Analisis Journal
Judul : “Axiology in Teacher Education: Implementation and Challenges.”
Edisi : In 4, Issue 2 Ver. III
(Mar-Apr. 2014), PP 51-54
Sumber : www.iosrjournals.org
Penulis :
BABITA TOMAR
Analisator : M A N S U R
NIM. : 15710052
Kampus : PASCASARJANA
UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
“Axiology in Teacher Education:
Implementation and Challenges”
(Aksiologi Dalam Sistem
Pembelajaran: Implementasi Dan Tantangan)
Induk ilmu pengetahuan adalah Filsafat ( the mother of sciences ) yang
mampuh menjawab segala pertanyaan dan permasalahaan. Mulai yang berhubungan
dengan alam semesta hingga masalah manusia dengan segala problematika, terutama
wilayah pendidikan. Dari permasalahan dan problematika tersebut, maka lahirlah
ilmu pengetahuan yang sanggup memberi jawaban terhadap problema-problema
perkembangan metodologi ilmiah yang semakin pesat.
Oleh karena itu lahirlah ilmu
filsafat yang merupakan cabang dari filsafat sebagai pembantu dalam memecahkan
masalah-masalah yang tidak dapat terpecahkan sendiri oleh filsafat, khususnya
dalam diskurs pendidikan. John Dewey, sebagaimana dikutip oleh Bernadib dalam
Jalaluddin seorang filosof Amerika yang menyatakan bahwa filsafat itu adalah
teori umum dari pendidikan, landasan dari semua pemikiran mengenai pendidikan.[1]
Selain dari pemaknaan filsafat ilmu tersebut di atas, juga berfungsi
teoretis, karena senantiasa memberikan ide, konsepsi, analisis, dan berbagai
teori bagi upaya pelaksanaan pendidikan.[2]
Aksiologi sebagai cabang Filsafat mengajarkan nilai-nilai kebenaran,
keindahan, kebaikan, dan religius yaitu nilai-nilai keluhuran hidup manusia.
Nilai-nilai keluhuran hidup manusia dibahas oleh cabang filsafat yang disebut
aksiologi. Aksiologi membahas tentang nilai secara teoretis yang mendasar dan
filsafati, yaitu membahas nilai sampai pada hakikatnya.
Karena aksiologi membahas tentang
nilai. Nilai bukanlah murni pandangan pribadi terbatas pada lingkungan manusia.
Nilai merupakan bagian dari keseluruhan situasi metafisis di alam semesta.
Pengertian nilai apabila dibahas secara filsafati adalah persoalan tentang
hubungan antara manusia sebagai subjek dengan kemampuan akalnya untuk menangkap
pengetahuan tentang kualitas objek objek di sekitarnya. Hal ini diperjelas oleh
Brennan, dalam buku Idzam Fautanu bahwa menyatakan tentang nilai tidak dapat
dikatakan hanya berasal dari dalam diri manusia sendiri, tetapi kesadaran
manusia menangkap sesuatu yang berharga di alam semesta.[3]
Aksiologi Pendidikan bertujuan untuk mewariskan nilai-nilai yang
dipandang penting untuk pembinaan kepribadian seseorang. Implikasi dan nilai nilai
(aksiologi) di dalam pendidikan harus diintegrasikan secara utuh, menyeluruh
dalam kehidupan pendidikan secara praktis dan tidak dapat dipisahkan dengan
nilai-nilai yang meliputi kecerdasan, nilai-nilai ilmiah, nilai moral, dan
nilai agama. Hal ini tersimpul di dalam tujuan pendidikan, yakin membawa
kepribadian secara sempurna. Pengertian sempurna disini ditentukan oleh
masing-masing pribadi, masyarakat, bangsa sesuai situasi dan kondisi.
Jadi, aksiologi merupakan bagian
dari Filsafat yang mengkaji tentang nilai, etika dan moral. Nilai etika dan
moral adalah sangat penting bagi dunia pendidikan, karena menjadi dasar
pengetahuan tentang baik dan buruk dalan masyarakat. Disini peran guru sebagai
pendidik sangat penting untuk mengarahkan pemahaman tentang nilai tersebut bagi
peserta didik.
Masalah yang saat ini terjadi adalah penurunan orientasi nilai
kemanusiaan. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya jumlah korupsi
Materialisme membuat seseorang menjadi indivisualis dan serakah. Akibat lainnya
adalah tingkat kriminalitas tinggi, tawuran, sek bebas, narkoba dan hal negatif
lainnya. Eliot yang menyatakan bahwa dunia ini “A Waste Land” (tanah sampah)
dimana seseorang secara spiritual telah mati ditengah kehidupan yang serba
materialistik.[4]
Pendapat tersebut dapat dibenarkan mengingat kondisi masyaraat yang
semakin individualis materialistis. Maka disinilah peran dunia pendidikan
dipertaruhkan untuk mengembalikan nilai moralitas yang semakin lama semakin
memprihatinkan. Berikut ini beberapa tantangan yang dihadapi oleh dunia
pendidikan saat ini dalam menanamkan nilai aksiologi tersebut, yaitu:
1. Menurunnya
nilai dimulai dari menurunnya nilai dalm keluarga. Orang tua kurang
memperhatikan perkembangan nilai spiritualitas anak-anak mereka, tidak ada
ruang yang cukup berbagi kasih sayang dan berdiskusi tentang ide-ide
(keinginan) anak-anak.
2. Kesalahan
sistem pendidikan. Hari ini pendidikan hanyalah memberikan nilai-nilai
dipermukaan, tidak menyentuh akar kemanusiaan. Pendidikan hanya berorientasi
bisnis bukan nilai nilai etika tetapi hanya pencapaian secara material dan
memenuhi kebutuhan pasar.
3. Tenaga
pendidik yang belum terlatih untuk mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan yang
tertuang dalam stategi pembelanjaran dan kurikulumnya. Guru hanya berpedoman
pada kirikulum yang saklek dan tidak mengembangkan potensi-potensi nilai
spiritual.
4.
Perkembangan teknologi yang semakin tidak
terkendali yang menjadikan perubahan standar hidup dan pencapaian manusia semakin
tinggi dan tak terkendali sehingga pendidik ditntut untuk lebih proaktif
mengontrol peserta didik.
5.
Orientasi politik perkumpulan siswa yang saling
bersaing dan dikhawatirkan menjadi persainan tidak sehat sehingg di takutkan
terjadi benturan fisik dan psikis.
6.
Pengaruh media informasi yang semakin tidak
terkontrol sehingga perilaku masyarakat dalam hal ini peserta didik lebih
mengikuti idola artisnya sehingga segala yang dikerjakan idolanya mereka
(peserta didik) mengikuti walaupun itu negative.
7.
Egoisme kepentingan pribadi yang mengesampingkan
kepentingan sosial (komunal) mereduksi nilai-nilai religiusitas dalam
masyarakat yang berimbas ke dunia pendidikan.
8.
Kurangnya program-program kreatif, beasiswa bagi
guru, beban guru yang besar dalam tugas-tugas sekolah, dan kurangnya
kepengawasan oleh pengawas mata pelajaran maupu pengawas sekolah.
9.
Urbanisasi, artinya perpindahan penduduk dari
desa ke kota bias mempengaruhi pendidikan karena bagi yang sudah punya anak
secara lambat laun akan ikutkan anaknya ke kota sehingga pendidikan anak
menjadi tertinggal bahkan tidak bersekolah dan menjadi anak gelandangan.
10.
Implementasi, artinya penerapan kurikulum yang
masih setengah-setengah, baru berjalan beberapa tahun diganti dengan alas an permaikan dan
perkembangn karena kurikulum sebelumnya belum dilihat hasilnya, eh diganti lagi,
itu masalah.
Berbicaramengenai aksiologi pendidikan yang mengkaji tentang nilai,
etika, dan moral, maka tidak terlepas dengan karakter. Karakter dapat diartikan
sebagai ciri khas yang dimiliki oleh seseorang, selain itu karakter yang
dimiliki oleh seseorang bisa memberikan gambaran tentang kepribadian orang
tersebut.[5]
Demikian pula dengan karakter bangsa, Karakter bangsa yang dimaksudkan adalah
keseluruhan sifat yang mencakup perilaku, kebiasaan, kesukaan, kemampuan,
bakat, potensi, nilai-nilai, dan pola pikir yang dimiliki olehsekelompok
manusia yang mau bersatu, merasa dirinya bersatu, memiliki kesamaan nasib,
asal, keturunan, bahasa, adat dan sejarah bangsa. Adapun nilai-nilai karakter
bangsa yang dimaksud adalah iman, taqwa, berakhlak mulia, berilmu/berkeahlian,
jujur, disiplin, demokratis, adil, bertanggung jawab, cinta tanah air,
orientasi pada keunggulan, gotong-royong, sehat, mandiri, kreatif, menghargai
dan bertutur kata yang baik.[6]
Pendidikan merupakan wahana yang tepat untuk menumbuhkembangkan karakter
bangsa yang baik.Melalui Pendidikan dapat membangun karakter generasi muda
dalam menghadapi era globalisasi. Karena didalam pendidikan ada proses
pembelajaran yang pada akhirnya diharapkan terjadi transformasi yang dapat
menumbuhkembangkan karakter positif, serta mengubah watak dari yang tidak baik
menjadi baik.
Adapun yang dimaksud dengan pendidikan karakter secara terintegrasi di
dalam proses pembelajaran adalah pengenalan nilai-nilai, fasilitasi
diperolehnya kesadaran akan pentingnya nilai-nilai, dan
penginternalisasiannilai-nilai ke dalam tingkah laku peserta didik sehari-hari
melalui proses pembelajaran baik yang berlangsung didalam maupun di luar kelas
pada semua mata pelajaran. Pada dasarnya kegiatan pembelajaran, selain untuk
menjadikan peserta didik menguasai kompetensi (materi) yang ditargetkan, juga
dirancang dan dilakukan untuk menjadikan peserta didik mengenal,
menyadari/peduli, dan menginternalisasi nilai-nilai dan menjadikannya perilaku.
Dalam struktur kurikulum, ada dua mata pelajaran yang terkait langsung
dengan pengembangan budi pekerti dan akhlak mulia, yaitu pendidikan Agama dan
PKn. Kedua mata pelajaran tersebut merupakan mata pelajaran yang secara
langsung (eksplisit) mengenalkan nilai-nilai, dan sampai taraf tertentu
menjadikan peserta didik peduli dan menginternalisasi nilai-nilai(aksiologi). Apabila
semua nilai tersebut harus ditanamkan dengan intensitas yang sama pada semua
mata pelajaran, penanaman nilai menjadi sangat berat.
Oleh karena itu perlu dipilih sejumlah nilai utama sebagai pangkal tolak
bagi penanaman nilai-nilai lainnya. Selain itu, untuk membantu fokus penanaman
nilai-nilai utama tersebut, nilai-nilai tersebut perlu dipilah-pilah atau
dikelompokkan untuk kemudian diintegrasikan pada mata pelajaran-mata pelajaran
yang paling cocok. Berikut ini penulis member contoh distribusi nilai-nilai
utama kedalam mata pelajaran;.
Nomor
|
Mata Pelajaran
|
Nilai Utama
|
1
|
Pendidikan
Agama
|
Religius, jujur, santun, disiplin,
bertanggung jawab, cinta ilmu, ingin tahu, percaya diri, menghargai
keberagaman, patuh pada aturan social, bergaya hidup sehat, sadar akan hak
dan kewajiban, kerja keras, peduli
|
2
|
PKn
|
Nasionalis, patuh pada aturan
sosial, demokratis, jujur, menghargai keragaman, sadar akan hak dan kewajiban
diri dan orang lain
|
3
|
Bahasa
Indonesia
|
Berfikir logis, kritis, kreatif dan
inovatif, percaya diri, bertanggung jawab, ingin tahu, santun, nasionalis
|
4
|
IPS
|
Nasionalis, menghargai keberagaman,
Berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif, peduli social dan lingkungan,
berjiwa wirausaha, jujur, kerja keras
|
5
|
IPA
|
Ingintahu, berpikir logis, kritis,
kreatif, dan inovatif, jujur, bergaya hidup sehat, percaya diri, menghargai
keberagaman, disiplin, mandiri, bertanggung jawab, peduli lingkungan, cinta
ilmu
|
6
|
Bahasa Inggris
|
Menghargai keberagaman, santun,
percaya diri, mandiri, bekerjasama, patuh pada aturan sosial
|
7
|
Seni Budaya
|
Menghargai keberagaman, nasionalis,
dan menghargai karya orang lain, ingin tahu, jujur, disiplin, demokratis
|
8
|
Penjasorkes
|
Bergaya hidup sehat, kerja keras,
disiplin, jujur, percaya diri, mandiri, menghargai karya dan prestasi orang
lain
|
9
|
TIK/Keterampilan
|
Berpikir logis, kritis, kreatif,
dan inovatif, mandiri, bertanggung jawab, dan menghargai karya orang lain
|
10
|
Muatan Lokal
|
Menghargai keberagaman, menghargai
karya orang lain, nasionalis, peduli
|
Dari
paparan nilai utama dalam penerapannya pada mata pelajaran dari table tadi maka
membutuhkan penyelenggaraan yang matang sehingga nilai-nilai tersebut bisa terwujud
dengan maksimal. Penyelenggaraan pendidikan akan bermakna bagi pembangunan
peradaban yang bermartabat, ini akan terwujud apabila:
1.
Fungsi pendidikan pada setiap jenjang secara berjenjang digariskan secara
berkesinambungan dari Pendidikan Usia Dini sampai Perguruan Tinggi menuju
lahirnya generasi muda pada semua Strata dan bidang kehidupan yang memiliki
kemampuan dan karakter yang unggul sesuai dengan bakat, minat, dan
kemampuannya.
2. Struktur dan materi kurikulum dirancang sehingga
memungkinkan peserta didik mengembangkan potensinyasecara optimal sesuai dengan
bakat, minat, dan kemampuannya.
3.
Diterapkan model pembelajaran yang menantang, merangsang, dan menyenangkan
sehingga peserta didik dapat mengembangkan potensi dirinya denganmenerapkan empat
pilar belajar
4. Diterapkan system evaluasi yang relevan dalam upaya
menjadikan pendidikan sebagai proses pembudayaan, yaitu system evaluasi yang
komprehensif, terus menerus, dan obyektif sehingga bermakna sebagai “hidden
curriculum”
Keempat hal tersebut dapat terlaksana bila didukung oleh sumber daya
pendidikan yang memadai. Membangun karakter bangsa bukan hanya tugas generasi
muda, untuk itu perlu kedisiplinan tinggi bagi seluruh komponen bangsa dengan
upaya menyiapkan kondisi, sarana/prasarana, kegiatan, pendidikan, dan kurikulum
yang mengarah kepada pembentukan watak dan budi pekerti generasi muda bangsa.
Membangun karakter bangsa melalui pendidikan diharapkan menjadi
kegiatan-kegiatan diskusi, dan penampilan berbagai kegiatan sekolah untuk itu
pendidik diharapkan lebih aktif dalam pembelajarannya. Lingkungan sekolah yang
kondusif membantu membangun karakter pelajar. Untuk itu benahi lingkungan
sekolah agar menjadi lingkungan yang positif bagi perkembangan karakter peserta
didik.
DAFTA
RUJUKAN
Fautanu, Idzam., Filsafat Ilmu: Aplikasi dan Teori,
Jakarta: Refensi, 2012.
Jalaluddin., Filsafat Pendidikan Islam Telaah Sejarah dan
Pemikirannya, Jakarta: Kalam Mulia, 2012.
Rohinah, M. Noor., Pendidikan Karakter Berbasis Sastara Solusi
Pendidikan Moral yang Efektif, Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2011.
Suharto, Toto., Filsafat Pendidikan Islam, Yogyjakarta:
Ar-Ruzz Media, 2011.
[1] Jalaluddin, Filsafat Pendidikan Islam Telaah Sejarah dan
Pemikirannya, (Jakarta: Kalam Mulia, 2012), hlm. 42
[2] Suharto,
Toto, Filsafat Pendidikan Islam,
(Yogyjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 46
[3] Fautanu,
Idzam, Filsafat Ilmu: Aplikasi dan
Teori, (Jakarta: Refensi, 2012), hlm.102
[4] Jalaluddin, Filsafat Pendidikan Islam Telaah Sejarah dan
Pemikirannya, (Jakarta: Kalam Mulia, 2012), hlm. 89
[5] Rohinah, M. Noor., Pendidikan
Karakter Berbasis Sastara Solusi Pendidikan Moral yang Efektif,
(Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2011). Hlm. 7
[6] Rohinah, M. Noor., Pendidikan
Karakter Berbasis Sastara Solusi Pendidikan Moral yang Efektif,
(Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2011). Hlm. 9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar