BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dua persoalan besar yang dihadapi bangsa
Indonesia. Pertama, secara internal, bangsa Indonesia mengahadapi krisis
multidimensional, persatuan bangsa yang merenggang, demokratisasi pada semua
aspek kehidupan, desentralisasi manajemen pemerintahan, dan kualitas pendidikan
belum menunjukkan kemampuan kompetitif. Kedua, secara eksternal, bangsa
Indonesia menghadapi tantangan pasar global, kemajuan teknologi yang menuntut
pendidikan kompetitif dan inovatif, dan networking tanpa batas.
Agar bangsa
Indonesia dapat survival, bahkan dapat tampil secara berarti dalam percaturan
di tengah-tengah masyarakat dunia, kondisi tersebut di atas tidak harus
dihindari, melainkan wajib dihadapi dengan semangat dan kemampuan yang tinggi
oleh setiap warga dan segenap bangsa Indonesia. Upaya yang sangat strategi
untuk menghadapinya adalah memantapkan sistem pendidikan nasional, dan menjamin
terselenggaranya pendidikan nasional yang bertanggung jawab. Jika upaya
pembenahan sistem pendidikan nasional dapat dilakukan secara sungguh-sungguh,
maka diharapkan bangsa Indonesia mampu mengangkat martabat bangsa dan negara.
Pendidikan merupakan komponen yang memiliki peranan
yang strategis bagi bangsa Indonesia
untuk dapat survive dalam persaingan dunia. Out put dan out come dari
dunia pendidikan sangat diharapkan dapat mewujudkan tujuan pendidikan Nasional.
Salah satu tujuan Bangsa Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 pada
alinia keempat adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Untuk mewujudkan hal
tersebut dibutuhkan usaha yang terencana dan terprogram dengan jelas dalam
agenda pemerintah yang berupa penyelenggaraan pendidikan.
Tujuan pendidikan Negara Indonesia yang tertuang dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan
dirinya masyarakat bangsa dan negara[1]
Dunia pendidikan – termasuk
pendidikan Islam- merupakan salah satu bidang yang tidak dapat melepaskan diri
dari tantangan ini. Dengan semakin banyaknya lembaga pendidikan dan semakin
beragamnya program yang ditawarkan, para pengelola pendidikan Islam dituntut
untuk dapat berpacu dan berkompetisi secara fair memperebutkan pasar pendidikan
yang semakin luas
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa pengertian
lembaga pendidikan Islam ?
2.
Apa saja
masalah yang terjadi pada genarasi sekarang?
3.
Bagaimana arah
kebijakan Pendidikan ?
4.
Bagaimana arah
kebijakan Pendidikan Islam?
5.
Bagaimana
Penetapan arah dan tujuan lembaga pendidikan Islam?
6.
Bagaimana
Strategi lembaga Pendidikan Islam?
C.
TUJUAN
PEMBAHASAN
1.
Pengertian lembaga
pendidikan Islam
2.
Masalah-masalah
kekinian
3.
Arah kebijakan
pendidikan
4.
Arah kebijakan
Pendidikan Islam
5.
Penetapan Arah
dan Tujuan lembaga pendidikan Islam
6.
Strategi
Lembaga Pendidikan Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
Lembaga menurut kamus besar bahasa Indonesia
adalah bakal dari sesuatu, asal mula yang akan menjadi sesuatu, bakal, bentuk,
wujud, rupa, acuan, ikatan, badan atau organisasi yang mempunyai tujuan jelas
terutama dalam bidang keilmuan.[2]
Menurut ensiklopedi Indonesia, lembaga
pendidikan yaitu suatu wadah pendidikan yang dikelola demi mencapai hasil
pendidikan yang diinginkan.Badan pendidikan sesungguhnya termasuk pula dalam
alat-alat pendidikan, jadi badan/ lembaga pendidikan yaitu organisasi atau
kelompok manusia yang karena sesuatu dan lain hal memikul tanggung jawab atas
terlaksananya pendidikan agar proses pendidikan dapat berjalan dengan wajar.
Secara terminology lembaga pendidikan Islam
adalah suatu wadah, atau tempat berlangsungnya proses pendidikan Islam, lembaga
pendidikan itu mengandung konkirit berupa sarana dan prasarana dan juga
pengertian yang abstrak, dengan adanya norma- norma dan peraturan- peraturan
tertentu, serta penanggung jawab pendidikan itu sendiri.
Lembaga pendidikan Islam ialah suatu bentuk
organisasi yang diadakan untuk mengembangkan lembaga-lembaga Islam yang baik,
yang permanen, maupun yang berubah-ubah dan mempunyai struktur tersendiri yang
dapat mengikat individu yang berad adalam naungannya,
sehingga lembaga ini mempunyai kekuatan hokum tersendiri.[3]
Lembaga pendidikan Islam
di Indonesia antara lain: raudhatul athfal atau bustanul athfal, madrasah ibtidaiyah
atau sekolah dasar Islam, madrasah tsanawiyah, sekolah menengah pertama Islam,
madrasah aliyah, pesantren dan berbagai sekolah lainnnya yang setingkat.[4]
B.
MASALAH-MASALAH KEKINIAN
Thomas Lickona seorang profesor pendidikan dari
Cortland University, mengungkapkan bahwa ada sepuluh tanda jaman yang harus
diwaspadai. Jika tanda ini smuncul, berarti sebuah bangsa sedang menuju
kehancuran. Tanda-tanda dimaksud ialah (1) meningkatnya kekerasan di kalangan
remaja, (2) penggunaan bahasa dan kata-kata yang buruk, (3) pengaruh peer-group
yang kuat dalam tindak kekerasan, (4) meningkatnya perilaku merusak diri,
seperti penggunaan narkoba, alkohol, dan seks bebas, (5) semakin kaburnya
pedoman moral baik dan buruk, (6) menurunnya etos kerja, (7) semakin rendahnya
rasa hormat kepada orang tua dan guru, (8) rendahnya rasa tanggung jawab
individu dan warga negara, (9) membudayanya ketidakjujuran, dan (10) adanya
rasa saling curiga dan kebencian di antara sesama. [5]
Ternyata kesepuluh tanda tersebut telah ada dan
dapat dilihat dengan kasat mata pada berbagai tataran kehidupan secara
nasional, termasuk perguruan tinggi. Dewasa ini kesepuluh tanda zaman di atas
telah muncul dengan intensitas yang bervariasi, terutama setelah terjadinya
krisis multidimensional pada penghujung tahun 1997. Maka kata-kata yang tidak
santun, kebebasan berbicara yang tidak proporsional, dan anarkisme yang berlebihan
merupakan gejala yang menonjol di masyarakat. Mereka menjadikan era reformasi,
demokrasi, dan kebebasan sebagai pembenaran atas aneka perilakunya itu. Maka
muncullah berbagai kritik, pandangan, dan saran untuk mengatasi persoalan di
atas yang dikemukakan oleh para birokrat, pendidik, dan ulama. Mereka
mengemukakan sejumlah kritik terhadap sistem pendidikan, terutama pendidikan
agama dan budi pekerti. Kritik mereka difokuskan pada masalah kurikulum,
kualifikasi guru, sarana dan prasarana, manajemen, dan anggaran pendidikan.
Pemerintah merespon kritik dan saran di atas secara sistematis melalui
penetapan Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
yang merupakan dasar hukum dalam penyelenggaraan dan reformasi sistem pendidikan.
Undang-undang ini tidak lagi membedakan antara pendidikan yang dikelola
Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama. Kedua lembaga ini secara
bersama-sama, terkoordinasi, dan sinkron melakukan tiga hal pokok: (a)
mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang
bermutu, (b) meningkatkan mutu pendidikan dengan segala aspeknya, dan (c)
meningkatkan relevansi pendidikan dengan kebutuhan masyarakat. Untuk mendukung
upaya di atas, pemerintah mengalokasikan dana sebesar 20 % dari jumlah total
APBN. Lalu, apakah upaya di atas mampu meningkatkan kualitas pendidikan di
Indonesia secara signifikan? Apakah kebijakan dan program pemerintah di bidang
pendidikan mampu mereduksi dan meminimalkan ekses dan dampak negatif dari
euforia reformasi? Apakah lembaga-lembaga pendidikan Islam mampu memperbaiki
dan meningkatkan moral bangsa? Untuk itu kita memerlukan arah kebijakan yang
jelas dalam mengelola lembaga. Tujuan dan arah lembaga pendidikan Islam harus
jelas agar dapat mereduksi akses negative dari euphoria reformasi yang
kebablasan.
C.
ARAH KEBIJAKAN PENDIDIKAN
Untuk dapat mengatasi masalah bangsa ini yang
sudah dapat dilihat dengan kasat mata, sehingga kita dapat menegakkan kepala
kepada Negara luar, bahwa kita yang memiliki pendidikan yang bagus diperlukan
arah tujuan dalam dunia pendidikan kita, diantaranya:
1.
Pemberdayaan Lembaga Pendidikan. Kebijakan pendidikan nasional pada semua
jenjang baik kini maupun ke depan terutama telah diarahkan kepada pemberdayaan
lembaga pendidikan, sehingga memiliki otonomi yang tinggi dalam menghadapi
setiap persoalan yang dihadapi. Pemberdayaan lembaga pendidikan ini lebih
didasarkan pada pemberian trust kepada lembaga untuk mengelola dirinya sendiri
secara bertanggung jawab.
2. Desentralisasi Pendidikan Keragaman yang
dimiliki oleh lembaga pendidikan baik dilihat dari jenis dan jenjangnya
tidaklah relevan lagi jika semua pengelolaan pendidikan disentralkan,
sebagaimana pada era-era sebelumnya. Desentralisasi pendidikan diharapkan dapat
mewujudkan setiap program dan pelaksanaannya sesuai dengan kondisi
masing-masing, sehingga dapat dijamin efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan
pendidikan.
3.
Akuntabilitas Pendidikan. Institusi dan sumber daya pendidikan dalam
menunjukkan kegiatannya sering kali lepas dari tanggung jawabnya. Untuk dapat
lebih dipertanggungjawabkan kepada public, maka setiap institusi seharusnya
mampu menunjukkan kinerjanya secara bertanggung jawab sebagaimana amanat yang
telah diberikan. Kegiatan pendidikan tidak hanya menghabiskan biaya yang telah
disepakati, namun sejauh mana dapat diwujudkan dalam kegiatan yang bermakna.
4. Relevansi Pendidikan
Program
pendidikan dan kurikulum telah dilakukan perbaikan secara terus menerus yang
diharapkan dapat menyiapkan lulusan memiliki kesiapan dalam menghadapi
tantangan pada jamannya. Namun lepas dari itu tetap berbagai kegiatan yang
diciptakan perlu dirahkan juga untuk membekali peserta didik dalam menghadapi
kebutuhan dalam hidupnya.
5.
Pemberdayaan Masyarakat
Masyarakat
merupakan stakeholder utama dalam proses pendidikan. Oleh karena di samping
pemerintah memenuhi tanggung jawabnya untuk mendukung terjadinya proses
pendidikan, masyarakat perlu diberdayakan untuk berpartisipasi, baik secara
finansial maupun substantive, sehingga mereka ikut memiliki tanggung jawab
dalam mengawal proses pendidikan yang ada di sekitarnya.
D.
ARAH KEBIJAKAN
PENDIDIKAN ISLAM
Arah kebijakan Pendidikan Islam mengacu pada
arah kebijakan Kementerian Agama Bidang Pendidikan 2015-2019 adalah:
- Meningkatkan akses dan mutu pendidikan anak usia dini (PAUD) diarahkan pada upaya:
- Peningkatan dana operasional sekolah berupa BOS untuk RA;
- Penyediaan ruang kelas pendidikan RA yang berkualitas;
- Penyediaan peralatan dan perlengkapan pendidikan RA yang berkualitas; dan
- Pengembangan kurikulum yang disertai dengan pelatihan, pendampingan dan penyediaan buku pendidikan yang berkualitas sesuai kurikulum pendidikan anak usia dini yang berlaku.
- Meningkatkan akses dan mutu pendidikan dasar-menengah (wajib belajar 12 tahun) yang meliputi:
- Memperluas akses masyarakat untuk mendapatkan layanan pendidikan.
- Meningkatkan penyediaan sarana prasarana pendidikan yang berkualitas.
- Meningkatkan mutu peserta didik.
- Meningkatkan jaminan mutu kelembagaan pendidikan.
- Meningkatkan kurikulum dan pelaksanaannya.
- Meningkatkan kualitas guru dan tenaga kependidikan.
- Meningkatkan akses, mutu dan relevansi pendidikan tinggi keagamaan meliputi:
- Meningkatkan akses pendidikan tinggi keagamaan.
- Meningkatkan kualitas layanan pendidikan tinggi keagamaan.
- Meningkatkan mutu dosen dan tenaga kependidikan perguruan tinggi keagamaan.
- Meningkatkan kualitas hasil penelitian/riset dan inovasi perguruan tinggi keagamaan.
- Meningkatkan layanan pendidikan keagamaan yang berkualitas meliputi:
- Peningkatan akses pendidikan keagamaan.
- Peningkatan mutu sarana prasarana pendidikan keagamaan.
- Peningkatan mutu peserta didik pendidikan keagamaan.
- Peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan keagamaan.
- Peningkatan penjaminan mutu kelembagaan pendidikan keagamaan.
- Peningkatan kualitas pembelajaran keagamaan yang moderat pada pendidikan keagamaan.
- Meningkatkan kualitas pendidikan agama pada satuan pendidikan umum untuk memperkuat pemahaman dan pengamalan untuk membina akhlak mulia dan budi pekerti luhur meliputi:
- Peningkatan mutu dan pemerataan guru pendidikan agama.
- Peningkatkan mutu dan pemahaman siswa terhadap pendidikan agama.
- Peningkatan mutu kelembagaan pendidikan agama.
- Meningkatkan tata kelola pendidikan agama diarahkan pada upaya:
- Penguatan struktur dan tata organisasi pengelola pendidikan dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan pada semua jenis, jenjang dan jalur pendidikan;
- Penguatan lembaga penelitian kebijakan pendidikan dan jaringannya agar dapat menghasilkan kajian-kajian kebijakan dalam pengembangan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembangunan pendidikan yang inovatif;
- Penguatan penyusunan dan penyelarasan peraturan yang menjadi dasar penyelenggaraan pendidikan yang merata, berkeadilan dan bermutu;
- Penguatan sistem informasi pendidikan melalui penguatan kelembagaan dan kapasitas pengelola sistem informasi;
- Peningkatan komitmen pengembil kebijakan dalam penyediaan data dan informasi pendidikan sehingga pengumpulan data dan informasi dapat dilakukan dengan lebih baik;
- Penyelarasan peraturan yang memungkinkan pemanfaatan sumberdaya keuangan untuk pembiayaan semua jenis satuan pendidikan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah;
- Penguatan kapasitas pengelola pendidikan untuk dapat berperan secara maksimal dalam pengelolaan satuan pendidikan secara transparan dan akuntabel; dan
- Peningkatan partisipasi seluruh pemangku kepentingan pembangunan pendidikan untuk memperbaiki efektivitas dan akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan di tingkat satuan pendidikan dalam memberikan dukungan bagi satuan pendidikan untuk pelayanan pendidikan.[6]
E.
PENETAPAN ARAH
DAN TUJUAN PENDIDIKAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
1.
Pentingnya
Penetapan Arah dan tujuan Pendidikan
Dalam UU no. 20 Tahun 2003 tentang tujuan
pendidikan nasional terdapat pada pasal 3 menyebutkan Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi Marusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab. [7]
Sekolah sebagai salah
satu lembaga pendidikan yang diberikan tugas untuk mewujudkan tujuan pendidikan
nasional harus menjalankan perannya dengan baik. Dalam menjalankan peran
sebagai lembaga pendidikan ini, sekolah harus dikelola dengan baik agar dapat
mewujudkan tujuan pendidikan yang telah dirumuskan dengan optimal.[8]
Pengelolaan sekolah
secara tidak profesional dapat menghambat langkah sekolah dalam menjalankan
fungsinya sebagai lembaga pendidikan formal, dibutuhkan rencana strategis
sebagai suatu upaya atau cara untuk mengendalikan sekolah secara efektif dan
efisien. Komponen dalam perencanaan strategis paling tidak terdiri dari visi,
misi, tujuan, sasaran dan strategi (cara mencapai tujuan dan sasaran).
Perumusan terhadap visi, misi, tujuan, sasaran dan strategi tersebut harus
dilakukan pengelola sekolah, agar sekolah memiliki arah kebijakan yang dapat
menunjang tercapainya tujuan yang diharapkan.
2. Hakikat Perencanaan
Perencanaan atau
planning dapat didefinisikan sebagai keseluruhan proses pemikiran dan penentuan
secara matang daripada hal-hal yang akan dikerjakan dimasa yang akan datang
dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditentukan.
Anderson dan Bowman
dalam bukunya Teoritical Consideration in Educational Planning seperti dikutip
oleh Ahmad Rohani dan Abu Ahmadi,
berpendapat : “perencanaan / Rancangan
adalah Proses mempersiapkan seperangkat putusan bagi perbuatan dimasa datang”.
Perencanaan menjadi fungsi organic pertama karena merupakan dasar dan titik
tolak dari kegiatan pelaksanaan selanjutnya. Alasannya bahwa tanpa adanya
rencana, maka tidak ada dasar untuk melaksanakan kegiatan kegiatan tertentu
dalam rangka usaha pencapaian tujuan.
Perencanaan Penetapan
tujuan, arah dan Strategi lembaga pendidikan
Islam merupakan hal penting bagi sebuah lembaga khususnya lembaga
pendidikan Islam untuk menghadapi tantangan era globalisasi dalam hal
meningkatkan kualitas out put dan out come sebuah lembaga pendidikan.
Penetapan tujuaan, arah
dan strategi pendidikan dapat di artikan sebagai” proses penyusunan langkah-langkah
kegiatan menyeluruh secara sistematis, rasional dan berjangka panjang dalam hal
ini diwujudkan melalui visi, misi dan
prinsip tertentu untuk memenuhi kebutuhan mendasar dan menyeluruh para
pelanggan dalam hal ini adalah peserta didik.”
Perencanaan merupakan
bagian penting dari sebuah kesuksesan. Tak dapat dibayangkan jika seseorang
berhasil tanpa perencanaan. Pun seandainya berhasil maka keberhasilan yang
diperoleh mungkin bersifat semu. Dalam bidang manajemen, setiap ahli menejemen
menempatkan perencanaan sebagai aktifitas pertama kegiatan. Sebelum menejer
melakukan kegiatan pengkoordinasian, kepemimpinan, evaluasi dan lainnya, ia
terlebih dahulu harus membuat rencana yang menggariskan tujuan, arah kepada
organisasi, menentukan apa yang akan dan kapan dikerjakan, bagaimana mengerjakannya,
dan siapa yang akan mengerjakannya. Ini menandakan bahwa perencanaan menduduki
posisi strategis.[9]
F. Strategi Lembaga Pendidikan Islam
Webster’s New
Word Dictionary mendefinisikan strategi sebagai “science of planning and
directing large scale military operation skill in managing or planning”. Yaitu
strategi merupakan suatu ilmu tentang perencanaan dan pengarahan keterampilan
operasi militer pada skala besar dalam mengatur dan merencanakan. Khususnya
digunakan oleh militer, atau dalam bahasa yunani disebut Strateagem, yang
berarti memimpin tentara.[10]
Strategi berasal dari bahasa Yunani stratogos
yang artinya ilmu para jenderal untuk memenangkan suatu pertempuran dengan
menggunakan sumber daya yang terbatas[11]. Pengertian
atau defenisi Manajemen strategi dalam khasanah literatur ilmu manajemen
memiliki cakupan yang luas, dan tidak ada suatu pengertian yang dianggap baku.
Itulah sebabnya defenisi manajemen strategi berkembang luas tergantung
pemahaman ataupun penafsiran seseorang.
Manajemen strategis adalah seni dan ilmu
penyusunan, penerapan, dan pengevaluasian keputusan-keputusan lintas fungsional
yang dapat memungkinkan suatu perusahaan mencapat sasarannya.[12]
Manajemen strategis adalah proses penetapan tujuan organisasi, pengembangan
kebijakan dan perencanaan untuk mencapai sasaran tersebut, serta mengalokasikan
sumber daya untuk menerapkan kebijakan dan merencanakan pencapaian tujuan
organisasi. Manajemen strategis mengkombinasikan aktivitas-aktivitas dari berbagai
bagian fungsional suatu bisnis untuk mencapai tujuan organisasi.
Berdasarkan beberapa pandangan di atas, maka strategi pengembangan
lembaga pendidikan Islam harus tetap mengacu pada target serta tujuan dan
nilai-nilai kependidikan Islam yang sedang berkembang. Di satu pihak pendidikan
Islam tidak boleh apriori terhadap trend pendidikan yang dibawa oleh proses
globalisasi, tetapi di pihak lain pendidikan Islam harus tetap tegar dengan
karakteristik khas yang dimilikinya sebagai bumper kehidupan masyarakat dari
persoalan-persoalan moral dan spiritual. Untuk mewujudkan hal itu, penulis
menawarkan empat jenis strategi sebagaimana dikemukakan oleh Sirozi yaitu strategi
substantive, bottom-up,deregulatory,dancooperative.
Pertama, strategi substantive. Lembaga-lembaga pendidikan Islam dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi perlu menyajikan program-program yang komprehensif. Dilihat dari metode penyajiannya, program-program tersebut harus menyentuh tiga aspek pembelajaran sebagaimana diperkenalkan oleh Bloom dalam Nurhadi dkk, yaitu aspek kognitif (pemahaman), afektif (penerimaan atau sikap) dan psikomotor (pengalaman atau keterampilan). Jika mengacu pada konsep dasar pendidikan yang diperkenalkan oleh UNESCO, proses pembelajaran di lembaga-lembaga pendidikan Islam sekurang-kurangnya harus dapat membantu pelajar untuk memiliki lima (5) kemampuan, yaitu to know (meraih pengetahuan), to do (berbuat sesuatu), to be (menjadi diri sendiri), to live together (hidup berdampingan) dan to know God’s creation (mengenal ciptaan Tuhan) . Bila semua aspek dan kemampuan ini disajikan secara terpadu, maka para lulusan lembaga pendidikan Islam diharapkan memiliki keseimbangan antara kualitas ilmu/intelektual, iman dan amal/akhlak. Dilihat dari materi yang disajikan, program-program di lembaga pendidikan Islam perlu diorientasikan pada aktivitas pengakajian dan pengembangan berbagai disiplin ilmu keislaman dengan mengacu pada potensi, kebutuhan dan cita-cita pelajar serta mengacu pada kebutuhan aktul masyarakat dunia yang mencintai pendidikan.
Kedua, strategi bottom-up. Lembaga-lembaga pendidikan Islam harus tumbuh dari bawah. Konsep dan desain program serta struktur kelembagaan pendidikan Islam harus disesuaikan dengan potensi, situasi dan struktur masyarakat, tidak boleh dicekoki dari “atas”. Proses perencanaan, pengelolaan dan pengembangan lembaga-lembaga pendidikan Islam harus melibatkan masyarakat luas dan mengacu pada situasi, potensi dan kebutuhan riil kehidupan masyarakat. Strategi ini diperlukan agar lembaga-lembaga pendidikan Islam tidak terkesan milik suatu rezim pengelolanya sehingga tidak akan terjadi lagi suatu program strategis tertentu akan dihapus begitu saja hanya karena ketidak senangan kita terhadap pengelola dan birokrat lembaga yang sebelumnya, sekedar untuk menghilangkan jejak dan karakter seseorang. Seluruh komponen lembaga pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya perlu dilibatkan agar memiliki concern (kepedulian), sense of belonging (rasa memiliki) dan sense of responsibility (rasa turut bertanggung jawab) terhadap keberadaan lembaga pendidikan Islam beserta program-programnya. Dengan cara ini maka lembaga-lembaga pendidikan Islam tidak akan dianggap barang asing atau barang antik oleh masyarakat di sekitarnya karena keberadaannya akan benar-benar mengakar dalam masyarakat.
Sebagai bagian integral dari penerapan strategi bottom-up, lembaga pendidikan Islam perlu secara sungguh-sungguh berupaya mengembangkan konsep community based education (pendidikan berbasis masyarakat) serta mempercepat proses pembentukan dan pemberdayaan komite sekolah atau majelis madrasah atau POM (persatuan orangtua mahasiswa). Lembaga-lembaga pendukung ini, perlu dibentuk melalui cara-cara yang demokratis, agar benar-benar menjadi badan independen dan fungsional, bukan sekedar perpanjangan tangan pimpinan lembaga pendidikan.
Ketiga, strategi deregulatory. Lembaga-lembaga pendidikan Islam sedapat mungkin tidak terlalu terikat pada ketentuan-ketentuan baku dan kaku yang terlalu sentralistik dan mengikat. Agar tidak terkesan liar atau anarkis, diperlukan kebijakan khusus dari jajaran Departemen Agama atau pemerintah daerah setempat, agar lembaga-lembaga pendidikan Islam bebas berkreasi dan berimprovisasi, sehingga dapat mengembangkan program-program yang sesuai dengan sifat-sifat khusus yang dimilikinya. Kebebabasan ini diperlukan untuk menjadikan lembaga-lembaga pendidikan islam sebagai lembaga-lembaga pendidikan alternatif. Yaitu lembaga pendidikan yang bukan pengekor, tetapi lembaga-lembaga pendidikan pelopor yang memiliki karakteristik dan keunggulan tersendiri. Pertanyaannya kemudian adalah; siapkah lembaga-lembaga pendidikan Islam saat ini untuk otonom dan berkreasi sendiri seperti itu?, sepertinya kesiapan sumber daya yang ada pada masing-masing lembaga pendidikan Islam tersebut mengharuskan kita belum bisa optimis.
Contoh kecil, Salah satu kebijakan pemerintah pusat saat ini adalah menyerahkan sebagian besar urusan disain dan pengembangan kurikulum kepada daerah dan masing-masing lembaga pendidikan Islam termasuk pendidikan tinggi agama. Namun yang terjadi kemudian adalah lembaga-lembaga tersebut menanti dan menunggu datangnya kurikulum yang sudah final dan sudah jadi padahal pemerintah pusat tidak akan melakukan hal itu sehingga yang terjadi kemudian adalah masing-masing lembaga pendidikan tetap status quo dengan pola kurikulum lamanya dan yang lebih diperparah lagi materi dan matakuliah dipertahankan oleh pengajar yang bersangkutan walaupun materinya tumpang tindih dan berulang pada kajian yang lain atau mungkin materinya sudah out of date, tetapi karena egoisme pengelola dan pengajar yang bersangkutan sehingga harus dipertahankan hanya karena kehilangan mata kuliah dan tidak punya kompetensi untuk mengajarkan materi dan matakuliah yang lain.
Seharusnya kebijakan pemerintah pusat tersebut ditangkap sebagai peluang untuk menyesuaikan materi pembelajaran dan strategi pendekatannya serta pengembangan berbagai sumber belajar sesuai dengan kondisi riil lingkungan masyarakat setempat. Dengan demikian maka lembaga pendidikan tersebut tidak akan menjadi beban kontekstual dan sebaliknya dapat lebih marketable. Dalam pengelolaan dan pengembangan lembaga-lembaga pendidikan Islam diperlukan standar kualitas. Standar kualitas setiap mata pelajaran/mata kuliah, program studi/jursan sehingga paradigma pasti lulus dalam ujian dapat dihindari. Demikian pula dengan standar kualitas tenaga pengajar dan pengelolaan organisasi kelembagaan. Dengan penetapan standar kualitas seperti ini akan memudahkan kita untuk mengetahui dan mengukur/menilai apakah usaha yang kita lakukan telah berhasil atau belum, sudah memenuhi standar yang telah ditetapkan atau belum, kalau belum, apa yang harus dilakukan untuk memenuhi standar dan memperbaiki kinerja?
Keempat, strategi cooperative. Lembaga-lembaga pendidikan Islam harus dikelola dengan suatu sistem manajemen profesional yang mampu merangkul dan memanfaatkan semua potensi dan sumber daya yang ada, bukan sebaliknya mengekang dan membungkam dengan berbagai cara, potensi dan sumber daya tersebut. Sudah saatnya para pemimpin lembaga pendidikan Islam tidak lagi berpikir bahwa hanya mereka yang dapat mengelola dan memajukan lembaga yang mereka pimpin tanpa bantuan orang lain yang ditandai dengan keenggangan mereka menerima saran dan pertimbangan termasuk kritikan. Selain memperlihatkan sikap picik dan wawasan sempit, pola berpikir seperti ini terkesan bergaya “supermen” dan sangat merugikan, karena dapat menutup peluang-peluang kemitraan dan kerjasama. .
Pengelola lembaga pendidikan Islam perlu mengembangkan jaringan kemitraan dan kerjasama baik ke dalam (internal) lembaga pendidikan Islam itu sendiri maupun keluar dengan pribadi atau lembaga lain. Jaringan kerjasama yang luas akan memungkinkan lembaga-lembaga pendidikan Islam melakukan diversifikasi sumber-sumber dana untuk membiayai program-program yang lebih berkualitas dan bukan untuk belanja pegawainya dengan berbagai alasan kesejahteraan pegawai.
Lebih dari itu, kerjasama saling menguntungkan yang dibangunnya akan meningkatkan kemampuan finansial lembaga-lembaga pendidikan Islam. Para pengelola lembaga-lembaga pendidikan Islam dituntut untuk pro aktif dan kreatif menciptakan peluang-peluang dana di luar pundi-pundi yang telah tersedia secara konvesional seperti dari departemen agama atau yayasan yang mengelolanya.[13]
Pertama, strategi substantive. Lembaga-lembaga pendidikan Islam dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi perlu menyajikan program-program yang komprehensif. Dilihat dari metode penyajiannya, program-program tersebut harus menyentuh tiga aspek pembelajaran sebagaimana diperkenalkan oleh Bloom dalam Nurhadi dkk, yaitu aspek kognitif (pemahaman), afektif (penerimaan atau sikap) dan psikomotor (pengalaman atau keterampilan). Jika mengacu pada konsep dasar pendidikan yang diperkenalkan oleh UNESCO, proses pembelajaran di lembaga-lembaga pendidikan Islam sekurang-kurangnya harus dapat membantu pelajar untuk memiliki lima (5) kemampuan, yaitu to know (meraih pengetahuan), to do (berbuat sesuatu), to be (menjadi diri sendiri), to live together (hidup berdampingan) dan to know God’s creation (mengenal ciptaan Tuhan) . Bila semua aspek dan kemampuan ini disajikan secara terpadu, maka para lulusan lembaga pendidikan Islam diharapkan memiliki keseimbangan antara kualitas ilmu/intelektual, iman dan amal/akhlak. Dilihat dari materi yang disajikan, program-program di lembaga pendidikan Islam perlu diorientasikan pada aktivitas pengakajian dan pengembangan berbagai disiplin ilmu keislaman dengan mengacu pada potensi, kebutuhan dan cita-cita pelajar serta mengacu pada kebutuhan aktul masyarakat dunia yang mencintai pendidikan.
Kedua, strategi bottom-up. Lembaga-lembaga pendidikan Islam harus tumbuh dari bawah. Konsep dan desain program serta struktur kelembagaan pendidikan Islam harus disesuaikan dengan potensi, situasi dan struktur masyarakat, tidak boleh dicekoki dari “atas”. Proses perencanaan, pengelolaan dan pengembangan lembaga-lembaga pendidikan Islam harus melibatkan masyarakat luas dan mengacu pada situasi, potensi dan kebutuhan riil kehidupan masyarakat. Strategi ini diperlukan agar lembaga-lembaga pendidikan Islam tidak terkesan milik suatu rezim pengelolanya sehingga tidak akan terjadi lagi suatu program strategis tertentu akan dihapus begitu saja hanya karena ketidak senangan kita terhadap pengelola dan birokrat lembaga yang sebelumnya, sekedar untuk menghilangkan jejak dan karakter seseorang. Seluruh komponen lembaga pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya perlu dilibatkan agar memiliki concern (kepedulian), sense of belonging (rasa memiliki) dan sense of responsibility (rasa turut bertanggung jawab) terhadap keberadaan lembaga pendidikan Islam beserta program-programnya. Dengan cara ini maka lembaga-lembaga pendidikan Islam tidak akan dianggap barang asing atau barang antik oleh masyarakat di sekitarnya karena keberadaannya akan benar-benar mengakar dalam masyarakat.
Sebagai bagian integral dari penerapan strategi bottom-up, lembaga pendidikan Islam perlu secara sungguh-sungguh berupaya mengembangkan konsep community based education (pendidikan berbasis masyarakat) serta mempercepat proses pembentukan dan pemberdayaan komite sekolah atau majelis madrasah atau POM (persatuan orangtua mahasiswa). Lembaga-lembaga pendukung ini, perlu dibentuk melalui cara-cara yang demokratis, agar benar-benar menjadi badan independen dan fungsional, bukan sekedar perpanjangan tangan pimpinan lembaga pendidikan.
Ketiga, strategi deregulatory. Lembaga-lembaga pendidikan Islam sedapat mungkin tidak terlalu terikat pada ketentuan-ketentuan baku dan kaku yang terlalu sentralistik dan mengikat. Agar tidak terkesan liar atau anarkis, diperlukan kebijakan khusus dari jajaran Departemen Agama atau pemerintah daerah setempat, agar lembaga-lembaga pendidikan Islam bebas berkreasi dan berimprovisasi, sehingga dapat mengembangkan program-program yang sesuai dengan sifat-sifat khusus yang dimilikinya. Kebebabasan ini diperlukan untuk menjadikan lembaga-lembaga pendidikan islam sebagai lembaga-lembaga pendidikan alternatif. Yaitu lembaga pendidikan yang bukan pengekor, tetapi lembaga-lembaga pendidikan pelopor yang memiliki karakteristik dan keunggulan tersendiri. Pertanyaannya kemudian adalah; siapkah lembaga-lembaga pendidikan Islam saat ini untuk otonom dan berkreasi sendiri seperti itu?, sepertinya kesiapan sumber daya yang ada pada masing-masing lembaga pendidikan Islam tersebut mengharuskan kita belum bisa optimis.
Contoh kecil, Salah satu kebijakan pemerintah pusat saat ini adalah menyerahkan sebagian besar urusan disain dan pengembangan kurikulum kepada daerah dan masing-masing lembaga pendidikan Islam termasuk pendidikan tinggi agama. Namun yang terjadi kemudian adalah lembaga-lembaga tersebut menanti dan menunggu datangnya kurikulum yang sudah final dan sudah jadi padahal pemerintah pusat tidak akan melakukan hal itu sehingga yang terjadi kemudian adalah masing-masing lembaga pendidikan tetap status quo dengan pola kurikulum lamanya dan yang lebih diperparah lagi materi dan matakuliah dipertahankan oleh pengajar yang bersangkutan walaupun materinya tumpang tindih dan berulang pada kajian yang lain atau mungkin materinya sudah out of date, tetapi karena egoisme pengelola dan pengajar yang bersangkutan sehingga harus dipertahankan hanya karena kehilangan mata kuliah dan tidak punya kompetensi untuk mengajarkan materi dan matakuliah yang lain.
Seharusnya kebijakan pemerintah pusat tersebut ditangkap sebagai peluang untuk menyesuaikan materi pembelajaran dan strategi pendekatannya serta pengembangan berbagai sumber belajar sesuai dengan kondisi riil lingkungan masyarakat setempat. Dengan demikian maka lembaga pendidikan tersebut tidak akan menjadi beban kontekstual dan sebaliknya dapat lebih marketable. Dalam pengelolaan dan pengembangan lembaga-lembaga pendidikan Islam diperlukan standar kualitas. Standar kualitas setiap mata pelajaran/mata kuliah, program studi/jursan sehingga paradigma pasti lulus dalam ujian dapat dihindari. Demikian pula dengan standar kualitas tenaga pengajar dan pengelolaan organisasi kelembagaan. Dengan penetapan standar kualitas seperti ini akan memudahkan kita untuk mengetahui dan mengukur/menilai apakah usaha yang kita lakukan telah berhasil atau belum, sudah memenuhi standar yang telah ditetapkan atau belum, kalau belum, apa yang harus dilakukan untuk memenuhi standar dan memperbaiki kinerja?
Keempat, strategi cooperative. Lembaga-lembaga pendidikan Islam harus dikelola dengan suatu sistem manajemen profesional yang mampu merangkul dan memanfaatkan semua potensi dan sumber daya yang ada, bukan sebaliknya mengekang dan membungkam dengan berbagai cara, potensi dan sumber daya tersebut. Sudah saatnya para pemimpin lembaga pendidikan Islam tidak lagi berpikir bahwa hanya mereka yang dapat mengelola dan memajukan lembaga yang mereka pimpin tanpa bantuan orang lain yang ditandai dengan keenggangan mereka menerima saran dan pertimbangan termasuk kritikan. Selain memperlihatkan sikap picik dan wawasan sempit, pola berpikir seperti ini terkesan bergaya “supermen” dan sangat merugikan, karena dapat menutup peluang-peluang kemitraan dan kerjasama. .
Pengelola lembaga pendidikan Islam perlu mengembangkan jaringan kemitraan dan kerjasama baik ke dalam (internal) lembaga pendidikan Islam itu sendiri maupun keluar dengan pribadi atau lembaga lain. Jaringan kerjasama yang luas akan memungkinkan lembaga-lembaga pendidikan Islam melakukan diversifikasi sumber-sumber dana untuk membiayai program-program yang lebih berkualitas dan bukan untuk belanja pegawainya dengan berbagai alasan kesejahteraan pegawai.
Lebih dari itu, kerjasama saling menguntungkan yang dibangunnya akan meningkatkan kemampuan finansial lembaga-lembaga pendidikan Islam. Para pengelola lembaga-lembaga pendidikan Islam dituntut untuk pro aktif dan kreatif menciptakan peluang-peluang dana di luar pundi-pundi yang telah tersedia secara konvesional seperti dari departemen agama atau yayasan yang mengelolanya.[13]
BAB III
KESIMPULAN
Penetapan arah,
tujuan dan strategi lembaga pendidikan Islam sangat diperlukan agar lembaga
pendidikan tersebut dapat meningkat pesat
dari sisi kualitas sehingga
memiliki banyak peminat dan dapat survive di dalam era globalisasi ini.
Penetapan arah ,tujuan lembaga mengikuti arah kebijakan pendidikan nasional
pada umumnya maupun kebijakan Islam terkhusus. Penetapan arah, tujuan lembaga
pendidikan Islam merupakan suatu pedoman dalam pengembangan dan pengelolaan
lembaga pendidikan Islam tersebut di kancah persaingan sumber daya manusia
senagai out come dari lembaga pendidikan yang semakin kompetitip.
Selain arah, dan
tujuan lembaga pendidikan yang harus ditetapkan diperlukan juga strategi untuk
mencapai arah dan tujuan yang telah ditetapkan. Seorang visioner dari lembaga
pendidikan harus memiliki grand desain proyek jangka pendek dan jangka panjang
dari lembaga yang dipimpinnya. Untuk mencapai semua hal itu diperlukan kerja
sama dari semua pihak termasuk dukungan dana dari pemerintah demi majunya sebuah
lembaga. Sebagai contoh lembaga UIN Malang berkembang pesat di bawah
kepemimpinan DR.Imam Proyogo. Beliau memiliki strategi yang mempuni untuk
kemajuan UIN. Begitu juga UMMU Malang yang memiliki kemajuan yang tak kalah
pesat dengan bisnis yang maju demi keberlangsungan kehidupan sebuah lembaga.
Mulai dari rumah sakit, Pom bensin dan banyak lagi yang mempunyai nilai
ekonomis yang bagus dimata masyarakat. Begitupun UNISMA dengan rumah sakit dan
berbagai hal yang mendukung kemajuan lembaganya. Baik UIN, UMMU dan UNISMA
merupakan bebrapa contoh lembaga pendidikan Islam yang maju pesat karena
memiliki arah, tujuan dan strategi yang baik. Di harapkan lembaga pendidikan
Islam yang lain seperti MI, Mts, MA, dan Pesantren dapat membuat kemajuan yang
pesat juga dengan ditetapkan arah, tujuan dan strategi yang jelas dan jangka
panjang sehingga lembaga pendidikan Islam tetap survive dan menjadi lembaga
pendidikan kebanggaan Umat.
DAFTAR RUJUKAN
Ali imron, perencanaan Sekolah, dalam Burhanuddin, dkk (Ed), 2002.
Menejemen Pendidikan, Wacana, Proses dan Aplikasinya di sekolah. Malang: UIN
PRESS, 2007
Agus Maimun dan agus zaenul fitri, Madrasah Unggulan,
(Malang: Uin-Maliki Press), 2010
Prim Masrokan Mutohar, Manajemen Mutu Sekolah. Jogyakarta,
Ar-ruzz Media,2013
Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Colemen
M & Bush T, 2006, Manajemen Strategis Kepemimpinan Pendidikan, Yogyakarta.
IRCISOD
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
Hamied, F.A. dan Syihabuddin (ed.). (2008). Pendidikan di
Indonesia: Masalah dan Solusi. Jakarta: Kementerian Koordinator Bidang
Kesejahteraan Rakyat. Departemen Agama R.I. (2008)
Bukhori Umar, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 149.
https://www.academia.edu/5872428/PERKEMBANGAN_LEMBAGA_PENDIDIKAN_ISLAM
http://pendis.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id2=strategipendis#.VwtKjH2LS1s diakses pada hari senin, 11 April 2016 pukul 13.58 WIB
https://prodibpi.wordpress.com/2010/08/05/lembaga-pendidikan-islam-antara-realitas-dan-kemestian-pengembangannya/ diakses pada senin, 11 april 2016 pukul 15:07 WIB
[1] Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
[2]
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
[4] https://www.academia.edu/5872428/PERKEMBANGAN_LEMBAGA_PENDIDIKAN_ISLAM
[5] Hamied,
F.A. dan Syihabuddin (ed.). (2008). Pendidikan di Indonesia: Masalah dan
Solusi. Jakarta: Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat.
Departemen Agama R.I. (2008),hlm
179
[6] http://pendis.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id2=strategipendis#.VwtKjH2LS1s diakses pada hari senin, 11 April 2016 pukul 13.58 WIB
[7] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2003
[8]
Prim Masrokan Mutohar, Manajemen Mutu Sekolah. Jogyakarta, Ar-ruzz
Media,2013, hal- 8
[9]
Ali imron, perencanaan Sekolah, dalam Burhanuddin, dkk (Ed), 2002. Menejemen
Pendidikan, Wacana, Proses dan Aplikasinya di sekolah. Malang: UIN PRESS, 2007
[10]
Agus Maimun dan agus zaenul fitri, Madrasah Unggulan, (Malang:
Uin-Maliki Press), 2010,hlm.50
[11]
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
[12] Colemen M & Bush T, 2006,
Manajemen Strategis Kepemimpinan Pendidikan, Yogyakarta. IRCISOD
[13] https://prodibpi.wordpress.com/2010/08/05/lembaga-pendidikan-islam-antara-realitas-dan-kemestian-pengembangannya/
diakses pada senin, 11 april 2016 pukul 15:07 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar