Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Kamis, 27 Juni 2019

DISKUSI VIDEO DAN SLIDE MODUL AL-QUR'AN KB 2


DISKUDI / REFLEKSI VIDEO MODUL AL-QUR’AN KB 2

Dalam video youtube yang membahas tentang Tafsir Nusantara, berbicara tentang Tafsir Nusantara tentu kita akan merujuk ke induknya yakni Islam Nusantara. Menurut saya Islam Nusantara hanyalah lebel bagi umat Islam yang ada di Indonesia. Karena Islam tetaplah Islam, namu ajaran Islam akan disesuaikan sesuai adat istiadat setempat dan menjadikannya sumber hukum dengan syarat tidak bertentangan dengan ajaran inti Islam (syar’i), salah satu bentuknya ialah penafsiran Al-Qur’an dan di Negara kita ada istilah Tafsir Nusantara.

Tafsir Nusantara : Ketika kita akan melacak jaringan ulama tafsir Nusantara, tidak bisa dilepaskan dari sosok ‘Abd al-Rauf al-Fansûri dengan karyanya Tarjuman al-Mustafid, melalui karya ini terus mengalami perkembangan melalui banyak media pengajaran hingga hari ini. Karya ini pula diduga kuat melahirkan aneka ragam corak dan manhaj tafsir di Nusantara. Paling tidak ada dua aspek transmisi ulama tafsir melahirkan dan mengembangkan ilmu tafsir. Pertama, melalui aktifitas pengajian, dan yang kedua melalui jalur penulisan.

Melalui kedua jalur ini transmisi ulama tafsir hingga saat ini terus mengalami perkembangannya baik. Kajian Al-Qur’an di Nusantara terus mengalami geliat perkembangan yang membanggakan. Munculnya karya-karya tafsir di belahan bumi nusantara menegasikan bahwa kajian Al-Qur’an di bumi nusantara terus mengalami perkembangan. Bukan hanya itu, tafsir Al-Qur’an yang sering disajikan dengan budaya aslinya yaitu kultur Arab, disajikan dengan budaya para pembacanya, dalam hal ini bumi Nusantara.

Konsep Tafsir di Nusantara : Izza Rahman Nahrawi. “Profil Kajian Al-Qur’an di Nusantara Sebelum Abad ke 20.” Jurnal al-Huda, II, no.6, (2000). Islam Nusantara menurut Azyumardi Azra adalah Nusantara: Islam is a distinctive Islam resulting from vivid, intense and vibrant interaction, contextualization, indigenization and vernacularization of universal Islam with Indonesian social, cultural and religious realities this is Islam embedded. Nusantara Islamic orthodoxy (Ash’arite theology, Shafi’i school of law, and Ghazalian Sufism) nurtures the Wasatiyyah character a justly balanced and tolerant Islam. Nusantara Islam, no doubt, is very rich with Islamic legacy a shining hope for a renaissance of global Islamic civilization”. “Islam Nusantara adalah Islam distingtif sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi dan vernakularisasi Islam universal dengan realitas sosial, budaya dan agama di Indonesia. Ortodoksi Islam Nusantara (kalam Asy’ari, fikih mazhab Syafi’i, dan tasawuf Ghazali) menumbuhkan karakter wasathiyah yang moderat dan toleran. Islam Nusantara yang kaya dengan warisan Islam (Islamic legacy) menjadi harapan renaisans peradaban Islam global”.

Disisi lain menggambarkan Nusantara sarat dengan tradisi yang lebih toleran, moderat dan tidak radikal. Seorang peneliti Ervan Nurtawab dan lain-lain menginformasikan bahwa sekitar abad ke-XVII M. telah ditemukan bukti paling awal di Nusantara setelah lebih dari 300 tahun sejak komunitas Muslim Nusantara itu mulai mewujudkan dirinya dalam kekuasaan politik, yaitu di Cambridge yang memuat tafsir surat al-Kahfi. Kajian Al-Qur’an dipelopori oleh ‘Abd al-Ra’uf al-Sinkili yang menulis kitab dengan berjudul Tarjuman al-Mustafid. Dua karya inilah yang menjadi embrio pijakan penulisan tafsir Al-Qur’an di Asia tenggara. Upaya rintisan ini kemudian diikuti oleh Shaykh Nawawi al-Bantani : 43, Munawar Khalil : 44. Hasan Bandung : 45, Mahmud Yunus : 46, Oemar Bakri : 47, Hasbi Ash-Shiddiqy : 48, Hamka : 49, H. Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs : 50, Kasim Bakri : 51, Dalam bahasabahasa daerah, upaya ini dilanjutkan oleh Kemajuan Islam Yogyakarta : 52, Bisyri Muṣtahafa Rembang : 53, R. Muhammad Adnan : 54 dan Bakri Syahid : 55. Upayaupaya ini bahkan lebih diseriusi oleh Pemerintah RI melalui proyek penerjemahan. Selanjutnya, atas usul Musyawarah kerja Ulama Al-Qur’an ke XV (23-24 Maret 1989), disempurnakan oleh pusat penelitian dan pengembangan Lektur Agama bersama Lajnah Pentashih Al-Qur’an : 56. Seorang peneliti Howard M. Federspiel dalam penelitiannya, kurang lebih disebut 48 tafsir popular di Indonesia,57 walaupun masih perlu dikritisi batasan apa saja yang ia anggap sebagai karya tafsir.

Adapun Gaya dan Tipologi Tafsir di Nusatara, Tafsir banyak terwarnai dengan Islam local baik itu budaya maupun kondisi saat ayat-ayat Al-Qur’an dilakukan tafsiran oleh sang penafsirnya. Tipologi dan gaya penafsiran ala nusantara tentu sedikit berbeda dengan tafsiran yang sudah dikenal selama ini. Misalnya, tafsir klasik memiliki ciri khas tersendiri di banding dengan tafsir bernuansa modern. Begitupun tafsir nusantara akan sedikit berbeda warnanya dengan model penafsiran yang dihasilkan oleh penafir dari Timur Tengah. Hal inilah yang menarik dari tafsir khas ala nusantara. Selain itu, gaya dan tipologi tafsir nusantara tidak lepas dari transmisi tradisi tafsir Hijaz, Azhari, dan sarjana Barat.

Hijaz di sini adalah transmisi cara penulisan, pemikiran dan tradisi tafsir yang berkembang di Makkah maupun Madinah. Kemudian, tafsir nusantara juga memiliki ketersambungan dan keterikatan kuat dengan pola pikir al-Azhar Mesir yang banyak melahirkan ulama-ulama nusantara yang secara tidak langsung ikut menyumbangkan pemikiranannya dalam menelurkan karya tafsir nusantara. Kedua sisi ini lebih kental mencuat pada abad XVI hingga awal abad XX. Selain kedua sisi ini, adapula sisi lain yang tidak kalah pentingnya yaitu gagasan dan pemikiran baik dari sarjana muslim Indonesia yang belajar di Barat maupun sarjana Barat sendiri yang ikut meramaikan penelitian dan analisis tentang tafsir nusantara.
Dari kesemua sisi itu, yang tidak akalah pentingnya adalah sisi lokalitas (local wisdom) ulama local baik terkait tentang social dan budaya nusantara maupun sarjana didikan asli nusantara yang tentu memiliki corak tersendiri di banding dengan transmisi keilmuan yang belajar dari Hijazi, Azhari maupu Barat.
Penafsiran Alqur’an di Indoneisa menjadi bagian penting dari munculnya penafsiran di bumi Nusantara. Bagaimana tidak, lahirnya Tarjuman al-Mustafid karya ‘Abdurrauf Singkel menjadi awal mula penafsiran Al-Qur’an di Nusantara. Membincang tafsir di Indonesia, kita akan menemukan karyakarya yang menjadi rujukan awal yang khusus dan focus melakukan kajian yang mendalam terhadap tafsir Indonesia. Howard M. Federshiel seorang peneliti tafsir Indoensia memaparkan paling tidak ada 48 tafsir yang ditelaahnya. Di antara 48 mufassir yang Federspiel sebut adalah,

   1.   Munawar Khalil,
   2.   Aboe Bakar Atjeh,
   3.   Bahrum Rangkuti,
   4.   Jamaluddin Kafie,
   5.   Oemar Bakrie,
   6.   Joesoef Sou’eb,
   7.   M. Hasbi alShiddiqy,
    8.   Masjfuk Zuhdi,
    9.   A. Hasan,
  10.                Qomaruddin Hamidy,
11.                Mahmud Yunus,
12.                Hamka,
13.                Abdul Halim Hasan,
14.                Tafsir Depag,
15.                Bachtiar Surin,
16.                Sukmadjadja Asyarie,
17.                Badarutthanan Akasah,
18.                Syahminan Zaini,
19.                MS. Khalil,
20.                Qamaruddin Saleh Nasikun,
21.                Bey Arifin,
22.                Labib MZ,
23.                A. Hanafi,
24.                Hadiyah Salim,
25.                M. Ali Usman,
26.                Khadijatus Shalihah,
27.                A. Muhaimin Zen,
28.                Datuk Tombak Alam,
29.                A. Djohansjah,
30.                Ismail Tekan,
31.                T. Atmadi Usman,
32.                Abu Hanifah,
33.                Zainal Abidin Ahmad,
34.                HB. Jassin,
35.                Mahfudi Sahli,
36.                Dja’far Amir,
37.                Muslih Maruzi,
38.                Abdul Aziz Masyhuri,
39.                M. Munir Farunama,
40.                Syahminan Zaini,
41.                M. Ali Husayn,
42.                A. Syafi’I Ma’arif,
43.                Dawan Raharjo,
44.                Azwar Anar,
45.                Imam Munawwir,
46.                Z. Kasijan,
47.                Nazwar Syamsu,
48.                M. Quraish Shihab.

Dari 48 tafsir yang dipaparkan di atas, Federspiel mengambil sampel penelitian secara serampangan dalam artian dia mengungkapkan karya-karya yang dia anggap tafsir kendati tidak semua dianggap sebagai mufassir di kalangan masyarakat umum. Meskipun demikian, karya ini banyak dijadikan rujukan oleh banyak peneliti. Selain karya Howard Federspiel di atas, akan ditemukan pula karya Salman Harun yang mengungkap tafsir Indonesia. Dia mengulas Tafsir Tarjuman alMustafid dalam sebuah karya disertasinya. Karya ini penting dan banyak memberikan kontribusi yang berarti bagi para peneliti. Sebagai penulis generasi awal asli Indoensia, karyanya menjadi penting yang mengulas informasi perkembangan tafsir Indonesia. Karya yang hampir sama dengan Howar Federspiel, ada pula karya Islah Gusmian yang menjadi karya akademik S2nya. Dia mengulas peta tafsir di Indonesia. Dan masih banyak karya yang sama yang mengulas tafsir Indonesia. Bahkan, peta kajian perkembangan tafsir di Indonesia masuk dalam kurikulum di perguruan tinggi khususnya pada jurusan Tafsir Hadis di PTAIN / PTAIS Kementerian Agama RI.

Jadi, Kesimpulannya ialah : Kajian ini menginformasikan bahwa betapa luasnya lautan ilmu yang ada pada ulama-ulama tafsir di Nusantara. Penelitian ini juga memberikan jalan baru untuk para pengkaji dan bisa jadi untuk pengambil kebijakan dalam hal ini bisa jadi pemerintah. Bahwa jaringan Nusantara tidak hanya pada keilmuan saja, akan tetapi bisa digali dari sisi yang lain demi merekatkan sekaligus mengingatkan kembali bahwa kita adalah sama-sama berada di bumi Nusantara dengan berbagai macam persamaannya. Ketika menyelamai lautan samudera tafsir dan tokoh tafsir nusantara maka banyak perspektif muncul misalnya ada ulama tafsir nusantara yang secara khusus menampilkan tafsir nusantara dengan bahasa Jawi Melayu-nya, di sisi yang lain ada pula dengan bahasa lokal misalnya al-Nawawi al-Jawi yang menulis bahasa tafsirnya dengan bahasa Arab. Pada sisi yang lain ada pula penulisan tafsirnya dengan bahawa Jawi Melayu namun dengan perkembangan dan berjalannya waktu tafsir tersebut dialih bahasakan dalam bahasa negaranya. Selain yang telah disebutkan tadi di atas, karena perkembangan dan kemajuan zaman pada 224/REFLEKSI, Volume 16, Nomor 2, Oktober 2017 abad 20 dan 21 ini banyak tafsir yang sudah tidak lagi menggunakan aksara Jawi Melayu, akan tetapi langsung dari bahasa asal negaranya.

REFLEKSI SLIDE Modul Al-Qur’an KB 2
Isi slide tidak jauh beda dengan isi modul, adapun yang dapat saya simpulkan dalam slide tersebut ialah sebagai berikut :
Konsep Tafsir bi al Ma’tsur, tafsir bi al ra’yi, tafsir isyari.
1.   Tafsir bi al-Ma’tsur
Tafsir bi al-Ma’tsur adalah menafsirkan al-Qur’an didasarkan penjelasanpenjelasan al Qur’an yang diperoleh melalui riwayat-riwayat pada sunnah, hadist maupun atsar, bahkan sebuah ayat al Qur’an dapat dijelaskan dengan ayat-ayat al Qur’an yang lain. Karena itu Tafsir bi al-Matsur disebut juga tafsir bi al-Riwayah, karena didasarkan juga pada periwayatan-periwayatan. Selain hadist Nabi Saw, atsar sahabat dianggap mampu menjelaskan ayat al Qur’an karena sahabat Nabi Saw dipandang sebagai orang yang banyak mengetahui al-Qur’an dan bergaul bersama Nabi Saw, demikian juga para ulama’ di masa tabi’in yang dianggap juga sebagai orang yang bertemu langsung dan berguru kepada para sahabat.
2.   Tafsir bi al-Ra’yi atau tafsir bi al-Dirayah
Al-Ra’yu berarti pikiran atau nalar, karena itu Tafsir bi al-Ra’yi adalah penafsiran seorang mufassir yang diperoleh melalui hasil penalarannya atau ijtihadnya, di mana penalaran di sini sebagai sumber utamanya. Seorang mufassir di sini tentu saja adalah orang yang secara kompetensi keilmuannya telah dianggap  telah memenuhi persyaratan, sebagaimana disebutkan pada syarat-syarat mufassir. 
3.   Tafsir al Isyari
Menurut bahasa kata isyari berasal dari kata asyaara-yusyiiru-isyaaratan yang berarti memberi isarat/ tanda, menunjukkan. Sedangkan menurut istilah suatu upaya untuk menjelaskan kandungan Quran dengan menakwilkan ayat-ayat  sesuai isyarat yang tersirat dengan tanpa  mengingkari yang tersurat atau dzahir ayat. Senada dengan definisi tersebut menurut Shubhi al-Shalih adalah menjelaskan kandungan al Qur’an melaui takwil dengan cara berupaya menggabungkan yang tersurat dan tersirat.
Lebih lanjut M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa dalam  tafsir bi al-Isyarah terdapat upaya penarikan makna ayat  didasarkan pada  kesan yang ditimbulkan lafazh ayat, di mana dalam benak para mufassir telah memiliki pencerahan batin atau hati dan pikiran,  hal itu dilakukan tanpa mengabaikan atau membatalkan makna secara lafazh.
   
Adapun peng-klasifiksian dan penerapan Tafsir bi al Ma’tsur, tafsir bi al ra’yi, tafsir isyari.
      1.  Tafsir bi al-Ma’tsur
Pada pendekatan tafsir bi al-ma’sur terdapat beberapa cara untuk menafsirkan ayat alQur’an, yaitu;
a) Penafsiran ayat dengan ayat al-Quran yang lain Suatu ayat dapat ditafsirkan dengan ayat yang lain, baik ayat itu kelanjutan dari ayat yang ditafsirkan ataupun ayat yang menafsirkan berada di surat yang lain. Misalnya pada surat al ikhlas ayat pertama yang menjelaskan tentang ketauhidan Allah Swt, ditafsirkan oleh ayat berikutnya, yaitu ayat kedua, ketiga dan keempat. Namun ayat pertama surat al Ikhlas tentang ketauhidan ini dapat ditafsirkan (dijelaskan) lagi oleh ayat yang lain yang berada di surat yang lain. Misalnya surat al Hasyr (QS  59;22-24)  yang menjelaskan sifat-sifat Allah Swt.
b) Penafsirat ayat al Qur’an dengan hadits Nabi Saw Ayat-ayat al Qur’an lebih banyak bersifat mujmal(global) dan untuk dipahami tidak bisa berdiri sendiri, karena itu di sinilah fungsi hadits Nabi Saw sebagai tafsir terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Misalnya ayat tentang perintah sholat yang mujmal tidak menjelaskan tatacara sholat (S. al Baqarah (SQ 43;43)
c) Penafsirat ayat al Qur’an dengan keterangan sahabat-sahabat Nabi saw.  Untuk mendapatkan informasi lebih luas perihal maksud-maksud al Qur’an, setelah memahami sunnah Nabi Saw maka penjelasan para sahabat juga diperlukan, dikarenakan mereka adalah orang-orang yang dekat bersama Nabi Saw dan sangat memahami situasi dan kondisi bagaimana al Qur’an itu diturunkan.  Contoh tafsir terhadap Surat al Baqarah (QS 2: 3). Metode Tahlili, Ijmali, Muqaran, Maudhu’i.

    2.  Tafsir bi al-Ra’yi atau tafsir bi al-Dirayah
Istilah Tafsir bi al-Ra’y pada dasarnya untuk membedakannya dengan Tafsir bi al-Ma’tsur, dalam konteks, bahwa bukan berarti ketika sahabat melakukan penafsiran Quran tidak menggunakan nalar. Para sahabat sebenarnya juga menggunakan nalar dalam memberikan penafsiran, tetapi dalam istilah disiplin ulum  Quran, para sahabat tetap saja tidak dinamai dalam kategori Tafsir bi alRa’yi, sebab, para sahabat memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh generasi sesudah mereka. Sebagaimana pendekatan tafsir yang lain, pendekatan Tafsir bi alRa’y juga memiliki kelebihan dan kelemahan.
Di antara kelebihan pendekatan Tafsir bi al-Ra’y ini adalah mempunyai ruang lingkup yang luas, dapat mengapresiasi berbagai ide dan melihat dan memahami Quran secara mendalam dengan melihat dari berbagai aspek. Kendatipun demikian, bukan berarti pendekatan ini tidak mempunyai kelemahan. Kelemahaman pendekatan Tafsir bi al-Ra’y bisa saja terjadi ketika ketika menjadikan petunjuk ayat yang bersifat parsial, sehingga memberikan kesan Quran tidak utuh dan tidak konsisten.
Di samping itu, penafsiran dengan pendekatan Tafsir bi al-Ra’y tidak tertutup                                                         kemungkinan menimbulkan kesan subyektif yang dapat memberikan pembenaran terhadap mazhab atau pemikiran tertentu, serta dengan pendekatan Tafsir bi al-Ra’y tidak tertutup kemungkinan masuknya cerita-cerita isra’iliyat karena kelemahan dalam membatasi pemikiran yang berkembang.
    3.  Tafsir al Isyari
Adapun syarat-syarat diterimanya tafsir isyari sebagai rujukan dalam berhukum adalah sebagai berikut :
a. Tidak bertentangan dengan makna lahir (pengertian tekstual) al-Qur’an.
b. Penafsirannya didukung atau diperkuat oleh dalil-dalil syar’i lainnya. 
c.  Penafsirannya tidak bertentangan dengan dalil syara‘ atau rasio.
d. Penafsirannya tidak menganggap bahwa hanya itu saja tafsiran yang dikehendaki Allah, bukan pengertian tekstual ayat terlebih dahulu.
e. Penafsirannya tidak terlalu jauh sehingga tidak ada hubungannya dengan lafadz. Misalnya penafsiran al-Alusi terhadap surat Al-Baqarah (QS 2: 238).

Adapun Konsep Metode Tahlili, Ijmali, Muqaran, Maudhu’i
      1.   Metode Tahlili (Analisis)
Metode Tahlili adalah suatu metode dalam menjelaskan ayat al Qur’an dengan cara menguraikan ayat demi ayat, surat demi surat, sesuai tata urutan  dengan penjelasan yang cukup terperinci sesuai dengan kecenderungan masing-masing mufassir terhadap aspekaspek yang ingin disampaikan, misalnya  menjelaskan ayat disertai aspek qira’at, asbabu al- nuzul, munasabah, balaghah, hukum dan lain sebagainya.
    2.   Metode Ijmali (Global)
Metode ijmali adalah metode dalam menjelaskan ayat Al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna yang bersifat global dengan bahasa yang ringkas supaya mudah dipahami. Di sini mufassir menjelaskan pesan-pesan pokok dari ayat tanpa menguraikan panjang lebar, seperti kitab Tafsir Jalalain karya Jalaluddin al-Suyuthi dan Jalaluddin alMahalli dan Tafsir Al-Qur’an al-Adzim karya Muhammad Farid Wajdi, at-Tafsir al-Wasit terbitan Majma’ al-Buhus al-Islamiyyah.
     3.   Metode Muqaran (Komparatif)
Metode Muqaran adalah metode menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan membandingkan dengan ayat lain yang memiliki kedekatan atau kemiripan tema namun  redaksinya berbeda, atau memiliki kemiripan redaksi tapi maknanya berbeda, atau membandingkannya dengan penjelasan teks hadis Nabi Saw, perkataan sahabat maupun tabi’in. 
    4.   Metode Maudhu’i (Tematik)
Metode Maudhu’i adalah metode menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan mengambil suatu tema tertentu. Metode ini kelebihannya mampu menjawab kebutuhan zaman yang ditujukan untuk menyelesaikan suatu permasalahan, praktis dan sistematis serta dapat menghemat waktu, dinamis sesuai dengan kebutuhan zaman, membuat pemahaman menjadi utuh. Namun kekurangannya seringkali dalam memenggal ayat yang memilki permasalahan yang berbeda sehingga membatasi pemahaman ayat.

Berikut adalah Penerapan Metode Tahlili, Ijmali, Muqaran, Maudhu’i.
     1.   Metode Tahlili (Analisis)
Berikut adalah contoh penafsiran dalam kitab tafsir Ibnu Katsir terhadap Surat al Ahzab:  ayat 30. Disebutkan bahwa dalam ayat tersebut bahwa barang siapa di antara mereka yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata.  Menurut Ibnu Abbas, pengertian perbuatan keji ini ditakwilkan dengan makna membangkang dan berakhlak buruk. Dan atas dasar hipotesis apa pun, maka ungkapan ayat ini hanyalah semata-mata andaikan, dan makna andaikan itu tidak berarti pasti terjadi. Pengertiannya sama dengan firman Allah Swt. dalam ayat Az-Zumara : 65 “Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, "Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalanmu. 
Contoh kitab tafsir yang disusun dengan metode ini adalah kitab Tafsir Jami li Ahkam al-Qur’an karya al-Qurtubi, kitab Tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an karya Ibnu Jarir at-Thabari, Tafsir alQur’an al-Adzim karya Ibnu Katsir dan kitab Tafsir Al-Qur’an al-Karim karya at-Tusturi.
     2.   Metode Muqaran (Komparatif)
 Menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan membandingkan dengan ayat lain yang memiliki kedekatan atau kemiripan tema namun  redaksinya berbeda, atau memiliki kemiripan redaksi tapi maknanya berbeda, atau membandingkannya dengan penjelasan teks hadis Nabi Saw, perkataan sahabat maupun tabi’in.  Di samping itu juga mengkaji pendapat para ulama tafsir kemudian membandingkannya atau bisa berupa membandingkan antara satu kitab tafsir dengan kitab tafsir lainnya agar diketahui identitas corak kitab tafsir tersebut. Tafsir Muqarin juga bisa berupa perbandingan teks lintas kitab samawi (seperti Al Qur’an dengan Injil/Bibel, Taurat atau Zabur).
    3.   Metode Ijmali
Di sini mufassir menjelaskan pesan-pesan pokok dari ayat tanpa menguraikan panjang lebar, seperti kitab Tafsir Jalalain karya Jalaluddin al-Suyuthi dan Jalaluddin alMahalli dan Tafsir Al-Qur’an al-Adzim karya Muhammad Farid Wajdi, at-Tafsir al-Wasit terbitan Majma’ al-Buhus al-Islamiyyah.
    4.   Metode Maudhu’i (Tematik)
Adapun langkah-langkah yang harus ditempuh oleh seorang mufassir ketika melakukan proses penafsiran metode maudhu’i adalah:
a.   Menetapkan masalah yang akan dibahas. Permasalahan yang dibahas diprioritaskan pada persoalan yang menyentuh kehidupan masyarakat yang berarti bahwa seorang mufassir harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang masyarakat.
b.   Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut.
c.   Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan tentang asbab nuzulnya dan ilmu-ilmu lain yang mendukungnya. Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masingmasing (terkait erat dengan ilmu munasabat).  
d.   Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (membuat out line).
e.   Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan
f.     Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayatayatnya yang mempunyai pengertian yang sama atau mengkompromikan antara yang ‘amm (umum) dengan yang khash (khusus), mutlak dan muqayyad (terikat), atau yang apada lahirnya bertentangan sehingga kesemuanya dapat bertemu dalam satu muara tanpa perbedaan dan pemaksaan.

Wallohu a’lam...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar