berbeda mengenai hal
ini. Penjelasan ini kemudian diperkuat dengan adanya beberapa hadits yang
relevan, diantaranya ialah:
اَنَ
دهث َ : ح ُدَمْحَ أ ُ ام َمِ ْ ٌ الْ َ ال َق ِ - ام َشِ ا ه َنَ دهث َ ح ،ٍرْيَمُ
ن ُنْ ب ِ اللَّه ُدْبَع ْ -رْيَبُّ الز ِنْ ب َةَوْرُ يعني بن ع نَع ِرُبُ ي د ِ ف
ُ ول ُقَ ي ِرْيَبُّ الز ُنْ ب ِ اللَّه ُدْبَ ع َ ان َ : ك َ ال َ قِ يِكَمْ بن مسلم بن مدرس ال ِ مهد َحُ م ِرْيَبُّ
ي الز ِبَأ ه لَِ إ َهَلِ إ َ : لَ ُ مِلَسُ ي َ ين ِ ح ٍة َ لََ ص ِلُك َلَ ع َوُهَ و ،ُدْمَحْ ال ُهَلَ و َُْلُمْ
ال ُهَ ل ،ُهَ ل ََيِرََ َ لَ ُهَدْحَ و ،ُ اللَّه َ ل ،ُ يهاه ِ ه إ لَِ إُدُبْعَ
ن َ لََ و ،ُ ه اللَّه لَِ إ َهَلِ إ َ لَ ،ِ اللَّه ِ ه ب لَِ إَ وهة ُ ق َ لََ و
َلْوَ ح َ ُ لَ ،ٌ ير ِدَ ق ٍءْيََ ِلُك هَلَ
و َُُمْ عِ الن ُه
َ الثهن ُهَلَ و ،ُلْضَفْال :َ الَ " ق
َ ون ُرِ اف َكْ ال َهِرَ ك ْوَلَ و َ ين ِ الد ُهَ ل َ ين ِصِلْخُ م ،ُ ه اللَّه لَِ
إ َهَلِ إ َ لَ ،ُنَسَحْ ال ُ اء ٍ ة َ لََ
ص ِلُ ك َرُبُ نه د ِهِ ل ب ِلَهُ ي َ لهم َسَ و ِهْيَلَ ع ُ له اللَّه َ ص ِ اللَّه ُ ول ُسَ ر َ ان َكَو
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Abdullah ibnu Namir, telah menceritakan kepada kami Hisyam (yakni
Urwah ibnuz Zubair), dari Abuz Zubair alias Muhammad ibnu Muslim seorang guru
di Mekah yang mengatakan bahwa Abdullah ibnuz Zubair selalu mengucapkan doa
berikut seusai dalam salatnya, yaitu: Tidak ada Tuhan selain Allah semata,
tiada sekutu bagi-Nya, bagiNya kerajaan dan bagiNya segala puji, dan Dia
Mahakuasa atas segala sesuatu. Tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dengan
pertolongan Allah. Tidak ada Tuhan selain Allah, dan kami tidak menyembah
selain kepada-Nya, milik-Nyalah semua nikmat, karunia, dan pujian yang baik.
Tidak ada Tuhan selain Allah, (kami nyatakan ini dengan) memurnikan penyembahan
hanya kepada-Nya, sekalipun orang-orang kafir tidak menyukai (nya). Lalu Ibnuz
Zubair mengatakan bahwa Rasulullah Saw selalu mengucapkan doa tersebut setiap
usai salatnya. Di dalam kitab sahih
disebutkan dari Ibnu Zubair r.a., bahwa Rasulullah Saw. setiap usai mengerjakan
salat fardunya mengucapkan doa berikut:
َ
. لَ ٌ ير ِدَ ق ٍءْيََ ِلُ ك َلَ ع َوُهَ و ،ُدْمَحْ ال ُهَلَ و َُْلُمْ ال
ُهَ ل ،ُهَ ل ََيِرََ َ لَ ُهَدْحَ و ،ُ ه اللَّه لَِ إ َهَلِ إ َ "لَ ِ الن ُهَ
ل ،ُ يهاه ِ ه إ لَِ إ ُدُبْعَ ن َ لََ و ُ ه اللَّه لَِ إ َهَلِ إ َ لَ ،ِ اللَّه
ِ ه ب لَِ إ َ وهة ُ ق َ ُ لََ و َلْوَح اءَ الثهن ُهَلَ و ،ُلْضَفْ ال ُهَلَ و َُُمْع
"َ ون ُرِ اف َكْ ال َهِرَ ك ْوَلَ و َ ين ِ الد ُهَ ل َ ين ِصِلْخُ م ُ ه اللَّه
لَِ إ َهَلِ إ َ لَ ،ُنَسَحْال
Tidak ada Tuhan selain Allah semata, tiada sekutu
bagi-Nya, bagi-Nya kerajaan dan bagi-Nya segala puji, dan adalah Dia Mahakuasa
atas segala sesuatu. Tidak ada daya dan tidak ada kekuatan kecuali dengan
pertolongan Allah. Tidak ada Tuhan selain Allah, dan kami tidak menyembah
selain hanya kepada-Nya. Bagi-Nya semua nikmat, karunia, dan pujian yang baik.
Tidak ada Tuhan selain Allah (dengan) memurnikan ketaatan kepada-Nya, meskipun
orang-orang kafir tidak menyukai (nya).
يِ - ٌحِال َ ا ص َنَ دهث َ ح ،ٍح ِ اص َ ن ُنْ
يب ب ِصَ ا الخ َنَ دهث َ ح ُ يع ِ ا الرهب َنَ دهث َ : ح ٍمِ ات َ ي ح ِبَ أ ُنْ اب
َ ال َق ِ - رِ ي الم ِنْعَي نْ ب ِام َشِ ه ْنَع
ِنَ ع ،َ سهان َح :َ ال َ ق َ لهم َسَ و ِهْيَلَ ع ُ له اللَّه َ ص ِ يِ النهب ِنَ ع ،ُهْنَ ع ُ اللَّه
َي ِضَ ر ،َةَرْيَرُ ي ه ِبَ أ ْنَ ع َ ين ِ ير ِ س ِنْاب "ٍ "ادعوا الله
ه َ لَ ٍلِ اف َ غ ٍبْلَ ق ْنِ م ً اء َعُ د ُ يب ِجَتْسَ ي َ لَ َ نه اللَّه َ وا
أ ُمَلْ اع َ و ،َُِ اب َجِْ الْ ِ ب َ ون ُنِ وق ُ م ْمُتْنَأَو
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Ar-Rabi', telah menceritakan kepada kami Al-Khasib
ibnu Nasih, telah menceritakan kepada kami Saleh (yakni Al-Murri), dari Hisyam
ibnu Hassan, dari Ibnu Sirin, dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Saw. yang telah
bersabda: Berdoalah kepada Allah Swt., sedangkan kalian merasa yakin akan
diperkenankan. Dan ketahuilah bahwa Allah Swt. tidak memperkenankan doa dari
orang yang hatinya lalai lagi tidak khusyuk.
Berdasarkan beberapa penafsiran di
atas, dapat difahami bahwa islam telah mengajarkan konsep keikhlasan melalui
firman Allah yang menjelaskan tentang pentingnya kemurnian hati, niat dan
amalan hanya mengharap ridla Allah SWT. Dengan hadirnya keikhlasan dalam
menjalankan setiap amalan, maka seorang tidak akan lagi menghiraukan apapun
yang mungkin akan mempengaruhi keikhlasannya tersebut, seperti tanggapan,
komentar mapun tindakan orang lain yang mungkin tidak menyukainya. - Surat
Gahfir SQ 40: 65 Ayat yang menjelaskan tentang pentingnya sifat ikhlas yang kedua
ialah ayat ke 65 pada Surah Ghafir yang berbunyi:
َ ين ِمَلََٰعْ ٱل ِ بَ ر ِ ه ِ للَُّدْمَحْ ٱل
َ ين ِ ٱلد ُهَ ل َ ين ِصِلْخُ م ُ وه ُعْ ٱد َ ف َوُ ه ه لَِ إ َهََٰ لِ إ ٓ َ لَ
ُّ َحْ ٱل َوُ ه
Artinya: Dialah Yang hidup kekal, tiada
Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia; maka sembahlah Dia dengan
memurnikan ibadat kepada-Nya. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. -
Kajian Tafsir a. Tafsir Jalalain Dalam kitab Tafsir Jalalain, ayat ini
ditafsirkan dengan makna: (Dialah Yang hidup kekal tiada Tuhan melainkan Dia,
maka serulah Dia) sembahlah Dia (dengan memurnikan ibadah kepada-Nya) dari
kemusyrikan. (Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam.)
Berdasarkan teks di atas, dapat
ditafsirkan bahwa Allah merupakan satu-satunya Dzat yang Abadi, sehingga sudah
menjadi sebuah keharusan bagi seluruh makhluk untuk menyembah dan berdoa hanya
kepada-Nya dengan segala ketulusan. b. Tafsir Ibnu Katsir Selanjutnya, ayat ini
juga dibahas dalam tafsir ibnu katsir dengan menafsirkan beberapa penggal ayat
terlebih dahulu, barulah kemudian penafsiran ayat secara keseluruhan. Adapun
penafsiran berdasarkan penggalan ayat 65 Surah Ghafir yang tercantum dalam
kitab Tafsir Ibnu Katsir ialah sebagai berikut:
َ وُ لَ ه ِ إ َهَلِ إ َ لَ ُّيَحْ
ال َوُه
Dialah Yang hidup kekal, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan
Dia. (Ghafir: 65)
Yakni Dialah Yang Hidup sejak zaman azali dan
selama-lamanya, Dia tetap dan tetap Hidup, Dialah Yang Pertama dan Yang
Terakhir, dan Yang Maha lahir lagi Maha batin.
َ وُ لَ ه ِ إ َهَلِ إ َ لَ Tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan
Dia. (Ghafir: 65) Yaitu tiada tandingan dan tiada saingan bagi-Nya.
َ ين ِ
الد ُهَ ل َ ين ِصِلْخُ م ُ وه ُعْ اد َف
maka sembahlah Dia dengan memurnikan ibadah
kepada-Nya. (Ghafir: 65) dengan mengesakan-Nya dan mengakui bahwa tiada Tuhan
yang wajib disembah selain Dia, segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.
Berdasarkan penafsiran ini, beberapa ulama’ menyebutkan bahwa dalam mengucapkan
kalimat “Tiada Tuhan (yang waib disembah) selain Allah” hendaklah seseorang
tersebut mengikutinya dengan kalimat “Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta
alam”.
Beberapa ulama’ tersebut diantaranya ialah Ibnu Jarir dan Abu Usamah.
Hal ini sejalan dengan Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Imam Abu
Daud, dan Imam Nasai melalui Hisyam Ibnu Urwah, Hajjaj ibnu Abu Usman dan Musa
ibnu Uqbah; ketiga-tiganya dari Abuz Zubair, dari Abdullah ibnuz Zubair yang
telah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. selalu mengucapkan doa berikut seusai
tiap salatnya, yaitu:
ه « ل ََيِرََ َ لَ ُهَدْحَ و ُ ه اللَّه لَِ إ َهَلِ
إ َ » لَ
“Tidak ada Tuhan yang wajib disembah kecuali Allah,
tidak ada sekutu bagi-Nya” Berdasarkan penafsiran dari ayat di atas, dapat
difahami bahwa keikhlasan dalam beribadah dan beramal berarti memurnikan ibadah
dan amalan kita hanya untuk Allah semata, dengan meng-Esakan-Nya dan tanpa
menyekutukannya. - Surat Al A’raf ayat
29 Ayat ketiga yang menjelaskan tentang keikhlasan ialah ayat ke 29 surah Al
A’raf yang berbunyi:
َ ُ ا ب َمَ ك ۚ َ ين ِ الد ُهَ ل َ ين ِصِلْخُ م
ُ وه ُعْ اد َ و ٍدِجْسَ م ِلُ ك َدْنِ ع ْمُكَ
وه ُجُ وا و ُ يم ِقَأَ و ۖ ِطْسِقْال ِ ي ب ِ بَ ر َرَمَ أ ْلُق َ ود ُعَ ت ْمُكَأَد
ون
Katakanlah: "Tuhanku menyuruh menjalankan
keadilan". Dan (katakanlah): "Luruskanlah muka (diri)mu di setiap
sembahyang dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya.
Sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah kamu
akan kembali kepada-Nya)". - Kajian
Tafsir
1. Tafsir
Jalalain
Dalam
tafsir Jalalain, ayat di atas ditafsirkan sebagai berikut: (Katakanlah,
"Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan") yaitu perbuatan yang adil.
(Dan luruskanlah) diathafkan secara makna kepada lafal bil qisthi, yang
artinya, Ia berkata, "Berlaku adillah kamu dan luruskanlah dirimu."
Atau diathafkan kepada lafal sebelumnya dengan menyimpan taqdir yakni:
Hadapkanlah dirimu (mukamu) kepada Allah (di setiap salatmu) ikhlaslah kamu
kepada-Nya di dalam sujudmu (dan sembahlah Allah) beribadahlah kepada-Nya
(dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya) bersih dari kemusyrikan.
(Sebagaimana Dia menciptakanmu pada permulaan) yang sebelumnya kamu bukanlah
merupakan sesuatu (demikian pulalah akan kembali kepada-Nya) artinya Dia akan
mengembalikan kamu pada hari kiamat dalam keadaan hidup kembali.
Berdasarkan
penafsiran di atas, kata “mengikhlaskan ketaan kepada-Nya” diartikan sebagai
kondisi di mana seorang hamba hendaknya hanya menujukan ibadahnya untuk Allah
semata dan bukan untuk yang lainnya. Memurnikan ibadah hanya kepada Allah bukan
kepada yang lainnya.
2. Tafsir Al Mishbah
Dalam
kitab tafsir yang ditulis oleh Quraish Shihab, ayat di atas memiliki penafsiran
sebagai berikut: Terangkan kepada mereka apa yang diperintahkan Allah.
Katakanlah, "Tuhanku menyuruh berlaku adil dan tidak berlaku keji. Dia
menyuruh kalian beribadah hanya kepada-Nya di setiap waktu dan tempat. Dan Dia
juga menyuruh kalian ikhlas dalam beribadah kepada-Nya. Masingmasing kalian
akan kembali kepada- Nya setelah mati. Seperti halnya Dia menciptakan kalian
dengan mudah di saat kalian tidak memiliki apa- apa, kalian akan dikembalikan
kepada-Nya dengan mudah pula, meninggalkan semua nikmat yang ada di sekeliling
kalian."
3. Tafsir Ibnu Katsir
Dalam
tafsir ibnu katsir, pada penggalan ayat 29 surat Al A’raf yang berbunyi:
ِ طْسِقْال ِ ي ب ِ بَ ر َرَمَ أ ْلُ ق
Yang
berarti: Katakanlah “Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan” ini ditafsirkan
bahwa Allah memerintahkan manusia untuk berlaku adil dan berada pada jalan yang
lurus dalam segala perkara.
Selanjutnya,
pada potongan ayat 29 yang kedua, yang berbunyi:
َ َ و ٍدِجْسَ
م ِ لُ ك َدْنِ ع ْمُكَ وه ُجُ وا و ُ يم ِقَأَو ين ِ الد ُهَ ل َ ين ِصِلْخُ م ُ وه
ُعْ اد
Yang
berarti: “Dan (katakanlah), "Luruskanlah muka (diri) kalian di setiap
salat dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kalian
kepada-Nya”, Dalam kitab tafsir Ibnu
Katsir potongan ayat ini ditafsirkan dengan penjelasan sebagai berikut: “Allah
memerintahkan kalian agar beristiqamah dalam menyembah-Nya, yaitu dengan
mengikuti para rasul yang diperkuat dengan mukjizatmukjizat dalam menyampaikan
apa yang mereka terima dari Allah dan syariat-syariat yang mereka datangkan.
Allah memerintahkan kepada kalian untuk ikhlas dalam beribadah hanya untuk-Nya.
Karena sesungguhnya Allah tidak akan menerima amal, melainkan bila di dalam
amal itu terhimpun dua rukun berikut, yaitu hendaknya amal dikerjakan secara
benar lagi sesuai dengan tuntutan syariat, dan hendaknya amal dikerjakan dengan
ikhlas karena Allah bersih dari syirik.”
Selanjutnya,
potongan ayat 29 yang terakhir yang berbunyi:
َ ون ُ ود ُعَ ت ْمُكَأَدَ ا ب َمَ ك
Yang
berarti: Sebagaimana Dia telah menciptakan kalian pada permulaan (demikian
pula) kalian akan kembali (kepada-Nya)
Makna
penggalan ayat ini masih diperselisihkan. Menurut Ibnu Abu Nujaih melalui
riwayatnya dari Mujahid menyebutkan bahwa makna firman-Nya: Sebagaimana Dia
telah menciptakan kalian pada permulaan (demikian pulalah) kalian akan kembali
(kepada-Nya). (Al-A'raf: 29) ialah, kelak Allah akan menghidupkan kalian
sesudah kalian mati. Adapun menurut Al-Hasan Al-Basri, penggalan ayat di atas
memiliki makna “sebagaimana Dia menciptakan kalian pada permulaan di dunia ini,
demikian pula kalian akan kembali kepada-Nya kelak di hari kiamat dalam keadaan
hidup”.
Selanjutnya Qatadah mengatakan bahwa Firman Allah tersebut dimaknai
dengan penjelasan bahwa “Allah memulai penciptaan-Nya, maka Dia menciptakan
mereka. Sebelum itu mereka tidak ada, kemudian mereka mati, lalu Allah
mengembalikan mereka dalam keadaan hidup”. Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi
mengatakan bahwa penggalan ayat tersebut memiliki makna bahwa “barang siapa
yang sejak semula diciptakan oleh Allah dalam keadaan celaka, maka ia akan
menjadi orang seperti yang ditakdirkan-Nya semula sejak permulaan kejadiannya, sekalipun
ia mengamalkan amalan ahli kebahagiaan (ahli surga). Barang siapa yang sejak
semula ditakdirkan bahagia oleh Allah, maka ia akan dikembalikan kepada apa
yang telah ditakdirkan untuknya sejak semula, sekalipun ia mengamalkan amalan
orang-orang yang celaka (penghuni neraka).
Sebagaimana para ahli sihir
mengamalkan amalan orang-orang yang celaka, maka pada akhirnya ia pasti akan
menjadi orang seperti yang ditakdirkan untuknya sejak semula.” As Saddi mengatakan, bahwa makna dari
penggalan ayat tersebut ialah “sebagaimana Kami menciptakan kalian; sebagian
dari kalian ada yang mendapat petunjuk, dan sebagian yang lain ada yang
disesatkan. Maka demikian pulalah kelak kalian dikembalikan, dan demikian
pulalah keadaannya sewaktu kalian dilahirkan dari perut ibu-ibu kalian.”
Secara umum, kata ikhlas dalam ayat ini dikaitkan
secara erat dengan syarat diterimanya sebuah amalan oleh Allah SWT. Syarat dari
diterimanya sebuah amal ibadah ialah ibadah tersebut telah memenuhi
rukun-rukunnya serta dilaksanakan dengan penuh keikhlasan hanya mengharap ridla
Allah semata, tanpa penyekutuan sedikitpun.
- Surat Az Zumar Ayat 11 Ayat keempat ialah ayat ke 11 pada surat Az
Zumar yang berbunyi:
َ ين ِ الد ُهَ ا ل ًصِلْخُ م َ اللَّه َدُبْعَ
أ ْنَ أ ُتْرِمُ ي أ ِ نِ إ ْلُ ق
Katakanlah: "Sesungguhnya aku
diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya
dalam (menjalankan) agama.
a. Tafsir
Jalalain
Dalam tafsir Jalalain, dijelaskan bahwa
penafsiran dari memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama ialah
murni dari perbuatan syirik.
b.
Tafsir Al Mishbah
Dalam tafsir yang ditulis oleh Quraish
Shihab tersebut dijelaskan bahwa penafsiran ayat di atas ialah sebuah perintah
untuk mengatakan “aku diperintahkan untuk meyembah Allah dengan penuh ikhlas
dan tulus murni, tanpa ada kesyirikan dan riya’ atau pamrih”
c. Tafsir Ibnu Katsir
Dalam tafsir ibnu katsir, dijelaskan bahwa
pemaknaan atau penafsiran atas ayat di atas ialah sebuah perintah untuk
mengatakan bahwa “sesungguhnya aku hanya diperintahkan untuk memurnikan ibadah
hanya kepada Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya” Berdasarkan penjelasan
beberapa tafsir di atas, dapat difahami betapa pentingnya esensi keikhlasan
dalam beribadah. Manusia sebagai hamba yang berkewajiban untuk mengabdi dan beribadah
hanya kepada Allah, hendaknya dapat melaksanakan kewajiban tersebut dengan
penuh kesadaran dan kemurnian hati. Sehingga ibadah dan amalan dapat diterima
oleh Allah SWT. Sebagaimana Allah telah berfirman: ِ
ون ُدُبْعَيِ ه ل لَِ إ َسْنِْ الْ َ نه و ِجْ ال
ُتْقَلَ ا خ َمَ و
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56)
B.
Toleransi
Toleransi secara bahasa berasal dari
Bahasa Inggris “Tolerance” yang berarti membiarkan. Dalam Bahasa Indonesia
diartikan sebagai sifat atau sikap toleran, mendiamkan membiarkan. Dalam bahasa
Arab kata toleransi (mengutip kamus Al-Munawir disebut dengan istilah tasamuh
yang berarti sikap membiarkan atau lapang dada). Badawi mengatakan, tasamuh
(toleransi) adalah pendirian atau sikap yang termanifestasikan pada kesediaan
untuk menerima berbagai pandangan dan pendirian yang beraneka ragam meskipun
tidak sependapat.
Toleransi menurut istilah berarti menghargai,
membolehkan membiarkan pendirian, pendapat, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan
dan sebagainya yang lain atau yang bertentangan dengan pendiriannya sendiri.
Misalnya agama, ideologi dan ras. Firman-Nya,
َ هِ و ب
ُنِم ۡ ؤُّ ي ۡ مهن ۡمُهۡ نِ م
Di antara mereka ada orang-orang yang beriman kepada
Al-Qur’an, dan seterusnya. Maksudnya, di antara mereka yang kamu diutus kepada
mereka, hai Muhammad, ada yang beriman dengan AlQur’an ini, dia mengikutimu dan
mengambil manfaat dengan apa yang kamu diutus dengannnya.
هِ ب ُنِم ۡ ؤُ ه ي لَ ۡ مهن ۡمُهۡ نِمَ و
“Dan di antaranya ada (pula) orangorang yang tidak
beriman kepadannya.” Bahkan dia mati dalam keadaan seperti itu dan dibangkitkan
dalam keadaan seperti itu pula.
َ َ َُّبَرَو ين ِدِ فس ُ الم ِ ب ُمَعل َ ا
“Dan Rabbmu lebih mengetahui tentang orang-orang yang
berbuat kerusakan.” Maksudnya, Allah lebih mengetahui siapa yang berhak
mendapat petunjuk, maka Allah memberinya petunjuk. Dan siapa yang berhak mendapatkan
kesesatan, maka Allah menyesatkannya. Allahlah
yang Maha Adil yang tidak berbuat zalim, akan tetapi Allah Memberi
masingmasing sesuai haknya, Maha Suci Allah Ta’ala Yang Maha Tinggi dan Maha
Bersih, tiada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Allah berfirman kepada
Nabi-Nya Muhammad SAW: “Jika orang-orang musyrik mendustakanmu, maka berlepas
dirilah dari mereka dan amal mereka.
مُكُلَمَ م ع ُ ـكَلَ و ِلَمَ
ع ِ ل ْلُقَ ف
“Maka katakanlah: “Bagiku pekerjaanku dan bagimu
pekerjaanmu.“ sebagaimana firman-Nya:
َ َ هُّيَ اأ َ ي ْلُق نْوُدُبْعَ ا ت َ م ُدُبْعَ
ا َ ن # لَ ْوُرِ اف َكْ ا ال
“Katakanlah: ‘Hai orang-orang kafir, aku tidak akan
beribadah kepada apa yang kamu ibadahi,” (hingga akhir). (QS. Al-Kafiruun:
1-2). Lebih lanjut Allah mengajarkan manusia tentang pentingnya toleransi
melalui firman-Nya dalam surat Al Kafirun ayat 6 yang berbunyi:
َيِلَ و ْمُكُنْيِ د ْمُكَل ِ نْيِ د
“Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.”
Dalam kitab tafsir Jalalain dijelaskan sebagai berikut: “(Untuk kalianlah agama
kalian) yaitu agama kemusyrikan (dan untukkulah agamaku") yakni agama
Islam. Ayat ini diturunkan sebelum Nabi saw. diperintahkan untuk memerangi
mereka. Ya’ Idhafah yang terdapat pada lafal ini tidak disebutkan oleh ahli
qiraat sab'ah, baik dalam keadaan Waqaf atau pun Washal. Akan tetapi Imam
Ya'qub menyebutkannya dalam kedua kondisi tersebut.” Adapun menurut Quraish
Shihab dalam Tafsirnya, ia menjelaskan makna dari ayat tersebut ialah ” Bagi
kalian agama kalian yang kalian yakini, dan bagiku agamaku yang Allah
perkenankan untukku.”
Adapun asbabun nuzul surat Al kafirun ialah adanya kaum
kafir Quraisy berusaha keras membujuk dan mempengaruhi Rasulullah saw. untuk
mengikuti ajaran mereka. Kaum kafir Quraish menawarkan harta yang melimpah
sehingga Rasulullah dapat menjadi orang terkaya di Makkah. Selain itu,
Rasulullah juga dijanjikan hendak dikawinkan dengan wanita paling cantik, baik
yang gadis maupun yang sudah janda, sesuai kehendak beliau. Dalam upaya ini,
kaum kafir Quraish mengatakan, “Inilah wahai Muhammad yang kami sediakan
untukmu, agar kamu tidak memaki dan menghina tuhan kami dalam satu tahun!”
Rasulullahpun menjawab, “Saat ini, aku belum bisa menjawab. Aku akan menunggu
wahyu dari Allah Tuhanku lebih dahulu.”. karena terjadinya peristiwa ini, maka
Allah Subhanahu wata’ala menurunkan wahyu kepada Rasulullah SAW berupa surah Al-Kafirun. Melalui wahyu ini,
Allah menunjukkan Rasulullah untuk menolak tawaran mereka. (HR. Thabrani dan
Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abbas)
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa orang-orang
kafir Quraisy mengajukan tawaran kepada Rasulullah SAW, “Wahai Muhammad,
sekiranya kamu tidak keberatan mengikuti agama kami selama satu tahun, maka
kami akan berbalik mengikuti agamamu selama satu tahun pula.” Beradasarkan
peristiwa inipun kemudian Allah SWT memerintahkan malaikat Jibril untuk
menurunkan wahyu kepada Rasulullah SAW, yaitu surah Al-Kafirun sebagai petunjuk
jawaban yang harus diberikan Rasulullah.
Selanjutnya Rasulullah Saw
menyampaikan jawaban berdasarkan wahyu Allah tersebut secara
terangterangan dengan kalimat: “selamanya tidak akan bertemu dalam satu titik
agama kufur dengan agama Islam yang hak”. (HR. Abdurrazak dari Wahbin. Dan Ibnu
Mundzir meriwayatkan bersumber dari Juraij).
C. Murah
Hati
Dalam kamus besar bahasa Indonesia murah hati adalah
suka (mudah) memberi; tidak pelit; penyayang dan pengasih; suka menolong; baik
hatikebaikan hati; sifat kasih dan sayang; kedermawanan. Sifat hati yang mulia
dan hangat berupa kesdiaan untuk mendatangkan kebaikan bagi orang lain dengan
memberi secara limpah, dengan tangan terbuka, tanpa ditahan-tahan.
ِ إ َ ون ُقِ نفُ ا ت َمَ و ۚمُكِسُ نفَ ِ لَِ ف ير َ ن خ ِ م ْوا ُقِ نفُ ا ت َمَ و ُُۗ اء َشَ
ن ي َ ي م ِ هد َ ي َ نه ٱللَّه ِكََٰ لَ م و ُهَٰىَدُ ه ََيَلَ ع َ لهيس اَمَ و ِۚ
ٱللَّه ِ جه َ و َ اء ََِ ه ٱبت لَ َ ون ُمَظل ُ ت َ )272 م لَ)البقرة: ُ نتَأَ م و
ُ يك َلِ فه إ َوُ ير ي َ ن خ ِ م ْوا ُقِ نفُت
Artinya:
“Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi
Allah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya. Dan
apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka pahalanya
itu untuk kamu sendiri. Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan
karena mencari keridhaan Allah. Dan apa saja harta yang baik yang kamu
nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu
sedikitpun tidak akan dianiaya.”
Asbabun Nuzul ayat ini adalah: “Bahwa ada orang-orang yang tidak suka
memberikan sedekah kepada keturunan mereka dari kalangan musyrik, lalu mereka menanyakan
hal itu, hingga diberikan rukhshah (keringanan) bagi mereka. Maka turunlah ayat
ini yang membolehkan memberi sedekah kepada kaum Musyrikin.” (Diriwayatkan oleh
An-Nasai, Al-Hakim, Al-Bazzar, Ath-Thabrani dan lain-lain, yang bersumber dari
Ibnu Abbas. Asbabun Nuzul riwayat lainnya adalah: “Bahwa Nabi Saw melarang
umatnya bersedekah kecuali untuk kaum Muslimin. Setelah itu turunlah ayat ini
yang beliau diperintahkan Allah Swt untuk memberi sedekah kepada orang yang
beragama apapun, yang datang meminta kepadanya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Hatim yang bersumber dari Ibnu Abbas), Firman-Nya
(وما تنفقوا من خير
فلِنفسكم)
sebgaimana dalam Surah Fushishilat ayat 46 yang
artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal yang shalih, maka [pahalanya] untuk
dirinya sendiri.” Dan yang semisal dengan hal tersebut cukup banyak di dalam
Al-Quran. Firman-Nya
(وما تنفقون إلَ ابتَاء وجه الله)
Al-Hasari AlBashri mengatakan, “Yaitu nafkah yang
diberikan orang mukmin untuk dirinya sendiri. Dan seorang mukmin tidak menafkahkan
hartanya melainkan dalam rangka mencari keridhaan Allah Ta’ala. Atha’
Al-Khurasani mengatakan: “Yakni, jika engkau memberikan sesuatu karena mencari
keridhaan Allah Swt, maka pahala amal itu bukanlah urusanmu.” Ini merupakan
makna yang bagus. Maksudnya adalah bahwa jika seseorang bersedekah dalam rangka
mencari keridhaan Allah Ta’ala, maka pahalanya terserah pada-Nya, dan tidak ada
masalah baginya, apakah sedekah itu diterima oleh orang yang baik atau orang
yang jahat, orang yang berhak menerima maupun orang yang tidak berhak menerima.
Orang yang bersedekah ini tetap mendapatkan pahala atas niatnya. Firman-Nya
(وما تنفقوا من خير
يوف إليكم وأنتم لَ تظلمون)
yang menjadi sandaran dalam kalimat ayat sebelumnya
adalah kelanjutan kalimat ayat ini. Juga berdasarkan sebuah hadis yang
diriwayatkan dalam sahihain, melalui jalan Abu Zinad, dari Al-A’raj, dari Abu
Hurairah, ia menceritakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah
bersabda:
النها َحَبْصَأَ ف ،ٍَُيِ ان َ ز ِدَ ي ي ِ ا ف
َهَعَضَوَ ف ِهِتَقَدَصِ ب َجَرَخَ ف ،ٍَُقَدَصِ ب ََُلْ نه اللهي َ دهق َصَتَ َ ُ
: لَ ٌلُجَ "قال ر س َ صِ ب ََُلْ نه اللهي َ دهق َصَتَ َ َ لَ ،ٍَُيِ ان َ ز َلَ ع ُدْمَحْ ال َََ مه ل ُ : اللهه َ ال َقَ
! ف ٍَُيِ ان َ ز َلَ ع َ دق ُصُ : ت َ ون
ُ دهث َحَتَي جَرَخَ ف ،ٍَُقَد َ ال َقَ ني! ف َ
غ َلَ ع ََُلْ دق اللهي ُصُ : ت َ ون ُ دهث َحَتَ وا ي ُحَبْصَأَ ف ،ٍ يِنَ
غ ِدَ ي ي ِ ا ف َهَعَضَوَ ف ِهِتَقَدَصِب َلَ ع ُدْمَحْ ال َََ مه ل ُ : اللهه ُ دهث
َحَتَ وا ي ُحَبْصَأَ ف ،ٍقِ ار َ س ِدَ ي ي ِ ا ف َهَعَضَوَ ف ِهِتَقَدَصِ ب َجَرَخَ
ف ،ٍَُقَدَصِ ب ََُلْ نه اللهي َ دهق َصَتَ َ
لَ ،ٍ يِنَغ صدق ُ : ت َ ون َ لَعَ و ،ٍَُيِ ان َ ز َلَ ع ُدْمَحْ ال َََ مه ل ُ : اللهه َ ال َقَ
! ف ٍقِ ار َ س َلَ ع ََُلْ اللهي مها َ :
أ ُهَ ل َ يل ِقَ ف َيِتُأَ ف ،ٍقِ ار َ س
َلَعَ و ،ٍ يِنَ غ ْ ُ عَ يه ي ِنََْ له ال
َعَلَ و ،اَ اه َنِ ز ْنَ ا ع َهِ فه ب ِعَتْسَ ت ْنَ ا أ َ لههَعَلَ ف َُُيِ مها الزهان
َأَ ؛ و ْتَلِبُ ق ْدَقَ ف ََُتَقَدَص اه ََْعَ مها أ ِ م ُُِفْنُيَ ف ُرِبَت َ
"ِ ي ْنَ أ َقِ له السهار َعَلَ و ،ُاللَّه هِتَقِرَ س ْنَ ا ع َهِ فه ب ِعَتْس
Artinya: “Ada seseorang berkata: ‘Aku akan
mengeluarkan sedekah pada malam ini.’ Kemudian ia pergi dengan membawa sedekah,
lalu sedekah itu jatuh ke tangan seorang pezina, maka pada pagi harinya,
orang-orang pun membicarakan: ‘Seorang pezina diberi sedekah.’ Kemudian ia
berucap: ‘Ya Allah, segala puji hanya untuk-Mu atas (sedekah) kepada seorang
pezina.’
Selanjutnya orang itu berkata: ‘Aku akan mengeluarkan
sedekah pada malam ini.’ Kemudian sedekah itu jatuh ke tangan orang kaya. Dan
pada pagi harinya, orang-orang membicarakan: ‘Tadi malam ada orang kaya yang
diberi sedekah.’ Maka orang itu pun berucap: ‘Ya Allah, segala puji bagi-Mu
atas (segala sedekah) kepada orang kaya. Dan pada malam ini aku akan
mengeluarkan sedekah.’ Maka ia pun keluar dan sedekah itu jatuh ke tangan
seorang pencuri. Dan pada pagi harinya, orang-orang pun membicarakan: ‘Tadi
malam seorang pencuri diberi sedekah.’ Maka orang itu pun berucap: ‘Ya Allah,
segala puji bagi-Mu atas (sedekah) kepada pezina, orang kaya, dan pencuri.’
Kemudian ia didatangi (oleh malaikat) dan dikatakan kepadanya: “Sedekahmu telah
diterima. Adapun si pezina itu semoga ia menjaga diri dari zina. Dan semoga
orang kaya akan mengambil pelajaran sehingga ia mau menginfakkan apa yang telah
diberikan Allah Ta’ala kepadanya. Dan semoga si pencuri itu menjaga diri dari
perbuatan mencurinya.” (HR. Al-Bukhari 1421 dan Muslim 1022). Sayyid Quthub
dalam tafsirnya fi Zilalil Qur’an menjelaskan bahwa kita memperhatikan juga
dalam konteks ayat ini tentang keadaan orang-orang mukmin ketika menafkahkan
hartanya, jangan kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan
Allah. Inilah keadaan orang-orang mukmin, bukan yang lainnya.
Dia tidak
menginfakkan hartanya melainkan mencari keridhaan Allah, bukan karena mengikuti
hawa nafsu dan bukan pula karena tujuan-tujuan lain. Ia menginfakkan hartanya
ukan bermaksud untuk mengungguli orang lain dan menyombongi mereka. Ia tidak
melakukan infak melainkan semata-mata mencari keridhaan Alah, tulus ikhlas
karena Allah. Karena itu hatinya merasa mantap bahwa Allah akan menerima
sedekahnya; hatinya percaya bahwa Allah akan memberi berkah pada hartanya; ia
percaya kepada kebaikan dan kebajikan dari Allah sebagai balasan kebaikan dan
kebajikannya kepada hamba-hambanya Allah. Karena anugerah Allah di bumi, maka
ia meningkat kedudukannya, menjadi suci dan bersih. Sedangkan, karunia akhirat
sesudah itu semua adalah sangat utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar