Kampung Marong tempo dulu kini menjadi sebuah Desa yang merupakan salah satu Desa diantara beberapa Desa di Kecamatan Praya Timur, Kabupaten Lombok Tengah, Desa ini memiliki potensi budaya yang lumayan banyak. Karena masyarakat Desa Marong secara turun temurun merupakan pewaris dan pelestari seni budaya khas suku Sasak di Lombok.
Geografis dan demografis Desa Marong yang sangat mendukung, membuat Desa ini sangat kokoh dalam mempertahankan adat dan tradisi nenek moyang mereka. Di Desa Marong satu kampung dengan kampung lainnya sangat dekat dan posisi yang saling berhimpitan ini membuat penduduknya saling berinteraksi satu sama lainnya seperti saudara kandung.
Ketika ada suatu hal yang dihadapi oleh salah satu warganya maka mereka akan saling asah asih dan asuh, saling membantu satu sama lainnya dalam kelompok yang mereka namakan ”banjar”. Banjar inilah wadah mereka untuk saling menolong dan untuk rembuk, terlebih kalau ada yang berkaitan dengan seni dan budaya mereka yang diwariskan oleh nenek moyang mereka.
Seni dan budaya khas suku Sasak, hingga kini masih hidup dan lestari di Desa Marong, mulai dari Be-singe-an (singe), Memaos atau membaca naskah lontar, Pembayunan, Gendang Beleq, tari-tarian tradisional, hingga Drama Marong, yang kini mulai langka dipertunjukkan oleh masyarakat Sasak, kata mertua saya Amaq Minasum (Penyabukan) yang asli penduduk Marong.
Tradisi “SINGE”
Tradisi Be-singe-an akan sering kita jumpai dalam setiap ada kegiatan “begawe” baik itu begawe untuk pesta pernikahan, khitanan atau bahasa Sasak nya nyunatang dan acara “roah” lainya biasanya melakukan tradisi “Besinge-an” yang mereka sewa dan bayar dari Desa sebelah yakni Pejanggik, karena rupanya belum ada dan belum mereka miliki.
Be-singe-an dilaksanakan dengan cara seseorang menunggang sesuatu yang menyerupai singa atau disebut ”peraje’, dan sesuatu yang berbentuk singa ini di bopong oleh empat (4) orang sambil menari-nari yang disertai oleh iringan musik tradisional “dodak” atau berupa musik khas milik grup singa tersebut dan sangat terasa suasa tradisionalnya.
Tunggangan yang dibilang mirip singa ini terbuat dari kayu dan di potong/dibentuk menyerupai singa, namun menurut saya lebih mirip ke bentuk kuda ataupun kambing. Di kaki tunggangan singa ini dikasih bambu yang agak panjang dan menjulur dari depan ke belakang sebanyak dua buah sebagai tempat membopong “monggoq” yang berjumlah empat orang, yakni dua orang di depan dan dua orang di belakang.
Cara pelaksanaannya ketika ada orang begawe, grup singa ini diundang, begitu nyampai rumah yang mengundang lalu dikasih makan, setelah itu anak-anak si pemilik rumah yang mengundang mereka dibopong satu persatu. Karena jumlah singenya lebih dari satu, namun selama ini yang saya lihat hanya empat buah, maka anak-anak yang akan dinaikkan dan di arak keliling kampung harus antri dan bergiliran. Biasanya si pemilik rumah yang punya gawe atau hajatan di bopong dan di arak keliling kampung paling belakang.
Selanjutnya setelah siap baik yang nunggang (yang dibopong) atau yang monggoq (yang bopong), selanjutnya mereka melakukan arak-arakan mengelilingi Kampung sambil diiringi musik tradisional dan mereka lakukan secara silih berganti dengan yang antri. Bagitulah seterusnya sampai selesai.
Rudat MARONG
Saya lebih condong menyebutnya Rudat Marong walaupun warga marong mengatakan dengan sebutan Drama Marong, karena menurut saya pribadi pertunjukannya beda-beda tipis yakni merupakan pementasan teater yang lakukan oleh sanggar teater Drama Marong yang semua personil, pemeran dan crunya berasal dari Marong. Sementara, dalam pementasannya dilakukan seperti Drama pada umumnya, namun disini diiringi oleh musik tradisional berupa ”gamelan” dan tari joged yang memiliki ciri khas tersendiri sehingga memunculkan daya tarik tersendiri bagi para pengunjung atau penonton yang menyaksikan keelokan pementasan drama tersebut.
Cerita yang ditampilkan dalam setiap pementasan berupa cerita kerajaan pada masa lampau dan juga dongeng-dongeng yang masih hidup sampai sekarang. Cerita yang ditampilkan tersebut dilakukan dengan sangat menarik dan dihiasi dengan jenaka, guyonan dan juga kesedihan. Salah satu yang pernah ditampilkan adalah cerita “godeq dan tunten” yang sebagian besar orang Sasak mengetahui isi ceritanya yang penuh dengan kelucuan dan juga memiliki makna mendalam dalam kehidupan sehari-hari.
Pementasan rudat atau drama Marong, tidak hanya dilakukan atau ditampilkan di kampung halaman mereka saja di Marong namun juga mereka di undang keluar kampung, keluar Desa, keluar Kacamata bahkan keluar Kabupaten yang ada di NTB, tutur istriku yang dulu katanya pernah menjadi pemeran antagonis dalam drama Marong.
Pementasan rudat atau drama Marong, tidak hanya dilakukan atau ditampilkan di kampung halaman mereka saja di Marong namun juga mereka di undang keluar kampung, keluar Desa, keluar Kacamata bahkan keluar Kabupaten yang ada di NTB, tutur istriku yang dulu katanya pernah menjadi pemeran antagonis dalam drama Marong.
Keberadaa Rudat ataupun Drama Marong sudah ada sejak lama, tambah cerita istriku. Namun, seiring waktu drama Marong mulai terlupakan oleh pelaku dan penonton, namun akhir-akhir ini rudat/drama Marong mulai menggemakan gaungnya dan mulai dipromosikan lagi, semoga bisa bangkit kembali.
Untuk keberadaan Drama/Rudat Marong dan juga tradisi serta budaya lainnya yang mulai langka dan supaya bisa bangkit kembali, maka tokoh adat Desa Marong harus tetap melestarikannya. Agar tidak punah, peran aktif setiap elemen dan stakeholder di Desa Marong harus memberi kegiatan pelatihan kepada generasi muda Marong guna regenerasi dengan mengajarkan kepada anak-anak yang masih mudah mudi yakni anak-anak usia sekolah baik PAUD, SD dan SMP di desa ini.
“Agar pelestarian berbagai kesenian dan kebudayaan suku Sasak di Desa Marong tidak punah di telan kemajuan zaman. Kami tidak ingin anak-anak kami atau generasi muda Marong kehilangan jati diri sebagai suku Sasak Lombok yang sopan, rendah hati, dan selalu terbuka serta ramah tamah kepada siapapun tamu yang datang,” ujar Lalu Sapriadi S.Pd, salah satu tokoh pemuda Marong (teman mengajar saya).
“Kami, masyarakat Desa Marong memiliki potensi yang banyak di bidang seni dan budaya Sasak. Kemampuan ini yang akan kita kembangkan, sehingga suatu saat Desa Marong bisa menjadi Desa Wisata Budaya” ungkap salah seorang tokoh Marong.
Akhirnya semoga nilai luhur bangsa Indonesia yang berupa seni dan budaya serta tradisi positif sebagai kearifan lokal masyarakat terutama masyarakat Lombok dan khususnya masyarakat Desa Marong bisa menjadikannya sebagai landasan untuk berpijak dalam mengarungi kehidupan di masa kini dan masa depan yang lebih baik.
#ayokemarong #DesaWisataMarong
#ayokemarong #DesaWisataMarong
#Mansur.M.Pd
#KitaSATUIndonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar