MODUL AKHLAK KB 4 PPG PAI
URAIAN
MATERI
A.
HAKEKAT
AKHLAK TERHADAP ORANG LAIN
Bagaimana apakah
Saudara sudah benar-benar memahami materi yang lalu, yakni tema akhlak pada
diri sendiri? Materi kali ini prinsipnya tidak jauh berbeda, yang berbeda hanya
sasarannya, yaitu membicarakan sikap yang ada hubungannya dengan orang lain.
Sikap atau
perbuatan yang apabila dikerjakan seseorang pengaruhnya dapat dirasakan oleh
orang lain, baik manfaat atau madharatnya. Akhlak yang mulia terhadap orang
lain, juga sama merupakan bagian dari amal shalih. Contohnya sifat jujur, orang
yang bersifat jujur, akan memberikan pengaruh terhadap orang lain.
Apabila ia jujur
dalam berbicara, maka informasinya akan sangat berguna bagi yang
membutuhkannya. Sebaliknya kalau ia
berbohong, maka informasinya sangat
membahayakan, bahkan bisa menimbulkan fitnah yang sangat kejam bagi
siapa pun yang menjadi sasaran.
Akhlak terhadap
orang lain adalah sifat-sifat yang melekat kuat dalam diri seseorang yang
menjadi sumber kekuatan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat
berakibat baik atau buruk bagi orang lain, di luar pelakunya. Bagaimana sudah
nyambung? Mari kita lanjutkan sub bab berikutnya!
B.
MACAM-MACAM AKHLAK TERHADAP ORANG LAIN
Setelah Saudara
memahami dengan saksama mengenai hakekat akhlak terhadap orang lain, Sekarang
apa Saudara bisa mengidentifikasi apa saja kira-kira yang termasuk di dalamnya?
Ingat indikatornya adalah sifat dari perbuatan yang menyebabkan atau
mengakibatkan hal-hal yang baik atau buruk terhadap orang lain, selain dirinya.
Dan akibat dari
sikap perbuatan seseorang tersebut dapat mempengarui situasi dan kondisi
lingkungan dimana ia melakukannya.
Untuk lebih
memudahkan Saudara, berikut ini adalah beberapa sifat yang di maksud di atas,
yaitu; kasih sayang, siddiq, amanah, tabligh, pemaaf, dan adil.
Dengan ketujuh
sifat tersebut apabila sudah terpatri dalam jiwa Saudara, insyaAllah Saudara akan menjadi orang yang
bermanfaat, orang yang baik dalam pandangan Allah Swt.
Sebagaimaa ukuran
orang baik yang disampaikan oleh Rasullah Saw. sebagai berikut:
Artinya: Dari
Jabir berkata, Raulullah Saw. bersabda; “Manusia yang terbaik adalah orang yang
lebih bermanfaat bagi manusia yang lain. (HR. Thabrani)
Selanjutnya, sifat-sifat tersebut di atas, mari kita bahas
satu persatu:
1.
Kasih
Sayang
Kasih sayang
merupakan karunia nikmat yang sangat didambakan oleh semua orang. Karena dengan sifat ini, dapat tercipta
kepedulian, kedamaian dan rasa empati kepada orang lain. Tidak hanya itu, kasih
sayang dapat mendorong manusia untuk saling membantu untuk meringankan
penderitaan yang dialami oleh manusia lainnya.
Tanpa adanya rasa
kasih sayang, mungkin manusia akan menjadi sangat individualistis, egois dan
tidak memikirkan kepentingan orang lain. Islam, sebagai agama yang sempurna,
mempunyai konsep kasih sayang, memahami bahwa manusia merupakan makhluk yang
sempurna, dibekali dengan akal, ghadhab dan nafsu. Karena manusia dibekali
dengan akal dan nafsu, maka mereka tidak seperti malaikat yang selalu taat
dengan perintah Allah, manusia terkadang lebih mengutamakan akal atau nafsunya
dibandingkan perintah Allah.
Untuk itu, Islam
mengatur batas-batas kasih sayang yang diperbolehkan, supaya berakibat baik
bagi semua pihak. Konsep ibadah harus
dipahami sebagai prinsip dalam mengimplementasikan sifat kasih sayang diantara
kita, yakni dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah Swt.
Dengan memegang
prinsip tersebut, kita akan terbiasa untuk meniatkan diri beribadah kepada
Allah dalam setiap hal yang kita lakukan, termasuk dalam hati atau perasaan
kita. Tidak ada rasa kasih dan sayang yang kita berikan kepada makhluk lain
kecuali untuk memperoleh ridha Allah Swt.
Kasih sayang
memiliki makna yang tidak terbatas. Memiliki rasa kasih sayang kepada makhluk
lain merupakan fitrah yang dimiliki manusia. Maka, tentu kita harus menempatkan
rasa kasih sayang ini sesuai dengan batas-batas penciptaan kita sebagai makhluk
Allah dan jangan sampai melewati batas-batas hukum-Nya Rasulullah Saw.
bersabda:
Artinya: Dari
Jabir berkata, saya datang kepada Rasulullah Saw., lalu saya berkata, “Saya
berbaiat kepadamu untuk masuk Islam”, lalu beliau memegang tangannya sambil
bersabda, “Nasehat itu untuk setiap orang Islam”. Kemudian Rasulullah Saw.
bersabda, “Barang siapa tidak menyayangi manusia, Allah tidak akan menyayanginya”.
(HR. Ahmad)
Hadis tersebut di
atas mengisyaratkan bahwa kasih sayang kita itu tidak terbatas, yakni kepada
semua ‘manusia’ bukan hanya saudara muslim. Sehingga kita sebagai orang Islam
harus bisa mengajarkan dan mencontohkan untuk menyayangi semua manusia di bumi.
Dan masih bayak
lagi hadis yang membicarakan kasih sanyang diantaranya yang artinya sebagai
berikut:
(1). “Sekali-kali
tidaklah kalian beriman sebelum kalian mengasihi”,
(2)” Kasih sayang
itu tidak terbatas pada kasih sayang salah seorang di antara kalian kepada
sahabatnya (mukmin), tetapi bersifat umum (untuk seluruh umat manusia” (H.R.
Thabrani).
Islam, sebagai
agama rahmatan lil ‘alamin atau rahmat bagi seluruh alam, juga mengajarkan
bahwa kasih sayang tidak hanya berlaku antar manusia, melainkan juga pada
hewan, tumbuhan dan lingkungan di sekitarnya.
Pernah diceritakan
Abu Bakar as-Shiddiq ra. berpesan kepada pasukan yang dipimpin oleh Usamah bin
Zaid, “Janganlah kalian bunuh perempuan, orang tua, dan anak-anak kecil. Jangan
pula kalian kebiri pohon-pohon kurma, dan janganlah kalian tebang pepohonan
yang berbuah.
Jika kalian
menjumpai orang-orang yang tidak berdaya, biarkanlah mereka, jangan kalian
ganggu”. Nasehat ini, yang diberikan dalam keadaan perang, sungguh mencerminkan
makna kasih sayang yang diajarkan oleh agama Islam.
Kasih sayang tidak
hanya untuk manusia, melainkan juga untuk lingkungan di sekitarnya. Perlu
digaris bawahi bahwa sifat kasih sayang yang tidak didasari dengan prinsip
penghambaan diri kepada Allah, adalah tidak benar.
Yang demikian itu
justru akan memberikan energi negatif untuk beramal yang salah, tidak diterima
oleh Allah, dan akan memberikan dampak buruk kepada semua orang bahkan makhluk
yang lain.
2.
Siddiq
Kata /صديق Siddiq, berasal dari bahasa Arab yang
berarti "benar/jujur". Menurut istilah adalah sesuatu yang diberikan sebagai sebuah
gelar kehormatan kepada individu tertentu, Siddiq untuk laki-laki dan Siddiqah
untuk perempuan.
Dalam sejarah
Islam, kita kenal gelar seperti ini pernah diberikan kepada sahabat yang
membenarkan berita Isra dan Mi’rajnya Nabi Muhammad Saw. yang kemudian diberi
gelar Ash-Shiddiq, yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Ash-Shiddiq yang
dimaksud adalah orang yang dengan jujur mau menerima /صدق shidq, (kebenaran). Jujur adalah sifat
yang ada dan sudah menyatu dengan jiwa seseorang yang
dapat mengispirasi dan mendorong secara cepat untuk berbicara dan
berbuat apa adanya.
Sama antara
pembicaraan dan perilakunya. Apa yang ada di dalam hatinya sama dengan apa yang
disampaikan melalui lisannya. Perbuatannya juga tidak dibut-buat, sesuai dengan
keyakinan kebenaran yang ada di dalam hatinya. Teguh pendiriannya, tidak mudah
goyah oleh pengaruh dari luar.
Di tengah
perkembangan zaman yang sangat cepat, masyarakat semakin hari semakin rasional
dan logis. Jujur menjadi sesuatu yang langka, ada tetapi sangat jarang ditemukan.
Hal ini dikarenakan banyak orang yang sudah meninggalkan prinsip kebenaran,
terutama masalah akhlak.
Orang akan banyak
memihak kepada hal yang menguntungkan dirinya, yang paling masuk akalnya.
Sementara akalnya sudah tidak sehat lagi karena dibimbing oleh nafsu angkara
murka. Ada sebuah dialog menarik dalam
kitab Ihya Ulumiddin terkait dengan kelangkaan sifat jujur ini.
Dialog antara
Hakim dengan seorang laki-laki yang menyoal kejujuran yang susah didapatkan
Artinya: Seorang
laki-laki berkata kepada Hakim: “Aku tidak bisa mengenali orang yang
jujur!” Kemudian dijawab oleh Hakim:
“Seandainya kamu adalah orang yang jujur kamu juga akan mengenal orang-orang
yang jujur.”
Laki-laki dalam
dialog di atas memiliki keinginan untuk mengetahui kejujuran orang lain, tapi
ketika dirinya sendiri tidak memiliki sikap jujur, maka orang-orang jujur tidak
lagi bisa ia liat, dan tidak nampak baginya.
Hal ini
menggambarkan adanya indikasi dalam bahwa laki-laki tersebut sudah semakin
susah untuk membedakan mana orang yang jujur dan mana orang yang bohong. Bahkan
dirinya sendiri tidak sadar kalau bukan bagian dari orang-orang yang jujur.
Salah satu kitab
yang memersoalkan tentang jujur adalah Ihya Ulumiddin. Kitab ini merupakan
kitab fenomenal yang memuat banyak sekali hikmah dan moral yang layak dijadikan
pedoman.
Imam Abu Hamid
al-Ghazali (w. 505 H) sendiri memasukkannya ke dalam Rubu’ al-Munjiyat
(seperempat hal yang dapat menyelamatkan).
Beliau mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Mas’ud
Rasulullah Saw bersabda:
Artinya:
“Sesungguhnya jujur itu menunjukkan kepada kebaikan, dan kebaikan menunjukkan
kepada surga. Sungguh akan ada seorang laki-laki yang berbuat jujur sehingga ia
akan dicatat sebagai orang yang sangat jujur. Sebaliknya, dusta menunjukkan
kepada kemaksiatan, dan kemaksiatan mengantarkan seseorang ke neraka, sungguh
akan ada seorang laki-laki yang pandai berdusta sehingga ia dicatat di sisi
Allah sebagai seorang pendusta.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sifat jujur
merupakan salah satu sifat wajib yang dimiliki oleh para nabi dan para rasul Allah. Berikut adalah beberapa contoh firman Allah
Swt. yang menyatakan bahwa para nabi dan rasul memiliki sifat jujur;
a.
Nabi
Ibrahim as.
Artinya: “Ceritakanlah
(Hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al Kitab (Al Quran) ini. Sesungguhnya ia
adalah seorang yang sangat jujur lagi seorang Nabi.” (QS. Maryam/19: 41)
b.
Nabi
Isma’il as.
Artinya: “Dan
ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam
Al Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah
seorang rasul dan nabi.” (QS. Maryam/19: 54)
c.
Nabi
Idris as.
Artinya: “Dan
ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka, kisah) Idris (yang tersebut) di dalam
Al Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan dan seorang
nabi.” (QS. Maryam/19: 56)
Jujur adalah sifat
terpuji yang selayaknya dimiliki oleh umat Islam. Abu Hamid al-Ghazali secara
khusus membahas tentang hal jujur ini. Tepatnya dalam sub tema yang
berjudul fi al-Shidqi wa Fadhilatih wa
Haqiqatihi (Jujur, Keutamaan dan Hakikatnya).
Menurut al-Ghazali
kata jujur dapat diartikan dalam berbagai makna. Pertama adalah jujur dalam
perkataan, jujur dalam niat dan kehendak, jujur di dalam azam (tekad), jujur di
dalam menunaikan azam, jujur di dalam perbuatan dan yang terakhir jujur di
dalam mengimplementasikan maqamat di dalam beragama.
Berikut kami
paparkan masing-masing dari pengertian jujur di atas.
Pertama, jujur dalam lisan; jujur dalam lisan atau ucapan berkaitan
langsung dengan informasi atau berita yang disampaikan, apakah itu benar atau
salah. Baik yang telah berlalu maupun yang akan terjadi.
Menurut al-Ghazali
kejujuran ini akan semakin lengkap jika seseorang tidak terlalu
membesar-besarkan informasi. Karena menurut alGhazali, hal itu dekat dengan
kedustaan. Dan kedua, memperhatikan makna jujur secara seksama agar tidak
bercampur dengan syahwat keduniaan.
Kedua, jujur dalam niat dan kehendak. Jujur
dalam hal ini terkait langsung dengan keikhlasan. Tidak ada dorongan sedikitpun
kecuali hanya karena Allah. Jika niat dan kehendak seseorang bercampur dengan
nafsu maka batal kejujuran niat tersebut. Dan orang yang niatnya bercampur dengan nafsu bisa
dikategorikan sebagai orang yang berdusta.
Kejujuran yang
kedua ini tercermin dalam hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah.
kemudian
ditanyakan (kepadanya): “Apa yang engkau perbuat sewaktu di dunia?” ia
menjawab: “Aku menuntut ilmu dan membaca Al-Quran serta mengamalkannya di
jalan-Mu.” Lalu dijawab, “Bohong! Kamu melakukannya hanya ingin disebut sebagai
orang yang alim, yang qari.” Kemudian Allah memerintahkan untuk disungkurkan
wajahnya dan dilemparkan ke dalam api neraka. (HR. Hakim)
Ketiga, jujur dalam azam (tekad); sebelum
seseorang melakukan sesuatu kadangkala seseorang memiliki tekad terlebih dahulu
sebelum mengimplementasikannya. Contohnya adalah jika seseorang mengatakan jika
Allah memberiku harta maka aku akan mensedekahkan sekian dari harta tersebut.
Kejujuran tekad yang dimaksudkan di sini adalah kesempurnaan dan kekuatan tekad
tersebut. Tekad yang benar atau jujur tidak akan ragu atau goyah sedikitpun.
Keempat, jujur dalam menunaikan azam (tekad);
Maksudnya adalah ketika seseorang telah memiliki azam dan ia memiliki peluang
untuk melaksanakan azamnya. Ketika ia tidak menunaikan apa yang menjadi
tekadnya maka itu bisa dikatakan sebagai kebohongan atau ketidak jujuran.
Kelima, jujur dalam perbuatan; adalah usaha
seseorang untuk menampilkan perbuatan lahiriah agar sesuai dengan apa yang ada
di dalam hatinya. Berbeda dengan riya’, riya’ berati perbuatan baik secara
lahir tidak sama dengan niat buruk di dalam hati. Seseorang yang antara
perbuatan lahir dan niatnya berbeda tanpa adanya maksud yang disengaja. menurut
al-Ghazali hanya dikatakan sebagai orang yang tidak jujur dalam perbuatan.
Keenam, jujur dalam mengimplementasikan
maqamat di dalam agama seperti jujur di dalam khauf (takut kepada Allah), raja’
(berharap kepada Allah), zuhud dan lain sebagainya. Ini adalah tingkatan jujur
yang paling tinggi. Seseorang dapat dikatakan jujur dalam tahap ini ketika ia
telah mencapai hakikat yang dimaksud dalam khauf, raja’ atau zuhud yang
dikehendaki. Tingkatan jujur ada dalam ajaran sufi yang ada dalam Islam.
3.
Amanah
Menurut bahasa
Amanah berasal dari kata amuna – ya’munu – amanatan yang bermakna tidak meniru,
terpercaya, jujur, atau titipan. Amanah dapat difahami sebagai sebagai satu
sifat yang melekat dalam diri seseorang yang
dapat mendorong seseorang dapat melakukan perbuatan-perbutan dengan
cepat tentang segala sesuatu yang dipercayakan kepadanya, baik yang menyangkut
hak dirinya, hak orang lain, maupun hak Allah Swt.
Sifat amanah
merupakan sifat terpenting dari Nabi Muhammad Saw., sifat yang oleh kaum jahiliah Makkah
disematkan kepada diri beliau sebelum turun wahyu, sehingga beliau dikenal
dengan julukan al-Amin; orang yang amanah. Julukan yang kemudian populer dan
sangat lekat di lidah masyarakat Makkah.
Dengan julukan
inilah semua orang, laki-laki ataupun perempuan, menyebut Nabi dengan penuh
takzim dan penghormatan. Ketika usai membangun ulang Ka’bah, kaum Quraisy
berisitegang, bahkan hampir bertumpah darah tentang siapa yang akan mendapat
kehormatan meletakkan kembali Hajar Aswad ke tempatnya. Karena tak ada titik
temu, mereka sepakat untuk menyerahkan putusan kepada siapa yang datang kepada
mereka pertama kali.
Tiba-tiba Muhammad
bin Abdullah muncul. Betapa girang kaum Quraisy. Mereka berteriak dengan penuh
kepercayaan, “Inilah al-Amin. Inilah al-Amin. Kami rela dia yang memberi
putusan!”
Apa yang segera
terlintas di hati kaum Quraisy saat itu adalah sifatnya yang terkenal itu.
Sengaja beliau dipanggil begitu karena mereka percaya beliau akan memberi jalan
penyelesaian yang adil. Dan terbukti Nabi mampu mengatasi masalah mereka dengan
cara yang sangat simpel dan melegakan semua pihak. Itu terjadi jauh sebelum
kenabian.
Lebih dari itu,
bahkan setelah kenabian pun, rumah beliau menjadi pangkal penitipan barang
paling dipercaya kalangan kaum musyrik –yang justru mengingkari kenabian
beliau. Tanpa segan, mereka titipkan barang-barang yang dicemaskan hilang,
padahal waktu itu dunia belum mengenal rumah penitipan barang.
Setelah menerima
perintah hijrah ke Madinah, Nabi menyuruh Ali tinggal dulu di Makkah untuk
mengembalikan barang-barang titipan itu kepada pemiliknya masing-masing. Amanah
dalam arti yang luas dan dalam lebih dari sekedar menunaikan hajat duniawi
kepada pemiliknya.
Amanah hakikatnya
lawan kata khianat. Orang yang amanah adalah orang yang dapat dipercaya dan
membuat jiwa aman. Orang-orang Quraisy begitu percaya kepada Rasulullah dalam
urusan dunia. Dalam hal ini mereka tak pernah mencaci beliau. Mereka juga tidak
curiga dan tidak menuduh beliau khianat. Bukan hanya dalam urusan harta benda,
melainkan juga kehormatan dan jiwa. Karena itu, sangatlah aneh ketika mereka
mendustakan beliau dalam hal kabar dari langit. Padahal, bagaimana mungkin pada
saat yang sama seseorang amanah sekaligus khianat.
Dalam rumah tangga
Nabi, tidak hanya beliau yang amanah. Tetapi juga segenap istri dan
keluarganya. Tak ada yang mengatakan haknya tidak dipenuhi oleh salah seorang
dari mereka. Karena, mereka memang menunaikan amanah dengan sebaik-baiknya dan
dalam arti yang seluas-luasnya.
Amanah yang
berarti benar-benar bisa dipercaya (bertanggung jawab). Jika satu urusan
diserahkan kepadanya, niscaya orang orang percaya bahwa urusan itu akan
dilaksanakan dengan sebaik baiknya. Oleh karena itu nabi Muhammad SAW dijuluki
oleh penduduk mekkah dengan gelar "Al amin" yang artinya terpercaya
jauh sebelum beliau diangkat menjadi nabi.
Apapun yang beliau
ucapkan, penduduk mekkah mempercayainya karena beliau bukan seseorang yang
pembohong. Amanah dilakukan bukan hanya dalam keadaan tertentu atau terhadap
orang tertentu, melainkan disetiap keadaan dan terhadap siapapun wajib hal itu
dilaksakan, dalam etika beribadah, etika berbisnis maupun etika etika lainnya.
Dalam etika beribadah
kita harus melaksanakan Amanah yang Allah perintahkan seperti sholat, puasa,
zakat , haji dan lain sebagainya, sebagai umat muslim kita tidak boleh meninggalkan
kewajiban, Allah SWT menyeru kaum muslimin agar tidak menghkhianati Allah dan Rasulnya,
yaitu mengabaikan kewajiban kewajiban yang harus mereka laksanakan, melanggar
larangannya yang telah ditentukan dengan perantaran Wahyu, dan tidak
mengkhianati Amanat yang telah dipercayakan kepada mereka, yaitu mengkhianati
segala macam urusan yang menyangkut kemaslahatan lil ummah, seperti urusan
pemerintah, perang, perdata dan urusan kemasyarakatan.
Dalam adab
bermasyarakat bisnis, sifat Amanah juga sangat diperlukan, misalnya dalam
praktik perdagangan syariah, dikenal adanya istilah perdagangan atas dasar
Amanah. Dalam akad-akad tijarah yang menggunakan prinsip mudharabah, murabahah,
syirkah dan wakalah, diperlukan komitmen semua pihak atas amanah yang diberikan
kepadanya.
Adanya salah satu
pihak yang khianat atas amanah yang dipercayakan kepadanya bisa mengakibatkan
pembatalan akad perjanjian. Misalnya pihak pengelola ternyata menggunakan dana
tersebut untuk memperkaya diri sendiri atau untuk bisnis yang diharamkan Allah
Swt.
Rasulullah Saw.
bersabda, dalam sebuah hadis Qudsinya:
Artinya: Dari Abu
Hurairah berkata, Rasulullah Saw. bersabda, Allah Swt berfirman, “Aku pihak
ketiga dari kedua belah pihak yang berserikat selama salah seorang dari
keduanya tidak mengkhianati temannya, jika salah satu telah mengkhianati
temannya, Aku berlepas dari keduanya”. (H.R Abu Dawud).
Hadits di atas
mengisyarahkan bahwa sifat Amanah itu sangat penting terutama bagi kaum
muslimin agar apa yang mereka lakukan menjadi salah satu jalan untuk taqarrub
ila Allah wa Rasul Allah.
Konsekuensi Amanah
adalah mengembalikan setiap hak kepada pemiliknya, baik sedikit maupun banyak,
tidak mengambil lebih daripada yang ia miliki, tidak mengurangi hak orang lain,
baik itu hasil penjualan, jasa atau upah buruh.
Amanah juga
memiliki tanggung jawab dalam melaksanakan tugas dan kewajiban yang diberikan
padanya. Bagaimana bisa faham?
Singkatnya sifat amanah itu adalah sifat tanggung jawab dari tugas yang
dipikulkan kepada kita, apapun bentuknya. Jika semua orang sudah bisa
bertanggung jawab dalam hidupnya, niscaya masyarakat kita akan aman, tentram
dan makmur dalam segala hal. Amin…
d.
Tabligh
Menurut bahasa
tabligh berasal dari bahasa Arab yang berarti menyampaikan. Sifat tabligh
merupakan satu dari 4 sifat wajib para nabi.
Para Nabi wajib menyampaikan risalah, dan perintah dari Allah Swt. kepada
umatnya. Mereka tidak boleh menyembunyikan sedikitpun perintah dari Allah Swt.
Tabligh di sini bermakna menyampaikan sesuatu dengan benar dan tepat sasaran.
Tabligh juga
berarti mengajak sekaligus memberikan contoh kepada pihak lain untuk kepada
pihak lain untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan ajaran Islam dalam kehidupan
sehari-hari.
Tablig pada
hakikatnya adalah dakwah menyampaikan kebenaran. Seseorang yang mempunyai sifat
tabligh yang tidak pernah menyembunyikan kebenaran. Ia akan menyampaikan kebenaran
itu, dan mengajak orang-orang untuk mengikutinya.
Dalam hubungannya
dengan profesi guru, sifat tabligh dapat diartikan akan menyampaikan informasi
berupa ilmu pengetahuan dengan benar dan dengan tutur kata yang tepat.
Jadi intinya sifat
tabligh adalah sifat yang tertanam dalam
jiwa yang mendorong seseorang dapat melakukan dengan cepat untuk menyampaikan
apa saja yang menjadi tanggunggung jawabnya siapa saja yang selayaknya harus
menerima.
Seperti contohnya
yang ada di dalam perdagangan yaitu Seorang penjual yang menyampaikan apa
barang dagangannya kepada orang lain agar orang-orang tahu apa yang dia jadikan
bisnis.
Nilai dasarnya
dari Tabligh yaitu komunikatif, menjadi pelayanan bagi publik, bisa
berkomunikasi secara efektif, memberikan contoh yang baik, dan bisa
mendelegasikan wewenangnya kepada orang lain.
Sifat Tabligh
yaitu berupa komunikasi, keterbukaan, pemasaran merupakan teknik hidup muslim
karena setiap muslim mengemban tanggung jawab dakwah, yakni menyeru, mengajak,
memberitahu.
Sifat ini bila
sudah mendarah daging pada setiap muslim, apalagi yang bekerja sebagai guru,
akan menjadikan setiap proses pembelajaran lebih efektif dan efesien.
Dikarenakan sifat tabligh merupakan prinsip ilmu komunikasi baik personal
maupun massal, pemasaran, periklanan, penjualan, pembentukan opini massa, open
management, iklim keterbukaan dan lain sebagainya.
Dan dalam kegiatan
ekonomi dan bisnis, kita juga harus mengacu pada prinsipprinsip tabligh yang
telah diajarkan oleh para nabi dan rasul. Seperti misalnya Nabi mengajarkan
kepada kita bahwa yang terbaik diantara antara kalian adalah yang paling
bermanfaat bagi manusia, dengan kata lain bila kita ingin sekali mendapatkan
ridha Allah, maka kita juga harus menyenangkan, membuat hati orang-orang di
sekitar kita ridha dengan perbuatan kita.
Dengan prinsip ini
maka akan melahirkan sikap profesional dan tidak putus asa dalam mencari
kebenaran atau terus menerus mengejar hal-hal yang baik sampai menemukan
jawaban yang sempurna.
Sebab itu jika
Saudara adalah pemikir dan praktisi pendidikan, lalu hendak menyusun teori,
maka hal yang harus menjadi pegangan adalah semua yang datang dari Allah dan
rasul-Nya diyakini sebagai kebenaran yang mutlak.
Jika ada hal- hal
yang masih belum bisa dipahami oleh akal pikiran manusia maka itu akan menjadi
tugas manusia untuk terus berusaha menemukan kebenaran tersebut bagaimanapun
caranya.
Bagaimana menurut
Saudara? Apabila umat Islam secara umum sudah memiliki sifat tabligh, khususnya
guru-guru kita? Pastinya ilmu pengetahuan akan berkembang dengan sangat pesat
di kalangan kaum muslimin.
Dan dapat
dibayangkan kalau umat Islam banyak yang menjadi ahli dalam berbagai bidang
ilmu. Umat Islam akan mengalami masa keemasan kembali seperti dahulu telah
tercatat dalam sejarah umat manusia.
e.
Pemaaf
Pemaaf berarti
orang yang rela member maaf kepada orang lain. Sikap pemaaf dapat dimaknai
sikap suka memaafkan kesalahan orang lain tanpa menyisakan rasa benci dan
keinginan untuk membalasnya. Sebenarnya kata pemaaf, adalah serapan dari Bahasa
Arab, yakni al-‘afw yang berarti maaf, ampun, dan anugerah.
Maaf sejatinya
mudah difahami, tapi susah diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Hakiki maaf
adalah lupa, benar-benar lupa dari memori otak kita tentang kesalahan orang
lain yang berhubungan dengan kita.
Memaafkan
kesalahan si fulan berarti melupakan
kesalahan si fulan terkait dengan kita. Pemaaf berarti orang yang dapat
dengan mudah melupakan kejadian-kejadian buruk dan menyakitkan dirinya yang
dilakukan oleh orang lain, karena dorongan dari dalam jiwanya yang taat kepada
perintah Allah untuk bisa memaafkan siapapun.
Meski sifat pemaaf
itu sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, namun masih banyak orang
susah untuk memaafkan kesalahan orang lain. Jika demikian adanya yakni banyak
diantara kita yang masih sulit memaafkan, maka jangan diharap dendam dalam
masyarakat kita akan bisa hilang.
Dan jangan
berharap aka ada ketenangan dan ketentraman dalam masyarakat kita, kalau
diantara kita belum ada saling memaafkan. Sebab itu memaksakan diri untuk
belajar dan berlatih untuk memiliki sifat pemaaf itu sangat perlu. Kita perlu
belajar dan berlatih untuk bisa berlapang dada sebagai cerminan sifat pemaaf.
Dalam rangka
belajar untuk bersifat pemaaf, kita bisa mengambil pelajaran dari kisah para Rasul
dan sahabatnya. Allah mengajarkan kepada
kita agar menjadi pribadi yang pemaaf, melalui kisah cerita, seperti kisah Abu
Bakar as-Shidiq yang menjadi sebab-sebab diturunkannya ayat berikut ini:
Artinya: “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai
kelebihan dan kelapangan diantara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan
member (bantuan) kepada kerabat(nya), orang-orang miskin dan orang-orang yang
berhijrah di jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada.
Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha
Penyayang.” (QS. An-Nur/24: 22)
Selain kisah
khalifah Abu Bakar, ada juga kisah dari Rasulullah SAW. Banyak kisah hidup
beliau yang dapat diambil sebagai pelajaran hidup, termasuk salah satu sifat
pemaafnya. Seperti kisah seorang wanita Yahudi yang mencoba meracuni Rasulullah
dengan menabur racun dimakanan beliau, namun Rasulullah terselamatkan.
Hingga wanita itu
mengakui perbuatannya kepada Rasulullah, dan beliau memaafkan wanita itu tanpa
menghukumnya. Memberi maaf kepada orang lain yang bersalah merupakan cara
bagaimana kita bisa membangun kembali tatanan masyarakat yang rusak.
Terutama dalam
proses membangun keluarga diantara kita yang tentunya tidak luput dari
kesalahan-kesalahan baik bapak, ibu maupun anak. Allah Swt. berfirman:
Artinya: Hai
orang-orang beriman, sesungguhnya diantara pasangan-pasanganmu dan anak-anakmu
itu ada yang menjadi musuhmu. Maka hendaknya kalian berhati hati dalam
menghadapi mereka. Dan jika kalian bisa memaafkan, memperbaiki dan mengampuni
mereka, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS.
At-Taghabun/64:14)
Ishlah diantara
anggota keluarga yang telah disakiti rasanya susah untuk dilaksanakan, kalau
masing-masing diantara mereka mengatakan tidak ada maaf bagimu. Sebagai orang
yang lebih mengerti di dalam keluarga, harus selalu waspada dengan anggota
keluarga yang lainnya.
Sebab diantara
mereka memang kadang ada yang mementingkan nafsunya dan mengikuti jalan setan.
Mereka itu semua pada hakekatnya adalah musuh kita orang yang beriman. Mereka
biasnya keras kepala dan susah untuk menerima nasehat, sehingga kita perlu
banyak mengalah untuk menang dengan selalu memaafkan dan menasehati mereka
secara ikhlas.
Sebagai guru
dijaman sekarang ini, dimana adab dan akhlak yang mulia mulai tercerabut dari
sikap dan tingkah laku anak-anak sekolah. Sikap pemaaf sangat diperlukan supaya
dapat menebar senyum dihadapan peserta didiknya. Sehingga menjadi panutan
mereka.
f.
Adil
Menurut bahasa
Adil derasal dari bahasa Arab yang
berarti proporsional, tidak berat sebelah, atau jujur. Adil maksudnya juga tidak berat sebelah,
tidak memihak, berpihak pada yang benar, berpegang pada kebenaran, atau yang
sepatutnya, dan tidak sewenang-wenang.
Menurut ilmu
akhlak adil dapat didefinisikan sebagai perbuatan meletakan sesuatu pada
tempatnya, memberikan atau menerima sesuatu sesuai haknya, dan menghukum yang
jahat sesuai haknya, dan menghukum yang jahat sesuai dan kesalahan dan
pelanggaranya.
Islam sangat
menekankan sikap adil dalam segala aspek kehidupan. Allah Swt. memerintahkan
kepada umat manusia supaya berprilaku adil. Keadilan merupakan inti ajaran
Islam yang mencakup semua aspek kehidupan.
Prinsip keadilan
yang dibawa AlQur’an sangat kontekstual dan relevan untuk diterapkan kedalam
kehidupan beragama, berkeluarga dan bermasyarakat. Islam mengajarkan bahwa
semua orang mendapat perlakuan yang sama dan sederajat di hadapan hukum.
Tidak ada
diskriminasi hukum karena perbedaan kulit, status sosial, ekonomi, atau
politik. Karena keadilan merupakan sesuatu yang bernilai tinggi, baik, dan
mulia. Apabila keadilan diwujudkan dalam kehidupan pribadi, keluarga,
masyarakat, serta bangsa dan Negara, sudah tentu ketinggian, kebaikan, dan
kemuliaan akan diraih.
Jika seseorang
mampu mewujudkn keadilan dalam dirinya sendiri, tentu akan meraih keberhasilan
dalam hidupnya, memperoleh kegembiraan batin, disenangi banyak orang, dapat
meningkatkan kualitas diri, dan memperoleh kesejahteraan hidup duniawi serta
ukkhrawi.
Jika keadilan
dapat diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, akan
terwujud masyarakat yang aman,tentram , serta damai sejahtera lahir dan batin.
Hal ini disebabkan masing-masing anggota masyarakat melaksanakan kewajiban
terhadap orang lain dan akan memenuhi hak orang lain dengan seadiladilnya.
Adapun nilai positif
perbuatan adil antara lain : membawa ketentraman, kedamaian, menimbulkan kepercayaan, meningkatkan
kesejahteraan, meningkatkan prestasi belajar, menciptakan kemakmuran,
mengurangi kecemburuan sosial, mempererat tali persaudaraan, dapat menimbulkan
kebaikan dan mencegah kejahatan.
Bagaimana dengan
guru yang adil dalam mendidik peserta didiknya? Tentu akan menumbuhkan gairah
belajar dan bersaing yang sehat di kalangan peserta didik dalam mengejar
prestasi yang unggul.
@menzour_id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar