DISKUDI
/ REFLEKSI VIDEO MODUL AL-QUR’AN KB 2
Dalam
video youtube yang membahas tentang Tafsir Nusantara, berbicara tentang Tafsir
Nusantara tentu kita akan merujuk ke induknya yakni Islam Nusantara. Menurut
saya Islam Nusantara hanyalah lebel bagi umat Islam yang ada di Indonesia.
Karena Islam tetaplah Islam, namu ajaran Islam akan disesuaikan sesuai adat
istiadat setempat dan menjadikannya sumber hukum dengan syarat tidak
bertentangan dengan ajaran inti Islam (syar’i), salah satu bentuknya ialah
penafsiran Al-Qur’an dan di Negara kita ada istilah Tafsir Nusantara.
Tafsir Nusantara :
Ketika kita akan melacak jaringan ulama tafsir Nusantara, tidak bisa dilepaskan
dari sosok ‘Abd al-Rauf al-Fansûri dengan karyanya Tarjuman al-Mustafid,
melalui karya ini terus mengalami perkembangan melalui banyak media pengajaran
hingga hari ini. Karya ini pula diduga kuat melahirkan aneka ragam corak dan
manhaj tafsir di Nusantara. Paling tidak ada dua aspek transmisi ulama tafsir
melahirkan dan mengembangkan ilmu tafsir. Pertama, melalui aktifitas pengajian,
dan yang kedua melalui jalur penulisan.
Melalui
kedua jalur ini transmisi ulama tafsir hingga saat ini terus mengalami
perkembangannya baik. Kajian Al-Qur’an di Nusantara terus mengalami geliat
perkembangan yang membanggakan. Munculnya karya-karya tafsir di belahan bumi
nusantara menegasikan bahwa kajian Al-Qur’an di bumi nusantara terus mengalami
perkembangan. Bukan hanya itu, tafsir Al-Qur’an yang sering disajikan dengan
budaya aslinya yaitu kultur Arab, disajikan dengan budaya para pembacanya,
dalam hal ini bumi Nusantara.
Konsep Tafsir di Nusantara : Izza
Rahman Nahrawi. “Profil Kajian Al-Qur’an di Nusantara Sebelum Abad ke 20.”
Jurnal al-Huda, II, no.6, (2000). Islam Nusantara menurut Azyumardi Azra adalah
Nusantara: Islam is a distinctive Islam
resulting from vivid, intense and vibrant interaction, contextualization,
indigenization and vernacularization of universal Islam with Indonesian social,
cultural and religious realities this is Islam embedded. Nusantara Islamic
orthodoxy (Ash’arite theology, Shafi’i school of law, and Ghazalian Sufism) nurtures
the Wasatiyyah character a justly balanced and tolerant Islam. Nusantara Islam,
no doubt, is very rich with Islamic legacy a shining hope for a renaissance of
global Islamic civilization”. “Islam Nusantara adalah Islam distingtif
sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi dan vernakularisasi
Islam universal dengan realitas sosial, budaya dan agama di Indonesia.
Ortodoksi Islam Nusantara (kalam Asy’ari, fikih mazhab Syafi’i, dan tasawuf
Ghazali) menumbuhkan karakter wasathiyah yang moderat dan toleran. Islam
Nusantara yang kaya dengan warisan Islam (Islamic legacy) menjadi harapan renaisans
peradaban Islam global”.
Disisi
lain menggambarkan Nusantara sarat dengan tradisi yang lebih toleran, moderat
dan tidak radikal. Seorang peneliti Ervan Nurtawab dan lain-lain
menginformasikan bahwa sekitar abad ke-XVII M. telah ditemukan bukti paling
awal di Nusantara setelah lebih dari 300 tahun sejak komunitas Muslim Nusantara
itu mulai mewujudkan dirinya dalam kekuasaan politik, yaitu di Cambridge yang
memuat tafsir surat al-Kahfi. Kajian Al-Qur’an dipelopori oleh ‘Abd al-Ra’uf
al-Sinkili yang menulis kitab dengan berjudul Tarjuman al-Mustafid. Dua karya
inilah yang menjadi embrio pijakan penulisan tafsir Al-Qur’an di Asia tenggara.
Upaya rintisan ini kemudian diikuti oleh Shaykh Nawawi al-Bantani : 43, Munawar
Khalil : 44. Hasan Bandung : 45, Mahmud Yunus : 46, Oemar Bakri : 47, Hasbi
Ash-Shiddiqy : 48, Hamka : 49, H. Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs : 50,
Kasim Bakri : 51, Dalam bahasabahasa daerah, upaya ini dilanjutkan oleh
Kemajuan Islam Yogyakarta : 52, Bisyri Muṣtahafa Rembang : 53, R. Muhammad
Adnan : 54 dan Bakri Syahid : 55. Upayaupaya ini bahkan lebih diseriusi oleh
Pemerintah RI melalui proyek penerjemahan. Selanjutnya, atas usul Musyawarah
kerja Ulama Al-Qur’an ke XV (23-24 Maret 1989), disempurnakan oleh pusat
penelitian dan pengembangan Lektur Agama bersama Lajnah Pentashih Al-Qur’an :
56. Seorang peneliti Howard M. Federspiel dalam penelitiannya, kurang lebih
disebut 48 tafsir popular di Indonesia,57 walaupun masih perlu dikritisi
batasan apa saja yang ia anggap sebagai karya tafsir.
Adapun Gaya dan Tipologi Tafsir di
Nusatara, Tafsir banyak terwarnai dengan Islam local baik itu
budaya maupun kondisi saat ayat-ayat Al-Qur’an dilakukan tafsiran oleh sang
penafsirnya. Tipologi dan gaya penafsiran ala nusantara tentu sedikit berbeda
dengan tafsiran yang sudah dikenal selama ini. Misalnya, tafsir klasik memiliki
ciri khas tersendiri di banding dengan tafsir bernuansa modern. Begitupun
tafsir nusantara akan sedikit berbeda warnanya dengan model penafsiran yang
dihasilkan oleh penafir dari Timur Tengah. Hal inilah yang menarik dari tafsir
khas ala nusantara. Selain itu, gaya dan tipologi tafsir nusantara tidak lepas
dari transmisi tradisi tafsir Hijaz, Azhari, dan sarjana Barat.
Hijaz di sini
adalah transmisi cara penulisan, pemikiran dan tradisi tafsir yang berkembang
di Makkah maupun Madinah. Kemudian, tafsir nusantara juga memiliki
ketersambungan dan keterikatan kuat dengan pola pikir al-Azhar Mesir yang
banyak melahirkan ulama-ulama nusantara yang secara tidak langsung ikut
menyumbangkan pemikiranannya dalam menelurkan karya tafsir nusantara. Kedua
sisi ini lebih kental mencuat pada abad XVI hingga awal abad XX. Selain kedua
sisi ini, adapula sisi lain yang tidak kalah pentingnya yaitu gagasan dan
pemikiran baik dari sarjana muslim Indonesia yang belajar di Barat maupun
sarjana Barat sendiri yang ikut meramaikan penelitian dan analisis tentang
tafsir nusantara.
Dari
kesemua sisi itu, yang tidak akalah pentingnya adalah sisi lokalitas (local
wisdom) ulama local baik terkait tentang social dan budaya nusantara maupun
sarjana didikan asli nusantara yang tentu memiliki corak tersendiri di banding
dengan transmisi keilmuan yang belajar dari Hijazi, Azhari maupu Barat.
Penafsiran
Alqur’an di Indoneisa menjadi bagian penting dari munculnya penafsiran di bumi
Nusantara. Bagaimana tidak, lahirnya Tarjuman al-Mustafid karya ‘Abdurrauf
Singkel menjadi awal mula penafsiran Al-Qur’an di Nusantara. Membincang tafsir
di Indonesia, kita akan menemukan karyakarya yang menjadi rujukan awal yang
khusus dan focus melakukan kajian yang mendalam terhadap tafsir Indonesia.
Howard M. Federshiel seorang peneliti tafsir Indoensia memaparkan paling tidak
ada 48 tafsir yang ditelaahnya. Di antara 48 mufassir yang Federspiel sebut
adalah,
1. Munawar
Khalil,
2. Aboe
Bakar Atjeh,
3. Bahrum
Rangkuti,
4. Jamaluddin
Kafie,
5. Oemar
Bakrie,
6. Joesoef
Sou’eb,
7. M.
Hasbi alShiddiqy,
8. Masjfuk
Zuhdi,
9. A.
Hasan,
10.
Qomaruddin Hamidy,
11.
Mahmud Yunus,
12.
Hamka,
13.
Abdul Halim Hasan,
14.
Tafsir Depag,
15.
Bachtiar Surin,
16.
Sukmadjadja Asyarie,
17.
Badarutthanan Akasah,
18.
Syahminan Zaini,
19.
MS. Khalil,
20.
Qamaruddin Saleh Nasikun,
21.
Bey Arifin,
22.
Labib MZ,
23.
A. Hanafi,
24.
Hadiyah Salim,
25.
M. Ali Usman,
26.
Khadijatus Shalihah,
27.
A. Muhaimin Zen,
28.
Datuk Tombak Alam,
29.
A. Djohansjah,
30.
Ismail Tekan,
31.
T. Atmadi Usman,
32.
Abu Hanifah,
33.
Zainal Abidin Ahmad,
34.
HB. Jassin,
35.
Mahfudi Sahli,
36.
Dja’far Amir,
37.
Muslih Maruzi,
38.
Abdul Aziz Masyhuri,
39.
M. Munir Farunama,
40.
Syahminan Zaini,
41.
M. Ali Husayn,
42.
A. Syafi’I Ma’arif,
43.
Dawan Raharjo,
44.
Azwar Anar,
45.
Imam Munawwir,
46.
Z. Kasijan,
47.
Nazwar Syamsu,
48.
M. Quraish Shihab.
Dari
48 tafsir yang dipaparkan di atas, Federspiel mengambil sampel penelitian
secara serampangan dalam artian dia mengungkapkan karya-karya yang dia anggap
tafsir kendati tidak semua dianggap sebagai mufassir di kalangan masyarakat
umum. Meskipun demikian, karya ini banyak dijadikan rujukan oleh banyak
peneliti. Selain karya Howard Federspiel di atas, akan ditemukan pula karya
Salman Harun yang mengungkap tafsir Indonesia. Dia mengulas Tafsir Tarjuman
alMustafid dalam sebuah karya disertasinya. Karya ini penting dan banyak
memberikan kontribusi yang berarti bagi para peneliti. Sebagai penulis generasi
awal asli Indoensia, karyanya menjadi penting yang mengulas informasi
perkembangan tafsir Indonesia. Karya yang hampir sama dengan Howar Federspiel,
ada pula karya Islah Gusmian yang menjadi karya akademik S2nya. Dia mengulas
peta tafsir di Indonesia. Dan masih banyak karya yang sama yang mengulas tafsir
Indonesia. Bahkan, peta kajian perkembangan tafsir di Indonesia masuk dalam
kurikulum di perguruan tinggi khususnya pada jurusan Tafsir Hadis di PTAIN /
PTAIS Kementerian Agama RI.
Jadi, Kesimpulannya ialah :
Kajian ini menginformasikan bahwa betapa luasnya lautan ilmu yang ada pada
ulama-ulama tafsir di Nusantara. Penelitian ini juga memberikan jalan baru
untuk para pengkaji dan bisa jadi untuk pengambil kebijakan dalam hal ini bisa
jadi pemerintah. Bahwa jaringan Nusantara tidak hanya pada keilmuan saja, akan
tetapi bisa digali dari sisi yang lain demi merekatkan sekaligus mengingatkan
kembali bahwa kita adalah sama-sama berada di bumi Nusantara dengan berbagai
macam persamaannya. Ketika menyelamai lautan samudera tafsir dan tokoh tafsir
nusantara maka banyak perspektif muncul misalnya ada ulama tafsir nusantara
yang secara khusus menampilkan tafsir nusantara dengan bahasa Jawi Melayu-nya,
di sisi yang lain ada pula dengan bahasa lokal misalnya al-Nawawi al-Jawi yang
menulis bahasa tafsirnya dengan bahasa Arab. Pada sisi yang lain ada pula
penulisan tafsirnya dengan bahawa Jawi Melayu namun dengan perkembangan dan
berjalannya waktu tafsir tersebut dialih bahasakan dalam bahasa negaranya.
Selain yang telah disebutkan tadi di atas, karena perkembangan dan kemajuan
zaman pada 224/REFLEKSI, Volume 16, Nomor 2, Oktober 2017 abad 20 dan 21 ini
banyak tafsir yang sudah tidak lagi menggunakan aksara Jawi Melayu, akan tetapi
langsung dari bahasa asal negaranya.
REFLEKSI SLIDE Modul Al-Qur’an KB 2
Isi slide tidak jauh beda dengan isi modul,
adapun yang dapat saya simpulkan dalam slide tersebut ialah sebagai berikut :
1.
Tafsir
bi al-Ma’tsur
Tafsir bi al-Ma’tsur adalah menafsirkan
al-Qur’an didasarkan penjelasanpenjelasan al Qur’an yang diperoleh melalui
riwayat-riwayat pada sunnah, hadist maupun atsar, bahkan sebuah ayat al Qur’an
dapat dijelaskan dengan ayat-ayat al Qur’an yang lain. Karena itu Tafsir bi al-Matsur
disebut juga tafsir bi al-Riwayah, karena didasarkan juga pada
periwayatan-periwayatan. Selain hadist Nabi Saw, atsar sahabat dianggap mampu
menjelaskan ayat al Qur’an karena sahabat Nabi Saw dipandang sebagai orang yang
banyak mengetahui al-Qur’an dan bergaul bersama Nabi Saw, demikian juga para
ulama’ di masa tabi’in yang dianggap juga sebagai orang yang bertemu langsung
dan berguru kepada para sahabat.
2.
Tafsir
bi al-Ra’yi atau tafsir bi al-Dirayah
Al-Ra’yu berarti pikiran atau nalar,
karena itu Tafsir bi al-Ra’yi adalah penafsiran seorang mufassir yang diperoleh
melalui hasil penalarannya atau ijtihadnya, di mana penalaran di sini sebagai
sumber utamanya. Seorang mufassir di sini tentu saja adalah orang yang secara
kompetensi keilmuannya telah dianggap
telah memenuhi persyaratan, sebagaimana disebutkan pada syarat-syarat
mufassir.
3.
Tafsir
al Isyari
Menurut bahasa kata isyari berasal dari
kata asyaara-yusyiiru-isyaaratan yang berarti memberi isarat/ tanda,
menunjukkan. Sedangkan menurut istilah suatu upaya untuk menjelaskan kandungan
Quran dengan menakwilkan ayat-ayat
sesuai isyarat yang tersirat dengan tanpa mengingkari yang tersurat atau dzahir ayat.
Senada dengan definisi tersebut menurut Shubhi al-Shalih adalah menjelaskan
kandungan al Qur’an melaui takwil dengan cara berupaya menggabungkan yang
tersurat dan tersirat.
Lebih lanjut M. Quraish Shihab menjelaskan
bahwa dalam tafsir bi al-Isyarah
terdapat upaya penarikan makna ayat
didasarkan pada kesan yang
ditimbulkan lafazh ayat, di mana dalam benak para mufassir telah memiliki
pencerahan batin atau hati dan pikiran,
hal itu dilakukan tanpa mengabaikan atau membatalkan makna secara
lafazh.
Adapun
peng-klasifiksian dan penerapan Tafsir bi al Ma’tsur, tafsir bi al ra’yi,
tafsir isyari.
1. Tafsir bi al-Ma’tsur
Pada pendekatan tafsir bi al-ma’sur
terdapat beberapa cara untuk menafsirkan ayat alQur’an, yaitu;
a) Penafsiran
ayat dengan ayat al-Quran yang lain Suatu ayat dapat ditafsirkan dengan ayat
yang lain, baik ayat itu kelanjutan dari ayat yang ditafsirkan ataupun ayat
yang menafsirkan berada di surat yang lain. Misalnya pada surat al ikhlas ayat
pertama yang menjelaskan tentang ketauhidan Allah Swt, ditafsirkan oleh ayat
berikutnya, yaitu ayat kedua, ketiga dan keempat. Namun ayat pertama surat al
Ikhlas tentang ketauhidan ini dapat ditafsirkan (dijelaskan) lagi oleh ayat
yang lain yang berada di surat yang lain. Misalnya surat al Hasyr (QS 59;22-24)
yang menjelaskan sifat-sifat Allah Swt.
b) Penafsirat
ayat al Qur’an dengan hadits Nabi Saw Ayat-ayat al Qur’an lebih banyak bersifat
mujmal(global) dan untuk dipahami tidak bisa berdiri sendiri, karena itu di
sinilah fungsi hadits Nabi Saw sebagai tafsir terhadap ayat-ayat al-Qur’an.
Misalnya ayat tentang perintah sholat yang mujmal tidak menjelaskan tatacara
sholat (S. al Baqarah (SQ 43;43)
c) Penafsirat
ayat al Qur’an dengan keterangan sahabat-sahabat Nabi saw. Untuk mendapatkan informasi lebih luas
perihal maksud-maksud al Qur’an, setelah memahami sunnah Nabi Saw maka
penjelasan para sahabat juga diperlukan, dikarenakan mereka adalah orang-orang
yang dekat bersama Nabi Saw dan sangat memahami situasi dan kondisi bagaimana
al Qur’an itu diturunkan. Contoh tafsir
terhadap Surat al Baqarah (QS 2: 3). Metode Tahlili, Ijmali, Muqaran, Maudhu’i.
2. Tafsir bi al-Ra’yi atau tafsir bi
al-Dirayah
Istilah
Tafsir bi al-Ra’y pada dasarnya untuk membedakannya dengan Tafsir bi
al-Ma’tsur, dalam konteks, bahwa bukan berarti ketika sahabat melakukan
penafsiran Quran tidak menggunakan nalar. Para sahabat sebenarnya juga
menggunakan nalar dalam memberikan penafsiran, tetapi dalam istilah disiplin
ulum Quran, para sahabat tetap saja
tidak dinamai dalam kategori Tafsir bi alRa’yi, sebab, para sahabat memiliki
keistimewaan yang tidak dimiliki oleh generasi sesudah mereka. Sebagaimana
pendekatan tafsir yang lain, pendekatan Tafsir bi alRa’y juga memiliki
kelebihan dan kelemahan.
Di
antara kelebihan pendekatan Tafsir bi al-Ra’y ini adalah mempunyai ruang
lingkup yang luas, dapat mengapresiasi berbagai ide dan melihat dan memahami
Quran secara mendalam dengan melihat dari berbagai aspek. Kendatipun demikian,
bukan berarti pendekatan ini tidak mempunyai kelemahan. Kelemahaman pendekatan
Tafsir bi al-Ra’y bisa saja terjadi ketika ketika menjadikan petunjuk ayat yang
bersifat parsial, sehingga memberikan kesan Quran tidak utuh dan tidak
konsisten.
Di
samping itu, penafsiran dengan pendekatan Tafsir bi al-Ra’y tidak tertutup
kemungkinan menimbulkan kesan subyektif yang dapat memberikan pembenaran
terhadap mazhab atau pemikiran tertentu, serta dengan pendekatan Tafsir bi
al-Ra’y tidak tertutup kemungkinan masuknya cerita-cerita isra’iliyat karena
kelemahan dalam membatasi pemikiran yang berkembang.
3. Tafsir al Isyari
Adapun
syarat-syarat diterimanya tafsir isyari sebagai rujukan dalam berhukum adalah
sebagai berikut :
a. Tidak
bertentangan dengan makna lahir (pengertian tekstual) al-Qur’an.
b. Penafsirannya
didukung atau diperkuat oleh dalil-dalil syar’i lainnya.
c. Penafsirannya
tidak bertentangan dengan dalil syara‘ atau rasio.
d. Penafsirannya
tidak menganggap bahwa hanya itu saja tafsiran yang dikehendaki Allah, bukan
pengertian tekstual ayat terlebih dahulu.
e. Penafsirannya
tidak terlalu jauh sehingga tidak ada hubungannya dengan lafadz. Misalnya
penafsiran al-Alusi terhadap surat Al-Baqarah (QS 2: 238).
Adapun
Konsep Metode Tahlili, Ijmali, Muqaran, Maudhu’i
1.
Metode Tahlili (Analisis)
Metode
Tahlili adalah suatu metode dalam menjelaskan ayat al Qur’an dengan cara menguraikan
ayat demi ayat, surat demi surat, sesuai tata urutan dengan penjelasan yang cukup terperinci
sesuai dengan kecenderungan masing-masing mufassir terhadap aspekaspek yang
ingin disampaikan, misalnya menjelaskan
ayat disertai aspek qira’at, asbabu al- nuzul, munasabah, balaghah, hukum dan
lain sebagainya.
2. Metode Ijmali (Global)
Metode
ijmali adalah metode dalam menjelaskan ayat Al-Qur’an dengan cara mengemukakan
makna yang bersifat global dengan bahasa yang ringkas supaya mudah dipahami. Di
sini mufassir menjelaskan pesan-pesan pokok dari ayat tanpa menguraikan panjang
lebar, seperti kitab Tafsir Jalalain karya Jalaluddin al-Suyuthi dan Jalaluddin
alMahalli dan Tafsir Al-Qur’an al-Adzim karya Muhammad Farid Wajdi, at-Tafsir
al-Wasit terbitan Majma’ al-Buhus al-Islamiyyah.
3. Metode Muqaran (Komparatif)
Metode
Muqaran adalah metode menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan membandingkan
dengan ayat lain yang memiliki kedekatan atau kemiripan tema namun redaksinya berbeda, atau memiliki kemiripan
redaksi tapi maknanya berbeda, atau membandingkannya dengan penjelasan teks
hadis Nabi Saw, perkataan sahabat maupun tabi’in.
4. Metode Maudhu’i (Tematik)
Metode
Maudhu’i adalah metode menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan mengambil suatu
tema tertentu. Metode ini kelebihannya mampu menjawab kebutuhan zaman yang
ditujukan untuk menyelesaikan suatu permasalahan, praktis dan sistematis serta
dapat menghemat waktu, dinamis sesuai dengan kebutuhan zaman, membuat pemahaman
menjadi utuh. Namun kekurangannya seringkali dalam memenggal ayat yang memilki
permasalahan yang berbeda sehingga membatasi pemahaman ayat.
Berikut
adalah Penerapan Metode Tahlili, Ijmali, Muqaran, Maudhu’i.
1. Metode Tahlili (Analisis)
Berikut
adalah contoh penafsiran dalam kitab tafsir Ibnu Katsir terhadap Surat al Ahzab: ayat 30. Disebutkan bahwa dalam ayat tersebut
bahwa barang siapa di antara mereka yang mengerjakan perbuatan keji yang
nyata. Menurut Ibnu Abbas, pengertian
perbuatan keji ini ditakwilkan dengan makna membangkang dan berakhlak buruk.
Dan atas dasar hipotesis apa pun, maka ungkapan ayat ini hanyalah semata-mata
andaikan, dan makna andaikan itu tidak berarti pasti terjadi. Pengertiannya
sama dengan firman Allah Swt. dalam ayat Az-Zumara : 65 “Dan sesungguhnya telah
diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, "Jika kamu
mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalanmu.
Contoh
kitab tafsir yang disusun dengan metode ini adalah kitab Tafsir Jami li Ahkam
al-Qur’an karya al-Qurtubi, kitab Tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an
karya Ibnu Jarir at-Thabari, Tafsir alQur’an al-Adzim karya Ibnu Katsir dan
kitab Tafsir Al-Qur’an al-Karim karya at-Tusturi.
2. Metode Muqaran (Komparatif)
Menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan
membandingkan dengan ayat lain yang memiliki kedekatan atau kemiripan tema
namun redaksinya berbeda, atau memiliki
kemiripan redaksi tapi maknanya berbeda, atau membandingkannya dengan
penjelasan teks hadis Nabi Saw, perkataan sahabat maupun tabi’in. Di samping itu juga mengkaji pendapat para
ulama tafsir kemudian membandingkannya atau bisa berupa membandingkan antara
satu kitab tafsir dengan kitab tafsir lainnya agar diketahui identitas corak
kitab tafsir tersebut. Tafsir Muqarin juga bisa berupa perbandingan teks lintas
kitab samawi (seperti Al Qur’an dengan Injil/Bibel, Taurat atau Zabur).
3. Metode Ijmali
Di
sini mufassir menjelaskan pesan-pesan pokok dari ayat tanpa menguraikan panjang
lebar, seperti kitab Tafsir Jalalain karya Jalaluddin al-Suyuthi dan Jalaluddin
alMahalli dan Tafsir Al-Qur’an al-Adzim karya Muhammad Farid Wajdi, at-Tafsir
al-Wasit terbitan Majma’ al-Buhus al-Islamiyyah.
4. Metode Maudhu’i (Tematik)
Adapun
langkah-langkah yang harus ditempuh oleh seorang mufassir ketika melakukan
proses penafsiran metode maudhu’i adalah:
a. Menetapkan
masalah yang akan dibahas. Permasalahan yang dibahas diprioritaskan pada
persoalan yang menyentuh kehidupan masyarakat yang berarti bahwa seorang
mufassir harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang masyarakat.
b. Menghimpun
ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut.
c. Menyusun
runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan tentang asbab
nuzulnya dan ilmu-ilmu lain yang mendukungnya. Memahami korelasi ayat-ayat
tersebut dalam surahnya masingmasing (terkait erat dengan ilmu munasabat).
d. Menyusun
pembahasan dalam kerangka yang sempurna (membuat out line).
e. Melengkapi
pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan
f. Mempelajari
ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayatayatnya yang
mempunyai pengertian yang sama atau mengkompromikan antara yang ‘amm (umum)
dengan yang khash (khusus), mutlak dan muqayyad (terikat), atau yang apada
lahirnya bertentangan sehingga kesemuanya dapat bertemu dalam satu muara tanpa
perbedaan dan pemaksaan.
Wallohu
a’lam...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar