Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Selasa, 29 Mei 2018

Sekilas tentang Farmasi

I. PENDAHULUAN
Farmasi didefinisikan sebagai profesi yang menyangkut seni dan ilmu penyediaan bahan obat, dari sumber alam atau sintetik yang sesuai, untuk disalurkan dan digunakan pada pengobatan dan pencegahan penyakit. Farmasi mencakup pengetahuan mengenai identifikasi, pemilahan (selection), aksi farmakologis, pengawetan, penggabungan, analisis, dan pembakuan bahan obat (drugs) dan sediaan obat (medicine). Pengetahuan kefarmasian mencakup pula penyaluran dan penggunaan obat yang sesuai dan aman, baik melalui resep (prsecription) dokter berizin, dokter gigi, dan dokter hewan, maupun melalui cara lain yang sah, misalnya dengan cara menyalurkan atau menjual langsung kepada pemakai  [4].

Kata farmasi diturunkan dari bahasa Yunani “pharmakon”, yang berarti cantik atau elok, yang kemudian berubah artinya menjadi racun, dan selanjutnya berubah lagi menjadi obat atau bahan obat. Oleh karena itu seorang ahli farmasi (Pharmacist) ialah orang yang paling mengetahui hal ihwal obat. Ia satu-satunya ahli mengenai obat, karena pengetahuan keahlian mengenai obat memerlukan pengetahuan yang mendalam mengenai semua aspek kefarmasian seperti yang tercantum pada definisi di atas.

Bagian I  tulisan ini membicarakan ruang lingkup farmasi, meliputi perkembangan orientasi farmasi; sejarah farmasi, farmasi sebagai ilmu dan profesi, karir dan pekerjaan Farmasis, dan pendidikan farmasi. Perkembangan farmasi suatu negara tercermin dalam kurikulum pendidikan tingginya, karena kurikulum pendidikan merupakan gambaran kebutuhan masyarakat akan jenis kemampuan dan keterampilan dalam bidang keahlian tertentu. Oleh karena itu sebagai perbandingan dibicarakan pula pendidikan Farmasis pada beberapa perguruan tinggi diluar negeri.
II.     PERUBAHAN ORIENTASI  FARMASI
Mengikuti perkembangan zaman, telah terjadi pula perubahan penekanan pada pengertian dan orientasi farmasi. Pada awalnya profesi farmasi itu dikatakan merupakan seni (arts) dan pengetahuan (science). Hal ini dapat dilihat pada buku teks yang digunakan di perguruan tinggi farmasi pada awal pertengahan abad ke-20, yang antara lain berjudul “Scoville’s The Art of Compounding “ (Seni Meracik Obat), dan “Recepteerkunde” (Ilmu Resep) karangan van Duin, dan van der Wielen. Definisi obat menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 1960 tentang Farmasi :
.. obat yang dibuat dari bahan yang berasal dari binatang, tumbuh-tumbuhan, mineral, dan  obat sintetis.

Definisi ini lebih menekankan sumber atau asal diperolehnya obat.  Perkembangan farmasi setelah itu berorientasi pada teknologi seperti tergambar oleh buku teks yang populer pada saat itu, dan masih digunakan sampai sekarang : “ Pharmaceutical Technology” oleh Lachman. Dalam Kebijaksanaan Obat Nasional (KONAS, 1980) : …… obat ialah bahan atau paduan bahan yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosa, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi.
Definisi obat ini lebih ditekankan pada tujuan penggunaannya.

Perkembangan farmasi sangat dipengaruhi pula oleh perkembangan orientasi di bidang kesehatan. “World Health Organization” (WHO) yang beranggotakan negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, pada tahun 80-an mencanangkan semboyan “Health for All by the year 2000”, yang merupakan tujuan sekaligus proses yang melibatkan seluruh negara untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakatnya, suatu derajat kesehatan yang memungkinkan seluruh anggota masyarakat memperoleh kehidupan yang produktif secara sosial maupun ekonomis. Semboyan tadi dirumuskan melalui suatu konsep bernama  “Primary Health Care” dalam konperensi internasional di Alma Atta 1978, sehingga konsep itu dikenal dengan nama Deklarasi Alma Atta. Deklarasi ini merupakan kunci dalam pencapaian tujuan pengembangan sosio-ekonomi masyarakat dengan semangat persamaan hal dan keadilan sosial.  Perkembangan terakhir pengembangan di bidang kesehatan pada milenium baru ini ialah konsep “Paradigma Sehat”. Paradigma sehat, bukan paradigma sakit, berorientasi pada bagaimana mempertahankan keadaan sehat, bukan menekankan pada manusia sakit yang sudah menjadi tugas rutin bidang kesehatan. Jadi jelas perkembangan farmasi yang menjadi bagian dari bidang kesehatan, juga harus mengikuti perkembangan yang terjadi di bidang kesehatan.

The American Society of Colleges of Pharmacy (AACP) [1] mendefinisikan farmasi sebagai ”suatu sistem pengetahuan (knowledge system) yang merupakan bagian dari pelayanan kesehatan (health service)”. Memang agak sulit untuk mendefinisikan farmasi secara lengkap, yang bukan saja melihatnya dari aspek asal atau sumber obat, atau tujuan pemakaian obat. Pada Ekspose Perkembangan Ilmu Kesehatan oleh ISFI/IDI di Jakarta bulan Maret 1986 [9] oleh suatu Tim dari Institut Teknologi Bandung telah dikemukakan definisi Farmasi sebagai berikut :

Farmasi pada dasarnya merupakan sistem pengetahaun (ilmu, teknologi dan sosial budaya) yang mengupayakan dan menyelenggarakan jasa kesehatan dengan melibatkan dirinya dalam mendalami, memperluas, menghasilkan dan mengembangkan pengetahuan tentang obat dalam arti dan dampak obat yang seluas-luasnya serta efek dan pengaruh obat pada manusia dan hewan.

Untuk menumbuhkan kompetensi dalam sistem pengetahuan seperti diuraikan di atas, farmasi menyaring dan menyerap pengetahuan yang relevan dari ilmu biologi, kimia, fisika, matematika, perilaku dan teknologi; pengetahuan ini dikaji, diuji, diorganisir, ditransformasi dan diterapkan.

Sebagian besar kompetensi farmasi ini diterjemahkan menjadi produk yang dikelola dan didistribusikan secara profesional bagi yang membutuhkannya.

Pengetahuan farmasi disampaikan secara selektif kepada tenaga profesional dalam bidang kesehatan dan kepada orang awam dan masyarakat umum agar pengetahuan mengenai obat dan produk obat dapat memberikan sumbangan nyata bagi kesehatan perorangan dan kesejahteraan umum masyarakat.

Tidak dapat disangkal bahwa sistem pengetahuan farmasi, karena penerapannya untuk tujuan kesehatan, merupakan bagian yang berarti secara kuantitatif maupun secara kualitatif dalam setiap upaya kesehatan.
III.    SEJARAH PERKEMBANGAN FARMASI    [4]
Sejak dahulu nenek moyang bangsa Indonesia telah mengenal penggunaan obat tradisional (jamu) dan pengobatan secara tradisional (dukun). Pada zaman itu sebenarnya dukun melaksanakan dua profesi sekaligus, yaitu profesi kedokteran, (mendiagnose penyakit) dan profesi kefarmasian (meramu dan menyerahkan obat kepada yang membutuhkannya).

Penggunaan obat dapat ditelusuri sejak tahun 2000 S.M. pada zaman kebudayaan Mesir dan Babilonia telah dikenal obat dalam bentuk tablet tanah liat (granul), dan bentuk sediaan obat lain. Saat itu juga sudah dikenal ratusan jenis bahan alam yang digunakan sebagai obat. Pengetahuan tentang obat dan pengobatan selanjutnya berkembang lebih rasional pada zaman Yunani, ketika Hippocrates (460 S.M.) memperkenalkan metode dasar ilmiah dalam pengobatan. Dalam zaman Yunani itu dikenal pula Asklepios atau Aesculapius (7 S.M.) dan puterinya Hygeia. Lambang tongkat Asklepios yang dililiti ular saat ini dijadikan lambang penyembuhan (kedokteran), sedangkan cawan atau mangkok Hygeia yang dililiti ular dijadikan lambang kefarmasian.

Perkembangan profesi kefarmasian pada abad selanjutnya dilakukan dalam biara, yang telah menghasilkan berbagai tulisan tentang obat dan pengobatan dalam bahasa latin yang hampir punah itu, sampai saat ini dijadikan tradisi dalam penulisan istilah di bidang kesehatan. Perkembangan kefarmasian yang pesat pula telah terjadi dalam zaman kultur Arab dengan terkenalnya seorang ahli yang bernama al-Saidalani pada abad ke-9.

Namun demikian tonggak sejarah yang penting bagi farmasi ialah tahun 1240 di Sisilia, Eropa, ketika dikeluarkan surat perintah raja (edict) yang secara legal (menurut undang-undang) mengatur pemisahan farmasi dari pengobatan. Surat perintah yang kemudian dinamakan ”Magna Charta” dalam bidang farmasi itu juga mewajibkan seorang Farmasis melalui pengucapan sumpah, untuk menghasilkan obat yang dapat diandalkan sesuai keterampilan dan seni meracik, dalam kualitas yang sesuai dan seragam. ”Magna Charta” kefarmasian ini dikembangkan sampai saat ini dalam bentuk Kode Etik Apoteker Indonesia dan Sumpah Apoteker.  [4]
IV.    PENGETAHUAN,  ILMU  DAN  PROFESI  
Semua ilmu adalah pengetahuan, tetapi tidak semua pengetahuan dapat disebut ilmu. Manusia mempunyai perasaan, pikiran, pengalaman, panca indera, intuisi, dan mampu menangkap gejala alam lalu mengabstraksikannya dalam bentuk ketahuan atau pengetahuan; misalnya kebiasaan, akal sehat, seni, sejarah dan filsafat. Apa yang diperoleh dalam proses mengetahui itu dilakukan tanpa memperhatikan obyek, cara (ways of knowing) dan kegunaannya, maka ini dikategorikan dalam ketahuan atau pengetahuan, dalam bahasa Inggris disebut ”knowledge”.  Ilmu atau ”Science” ialah pengetahuan yang diperoleh melalui ”metode ilmiah”, yaitu suatu cara yang menggunakan syarat-syarat tertentu, melalui serangkaian langkah yang dilakukan dengan penuh disiplin. [8]
  IV.1   Farmasi Sebagai Sains

Semua bentuk pengetahuan dapat dibeda-bedakan atau dikelompokkan dalam berbagai kategori atau bidang, sehingga terjadi diversifikasi bidang ilmu pengetahuan atau disiplin ilmu, yang berakar dari kajian filsafat, yaitu Seni (Arts), Etika (Ethics), dan Sains (Science). Di satu pihak Farmasi tergolong seni teknis (technical arts) apabila ditinjau dari segi pelayanan dalam penggunaan obat (medicine); di lain pihak Farmasi dapat pula digolongkan dalam ilmu-ilmu pengetahuan alam (natural science).

Dalam  tinjauan  pengelompokan  bidang  ilmu  atau  kategori  di   atas   digunakan   kriteria :

1. Obyek ontologis. Di sini ditinjau obyek apa yang ditelaah sehingga menghasilkan pengetahuan tersebut. Sebagai contoh, obyek ontologis dalam bidang Ekonomi ialah hubungan manusia dan benda atau jasa dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup; obyek telaah pada Manajemen ialah kerja sama manusia dalam mencapai tujuan yang telah disetujui bersama; obyek ontologis pada Farmasi ialah obat dari segi kimia dan fisis, segi terapetik, pengadaan, pengolahan sampai pada penyerahannya kepada yang memerlukan.

2. Landasan epistemologis, yaitu cara atau metode apa yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan tersebut. Contoh landasan Epistemologis Matematika ialah logika deduktif; landasan epistemologis kebiasaan sehari-hari ialah pengalaman dan akal sehat; landasan epitemologis Farmasi ialah logika deduktif dan logika induktif dengan pengajuan hipotesis, yang dinamakan pula metode logiko-hipotetiko-verifikatif.


3. Landasan aksiologis, yaitu mempertanyakan apa nilai kegunaan pengetahuan tersebut. Nilai kegunaan pencak silat, matematika dan farmasi sudah jelas berbeda. Dalam hal ini nilai kegunaan atau landasan aksiologis Farmasi dan Kedokteran itu sama karena kedua-duanya bertujuan untuk kesehatan manusia. [8]

Sebagai ilmu, Farmasi menelaah obat sebagai ”materi”, baik yang berasal dari alam maupun sintesis (sama dengan bidang Kimia dan Fisika) dan menggunakan metode logiko-hipotetiko-verifikatif sebagai metode telaah yang sama seperti digunakan pada bidang Ilmu Pengetahuan Alam. Oleh karena itu, Farmasi merupakan ilmu yang dapat dikelompokkan dalam bidang Sains.
  IV.2     Farmasi Sebagai Profesi
Dari kajian filsafati di atas terlihat bahwa di samping sebagai Ilmu atau Sains, Farmasi meliputi pula pelayanan obat secara profesional. Istilah Profesi dan Profesional saat ini semakin dikaburkan karena banyak digunakan secara salah kaprah. Semua pekerjaan (job, vacation, occupation) dan keahlian (skill) dikategorikan sebagai profesi. Demikian pula istilah profesional sering digunakan sebagai lawan kata amatir.

Menurut Hughes, E.C. [4]  :

…..Profesion profess to know better than other the nature of certain matters, and to know better than their clients what ails them or  their affairs.
Definisi ini menggambarkan suatu hubungan pelayanan antar-manusia, sehingga tidak semua pekerjaan atau keahlian dapat dikategorikan sebagai profesi.

Menurut Schein, F.H. [4]  :
…The profession are a set of occupation that have developed a very special set or norms deriving from their special role in society .
Kelompok profesional dapat dibedakan dari yang bukan profesional menurut kriteria berikut :
1. Memiliki Pengetahuan Khusus, yang berhubungan dengan kepentingan sosial. Pengetahuan khusus ini dipelajari dalam waktu yang cukup lama untuk kepentingan masyarakat umum.
2. Sikap dan Prilaku Profesional. Seorang profesional memiliki seperangkat sikap yang mempengaruhi prilakunya. Komponen dasar sikap ini ialah mendahulukan kepentingan orang lain (altruisme) di atas kepentingan diri sendiri. Menurut Marshall, seorang profesional bukan bekerja untuk dibayar, tetapi ia dibayar agar supaya ia dapat bekerja.
3. Sanksi Sosial. Pengakuan atas suatu profesi tergantung pada masyarakat untuk menerimanya. Bentuk penerimaan masyarakat ini ialah dengan pemberian hak atau lisensi (lincense) oleh negara untuk melaksanakan praktek suatu profesi. Lisensi ini dimaksudkan untuk menghindarkan masyarakat dari oknum yang tidak berkompetensi untuk melakukan praktek profesional.

Apabila kriteria di atas diperinci lebih lanjut maka diperoleh sikap dan sifat sebagai   berikut :

1. Profesi itu sendiri yang menentukan standar pendidikan dan pelatihannya.
2. Mahasiswa yang mengikuti pendidikan profesi tertentu harus memperoleh pengalaman sosialisasi menuju kedewasaan yang lebih intensif dibanding mahasiswa pada bidang pekerjaan lain.
3. Praktek profesional secara legal (menurut hukum) diakui dengan pemberian lisensi.
4. Pemberian lisensi dan dewan penilai dikendalikan oleh anggota profesi.
5. Umumnya peraturan yang berkaitan dengan profesi dibentuk dan dirumuskan oleh profesi itu sendiri.
6. Okupasi ini akan berkembang dari segi pendapatannya, kekuasaan, dan tingkat prestise, sehingga dapat menetapkan persyaratan yang lebih tinggi bagi calon mahasiswanya.
7. Praktisi profesi secara relatif tidak dievaluasi dan dikontrol oleh orang awam.
8. Norma-norma praktek yang dikeluarkan profesi itu lebih mengikat dibanding kontrol legal.
9. Anggota profesi sangat erat terikat dan terafiliasi dengan profesinya dibanding dengan anggota okupasi lain.
10. Profesi ini biasanya merupakan terminal, dalam arti tidak ada yang akan beralih ke profesi lain.  [7]
V.    VOKASI  DAN  KARIR DALAM  BIDANG  FARMASI
Perhatian utama para dokter, dokter gigi dan dokter hewan yang menulis resep ialah pada efek obat pada penderita, nilai terapetika, dan toksiologinya. Para perawat bertugas untuk memberikan obat, tanggap terhadap bentuk sediaan obat, dan terhadap manifestasi toksisnya. Maka ahli Farmasi (Farmasis) itulah satu-satunya ahli mengenai obat. Ia diberikan tanggung jawab legal untuk menangani obat dan pengetahuan segala sesuatu mengenai obat itu adalah tanggung jawab profesinya. Tidak ada program studi lain selain Farmasi yang memberikan dasar-dasar pengetahuan lengkap mengenai segala sesuatu yang perlu diketahui tentang obat. Jadi hanya seorang Farmasis yang mempunya kompetensi keahlian obat secara lengkap.
Farmasis Komunitas (Community Pharmacist)

Farmasis atau Apoteker memberikan kesan umum bahwa tempat kerja seorang farmasi hanyalah di Apotik, yaitu salah satu tempat pengabdian profesi seorang Apoteker. Seorang Farmasis di Apotik langsung berhadapan dengan masyarakat sehingga fungsi tersebut dikelompokkan dalam Farmasi Masyarakat (Community Pharmacy). Fungsi Farmasis Masyarakat di Apotik merupakan kombinasi seorang profesional dan wiraswastawan. Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 25/80 tentang Apotik, bahwa Apotik adalah tempat pengabdian profesi seorang Apoteker, maka makin besar harapan yang diberikan pemerintah kepada para Farmasis, baik dari segi jumlah tenaga farmasi maupun dari segi kemampuan profesionalnya.
Farmasi Rumah Sakit (Hospital Pharmacy)
Farmasi Rumah Sakit ialah pekerjaan kefarmasiaan yang dilakukan di rumah sakit pemerintah maupun swasta. Fungsi kefarmasian ini yang sudah sangat berkembang di negara maju, juga sudah mulai dirintis di Indonesia dengan pembukaan program spesialisasi Farmasi Rumah Sakit. Jumlah kebutuhan Farmasis di rumah sakit di masa depan akan semakin meningkat karena 3 hal :
1. Faktor pertambahan penduduk.
2. Meningkatnya kebutuhan untuk perawatan yang lebih baik di rumah sakit.
3. Fungsi dan peranan Farmasis Rumah Sakit akan lebih meningkat dalam berbagai aspek mengenai penggunaan dan pemantauan obat.

Pedagang Besar Farmasi (PBF)
Mata rantai sebagai perantara industri farmasi dan masyarakat dalam hal penyaluran obat ialah Pedagang Besar Farmasi (PBF). Di luar negeri PBF ini mempunyai tenaga Farmasis terdaftar sebagai supervisor disebabkan oleh sifat khas produk yang ditanganinya itu sehubungan dengan peraturan perundang-undangan. Di Indonesia hanya dipersyaratkan tenaga menengah farmasi (Asisten Apoteker = AA) sebagai penanggungjawab, mengingat belum cukup tersedianya tenaga ahli berpendidikan tinggi.

PBF sangat berperanan sebagai sumber penyalur obat dari berbagai industri farmasi yang secara cepat dapat melayani kebutuhan Farmasis Komunitas (Apoteker) untuk secara cepat pula melayani kebutuhan penderita akan obat. PBF juga mengurangi beban finansial Apoteker dalam hal menyimpan stok obat dalam jumlah besar dan menjembatani kerumitan negosiasi dengan ratusan industri farmasi sebagai produsen obat.

Industri Farmasi
Farmasis di industri farmasi terlibat pula dalam fungsi pemasaran produk, riset dan pengembangan produk, pengendalian kualitas, produksi dan administrasi atau manajemen. Fungsi perwakilan pelayanan medis (medical service representative) atau ”detailman” yang bertugas dan langsung berhubungan dengan Dokter dan Apoteker untuk memperkenalkan produk yang dihasilkan industri farmasi mungkin juga dijabat seorang Farmasis atau tenaga ahli lain. Namun paling ideal apabila fungsi itu dipegang seorang Farmasis atau tenaga ahli lain. Namun paling ideal apabila fungsi itu dipegang seorang Farmasis karena latar belakang pengetahuannya. Saat ini memang tidak banyak Farmasis yang mengisi jabatan ini karena jumlahnya belum mencukupi, dan lebih dibutuhkan di tempat pengabdian profesi yang lain. Peningkatan karir jabatan ini dapat mencapai tingkat supervisor dalam pemasaran produk, dan direktur pemasaran produk dalam organisasi industri farmasi.

Pada unit produksi dan pengendalian kualitas (quality control) industri dipersyaratkan seorang Apoteker. Untuk bidang riset dan pengembangan (R & D = Research and Development) biasanya diperlukan lulusan pendidikan pascasarjana, meskipun bukan merupakan persyaratan.

Instansi Pemerintah
Departemen Kesehatan adalah instansi pemerintah yang paling banyak menyerap tenaga Farmasis, terutama Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Minuman (DitJen POM) dan jajaran Pusat Pemeriksaan Obat (PPOM) dan Balai Pemeriksaan Obat dan Makanan (Balai POM) di daerah. Demikian pula Bidang Pengendalian Farmasi dan Makanan pada setiap Kantor Wilayah Departemen Kesehatan (sekarang dihapus, hanya ada Dinas Kesehatan Propinsi) dan jajaran Dinas Kesehatan sampai ke Daerah Tingkat II dan Gudang Farmasi. Fungsi utama Farmasis pada instansi pemerintah ialah administrastif, pemeriksaan, bimbingan dan pengendalian. Sejak tahun 2001, telah terjadi perubahan struktur, Direktorat Jendral POM tidak lagi bernaung di bawah Departemen Kesehatan, tetapi menjadi Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden RI. Demikian pula struktur Balai (besar,kecil) POM di daerah tingkat I, yang langsung berada di bawah Badan POM, tidak berada di dalam Dinas Kesehatan Propinsi.

Departemen HANKAM, juga memerlukan Farmasis yang terutama berfungsi pada bagian logistik dan penyaluran obat dan alat kesehatan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan merekrut Farmasis untuk jabatan dosen di perguruan tinggi. Sesuai Tri Dharma Perguruan Tinggi, maka fungsi seorang Farmasis ialah dalam bidang pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Persyaratan untuk diterima menjadi dosen akan ditingkatkan menjadi lulusan Pascasarjana, atau mempunyai Sertifikat Mengajar Program PEKERTI/AA (Pengembangan Keterampilan Dasar Teknik Instruksional/Applied Approach), yaitu program penataran dosen dalam aktivitas instruksional atau proses belajar mengajar.

Sebagai tenaga kesehatan, seorang Farmasis atau Apoteker diwajibkan untuk mengabdi pada negara selama 3 tahun setelah lulus ujian Apoteker sebelum dapat berpraktek swasta perorangan. Wajib kerja sarjana ini dikenal sebagai Masa Bakti Apoteker (MBA) yang dapat dilaksanakan pada instansi pemerintah seperti tersebut di atas atau penugasan khusus dari Kepala Kantor Wilayah Departemen Kesehatan sebagai wakil Menteri Kesehatan di daerah. Dengan dihapuskannya Kantor Wilayah, tugas ini diambil alih Kepala Dinas Kesehatan Propinsi.


Wartawan Farmasi (Pharmaceutical Journalism)

Profesi ini mulai berkembang di luar negeri bagi Farmasis yang memperoleh latihan khusus dalam kewartawanan dan mempunyai bakat menulis dan mengedit. Pekerjaan ini diperlukan oleh instansi pemerintah atau industri farmasi untuk publikasi, mengedit atau menulis tulisan yang berlatar belakang kefarmasian.
Manajemen Perusahaan
Khususnya instansi swasta banyak memerlukan tenaga ahli berlatar belakang kefarmasian dengan berkembangnya organisasi pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Untuk ini diperlukan pendidikan tambahan, misalnya Magister Manajemen (MBA = Master of Business Administration).
VI.    PENDIDIKAN  KEFARMASIAN
Pendidikan Farmasi, khususnya pendidikan tinggi sering berubah dengan perubahan tuntutan zaman. Pendidikan tinggi secara umum dituntut untuk menghasilkan lulusan yang lebih berkualitas dan lebih relevan terhadap kebutuhan masyarakat. Khususnya bidang Farmasi di era reformasi ini semakin banyak didirikan perguruan tinggi swasta yang menyelenggarakan pendidikan Farmasi. Demikian pula terjadi pada pendidikan program profesional di bidang  kesehatan, yang semakin dituntut mutu lulusan yang tinggi, sehingga Sekolah Perawat, Sekolah Menengah Farmasi, dan lain-lain ditingkatkan menjadi setingkat Akademi (Program D-3 atau D-4), yang dikelola oleh Dinas Kesehatan Propinsi, dan dikelompokkan dalam Politeknik Kesehatan (POLTEKKES).
  VI.1    Sejarah Perkembangan Pendidikan Farmasi di Indonesia. [6]
Perkembangan pendidikan tinggi kefarmasian di Indonesia dapat dibagi dalam era pra Perang Dunia II, Zaman Pendudukan Jepang dan pasca Proklamasi Kemerdekaan R.I. Sebelum Perang Dunia II, selama penjajahan Belanda hanya terdapat beberapa Apoteker yang berasal dari Denmark, Austria, Jerman dan Belanda. Tenaga kefarmasian yang dididik di Indonesia hanya setingkat Asisten Apoteker (AA), yang mulai dihasilkan tahun 1906. Pelaksanaan pendidikan A.A. ini dilakukan secara magang ada Apotik yang ada Apotekernya dan setelah periode tertentu seorang calon menjalani ujian negara. Pada tahun 1918 dibuka sekolah Asisten Apoteker yang pertama dengan penerimaan murid lulusan MULO Bagian B (Setingkat SMP). Pada tahun 1937 jumlah Apotik di seluruh Indonesia hanya 37. Pada awal Perang Dunia ke-2 (1941) banyak Apoteker warga negara asing meninggalkan Indonesia sehingga terdapat kekosongan Apotik. Untuk mengisi kekosongan itu diberi izin kepada dokter untuk mengisi jabatan di Apotik, juga diberi izin kepada dokter untuk membuka Apotik-Dokter (Dokters-Apotheek) di daerah yang belum ada Apotiknya.

DAFTAR PUSTAKA

1. American Pharmaceutical Association, The National Professional Society of Pharmacicts, “The Final Report of the Task Force on Pharmacy education, Washington DC.
2. College Handbook (Nov.1992), MONASH University, The Office of University Development for the Victorian College of Pharmacy, Melbourne, Victoria.
3. Forum Komunikasi Perguruan Tinggi Farmasi Negeri se Indonesia, Hasil Rapat Tahunan (1992).
4. Gennaro, A.R. [Ed.]  (1990) “ Remington’s Pharmaceutical Sciences”, Mack Publishing Co, Easton, Pennsylvania.
5. Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, Keputusan Kongres Nasional XIII, N0.XIII/Kongres XIII/ISFI/1989 tentang Standar Profesi Apoteker dalam Pengabdian Profesi di Apotik.
6. Ketut Patra dkk. (1988) “ 60 Tahun Dr. Midian Sirait, Pilar-Pilar Penopang Pembangunan di Bidang Obat”, Penerbit P.T.Priastu, Jakarta.
7. Smith, A.K. (1980) “ Principles and Methods of Pharmacy Management”, Second Edition, Lea Febiger, Philadelphia.
8. Suryasumantri, Y.S  (1985) “ Filsafat Ilmu, Suatu Pengantar Populer”, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta.
9. Wattimena, J.R. dkk. (1986) makalah dalam Ekspose Perkembangan Ilmu Kesehatan oleh IDI/ISFI, Jakarta.
10. University of Minnesota , (2001) “College of Pharmacy Catalog”, the Regents of the University of Minnesota, Catalog On Line.
11. University of North Carolina at Chapel Hill,  (2002) “ School of Pharmacy”, Catalog on Line.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar