Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Senin, 08 Juli 2019

MODUL AKHLAK KB 4 PPG PAI




MODUL AKHLAK KB 4 PPG PAI

URAIAN MATERI

A.    HAKEKAT AKHLAK TERHADAP ORANG LAIN 

Bagaimana apakah Saudara sudah benar-benar memahami materi yang lalu, yakni tema akhlak pada diri sendiri? Materi kali ini prinsipnya tidak jauh berbeda, yang berbeda hanya sasarannya, yaitu membicarakan sikap yang ada hubungannya dengan orang lain.

Sikap atau perbuatan yang apabila dikerjakan seseorang pengaruhnya dapat dirasakan oleh orang lain, baik manfaat atau madharatnya. Akhlak yang mulia terhadap orang lain, juga sama merupakan bagian dari amal shalih. Contohnya sifat jujur, orang yang bersifat jujur, akan memberikan pengaruh terhadap orang lain. 

Apabila ia jujur dalam berbicara, maka informasinya akan sangat berguna bagi yang membutuhkannya. Sebaliknya kalau ia  berbohong, maka informasinya sangat  membahayakan, bahkan bisa menimbulkan fitnah yang sangat kejam bagi siapa pun yang menjadi sasaran.

Akhlak terhadap orang lain adalah sifat-sifat yang melekat kuat dalam diri seseorang yang menjadi sumber kekuatan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat berakibat baik atau buruk bagi orang lain, di luar pelakunya. Bagaimana sudah nyambung? Mari kita lanjutkan sub bab berikutnya!

B.    MACAM-MACAM  AKHLAK TERHADAP ORANG LAIN

Setelah Saudara memahami dengan saksama mengenai hakekat akhlak terhadap orang lain, Sekarang apa Saudara bisa mengidentifikasi apa saja kira-kira yang termasuk di dalamnya? Ingat indikatornya adalah sifat dari perbuatan yang menyebabkan atau mengakibatkan hal-hal yang baik atau buruk terhadap orang lain, selain dirinya.

Dan akibat dari sikap perbuatan seseorang tersebut dapat mempengarui situasi dan kondisi lingkungan dimana ia melakukannya.

Untuk lebih memudahkan Saudara, berikut ini adalah beberapa sifat yang di maksud di atas, yaitu; kasih sayang, siddiq, amanah, tabligh, pemaaf, dan adil. 

Dengan ketujuh sifat tersebut apabila sudah terpatri dalam jiwa Saudara,  insyaAllah Saudara akan menjadi orang yang bermanfaat, orang yang baik dalam pandangan Allah Swt.

Sebagaimaa ukuran orang baik yang disampaikan oleh Rasullah Saw. sebagai berikut:





Artinya: Dari Jabir berkata, Raulullah Saw. bersabda; “Manusia yang terbaik adalah orang yang lebih bermanfaat bagi manusia yang lain. (HR. Thabrani)

Selanjutnya,  sifat-sifat tersebut di atas, mari kita bahas satu persatu:
 
1.    Kasih Sayang

Kasih sayang merupakan karunia nikmat yang sangat didambakan oleh semua orang.  Karena dengan sifat ini, dapat tercipta kepedulian, kedamaian dan rasa empati kepada orang lain. Tidak hanya itu, kasih sayang dapat mendorong manusia untuk saling membantu untuk meringankan penderitaan yang dialami oleh manusia lainnya.

Tanpa adanya rasa kasih sayang, mungkin manusia akan menjadi sangat individualistis, egois dan tidak memikirkan kepentingan orang lain. Islam, sebagai agama yang sempurna, mempunyai konsep kasih sayang, memahami bahwa manusia merupakan makhluk yang sempurna, dibekali dengan akal, ghadhab dan nafsu. Karena manusia dibekali dengan akal dan nafsu, maka mereka tidak seperti malaikat yang selalu taat dengan perintah Allah, manusia terkadang lebih mengutamakan akal atau nafsunya dibandingkan perintah Allah. 

Untuk itu, Islam mengatur batas-batas kasih sayang yang diperbolehkan, supaya berakibat baik bagi semua pihak.  Konsep ibadah harus dipahami sebagai prinsip dalam mengimplementasikan sifat kasih sayang diantara kita, yakni dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah Swt.

Dengan memegang prinsip tersebut, kita akan terbiasa untuk meniatkan diri beribadah kepada Allah dalam setiap hal yang kita lakukan, termasuk dalam hati atau perasaan kita. Tidak ada rasa kasih dan sayang yang kita berikan kepada makhluk lain kecuali untuk memperoleh ridha Allah Swt. 

Kasih sayang memiliki makna yang tidak terbatas. Memiliki rasa kasih sayang kepada makhluk lain merupakan fitrah yang dimiliki manusia. Maka, tentu kita harus menempatkan rasa kasih sayang ini sesuai dengan batas-batas penciptaan kita sebagai makhluk Allah dan jangan sampai melewati batas-batas hukum-Nya Rasulullah Saw. bersabda:



Artinya: Dari Jabir berkata, saya datang kepada Rasulullah Saw., lalu saya berkata, “Saya berbaiat kepadamu untuk masuk Islam”, lalu beliau memegang tangannya sambil bersabda, “Nasehat itu untuk setiap orang Islam”. Kemudian Rasulullah Saw. bersabda, “Barang siapa tidak menyayangi manusia, Allah tidak akan menyayanginya”. (HR. Ahmad) 

Hadis tersebut di atas mengisyaratkan bahwa kasih sayang kita itu tidak terbatas, yakni kepada semua ‘manusia’ bukan hanya saudara muslim. Sehingga kita sebagai orang Islam harus bisa mengajarkan dan mencontohkan untuk menyayangi semua manusia di bumi.

Dan masih bayak lagi hadis yang membicarakan kasih sanyang diantaranya yang artinya sebagai berikut:

(1). “Sekali-kali tidaklah kalian beriman sebelum kalian mengasihi”,
(2)” Kasih sayang itu tidak terbatas pada kasih sayang salah seorang di antara kalian kepada sahabatnya (mukmin), tetapi bersifat umum (untuk seluruh umat manusia” (H.R. Thabrani).

Islam, sebagai agama rahmatan lil ‘alamin atau rahmat bagi seluruh alam, juga mengajarkan bahwa kasih sayang tidak hanya berlaku antar manusia, melainkan juga pada hewan, tumbuhan dan lingkungan di sekitarnya.

Pernah diceritakan Abu Bakar as-Shiddiq ra. berpesan kepada pasukan yang dipimpin oleh Usamah bin Zaid, “Janganlah kalian bunuh perempuan, orang tua, dan anak-anak kecil. Jangan pula kalian kebiri pohon-pohon kurma, dan janganlah kalian tebang pepohonan yang berbuah.

Jika kalian menjumpai orang-orang yang tidak berdaya, biarkanlah mereka, jangan kalian ganggu”. Nasehat ini, yang diberikan dalam keadaan perang, sungguh mencerminkan makna kasih sayang yang diajarkan oleh agama Islam.

Kasih sayang tidak hanya untuk manusia, melainkan juga untuk lingkungan di sekitarnya. Perlu digaris bawahi bahwa sifat kasih sayang yang tidak didasari dengan prinsip penghambaan diri kepada Allah, adalah tidak benar.

Yang demikian itu justru akan memberikan energi negatif untuk beramal yang salah, tidak diterima oleh Allah, dan akan memberikan dampak buruk kepada semua orang bahkan makhluk yang lain.
 
2.    Siddiq 

Kata  /صديق Siddiq, berasal dari bahasa Arab yang berarti "benar/jujur". Menurut istilah  adalah sesuatu yang diberikan sebagai sebuah gelar kehormatan kepada individu tertentu, Siddiq untuk laki-laki dan Siddiqah untuk perempuan.

Dalam sejarah Islam, kita kenal gelar seperti ini pernah diberikan kepada sahabat yang membenarkan berita Isra dan Mi’rajnya Nabi Muhammad Saw. yang kemudian diberi gelar Ash-Shiddiq, yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq. 

Ash-Shiddiq yang dimaksud adalah orang yang dengan jujur mau menerima /صدق shidq, (kebenaran). Jujur adalah sifat yang ada dan sudah menyatu dengan jiwa seseorang  yang  dapat mengispirasi dan mendorong secara cepat untuk berbicara dan berbuat apa adanya.

Sama antara pembicaraan dan perilakunya. Apa yang ada di dalam hatinya sama dengan apa yang disampaikan melalui lisannya. Perbuatannya juga tidak dibut-buat, sesuai dengan keyakinan kebenaran yang ada di dalam hatinya. Teguh pendiriannya, tidak mudah goyah oleh pengaruh dari luar.

Di tengah perkembangan zaman yang sangat cepat, masyarakat semakin hari semakin rasional dan logis. Jujur menjadi sesuatu yang langka, ada tetapi sangat jarang ditemukan. Hal ini dikarenakan banyak orang yang sudah meninggalkan prinsip kebenaran, terutama masalah akhlak.

Orang akan banyak memihak kepada hal yang menguntungkan dirinya, yang paling masuk akalnya. Sementara akalnya sudah tidak sehat lagi karena dibimbing oleh nafsu angkara murka.  Ada sebuah dialog menarik dalam kitab Ihya Ulumiddin terkait dengan kelangkaan sifat jujur ini.

Dialog antara Hakim dengan seorang laki-laki yang menyoal kejujuran yang susah didapatkan



Artinya: Seorang laki-laki berkata kepada Hakim: “Aku tidak bisa mengenali orang yang jujur!”  Kemudian dijawab oleh Hakim: “Seandainya kamu adalah orang yang jujur kamu juga akan mengenal orang-orang yang jujur.” 

Laki-laki dalam dialog di atas memiliki keinginan untuk mengetahui kejujuran orang lain, tapi ketika dirinya sendiri tidak memiliki sikap jujur, maka orang-orang jujur tidak lagi bisa ia liat, dan tidak nampak baginya.

Hal ini menggambarkan adanya indikasi dalam bahwa laki-laki tersebut sudah semakin susah untuk membedakan mana orang yang jujur dan mana orang yang bohong. Bahkan dirinya sendiri tidak sadar kalau bukan bagian dari orang-orang yang jujur.

Salah satu kitab yang memersoalkan tentang jujur adalah Ihya Ulumiddin. Kitab ini merupakan kitab fenomenal yang memuat banyak sekali hikmah dan moral yang layak dijadikan pedoman.

Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H) sendiri memasukkannya ke dalam Rubu’ al-Munjiyat (seperempat hal yang dapat menyelamatkan).  Beliau mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Mas’ud Rasulullah Saw bersabda:



Artinya: “Sesungguhnya jujur itu menunjukkan kepada kebaikan, dan kebaikan menunjukkan kepada surga. Sungguh akan ada seorang laki-laki yang berbuat jujur sehingga ia akan dicatat sebagai orang yang sangat jujur. Sebaliknya, dusta menunjukkan kepada kemaksiatan, dan kemaksiatan mengantarkan seseorang ke neraka, sungguh akan ada seorang laki-laki yang pandai berdusta sehingga ia dicatat di sisi Allah sebagai seorang pendusta.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sifat jujur merupakan salah satu sifat wajib yang dimiliki oleh para nabi  dan para rasul Allah.  Berikut adalah beberapa contoh firman Allah Swt. yang menyatakan bahwa para nabi dan rasul memiliki sifat jujur;

a.   Nabi Ibrahim as.



Artinya: “Ceritakanlah (Hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al Kitab (Al Quran) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat jujur lagi seorang Nabi.” (QS. Maryam/19: 41)

b.   Nabi Isma’il as.



Artinya: “Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan nabi.” (QS. Maryam/19: 54)
 
c.   Nabi Idris as.



Artinya: “Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka, kisah) Idris (yang tersebut) di dalam Al Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan dan seorang nabi.” (QS. Maryam/19: 56)

Jujur adalah sifat terpuji yang selayaknya dimiliki oleh umat Islam. Abu Hamid al-Ghazali secara khusus membahas tentang hal jujur ini. Tepatnya dalam sub tema yang berjudul  fi al-Shidqi wa Fadhilatih wa Haqiqatihi (Jujur, Keutamaan dan Hakikatnya).

Menurut al-Ghazali kata jujur dapat diartikan dalam berbagai makna. Pertama adalah jujur dalam perkataan, jujur dalam niat dan kehendak, jujur di dalam azam (tekad), jujur di dalam menunaikan azam, jujur di dalam perbuatan dan yang terakhir jujur di dalam mengimplementasikan maqamat di dalam beragama.

Berikut kami paparkan masing-masing dari pengertian jujur di atas.

Pertama, jujur dalam lisan;  jujur dalam lisan atau ucapan berkaitan langsung dengan informasi atau berita yang disampaikan, apakah itu benar atau salah. Baik yang telah berlalu maupun yang akan terjadi.

Menurut al-Ghazali kejujuran ini akan semakin lengkap jika seseorang tidak terlalu membesar-besarkan informasi. Karena menurut alGhazali, hal itu dekat dengan kedustaan. Dan kedua, memperhatikan makna jujur secara seksama agar tidak bercampur dengan syahwat keduniaan.

Kedua, jujur dalam niat dan kehendak. Jujur dalam hal ini terkait langsung dengan keikhlasan. Tidak ada dorongan sedikitpun kecuali hanya karena Allah. Jika niat dan kehendak seseorang bercampur dengan nafsu maka batal kejujuran niat tersebut. Dan orang  yang niatnya bercampur dengan nafsu bisa dikategorikan sebagai orang yang berdusta.

Kejujuran yang kedua ini tercermin dalam hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah.






kemudian ditanyakan (kepadanya): “Apa yang engkau perbuat sewaktu di dunia?” ia menjawab: “Aku menuntut ilmu dan membaca Al-Quran serta mengamalkannya di jalan-Mu.” Lalu dijawab, “Bohong! Kamu melakukannya hanya ingin disebut sebagai orang yang alim, yang qari.” Kemudian Allah memerintahkan untuk disungkurkan wajahnya dan dilemparkan ke dalam api neraka. (HR. Hakim)

Ketiga, jujur dalam azam (tekad); sebelum seseorang melakukan sesuatu kadangkala seseorang memiliki tekad terlebih dahulu sebelum mengimplementasikannya. Contohnya adalah jika seseorang mengatakan jika Allah memberiku harta maka aku akan mensedekahkan sekian dari harta tersebut. Kejujuran tekad yang dimaksudkan di sini adalah kesempurnaan dan kekuatan tekad tersebut. Tekad yang benar atau jujur tidak akan ragu atau goyah sedikitpun.

Keempat, jujur dalam menunaikan azam (tekad); Maksudnya adalah ketika seseorang telah memiliki azam dan ia memiliki peluang untuk melaksanakan azamnya. Ketika ia tidak menunaikan apa yang menjadi tekadnya maka itu bisa dikatakan sebagai kebohongan atau ketidak jujuran.

Kelima, jujur dalam perbuatan; adalah usaha seseorang untuk menampilkan perbuatan lahiriah agar sesuai dengan apa yang ada di dalam hatinya. Berbeda dengan riya’, riya’ berati perbuatan baik secara lahir tidak sama dengan niat buruk di dalam hati. Seseorang yang antara perbuatan lahir dan niatnya berbeda tanpa adanya maksud yang disengaja. menurut al-Ghazali hanya dikatakan sebagai orang yang tidak jujur dalam perbuatan.

Keenam, jujur dalam mengimplementasikan maqamat di dalam agama seperti jujur di dalam khauf (takut kepada Allah), raja’ (berharap kepada Allah), zuhud dan lain sebagainya. Ini adalah tingkatan jujur yang paling tinggi. Seseorang dapat dikatakan jujur dalam tahap ini ketika ia telah mencapai hakikat yang dimaksud dalam khauf, raja’ atau zuhud yang dikehendaki. Tingkatan jujur ada dalam ajaran sufi yang ada dalam Islam.  

3.    Amanah

Menurut bahasa Amanah berasal dari kata amuna – ya’munu – amanatan yang bermakna tidak meniru, terpercaya, jujur, atau titipan. Amanah dapat difahami sebagai sebagai satu sifat yang melekat dalam diri seseorang yang  dapat mendorong seseorang dapat melakukan perbuatan-perbutan dengan cepat tentang segala sesuatu yang dipercayakan kepadanya, baik yang menyangkut hak dirinya, hak orang lain, maupun hak Allah Swt. 

Sifat amanah merupakan sifat terpenting dari Nabi Muhammad Saw.,  sifat yang oleh kaum jahiliah Makkah disematkan kepada diri beliau sebelum turun wahyu, sehingga beliau dikenal dengan julukan al-Amin; orang yang amanah. Julukan yang kemudian populer dan sangat lekat di lidah masyarakat Makkah.

Dengan julukan inilah semua orang, laki-laki ataupun perempuan, menyebut Nabi dengan penuh takzim dan penghormatan. Ketika usai membangun ulang Ka’bah, kaum Quraisy berisitegang, bahkan hampir bertumpah darah tentang siapa yang akan mendapat kehormatan meletakkan kembali Hajar Aswad ke tempatnya. Karena tak ada titik temu, mereka sepakat untuk menyerahkan putusan kepada siapa yang datang kepada mereka pertama kali.

Tiba-tiba Muhammad bin Abdullah muncul. Betapa girang kaum Quraisy. Mereka berteriak dengan penuh kepercayaan, “Inilah al-Amin. Inilah al-Amin. Kami rela dia yang memberi putusan!”

Apa yang segera terlintas di hati kaum Quraisy saat itu adalah sifatnya yang terkenal itu. Sengaja beliau dipanggil begitu karena mereka percaya beliau akan memberi jalan penyelesaian yang adil. Dan terbukti Nabi mampu mengatasi masalah mereka dengan cara yang sangat simpel dan melegakan semua pihak. Itu terjadi jauh sebelum kenabian.

Lebih dari itu, bahkan setelah kenabian pun, rumah beliau menjadi pangkal penitipan barang paling dipercaya kalangan kaum musyrik –yang justru mengingkari kenabian beliau. Tanpa segan, mereka titipkan barang-barang yang dicemaskan hilang, padahal waktu itu dunia belum mengenal rumah penitipan barang.

Setelah menerima perintah hijrah ke Madinah, Nabi menyuruh Ali tinggal dulu di Makkah untuk mengembalikan barang-barang titipan itu kepada pemiliknya masing-masing. Amanah dalam arti yang luas dan dalam lebih dari sekedar menunaikan hajat duniawi kepada pemiliknya.

Amanah hakikatnya lawan kata khianat. Orang yang amanah adalah orang yang dapat dipercaya dan membuat jiwa aman. Orang-orang Quraisy begitu percaya kepada Rasulullah dalam urusan dunia. Dalam hal ini mereka tak pernah mencaci beliau. Mereka juga tidak curiga dan tidak menuduh beliau khianat. Bukan hanya dalam urusan harta benda, melainkan juga kehormatan dan jiwa. Karena itu, sangatlah aneh ketika mereka mendustakan beliau dalam hal kabar dari langit. Padahal, bagaimana mungkin pada saat yang sama seseorang amanah sekaligus khianat.

Dalam rumah tangga Nabi, tidak hanya beliau yang amanah. Tetapi juga segenap istri dan keluarganya. Tak ada yang mengatakan haknya tidak dipenuhi oleh salah seorang dari mereka. Karena, mereka memang menunaikan amanah dengan sebaik-baiknya dan dalam arti yang seluas-luasnya.

Amanah yang berarti benar-benar bisa dipercaya (bertanggung jawab). Jika satu urusan diserahkan kepadanya, niscaya orang orang percaya bahwa urusan itu akan dilaksanakan dengan sebaik baiknya. Oleh karena itu nabi Muhammad SAW dijuluki oleh penduduk mekkah dengan gelar "Al amin" yang artinya terpercaya jauh sebelum beliau diangkat menjadi nabi.

Apapun yang beliau ucapkan, penduduk mekkah mempercayainya karena beliau bukan seseorang yang pembohong. Amanah dilakukan bukan hanya dalam keadaan tertentu atau terhadap orang tertentu, melainkan disetiap keadaan dan terhadap siapapun wajib hal itu dilaksakan, dalam etika beribadah, etika berbisnis maupun etika etika lainnya.

Dalam etika beribadah kita harus melaksanakan Amanah yang Allah perintahkan seperti sholat, puasa, zakat , haji dan lain sebagainya, sebagai umat muslim kita tidak boleh meninggalkan kewajiban, Allah SWT menyeru kaum muslimin agar tidak menghkhianati Allah dan Rasulnya, yaitu mengabaikan kewajiban kewajiban yang harus mereka laksanakan, melanggar larangannya yang telah ditentukan dengan perantaran Wahyu, dan tidak mengkhianati Amanat yang telah dipercayakan kepada mereka, yaitu mengkhianati segala macam urusan yang menyangkut kemaslahatan lil ummah, seperti urusan pemerintah, perang, perdata dan urusan kemasyarakatan.

Dalam adab bermasyarakat bisnis, sifat Amanah juga sangat diperlukan, misalnya dalam praktik perdagangan syariah, dikenal adanya istilah perdagangan atas dasar Amanah. Dalam akad-akad tijarah yang menggunakan prinsip mudharabah, murabahah, syirkah dan wakalah, diperlukan komitmen semua pihak atas amanah yang diberikan kepadanya. 

Adanya salah satu pihak yang khianat atas amanah yang dipercayakan kepadanya bisa mengakibatkan pembatalan akad perjanjian. Misalnya pihak pengelola ternyata menggunakan dana tersebut untuk memperkaya diri sendiri atau untuk bisnis yang diharamkan Allah Swt.  

Rasulullah Saw. bersabda, dalam sebuah hadis Qudsinya:






Artinya: Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah Saw. bersabda, Allah Swt berfirman, “Aku pihak ketiga dari kedua belah pihak yang berserikat selama salah seorang dari keduanya tidak mengkhianati temannya, jika salah satu telah mengkhianati temannya, Aku berlepas dari keduanya”. (H.R Abu Dawud).

Hadits di atas mengisyarahkan bahwa sifat Amanah itu sangat penting terutama bagi kaum muslimin agar apa yang mereka lakukan menjadi salah satu jalan untuk taqarrub ila Allah wa Rasul Allah.

Konsekuensi Amanah adalah mengembalikan setiap hak kepada pemiliknya, baik sedikit maupun banyak, tidak mengambil lebih daripada yang ia miliki, tidak mengurangi hak orang lain, baik itu hasil penjualan, jasa atau upah buruh.

Amanah juga memiliki tanggung jawab dalam melaksanakan tugas dan kewajiban yang diberikan padanya.  Bagaimana bisa faham? Singkatnya sifat amanah itu adalah sifat tanggung jawab dari tugas yang dipikulkan kepada kita, apapun bentuknya. Jika semua orang sudah bisa bertanggung jawab dalam hidupnya, niscaya masyarakat kita akan aman, tentram dan makmur dalam segala hal. Amin…  

d.   Tabligh

Menurut bahasa tabligh berasal dari bahasa Arab yang berarti menyampaikan. Sifat tabligh merupakan satu dari 4 sifat wajib para nabi.  Para Nabi wajib menyampaikan risalah, dan perintah dari Allah Swt. kepada umatnya. Mereka tidak boleh menyembunyikan sedikitpun perintah dari Allah Swt. Tabligh di sini bermakna menyampaikan sesuatu dengan benar dan tepat sasaran.

Tabligh juga berarti mengajak sekaligus memberikan contoh kepada pihak lain untuk kepada pihak lain untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari.

Tablig pada hakikatnya adalah dakwah menyampaikan kebenaran. Seseorang yang mempunyai sifat tabligh yang tidak pernah menyembunyikan kebenaran. Ia akan menyampaikan kebenaran itu, dan mengajak orang-orang untuk mengikutinya.

Dalam hubungannya dengan profesi guru, sifat tabligh dapat diartikan akan menyampaikan informasi berupa ilmu pengetahuan dengan benar dan dengan tutur kata yang tepat.

Jadi intinya sifat tabligh adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorong seseorang dapat melakukan dengan cepat untuk menyampaikan apa saja yang menjadi tanggunggung jawabnya siapa saja yang selayaknya harus menerima. 

Seperti contohnya yang ada di dalam perdagangan yaitu Seorang penjual yang menyampaikan apa barang dagangannya kepada orang lain agar orang-orang tahu apa yang dia jadikan bisnis.

Nilai dasarnya dari Tabligh yaitu komunikatif, menjadi pelayanan bagi publik, bisa berkomunikasi secara efektif, memberikan contoh yang baik, dan bisa mendelegasikan wewenangnya kepada orang lain.

Sifat Tabligh yaitu berupa komunikasi, keterbukaan, pemasaran merupakan teknik hidup muslim karena setiap muslim mengemban tanggung jawab dakwah, yakni menyeru, mengajak, memberitahu.

Sifat ini bila sudah mendarah daging pada setiap muslim, apalagi yang bekerja sebagai guru, akan menjadikan setiap proses pembelajaran lebih efektif dan efesien. Dikarenakan sifat tabligh merupakan prinsip ilmu komunikasi baik personal maupun massal, pemasaran, periklanan, penjualan, pembentukan opini massa, open management, iklim keterbukaan dan lain sebagainya.

Dan dalam kegiatan ekonomi dan bisnis, kita juga harus mengacu pada prinsipprinsip tabligh yang telah diajarkan oleh para nabi dan rasul. Seperti misalnya Nabi mengajarkan kepada kita bahwa yang terbaik diantara antara kalian adalah yang paling bermanfaat bagi manusia, dengan kata lain bila kita ingin sekali mendapatkan ridha Allah, maka kita juga harus menyenangkan, membuat hati orang-orang di sekitar kita ridha dengan perbuatan kita.

Dengan prinsip ini maka akan melahirkan sikap profesional dan tidak putus asa dalam mencari kebenaran atau terus menerus mengejar hal-hal yang baik sampai menemukan jawaban yang sempurna.

Sebab itu jika Saudara adalah pemikir dan praktisi pendidikan, lalu hendak menyusun teori, maka hal yang harus menjadi pegangan adalah semua yang datang dari Allah dan rasul-Nya diyakini sebagai kebenaran yang mutlak.

Jika ada hal- hal yang masih belum bisa dipahami oleh akal pikiran manusia maka itu akan menjadi tugas manusia untuk terus berusaha menemukan kebenaran tersebut bagaimanapun caranya.

Bagaimana menurut Saudara? Apabila umat Islam secara umum sudah memiliki sifat tabligh, khususnya guru-guru kita? Pastinya ilmu pengetahuan akan berkembang dengan sangat pesat di kalangan kaum muslimin.

Dan dapat dibayangkan kalau umat Islam banyak yang menjadi ahli dalam berbagai bidang ilmu. Umat Islam akan mengalami masa keemasan kembali seperti dahulu telah tercatat dalam sejarah umat manusia.
  
e.   Pemaaf

Pemaaf berarti orang yang rela member maaf kepada orang lain. Sikap pemaaf dapat dimaknai sikap suka memaafkan kesalahan orang lain tanpa menyisakan rasa benci dan keinginan untuk membalasnya. Sebenarnya kata pemaaf, adalah serapan dari Bahasa Arab, yakni al-‘afw yang berarti maaf, ampun, dan anugerah.

Maaf sejatinya mudah difahami, tapi susah diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Hakiki maaf adalah lupa, benar-benar lupa dari memori otak kita tentang kesalahan orang lain yang berhubungan dengan kita.

Memaafkan kesalahan si fulan berarti melupakan  kesalahan si fulan terkait dengan kita. Pemaaf berarti orang yang dapat dengan mudah melupakan kejadian-kejadian buruk dan menyakitkan dirinya yang dilakukan oleh orang lain, karena dorongan dari dalam jiwanya yang taat kepada perintah Allah untuk bisa memaafkan siapapun.

Meski sifat pemaaf itu sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, namun masih banyak orang susah untuk memaafkan kesalahan orang lain. Jika demikian adanya yakni banyak diantara kita yang masih sulit memaafkan, maka jangan diharap dendam dalam masyarakat kita akan bisa hilang.

Dan jangan berharap aka ada ketenangan dan ketentraman dalam masyarakat kita, kalau diantara kita belum ada saling memaafkan. Sebab itu memaksakan diri untuk belajar dan berlatih untuk memiliki sifat pemaaf itu sangat perlu. Kita perlu belajar dan berlatih untuk bisa berlapang dada sebagai cerminan sifat pemaaf.

Dalam rangka belajar untuk bersifat pemaaf, kita bisa mengambil pelajaran dari kisah para Rasul dan sahabatnya.  Allah mengajarkan kepada kita agar menjadi pribadi yang pemaaf, melalui kisah cerita, seperti kisah Abu Bakar as-Shidiq yang menjadi sebab-sebab diturunkannya ayat berikut ini:






Artinya:  “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan diantara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan member (bantuan) kepada kerabat(nya), orang-orang miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. An-Nur/24: 22)

Selain kisah khalifah Abu Bakar, ada juga kisah dari Rasulullah SAW. Banyak kisah hidup beliau yang dapat diambil sebagai pelajaran hidup, termasuk salah satu sifat pemaafnya. Seperti kisah seorang wanita Yahudi yang mencoba meracuni Rasulullah dengan menabur racun dimakanan beliau, namun Rasulullah terselamatkan.

Hingga wanita itu mengakui perbuatannya kepada Rasulullah, dan beliau memaafkan wanita itu tanpa menghukumnya. Memberi maaf kepada orang lain yang bersalah merupakan cara bagaimana kita bisa membangun kembali tatanan masyarakat yang rusak.

Terutama dalam proses membangun keluarga diantara kita yang tentunya tidak luput dari kesalahan-kesalahan baik bapak, ibu maupun anak. Allah Swt. berfirman:





Artinya: Hai orang-orang beriman, sesungguhnya diantara pasangan-pasanganmu dan anak-anakmu itu ada yang menjadi musuhmu. Maka hendaknya kalian berhati hati dalam menghadapi mereka. Dan jika kalian bisa memaafkan, memperbaiki dan mengampuni mereka, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. At-Taghabun/64:14)
 
Ishlah diantara anggota keluarga yang telah disakiti rasanya susah untuk dilaksanakan, kalau masing-masing diantara mereka mengatakan tidak ada maaf bagimu. Sebagai orang yang lebih mengerti di dalam keluarga, harus selalu waspada dengan anggota keluarga yang lainnya.

Sebab diantara mereka memang kadang ada yang mementingkan nafsunya dan mengikuti jalan setan. Mereka itu semua pada hakekatnya adalah musuh kita orang yang beriman. Mereka biasnya keras kepala dan susah untuk menerima nasehat, sehingga kita perlu banyak mengalah untuk menang dengan selalu memaafkan dan menasehati mereka secara ikhlas.

Sebagai guru dijaman sekarang ini, dimana adab dan akhlak yang mulia mulai tercerabut dari sikap dan tingkah laku anak-anak sekolah. Sikap pemaaf sangat diperlukan supaya dapat menebar senyum dihadapan peserta didiknya. Sehingga menjadi panutan mereka.    

f.     Adil 

Menurut bahasa Adil  derasal dari bahasa Arab yang berarti proporsional, tidak berat sebelah, atau jujur.  Adil maksudnya juga tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak pada yang benar, berpegang pada kebenaran, atau yang sepatutnya, dan tidak sewenang-wenang.

Menurut ilmu akhlak adil dapat didefinisikan sebagai perbuatan meletakan sesuatu pada tempatnya, memberikan atau menerima sesuatu sesuai haknya, dan menghukum yang jahat sesuai haknya, dan menghukum yang jahat sesuai dan kesalahan dan pelanggaranya.

Islam sangat menekankan sikap adil dalam segala aspek kehidupan. Allah Swt. memerintahkan kepada umat manusia supaya berprilaku adil. Keadilan merupakan inti ajaran Islam yang mencakup semua aspek kehidupan.

Prinsip keadilan yang dibawa AlQur’an sangat kontekstual dan relevan untuk diterapkan kedalam kehidupan beragama, berkeluarga dan bermasyarakat. Islam mengajarkan bahwa semua orang mendapat perlakuan yang sama dan sederajat di hadapan hukum.

Tidak ada diskriminasi hukum karena perbedaan kulit, status sosial, ekonomi, atau politik. Karena keadilan merupakan sesuatu yang bernilai tinggi, baik, dan mulia. Apabila keadilan diwujudkan dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, serta bangsa dan Negara, sudah tentu ketinggian, kebaikan, dan kemuliaan akan diraih.

Jika seseorang mampu mewujudkn keadilan dalam dirinya sendiri, tentu akan meraih keberhasilan dalam hidupnya, memperoleh kegembiraan batin, disenangi banyak orang, dapat meningkatkan kualitas diri, dan memperoleh kesejahteraan hidup duniawi serta ukkhrawi.

Jika keadilan dapat diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, akan terwujud masyarakat yang aman,tentram , serta damai sejahtera lahir dan batin. Hal ini disebabkan masing-masing anggota masyarakat melaksanakan kewajiban terhadap orang lain dan akan memenuhi hak orang lain dengan seadiladilnya.

Adapun nilai positif perbuatan adil antara lain : membawa ketentraman, kedamaian,  menimbulkan kepercayaan, meningkatkan kesejahteraan, meningkatkan prestasi belajar, menciptakan kemakmuran, mengurangi kecemburuan sosial, mempererat tali persaudaraan, dapat menimbulkan kebaikan dan mencegah kejahatan.

Bagaimana dengan guru yang adil dalam mendidik peserta didiknya? Tentu akan menumbuhkan gairah belajar dan bersaing yang sehat di kalangan peserta didik dalam mengejar prestasi yang unggul.




@menzour_id 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar