Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Jumat, 07 Juni 2019

IDDAH PERCERAIAN BAGI WANITA


Secara bahasa, iddah berarti menghitung sesuatu. Adapun pengertian iddah secara istilah, diantaranya perkataan para ulama madzhab Hanafi mendefinisikan bahwa iddah adalah sebuah kata untuk batasan waktu dan ungkapan untuk menunjukkan apa yang masih tersisa dari bekas nikah.

Madzhab Maliki mengatakan bahwa dia adalah waktu atau masa yang dijadikan sebagai bukti atas bersihnya rahim karena terjadinya perpisah dalam pernikahan ataupun karena kematian suami atau karena talak dari suami. Ketahuilah, salah satu yang sangat darurat dan wajib dijaga dalam agama Islam adalah kesucian. Oleh karenanya, ketika terjadi perpisahan antara suami dan istri karena satu dan lain hal, maka ada masa iddah yang fungsinya untuk membersihkan rahim.

Madzhab Syafi’i mendefinisikan iddahsebagai sebuah kata yang menunjukkan kepada sebuah masa. Didalamnya seorang perempuan menunggu untuk mengetahui bersihnya rahimnya atau sebagai bentuk peribadahan kepada Allah, atau untuk menghormati pernikahan dengan suaminya yang terdahulu.

Adapun dalam madzhab Hambali, iddah secara istilah syariat adalah penungguan seorang wanita yang terpisah dengan suaminya disebabkan oleh wafatnya suami atau karena kehidupan suami dengan mentalaknya, atau karena khuluk, atau karena perpisahan dengan suami.

Jika kita ringkas dari semua definisi yang disebutkan oleh para ulama fiqih, iddah secara syariat adalah batasan yang sudah diketahui dengan hukum syariat. Diwajibkan seorang wanita untuk memperhatikan hukum-hukum yang khusus tersebut pada batasan yang telah ditentukan tersebut. Dengannya, wanita mempunyai hukum-hukum khusus pada waktu ini.

JENIS MASA IDDAH


1. masa iddah wanita yang sedang hamil. Yaitu hingga dia melahirkan kandungannya. Baik dia bercerai yang tidak boleh kembali lagi dengan suaminya, atau yang boleh menikah lagi dengan bekas suaminya. Baik bercerai hidup atau bercerai mati. Allah subhanahu wa ta’alaberfirman:


…وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ۚ…

“…Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. …” (QS. At-Talaq[65]: 4)

Ini juga terdapat pelajaran bagi kaum muslimah bahwa apabila seorang suami mentalaq seorang istri dalam keadaan hamil, maka sah talaqnya dan tidak ada halangannya. Karena yang dilarang adalah orang yang sedang haid.


2. masa iddah wanita yang cerai dalam keadaan haid. Yaitu tiga kali suci. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:


وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ ۚ …

Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’…” (QS. Al-Baqarah[2]: 228)


3. wanitayang tidak haid. Ada dua wanita yang tidak haid. Yaitu wanita yang masih kecil atau wanita yang sudah tua dan tidak lagi mengalami haid. Masa iddahnya adalah tiga bulan dan tidak dengan hitungan haid.


وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِن نِّسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ ۚ …

Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan…” (QS. At-Talaq[65]: 4)


4. wanita yang suaminya wafat. Allah subhanahu wa ta’ala menjelasakan masa iddahnya dalam firmanNya:


وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا ۖ …

Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari…” (QS. Al-Baqarah[2]: 234)

Ayat ini mencakup semua wanita yang suaminya wafat, termasuk wanita muda, wanita tua.

Sumber : www.radiorodja.com

Sumber lain terkait masalah ‘iddah dapat dirinci sebagai berikut :

1. Wanita Yang Ditinggal Mati Oleh Suaminya

Wanita yang ditinggal mati oleh suaminya memiliki dua keadaan :

a. Wanita yang ditinggal mati suaminya ketika sedang hamil. Wanita ini maka masa menunggunya (‘iddah) berakhir setelah ia melahirkan bayinya, berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla,

وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. [ath-Thalaq/65:4].

Keumuman ayat ini di kuatkan dengan hadits al-Miswar bin Makhramah Radhiyallahu anhu yang berbunyi :

أَنَّ سُبَيْعَةَ الْأَسْلَمِيَّةَ نُفِسَتْ بَعْدَ وَفَاةِ زَوْجِهَا بِلَيَالٍ فَجَاءَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَأْذَنَتْهُ أَنْ تَنْكِحَ فَأَذِنَ لَهَا فَنَكَحَتْ

Subai’ah al-Aslamiyah Radhiyallahu anhuma melahirkan dan bernifas setelah kematian suaminya. Lalu ia, mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas meminta idzin kepada beliau untuk menikah (lagi). Kemudian beliau mengizinkannya, lalu ia segera menikah (lagi). [al-Bukhâri no. 5320 dan Muslim no.1485].

b. Wanita tersebut tidak hamil. Jika tidak hamil, maka masa ‘iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا ۖ فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allâh mengetahui apa yang kamu perbuat. [al-Baqarah/2: 234]

2. Wanita Yang Diceraikan

Wanita yang dicerai juga ada dua macam yaitu wanita yang dicerai dengan thalak raj’i (thalak yang bisa ruju’) dan wanita yang ditalak dengan thalak bâ’in (thalak tiga).

a. Wanita yang dicerai dengan talak raj’i terbagi menjadi beberapa :

1. Wanita yang masih haid

Masa ‘iddah wanita jenis ini adalah tiga kali haidh, berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla :

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ

Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’ [al-Baqarah/2: 228]

Menurut pendapat yang rajih, quru’ artinya haidh, berdasarkan hadits A’isyah Radhiyallahu anhuma yang berbunyi :

أَنَّ أُمَّ حَبِيبَةَ كَانَتْ تُسْتَحَاضُ فَسَأَلَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَهَا أَنْ تَدَعَ الصَّلَاةَ أَيَّامَ أَقْرَائِهَا

Sesungguhnya ummu Habibah pernah mengalami pendarahan (istihadhah/darah penyakit), lalu dia bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Nabi memerintahkannya untuk meninggalkan shalat pada hari-hari quru’nya (haidhnya). [HR Abu Dâud no. 252 dan dishahihkan syaikh al-Albani dalam Shahih Abi Dâud]

Oleh karena itu Ibnul Qayyim rahimahullah merajihkan pendapat ini dan mengatakan, “Lafazh quru’ tidak digunakan dalam syariat kecuali untuk pengertian haidh dan tidak ada satu pun digunakan untuk pengertian suci (thuhr), sehingga memahami pengertian quru’ dalam ayat ini dengan pengertian yang sudah dikenal dalam bahasa syariat lebih baik. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada orang yang kena darah istihâdlah :

دَعِيْ الصَّلَاةَ أَيَّامَ أَقْرَائِكِ

Tinggalkan shalat selama masa-masa haidhmu. [1]

2. Wanita yang tidak haidh, baik karena belum pernah haidh atau sudah manopause .

Bagi wanita yang seperti ini masa ‘iddahnya adalah tiga bulan, seperti dijelaskan Allâh Azza wa Jalla dalam firman-Nya:

وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ

Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. [at-Thalaq/65:4]

3. Wanita Hamil.

Wanita yang hamil bila dicerai memiliki masa iddah yang berakhir dengan melahirkan, berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla :

وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
Dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. [ath-Thalaq/65:4]

4. Wanita yang terkena darah istihadhah.

Wanita yang terkena darah istihadhah memiliki masa iddah sama dengan wanita haidh. Kemudian bila ia memiliki kebiasaan haidh yang teratur maka wajib baginya untuk memperhatikan kebiasannya dalam hadih dan suci. Apabila telah berlalu tiga kali haidh maka selesailah iddahnya.[2]

b. Wanita yang ditalak tiga (talak baa’in).

Wanita yang telah di talak tiga hanya menunggu sekali haidh saja untuk memastikan dia tidak sedang hamil. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan, “Wanita yang dicerai dengan tiga kali talak, masa iddahnya sekali haidh.

Dengan haidh sekali berarti sudah terbukti bahwa rahim kosong dari janin dan setelah itu ia boleh menikah lagi dengan lelaki lain [3].

3. Wanita Yang Melakukan Gugat Cerai (Khulu’). Wanita yang berpisah dengan sebab gugat cerai, masa ‘iddahnya sekali haidh[4], sebagaimana ditunjukkan oleh beberapa hadits dibawah ini:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ اخْتَلَعَتْ مِنْ زَوْجِهَا عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تَعْتَدَّ بِحَيْضَةٍ

Dari Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu bahwa istri Tsabit bin Qais menggugat cerai dari suaminya pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk menunggu sekali haidh. [HR Abu Dâud dan at-Tirmidzi dan dishahihkan oleh syaikh al-Albâni dalam Shahîh Sunan Abu Dâud no.1 950].

Juga hadits yang berbunyi :

عَنْ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذِ بْنِ عَفْرَاءَأَنَّهَا اخْتَلَعَتْ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ أُمِرَتْ أَنْ تَعْتَدَّ بِحَيْضَةٍ

Dari ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz bin ‘Afra’ bahwa beliau mengajukan gugat cerai di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk menunggu iddahnya satu kali haidh. [HR at-Tirmidzi dan dishahihkan al-Albâni dalm Shahîh Sunan at-Tirmidzi no. 945].

KASUS : BERUBAH HAID KE HITUNGAN BULAN

Pada asalnya masa iddah seorang itu menggunakan satu standar dari sejak mulai sampai akhir. Namun terkadang karena suatu sebab terjadi perubahan standar. Misalnya, apabila seorang suami mentalak istrinya yang masih aktif haidh, kemudian sebelum masa ‘iddahnya selesai, sang suami meninggal dunia. Wanita seperti ini memiliki dua keadaan :

a. Apabila talak tersebut masih talak raj’i (talak satu dan dua), maka masa ‘iddah yang wajib diselesaikan oleh wanita ini bukan lagi dengan hitungan tiga kali haidh tapi sudah berpindah ke ‘iddah wanita yang ditinggal mati oleh suaminya yaitu empat bulan sepuluh hari. Karena statusnya masih tetap sebagai istri. Talak raj’i tidak menghilangkan status istri pada seorang wanita. Oleh karena itu, wanita yang ditalak dengan talak raj’i masih saling mewarisi dengan suaminya, jika salah satunya meninggal sementara sang istri masih dalam masa ‘iddah.

b. Apabila talak tersebut talak tiga (talak bâ`in), maka ia tetap hanya menyempurnakan sekali haidh saja dan tidak berubah ke ‘iddah wanita yang ditinggal mati suaminya. Karena hubungan sebagai suami istri telah terputus sejak talak tiga itu sah. Talak tiga menyebabkan status istri pada seorang wanita hilang. Sehingga pada kejadian di atas kematian sang suami terjadi setelah si wanita bukan sebagai istrinya lagi.[5]

KASUS: ‘IDDAH DARI HITUNGAN BULAN KE HITUNGAN HAID

Apabila seorang wanita memulai iddahnya dengan hitungan bulan karena tidak haidh, baik karena masih kecil atau telah memasuki masa menopause, namun jika disaat menjalani masa ‘iddah ini mengeluarkan haidh, maka wajib baginya untuk pindah dari hitungan bulan ke hitungan haidh. Karena hitungan bulan adalah pengganti dari haidh. Oleh karena itu, menghitung dengan bulan tidak boleh dipakai selama masih ada haidh yang merupakan standar pokok.

Apabila masa ‘iddah dengan hitungan bulan tersebut telah tuntas, kemudian baru mengalami haidh , maka tidak wajib memulai masa iddah dari awal lagi dengan hitungan haidh. Karena haidh ada setelah selesai masa iddahnya berlalu.

Apabila seorang wanita memulai hitungan masa ‘iddahnya dengan haidh atau bulan kemudian ternyata dia hamil dari suaminya tersebut, maka ‘iddahnya berubah menjadi ‘iddah wanita hamil yaitu sampai melahirkan.[6]

WALLOHU A'LAM Semoga bermanfaat...


Sumber : 


https:www.radiorodja.com/

https://almanhaj.or.id/3668-masa-iddah-dalam-islam.html

[1]. Zâdul Ma’âd, 5/609
[2]. Mausû’atul Fiqhiyah al-Muyassarah 5/392.
[3]. Mausû’atul Fiqhiyah al-Muyassarah, 5/392
[4]. Diambil dari Mausû’atul Fiqhiyah al-Muyassarah 5/392-393
[5]. Diambil dari Mausû’atul Fiqhiyah al-Muyassarah 5/393
[6]. Sailul Jarrar 2/388

Tidak ada komentar:

Posting Komentar