BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Dalam catatan sejarah, eksistensi pendidikan Islam
telah ada sejak Islam pertama kali diturunkan. Ketika Rasulullah SAW mendapat perintah dari Allah untuk menyebarkan ajaran Islam, maka apa yang
dilakukan adalah masuk dalam kategori pendidikan. Karena kepribadian Rasulullah SAW mencerminkan wujud ideal Islam, seorang guru dan pendidik.
Kemudian sejak masa sahabat, tabi’in dan generasi selanjutnya pada masa
pendahulu, masa keemasan Islam dan masa pembaharuan banyak bermunculan berbagai pemikiran pendidikan Islam, hal ini salah satunya
ditandai dengan banyaknya ulama–ulama Islam yang
menulis tentang buku pendidikan dan pengajaran secara mendalam.[1]
Pemikiran pendidikan Islam adalah serangkaian proses
kerja akal dan kalbu secara bersungguh-sungguh dalam melihat berbagai persoalan
yang ada dalam pendidikan Islam. Beberapa tokoh pemikir pendidikan islam yang
akan dikaji pada makalah ini antara lain : Iqbal, Abduh, Al-Attas dan Al-Faruqi.
Di dalam kehidupannya Iqbal berusaha secara serius
terhadap perumusan dan pemikiran kembali tentang Islam. Ia berpendapat bahwa
kemunduran ummat Islam selama lima ratus tahun terakhir disebabkan oleh
kebekuan dalam pemikiran. konkritnya bahwa pintu Ijtihad telah ditutup. Iqbal ingin
berjuang untuk martabat bangsa dan umatnya. Saat itu, bangsa Muslim berada
dalam kemunduran dan penjajahan Barat. Iqbal merasa terpanggil untuk
memperbaiki nasib bangsa dan umatnya itu, salah satunya dengan pembaharuan
pemikiran Islam agar kontekstual dengan jiwa zaman saat itu.
Berikutnya ialah Muhammad ‘Abduh adalah tokoh
pembaharu yang tidak asing lagi, dunia Islam dan Barat mengakuinya, bahkan pandangannya sering dijadikan
rujukan dalam pembahasan ke-Islaman. Ia dilahirkan dalam situasi, dimana dunia
Barat gencar-gencarnya melakukan kegiatan ekspansi ke daerah-daerah Islam,
termasuk Mesir. Pada masa Muhammad ‘Abduh itu, ada dua golongan ekstrim: mempertahankan tradisi Arab-Islam; dan mengadakan pembaharuan yang murni merujuk pada
Barat, sehingga nyaris melupakan nilai-nilai Timur dan Islam. Muhammad ‘Abduh
termotivasi untuk ikut memberikan respons dan mengadakan perbaikan di berbagai bidang, terutama pendidikan.
Tokoh
berikut yang merupakan pembahasan dalam makalah ini ialah Al-Attas, ia mengatakan
bahwa otoritas tertinggi adalah al-Qur’an dan Nabi, yang diteruskan oleh para
sahabat dan para ilmuwan laki-laki dan perempuan yang mengikuti sunahnya.
Peranan guru dianggap sangat penting. Peserta didik diharapkan tidak
tergesa-gesa belajar kepada sembarang guru.
Yang Terakhir tokoh yang dibahas pada makalah ini
ialah Al-Faruqi, beliau adalah seorang tokoh yang sangat besahaja dalam
pengembanganpemikiran Islam komtemporer. Gagasan-gagasannya sangat brilian
dalam rangka memecahkan persoalan yang dihadapi umat Islam. Kebesarannya yang
langsung berhadapan dengan Barat membuat Al-Faruqi mengamati sendiri
tekanan-tekanan barat terhadap dunia Islam dan hal ini memunculkan ide-ide
untuk menghadapi serangan-serangan tersebut. Idenya tidak terlepas dari konsep
tauhid, karena tauhid adalah esensi Islam yang mencakupseluruh aktifitas
manusia. Begitu pula idenya tentang Islamisasi, tidak terlepasa dari pro dan
kontra dantelah membawanya pada puncak ketenaran di dunia. Gagasannya tetap
mejadi pegangan umatIslam pada abad ini.
B.
Rumusan
Masalah
Dari Latar
Belakang Di Atas Maka Pemakalah Membuat Rumusan Masalah Sebagai Berikut:
1. Siapakah
Iqbal Itu.
2. Apakah
Pemikiriran Iqbal Tentang Pendidikan Islam.
3. Siapakah
Muhammad Abduh Itu.
4. Apa
Saja Pemikiran Muhammad Abduh Tentang Pendidikan Islam.
5. Siapakah
Syed Muhammad Al-Naquid Al-Attas.
6. Apa
Bentuk Pemikiran Syed Muhammad Al-Naquid Al-Attas Tentang Pendidikan Islam.
7. Siapakah
Ismail Rajil Al-Faruqi.
8. Apa
Pemikiran Ismail Rajil Al-Faruqi Tentang Pendidikan Islam.
C. Tujuan Pembahasan
Dari Latar
Belakang Di Atas Maka Tujuan Pembahasan Pada Pemakalah Ini Sebagai Berikut:
1. Menyebutkan
Biografi Iqbal.
2. Menjelaskan
Pemikiriran Iqbal Tentang Pendidikan Islam.
3. Menjelaskan
Biografi Muhammad Abduh.
4. Menyebutkan
Pemikiran Muhammad Abduh Tentang Pendidikan Islam.
5. Menyebutkan
Biografi Syed Muhammad Al-Naquid Al-Attas.
6. Menjelaskan
Pemikiran Syed Muhammad Al-Naquid Al-Attas Tentang Pendidikan Islam.
7. Menyebutkan
Biografi Ismail Rajil Al-Faruqi.
8. Menjelaskan
Pemikiran Ismail Rajil Al-Faruqi Tentang Pendidikan Islam.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Biografi
Iqbal
Lahir di Sialkot, kota peninggalan Dinasti Mughal
India pada tanggal 22 Februari 1873. Ayahandanya Syaikh Nur Muhammad memiliki
kedekatan dengan kalangan Sufi. Iqbal berasal dari keluarga miskin, dengan
mendapatkan beasiswa dia mendapat pendidikan bagus. Keluarga Iqbal berasal dari
keluarga. Brahmana Kashmir yang telah memeluk agama Islam sejak tiga abad
sebelum kelahiran Iqbal, dan menjadi penganut agama Islam yang taat. Pada tahun
1895 Iqbal menyelesaikan study di Scottish dan pergi ke Lahore. Salah satu kota
di India yang menjadi pusat kebudayaan, pengetahuan dan seni.
Di kota Lahore ini, sambil melanjutkan pendidikan
sarjananya ia mengajar filsafat di Government College. Pada tahun 1897 Iqbal memperoleh
gelar B.A., kemudian ia mengambil program M.A. dalam bidang filsafat. Pada saat
itulah ia bertemu dengan Sir Thomas Arnold. orientalis Inggris yang terkenal
yang mengajarkan filsafat Islam di College tersebut.
Dengan dorongan dan dukungan dari Arnold,
Iqbal menjadi terkenal sebagai salah satu pengajar yang berbakat dan penyair di
Lahor. Pada tahun 1905, ia belajar di Cambridge. Iqbal kemudian belajar di
Heidilberg dan Munich. Di Munich ia menyelesaikan doktornya tahun 1908 dengan
disertasi, The Development of Metaphysics in Persia. Ia kembali ke London untuk
belajar di bidang keadvokatan sambil mengajar bahasa dan kesusastraan Arab di
Universitas London.[2]
B.
Pemikiran
Iqbal Tentang Pendidikan Islam
1. Kurikulum
Kurikulum secara garis besar dapat diartikan dengan
seperangkat materi pendidikan dan pengajaran yang diberikan kepada murid sesuai
dengan tujuan pendidikan yang akan dicapai. Adapun isi kurikulum pendidikan
menurut Muhammad Iqbal[3]
ialah:
a. Isi
kurikulum pendidikan harus mencakup agama, sejarah, ilmu pengetahuan dan
teknologi. Pada umumnya Muhammad Iqbal menggunakan kata “pengetahuan
(knowledge) yang didasarkan pada panca indra. Pengetahuan dalam arti ini kepada
manusia memberikan kekuasan yang harus ditempatkan di bawah agama. Muhammad
Iqbal berpendapat bahwa agama adalah suatu kekuatan dari kepentingan besar
dalam kehidupan individu juga masyarakat. Apabila pengetahuan dalam arti ini
tidak ditempatkan dibawah agama, ia akan menjelma menjadi kekuatan syetan.
Pengertian dalam arti ini dipandang berfungsi sebagai langkah pertama dalam
rangka mendapatkan pengetahuan yang sebenarnya. Oleh karenanya kitab merupakan
sarana dalam penyampaian ilmu pengetahuan. Jadi menurut Muhammad Iqbal, antara
agama dan ilmu pengetahuan harus berjalan secara selaras, karena agama mampu
menyiapkan manusia modern untuk memikul tanggung jawab yang besar yang dimana
ilmu pengetahuan juga pasti terlibat.
b. Isi
kurikulum pendidikan juga harus mencakup pembentukan kepribadian atau watak.
Pendidikan watak menurut Muhammad Iqbal merupakan faktor yang penting dalam
pendidikan. Untuk mengembangkan watak, menurut Muhammad Iqbal pendidikan
hendaknya memupuk tiga sifat yang merupakan unsur-unsur utama dari pendidikan
itu sendiri, yakni: Keberanian, Toleransi dan Faqir
2. Tujuan
Pendidikan
Pendidikan merupakan daya budaya yang mempengaruhi
kehidupan perorangan maupun kelompok masyarakat untuk membentuk manusia mukmin
sejati atau yang biasa disebut dengan Insan Kamil. M. Iqbal menggambarkan
manusia yang ideal atau sejati itu melalui hasil karya-karyanya. Dalam
filsafatnya dijelaskan ada beberapa ciri manusia yang ideal,[4] di
antaranya:
a.
Hidup yang baik adalah hidup yang
penuh usaha dan perjuangan, usaha itu tersebut hendaknya bersifat kreatif dan
orisinil. Sebagaimana tertulis dalam syairnya :
Bila anda ingin
melihat dunia sementara ini,
Bila anda ingin
beralih dari ketiadaan kepada keberadaan,
Bertahanlah!
Jangan mudah
anda lenyap seperti kilatan cahaya sekejap!
Pupuk keberanian
bersusah payah
agar berhasil
meraih lumbung penuh melimpah
Bila anda
memiliki sinar matahari
Beranilah
menjelajah langit lazuardi!
b.
Orang yang baik hendaknya belajar
menerapkan intelegensinya secara meningkat terus dalam rangka penjelajahan dan
pengendalian daya dan kekuatan alam, sambil menambah pengetahuan dan kekuatannya
sendiri. Sebagaimana dalam syairnya :
Intelek
memerintah segala sesuatu yang terbuat
dari cahaya
maupun dari tanah liat
Dan tiada yang
tak terjangkau karunia Illah ini
Seluruh jagad
tunduk merunduk pada keagungan yang abadi
Hanya hati yang
berani menghadapi
setiap
derap langkahnya yang tegap.
Di samping itu Muhammad. Iqbal juga mengemukakan
mengenai tujuan diselenggarakannya pendidikan Islam. Sebenarnya menurut dia
pendidikan itu diawali dari adanya rasa ego. Ego akan mengalami proses evolusi
dan selalu berjuang untuk mencapai kesempurnaan. Ego yang sempurna itulah
menurut M.Iqbal disebut sebagai insan kamil dan inilah yang menjadi tujuan
pendidikan. Adapun rincian dari tujuan penudidikan itu, di antaranya:
Pendidikan tidak semata-mata untuk mencapai kebahagiaan hidup di akherat dalam
pengenalan jiwa dengan Tuhan.
c.
Tujuan akhir dari pendidikan
hendaknya dapat memperkokoh dan memperkuat individualitas dari semua pribadi,
sehingga mereka dapat menyadari segala kemungkinan yang dapat saja menimpa
mereka.
d.
Untuk mencapai tujuan tersebut
pendidikan harus tertuju pada pengembangan keseluruhan potensi manusia yang
mencangkup intelektual, fisik dan kemauan untuk maju.
Dalam kaitanya dengan ini Muhammad Iqbal menjelaskan
beberapa pemikiranya tentang kehendak kreatif. Hidup adalah kehendak kreatif
yang oleh Muhammad Iqbal disebut dengan Soz . Yaitu diri yang selalu bergerak
kesatu arah. Aktivitas kreatif, perjuangan tanpa henti dan partisipasi aktif
dalam permaslahan dunia harus menjadi tujuan hidup. Berkat kreativitas itulah
manusia telah berhasil mengubah dan menggubah yang belum tergarap dan belum
terselesaikan dan mengisinya dengan aturan dan keindahan.
e.
Tujuan pendidikan harus mampu
memecahkan masalah-masalah baru dalam kondisi perorangan dan masyarakat atau menyesuaikan
dengan kondisi masyarakat.
3. Metode
Pembelajaran Dalam pemikiran Iqbal
Dalam pengertian leterlijk, kata “metode” berasal
dari bahasa Greek yang terdiri dari “meta” yang berarti” melalui “ dan “hodos”
yang berarti” jalan yang dilalui” Metode pendidikan didasarkan pada tingkat
usia anak didik berdasarkan pertimbangan periode perkembangan anak didik, Nabi
mengemukakan cara mendidik yang baik. Beliau menyatakan didiklah anak-anakmu
dengan cara bermain-main pada usia tujuh pertama dan tananamkanlah disiplin
kepada mereka pada tujuh tahun berikutnya kemudian ajaklah mereka berdiskusi
saat mereka mencapai periode usia tujuh tahun yang ketiga dan selanjutnya
barulah mereka dapat di lepaskan untuk menentukan sikap hidupnya secara
mandiri. Adapun metode pendidikan yang sesuai menurut Muhammad Iqbal adalah
a.
Self activity
Metode ini di gunakan untuk mencari potensi diri
atau mengembangkan potensi diri peserta didik dengan kebebasan mengembangkan
kreativitas sesuai dengan yang di kehendaki
b.
Learning by doing.
Jenis pengajaran yang di kehendakinya adalah
menghadapkan siswa pada situasi baru yang mengundang mereka untuk bekerja
dengan penuh kesadaran akan tujuan yang di galinya dari sumber yang tersedia
dalam lingkungan mereka.
c.
Tanya jawab
Pendidikan harus mampu untuk mencetak pribadi yang
kritis, yaitu terus bertanya dan tidak begitu saja menerima pandangan atas
dasar kepercayaan belaka.
d.
Metode proyek atau unit
Adalah cara penyajian pelajaran yang bertitik tolak
dari sesuatu masalah, kemudian di bahas dari segi yang berhubungan sehingga
pemecahannya secara keseluruhan dan bermakna. Penggunaan metode ini bertitik
tolak dari anggapan bahwa pemecahan masalah harus ditinjau dari berbagai macam
segi agar tuntas dalam melibatkan mata pelajaran yang ada kaitannya sebagai
sumber dari pemecahan masalah tersebut.
e.
Metode pemecahan masalah atau
problem solving
Bukan hanya sekedar metode berfikir sebab dalam
problem solving dapat menggunakan metode-metode lainya yang di mulai dengan
mencari data sampai kepada menarik kesimpulan.
f.
Peranan peserta didik
Peserta didik bebas mengembangkan bakat dan
kepribadianya. Dilihat dari kedudukannya, peserta didik adalah mahluk yang
sedang berada dalam proses perkembangan menurut fitrahnya masing-masing. Mereka
memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju kearah titik optimal
kemampuan fitrahnya.
Pemikiran Muhammad Iqbal tentang pendidikan
khususnya pada peranan peserta didik adalah berpangkal pada kebebasan manusia.
Manusia merupakan ego yang memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan sendiri
dengan segala konsekuensinya. Dengan kebebasannya itu, peserta didik
memungkinkan untuk diarahkan agar memiliki kreativitas berfikir tinggi sehingga
dapat memunculkan inovasi-inovasi baru yang dapat dipergunakan untuk menjawab
berbagai tantangan dimasa sekarang dan akan datang yang merupakan dampak
negatif dari globalisasi dan industrialisasi.
g.
Peranan pendidik
Pendidik
dalam menggali dan mengembangkan konsep pendidikannya akan harus mengkaji dan
meneliti hakikat individualitas dan lingkungan. Muhammad Iqbal berpendapat
bahwa tumbuh kembangnya individualitas tidak mungkin terjadi tanpa kontak
langsung dengan lingkungan yang konkrit dan dinamis.[5]
Sikap pendidik yang baik menurut Muhammad Iqbal
adalah dengan jalan membangkitkan kesadaran yang sungguh pada anak didiknya
berkenaan dengan aneka ragam relasi dengan lingkungannya dan dengan jalan
demikian merangsang pembentukan sasaran-sasaran baru secara kreatif. Muhammad
Iqbal kurang menyetujui pendidikan sistem kelas, maksudnya guru yang mengurung
siswanya diantara keempat dinding kelasnya. Hal ini dikarenakan bahwa anak
perlu berhubungan dengan alam dalam setiap proses belajarnya, yaitu untuk
menumbuhkan sikap keingintahuan serta untuk menumbuhkan kreativitasnya
C.
Biografi Muhammad ‘Abduh
Nama lengkapnya adalah Muhammad ‘Abduh Hasan Khairullah. Tokoh ini akrab
dipanggil dengan sebutan muhammad abduh. Ia dilahirkan di sebuah kampung
bernama Mahallat Nasr, Syubra Khit, provinsi Al-Bahirah, Mesir pada tahun 1266
H (1849). Ayahnya berasal dari Turki yang telah lama tinggal di Mesir,
sedangkan ibunya adalah orang Arab, yang menurut riwayat, silsilah ibunya
sampai pada Umar bin Khattab ra.
Pendidikan Muhammad ‘Abduh di mulai dengan belajar menulis dan membaca di rumah.Setelah
beliau hapal kitab suci Al-qur’an pada tahun 1863 ayahnya
mengirimnya ke Thamta untuk meluruskan bacaan dan tajwid
di masjid al-Ahmadi. Namun
karena metode pelajaran tidak sesuai yang diberikan gurunya seperti membiasakan
menghapal istilah nahwu atau fiqh akhirnya Muhammad ‘Abduh kembali ke Mahallat Nasr dengan
tekad tidak akan kembali lagi belajar. Tentang pengalamannya ini ‘Abduh
menceritakan: “Satu setengah tahun saya belajar di mesjid Syeikh Ahmad
dengan tak mengerti suatu apapun. Ini adalah karena metodenya yang salah.
Guru-guru mulai mengajak kita untuk menghapal istilah-istilah tentang
nahwu dan fiqh yang tak kita ketahui artinya, guru tak merasa penting apa kita
meengetahui atau tidak mengerti istilah-istilah itu.” Inilah salah satu yang melatarbelakangi
‘Abduh ingin mengadakan pembaruan dalam bidang pendidikan.
Tahun 1866 ‘Abduh meninggalkan isteri dan keluarganya menuju Kairo untuk
belajar di Al-Azhar. Tiga tahun kemudian, ketika
Jamaluddin al-Afghani datang ke Mesir tahun 1871 M, Muhammad ‘Abduh
giat belajar dan mendengar segala ide pembaharuan darinya. ‘Abduh mulai memperluas
studinya sampai meliputi ilmu filsafat dan ilmu sosial serta politik. Afghani adalah
seseorang yang aktif memberikan dorongan kepada murid-murid untuk
menghadapi intervensi Eropa di negeri mereka dan pentingnya melihat umat Islam
sebagai umat yang satu. ‘Abduh memutar jalur hidupnya dari tasawuf yang
bersifat pantang dunia , lalu memasuki dunia aktivisme sosio-politik.
Abduh menyelesaikan studinya pada tahun 1877, dan mengajar pertama kali di
Al-Azhar. Puncak karir Muhammad ‘Abduh dalam pembaharuannya, terutama di bidang
pendidikan adalah ketika ia ditugaskan menjadi seorang mufti pertama Mesir.
Posisi ini diperolehnya pada 03 Juni 1899 M.
Beliau meninggal
pada tanggal 11 Juli 1905. Banyaknya orang yang memberikan hormat di Kairo dan
Alexandria,
membuktikan betapa besar penghormatan orang kepada dirinya. Meskipun ‘Abduh
mendapat serangan sengit karena pandangan dan tindakannya yang reformatif, namun Mesir dan
Islam merasa kehilangan atas meninggalnya seorang pemimpin yang terkenal lemah
lembut dan mendalam spiritualnya.[6]
D. Pemikiran
Muhammad Abduh Tentang Pendidikan Islam
Mayoritas peneliti sepakat bahwa Muhamamd Abduh adalah seorang reformis atau pembaharu pendidikan
Islam. Sebagai
seorang reformis, Muhammad ‘Abduh memandang bahwa pendidikan merupakan elemen
penting bagi masyarakat Islam untuk kembali mendapatkan martabat yang telah
lama hilang. Muhammad
‘Abduh ingin berperan di dalam kebangkitan peradaban umat yang tengah dihantam
oleh badai keterbelakangan. Ia melihat bahwa jalan menuju itu adalah “pendidikan”,
tetapi bukan setiap pendidikan, melainkan pendidikan yang berasaskan referensi
keagamaan Islam.
a. Pemikirannya tentang Orientasi
pembaharuan pendidikan ala Barat
Kontak kebudayaan antara Mesir dan
kebudayaan yang dibawa oleh Napoleon Bonaparte menimbulkan kesadaraan umat
Islam bahwa mereka telah tertinggal jauh dari Eropa. Kesadaran ini menimbulkan berbagai pergerakan
pembaharuan dari kalangan umat Islam, salah satu pelopornya adalah Muhammad Ali
Pasya.
Setelah Muhammad Ali menjadi
penguasa tunggal di Mesir, ia tidak mengalami kesukaran dalam merealisasikan
konsep pembaharuannya, terutama di bidang pendidikan. Sebagai penguasa Mesir,
ia mengirim orang-orang Mesir untuk menuntut ilmu ke Eropa, terutama ke Paris.
Sementara di Kairo sendiri,
didirikan sekolah-sekolah modern, seperti sekolah militer,
teknik, kedokteran, apoteker, pertanian, dll. Sekolah-sekolah yang
didirikan Muhammad Ali ini berorentasi pada pendidikan Barat, dan jauh dari ruh
Islam, karena mengenyampingkan pendidikan Islam. Sementara di Al-Azhar, sebagai
benteng pendidikan ke-Islaman, terus bersikeras pada corak tradisionalnya.
Realitas ini menyebabkan adanya dualisme pendidikan di Mesir.
Pembaharuan dalam bidang pendidikan
yang juga menjadi prioritas utama Muhammad Ali, berorientasi pada pendidikan
barat. Ia mendirikan berbagai macam sekolah yang meniru sistem pendidikan dan
pengajaran barat, dari pembaharuan dalam bidang pendidikan tersebut mewariskan
dua tipe pendidikan pada abad ke 20. Tipe pertama sekolah tradisional. Tipe
kedua, sekolah-sekolah modern yang didirikan oleh pemerintah Mesir oleh para
misionaris asing. Kedua tipe lembaga pendidikan tidak mempunyai hubungan sama
sekali dan masing-masing
berdiri sendiri.
Adanya dua tipe pendidikan tersebut
juga berdampak kepada munculnya dua kelas sosial dengan motivasi yang berbeda.
Tipe yang pertama melahirkan para ulama dam tokoh masyarakat yang mempertahankan tradisi,
sedangkan tipe sekolah kedua melahirkan kelas elit generasi muda yang
mendewakan dan menerima perkembangan dari barat tanpa melakukan filterisasi.
b.
Pemikiran
Pembaharuan pendidikan Islam Muhammad ‘Abduh
Salah satu proyek terbesar Muhammad
‘Abduh dalam gerakannya sebagai seorang tokoh pembaharu sepanjang hayatnya
adalah pembaharuan dalam bidang pendidikan.
Muhammad ‘Abduh melihat adanya segi-segi
negatif bentuk pemikiran yang muncul dan ia mengkritik kedua corak lembaga pendidikan
yang berkembang di Mesir saat itu. ‘Abduh memandang bahwa jika pola fikir
yang pertama tetap di pertahankan maka akan mengakibatkan umat Islam tertinggal
jauh dan semakin terdesak oleh arus kehidupan modern.
Sementara pola fikir yang kedua, Muhammad
‘Abduh melihat bahwa pemikiran modern yang mereka serap dari barat tanpa nilai
“religius” merupakan bahaya yang mengancam sendi agama dan moral. Maka muncul
Ide untuk
menyelaraskan atau memperkecil dualisme pendidikan ini. Ia berupaya
untuk menjadikan dua pola pendidikan tersebut dapat saling
menopang demi untuk mencapai suatu kemajuan serta upaya untuk mempersempit
jurang pemisah antara dua lembaga pendidikan yang kelak akan melahirkan para
generasi penerus.
Dalam upayanya membenahi sitem
pendidikan terutama di Mesir, Muhammad ‘Abduh mengadopsi pemikiran teman
sekaligus mentornya Jamaluddin Al-Afghani. Ia cenderung menggunakan metode
–metode yang didasarkan pada filsafat rasionalis. Pendidikan agama yang
berkaitan dengan tauhid dijelaskan dengan menggunakan pendekatan nalar, seperti
yang diperolehnya dari Al-Afghani. Hal ini berbeda jauh dengan metode yang
sudah mapan dilakukan di Mesir yaitu metode hafalan.
Muhammad ‘Abduh juga tidak
segan-segan memasukkan materi pendidikan Barat dalam kurikulum dipadukan dengan
pendidikan Islam. Sebagai contoh ; ia memasukkan pelajaran Sejarah
Kemajuan Eropa dan Prancis karangan Guizot. Pembaharuan yang dilakukan Muhammad
‘Abduh dalam kurikulum Al-Azhar diniatkan sebagai contoh bagi perguruan Islam
lain di dunia sebab Al-Azhar adalah lambang pendidikan dunia Islam.
Gibb melalui Modern Trends in
Islam,[7] menjelaskan
bahwa menurut
Muhammad ‘Abduh ada empat agenda pembaruan, terutama di bidang pendidikan
Islam, yaitu:
1) Purifikasi : Pemurnian
ajaran Islam mendapat perhatian serius dari Muhammad ‘Abduh berkaitan dengan munculnya bid'ah
dan khurafat yang masuk dalam kehidupan beragama kaum muslim.
2)
Reformasi : Muhammad
‘Abduh, dalam mereformasi pendidikan tinggi Islam terkonsentrasi pada
universitas almamaternya, Al-Azhar. Ia menyatakan bahwa kewajiban belajar itu
tidak hanya mempelajari buku-buku klasik berbahasa Arab yang berisi dogma ilmu
agama untuk membela Islam. Akan tetapi, kewajiban belajar juga terletak pada
mempelajari sains-sains modern, serta sejarah dan agama Eropa, agar diketahui
sebab-sebab kemajuan yang telah mereka capai.
Nurcholish Majid menjelaskan bahwa usaha awal reformasi
Muhammad ‘Abduh adalah memperjuangkan mata kuliah filsafat agar diajarkan di
Al-Azhar. Dengan belajar filsafat, semangat intelektualisme Islam yang hilang
diharapkan dapat hidup kembali.
3)
Pembelaan Islam: Muhammad ‘Abduh, melalui Risalah
Tauhid-nya tetap mempertahankan jati diri Islam. Usahanya untuk
menghilangkan unsur-unsur asing merupakan bukti bahwa ia tetap yakin dengan
kemandirian Islam. Abduh, terlihat tidak pernah menaruh perhatian pada
paham-paham ateis atau anti agama yang marak di Eropa. Ia lebih tertarik untuk
memperhatikan serangan-serangan terhadap Islam dari sudut keilmuan.
4)
Reformulasi : Agenda ini dilaksanakan Abduh
dengan membuka kembali pintu ijtihad. Karena menurutnya, kemunduran umat Islam
disebabkan dua faktor: eksternal dan internal, yakni kejumudan umat Islam
sendiri. Abduh dengan refomulasinya menegaskan bahwa Islam telah membangkitkan
akal pikiran manusia dari tidur panjangnya, sebenarnya manusia tercipta dalam
keadaan tidak terkekang, termasuk dalam hal berpikir.
Langkah yang ditempuh Muhammad ‘Abduh untuk meminimalisir kesenjangan
dualisme pendidikan adalah upaya menyelaraskan dan
menyeimbangkan antara porsi pelajaran agama dengan pelajaran umum. Hal ini
dilakukan untuk memasukan ilmu-ilmu umum kedalam kurikulum sekolah agama dan
memasukan pendidikan agama kedalam kurikulum modern yang didirikan pemerintah
sebagai sarana untuk mendidik tenaga-tenaga administrasi, militer, kesehatan,
perindustrian. Atas usahanya tersebut, maka didirikanlah suatu
lembaga yakni “Majlis Pendidikan Tinggi”.
Dalam pandangan Muhammad ‘Abduh, Islam adalah agama yang rasional. Dengan
membuka pintu ijtihad, kebangunan akal akan dapat ditingkatkan. Ilmu pengetahuan harus
dimajukan di kalangan rakyat hingga mereka dapat berlomba dengan masyarakat
Barat. Karena jika
Islam ditafsirkan sebaik-baiknya dan difahami secara benar, tidak satu pun
dalam ajaran Islam yang bertentangan dengan ilmu pengetahuan.
E. Biografi Naquib Al-Attas
Nama
lengkap Syed Muhammad Naquib Al-Attas adalah Syed Muhammad Naquib bin Ali bin
Abdullah bin Muhsin bin Muhammad al-Attas. Beliau dilahirkan di Bogor, Jawa
Barat pada tanggal 5 September 1931. Pada waktu itu Indonesia berada dibawah
kolonialisme Belanda.
Bila
dilihat dari garis keturunannya, al-Attas termasuk orang yang beruntung secara
inheren. Sebab dari kedua belah pihak,baik pihak ayah maupun pihak ibu
merupakan orang-orang yang berdarah biru. Ibunya yang asli Bogor itu masih
keturunan bangsawan Sunda. Sedangkan pihak ayah masih tergolong bangsawan di
Johor. Bahkan mendapat gelar Sayyed yang dalam tradisi Islam orang yang
mendapat gelar tersebut merupakan keturunan langsung dari Nabi Muhammad.
Pada usia
lima tahun, Syed Muhammad Naquib dikirim ke Johor untuk belajar di Sekolah
Dasar Ngee Hang (1936-1941). Pada masa pendidikan Jepang, dia kembali ke
Jawa untuk meneruskan pendidikannya di Madrasah Al-‘Urwatu Al-Wutsqa,
Sukabumi (1941-1945). Setelah Perang Dunia II pada 1946, Syed Muhammad Naquib
kembali ke Johor untuk merampungkan pendidikan selanjutnya, pertama di Bukit
Zahra School kemudian di English College (1946-1951).
Setelah itu, beliau mengikuti
pendidikan militer, pertama di Erron Hall, Chester, Wales, kemudian di Royal
Millitary Academy, Sandhurst, Inggris. Selain mengikuti pendidikan
militer, Al-Attas juga sering pergi ke Negara-negara Eropa lainnya (terutama
Spanyol) dan Afrika Utara untuk mengunjungi tempat-tempat yang terkenal dengan
tradisi intelektual, seni, dan gaya bangunan keislamannya. Setelah tamat dai
Sandhurst, Al-Attas ditugaskan sebagai pegawai kantor resimen tentara kerajaan
Malaya. Al-Attas mendapatkan gelar M.A. pada 1962 dari Universitas McGill, Montreal.
Sedangkan gelar Ph.D. diperoleh dari Universitas London 1965.[8]
F. Pemikiran Naquib Al-Attas Tentang
Pendidikan Islam
Syed Muhammad
Naquib al-Attas adalah salah seorang
cendekiawan dan filsuf muslim dari Malaysia yang menguasai teologi,
filsafat, metafisika, sejarah dan literatur. Kepakarannya dalam bidang-bidang
tersebut tidak diragukan lagi dan sudah diakui oleh berbagai
kalangan intelektual. Berikut merupakan sebagian dari
pemikiran-pemikiran yang beliau gagas.[9]
1.
Makna dan
Tujuan Pendidikan
Makna dan
tujuan pendidikan adalah dua unsur yang saling berkaitan. Secara umum ada dua
pandangan teoritis mengenai tujuan pendidikan, masing-masing dengan tingkat
keragamannya tersendiri. Pandangan teoritis yang pertama berorientasi
kemayarakatan, yaitu pandangan yang menganggap pendidikan sebagai sarana utama
dalam menciptakan rakyat yang baik, baik untuk system pemerintahan demokratis,
oligarkis maupun monarkis. Pandangan teoritis yang kedua lebih berorientasi
kepada individu, yang lebih memfokuskan diri pada kebutuhan, daya tampung, dan
minat pelajar.
Ada
tiga istilah yang dianggap memiliki arti
yang dekat dan tepat dengan makna pendidikan. Ketiga
istilah itu adalah tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib yang masing-masing
memiliki karakteristik makna disamping mempunyai
kesesuaian dalam pengertian pendidikan Islam.
a. Makna tarbiyah dalam rangka
pendidikan Islam
Menurut
Najib Khalid al-Amir ada lima sisi dari
pengertian tarbiyah secara berkesinambungan yang
satu sama lain berbeda sesuai
dengan pembentukannya yaitu:
1) Tarbiyah adalah
menyampaikan sesuatu untuk mencapai kesempurnaan.
Bentuk penyampaian satu dengan yang lain
berbeda sesuai dengan cara pembentukannya.
2) Tarbiyah adalah menentukan tujuan
melalui persiapan sesuai dengan batas kemampuan untuk mencapai kesempurnaan.
3) Tarbiyah adalah sesuatu yang
dilakukan secara bertahap dan sedikit demi sedikit oleh seorang pendidik
(murabbi).
4) Tarbiyah dilakukan
secara berkesinambungan. Artinya tahapan-tahapan
sejalan dengan kehidupan, tidak berhenti
pada batas tertentu, terhitung dari buaian sampai liang
lahat.
5) Tarbiyah adalah tujuan
terpenting dalam kehidupan baik secara individu maupun keseluruhan.
b. Makna ta’lim dalam rangka pendidikan
Islam
Adapun al
ta’lim secara etimologis berasal dari kata kerja “allama” yang berarti
mengajar. Jadi makna ta’lim dapat diartikan “pengajaran” seperti dalam bahasa
arab dinyatakan Tarbiyah wa ta’lim berarti “pendidikan dan
pengajaran”. Sedangkan pendidikan Islam dalam bahasa Arabnya “al tarbiyah al
Islamiyah”.
c. Makna ta’dib dalam rangka pendidikan
Islam
Adapun
ta’dib secara bahasa merupakan bentuk masdar dari kata “addaba” yang berarti
memberi adab mendidik (Yunus, 1972: 37). Istilah ini dalam
kaitan dengan arti pendidikan Islam telah dikemukakan oleh Syed Muhammad Naquib
al-Attas yang menyatakan bahwa istilah ta’dib merupakan istilah ynag dianggap
tepat untuk menunjuk arti pendidikan Islam. Pengertian ini didasarkan bahwa
arti pendidikan adalah meresapkan dan menambahkan adab pada manusia.
Dalam
bukunya yang lain, beliau menyebutkan tujuan pendidikan dalam Islam adalah
untuk menghasilkan manusia-manusia yang baik. Orang yang baik disini adalah
adab dalam pengertian yang menyeluruh, “yang meliputi kehidupan spiritual dan
material seseorang, yang berusaha menanamkan kualitas kebaikan yang
diterimanya.” Maka, orang yang benar-benar terpelajar menurut perspektif Islam
didefinisikan Al-Attas sebagai orang yang beradab.
Dalam
pengertian yang asli adab adalah mengundang ke suatu perjamuan. Perjamuan
menyiratkan bahwa tuan rumah adalah seorang yang mulia dan terhormat dan banyak
orang yang hadir. Ini juga berarti bahwa orang-orang yang hadir itu adalah
mereka yang dalam penilaian tuan rumah patut mendapat atas undangan itu.
Berdasarkan ini maka adab berarti juga disiplin terhadap pikiran dan jiwa,
untuk menunjukkan tindakan yang betul melawan yang keliru, yang benar melawan
yang salah, agar terluput dari noda dan cela.
Pendidikan menurut Al-Attas adalah
“penyemaian dan penanaman adab dalam diri seseorang ini diebut ta’dib”
al-Qur’an menegaskan bahwa contoh ideal bagi orang yang beradab adalah Nabi
Muhammad SAW. Yang oleh kebanyakan sarjana Muslim disebut sebagai Manusia
Sempurna atau Manusia Universal. Menurut Al-Attas, jika benar-benar dipahami
dan dijelaskan dengan baik, sebagaimana telah dijelaskan diatas, konsep ta’adib
adalah konsep paling tepat untuk pendidikan Islam, bukannya tarbiyah ataupun
ta’lim. Dia mengatakan, “Struktur konsep ta’adib sudah mencakup unsur-unsur
ilmu, instruksi dan pembinaan yang baik sehingga tidak perlu lagi dikatakan
bahwa konsep pendidikan Islam adalah sebagaimana terdapat dalam tiga serangkai
konsep tarbiyah-ta’lim-ta’dib.”
2. Kurikulum Dan Metode Pendidikan
Metode merupakan
sarana yang bermakna dan faktor yang akan
mengefektifkan pelaksanaan pendidikan. Demikian
pentingnya metode dalam pendidikan Islam, telah menempatkan
faktor ini sebagai faktor yang esensial dalam
pelaksanaan pendidikan.[10]
a.
Persiapan
Spiritual
Abu Sa’id Al-Kharraz , seorang sufi
terkenal abad ke-9 M, mengatakan bahwa salah satu prinsip etika adalah
keikhlasan, disamping kebenaran dan kesabaran. Disamping itu Al-Attas
menekankan kejujuran dan keikhlasan dalam mencari ilmu dan mengajarkan ilmu.
b.
Ketergantungan
Pada Otoritas dan Peranan Guru
Al-Attas mengatakan bahwa otoritas
tertinggi adalah al-Qur’an dan Nabi, yang diteruskan oleh para sahabat dan para
ilmuwan laki-laki dan perempuan yang mengikuti sunahnya. Peranan guru dianggap
sangat penting. Peserta didik diharapkan tidak tergesa-gesa belajar kepada
sembarang guru.
c.
Peranan
Bahasa
Al-Attas
selalu menganalisis dan menjelaskan konsep dan istilah kunci, serta menekankan
pemakaian bahasa secara benar sehingga makna yang benar mengenai istilah dan
komsep kunci yang termuat didalamnya tifak berubah atau dikacaukan. Mungkin
Al-Attas adalah pemikir pertama di kalangan Muslim yang menyatakan bahwa sarana
utama Islamisasi bangsa Arab pra-Islamadalah melalui Islamisasi bahasa Arab itu
sendiri. Demikian pula de-Islamisasi atau sekulerisasi pemikiran Muslim juga
berlangsung secara efektif melalui aspek linguistik.
d.
Metode
Tauhid
Metode tauhid ini menyelesaikan
problematika dikotomi yang salah, seperti antara aspek objektif dan subjektif
ilmu pengetahuan. Sayangnya apa yang dianggap objektif dianggap lebih nyata dan
karena itu lebih valid daripada yang subjektif.
e.
Pancaindra,
Akal, dan Intuisi
Al-Attas membenarkan adanya
kemampuan psikologis, yang dalam konsepsi Islam mengenai jiwa dan proses
kognitif, kemampuan tersebu diletakkan sesuai dengan peranannya yang tepat.
Sebab Islam mengakui kebenaran pelbagai saluran ilmu pengetahuan , seperti
pancaindra, berita yang benar, akal sehat, dan intuisi yang digabung di dalam
akidah.
f.
Penggunaan Metafora dan Cerita
Ciri metode pendidikan A-Attas yang
lain adalah penggunaan metafora dan cerita sebagai contoh atau perumpamaan,
sebuah metode yang juga banyak digunakan dalam al-Qur’an dan hadis. Salah satu
metafora yang sering digunakan adalah metafora papan penunjuk iklan (sign
post). Kajian Al-Attas mengenai muatan pendidikan Islam berangkat dari
pandangan bahwa karena manusia itu bersifat dualistis, ilmu pengetahuan yang
dapat memenuhi kebutuhannya dengan baik adalah yang memiliki dua aspek.
Pertama, yang memenuhi kebutuhannya yang berdimensi permanen dan spiritual; dan
kedua, yang memenuhi kebutuhan material dan emosional.
3.
Murid dan
Guru Dalam Pandangan Syed M. Naquib Al-Attas
Peserta
didik disarankan untuk tidak tergesa-gesa belajar kepada sembarang guru,
sebaliknya peserta didik harus meluangkan waktu untuk mencari siapakah guru
terbaik dalam bidang yang ia gemari. Adab guru dan peserta didik dalam filsafat
pendidikan Al-Attas tampaknya diilhami oleh prinsip yang dipertahankan para
ilmuwan Terkenal, khususnya Al-Ghazali. Selain persiapan spiritual, guru dan
peserta didik harus mengamalkan adab, yaitu mendisiplinkan pikiran dan jiwa.
Peserta didik harus menghormati dan percaya kepada guru; harus sabar dengan
kekurangan gurunya dan menempatkannya dalam perspektif yang wajar.
Peserta
didik seharusnya tidak menyibukkan diri pada opini yang bermacam-macam.
Sebaliknya, ia meguasai materi sebaik penguasaannya dalam praktik. Tingkat ilmu
seseorang yang bisa dibanggakan adalah yang memuaskan guru. Gurupun seharusnya
tidak menafikan nasihat yang datang dari peserta didik dan harus membiarkannya
berproses sesuai dengan kemammpuannya. Guru juga harus menghargai kemampuan
peserta didik dan mengoreksinya dengan penuh rasa simpati.
G.
Biografi
ismail raji al-faruqi
Al Faruqi dilahirkan di Jaffa, Palestina pada tahun
1921 tanggal 1 Januari 1921. Ayahnya seorang qadi di terpandang di Palestina,
bernama Abdul Huda Al Faruqi. Setelah menamatkan pendidikan madrasah di tempat
kelahirannya, Al Faruqi menempuh pendidikan di College Des Freres (St. Joseph)
Lebanon, mulai tahun 1926 sampai dengan tahun 1936.
Pada
tahun 1941, Al Faruqi melanjutkan pendidikannya di Amirecan University of
Beirut, di Beirut dengan mengambil kajian Filsafat sampai meraih gelar sarjana
muda (Bachelor of Art). Al Faruqi sempat menjadi pegawai pemerintah Palestina
di bawah mandat Inggris. Jabatan sebagai pegawai negeri diembannya selama empat
tahun, kemudian ia diangkat menjadi Gubernur Galilea. Jabatan Gubernur ini
ternyata Gubernur terakhir dalam sejarah pemerintahan Palestina, karena sejak
tahun 1947 propinsi yang dipimpin oleh Al Faruqi tersebut jatuh ke tangan
kekuasaan Israel. Keadaan ini membuat al Faruqi harus hijrah ke Amerika Serikat
pada tahun 1948.
Di Amerika, Al Faruqi mengeluti bidang akademis dan
konsen pada persoalan-persoalan keilmuan. Hal ini juga mendorong al Faruqi
untuk melanjutkan pendidikannya. Selain itu, kultur masyarakat Barat yang
cenderung tidak rasialis dan deskriminatif juga memberi peluang baginya untuk
mengembangkan potensi akademiknya, sehingga pada tahun 1949 al Faruqi berhasil
meraih gelar master (master of Art) dengan judul tesis On Justifying the Good:
Metaphysic and Epitemology of Value (tentang pembenaran kebaikan: Metafisik dan
epistimologi nilai). Gelar doctor diperolehnya di Indiana University.
Titel doktor tidak membuatnya lepas dahaga keilmuan,
oleh karenanya kemudian ia melanjutkan kajian keIslamannya di jenjang
pascasarjana di Universitas Al Azhar, Kairo Mesir. Program ini dilalui selama
tiga tahun. Kemudian pada tahun 1964, dia kembali ke Amerika dan memulai
kariernya sebagai guru besar tamu (visiting professor) di University Chicago di
School of Devinity. Al Faruqi juga pernah tercatat sebagai staf pengajardi
McGill University, Montreal Kanada pada tahun 1959. Pada tahun 1961, ia pindah
ke Karachi, Pakistan selama dua tahun.
Karir akademik al Faruqi juga pernah dilalui di
Universitas Syracuse, New York, sebagai pengajar pada program pengkajian Islam.
Tahun 1968, al Faruqi pindah ke Temple University, Philadelpia. Di lembaga ini,
ia bertindak sebagai profesor agama dan di sinilah ia mendirikan Pusat
Pengkajian Islam. Selain menjadi guru besar di University Temle ini, ia juga
dipercaya sebagai guru besar studi keIslaman di Central Institute of Islamic
Research, Karchi.
Tujuh
Belas Ramadhan 1406/1986, Subuh dini hari menjelang sahur, tiga orang tidak
dikenal menyelinap ke dalam rumah suami istri Ismail Raji Al Faruqi dan Lois
Lamya di wilayah Cheletenham, Philadelpia. Dua guru besar di Universitas Temple
AS beserta dua anak mereka dibunuh oleh tiga orang tersebut, dan wafat
seketika.[11]
H. Pemikiran Ismail Rajil Al-Faruqi
Tentang Pendidikan
Dalam
relitas, Islamisasi ilmu pengetahuan tida hanya sebatas komsumsi diskursus
antar pakar diberbagai belahan dunia,
tetapi telah memasuki fase aplikasi. Sekadar contoh sekarang kita kenal
sosiologi Islam, antropologi Islam, polkitik Islam, psikologi Islam, ekonomi
Islam dan sebagainya. Ketiga disiplin ilmu terakhir ini sekarang banyak
dikembangkan diberbagai perguruan tinggi di Indonesia khususnya perguruan
tinggi Islam serti IAIN dan STAIN. Namun perlu diakkui bahwa di antara sederet
disiplin diatas secara factual, ekonbomi Islam paling maju (ancok, 1994, 109)
dan banyak kita temukan aplikasinya ditengah-tengah maraknya ekonomi kontemporer.[12]
1.
Aspek
Kelembagaan
Persoalan mendasar pada aspek kelembagaan ini
menyangkut bentuk lembaga yang diinginkan atau diharapkan pascaIslamisasi.
Dalam deskripsi yang lebih tegas Islamisasi dalam aspek kelembagaan dimaksud
adalah menyatukan dua sysyem pendidikan, yakni pendidikan Islam (agama) dan
sekuler (umum). Artinya melakukan modernisasi bagi lembaga pendidikan agama dan
Islamisasi pendidikan sekuler. Adanya lembaga pendidikan modern (Barat
sekuler), dipandang sebagai kamuflase yang mengatas namakan Islam, dan
menjadika Islam sebagai symbol. Mengantisipasi keadaan ini perlu didirikannya
pendidikan-pendidikan Islam yang baru sebagai tandingan.
Sepertinya implikasi dari Islamisasi ilmu
pengetahuan pada aspek kelembagaan adalah terbentuknya lembaga independent yang
mengintegrasikan pengembangan ilmu agama dan umum, artinya apapun nama lembaga
tersebut yang terpenting adalah terintegrasinya secara komprehensif antatra
system umum dan agama. Meskipun tatanan sistematika keorganisasian lembaga
mengadopsi barat namun secara substansi menerapkan system Islam.
Pengintegrasian lembaga tidak hanya terkait dengan
masalahg keilmuan, namun secara administrative pengelola lembaga pendidikan
tersebut mengacu pad system pada manejeman pendidikan Islam. Suatu bentuk manejaman
yang bermoral sesuai dan sejalan dengan visi keIslaman itu sendiri. Dalam hal
ini berbagai konsep manejemne bisnis seperti total quality manajeman, brancmark
manajamen dan manajamen basic scholl perlu dipertimbangan untuk diterapkan.
Mengamatai implikasi Islamisasi ilmu pengettahuan
pada aspek kelembagaan, agaknya terlihat kejelasan bahwa al-faruqi belum mampu
menuntaskan gagasan ini. Hal ini belum terlihat adanya lembaga pendidikan yang
mereka dirikan sebagai kejewantah dari Islamisasai ilmu pengetanhuan dalam
lembvaga perndidikan. Al-faruqi hanya mnerapkan proyek ini pada lembaga
penelitian 3T dan lembaga pendiidkan pada pihak lain di Amerika Serikat.
Kendati demikian setidaknya ia telah memberikan kontribusi dalam usaha
pendirian kajian keIslaman diberbagai Negara muslim dunia. (makalah)
2.
Aspek
Kurikulum
Universitas harus memiliki kurikulum inti, karena
kurikulum inilah yang menunjukkan esensi universitas. Pengkajian kurikulum ini
tidask dapat diserahkan pada satu tim saja, namun membutuhkan ahli-ahli
dibidangnya, perbincangan ini harus dimulai sejak awal Islamisasi. Dalam hal
ini kurikulum yang telah dikembangkan dibarat tidak boleh diabaikan.
Pengembangan
kurikulum dalam Islam dilihat dari kebenaran fundamental dan yang tidak dapat dirubah dari prinsip
atauhit (al-Qur’an dan Sunnah). Meskipun dalam prosesnya kurikulum membolehkan
pengadopsian dari buku-buku barat, namun juga memberikan priuoritas utama
sebagai sumber yakni al-Qur’an dan Sunnah.[13]
Rumusan kurikulum dalam Islamisasi ilmu pengetahuan dengan
memasukkan segala keilmuan dalam kurikulum. Denga demikian, lembaga pendidikan
memiliki kurikulum yang akyual, responsive dengan tuntutan permasalahna
kontemporer. Artinya lembaga akan melahir melulusan yang revulusiner, berpandangan integrative, pro
aktif dan tanggap terhadap masa depan serta tidak dikomistik dalam keilmuan.
3.
Aspek
Pendidik
Dalam hal ini para pendidik ditempatka pada posisi
sepatutnya, artinya kompetensi yang professional yang mereka meliki dihargai
sebgaimana mestinya. Bagi al-faruqi tidak selayaknya para pendidik mengajar
dengan prinsip keihlasan, pendidik harus diberiakan honor sesuai dengan
keahliannya. Disamping itu tidak selayaknya pendidik tamu dihargai lebih tinggi
disbanding dengan pendidik milik sendiri.
Terkait denga pengajar yang memberikan pembelajaran
pada tingkat dasar dan lanjutan tidak dibenarkan Islamologi atau misionaris.
Artinya harus pendidik yang benar-benar Islam dan memiliki basic keIslaman yang
mantap. Disampiung itu,staf-staf pengajar yang diinginkan universitas Islam
adalah staf pengajar yang saleh serta memilki visi keIslaman, memilki kemampuan
dalam menafsirka beberapa teori berdasarka pendekatan Islami secara menyakinkan
serta mampu membimbing mahasisawa secara tepat untuk menemukan pemecahan dan
jawaban yang benar.
Denga demikian, harus ada rumusan yang tegas tentang
kriterias calon pendidik selain indeks prestasi sebagai parameter kualiatsbin
telektaul, penting dialakukan wawasncar aqidah, keimanan dan keagamaan, jiwa
dan sikap terhadap jabatan. Criteria ini juga harus ditopang oleh kode etik
Islami tentang profesi pendidik. Seoarang pendidik ditunutut memliki kemampuan
subtantif, yaitu brupa pengeuasaa dua segi keilmuan, yaitu ilmu agama dan ilmu
modern sekaligus. Disamping itu seorang pendidik dituntut untuk mampu menetukan
relevansi antara ilmu epengetahuan tersebut dengan ilmu-ilmu agama. Dalam
kontek inilah dituntut kejelian seorang pendidik mengingat beraneka ragamnya substansi
keilmuan yang ada.
Selain kemampuan substantive pendidik juga dituntu
memilki kemapaun non substantive, yaitu berupa multi skill didaktis. Kemampuan
ini mencakup keterampilam dalam menggunakan metode dan strategi pembelajaran,
pengelolaan atau menajeman pendidikan pengevaluana, dan lain sebagainya. Yang
secara keseluruhan bertumpu pada unsure tauhid.
Pada asapek rekruitmen disesuaikan dengan syarat-sayrat
seseuai denga yang telah dikemukakan (aspek intelektual dan kapabilitas
keagamaan). Artinya hanya calon yang memilki akelayakan akademis dan
akapabilitas keagamaan menjadi guru. Selanjutnya pembinaan dimaksudkan untuk
meningkatkan kualifikasi profesioanl guru secara terus menerus sesuai dengan
tuntutan perubahan. Termasuk dalam masalah ini dalam hal kesejahteraan.
Kesemuanya dilakukan dan dibenahio secara terpadu dan sistemi
BAB
III
PENUTUP
Pendidikan senantiasa
selalu berkembang dan berpengaruh dalam kehidupan sosial masyarakat. Dari hal
itu maka tidak dapat dipungkiri bila dalam pendidikan selalu muncul sebuah
problematika yang sangat actual berkembang didalamnya. Semua problematika yang muncul
sangat dipengaruhi oleh beragam faktor yang terkait didalamnya. Yakni, faktor
pendidik, faktor peserta didik, faktor kurikulum dan faktor lingkungan.
Dalam hal ini Muhammad
Iqbal sudah memberikan sumbangan yang sangat besar dalam sebuah karya pemikirannya
mengenai konsep paradigma pendidikan dan dapat dijadikan salah satu sumber
referensi dalam upaya merekonstruksi pendidikan.
Konsep peranan
pendidik, peserta didik, kurikulum dan lingkungan yang dibangun oleh Muhammad
Iqbal sangat sesuai dengan yang diharapkan oleh pendidikkan pada zaman sekarang
secara ideal. Hanya saja secara realitanya belum bisa berkembang secara
seimbang, karena ada kegagalan sistem pendidikan yang mengatur koneksifitas
pendidikan. Jadi dalam sistem pendidikanlah yang mengawali sukses tidaknya
produktifits pendidikan, dalam outputnya. Jika sistem tersebut terkonsep dalam
kurikulum, maka kurikulumlah yang perlu dibenahi.
Bagaimana kurikulum
tersebut terancang sesuai dengan kondisi pendidik, peeserta didik dan
lingkungan. Yang pada akhirnya dapat mewujudkan tujuan pendidikan sesuai yang
diharapkan. Kaitannya dengan hal tersebut, kurikulum yang dipaparkan oleh Muhammad
Iqbal sangat relevan jika dipraktekan dalam sistem pendidikan zaman sekarang,
karena poin poin yang masukkan dalam kurikulumnya sudah menyangkut segala aspek
kehidupan dan dapat mempersiapkan output pendidikan yang mampu menghadapi
segala problematika dalam masyarakat, serta mengawali sebuah perubahan yang
lebih baik dalam pendidikan.
Al-Faruqi adalah seorang tokoh yang
sangat besahaja dalam pengembanganpemikiran Islam komtemporer.
Gagasan-gagasannya sangat brilian dalam rangkamemecahkan persoalan yang
dihadapi umat Islam.Kebesarannya yang langsung berhadapan dengan Barat membuat
Al-Faruqimengamati sendiri tekanan-tekanan barat terhadap dunia Islam dan hal
inimemunculkan ide-ide untuk menghadapi serangan-serangan tersebut. Idenya
tidakterlepas dari konsep tauhid, karena tauhid adalah esensi Islam yang
mencakupseluruh aktifitas manusia.Begitu pula idenya tentang Islamisasi, tidak
terlepasa dari pro dan kontra dantelah membawanya pada puncak ketenaran di
dunia. Gagasannya tetap mejadi umatIslam pada abad ini.
Menurut Isma’il Raji Al-Faruqi,
inti pengalaman keagamaan adalah Tuhan. Kalimat syahadah, atau pengakuan
penerimaan Islam, menegaskan: “Tidak ada Tuhan selain Allah.” Nama Tuhan adalah
“Allah”, dan menepati posisi sentral dalam setiap kedudukan, tindakan, dan
pemikiran setiap Muslim. Kehadiran Tuhan mengisi kesadaran Muslim dalam waktu
kapan pun.
Al Faruqi menegaskan tiga sumbu
tauhid (kesatuan) untuk melakukan islamisasi ilmu pengetahuan. Pertama, adalah
kesatuan pengetahuan; Kedua, adalah kesatuan hidup ; Ketiga, adalah kesatuan
sejarah.
Tauhid juga memiliki empat
prinsip, diantaranya: Prinsip pertama tauhid adalah kesaksian bahwa tiada Tuhan
selain Allah, itu berarti bahwa realitas bersifat ganda yaitu terdiri dari
tingkatan alamiah atau ciptaan dan tingkat trasenden atau pencipta. kedua,
adalah kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah, itu berarti bahwa Allah adalah
Tuhan dari segala sesuatu yang bukan Tuhan; ketiga tauhid adalah, bahwa Allah
adalah tujuan terakhir alam semesta; Prinsip keempat tauhid adalah, bahwa
manusia mempunyai kesanggupan untuk berbuat dan mempunyai kemerdekaan untuk
tidak berbuat.
DAFTAR
PUSTAKA
Azra,
Azyumardi. Dari Arabisme ke Khilafatisme:
Kasus Isma’il al-Faruqi dalam
Azyumardi Azra pada Pergolakan
Politik Islam. Jakarta: Paramadina. 2003.
Gibb, H.A.R. Aliran-Aliran
Modern dalam Islam, alih bahasa Machnun Husein. Cet. III; Jakarta: Rajawali
Pers, 1992.
K.G.
Saiyidain, Iqbals Educational Philosophy,
Penerjemah : M.I. Soelaeman, Bandung: CV. Diponegoro, 1981.
Miss
Luce & Claude Maitre, Introduction
ala pense d`iqbal. (Pengantar ke Pemikiran Iqbal) diterjemahkan oleh : Djohan
Effendi, Jakarta : Pustaka Kencana,1981.
Samsul
Nizar, Sejarah Pendidikan Islam;
Menelusuri Jejaak Sejarah Pendidikan Era Rosulullah Sampai Indonesia,
(Jakarta: Kencana, 2009), 272
Suwito dan
Fauzan.2003 Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan. Bandung: Angkasa, 2003.
Tafsir
dkk. Moralitas Al-Quran dan Tantangan
Modernitas: Telaah atas Pemikiran Fazlur Rahman, Al-Ghazali, dan Isma’il Raji
Al-Faruqi. (Yogyakarta-Semarang: Gama Media-PPs IAIN Wali Songo, 2002),
180-181.
Wan
Mohd Nor Wan Daud, 1998. The Educational
Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, diterjemahkan
oleh Hamid Fahmy dkk, dalam Filsafat dan
Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, Bandung: Mizan, 2002.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar