Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Sabtu, 26 Maret 2016

MAKALAH TOKOH TOKOH FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Dalam catatan sejarah, eksistensi pendidikan Islam telah ada sejak Islam pertama kali diturunkan. Ketika Rasulullah SAW mendapat perintah dari Allah untuk menyebarkan ajaran Islam, maka apa yang dilakukan adalah masuk dalam kategori pendidikan. Karena kepribadian Rasulullah SAW mencerminkan wujud ideal Islam, seorang guru dan pendidik.
Kemudian sejak masa sahabat, tabi’in dan generasi selanjutnya pada masa pendahulu, masa keemasan Islam dan masa pembaharuan banyak bermunculan berbagai pemikiran pendidikan Islam, hal ini salah satunya ditandai dengan banyaknya ulama–ulama Islam yang menulis tentang buku pendidikan dan pengajaran secara mendalam.[1]
Pemikiran pendidikan Islam adalah serangkaian proses kerja akal dan kalbu secara bersungguh-sungguh dalam melihat berbagai persoalan yang ada dalam pendidikan Islam. Beberapa tokoh pemikir pendidikan islam yang akan dikaji pada makalah ini antara lain : Iqbal, Abduh, Al-Attas dan Al-Faruqi.
Di dalam kehidupannya Iqbal berusaha secara serius terhadap perumusan dan pemikiran kembali tentang Islam. Ia berpendapat bahwa kemunduran ummat Islam selama lima ratus tahun terakhir disebabkan oleh kebekuan dalam pemikiran. konkritnya bahwa pintu Ijtihad telah ditutup. Iqbal ingin berjuang untuk martabat bangsa dan umatnya. Saat itu, bangsa Muslim berada dalam kemunduran dan penjajahan Barat. Iqbal merasa terpanggil untuk memperbaiki nasib bangsa dan umatnya itu, salah satunya dengan pembaharuan pemikiran Islam agar kontekstual dengan jiwa zaman saat itu.
Berikutnya ialah Muhammad ‘Abduh adalah tokoh pembaharu yang tidak asing lagi, dunia Islam dan Barat mengakuinya, bahkan pandangannya sering dijadikan rujukan dalam pembahasan ke-Islaman. Ia dilahirkan dalam situasi, dimana dunia Barat gencar-gencarnya melakukan kegiatan ekspansi ke daerah-daerah Islam, termasuk Mesir. Pada masa Muhammad ‘Abduh itu, ada dua golongan ekstrim: mempertahankan tradisi Arab-Islam; dan mengadakan pembaharuan yang murni merujuk pada Barat, sehingga nyaris melupakan nilai-nilai Timur dan Islam. Muhammad ‘Abduh termotivasi untuk ikut memberikan respons dan mengadakan perbaikan di berbagai bidang, terutama pendidikan.
Tokoh berikut yang merupakan pembahasan dalam makalah ini ialah Al-Attas, ia mengatakan bahwa otoritas tertinggi adalah al-Qur’an dan Nabi, yang diteruskan oleh para sahabat dan para ilmuwan laki-laki dan perempuan yang mengikuti sunahnya. Peranan guru dianggap sangat penting. Peserta didik diharapkan tidak tergesa-gesa belajar kepada sembarang guru.
Yang Terakhir tokoh yang dibahas pada makalah ini ialah Al-Faruqi, beliau adalah seorang tokoh yang sangat besahaja dalam pengembanganpemikiran Islam komtemporer. Gagasan-gagasannya sangat brilian dalam rangka memecahkan persoalan yang dihadapi umat Islam. Kebesarannya yang langsung berhadapan dengan Barat membuat Al-Faruqi mengamati sendiri tekanan-tekanan barat terhadap dunia Islam dan hal ini memunculkan ide-ide untuk menghadapi serangan-serangan tersebut. Idenya tidak terlepas dari konsep tauhid, karena tauhid adalah esensi Islam yang mencakupseluruh aktifitas manusia. Begitu pula idenya tentang Islamisasi, tidak terlepasa dari pro dan kontra dantelah membawanya pada puncak ketenaran di dunia. Gagasannya tetap mejadi pegangan umatIslam pada abad ini.
B.     Rumusan Masalah
     Dari Latar Belakang Di Atas Maka Pemakalah Membuat Rumusan Masalah Sebagai Berikut:
1.      Siapakah Iqbal Itu.
2.      Apakah Pemikiriran Iqbal Tentang Pendidikan Islam.
3.      Siapakah Muhammad Abduh Itu.
4.      Apa Saja Pemikiran Muhammad Abduh Tentang Pendidikan Islam.
5.      Siapakah Syed Muhammad Al-Naquid Al-Attas.
6.      Apa Bentuk Pemikiran Syed Muhammad Al-Naquid Al-Attas Tentang Pendidikan Islam.
7.      Siapakah Ismail Rajil Al-Faruqi.
8.      Apa Pemikiran Ismail Rajil Al-Faruqi Tentang Pendidikan Islam.
C.    Tujuan Pembahasan
     Dari Latar Belakang Di Atas Maka Tujuan Pembahasan Pada Pemakalah Ini Sebagai Berikut:
1.      Menyebutkan Biografi Iqbal.
2.      Menjelaskan Pemikiriran Iqbal Tentang Pendidikan Islam.
3.      Menjelaskan Biografi Muhammad Abduh.
4.      Menyebutkan Pemikiran Muhammad Abduh Tentang Pendidikan Islam.
5.      Menyebutkan Biografi Syed Muhammad Al-Naquid Al-Attas.
6.      Menjelaskan Pemikiran Syed Muhammad Al-Naquid Al-Attas Tentang Pendidikan Islam.
7.      Menyebutkan Biografi Ismail Rajil Al-Faruqi.
8.      Menjelaskan Pemikiran Ismail Rajil Al-Faruqi Tentang Pendidikan Islam.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biografi Iqbal
Lahir di Sialkot, kota peninggalan Dinasti Mughal India pada tanggal 22 Februari 1873. Ayahandanya Syaikh Nur Muhammad memiliki kedekatan dengan kalangan Sufi. Iqbal berasal dari keluarga miskin, dengan mendapatkan beasiswa dia mendapat pendidikan bagus. Keluarga Iqbal berasal dari keluarga. Brahmana Kashmir yang telah memeluk agama Islam sejak tiga abad sebelum kelahiran Iqbal, dan menjadi penganut agama Islam yang taat. Pada tahun 1895 Iqbal menyelesaikan study di Scottish dan pergi ke Lahore. Salah satu kota di India yang menjadi pusat kebudayaan, pengetahuan dan seni.
Di kota Lahore ini, sambil melanjutkan pendidikan sarjananya ia mengajar filsafat di Government College. Pada tahun 1897 Iqbal memperoleh gelar B.A., kemudian ia mengambil program M.A. dalam bidang filsafat. Pada saat itulah ia bertemu dengan Sir Thomas Arnold. orientalis Inggris yang terkenal yang mengajarkan filsafat Islam di College tersebut.
Dengan dorongan dan dukungan dari Arnold, Iqbal menjadi terkenal sebagai salah satu pengajar yang berbakat dan penyair di Lahor. Pada tahun 1905, ia belajar di Cambridge. Iqbal kemudian belajar di Heidilberg dan Munich. Di Munich ia menyelesaikan doktornya tahun 1908 dengan disertasi, The Development of Metaphysics in Persia. Ia kembali ke London untuk belajar di bidang keadvokatan sambil mengajar bahasa dan kesusastraan Arab di Universitas London.[2]
B.     Pemikiran Iqbal Tentang Pendidikan Islam
1.   Kurikulum
Kurikulum secara garis besar dapat diartikan dengan seperangkat materi pendidikan dan pengajaran yang diberikan kepada murid sesuai dengan tujuan pendidikan yang akan dicapai. Adapun isi kurikulum pendidikan menurut Muhammad Iqbal[3] ialah:
a.    Isi kurikulum pendidikan harus mencakup agama, sejarah, ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada umumnya Muhammad Iqbal menggunakan kata “pengetahuan (knowledge) yang didasarkan pada panca indra. Pengetahuan dalam arti ini kepada manusia memberikan kekuasan yang harus ditempatkan di bawah agama. Muhammad Iqbal berpendapat bahwa agama adalah suatu kekuatan dari kepentingan besar dalam kehidupan individu juga masyarakat. Apabila pengetahuan dalam arti ini tidak ditempatkan dibawah agama, ia akan menjelma menjadi kekuatan syetan. Pengertian dalam arti ini dipandang berfungsi sebagai langkah pertama dalam rangka mendapatkan pengetahuan yang sebenarnya. Oleh karenanya kitab merupakan sarana dalam penyampaian ilmu pengetahuan. Jadi menurut Muhammad Iqbal, antara agama dan ilmu pengetahuan harus berjalan secara selaras, karena agama mampu menyiapkan manusia modern untuk memikul tanggung jawab yang besar yang dimana ilmu pengetahuan juga pasti terlibat.
b.      Isi kurikulum pendidikan juga harus mencakup pembentukan kepribadian atau watak. Pendidikan watak menurut Muhammad Iqbal merupakan faktor yang penting dalam pendidikan. Untuk mengembangkan watak, menurut Muhammad Iqbal pendidikan hendaknya memupuk tiga sifat yang merupakan unsur-unsur utama dari pendidikan itu sendiri, yakni: Keberanian, Toleransi dan Faqir
2.    Tujuan Pendidikan
Pendidikan merupakan daya budaya yang mempengaruhi kehidupan perorangan maupun kelompok masyarakat untuk membentuk manusia mukmin sejati atau yang biasa disebut dengan Insan Kamil. M. Iqbal menggambarkan manusia yang ideal atau sejati itu melalui hasil karya-karyanya. Dalam filsafatnya dijelaskan ada beberapa ciri manusia yang ideal,[4] di antaranya:
a.      Hidup yang baik adalah hidup yang penuh usaha dan perjuangan, usaha itu tersebut hendaknya bersifat kreatif dan orisinil. Sebagaimana tertulis dalam syairnya :
Bila anda ingin melihat dunia sementara ini,
Bila anda ingin beralih dari ketiadaan kepada keberadaan,
Bertahanlah!
Jangan mudah anda lenyap seperti kilatan cahaya sekejap!
Pupuk keberanian bersusah payah
agar berhasil meraih lumbung penuh melimpah
Bila anda memiliki sinar matahari
Beranilah menjelajah langit lazuardi!
b.      Orang yang baik hendaknya belajar menerapkan intelegensinya secara meningkat terus dalam rangka penjelajahan dan pengendalian daya dan kekuatan alam, sambil menambah pengetahuan dan kekuatannya sendiri. Sebagaimana dalam syairnya :
Intelek memerintah segala sesuatu yang terbuat
dari cahaya maupun dari tanah liat
Dan tiada yang tak terjangkau karunia Illah ini
Seluruh jagad tunduk merunduk pada keagungan yang abadi
Hanya hati yang berani menghadapi
setiap derap langkahnya yang tegap.
Di samping itu Muhammad. Iqbal juga mengemukakan mengenai tujuan diselenggarakannya pendidikan Islam. Sebenarnya menurut dia pendidikan itu diawali dari adanya rasa ego. Ego akan mengalami proses evolusi dan selalu berjuang untuk mencapai kesempurnaan. Ego yang sempurna itulah menurut M.Iqbal disebut sebagai insan kamil dan inilah yang menjadi tujuan pendidikan. Adapun rincian dari tujuan penudidikan itu, di antaranya: Pendidikan tidak semata-mata untuk mencapai kebahagiaan hidup di akherat dalam pengenalan jiwa dengan Tuhan.
c.       Tujuan akhir dari pendidikan hendaknya dapat memperkokoh dan memperkuat individualitas dari semua pribadi, sehingga mereka dapat menyadari segala kemungkinan yang dapat saja menimpa mereka.
d.      Untuk mencapai tujuan tersebut pendidikan harus tertuju pada pengembangan keseluruhan potensi manusia yang mencangkup intelektual, fisik dan kemauan untuk maju.
Dalam kaitanya dengan ini Muhammad Iqbal menjelaskan beberapa pemikiranya tentang kehendak kreatif. Hidup adalah kehendak kreatif yang oleh Muhammad Iqbal disebut dengan Soz . Yaitu diri yang selalu bergerak kesatu arah. Aktivitas kreatif, perjuangan tanpa henti dan partisipasi aktif dalam permaslahan dunia harus menjadi tujuan hidup. Berkat kreativitas itulah manusia telah berhasil mengubah dan menggubah yang belum tergarap dan belum terselesaikan dan mengisinya dengan aturan dan keindahan.
e.       Tujuan pendidikan harus mampu memecahkan masalah-masalah baru dalam kondisi perorangan dan masyarakat atau menyesuaikan dengan kondisi masyarakat.
3.    Metode Pembelajaran Dalam pemikiran Iqbal
Dalam pengertian leterlijk, kata “metode” berasal dari bahasa Greek yang terdiri dari “meta” yang berarti” melalui “ dan “hodos” yang berarti” jalan yang dilalui” Metode pendidikan didasarkan pada tingkat usia anak didik berdasarkan pertimbangan periode perkembangan anak didik, Nabi mengemukakan cara mendidik yang baik. Beliau menyatakan didiklah anak-anakmu dengan cara bermain-main pada usia tujuh pertama dan tananamkanlah disiplin kepada mereka pada tujuh tahun berikutnya kemudian ajaklah mereka berdiskusi saat mereka mencapai periode usia tujuh tahun yang ketiga dan selanjutnya barulah mereka dapat di lepaskan untuk menentukan sikap hidupnya secara mandiri. Adapun metode pendidikan yang sesuai menurut Muhammad Iqbal adalah 
a.      Self activity
Metode ini di gunakan untuk mencari potensi diri atau mengembangkan potensi diri peserta didik dengan kebebasan mengembangkan kreativitas sesuai dengan yang di kehendaki
b.      Learning by doing.
Jenis pengajaran yang di kehendakinya adalah menghadapkan siswa pada situasi baru yang mengundang mereka untuk bekerja dengan penuh kesadaran akan tujuan yang di galinya dari sumber yang tersedia dalam lingkungan mereka.
c.       Tanya jawab
Pendidikan harus mampu untuk mencetak pribadi yang kritis, yaitu terus bertanya dan tidak begitu saja menerima pandangan atas dasar kepercayaan belaka.
d.      Metode proyek atau unit
Adalah cara penyajian pelajaran yang bertitik tolak dari sesuatu masalah, kemudian di bahas dari segi yang berhubungan sehingga pemecahannya secara keseluruhan dan bermakna. Penggunaan metode ini bertitik tolak dari anggapan bahwa pemecahan masalah harus ditinjau dari berbagai macam segi agar tuntas dalam melibatkan mata pelajaran yang ada kaitannya sebagai sumber dari pemecahan masalah tersebut.
e.       Metode pemecahan masalah atau problem solving
Bukan hanya sekedar metode berfikir sebab dalam problem solving dapat menggunakan metode-metode lainya yang di mulai dengan mencari data sampai kepada menarik kesimpulan.
f.       Peranan peserta didik
Peserta didik bebas mengembangkan bakat dan kepribadianya. Dilihat dari kedudukannya, peserta didik adalah mahluk yang sedang berada dalam proses perkembangan menurut fitrahnya masing-masing. Mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju kearah titik optimal kemampuan fitrahnya.
Pemikiran Muhammad Iqbal tentang pendidikan khususnya pada peranan peserta didik adalah berpangkal pada kebebasan manusia. Manusia merupakan ego yang memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan sendiri dengan segala konsekuensinya. Dengan kebebasannya itu, peserta didik memungkinkan untuk diarahkan agar memiliki kreativitas berfikir tinggi sehingga dapat memunculkan inovasi-inovasi baru yang dapat dipergunakan untuk menjawab berbagai tantangan dimasa sekarang dan akan datang yang merupakan dampak negatif dari globalisasi dan industrialisasi.
g.      Peranan pendidik
Pendidik dalam menggali dan mengembangkan konsep pendidikannya akan harus mengkaji dan meneliti hakikat individualitas dan lingkungan. Muhammad Iqbal berpendapat bahwa tumbuh kembangnya individualitas tidak mungkin terjadi tanpa kontak langsung dengan lingkungan yang konkrit dan dinamis.[5]
Sikap pendidik yang baik menurut Muhammad Iqbal adalah dengan jalan membangkitkan kesadaran yang sungguh pada anak didiknya berkenaan dengan aneka ragam relasi dengan lingkungannya dan dengan jalan demikian merangsang pembentukan sasaran-sasaran baru secara kreatif. Muhammad Iqbal kurang menyetujui pendidikan sistem kelas, maksudnya guru yang mengurung siswanya diantara keempat dinding kelasnya. Hal ini dikarenakan bahwa anak perlu berhubungan dengan alam dalam setiap proses belajarnya, yaitu untuk menumbuhkan sikap keingintahuan serta untuk menumbuhkan kreativitasnya 
C.    Biografi Muhammad ‘Abduh 
Nama lengkapnya adalah Muhammad ‘Abduh Hasan Khairullah. Tokoh ini akrab dipanggil dengan sebutan muhammad abduh. Ia dilahirkan di sebuah kampung bernama Mahallat Nasr, Syubra Khit, provinsi Al-Bahirah, Mesir pada tahun 1266 H (1849). Ayahnya berasal dari Turki yang telah lama tinggal di Mesir, sedangkan ibunya adalah orang Arab, yang menurut riwayat, silsilah ibunya sampai pada Umar bin Khattab ra.
Pendidikan Muhammad ‘Abduh di mulai dengan belajar menulis dan membaca di rumah.Setelah beliau hapal kitab suci Al-qur’an pada tahun 1863 ayahnya mengirimnya ke Thamta untuk meluruskan bacaan dan tajwid di masjid al-Ahmadi. Namun karena metode pelajaran tidak sesuai yang diberikan gurunya seperti membiasakan menghapal istilah nahwu atau fiqh akhirnya Muhammad ‘Abduh kembali ke Mahallat Nasr dengan tekad tidak akan kembali lagi belajar. Tentang pengalamannya ini ‘Abduh menceritakan: “Satu setengah tahun saya belajar di mesjid Syeikh Ahmad dengan tak mengerti suatu apapun. Ini adalah karena metodenya yang salah. Guru-guru mulai mengajak  kita untuk menghapal istilah-istilah tentang nahwu dan fiqh yang tak kita ketahui artinya, guru tak merasa penting apa kita meengetahui atau tidak mengerti istilah-istilah itu.” Inilah salah satu yang melatarbelakangi ‘Abduh ingin mengadakan pembaruan dalam bidang pendidikan.
Tahun 1866 ‘Abduh meninggalkan isteri dan keluarganya menuju Kairo untuk belajar di Al-Azhar. Tiga tahun kemudian, ketika Jamaluddin al-Afghani datang ke Mesir tahun 1871 M, Muhammad ‘Abduh giat belajar dan mendengar segala ide pembaharuan darinya. ‘Abduh mulai memperluas studinya sampai meliputi ilmu filsafat dan ilmu sosial serta politik. Afghani adalah seseorang yang aktif memberikan dorongan kepada murid-murid untuk menghadapi intervensi Eropa di negeri mereka dan pentingnya melihat umat Islam sebagai umat yang satu. ‘Abduh memutar jalur hidupnya dari tasawuf yang bersifat pantang dunia , lalu memasuki dunia aktivisme sosio-politik.
Abduh menyelesaikan studinya pada tahun 1877, dan mengajar pertama kali di Al-Azhar. Puncak karir Muhammad ‘Abduh dalam pembaharuannya, terutama di bidang pendidikan adalah ketika ia ditugaskan menjadi seorang mufti pertama Mesir. Posisi ini diperolehnya pada 03 Juni 1899 M. 
Beliau meninggal pada tanggal 11 Juli 1905. Banyaknya orang yang memberikan hormat di Kairo dan Alexandria, membuktikan betapa besar penghormatan orang kepada dirinya. Meskipun ‘Abduh mendapat serangan sengit karena pandangan dan tindakannya yang reformatif, namun Mesir dan Islam merasa kehilangan atas meninggalnya seorang pemimpin yang terkenal lemah lembut dan mendalam spiritualnya.[6]
D.    Pemikiran Muhammad Abduh Tentang Pendidikan Islam
Mayoritas peneliti sepakat bahwa Muhamamd Abduh adalah seorang reformis atau pembaharu pendidikan Islam. Sebagai seorang reformis, Muhammad ‘Abduh memandang bahwa pendidikan merupakan elemen penting bagi masyarakat Islam untuk kembali mendapatkan martabat yang telah lama hilang. Muhammad ‘Abduh ingin berperan di dalam kebangkitan peradaban umat yang tengah dihantam oleh badai keterbelakangan. Ia melihat bahwa jalan menuju itu adalah “pendidikan”, tetapi bukan setiap pendidikan, melainkan pendidikan yang berasaskan referensi keagamaan Islam.
a.      Pemikirannya tentang Orientasi pembaharuan pendidikan ala Barat
Kontak kebudayaan antara Mesir dan kebudayaan yang dibawa oleh Napoleon Bonaparte menimbulkan kesadaraan umat Islam bahwa mereka telah tertinggal jauh dari Eropa. Kesadaran ini menimbulkan berbagai pergerakan pembaharuan dari kalangan umat Islam, salah satu pelopornya adalah Muhammad Ali Pasya.
Setelah Muhammad Ali menjadi penguasa tunggal di Mesir, ia tidak mengalami kesukaran dalam merealisasikan konsep pembaharuannya, terutama di bidang pendidikan. Sebagai penguasa Mesir, ia mengirim orang-orang Mesir untuk menuntut ilmu ke Eropa, terutama ke Paris.
Sementara di Kairo sendiri, didirikan sekolah-sekolah modern, seperti sekolah militer, teknik, kedokteran, apoteker, pertanian, dll. Sekolah-sekolah yang didirikan Muhammad Ali ini berorentasi pada pendidikan Barat, dan jauh dari ruh Islam, karena mengenyampingkan pendidikan Islam. Sementara di Al-Azhar, sebagai benteng pendidikan ke-Islaman, terus bersikeras pada corak tradisionalnya. Realitas ini menyebabkan adanya dualisme pendidikan di Mesir.
Pembaharuan dalam bidang pendidikan yang juga menjadi prioritas utama Muhammad Ali, berorientasi pada pendidikan barat. Ia mendirikan berbagai macam sekolah yang meniru sistem pendidikan dan pengajaran barat, dari pembaharuan dalam bidang pendidikan tersebut mewariskan dua tipe pendidikan pada abad ke 20. Tipe pertama sekolah tradisional. Tipe kedua, sekolah-sekolah modern yang didirikan oleh pemerintah Mesir oleh para misionaris asing. Kedua tipe lembaga pendidikan tidak mempunyai hubungan sama sekali dan masing-masing berdiri sendiri.
Adanya dua tipe pendidikan tersebut juga berdampak kepada munculnya dua kelas sosial dengan motivasi yang berbeda. Tipe yang pertama melahirkan para ulama dam tokoh masyarakat yang mempertahankan tradisi, sedangkan tipe sekolah kedua melahirkan kelas elit generasi muda yang mendewakan dan menerima perkembangan dari barat tanpa melakukan filterisasi.
b.      Pemikiran Pembaharuan pendidikan Islam Muhammad ‘Abduh
Salah satu proyek terbesar Muhammad ‘Abduh dalam gerakannya sebagai seorang tokoh pembaharu sepanjang hayatnya adalah pembaharuan dalam bidang pendidikan. 
Muhammad ‘Abduh melihat adanya segi-segi negatif bentuk pemikiran yang muncul dan ia mengkritik kedua corak lembaga pendidikan yang berkembang di Mesir saat itu. ‘Abduh memandang bahwa jika pola fikir yang pertama tetap di pertahankan maka akan mengakibatkan umat Islam tertinggal jauh dan semakin terdesak oleh arus kehidupan modern.
Sementara pola fikir yang kedua, Muhammad ‘Abduh melihat bahwa pemikiran modern yang mereka serap dari barat tanpa nilai “religius” merupakan bahaya yang mengancam sendi agama dan moral. Maka muncul Ide untuk menyelaraskan atau memperkecil dualisme pendidikan ini. Ia berupaya untuk menjadikan dua pola pendidikan tersebut dapat saling menopang demi untuk mencapai suatu kemajuan serta upaya untuk mempersempit jurang pemisah antara dua lembaga pendidikan yang kelak akan melahirkan para generasi penerus.
Dalam upayanya membenahi sitem pendidikan terutama di Mesir, Muhammad ‘Abduh mengadopsi pemikiran teman sekaligus mentornya Jamaluddin Al-Afghani. Ia cenderung menggunakan metode –metode yang didasarkan pada filsafat rasionalis. Pendidikan agama yang berkaitan dengan tauhid dijelaskan dengan menggunakan pendekatan nalar, seperti yang diperolehnya dari Al-Afghani. Hal ini berbeda jauh dengan metode yang sudah mapan dilakukan di Mesir yaitu metode hafalan.
Muhammad ‘Abduh juga tidak segan-segan memasukkan materi pendidikan Barat dalam kurikulum dipadukan dengan pendidikan Islam. Sebagai contoh ; ia memasukkan pelajaran Sejarah Kemajuan Eropa dan Prancis karangan Guizot. Pembaharuan yang dilakukan Muhammad ‘Abduh dalam kurikulum Al-Azhar diniatkan sebagai contoh bagi perguruan Islam lain di dunia sebab Al-Azhar adalah lambang pendidikan dunia Islam.
Gibb melalui Modern Trends in Islam,[7] menjelaskan bahwa menurut Muhammad ‘Abduh ada empat agenda pembaruan, terutama di bidang pendidikan Islam, yaitu:
1)      Purifikasi : Pemurnian ajaran Islam mendapat perhatian serius dari Muhammad ‘Abduh berkaitan dengan munculnya bid'ah dan khurafat yang masuk dalam kehidupan beragama kaum muslim.
2)      Reformasi : Muhammad ‘Abduh, dalam mereformasi pendidikan tinggi Islam terkonsentrasi pada universitas almamaternya, Al-Azhar. Ia menyatakan bahwa kewajiban belajar itu tidak hanya mempelajari buku-buku klasik berbahasa Arab yang berisi dogma ilmu agama untuk membela Islam. Akan tetapi, kewajiban belajar juga terletak pada mempelajari sains-sains modern, serta sejarah dan agama Eropa, agar diketahui sebab-sebab kemajuan yang telah mereka capai.
Nurcholish Majid menjelaskan bahwa usaha awal reformasi Muhammad ‘Abduh adalah memperjuangkan mata kuliah filsafat agar diajarkan di Al-Azhar. Dengan belajar filsafat, semangat intelektualisme Islam yang hilang diharapkan dapat hidup kembali.
3)      Pembelaan Islam: Muhammad ‘Abduh, melalui Risalah Tauhid-nya tetap mempertahankan jati diri Islam. Usahanya untuk menghilangkan unsur-unsur asing merupakan bukti bahwa ia tetap yakin dengan kemandirian Islam. Abduh, terlihat tidak pernah menaruh perhatian pada paham-paham ateis atau anti agama yang marak di Eropa. Ia lebih tertarik untuk memperhatikan serangan-serangan terhadap Islam dari sudut keilmuan.
4)      Reformulasi : Agenda ini dilaksanakan Abduh dengan membuka kembali pintu ijtihad. Karena menurutnya, kemunduran umat Islam disebabkan dua faktor: eksternal dan internal, yakni kejumudan umat Islam sendiri. Abduh dengan refomulasinya menegaskan bahwa Islam telah membangkitkan akal pikiran manusia dari tidur panjangnya, sebenarnya manusia tercipta dalam keadaan tidak terkekang, termasuk dalam hal berpikir.
Langkah yang ditempuh Muhammad ‘Abduh untuk meminimalisir kesenjangan dualisme pendidikan adalah upaya menyelaraskan dan menyeimbangkan antara porsi pelajaran agama dengan pelajaran umum. Hal ini dilakukan untuk memasukan ilmu-ilmu umum kedalam kurikulum sekolah agama dan memasukan pendidikan agama kedalam kurikulum modern yang didirikan pemerintah sebagai sarana untuk mendidik tenaga-tenaga administrasi, militer, kesehatan, perindustrian. Atas usahanya tersebut, maka didirikanlah suatu lembaga yakni “Majlis Pendidikan Tinggi”.
Dalam pandangan Muhammad ‘Abduh, Islam adalah agama yang rasional. Dengan membuka pintu ijtihad, kebangunan akal akan dapat ditingkatkan. Ilmu pengetahuan harus dimajukan di kalangan rakyat hingga mereka dapat berlomba dengan masyarakat Barat. Karena jika Islam ditafsirkan sebaik-baiknya dan difahami secara benar, tidak satu pun dalam ajaran Islam yang bertentangan dengan ilmu pengetahuan.

E.     Biografi Naquib Al-Attas
Nama lengkap Syed Muhammad Naquib Al-Attas adalah Syed Muhammad Naquib bin Ali bin Abdullah bin Muhsin bin Muhammad al-Attas. Beliau dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 5 September 1931. Pada waktu itu Indonesia berada dibawah kolonialisme Belanda.
Bila dilihat dari garis keturunannya, al-Attas termasuk orang yang beruntung secara inheren. Sebab dari kedua belah pihak,baik pihak ayah maupun pihak ibu merupakan orang-orang yang berdarah biru. Ibunya yang asli Bogor itu masih keturunan bangsawan Sunda. Sedangkan pihak ayah masih tergolong bangsawan di Johor. Bahkan mendapat gelar Sayyed yang dalam tradisi Islam orang yang mendapat gelar tersebut merupakan keturunan langsung dari Nabi Muhammad.
Pada usia lima tahun, Syed Muhammad Naquib dikirim ke Johor untuk belajar di Sekolah Dasar Ngee Hang (1936-1941). Pada masa pendidikan Jepang, dia kembali ke Jawa  untuk meneruskan pendidikannya di Madrasah Al-‘Urwatu Al-Wutsqa, Sukabumi (1941-1945). Setelah Perang Dunia II pada 1946, Syed Muhammad Naquib kembali ke Johor untuk merampungkan pendidikan selanjutnya, pertama di Bukit Zahra School kemudian di English College (1946-1951).
Setelah itu, beliau mengikuti pendidikan militer, pertama di Erron Hall, Chester, Wales, kemudian di Royal Millitary Academy, Sandhurst, Inggris. Selain mengikuti  pendidikan militer, Al-Attas juga sering pergi ke Negara-negara Eropa lainnya (terutama Spanyol) dan Afrika Utara untuk mengunjungi tempat-tempat yang terkenal dengan tradisi intelektual, seni, dan gaya bangunan keislamannya. Setelah tamat dai Sandhurst, Al-Attas ditugaskan sebagai pegawai kantor resimen tentara kerajaan Malaya. Al-Attas mendapatkan gelar M.A. pada 1962 dari Universitas McGill, Montreal. Sedangkan gelar Ph.D. diperoleh dari Universitas London 1965.[8]
F.      Pemikiran Naquib Al-Attas Tentang Pendidikan Islam
Syed  Muhammad  Naquib  al-Attas  adalah  salah  seorang  cendekiawan  dan filsuf muslim dari Malaysia yang menguasai teologi, filsafat, metafisika, sejarah dan literatur. Kepakarannya dalam bidang-bidang tersebut tidak diragukan lagi dan sudah diakui oleh  berbagai  kalangan  intelektual. Berikut  merupakan  sebagian  dari pemikiran-pemikiran yang beliau gagas.[9]
1.     Makna dan Tujuan Pendidikan
Makna dan tujuan pendidikan adalah dua unsur yang saling berkaitan. Secara umum ada dua pandangan teoritis mengenai tujuan pendidikan, masing-masing dengan tingkat keragamannya tersendiri. Pandangan teoritis yang pertama berorientasi kemayarakatan, yaitu pandangan yang menganggap pendidikan sebagai sarana utama dalam menciptakan rakyat yang baik, baik untuk system pemerintahan demokratis, oligarkis maupun monarkis. Pandangan teoritis yang kedua lebih berorientasi kepada individu, yang lebih memfokuskan diri pada kebutuhan, daya tampung, dan minat pelajar.
Ada  tiga  istilah  yang  dianggap  memiliki  arti  yang  dekat  dan  tepat  dengan makna pendidikan. Ketiga istilah itu adalah tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib yang masing-masing  memiliki  karakteristik  makna  disamping  mempunyai  kesesuaian  dalam pengertian pendidikan Islam.
a.    Makna tarbiyah dalam rangka pendidikan Islam
Menurut Najib Khalid  al-Amir  ada  lima  sisi  dari  pengertian  tarbiyah  secara berkesinambungan  yang  satu  sama  lain  berbeda  sesuai 
dengan  pembentukannya yaitu:
1)      Tarbiyah  adalah menyampaikan  sesuatu  untuk mencapai  kesempurnaan. Bentuk  penyampaian  satu  dengan  yang  lain  berbeda  sesuai  dengan  cara pembentukannya.
2)      Tarbiyah adalah menentukan tujuan melalui persiapan sesuai dengan batas kemampuan untuk mencapai kesempurnaan.
3)      Tarbiyah adalah sesuatu yang dilakukan secara bertahap dan sedikit demi sedikit oleh seorang pendidik (murabbi).
4)      Tarbiyah  dilakukan  secara  berkesinambungan.  Artinya  tahapan-tahapan sejalan  dengan  kehidupan,  tidak  berhenti  pada  batas  tertentu,  terhitung dari buaian sampai liang lahat.
5)      Tarbiyah  adalah  tujuan  terpenting dalam kehidupan baik  secara  individu maupun keseluruhan.
b.      Makna ta’lim dalam rangka pendidikan Islam
Adapun al ta’lim secara etimologis berasal dari kata kerja “allama” yang berarti mengajar. Jadi makna ta’lim dapat diartikan “pengajaran” seperti dalam bahasa arab dinyatakan Tarbiyah wa ta’lim berarti “pendidikan  dan  pengajaran”. Sedangkan pendidikan Islam dalam bahasa Arabnya “al tarbiyah al Islamiyah”.


c.       Makna ta’dib dalam rangka pendidikan Islam
Adapun ta’dib secara bahasa merupakan bentuk masdar dari kata “addaba” yang berarti memberi adab mendidik (Yunus, 1972: 37). Istilah ini dalam kaitan dengan arti pendidikan Islam telah dikemukakan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas yang menyatakan bahwa istilah ta’dib merupakan istilah ynag dianggap tepat untuk menunjuk arti pendidikan Islam. Pengertian ini didasarkan bahwa arti pendidikan adalah meresapkan dan menambahkan adab pada manusia.
Dalam bukunya yang lain, beliau menyebutkan tujuan pendidikan dalam Islam adalah untuk menghasilkan manusia-manusia yang baik. Orang yang baik disini adalah adab dalam pengertian yang menyeluruh, “yang meliputi kehidupan spiritual dan material seseorang, yang berusaha menanamkan kualitas kebaikan yang diterimanya.” Maka, orang yang benar-benar terpelajar menurut perspektif Islam didefinisikan Al-Attas sebagai orang yang beradab.
Dalam pengertian yang asli adab adalah mengundang ke suatu perjamuan. Perjamuan menyiratkan bahwa tuan rumah adalah seorang yang mulia dan terhormat dan banyak orang yang hadir. Ini juga berarti bahwa orang-orang yang hadir itu adalah mereka yang dalam penilaian tuan rumah patut mendapat atas undangan itu. Berdasarkan ini maka adab berarti juga disiplin terhadap pikiran dan jiwa, untuk menunjukkan tindakan yang betul melawan yang keliru, yang benar melawan yang salah, agar terluput dari noda dan cela.
Pendidikan menurut Al-Attas adalah “penyemaian dan penanaman adab dalam diri seseorang ini diebut ta’dib” al-Qur’an menegaskan bahwa contoh ideal bagi orang yang beradab adalah Nabi Muhammad SAW. Yang oleh kebanyakan sarjana Muslim disebut sebagai Manusia Sempurna atau Manusia Universal. Menurut Al-Attas, jika benar-benar dipahami dan dijelaskan dengan baik, sebagaimana telah dijelaskan diatas, konsep ta’adib adalah konsep paling tepat untuk pendidikan Islam, bukannya tarbiyah ataupun ta’lim. Dia mengatakan, “Struktur konsep ta’adib sudah mencakup unsur-unsur ilmu, instruksi dan pembinaan yang baik sehingga tidak perlu lagi dikatakan bahwa konsep pendidikan Islam adalah sebagaimana terdapat dalam tiga serangkai konsep tarbiyah-ta’lim-ta’dib.”
2.    Kurikulum Dan Metode Pendidikan
Metode  merupakan  sarana  yang  bermakna  dan  faktor  yang  akan mengefektifkan  pelaksanaan  pendidikan.  Demikian  pentingnya  metode dalam pendidikan  Islam,  telah menempatkan  faktor  ini  sebagai  faktor yang esensial dalam pelaksanaan  pendidikan.[10]
a.      Persiapan Spiritual
Abu Sa’id Al-Kharraz , seorang sufi terkenal abad ke-9 M, mengatakan bahwa salah satu prinsip etika adalah keikhlasan, disamping kebenaran dan kesabaran. Disamping itu Al-Attas menekankan kejujuran dan keikhlasan dalam mencari ilmu dan mengajarkan ilmu.
b.      Ketergantungan Pada Otoritas dan Peranan Guru
Al-Attas mengatakan bahwa otoritas tertinggi adalah al-Qur’an dan Nabi, yang diteruskan oleh para sahabat dan para ilmuwan laki-laki dan perempuan yang mengikuti sunahnya. Peranan guru dianggap sangat penting. Peserta didik diharapkan tidak tergesa-gesa belajar kepada sembarang guru.
c.       Peranan Bahasa
Al-Attas selalu menganalisis dan menjelaskan konsep dan istilah kunci, serta menekankan pemakaian bahasa secara benar sehingga makna yang benar mengenai istilah dan komsep kunci yang termuat didalamnya tifak berubah atau dikacaukan. Mungkin Al-Attas adalah pemikir pertama di kalangan Muslim yang menyatakan bahwa sarana utama Islamisasi bangsa Arab pra-Islamadalah melalui Islamisasi bahasa Arab itu sendiri. Demikian pula de-Islamisasi atau sekulerisasi pemikiran Muslim juga berlangsung secara efektif melalui aspek linguistik.

d.      Metode Tauhid
Metode tauhid ini menyelesaikan problematika dikotomi yang salah, seperti antara aspek objektif dan subjektif ilmu pengetahuan. Sayangnya apa yang dianggap objektif dianggap lebih nyata dan karena itu lebih valid daripada yang subjektif.
e.       Pancaindra, Akal, dan Intuisi
Al-Attas membenarkan adanya kemampuan psikologis, yang dalam konsepsi Islam mengenai jiwa dan proses kognitif, kemampuan tersebu diletakkan sesuai dengan peranannya yang tepat. Sebab Islam mengakui kebenaran pelbagai saluran ilmu pengetahuan , seperti pancaindra, berita yang benar, akal sehat, dan intuisi yang digabung di dalam akidah.
f.        Penggunaan Metafora dan Cerita
Ciri metode pendidikan A-Attas yang lain adalah penggunaan metafora dan cerita sebagai contoh atau perumpamaan, sebuah metode yang juga banyak digunakan dalam al-Qur’an dan hadis. Salah satu metafora yang sering digunakan adalah metafora papan penunjuk iklan (sign post). Kajian Al-Attas mengenai muatan pendidikan Islam berangkat dari pandangan bahwa karena manusia itu bersifat dualistis, ilmu pengetahuan yang dapat memenuhi kebutuhannya dengan baik adalah yang memiliki dua aspek. Pertama, yang memenuhi kebutuhannya yang berdimensi permanen dan spiritual; dan kedua, yang memenuhi kebutuhan material dan emosional.
3.   Murid dan Guru Dalam Pandangan Syed M. Naquib Al-Attas
Peserta didik disarankan untuk tidak tergesa-gesa belajar kepada sembarang guru, sebaliknya peserta didik harus meluangkan waktu untuk mencari siapakah guru terbaik dalam bidang yang ia gemari. Adab guru dan peserta didik dalam filsafat pendidikan Al-Attas tampaknya diilhami oleh prinsip yang dipertahankan para ilmuwan Terkenal, khususnya Al-Ghazali. Selain persiapan spiritual, guru dan peserta didik harus mengamalkan adab, yaitu mendisiplinkan pikiran dan jiwa. Peserta didik harus menghormati dan percaya kepada guru; harus sabar dengan kekurangan gurunya dan menempatkannya dalam perspektif yang wajar.
Peserta didik seharusnya tidak menyibukkan diri pada opini yang bermacam-macam. Sebaliknya, ia meguasai materi sebaik penguasaannya dalam praktik. Tingkat ilmu seseorang yang bisa dibanggakan adalah yang memuaskan guru. Gurupun seharusnya tidak menafikan nasihat yang datang dari peserta didik dan harus membiarkannya berproses sesuai dengan kemammpuannya. Guru juga harus menghargai kemampuan peserta didik  dan mengoreksinya dengan penuh rasa simpati.

G.    Biografi ismail raji al-faruqi
Al Faruqi dilahirkan di Jaffa, Palestina pada tahun 1921 tanggal 1 Januari 1921. Ayahnya seorang qadi di terpandang di Palestina, bernama Abdul Huda Al Faruqi. Setelah menamatkan pendidikan madrasah di tempat kelahirannya, Al Faruqi menempuh pendidikan di College Des Freres (St. Joseph) Lebanon, mulai tahun 1926 sampai dengan tahun 1936.
Pada tahun 1941, Al Faruqi melanjutkan pendidikannya di Amirecan University of Beirut, di Beirut dengan mengambil kajian Filsafat sampai meraih gelar sarjana muda (Bachelor of Art). Al Faruqi sempat menjadi pegawai pemerintah Palestina di bawah mandat Inggris. Jabatan sebagai pegawai negeri diembannya selama empat tahun, kemudian ia diangkat menjadi Gubernur Galilea. Jabatan Gubernur ini ternyata Gubernur terakhir dalam sejarah pemerintahan Palestina, karena sejak tahun 1947 propinsi yang dipimpin oleh Al Faruqi tersebut jatuh ke tangan kekuasaan Israel. Keadaan ini membuat al Faruqi harus hijrah ke Amerika Serikat pada tahun 1948.
Di Amerika, Al Faruqi mengeluti bidang akademis dan konsen pada persoalan-persoalan keilmuan. Hal ini juga mendorong al Faruqi untuk melanjutkan pendidikannya. Selain itu, kultur masyarakat Barat yang cenderung tidak rasialis dan deskriminatif juga memberi peluang baginya untuk mengembangkan potensi akademiknya, sehingga pada tahun 1949 al Faruqi berhasil meraih gelar master (master of Art) dengan judul tesis On Justifying the Good: Metaphysic and Epitemology of Value (tentang pembenaran kebaikan: Metafisik dan epistimologi nilai). Gelar doctor diperolehnya di Indiana University.
Titel doktor tidak membuatnya lepas dahaga keilmuan, oleh karenanya kemudian ia melanjutkan kajian keIslamannya di jenjang pascasarjana di Universitas Al Azhar, Kairo Mesir. Program ini dilalui selama tiga tahun. Kemudian pada tahun 1964, dia kembali ke Amerika dan memulai kariernya sebagai guru besar tamu (visiting professor) di University Chicago di School of Devinity. Al Faruqi juga pernah tercatat sebagai staf pengajardi McGill University, Montreal Kanada pada tahun 1959. Pada tahun 1961, ia pindah ke Karachi, Pakistan selama dua tahun.
Karir akademik al Faruqi juga pernah dilalui di Universitas Syracuse, New York, sebagai pengajar pada program pengkajian Islam. Tahun 1968, al Faruqi pindah ke Temple University, Philadelpia. Di lembaga ini, ia bertindak sebagai profesor agama dan di sinilah ia mendirikan Pusat Pengkajian Islam. Selain menjadi guru besar di University Temle ini, ia juga dipercaya sebagai guru besar studi keIslaman di Central Institute of Islamic Research, Karchi.
Tujuh Belas Ramadhan 1406/1986, Subuh dini hari menjelang sahur, tiga orang tidak dikenal menyelinap ke dalam rumah suami istri Ismail Raji Al Faruqi dan Lois Lamya di wilayah Cheletenham, Philadelpia. Dua guru besar di Universitas Temple AS beserta dua anak mereka dibunuh oleh tiga orang tersebut, dan wafat seketika.[11]
H.  Pemikiran Ismail Rajil Al-Faruqi Tentang Pendidikan
Dalam relitas, Islamisasi ilmu pengetahuan tida hanya sebatas komsumsi diskursus antar pakar  diberbagai belahan dunia, tetapi telah memasuki fase aplikasi. Sekadar contoh sekarang kita kenal sosiologi Islam, antropologi Islam, polkitik Islam, psikologi Islam, ekonomi Islam dan sebagainya. Ketiga disiplin ilmu terakhir ini sekarang banyak dikembangkan diberbagai perguruan tinggi di Indonesia khususnya perguruan tinggi Islam serti IAIN dan STAIN. Namun perlu diakkui bahwa di antara sederet disiplin diatas secara factual, ekonbomi Islam paling maju (ancok, 1994, 109) dan banyak kita temukan aplikasinya ditengah-tengah maraknya ekonomi kontemporer.[12]
1.     Aspek Kelembagaan
Persoalan mendasar pada aspek kelembagaan ini menyangkut bentuk lembaga yang diinginkan atau diharapkan pascaIslamisasi. Dalam deskripsi yang lebih tegas Islamisasi dalam aspek kelembagaan dimaksud adalah menyatukan dua sysyem pendidikan, yakni pendidikan Islam (agama) dan sekuler (umum). Artinya melakukan modernisasi bagi lembaga pendidikan agama dan Islamisasi pendidikan sekuler. Adanya lembaga pendidikan modern (Barat sekuler), dipandang sebagai kamuflase yang mengatas namakan Islam, dan menjadika Islam sebagai symbol. Mengantisipasi keadaan ini perlu didirikannya pendidikan-pendidikan Islam yang baru sebagai tandingan.
Sepertinya implikasi dari Islamisasi ilmu pengetahuan pada aspek kelembagaan adalah terbentuknya lembaga independent yang mengintegrasikan pengembangan ilmu agama dan umum, artinya apapun nama lembaga tersebut yang terpenting adalah terintegrasinya secara komprehensif antatra system umum dan agama. Meskipun tatanan sistematika keorganisasian lembaga mengadopsi barat namun secara substansi menerapkan system Islam.
Pengintegrasian lembaga tidak hanya terkait dengan masalahg keilmuan, namun secara administrative pengelola lembaga pendidikan tersebut mengacu pad system pada manejeman pendidikan Islam. Suatu bentuk manejaman yang bermoral sesuai dan sejalan dengan visi keIslaman itu sendiri. Dalam hal ini berbagai konsep manejemne bisnis seperti total quality manajeman, brancmark manajamen dan manajamen basic scholl perlu dipertimbangan untuk diterapkan.
Mengamatai implikasi Islamisasi ilmu pengettahuan pada aspek kelembagaan, agaknya terlihat kejelasan bahwa al-faruqi belum mampu menuntaskan gagasan ini. Hal ini belum terlihat adanya lembaga pendidikan yang mereka dirikan sebagai kejewantah dari Islamisasai ilmu pengetanhuan dalam lembvaga perndidikan. Al-faruqi hanya mnerapkan proyek ini pada lembaga penelitian 3T dan lembaga pendiidkan pada pihak lain di Amerika Serikat. Kendati demikian setidaknya ia telah memberikan kontribusi dalam usaha pendirian kajian keIslaman diberbagai Negara muslim dunia. (makalah)
2.     Aspek Kurikulum
Universitas harus memiliki kurikulum inti, karena kurikulum inilah yang menunjukkan esensi universitas. Pengkajian kurikulum ini tidask dapat diserahkan pada satu tim saja, namun membutuhkan ahli-ahli dibidangnya, perbincangan ini harus dimulai sejak awal Islamisasi. Dalam hal ini kurikulum yang telah dikembangkan dibarat tidak boleh diabaikan.
Pengembangan kurikulum dalam Islam dilihat dari kebenaran fundamental  dan yang tidak dapat dirubah dari prinsip atauhit (al-Qur’an dan Sunnah). Meskipun dalam prosesnya kurikulum membolehkan pengadopsian dari buku-buku barat, namun juga memberikan priuoritas utama sebagai sumber yakni al-Qur’an dan Sunnah.[13]
Rumusan kurikulum dalam Islamisasi ilmu pengetahuan dengan memasukkan segala keilmuan dalam kurikulum. Denga demikian, lembaga pendidikan memiliki kurikulum yang akyual, responsive dengan tuntutan permasalahna kontemporer. Artinya lembaga akan melahir melulusan  yang revulusiner, berpandangan integrative, pro aktif dan tanggap terhadap masa depan serta tidak dikomistik dalam keilmuan.

3.     Aspek Pendidik
Dalam hal ini para pendidik ditempatka pada posisi sepatutnya, artinya kompetensi yang professional yang mereka meliki dihargai sebgaimana mestinya. Bagi al-faruqi tidak selayaknya para pendidik mengajar dengan prinsip keihlasan, pendidik harus diberiakan honor sesuai dengan keahliannya. Disamping itu tidak selayaknya pendidik tamu dihargai lebih tinggi disbanding dengan pendidik milik sendiri.
Terkait denga pengajar yang memberikan pembelajaran pada tingkat dasar dan lanjutan tidak dibenarkan Islamologi atau misionaris. Artinya harus pendidik yang benar-benar Islam dan memiliki basic keIslaman yang mantap. Disampiung itu,staf-staf pengajar yang diinginkan universitas Islam adalah staf pengajar yang saleh serta memilki visi keIslaman, memilki kemampuan dalam menafsirka beberapa teori berdasarka pendekatan Islami secara menyakinkan serta mampu membimbing mahasisawa secara tepat untuk menemukan pemecahan dan jawaban yang benar.
Denga demikian, harus ada rumusan yang tegas tentang kriterias calon pendidik selain indeks prestasi sebagai parameter kualiatsbin telektaul, penting dialakukan wawasncar aqidah, keimanan dan keagamaan, jiwa dan sikap terhadap jabatan. Criteria ini juga harus ditopang oleh kode etik Islami tentang profesi pendidik. Seoarang pendidik ditunutut memliki kemampuan subtantif, yaitu brupa pengeuasaa dua segi keilmuan, yaitu ilmu agama dan ilmu modern sekaligus. Disamping itu seorang pendidik dituntut untuk mampu menetukan relevansi antara ilmu epengetahuan tersebut dengan ilmu-ilmu agama. Dalam kontek inilah dituntut kejelian seorang pendidik mengingat beraneka ragamnya substansi keilmuan yang ada.
Selain kemampuan substantive pendidik juga dituntu memilki kemapaun non substantive, yaitu berupa multi skill didaktis. Kemampuan ini mencakup keterampilam dalam menggunakan metode dan strategi pembelajaran, pengelolaan atau menajeman pendidikan pengevaluana, dan lain sebagainya. Yang secara keseluruhan bertumpu pada unsure tauhid.
Pada asapek rekruitmen disesuaikan dengan syarat-sayrat seseuai denga yang telah dikemukakan (aspek intelektual dan kapabilitas keagamaan). Artinya hanya calon yang memilki akelayakan akademis dan akapabilitas keagamaan menjadi guru. Selanjutnya pembinaan dimaksudkan untuk meningkatkan kualifikasi profesioanl guru secara terus menerus sesuai dengan tuntutan perubahan. Termasuk dalam masalah ini dalam hal kesejahteraan. Kesemuanya dilakukan dan dibenahio secara terpadu dan sistemi

BAB III
PENUTUP

Pendidikan senantiasa selalu berkembang dan berpengaruh dalam kehidupan sosial masyarakat. Dari hal itu maka tidak dapat dipungkiri bila dalam pendidikan selalu muncul sebuah problematika yang sangat actual berkembang didalamnya. Semua problematika yang muncul sangat dipengaruhi oleh beragam faktor yang terkait didalamnya. Yakni, faktor pendidik, faktor peserta didik, faktor kurikulum dan faktor lingkungan.
Dalam hal ini Muhammad Iqbal sudah memberikan sumbangan yang sangat besar dalam sebuah karya pemikirannya mengenai konsep paradigma pendidikan dan dapat dijadikan salah satu sumber referensi dalam upaya merekonstruksi pendidikan.
Konsep peranan pendidik, peserta didik, kurikulum dan lingkungan yang dibangun oleh Muhammad Iqbal sangat sesuai dengan yang diharapkan oleh pendidikkan pada zaman sekarang secara ideal. Hanya saja secara realitanya belum bisa berkembang secara seimbang, karena ada kegagalan sistem pendidikan yang mengatur koneksifitas pendidikan. Jadi dalam sistem pendidikanlah yang mengawali sukses tidaknya produktifits pendidikan, dalam outputnya. Jika sistem tersebut terkonsep dalam kurikulum, maka kurikulumlah yang perlu dibenahi.
Bagaimana kurikulum tersebut terancang sesuai dengan kondisi pendidik, peeserta didik dan lingkungan. Yang pada akhirnya dapat mewujudkan tujuan pendidikan sesuai yang diharapkan. Kaitannya dengan hal tersebut, kurikulum yang dipaparkan oleh Muhammad Iqbal sangat relevan jika dipraktekan dalam sistem pendidikan zaman sekarang, karena poin poin yang masukkan dalam kurikulumnya sudah menyangkut segala aspek kehidupan dan dapat mempersiapkan output pendidikan yang mampu menghadapi segala problematika dalam masyarakat, serta mengawali sebuah perubahan yang lebih baik dalam pendidikan.
            Al-Faruqi adalah seorang tokoh yang sangat besahaja dalam pengembanganpemikiran Islam komtemporer. Gagasan-gagasannya sangat brilian dalam rangkamemecahkan persoalan yang dihadapi umat Islam.Kebesarannya yang langsung berhadapan dengan Barat membuat Al-Faruqimengamati sendiri tekanan-tekanan barat terhadap dunia Islam dan hal inimemunculkan ide-ide untuk menghadapi serangan-serangan tersebut. Idenya tidakterlepas dari konsep tauhid, karena tauhid adalah esensi Islam yang mencakupseluruh aktifitas manusia.Begitu pula idenya tentang Islamisasi, tidak terlepasa dari pro dan kontra dantelah membawanya pada puncak ketenaran di dunia. Gagasannya tetap mejadi umatIslam pada abad ini.
                Menurut Isma’il Raji Al-Faruqi, inti pengalaman keagamaan adalah Tuhan. Kalimat syahadah, atau pengakuan penerimaan Islam, menegaskan: “Tidak ada Tuhan selain Allah.” Nama Tuhan adalah “Allah”, dan menepati posisi sentral dalam setiap kedudukan, tindakan, dan pemikiran setiap Muslim. Kehadiran Tuhan mengisi kesadaran Muslim dalam waktu kapan pun.
            Al Faruqi menegaskan tiga sumbu tauhid (kesatuan) untuk melakukan islamisasi ilmu pengetahuan. Pertama, adalah kesatuan pengetahuan; Kedua, adalah kesatuan hidup ; Ketiga, adalah kesatuan sejarah.
                Tauhid juga memiliki empat prinsip, diantaranya: Prinsip pertama tauhid adalah kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah, itu berarti bahwa realitas bersifat ganda yaitu terdiri dari tingkatan alamiah atau ciptaan dan tingkat trasenden atau pencipta. kedua, adalah kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah, itu berarti bahwa Allah adalah Tuhan dari segala sesuatu yang bukan Tuhan; ketiga tauhid adalah, bahwa Allah adalah tujuan terakhir alam semesta; Prinsip keempat tauhid adalah, bahwa manusia mempunyai kesanggupan untuk berbuat dan mempunyai kemerdekaan untuk tidak berbuat.


DAFTAR PUSTAKA


Azra, Azyumardi. Dari Arabisme ke Khilafatisme: Kasus Isma’il al-Faruqi dalam Azyumardi Azra pada Pergolakan Politik Islam. Jakarta: Paramadina. 2003.

Gibb, H.A.R. Aliran-Aliran Modern dalam Islam, alih bahasa Machnun Husein. Cet. III; Jakarta: Rajawali Pers, 1992.

K.G. Saiyidain, Iqbals Educational Philosophy, Penerjemah : M.I. Soelaeman, Bandung: CV. Diponegoro, 1981.

Miss Luce & Claude Maitre, Introduction ala pense d`iqbal. (Pengantar ke Pemikiran Iqbal) diterjemahkan oleh : Djohan Effendi, Jakarta : Pustaka Kencana,1981.

Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam; Menelusuri Jejaak Sejarah Pendidikan Era Rosulullah Sampai Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009), 272

Suwito dan Fauzan.2003 Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan. Bandung: Angkasa, 2003.

Tafsir dkk. Moralitas Al-Quran dan Tantangan Modernitas: Telaah atas Pemikiran Fazlur Rahman, Al-Ghazali, dan Isma’il Raji Al-Faruqi. (Yogyakarta-Semarang: Gama Media-PPs IAIN Wali Songo, 2002), 180-181.

Wan Mohd Nor Wan Daud, 1998. The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, diterjemahkan oleh Hamid Fahmy dkk, dalam Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, Bandung: Mizan, 2002.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar