DISKUSI VIDEO dan SLIDE
Dari apa yang telah saya
paparkan tadi maka saya kumpulkan semua dilam paparan saya berikut ini :
Berikut terjemahan dan juga pembhasan sesuai juga
dengan di video QS. Al-Insyirah 1-8 dengan KB 1 Modul Al-Qur’an :
1. “Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?,
2. dan Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu,
3. yang memberatkan punggungmu?,
4. dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu,
5. karena Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada
kemudahan,
6. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,
7. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu
urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain,
8.
dan hanya kepada Tuhanmulah
hendaknya kamu berharap.”
Firman
Allah: alam nasyrah laka shadraka (“Bukankah Kami telah melapangkan
untukmu dadamu?”) maksudnya, Kami telah menerangi dadamu, yaitu dengan cahaya
Kami. Dan Kami jadikan dadamu lapang, lebar, dan luas. Yang demikian itu
seperti firman-Nya: Famay yuridillaahu ay
yahdiyahu yasyrah shadrahuu lil islaami artinya : (“Barangsiapa yang
Allah berkehendak untuk memberi petunjuk kepadanya, maka Dia akan melapangkan
dadanya untuk Islam.” (al-An’am: 125) dan sebagaimana Allah telah
melapangkan dada beliau, maka Diapun menjadikan syariat-Nya demikian lapang dan
luas, penuh toleransi dan kemudahan, tidak mengandung kesulitan, benban dan
kesempitan.
Firman
Allah: wawadla’naa ‘angka wizraka yang artinya : (“Dan Kami telah
menghilangkan darimu bebanmu.” Mempunyai pengertian: liyaghfiralakallaaHu maa taqaddama min dzambika wamaa ta-akhkhara
(“Supaya Allah member ampunan kepadamu akan dosa yang telah engkau
perbuat dulu dan yang akan dating.”)(al-Fath: 2)
Selanjutnya
firman Allah : Alladzii angqadla dzahraka artinya : (“yang memberatkan
punggungmu.”) kata “al-inqaadu”
disini berarti suara. Dan lebih dari satu ulama salaf yang mengenai firman-Nya,
Alladzii angqadla dzahraka artinya : (“yang
memberatkan punggungmu.”) mengatakan: “Yakni bebannya telah memberatkanmu.”
Firman
Allah: wa rafa’naa laka dzikraka artinya : (“Dan Kami tinggikan bagimu
sebutan (nama)mu.” Mujahid mengatakan, “Aku tidak disebut melainkan disebutkan
bersamaku kesaksian bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan
benar selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah.” Qatadah
mengatakan: “Allah meninggikan sebutan beliau di dunia dan di akhirat. Tidak
ada seorang khatib, orang yang mengucapkan syahadat, dan juga orang yang
mengerjakan shalat, melainkan menyebutkan kesaksian: asyhadu allaa ilaaha illaallaahu wa asyhadu anna muhammadar rasuulullah
artinya : (Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak untuk diibadahi
dengan benar selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.”
Firman Allah
Ta’ala: fa inna ma’al ‘usri yusran, inna ma’al ‘usri yusran artinya : (“Karena
sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah
kesulitan itu ada kemudahan.”) Allah memberitahukan bahwa bersama kesulitan
itu terdapat kemudahan. Kemudian Dia mempertegas berita tersebut. Ibnu
Jarir meriwayatkan dari al-Hasaan, dia berkata: “Nabi saw. Pernah keluar
rumah pada suatu hari dalam keadaan senang dan gembira, dan beliau juga dalam
keadaan tertawa seraya bersabda: “Satu kesulitan itu tidak akan pernah
mengalahkan dua kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan itu terdapat kemudahan.”
Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa kesulitan itu dapat diketahui pada dua keadaan,
dimana kalimatnya dalam bentuk mufrad (tunggal). Sedangkan kemudahan (al-yusr)
dalam bentuk nakirah (tidak ada ketentuannya) sehingga bilangannya bertambah banyak.
Oleh karena itu beliau bersabda: “Satu kesulitan itu tidak akan pernah
mengalahkan dua kemudahan.”
Dalam sebuah
ungkapan : “Tidak jarang musibah itu membuat sempit gerak pemuda, dan pada sisi
Allah jalan keluar diperoleh. Lengkap sudah penderitaan. Dan ketika kepungannya
mendominasi, maka terbukalah jalan, yang sebelumnya dia menduga musibah itu
tiada akhir.”
Firman Allah: fa
idzaa faraghta fangshab. Wa ilaa rabbika farghab artinya : (“Maka
apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan
sungguh-sungguh (urusan) yang lain. Dan hanya kepada Rabb-mu lah
hendaknya kamu berharap.”) maksudnya, jika engkau telah selesai mengurus
berbagai kepentingan dunia dan semua kesibukannya serta telah memutus
semua jarigannya, maka bersungguh-sungguhlah untuk menjalankan ibadah
serta melangkahlah kepadanya dengan penuh semangat, dengan hati yang kosong
lagi tulus, serta niat karena Allah. Dari pengertian ini terdapat sabda
Rasulullah saw. Di dalam hadits yang diserpakati keshahihannya: “Tidak sempurna
shalat seseorang ketika makanan telah dihidangkan dan tidak sempurna pula
shalat dalam keadaan menahan buang air kecil dan besar.” Dan dari Ibnu Mas’ud:
“Jika engkau telah selesai menunaikan berbagai kewajiban, maka
bersungguh-sungguhlah untuk melakukan Qiyamul lain. Dan dalam sebuah riwayat
dari Ibnu Mas’ud: fangshab. Wa ilaa rabbika farghab (“dan kerjakanlah dengan
sungguh-sungguh. Dan hanya kepada Rabb-mu lah hendaknya kamu berharap.”)
setelah selesai dari shalat yang engkau kerjakan sedang engkau masih dalam
keadaan duduk. ‘Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata:
“Jika engkau telah selesai, maka bersungguh-sunguhlah, yakni berdo’alah”.
JADI, QS al-
Insyirah ini disebut juga QS. As- Syarah yang terdiri dari 8 ayat dan termasuk
surah yang yang ke 12 yang diterima Nabi Muhammad saw. dan ini termasuk sebagian
pendapat ulama :
أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ
kata نَشْرَحْ berasal dari
kata شَرَحَحْ yang berarti
melapangkan, memotong atau memutuskan. Dalam bahasa Arab modern تَشْرِيحْ berarti
operasi. Ada ulam’ mengatakan أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ bukankah
kami telah mengoperasikan dadamu Muhammad. Tetapi ini
pendapat yang sangat lemah. Di dalam al-qur’an
kata شَرَحَحْyang diucap berulang ulang berarti
lapang. Yang dilapangkan adalah dada Nabi Muhammad Saw. dada maksudnya adalah
“hati”. Karena semakin lapang dada seseorang semakin banyak menampung ilmu
pengetahuan dan permasalahan.
وَوَضَعْنَا عَنكَ وِزْرَكَ
Dan kamipun telah menurunkan bebanmu
darimu
Kata وَوَضَعْنَا berarti
kami tinggalkan, buang. Kata وِزْرَكَ pada mulanya bisa berarti gunung yang kokoh, berat.
Lalu kata وِزِرْ berubah makna
menjadi sesuatu yang berat. Itu sebabnya seorang hakim dnakan وِزِرْ karena tugas-tugasnya yang berat
serta dosa dikatakan وِزِرْ karena
memberatkan kita diakhirat kelak.
الَّذِي أَنقَضَ ظَهْرَكَ
Yang memberatkan punggungmu
Kata أَنقَضَ berarti memikul beban yang sangat berat. الَّذِي
أَنقَضَ ظَهْرَكَ “kami
tinggalkan beban beratmu dari punggungmu. sesuatu yang sangat berat yang pernah
dipikul oleh rasulullah saw. yaitu keadaan umatnya/ masyarakatnaya yang bejat,
tidak tau Tuhan, penganiayaan dimana-mana, jahiliyahpun dimana-mana. Tuhan
tinggalkan semua itu dengan kedatangan wahyu Ilahi.
وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ
Dan kami tinggikan sebutan namamu
Kata ذِكْرَكَ berarti sebutan namamu. Maksudnya kami tinggikan
sebutan namamu. Ketinggian nama Rasulullah ini terbukti dengan berbagai
penelitian tentang rasulullah saw. walaupun orang itu non muslim selama
penelitiannya obyektif pasti dia mengatakan “ini manusia sangat agung”. Dengan
demikian dari penjelasan bapak Quraish Shihab tentang QS al- Isyirah di atas
bahwa beliau bukan saja menafsirkan juga menkawilkan ayat –ayat al-qur’an
tersebut.
Dalam Video
tersebut M. Quraish Shihab menyimpulkannya menjadi 3 (tiga), yaitu :
a.
Kedudukan Baginda Rasul Muhammad SAW sangatlah tinggi
dan agung di sisi Allah SWT, bahkan paling tinggi dengah makhluk apapun yang
ada di alam semesta ini.
b.
QS. Al-Insyirah atau Alam Nasyrah ini menanamkan
ke-optimisan kepada kita untuk bangkit setelah keterpurukan dan krisis, karena
dalam setiap krisis ada peluang dua kali kenikmatan dan kesuksesan yang
menanti.
c.
Setiap orang di tuntut untuk selalu bekerja dan
berikhtiyar sekuat tenaga, namu ingat bahwa haruslah selalu berharap bahwa
Allah SWT selalu berserta dalam setiap usaha apapun itu. Wallohu a’lam.
Dari slide yang saya baca, tidak jauh beda isinya
dengan isi modul yang telah saya resume, dan berikut saya bahasdan paparkan isi
slide :
1.
Tafsir
Dalam
melakukan penafsiran al Qur’an seorang mufassir
dituntut untuk menjelaskan maksud yang terkandung dari suatu ayat atau
beberapa ayat atau surat di dalam al Qur’an. Maksud dari suatu ayat atau surat
tersebut dapat dipahami dari susunan bahasanya dan lafadzlafadz yang
digunakannya serta seluk beluk yang berhubungan dengan ayat atau surat
tersebut, yaitu; kapan, di mana, ada
peristiwa apa ketika ayat itu turun, berkenaan dengan apa dan siapa, kondisi
masyarakatnya bagaimana, dan bagaimana penjelasan Nabi Saw terhadap ayat
tersebut. Seluk beluk yang dimaksud adalah terkait dengan ulumu al Qur’an,
di dalamnya membahas tentang asbabun nuzul, makiyah dan madaniyah, ilmu qiraat,
nasikh wa mansukh, dst. Adapun syarat-syarat
mufassir, yaitu penguasaan bahasa arab beserta cabang-cabangnya dan penguasaan
terhadap ulumu al Qur’an.
2.
Takwil
Dalam
al Qur’an beberapa kali menggunakan kata takwil dalam menjelaskan maksud dari
sebuah pristiwa atau kisah, misalnya pada kisah Nabi Yusuf as (QS:12;100) dalam
menjelaskan pristiwa tunduknya keluarga dan saudara-saudaranya kepadanya
dinyatakan dengan kalimat haadzaa
takwiilu rukyaaya min qobl qod ja’ala
robbii haqqo (ini adalah takwil mimpiku sebelumnya, sungguh Tuhan telah
menjadikan mimpiku menjadi kenyataan). Demikian juga pada surat al Kahfi (78)
tentang kisah seorang hamba Allah yang diberi ilmu dari sisi-Nya
mengatakan kepada Nabi Musa as dengan
kalimat sa unabbi uka bitakwiili maalam
tastathi’ alaihi sobro (aku akan menjelaskan takwil sesuatu yang engkau
tidak dapat bersikap sabar terhadapnya).
3.
Terjemah
Penerjemahan
dibagi menjadi dua: terjemah lafdziyah
dan terjemah tafsiriyah.
a. Terjemah
lafziyah, yaitu mengalihkan lafaz-lafaz dari satu bahasa ke dalam lafaz- lafaz
yang serupa dari bahasa lain sedemikian rupa sehingga susunan dan tertib bahasa
kedua sesuai dengan susunan dan tertib bahasa pertama.
b. Terjemah
tafsiriyah atau terjemah maknawiyah, yaitu menjelaskan makna pembicaraan dengan
bahasa lain tanpa terikat dengan tertib katakata bahasa asal atau memperhatikan
susunan kalimatnya.
Membaca
terjemah sebuah ayat al Qur’an dapat membantu pembaca untuk memahami maksud
ayat tersebut, namun demikian membaca terjemah saja tanpa memahami seluk beluk
bahasa al Qur’an yakni bahasa arab seringkali menjadikan pemahaman terhadap
ayat tersebut kurang sempurna, atau bahkan dikuatirkan terjadi kesalahpahaman.
Kesalahpahaman terhadap pembacaan terjemah secara umum dapat
disebabkan beberapa hal:
1) Tidak
semua kata dalam suatu bahasa dapat diterjemah
secara tepat atau utuh ke dalam
bahasa lain. Ini dikarenakan setiap
bahasa memiliki batas-batas makna masing-masing. Contoh kata; anta dan anti( mudzakkar
dan muannats) tidak dapat diterjemah secara utuh dengan kata kamu, anda
atau engkau. Demikian juga misalnya kata
insanun dan basyarun tidak dapat secara utuh diwakili oleh terjemah kata
manusia.
2) Keterbatasan
seorang penerjemah dalam melakukan pilihan kata yang tepat dan keterbatasan
penerjemah dalam penguasaan struktur bahasa yang digunakan.
3) Latarbelakang
budaya yang berbeda pada setiap bangsa akan membentuk karakteristik bahasa yang
berbeda, misalnya pada bahasa arab memiliki jumlah
ismiyah dan jumlah fi’liyah.
Pola
memiliki dua jumlah tersebut tidak dimiliki oleh bahasa Indonesia. Karena itu
apabila melihat berbagai kelemahan tersebut di atas, maka dalam penterjemahan
al Qur’an belum dapat dikatakan mampu mewakili seluruh maksud ayat-ayatnya.
4.
Muhkamat
dan Mutasyabihat.
Analisis
pada Qs. Ali Imran ayat 7, dalam ayat Alquran tersebut menimbulkan perbedaan
pemahaman tentang boleh tidaknya takwil atas ayat-ayat mutasyabihaat itu.
Sebagian pendapat menyatakan bahwa semua ayat mutasyabihaat bisa ditakwil
seluruhnya, tetapi sebagian lagi berpendapat bahwa sebagian saja yang boleh
ditakwil itu pun bila memenuhi persyaratan takwil termasuk siapa saja yang
berhak melakukannya.
Pada
ayat yang berbicara tentang dzat Allah yang tercantum pada QS. An-Nuur: ayat 35
yang artinya (Allah adalah cahaya langit
dan bumi) dengan tujuan agar dzat Allah itu bisa diketahui. Pemahaman
seperti ini merupakan takwil yang terlarang, karena tidak sesuai dengan QS.
Asy-Syura: ayat 42 yang artinya (tidak
ada sesuatu apapun yang menyerupainya).
Pada
penerapan takwil terhadap ayat mutasyabihat lainnya yang dilakukan Prof.
Quraish Shihab dalam menafsirkan kata kursi pada Q.S. Al-Baqarah/2: 225. Ia
menakwilkan kalimat kursi Allah meliputi langit dan bumi sebagaimana
Al-Thabathaba’i dalam Tafsir Al - Mizan
menakwilkannya sebagai kedudukan Ilahiyah untuk mengendalikan semua
makhluk-Nya. Luasnya kursi Allah memiliki makna ketakterhinggaan kekuasaan-Nya.
Karena itu makna kursi pada ayat tersebut adalah kedudukan ketuhanan yang
mengendalikan langit dan bumi beserta isinya. Juga mengisyaratkan bahwa semua
benda itu terkontrol dengan baik. Demikian juga makna keluasan yang dimaksud
bahwa pengetahuan Allah meliputi segala sesuatu di langit dan bumi. Wallohu
a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar