Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Rabu, 09 November 2016

JIHAD TIDAK MESTI PERANG



JIHAD FI SABILILLAH
(JIHAD TIDAK MESTI KEKERASAN DAN PERANG)
 

Jihad itu diterjemahkan dengan Holy War (Perang Suci), padahal perang hanyalah salah satu bentuk saja dari jihad. Dalam al-Qur’an kata jihad dengan berbagai derivasinya terdapat sebanyak 41 kali, baik dalam surat-surat yang diturunkan di Makkah (makkiyah) mau pun dalam surat-surat yang diturunkan di Madinah (madaniyah) (‘Abd al-Baqi, 1981; 182-183). Shihab, 1996; 500-520). Akar kata jihad adalah j-h-d menjadi jahd dan juhd (keletihan, kegentingan, ketegangan, kepedihan, kesulitan, upaya, kemampuan, kerja keras, dan yang mirip dengan itu (Wehr, 1976: 142-143). Ayat jihad dalam arti perang (qital) melawan musuh sebagai salah satu maknanya baru turun pada tahun kedua hijriyah yang kemudian digumulkan dengan realitas yang kongkret dalam Perang Badar (624) yang terkenal itu. Di sini jihad dan qital (perang) menjadi sinonim. Disini akan saya coba secara kritis meneropong konsep jihad dalam perspektif Islam, baik dari sudut doktrin maupun dari sudut sejarah, dan kira-kira untuk situasi Indonesia sekarang doktrin jihad yang bagaimana yang perlu dikembangkan dan ditegakkan dalam rangka menciptakan sebuah tatanan sosio-politik yang egalitarian, adil, dan bermoral (Rahman, 1980: 62) untuk semua golongan tanpa diskriminasi. Tatanan semacam inilah yang harus menjadi muara dan tujuan perjuangan kita bersama untuk sebuah Indonesia baru yang adil, makmur, ramah, toleran, dan sehat.

Jihad dalam perspektif doktrin dan sejarah
Kita tengok selintas situasi Islam pada awal kemunculannya pada abad ke-7 M. dan mengapa perintah jihad itu diberikan. Pada saat komunitas kecil Muslim baru saja hijrah ke Madinah (622 M.) dalam keadaan yang masih lemah dan letih karena diusir, sementara pihak musuh (Quraisy Makkah) semakin agresif dan beringas, perintah jihad yang pertama kali justru diturunkan. Tujuannya adalah agar komunitas baru ini tetap tegar dan tabah, tidak hancur berantakan dalam lingkungan yang serba keras, kasar, dan penuh kebencian serta dendam kesumat. Kedatangan al-Qur’an dengan prinsip keadilannya bagi elit Makkah sebagai kota komersial berarti akan membahayakan hak— hak monopoli mereka pada sumber-sumber ekonomi dan perdagangan. Oleh sebab itu Muhammad jangan sampai punya kedudukan yang kokoh di Madinah, sebab pasti akan mengancam posisi mereka. Jihad dalam arti perang pada saat itu adalah untuk mempertahankan diri dengan segala kesungguhan daya dan upaya. Jika tidak demikian komunitas itu akan lenyap ditelan oleh kekuatan sejarah yang amat tidak bersahabat itu. Perintah itu terdapat dalam surat al-Baqarah dan al-Hajj: jihad dalam makna qital (perang).
Dan perangilah di jalan Allah mereka yang memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas (190). Dan bunuhlah mereka di mana pun kamu jumpai, dan keluarkanlah mereka dari tempat mereka mengusir kamu (Makkah), padahal fitnah itu lebih jahat dari pembunuhan. Dan janganlah kamu perangi mereka di masjid al-haram hingga mereka memerangi kamu di situ. Maka kalau mereka memerangi kamu (di situ), bunuhlah mereka. Begitulah balasan untuk orang-orang yang kafir (191). Tetapi jika mereka berhenti, maka sesungguhnya Allah itu Pengampun, Penyayang (192). Dan perangilah mereka itu hingga tidak ada lagi fitnah (siksaan, gangguan, penganiayaan), dan jadilah agama itu karena Allah. Tetapi jika mereka berhenti, maka tidak boleh ada lagi permusuhan, kecuali atas orang-orang yang zalim (193) (Q.S. Al-Baqarah: 190-193).
Bagi umat Islam pada waktu itu perintah jihad ini sungguh sangat berat, karena mereka baru saja membentuk komunitas di Madinah, sebuah komunitas yang belum stabil. Kemudian dalam surat al-Hajj, izin berperang itu kita baca dengan redaksi yang berbeda sebagai berikut:
Diizinkan (berperang) bagi mereka yang diperangi, karena sesungguhnya mereka dianiaya, dan sesungguhnya Allah amat berkuasa menolong mereka (39). (Yaitu) mereka yang diusir keluar dari negeri-negeri mereka dengan tidak ada alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: “Tuhan kami ialah Allah! Dan sekiranya Allah tidak melindungi manusia sebagiannya terhadap sebagian yang lain, niscaya dihancurkanlah tempat pertapaan dan gereja-gereja Kristen, tempat-tempat sembahyang Yahudi, dan masjid-masjid di mana nama Allah banyak disebut. Dan sesungguhnya Allah menolong siapa yang membela agamaNya, karena sesungguhnya Allah itu kuat, gagah (40) (Q.S. Al-Hajj: 39-40).
Ayat-ayat di atas jelas sekali menunjukkan makna perang dalam arti defensif, sekalipun pada ayat-ayat lain dapat pula berbentuk ofensif, tergantung jika situasi mengharuskan demikian, sepanjang hal itu untuk menghapuskan kerusakan di muka bumi (fasad fi ‘i-ardh), menjaga rumah-rumah ibadat, bukan merusak atau membakarnya, serta kemudian membangun peradaban dengan cara yang baik dan adil (ishlah). lnilah fungsi kekuasaan dalam Islam, sekalipun tidak jarang dilecehkan oleh umatnya sendiri. Memang tidak diragukan lagi bahwa al-Qur’an menyuruh umat Islam untuk membangun sebuah tatanan politik di dunia untuk tujuan di atas. Tetapi mengenai apa nama tatanan itu dan bagaimana sistemnya, al-Qur’an tidak menjelaskan dengan rinci, dengan catatan bahwa prinsip musyawarah sebagai simbol egalitarianisme harus dipertahankan. Tergantunglah kepada hasil pemikiran dan kesepakatan bersama untuk merumuskan nama dan sistem kekuasaan itu. Dengan demikian istilah Negara Islam (al-Daulah al-Islamiyah) adalah ciptaan sejarah abad ke-20. Orang tidak akan menjumpai istilah itu dalam al-Qur’an sunnah nabi, dan dalam literatur klasik mana pun. Tentang kekuasaan al-Qur’an menyatakan: “Mereka yang, jika Kami beri kekuasaan di muka bumi, akan mendirikan salat, membayarkan zakat, memerintahkan kebaikan (al-ma’ruf) dan mencegah kejahatan (al-munkar), dan milik Allah-lah akibat segala urusan.” (Q.S. Al-Hajj: 41) Secara logis tidaklah mungkin orang memerintahkan kebajikan dan mencegah kejahatan dengan efektif, tanpa adanya kekuasaan. Hanya yang perlu dijawab terlebih dulu adalah pertanyaan: untuk apa berkuasa? Al-Qur’an dalam ungkapan di atas dengan sangat gamblang telah memberikan jawaban terhadap pertanyaan itu. Sebenarnya Islam secara teoretik tidak menemui banyak kesulitan untuk memahami dan menerima prinsip demokrasi modern dengan modifikosi di sana-sini selama watak sekulernya dikesampingkan.
 

Pada periode awal hijrah ayat jihad berikut diturunkan: “Dan berjihadlah kamu di (jalan) Allah dengan jihad yang sungguh-sungguh, karena ia telah memilihmu (untuk itu). Dan ia tidak jadikan atas kamu dalam agama suatu perkara yang berat, agama bapamu, lbrahim ia telah menamakan kamu Muslimin sebelum itu dan dalam (Qur’an) ini, supaya rasul jadi saksi atas kamu dan supaya kamu jadi saksi atas manusia. Maka dirikanlah salat, bayarkan zakat, dan berpeganglah dengan (tali) Allah. Ia Pelindung kamu, malah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.” (Q.S. Al-Hajj: 78) Dalam lingkungan sejarah Arabia abad ke-7, metode kekerasan dan ancaman memang merupakan norma sehari-hari dalam menyelesaikan sengketa antar suku dan puak. Bahkan dua imperium besar Bizantium dan Sasaniah pada abad itu juga terlibat dalam perang dahsyat yang penuh kekerasan. Maka bagi komunitas Islam yang berusia sangat muda itu tidak ada jalan lain untuk bertahan dan mengerahkan kekuatan-kekuatan sejarah, kecuali dengan jihad. (An-Na’im, 1990: 142) Tanpa jihad tujuan untuk menegakkan yang ma’ruf dan mencegah yang munkar tidak dapat dibayangkan. Oleh sebab itu nabi dan para pengikutnya harus mengatur strategi dan taktik yang jitu untuk menghadapi pihak Quraisy yang setiap saat mengancam untuk menghancurkan Madinah. Ancaman itu akhirnya menjadi kenyataan dalam bentuk Perang Badar pada 624 M., seperti telah disinggung sedikit di atas. Di bawah pimpinan nabi, komunitas Muslim yang kecil itu harus berjihad habis-habisan, mengerahkan segala daya dan upaya, sebab bagi mereka perang itu akan sangat menentukan hari depan mereka: to be or not to be seperti tercermin dalam do’a Rasul Allah: “Ya Allah, di sini pihak Quraisy dengan segala kecongkakannya sedang berupaya untuk mendustakan nabiMu. Ya Allah, aku nantikan pertolonganMu yang telah engkau janjikan kepadaku. Ya Allah, sekiranya pasukan kecil ini hancur binasa hari ini, Engkau tidak akan disembah lagi.” Sebuah lirik do’a yang disampaikan dengan seluruh kekuatan jiwa. Do’a ini dikabulkan Allah, maka jadilah Perang Badar itu dimenangkan pasukan Muslim, sekalipun perbandingan dua kekuatan itu adalah satu lawan tiga. Peristiwa Badar telah menjadi salah satu pilar utama sebagai realisasi doktrin jihad guna menopang perkembangan Islam selanjutnya untuk tampil sebagai agama dunia dalam tempo yang relafif singkat. Sekalipun pasukan Muslim kalah dalam perang berikutnya, Perang Uhud (625 M), umat Islam sudah jauh lebih konfiden untuk menghadapi segala kemungkinan yang terburuk sekalipun. Sebelum nabi wafat pada 632 M. masih ada beberapa pertempuran lagi, tetapi tidak akan dibicarakan dalam hal ini. 
 
Jihad dalam perspektif Indonesiaan baru.
Dalam perspektif bangunan Indonesia baru yang ramah dan adil, konsep jihad harus ditenjemahkan dengan kerja keras dengan penuh kesungguhan dan kejujuran untuk membangun kebersamaan di antara berbagai golongan, aliran, suku, dan pemeluk agama yang berbeda. Dapat juga diartikan perang, yaitu perang melawan korupsi, narkoba, pungli, seks bebas dan kemunafikan serta godaan nafsu lainnya yang telah membawa bangsa ini ke pinggir jurang  kehancuran.  Dosa  dan  dusta  kolektif  yang dipertontonkan selama ini harus dihentikan sampai di sini saja!  Saya menyerukan  agar elit politik kita berhenti memikirkan diri sendiri dan kepentingan jangka pendek mereka dengan mengorbankan eksistensi bangsa untuk jangka panjang. Dalarn periode transisional yang sangat kritis ini semua kekuatan akal sehat harus berunding bersama secara tulus dengan tujuan tunggal: menyelamatkan masa depan bangsa dari kebangkrutan total, jika kita memang masih menginginkan Indonesia tidak masuk ke dalam museum sejarah. Kita berlomba dengan waktu yang berputar sangat cepat.
Mari kita berjihad terhadap diri kita dulu baru kita ke yang lain karena Rasulullah SAW pernah bersabda " Jihad yang paling besar ialah Memerangi Hawanafsu" Allohu Akbar Allohu Akbar Allohu Akbar... Jihad bagi adik-adikku dan anak-anakku sekalian ialah dengan mencari ilmu seluas-luasnya selagi diri kalia masih ada kesempatan dan waktu luang kerena orang yang menuntut ilmu itu termasuklah dalam golongan fisabilillah, insyaAlloh amin ya Rabbal alamin....


Jihad seorang perempuan
Dalam suatu riwayat ada seorang perempuan datang menghadap Nabi S.A.W seraya berkata : “Wahai Rasululloh, aku ini utusan dari kaum wanita yang diminta menghadapmu. Yaitu menanyakan masalah jihad yang hanya diwajibkan Alloh kepada kaum laki-laki. Kalau mereka terluka mendapatkan pahala. Kalau mereka terbunuh, mereka bahkan sebagi orang-orang yang hidup disisi Tuhannya seraya memperoleh rizki. sedangkan kami dari golongan Wanita ini selalu setia mengikuti dan membantu mereka menyediakan kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan. Namun demikian kenapa kami tidak memperoleh pahala berjihad seperti yang diberikan pada mereka Rosulloh S.A.W Bersabda: ”SAMPAIKAN KEPADA SIAPA SAJA KAUM WANITA YANG KAMU JUMPAI BAHWA, MENTATI SUAMI DENGAN MENGAKUI HA-HAKNYA SESENGGUHNYA TELAH MENYAMAI DENGAN PAHALA BERJIHAD. TETAPI SEDIKIT SEKALI DIANTARAMU MELAKSANAKAN. ” (Diriwayatkan oleh Al Bazzar da Thabrani).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar