Pembelajaran Holistik
1.
Konsep Pembelajaran Holistik
Kata “holistik‟ (holistic) berasal dari kata “holisme‟ (holism). Kata
“holisme‟ pertama kali digunakan oleh J.C. Smuts pada tahun 1926 dalam
tulisannya yang berjudul Holism and Evolution, bahwa asal kata “holisme”
diambil dari bahasa Yunani, holos, yang berarti semua atau keseluruhan. Smuts
mendefinisikan holisme sebagai sebuah kecenderungan alam untuk membentuk
sesuatu yang utuh sehingga sesuatu tersebut lebih besar daripada sekedar
gabungan-gabungan bagian hasil evolusi (Nobira: 2012).
Pembelajaran holistic adalah turunan dari konsep pembelajaran
holistik (holistic learning) yang merupakan suatu filsafat Pendidikan yang
berangkat dari pemikiran bahwa pada dasarnya seorang individu dapat menemukan
identitas, makna dan tujuan hidup melalui hubungannya dengan masyarakat,
lingkungan alam, dan nilai-nilai spiritual. Pendidikan holistik sebetulnya
bukan hal yangbaru. Beberapa tokoh perintis pendidikan holistikdi antaranya:
Jean Rousseau, Ralph Waldo Emerson, Henry Thoreau, Bronson Alcott, Johann
Pestalozzi, Friedrich Froebel, dan Francisco Ferrer.
Pendukungnya yaitu: Rudolf Steiner, Maria Montessori, Francis Parker,
John Dewey, John Caldwell Holt, George Dennison Kieran Egan, Howard Gardner,
Jiddu Krishnamurti, Carl Jung, Abraham Maslow, Carl Rogers, Paul Goodman, Ivan
Illich, dan Paulo Freire.Secara historis, pembelajaran holistic sebetulnya
bukan hal yang baru. Beberapa tokoh klasik perintis pembelajaran holistik, di
antaranya: Jean Rousseau, Ralph Waldo Emerson, Henry Thoreau, Bronson Alcott,
Johann Pestalozzi, Friedrich Froebel dan Francisco Ferrer (Widyastono, 2012)
Paradigma pembelajaran holistik menurut Anhar (2015:27) menekankan proses
pendidikan dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a.
Tujuan pembelajaran holisti kadalah terbentuknya manusia
seutuhnya dan masyarakat seutuhnya.
b.
Materi pembelajaran holistik mengandung kesatuan
pendidikan jasmani-ruhani, mengasah kecerdasan intelektual-spritual-emosional,
kesatuan materi pendidikan teoritis-praktis, kesatuan materi pendidikan
pribadi-sosialketuhanan.
c.
Proses pendidikan holistik mengutamakan kesatuan
kepentingan anak didik dan masyarakat.
d.
Evaluasi Pendidikan holistik mementingkan tercapainya
perkembangan anak didik dalam bidang penguasaan ilmu, sikap, dan
keterampilan.
Paradigma holistik di atas sesuai dengan amanat Undang-Undang
Sisdiknas No.20 Tahun 2003 pasal 3, yakni konsep pendidikan yang harus
dijalankan adalah bersifat holistik, karena bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mendiri
dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Para penganut Pendidikan holistik mulai memperkenalkan tentang dasar
Pendidikan holistik dengan sebutan 3R’s, singkatan dari relationship,
responsibility, dan reverence (Rubiyanto dan Dany Haryanto, 2010). Tujuan
Pendidikan holistik adalah membantu mengembangkan potensi individu dalam
suasana pembelajaran yang lebih menyenangkan dan menggairahkan, demokratis dan
humanis melalui pengalaman dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Melalui
pendidikan holistik, peserta didik diharapkan dapat menjadi dirinya sendiri
(learning to be).
Dalam arti dapat memproleh kebebasan psikologis, mengambil keputusan
yang baik, belajar melalui cara yang sesuai dengan dirinya, memperoleh
kecakapan sosial, serta dapat mengembangkan karakter dan emosionalnya. Jika
merujuk pada pemikiran Abraham Maslow, maka pendidikan harus dapat mengantarkan
peserta didik untuk memperoleh aktualisasi diri (self- actualization) yang
ditandai dengan adanya:(1) Kesadaran; (2) kejujuran; (3) kebebasan atau
kemandirian; dan (4) kepercayaan (Anhar, 2015:28).
Pembelajaran holistik sejalan dengan Rencana Pembangunan Pendidikan
Nasional Jangka Panjang (RPPNJP) 2005-2025 menyatakan bahwa visi 2025 adalah
Menghasilkan Insan Indonesia Cerdas dan Kompetitif (Insan Kamil/Insan
Paripurna) dengan tetap mempertimbangkan integrasi pendidikan dan kebudayaan ke
dalam satu kementerian. Makna insan Indonesia cerdas adalah insan yang cerdas
komprehensif, yaitu cerdas spiritual, cerdas emosional, cerdas sosial, cerdas
intelektual, dan cerdas kinestetis. Cerdas
spiritual adalah bagian yang tidak bisa dilepaskan dari pembelajaran Pendidikan
Agama Islam.
Inilah distingsi Pendidikan di Indonesia ketika kecerdasan spiritual
menjadi kecerdasan utama yang dicapai melalui pendidikan abad 21. Pendidikan
holistik memperhatikan kebutuhan dan potensi yang dimiliki peserta didik, baik
dalam aspek intelektual, emosional, fisik, artistik, kreatif, dan spiritual.
Proses pembelajaran menjadi tanggung jawab personal sekaligus juga menjadi
tanggung jawab kolektif, oleh karena itu strategi pembelajaran lebih diarahkan
pada bagaimana mengajar dan bagaimana orang belajar. Beberapa hal yang harus
dipertimbangkan dalam mengembangkan strategi pembelajaran holistik, di
antaranya: (1) menggunakan pendekatan pembelajaran transformatif; (2) prosedur
pembelajaran yang fleksibel; (3) pemecahan masalah melalui lintas disiplin
ilmu;(4) pembelajaran yang bermakna,; dan (5) pembelajaran melibatkan komunitas
di mana individu berada.
2.
Ciri-Ciri Pembelajaran Holistik
Model pembelajaran holistik sangat menekankan pendekatan pendidikan
yang sangat manusiawi dan utuh. Model ini tidak sepihak atau tidak
sepotong-sepotong. Pembelajaran tidak didasarkan pada aspek otak saja, atau
fisik saja, atau dari rohani saja, karena segala aspek fisik maupun kejiwaan
saling berkaitan dan melengkapi. Menurut Rubiyanto (2010:42-43) terdapat
sembilan ciri pembelajaran holistikyaitu:
a.
Pembelajaran diarahkan agar siswa menyadari akan keunikan
dirinya dengan segala potensinya. Mereka harus diajak untuk berhubungan dengan
dirinya yang paling dalam (innerself), sehingga memahami eksistensi, otoritas,
tapi sekaligus bergantung sepenuhnya kepada pencipta-Nya.
b.
Pembelajaran tidak hanya mengembangkan cara berpikir
analitis/linier tapi juga intuitif.
c.
Pembelajaran berkewajiban menumbuh-kembangkan potensi
kecerdasan jamak (multiple intelligences).
d.
Pembelajaran berkewajiban menyadarkan siswa tentang
keterkaitannya dengan komunitasnya, sehingga mereka tak boleh mengabaikan
tradisi, budaya, kerjasama, hubungan manusiawi, serta pemenuhan kebutuhan yang
tepat guna.
e.
Pembelajaran berkewajiban mengajak siswa untuk menyadari
hubungannya dengan bumi dan "masyarakat" non manusia seperti hewan,
tumbuhan, dan benda benda tak bernyawa (air, udara, tanah) sehingga mereka
emiliki kesadaran ekologis f. Kurikulum berkewajiban memperhatikan hubungan
antara berbagai pokok bahasan dalam tingkatan trans-disipliner, sehingga hal
itu akan lebih memberi makna kepada siswa.
f.
Pembelajaran berkewajiban menghantarkan siswa untuk menyeimbangkan
antara belajar individual dengan kelompok (kooperatif, kolaboratif, antara isi
dengan proses, antara pengetahuan dengan imajinasi, antara rasional dengan
intuisi, antara kuantitatif dengan kualitatif.
g.
Pembelajaran adalah sesuatu yang tumbuh, menemukan, dan
memperluas cakrawala. i. Pembelajaran
adalah sebuah proses kreatif dan artistik. Proses pembelajaran menjadi tanggung
jawab personal sekaligus juga menjadi tanggung jawab kolektif.
Oleh karena itu strategi pembelajaran lebih diarahkan pada bagaimana
mengajar dan bagaimana orang belajar. Sedangkan Miller (1991:3) mengungkapkan
karakteristik pembelajaran holistik adalah sebagai berikut:
1)
Pendidikan holistik memelihara perkembangan peserta didik
yang terfokus pada intelektual, emosional, sosial, fisik, kreatifitas atau
intuitif, estetika dan spiritual emosi
2)
Menciptakan hubungan yang terbuka dan kolaboratif antara
pendidik dan peserta didik
3)
Mendorong keinginan untuk memperoleh makna dan pemahaman
agar dapat menjadi bagian dari dunia dengan melakukan penekanan pada belajar
melalui pengalaman hidup dan belajar di luar batas-batas kelas dan lingkungan
pendidikan formal sehingga dapat memperluas wawasan.
4)
Pendekatan ini memberdayakan peserta didik untuk berpikir
secara kritis dalam konteks kehidupan mereka . Pendidikan holistik memiliki
kapasitas untuk membimbing peserta didik untuk memperluas kepribadian individu
serta memiliki kapasitas menciptakan individu untuk berpikir secara berbeda,
kreatif dan mencerminkan nilai-nilai yang sudah
tertanam dalam dirinya. Guru diharapkan mampu mendorong peserta didik
untuk berkembang menjadi lebih terdidik dan berpartisipasi sebagai anggota
masyarakat.
3.
Strategi Pembelajaran Holistik
Keberhasilan proses pembelajaran tidak hanya dilihat dari hasil
belajartetapijugadilihatdariprosesnya. Proses pembelajaran merupakanupaya
mengoptimalisasikan seluruh potensi yang dimiliki peserta didik untuk
mengembangkan diri secara menyeluruh. Jadi, hasilbelajar bergantung pada proses
belajar siswa dan mengajar guru. Oleh karenanya guru perlu mengubah strategi
pembelajaran dengan menggunakan metode dan pendekatan yang bervariasi dan lebih
bersifat eksploraif, menggeser pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher
centered) menjadi student centered (berpusat pada siswa) serta
mendorong siswa menjadi kreatif.
Pembelajaran holistik (holistic learning) adalah pendekatan
pembelajaran yang berfokus pada pemahaman informasi dan mengaitkannya dengan
topik-topik lain sehinggga terbangun kerangka pengetahuan. Dalam pembelajaran
holistik, diterapkan prinsip bahwa siswa akan belajar lebih efektif jika semua
aspek pribadinya (pikiran tubuh dan jiwa) dilibatkan dalam pengamalan siswa.
Pembelajarann holistik sejalan dengan tujuan Pendidikan untuk menghasilkan
insan Indonesia yang cerdas spiritual, cerdas emosional, cerdas sosial, cerdas
intelektual, dan cerdas kinestetis.
Oleh karena itu, rencana pembelajaran dirancang agar peserta didik
dapat meraih prestasi setinggi-tingginya.
Mengutip pendapat Ginnis (2008), rencana pembelajaran sedapat mungkin
bertujuan agar peserta didik mengasah
a.
Berpikir: peserta didik memproses data secara aktif,
logis, lateral, imajinatif, deduktif, dsb.
b.
Kecerdasan emosional: belajar menagani emosi dan
menghubungkan dengan lainnya secara terampil, mengembangkan cirri personal
positif seperti kendali diri dan nilai-nilai seperti keadilan.
c.
Kemandirian: peserta didik menguasai sikap dan kecakapan
yang membuat mereka mampu memulai mempertahankan belajar tanpa guru.
d.
Saling ketergantungan: peserta didik terlibat dalam
mutualitas yang merupakan inti dari kerja sama dan basis dari demokrasi.
e.
Sensasi ganda: peserta didik mendapat pengalaman melalui
sejumlah indera bersama-sama dari efek melihat, mendengar dan melakukan.
f.
Fun: peserta didik memerlukan pengalaman belajar yang
bervariasi seperti suasana serius dan ringan, aktif dan pasif, individual dan
kelompok, terkontrol dan lepas, bising dan tenang sehingga menimbulkan
kesenangan yang nyata.
g.
Artikulasi: peserta didik membicarakan atau menulis
pikiran, seringkali dalam bentuk draft sebagai suatu bagian penting dari proses
penciptaan pemahaman personal. Pembelajaran holistik tidak seperti teknik
brainstorming atau mind map. Secara fundamental pendidikan holistik akan
mengubah cara belajar dan cara menyerap informasi.
SUMBER: PPG.SIAGAPENDIS.COM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar