Pendekatan normatif yaitu suatu pendekatan yang memandang agama dari segi ajarannya yang pokok dan asli dari
Tuhan yang di dalamnya belum terdapat penalaran pemikiran manusia. Dalam pendekatan teologis
ini agama dilihat sebagai suatu kebenaran
mutlak dari Tuhan, tidak ada kekurangan sedikit pun dan tampak bersikap ideal.
Dalam kaitan ini agama tampil sangat prima dengan seperangkat cirinya yang khas. Untuk agama Islam misalnya, secara
normative pasti benar, menjunjung
nilai-nilai luhur. Untuk bidang social, agama tampil menawarkan nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan, kesetiakawanan, tolong
menolong, tenggang rasa, persamaan derajat dan sebagainya.
Untuk bidang ekonomi agama tampil
menawarkan keadilan, kebersamaan, kejujuran, dan saling menguntungkan.
Untuk bidang ilmu pengetahuan, agama tampil mendorong pemeluknya agar memiliki ilmu
pengetahuan dan teknologi yang setinggi-tingginya,
menguasai keterampilan, keahlian dan sebagainya. Demikian pula untuk bidang kesehatan, lingkungan
hidup, kebudayaan, politik dan sebagainya
agama tampil sangat ideal dan yang dibangun berdasarkan dalildalil yang terdapat dalam ajaran agama yang
bersangkutan.[1]
Sedangkan Khairudin nasution (2010), menerangkan
bahwa pendekatan normatif adalah studi Islam yang memandang masalah dari sudut
legal formal dan atau normatifnya. Maksud legal formal adalah hubungannya
dengan halal-haram, boleh atau tidak,dan sejenisnya. Sementara normatifnya
adalah seluruh ajaran yang terkandung dalam nash.
Dengan demikian pendekatan normatif mempunyai
cakupan yang sangat luas. Sebab seluruh pendekatan yang digunakan oleh ahli
usul fiqih (Usuliyah), ahli hukum Islam (Fuqaha), ahli tafsir (mufassirin) yang
berusaha menggali aspek legal formal dan ajaran Islam dari sumbernya adalah
termasuk pendekatan normatif.[2]
Sisi lain
dengan pendekatan normatif adalah bahwa secara umum ada dua teori yang dapat
digunakan dengan pendekatan normatif-teologis. Pertama, ada hal-hal yang untuk
mengetahui kebenarannya dapat dibuktikan secara empirik dan eksperimental.
Kedua, ada hal-hal yang sulit dibuktikan secara empiris dan eksperimental.
Untuk ha-hal yang dapat dibuktikan secara empirik
biasanya disebut masalah yang berhubungan ra’yi (penalaran). Sedangkan masalah-masalah
yang tidak berhubungan dengan empirik (ghaib) biasanya diusahakan pembuktiannya
dengan mendahulukan kepercayaan.
Hanya saja cukup sulit untuk menentukan hal-hal apa
saja yang masuk klasifikasi empirik dan mana yang tidak terjadi perbedaan pendapat
dikalangan para ahli. Maka sikap yang perlu dilakukan dengan pendekatan
normatif adalah sikap kritis.
Ada beberapa teori
popular yang dapat digunakan dengan pendelatan normatif, disamping teori-teori
yang digunakan oleh para fuqaha’, usuliyin, muhadditin, dan mufassirin,
diantaranya adalah teori teologis-folosofis, yaitu pendekatan memahami
al-Qur’an dengan cara mengintrepretasikannya secara logis-filosofis,yakni
mencari nilai-nilai objektif dari subjektif al-Qur’an.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar