Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Senin, 14 Mei 2018

MAKALAH PENDEKATAN SOSIOLOGI


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Ilmu (science) biasanya didefinisikan sebagai kumpulan pengetahuan yang diorganisasikan secara sistematik. Definisi ini benar, tetapi oleh William Good dan Paul Hatt, masing-masing guru besar pada jurusan Sosiologi di Columbia University dan North Western University, Amerika Serikat diingatkan bahwa definisi itu baru memadai kalau kata–kata pengetahuan dan sistematik didefinisikan lagi secara benar. Kalau tidak, pengetahuan teologis yang disusun sistematik, dipandang sama ilmiahnya dengan ilmu pengetahuan alam. Padahal ilmu teologis, betapapun sistematisnya tetap deduktif sedangkan ilmu pengetahuan alam induktif. Itu sebabnya pendekatan dan metodologi, yang diterapkan dalam mempelajari suatu masalah amatlah penting untuk mengetahui derajat keilmuan studi yang dihasilkannya itu. Dalam hal ini tidak terkecuali studi Islam dan hukum Islam, harus dilihat dengan kacamata yang sama. Kali ini kita akan membahas studi Islam dengan pendekatan sosisologi.
Berkaitan dengan studi keislaman dan keberadaan masyarakat Muslim saat ini, maka dalam makalah ini akan diuraikan sosiologi sebagai sebuah pendekatan dapat dijadikan sarana dan alat yang dapat membawa studi-studi keislaman kepada pengkajian yang lebih dinamis terhadap gejala-gejala yang terjadi dalam masyarakat.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apakah pengertian dari ilmu sosiologi?
2.      Bagaimana sejarah perkembangan sosiologi, dan sosiologi agama?
3.      Siapakah tokoh-tokoh sosiologi?
4.      Apa teori-teori sosiologi?
5.      Bagaimana Agama menjadi bahan kajian sosiologi?
6.      Bagaimana bentuk studi Islam dalam pendekatan sosiologi ?

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Sosiologi

Dalam studi Islam ada beberapa pendekatan yang digunakan, salah satunya adalah dengan pendekatan sosiologi. Secara etimologi, kata sosiologi berasal dari bahasa Latin yang terdiri dari kata “socius” yang berarti teman dan “logos” yang berarti berkata atau berbicara. Jadi sosiologi artinya berbicara tentang manusia yang berteman atau bermasyarakat.[1] Secara terminologi, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial termasuk perubahan-perubahan sosial.[2]
Dalam pengertian masih umum, sosiologi merupakan studi tentang masyarakat yang mengemukakan sifat atau kebiasaan manusia dalam kelompok, dengan segala kegiatan dan kebiasaan serta lembaga-lembaga yang penting sehingga masyarakat dapat berkembang terus dan berguna bagi kehidupan manusia, karena pengaturan yang mendasar tentang hubungan manusia secara timbal balik dan juga karena factor-faktor yang melibatkannya serta dari interaksi social berikutnya. Segala factor dan pola kegiatannya serta konsekuensi-konsekuensi proses interaksi di antara individu dengan individu dan kelompok-kelompok adalah pokok-pokok persoalan yang penting dari sosiologi.[3]
Dari beberapa pendapat di atas bahwa sosiologi adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempunyai obyek studi masyarakat. Namun demikian sampai sekarang definisi sosiologi agak sukar untuk  memberikan suatu batasan yang pasti tentang definisi sosiologi lantaran terlalu banyak cakupan kajiannya, sehingga kalaupun diberikan  suatu definisi masih ada juga yang tidak memenuhi unsur-unsurnya secara menyeluruh. Ada beberapa pendapat mengenai definisi sosiologi yang dapat dijadikan sebagai pegangan sementara diantaranya adalah; Petirim A. Sorokin mengatakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala-gejala social, hubungan dan pengaruh timbal balik antara  gejala social dengan gejala  non-sosial, ciri-ciri umum dari semua gejala-gejala social. Roucek and Warren mengemukakan  bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dengan kelompok-kelompok. Van Doorn mengemukakan bahwa sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang struktur-struktur dan proses-proses kemasyarakatan yang bersifat stabil. Hassan Shadily  dalam bukunya Sosiologi Masyarakat Indonesia menyebutkan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat, dan menyelidiki ikatan-ikatan antar manusia yang menguasai kehidupan itu. [4]
Adapun objek sosiologi adalah masyarakat yang dilihat dari sudut hubungan antara manusia dan proses yang timbul dari hubungan manusia dalam masyarakat. Sedangkan tujuannya adalah meningkatakan daya atau kemampuan manusia dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan hidupnya.
Dapat disimpulkan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari kehidupan manusia dalam tata kehidupan bersama. Pusat perhatiannya adalah kehidupan kelompok dan tingkah laku social. Karena yang diperhatikan adalah masalah-masalah yang bersifat berskala besar dan substansial serta dalam konteks budaya yang lebih luas, pemahaman sosiologi pun berskala makro, mendasar dan deduktif. Pemahaman mikro dan induktif kurang menarik perhatian sosiologi.
Asumsi dasar pendekatan sosiologi terhadap agama adalah bahwa gejala-gejala keagamaan dapat dimengerti dengan menganalisisnya sebagai gejala social, sebagai sesuatu yang tercipta dalam hubungan antara manusia dan karenanya dapat dijelaskan dengan menggunakan teori-teori yang berlaku dalam ilmu social.
Teori sosiologis tentang watak agama serta kedudukan dan signifikansinya dalam dunia social, mendorong ditetapkannya serangkaian kategori-kategori sosiologis, yaitu:[5]
·           Stratifikasi social, seperti kelas dan etnisitas.
·           Kategori biososial, seperti usia, seks, gender, perkawinan, keluarga, masa kanak-kanak.
·           Pola organisasi social meliputi, politik, produksi ekonomis, system-sistem pertukaran, dan birokrasi.
·           Proses social, seperti formasi batas, relasi intergroup, interaksi personal, penyimpangan, dan globalisasi.
Sedangkan sosiologi agama menurut H-Goddjin – W. Goddjin adalah bagian dari sosiologi umum yang mempelajari suatu ilmu budaya empiris, profane, dan positif yang menuju kepada pengetahuan umum, yang jernih dan pasti dari struktur, fungsi-fungsi dan perubahan kelompok keagamaan, dan gejala-gejala kekelompokan keagamaan. Sedangkan J. Wach merumuskan sosiologi agama secara luas sebagai suatu studi tentang “interaksi” dari agama dan masyarakat serta bentuk-bentuk interaksi yang terjadi antar mereka.[6]
Dari dua definisi di atas cukup untuk memberikan gambaran kepada kita bahwa sosiologi agama pada hakekatnya adalah cabang dari sosiologi umum yang mempelajari masyarakat agama secara sosiologis untuk mencapai keterangan-keterangan ilmiah dan pasti untuk masyarakat agama itu sendiri dan umat atau masyarakat pada umumnya.

B.     Sejarah perkembangan Ilmu Sosiologi

Semua bidang intelektual dibentuk oleh setting sosialnya. Hal ini terutama berlaku bagi sosiologi, yang tak hanya berasal dari kondisi sosialnya, tetapi juga menjadikan lingkungan sosialnya sebagai kajian pokoknya. Sejarah muncul dan berkembangnya sosiologi sebagai sebuah disiplin ilmu sangat terkait dengan peristiwa-peristiwa kekacauan social umat manusia.
Harus ditegaskan di sini bahwa orang yang pertama kali menggagas sekaligus mempraktekkan sosiologi sebagai sebuah disiplin ilmu baru yang mandiri adalah Ibn Khaldun, ia hidup dalam situasi konflik yang begitu keras antara Muslim tradisionalis, rasionalis, dan kaum sufi. Situasi tidak harmonis dalam masyarakat di sekitarnya itulah yang mendorongnya untuk mempelajari masyarakat secara serius. Dalam kajiannya, ia telah menghasilkan sejumlah karya sosiologi, seperti Kitab al-Ibar yang berisi sejarah umum dan universal masyarakat dan kitab Muqaddimah yang berisi pembahasan tentang sosiologi. Muqaddimah merupakan karya terpenting dari keseluruhan karya Ibn Khaldun. Dalam karyanya ini beliau mengkaji masyarakat secara empiris dan meneliti sebab-sebab fenomenologi social.[7]
Sebagian sosiolog memandang kontribusi Ibn Khadun begitu kecil dalam sosiologi. Mereka lebih mengakui Karl Marx dan August Comte sebagai orang yang paling berjasa bagi disiplin ilmu baru ini. itulah makanya, rentetan panjang revolusi politik yang dihantarkan oleh revolusi Perancis 1789 dan revolusi yang berlangsung sepanjang abad ke-19 dipandang sebagai factor yang paling besar perannya dalam pembentukan sosiologi. Walaupun ini sesungguhnya bukan factor yang pertama dalam pembentukan ilmu sosiologi, karena factor yang pertama adalah kekacauan pada masa Ibn Khaldun, namun perlu pula disinggung di sini untuk memahami sejarah terbentuknya sosiologi modern. [8]
August Comte dengan kreatif telah menyusun sintesa berbagai macam aliran pemikiran, kemudian mengusulkan mendirikan ilmu tentang masyarakat dengan dasar filsafat empiric yang kuat. Ilmu tentang masyarakat ini pada awalnya oleh August Comte diberi nama “social physics”(fisika social), yang kemudian dirubahnya sendiri menjadi “sociology” karena istilah fisika social tersebut dalam waktu yang hampir bersamaan ternyata dipergunakan oleh seorang ahli statistic social Adophe Quetelet, yang kemudian August Comte dikenal sebagai bapak sosiologi.[9]
Sedangkan minat untuk mempelajari fenomena agama dalam masyarakat mulai tumbuh sekitar pertengahan abad ke-19. Periode klasik ini terutama dikuasai oleh dua orang sosiolog yang terkenal, yaitu Emile Durkheim (1858-1917) dan Max Weber (1864-1920). Dua orang di atas dipandang sebagai pendiri sosiologi agama.

C.     Tokoh-tokoh ilmu sosiologi

a.       Ibn Khaldun
Sosiologi pengetahuan merupakan ilmu baru yang menjadi cabang dari sosiologi yang mempelajari hubungan timbal balik antara pemikiran dan masyarakat. Sosiologi pengetahuan menaruh perhatian pada kondisi social atau eksistensial pengetahuan. Para sarjana dalam bidang ini tidak terbatas melakukan analisis sosiologis wilayah kognitif tapi juga secara praktis mengamati produk-produk intelektual.
Ide-ide sosiologi pengetahuan telah dilahirkan oleh Ibn Khaldun pada abad ke-14. Ibn Khaldun memandang bahwa ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang tersistematisasikan dan semua ilmu pengetahuan itu dipengaruhi oleh kondisi social. Bagi Ibn Khaldun ilmu pengetahuan hanya berkembang di mana peradaban berkembang. Ilmu pengetahuan rasional hanya akan dijumpai di antara masyarakat yang berperadaban. Perkembangan ilmu pengetahuan adalah fenomena social. Jadi ada hubungan antara perkembangan ilmu pengetahuan dan perkembangan peradaban dalam masyarakat yang menetap.
Sebagaimana Karl Mannheim, Ibn Khaldun berpandangan bahwa pemikiran ideologis tidak hanya terbatas pada kelas yang berkuasa saja, tapi juga dimiliki oleh semua kelas social. Setiap kelas memiliki eksistensinya sendiri, atau perspektif sosialnya sendiri, dan sejumlah kepentingan. Jadi ide-ide yang dihasilkan oleh semua kelas pada dasarnya adalah ideologis. Sama halnya dengan Max Scheler, Ibn Khaldun berpandangan bahwa factor-faktor material sangat dapat mempengaruhi isi ide-ide, ideology, dan pengetahuan masyarakat.[10]
Berdasarkan fakta-fakta di atas dapat kita lihat bahwa sebenarnya pendiri sosiologi adalah Ibn Khaldun. Karena apa yang diungkapkan oleh para sosiolog-sosiolog tersebut telah diungkapkan oleh Khaldun 6 abad sebelumnya.
Wawasan Ibnu Khaldun terhadap beberapa prinsip-prinsip ekonomi sangat dalam dan jauh kedepan sehingga sejumlah teori yang dikemukakannya hampir enam abad yang lalu sampai sekarang tidak diragukan merupakan perintis dari beberapa formula teori modern.
Dunia mendaulatnya sebagai `Bapak Sosiologi Islam’. Sebagai salah seorang pemikir hebat dan serba bisa sepanjang masa, buah pikirnya amat berpengaruh. Sederet pemikir Barat terkemuka, seperti Georg Wilhelm Friedrich Hegel, Robert Flint, Arnold J Toynbee, Ernest Gellner, Franz Rosenthal, dan Arthur Laffer mengagumi pemikirannya.
Tak heran, pemikir Arab, NJ Dawood menjulukinya sebagai negarawan, ahli hukum, sejarawan dan sekaligus sarjana. Dialah Ibnu Khaldun, penulis buku yang melegenda, Al-Muqaddimah.
b.      Auguste  Comte
 Auguste Comte seorang Perancis, merupakan bapak sosiologi yang pertama memberi nama pada ilmu  tersebut (yaitu dari kata socius dan logos). Walaupun dia tidak menguraikan secara rinci masalah-masalah apa yang menjadi objek sosiologi, tetapi dia mempunyai anggapan bahwa sosiologi terdiri dari dua bagian pokok, yaitu social statistics dan social dynamics. Konsepsi tersebut merupakan pembagian dari isi sosiologi yang sifatnya pokok sekali. Sebagai social statistics, sosiologi merupakan sebuah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara lembaga-lembaga kemasyarakatan. Sedangkan social dynamics meneropong bagaimana lembaga-lembaga tersebut berkembang dan mengalami perkembangan sepanjang masa.[11] Perkembangan tersebut pada hakikatnya melewati tiga tahap, sesuai tahap-tahap pemikiran manusia yaitu:
a)      Tahap teologis, ialah tingkat pemikiran manusia bahwa semua benda didunia ini mempunyai jiwa dan itu disebabkan oleh sesuatu kekuatan yang berada di atas manusia. Cara pemikiran tersebut tidak dapat dipakai dalam ilmu pengetahuan, karena ilmu pengetahuan bertujuan untuk mencari sebab serta akibat dari gejala-gejala.
b)      Tahap metafisis, pada tahap ini manusia masih percaya bahwa gejala-gejala didunia ini disebabkan oleh kekuatan-kekuatan yang berada di atas manusia. Manusia belum berusaha untuk mencari sebab dan akibat gejala-gejala tersebut.
c)      Tahap positif, merupakan tahap dimana manusia telah sanggup untuk berfikir secara ilmiyah. Pada tahap ini berkembanglah ilmu pengetahuan.
Menurut Comte, masyarakat harus diteliti atas dasar fakta-fakta objektif dan dia juga menekankan pentingnya penelitian-penelitian perbandingan antara pelbagai masyarakat yang berlainan.
Hasil karya Auguste Comte yang terutama yaitu:
-          The scientific labors necessary for the reorganization of society (1822)
-          The positive  philosophy (6 jilid 1830-1840)
-          Subjective synthesis (1820-1903)[12]
c.       Emile Durkheim
Kebanyakan dari karyanya dimaksudkan untuk membuktikan bahwa fenomena keagamaan berasal dari faktor-faktor sosial dan bukan ilahi. Namun demikian, latar belakang Yahudinya membentuk sosiologinya. Minat Durkheim dalam fenomena sosial juga didorong oleh politik.
Perhatian Durkheim yang utama adalah bagaimana masyarakat dapat mempertahankan integritas dan koherensinya di masa modern, ketika hal-hal seperti latar belakang keagamaan dan etnik bersama tidak ada lagi. Untuk mempelajari kehidupan sosial di kalangan masyarakat modern, Durkheim berusaha menciptakan salah satu pendekatan ilmiah pertama terhadap fenomena sosial. Bersama Herbert Spencer, Durkheim adalah salah satu orang pertama yang menjelaskan keberadaan dan sifat berbagai bagian dari masyarakat dengan mengacu kepada fungsi yang mereka lakukan dalam mempertahankan kesehatan dan keseimbangan masyarakat, suatu posisi yang kelak dikenal sebagai fungsionalisme.[13]
Durkheim juga menekankan bahwa masyarakat lebih daripada sekadar jumlah dari seluruh bagiannya. Jadi berbeda dengan rekan sezamannya, Max Weber, ia memusatkan perhatian bukan kepada apa yang memotivasi tindakan-tindakan dari setiap pribadi (individualisme metodologis), melainkan lebih kepada penelitian terhadap "fakta-fakta sosial", istilah yang diciptakannya untuk menggambarkan fenomena yang ada dengan sendirinya dan yang tidak terikat kepada tindakan individu. Ia berpendapat bahwa fakta sosial mempunyai keberadaan yang independen yang lebih besar dan lebih objektif daripada tindakan-tindakan individu yang membentuk masyarakat dan hanya dapat dijelaskan melalui fakta-fakta sosial lainnya, misalnya, melalui adaptasi masyarakat terhadap iklim atau situasi ekologis tertentu.[14]
Durkheim diingat orang karena karyanya tentang masyarakat 'primitif' (artinya, non Barat) dalam buku-bukunya seperti "Bentuk-bentuk Elementer dari Kehidupan Agama" (1912) dan esainya "Klasifikasi Primitif" yang ditulisnya bersama Marcel Mauss. Kedua karya ini meneliti peranan yang dimainkan oleh agama dan mitologi dalam membentuk pandangan dunia dan kepribadian manusia dalam masyarakat-masyarakat yang sangat 'mekanis' (meminjam ungkapan Durkheim).
d.      Max Waber
Menurut Weber, perilaku manusia merupakan perilaku social yang harus mempunyai tujuan tertentu dan terwujud dengan jelas. Untuk menganalisa perilaku sosial tersebut Weber menciptakan tipe-tipe perilaku ideal sebagai pola yang biasa disebutideal typus” agar dapat membandingkannya dengan perilaku actual yang dimaksudkan sebagai ekspresi semua formulasi dan batasan konseptual dalam sosiologi. Pengartian tipe ideal dirumuskan dengan cara memberikan tekanan sepihak serta intensifikasi terhadap satu atau beberapa aspek suatu peristiwa yang mencerminkan struktur mental yang seragam.
Weber menekankan bahwa tipenya itu harus merupakan suatu kemungkinan yang kuat dengan minimal harus mendekati kebenaran empiris. Tipe ideal juga bersifat deskriptif murni dan tidak boleh disalahgunakan untuk menjelaskan  data yang diungkapkannya. Tipe ideal merupakan suatu sarana untuk menyusun klasifikasi yang berguna untuk mengatur kategori-kategori secara sistematis dari semua hasil pengamatan yang pernah dilakukan. Selain itu, bentuk perilaku social yang terpenting adalah perilaku social yang timbal balik (resiprokal) yang tercermin dalam pengantian hubungan social sebagai tema sentral sosiologi.
Suatu hubungan social ada apabila para individu secara mutual mendasarkan perilakunya pada perilaku yang diharapkan pihak-pihak lain. Beberapa tipe hubungan social diantaranya:[15]
1.      Perjuangan, suatu bentuk hubungan social yang menyangkut perilaku individu sedemikian rupa sehingga salah satu pihak memaksakan kehendaknya terhadap perlawanan pihak lain.
2.      Komunalisasi, hubungan social yang didasarkan pada perasaan subyektif baik bersifat emosional , tradisional maupun kedua-duanya.
3.      Agregasi, hubungan social keserasian dan kecocokan motivasi rasional atau keseimbangan berbagai kepentingan.
4.      Kelompok Korporasi, hubungan social yang berkaitan dengan wewenang yang dilandaskan pada kegiatan seorang pemimpin dan suatu staf administrasinya.
Keempat hubungan social tersebut mungkin terbuka ataupun tertutup tergantung pada dasar peran sertanya, yakni sukarela atau paksaan.
Selain Ideal typus, Max Waber juga terkenal dengan Method of understanding yang menghasilkan dua cara untuk mendapatkan pemahaman dan dua jenis pemahaman yang harus diperhitungkan. Suatu perilaku dapat dipahami secara intelektual bila perilaku tersebut rational, tergantung pola perilaku yang terwujud dengan cara yang dianggap logis yang sesuai dengan urutan perilaku yang dapat diduga. Dan suatu perilaku juga bisa dipahami dengan menggunakan perasaan bila perilaku tersebut bersifat irrational dengan jalan memproyeksikan diri sendiri ke dalam situasi irasional tersebut.      

D.    Teori-teori sosiologi

Dalam kajian ini ada beberapa teori social yang dapat digunakan sebagai pendekatan dalam melakukan kajian atau penelitian Islam:[16]
a.  Fungsionalisme structural
Teori ini disebut dengan fungsionalisme structural karena memusatkan perhatian pada prasyarat fungsional atau kebutuhan yang harus dipenuhi oleh suatu system social dalam mempertahankan kehidupannya dan struktur-struktur yang sesuai dalam memenuhi kebutuhannya tersebut. Sesuai dengan pandangan ini, system social memiliki kecenderungan untuk melaksanakan fungsi tertentu yang dibutuhkan untuk kelangsungan sebuah system social. Oleh karena itu, analisis sosiologis berusaha untuk meneliti tentang struktur-struktur social yang melaksanakan fungsi untuk memenuhi kebutuhan terhadap system social tersebut.
Teori fungsionalisme structural dikembangkan pada abad 20-1n oleh para sosiolog dan antropolog. Sampai pada tahun 1960-an, teori ini masih dianggap sebagai teori yang dominan dalam sosiologi. Salah seorang ilmuwan dalam teori ini adalah Kingsley Davis. Davis menyatakan bahwa pengujuan atas peran atau fungsi yang dijalankan oleh sebuah institusi atau perilaku tertentu dalam masyarakat dapat dilakukan melalui analisis fungsional.
Kerangka berfikir teori ini ialah melihat suatu masyarakat sebagai suatu system dinamis yang terdiri dari subsistem-subsistem yang saling berhubungan antara yang satu dengan yang lainnya. Teori fungsionalisme structural memandang bahwa subsistem-subsistem tersebut memiliki konsekuensi-konsekuensi bagi yang lainnya dan untuk system secara keseluruhan. Titik tekan dari teori ini adalah keteraturan. Fungsi dalam teori ini adalah akibat yang dapat diamati yang sesuai dalam suatu system.
b.      Konflik
Ditinjau dari aspek komparasi dengan teori-teori social yang lainnya, sesungguhnya teori konflik ini tidaklah terlalu kokoh. Namun demikian, teori ini mendapat dukungan yang luas, terutama dari kalangan intelektual muda di kalangan negara yang sedang berkembang, juga negara Barat sendiri. karena dirasakan analisis dari teori ini sangat tepat untuk membedah kemiskinan di negara-negara dunia ketiga. Misalnya, perkembangan pendidikan hanya merupakan suatu proses awal stratifikasi social yang cenderung memperkuat posisi kaum yang selama ini memiliki keistimewaan.
Teori ini memiliki beberapa asumsi, antara lain;
1)      Manusia sebagai makhluk hidup memiliki sejumlah kepentingan yang paling dasar yang mereka inginkan dan mereka berusaha untuk mendapatkan.
2)      Kekuasaan mendapatkan penekanan sebagai pusat hubungan social. Kekuasaan bukan hanya merupakan sesuatu yang langka, dan tidak terbagi secara merata, sehingga merupakan sumber konflik, tetapi juga pada hakekatnya kekuatan itu bersifat pemaksaan.
3)      Ideology dan nilai-nilai dipandang sebagai suatu senjata yang digunakan oleh kelompok-kelompok yang berbeda, dan mungkin bertentangan untuk mengejar kepentingan mereka sendiri. Ideology dan nilai sama sekali bukan merupakan sarana untuk mencapai integrasi dan mengembangkan identitas suatu bangsa.
c.       Tindakan
Menurut pandangan Max Weber, sosiologi merupakan ilmu yang berusaha untuk menafsirkan dan memahami terhadap tindakan social antar hubungan social untuk sampai kepada penjelasan kausal. Dalam definisi ini terkandung dua konsep dasar, yaitu konsep tindakan social dan konsep tentang penafsiran dan pemahaman yang menyangkut metode untuk menerangkan konsep tindakan social. Dengan berpijak dari konsep dasar tentang tindakan social dan antar hubungan social tersebut, Weber mengemukakan 5 ciri pokok yang menjadi sasaran penting penelitian sosiologi yang terkait dengan tindakan social, yaitu:
1)      Tindakan manusia, yaitu meliputi berbagai tindakan nyata.
2)      Tindakan nyata yang bersifat membantu yang sepenuhnya dan bersifat subjektif.
3)      Tindakan yang meliputi pengaruh positif dari suatu situasi, tindakan yang sengaja diulang dan tindakan dalam bentuk persetujuan secara diam-diam.
4)      Tindakan itu diarahkan kepada seseorang atau kepada beberapa individu.
5)      Tindakan ini memperhatikan tindakan orang lain dan terserah kepada orang lain itu.
Dalam mempelajari tindakan social, weber menganjurkan melalui penafsiran dan pemahaman. Teori tindakan ini dapat digunakan untuk menginterpretasikan tindakan-tindakan pelaku dan memahami rasionalitas di balik tindakan dari pelaku tersebut.
d.      Teori perubahan social
Perubahan social merupakan salah satu pokok bahasan yang sangat penting. Ia bahkan telah menjadi salah satu cabang dari ilmu sosiologi dengan disokong oleh ilmu komunikasi, psikologi, ekonomi, antropologi, manejemen dan ilmu politik. Keterlibatan ilmu-ilmu tersebut diakibatkan oleh fakta bahwa perubahan social itu berkorelasi resiprokal(timbal-balik) dengan ilmu-ilmu di atas.
Perubahan social dapat terjadi secara cepat atau lambat, tergantung kepada situasi lingkungan maupun factor-faktor lain yang saling berkaitan. Menurut Ravik Karsidi, perubahan social dapat terjadi pada berbagai tingkat kehidupan manusia. Ruang gerak perubahan itupun juga berlapis-lapis, dimulai dari kelompok terkecil atau mulai dari tingkat individu, keluarga, hingga tingkat dunia. Berdasarkan pada deskripsi di atas dalam kerangka melihat terjadinya perubahan social, maka dapat dibedakan adanya berbagai macam tipe perubahan social. Ditinjau dari proses terjadinya, ada perubahan social yang direncanakan dan ada yang tanpa direncanakan. Berdasarkan jangka waktu terjadinya perubahan social, Ibrahim membedakan antara perubahan jangka pendek dan perubahan jangka panjang. Berdasarkan tingkat terjadinya perubahan social dapat dibedakan pada tingkat makro(individu), tingkat intermediate(kelompok), dan tingkat makro(masyarakat).
e.       Interaksionisme-simbolis
Pendekatan ini juga merupakan pendekatan yang menggunakan interdisiplin, yakni interaksionisme yakni sebuah pendekatan yang mengkaji hubungan-hubungan yang terjadi di masyarakat. Kemudian pendekatan ini digabungkan dengan pendekatan simbolisme dengan asumsi bahwa semua interaksi dalam masyarakat hanya akan terlihat dengan jelas bila dihubungkan dengan simbol-simbol yang berlaku di kalangan mereka.
Sedangkan pendekatan interaksionisme-simbolis merupakan sebuah perspektif mikro dalam sosiologi yang barang kali sangat spekulatif pada tahapan analisanya sekarang ini. Tetapi pendekatan ini mengandung sedikit sekali prasangkan ideologis, walaupun meminjam banyak dari lingkungan Barat tempat dibinanya pendekatan itu.
Sebagaimana dipesankan oleh namanya, interaksionisme-simbolis lebih sering disebut sebagai pendekatan interaksionis saja-bertolak dari interaksi sosial pada tingkat paling minimal. Dari tingkat mikro ini, tidak seperti jenis lain psikologi sosial, ia diharapkan memperluas cakupan analisisnya guna menangkap keseluruhan masyarakat sebagai penentu proses dari banyak interaksi. Manusia dipandang mempelajari situasi-situasi yang bisa serasi atau bisa pula menyimpang, mempelajari situasi-situasi transaksi-trasnsaksi politis dan ekonomis, situasi-situasi di dalam dan diluar keluarga, situasi-situasi permainan dan pendidikan, situasi-situasi organisasi, formal dan informal dan seterusnya.
Pendekatan ini bisa dicontohkan dengan kajian interaksi pada tingkat keluarga, yang kemudian juga mengkaji bagaimana interaksi itu bisa berpengaruh kepada interaksi pada tingkat yang lebih tinggi yakni interaksi masyarakat. Maka interaksi di tingkat keluarga ini akan sangat kental mempengaruhi dan mencoraki interaksi di tingkat yang lebih tinggi.

E.     Agama sebagai bahan Kajian Sosiologis

Agama (religion) dalam kajian sosiologi termasuk ke dalam sub kajian yang banyak mendapat sorotan dari para sosiolog karena dianggap menarik. Berawal dari seperangkat kepercayaan, perlambang dan praktek yang didasarkan atas ide tentang yang sakral (based on the idea of sacred).[17] Agama mampu menciptakan pola-pola yang baik dan teratur dalam kehidupan suatu masyarakat dan menciptakan sebuah komunitas sosio-religius yang dalam tingkah lakunya dipengaruhi oleh keyakinan tersebut.
Dalam sebuah masyarakat, biasanya agama adalah salah satu struktur institusional penting yang melengkapi keseluruhan sistem sosial, akan tetapi masalah agama tentunya berbeda dengan masalah politik dan hukum yang berkaitan dengan pengendalian kekuasaan, berbeda dengan masalah politik dan hukum yang berkaitan dengan pengendalian kekuasaan, berbeda dengan lembaga ekonomi yang berkaitan dengan kerjasama dalam menghasilkan uang dan barang, dan juga berbeda dengan lembaga keluarga yang mengatur dan mempolakan hubungan antar jenis kelamin, antar generasi, ataupun hubungan lainnya dalam sebuah keluarga.
Agama sebagai fenomena sosiologis, terkait konsep keyakinan atau kepercayaan tentang suatu yang abstrak, dan membentuk perilaku manusia yang disebut sebagai perilaku agamis dalam kehidupannya. Pada awal perkembangan sosiologi, beberapa tokoh sosiologi terkemuka memandang sinis terhadap agama dalam konteks sosial, dalam sejarah dikemukakan bahwa Aguste Comte memandang agama sebagai suatu jenis pengetahuan yang agak rendah, lebih-lebih Karl Marx, yang memandang agama adalah sebagai alat bagi kaum atasan untuk menindak kaum bawahan dan pendapat Durkheim tidak berbeda jauh dimana ia menamakan agama sebagai sublimasi(pendewaan) masyarakat yang menyembah diri.[18]
Dalam perjalanan sejarah, kajian-kajian sosial terhadap agama dilihat sebagai kritik terhadap teori-teori positivistik abad ke-19, yang umumnya lebih diarahkan untuk mencari asal usul agama berdasarkan asumsi-asumsi rasional dan individualis.[19] Tradisi positivistik ini menganggap agama sebagai keyakinan yang keliru dari individu-individu yang pada waktunya akan lenyap ketika pemikiran ilmiah sudah semakin mapan dalam masyarakat. Contohnya dalam evolusi Darwinis akan merubuhkan keyakinan agama terhadap sang pencipta, karena agama dianggap sesuatu yang irrasional. Namun belakangan kajian-kajian ilmu sosial terhadap agama, sebaiknya lebih tertarik pada agama sebagai sesuatu yang bersifat non rasional(jadi bukan Irrasional), kolektif dan simbolik.[20] Agama tidak dilihat pada asal usul historis dalam masyarakat primitif, namun agama merespon kebutuhan manusia terhadap makna itu.
Oleh sebab itu dalam dimensi sosiologi, agama dapat memberikan kontribusi yang besar dalam membentuk tingkah laku manusia dalam sebuah masyarakat, sehingga berkembang menjadi berbagai ilmi seperti Antropologi agama, sejarah agama, psikologi agama, sosiologi agama dan seterusnya. Perlu dicatat bahwa sosiologi agama (sociology of religion) harus dibedakan dari sosiologi keagamaan (religious sociology) yang telah dikembangkan oleh gereja katolik Roma untuk memperbaiki efektivitas upaya misionarisnya pada masyarakat industri.[21] Jadi sosiologi keagamaan lebih ditujukan kepada bagaimana memasyarakatkan agama dalam sebuah komunitas, ini berbeda jauh dengan sosiologi agama yang bertitik tolak pada pengamatan terhadap suatu masyarakat mengenai perilaku keagamaannya.
Dalam kajian sosiologis agama dilihat sebagai salah satu institusi sosial, sebagai subsistem dari sistem sosial yang mempunyai fungsi sosial tertentu, misalnya sebagai salah satu pranata sosial,dan karena posisinya sebagai subsistem maka eksistensi dan peran agama dalam suatu masyarakat, tak ubahnya dengan posisi dan peran subsistem lainnya, meskipun tetap mempunyai fungsi yang berbeda. Dengan demikian bahwa agama dalam konteks sosiologi tidak dilihat berdasarkan apa dan bagaimana isi ajaran ataupun doktrin keyakinan, melainkan begaimana ajaran dan keyakinan itu dilakukan dan mengkristal dalam prilaku para pemeluknya dalam kehidupan sehari-hari.

F.      Bentuk-Bentuk Studi Islam Dengan Pendekatan Sosiologi

Studi Islam dengan pendekatan sosiologi tentu saja adalah bagian dari studi sosiologi agama. Ada perbedaan tentang tema pusat sosiologi agama klasik dan modern. dalam sosiologi agama klasik tema pusatnya adalah hubungan timbal balik antara agama dan masyarakat, bagaimana agama mempengaruhi masyarakat, pemikiran dan pemahaman keagamaan. Sedangkan dalam sosiologi agama modern, tema pusatnya hanya pada satu arah yaitu bagaimana agama mempengaruhi masyarakat. Tetapi studi Islam dengan pendekatan sosiologi, nampaknya lebih luas dari konsep sosiologi agama modern dan lebih dekat dengan konsep sosiologi agama klasik, yaitu mempelajari hubungan timbal-balik antara agama dan masyarakat.[22]
Studi Islam dengan pendekatan sosiologi dapat mengambil beberapa tema: pertama, studi tentang pengaruh agama terhadap masyarakat atau lebih tepatnya pengaruh agama terhadap perubahan masyarakat. Tema ini mengingatkan kita kepada Durkheim yang memperkenalkan konsep fungsi social dari agama. Perubahan masyarakat biasanya didefinisikan sebagai “the alternation of patterns of culture, social structure, and social behaviors over time( perubahan social adalah perubahan pola-pola budaya, struktur social, dan perilaku social dalam jangka waktu tertentu)”. Dalam bentuk ini studi islam mencoba memahami seberapa jauh pola-pola budaya masyarakat (seperti menilai sesuatu sebagai baik atau buruk) berpangkal pada nilai-nilai agama, atau seberapa jauh struktur masyarakat (seperti supermasi kaum lelaki) berpangkal pada ajaran tertentu agama, atau seberapa jauh perilaku masyarakat (seperti pola berpakaian masyarakat) berpangkal pada ajaran tertentu suatu agama.
Untuk menyebut beberapa contoh yang lebih kongkrit, misalnya bagaimana ajaran Islam tentang muhrim telah cenderung mendorong masyarakat Arab Saudi menilai bahwa kehidupan yang baik adalah yang mempraktikkan segregasi (pemisahan) antara laki-laki dan perempuan. Juga misalnya dapat diteliti bagaimana pengaruh ajaran waris Islam tentang bagian laki-laki dan perempuan dalam mendorong lahirnya struktur social di mana kaum laki-laki lebih berkuasa dari kaum perempuan.
Kedua, studi tentang pengaruh struktur dan perubahan masyarakat terhadap pemahaman ajaran agama atau konsep keagamaan. Tema ini mengingatkan kita pada teori pilihan rasional agama yang pada dasarnya bersandar pada pengamatan masyarakat Kristen di Barat. Pada masa sejarah Islam klasik kita juga dapat melihat misalnya bagaimana pertentangan politik ahlu sunnah wajamaah, syiah dan  kaum khawarij telah melahirkan konsep teologi Islam yang berbeda-beda mengenai konsep imamiah, dosa besar, dan sebagainya. Dalam bidang hukum misalnya bagaimana tingkat urbanisme Kufah telah mengakibatkan lahirnya pendapat-pendapat Hukum Islam Hanafi yang rasional. Di Indonesia, di beberapa daerah industry ada desakan agar dibolehkan shalat jumat bergiliran agar pabrik dapat berjalan selama 24 jam.
Ketiga, studi tentang tingkat pengamalan beragama masyarakat. Studi islam dengan pendekatan sosiologi juga dapat mengevaluasi pola penyebaran agama dan seberapa jauh ajaran agama itu diamalkan oleh masyarakat. Dengan pengamatan atau survey, masyarakat dipelajari seberapa jauh mengamalkan ajaran agama yang dianutnya, atau seberapa juah masyarakat mengamalkan tentang ajaran zakat, puasa, haji, dan sebagainya. Informasi ini diperlukan terutama oleh dan pengembang masyarakat.
Studi evaluasi seperti ini juga dapat diterapkan untuk menguji coba (eksperimentasi) dan mengukur efektifitas suatu program seperti system pendidikan Islam misalnya.
Keempat, studi pola social masyarakat Muslim. Studi islam dengan pendekatan sosiologi juga dapat mempelajari pola-pola perilaku masyarakat muslim desa atau kota, pola hubungan antar agama dalam suatu masyarakat.
Kelima, studi tentang gerakan masyarakat yang membawa paham yang dapat melemahkan atau menunjang kehidupan beragama. Gerakan-gerakan kelompok Islam yang mendukung paham kolonoalisme, kapitalisme, sekularisme, komunisme, atheism adalah beberapa di antara contoh gerakan yang mengancam kehidupan beragama dan karenanya perlu dipelajari secara seksama. Demikian pula munculnya kelompok-kelompok masyarakat Islam yang mendukung spiritualisme, sufisme, dan lain-lain yang pada tingkat tertentu dapat menunjang kehidupan beragama, perlu dipelajari secara seksama pula. Gerakan paham-paham itu adakalanya mengancam agama sebagai ajaran atau mengancam agama sebagai komunitas seperti gerakan-gerakan sempalan dan fundamentalis dalam Islam.[23]
Pendekatan sosiologis dalam studi Islam pada dasarnya sangat berguna bagi pengembangan ajaran agama Islam berkaitan dengan persoalan masyarakat. Terbukti dalam alquran begitu banyak ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah-masalah  sosial dan muamalah,[24] dari pada itu konsep masyarakat dalam Islam juga menganut beberapa persamaan dan asas keseimbangan dalam masyarakat, yaitu; keseimbangan antara hak dan kewajiban, keseimbangan antara individu dan masyarakat, keseimbangan antara hak individu dan kewajiban individu dan keseimbangan antara hak masyarakat dan kewajiban masyarakat.[25]
Jalaluddin Rahmat, dalam bukunya Islam Alternatif telah menunjukkan betapa besar perhatian agama Islam dalam masalah-masalah sosial, dengan mengajukan lima alasan, yaitu;
1.      Dalam al-Qur`an atau kitab-kitab hadis, proporsi terbesar kedua sumber hukum Islam itu berkenaan dengan masalah muamalah (masalah sosial).
2.      Bahwa ditekankannya masalah muamalah (sosial) dalam Islam ialah adanya kenyataan bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang lebih penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan(bukan ditinggalkan), melainkan dengan tetap dikerjakan sebagaimana mestinya.
3.      Bahwa ibadah yang mengandung segi-segi kemasyarakatan diberi ganjaran yang lebih besar dari pada ibadah yang bersifat perorangan. Misalnya dalam shalat berjamah.
4.      Dalam Islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakuakn tidak sempurna atau batal, karena melanggar pantangan tertentu, maka kifaratnya ialah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah social.
5.      Dalam Islam terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang kemasyarakatan mendapat pahala yang lebih besar dari ibadah sunnah.[26]
Melihat perkembangan zaman yang modern, studi Islam dengan pendekatan sosiologis akan berguna bagi kehidupan masyarakat muslim yang telah jauh tertinggal dari dunia barat. Kedua sumber ajaran Islam dapat dijadikan patokan utama dalam meningkatkan kualitas kehidupan yang lebih baik bagi kebangkitan umat Islam masa sekarang dan yang akan datang.
Untuk dapat memahami fenomena-fenomea yang terjadi di Masyarakat pendekatan sosiologis adalah pendekatan yang paling tepat untuk dapat memahami pola-pola dan gerak-gerik yang terjadi dalam sebuah masyarakat. Berawal dari penyelidikan dan pemahaman yang mendalam dari struktur-struktur yang terdapat pada contoh terdahulu, maka dapat dilihat bahwa pendekatan sosiologis punya signifikansi dan kontribusi yang besar dalam menjawab fenomena-fenomena yang terjadi dalam sebuah masyarakat.
Sementara dari aspek hukum dan fiqih hanya melihat benar dan salah atau halal dan haram semata tanpa melihat kepada gejala-gejala perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.


BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Sosiologi adalah studi sistematis mengenai keadaan kelompok dan masyarakat dan gejala-gejalanya yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Sosiologi adalah salah satu disiplin ilmu yang mempunyai banyak sub-disiplin.
Karena beragama merupakan sebuah kecenderungan alami manusia, dan telah menjadi sebuah fenomen yang banyak ditemukan di seluruh ummat manusia di kebanyakan wilayah, maka dengan sendirinya agama menjadi sebuah fenomena sosial yang tentu layak dikaji dengan pendekatan sosiologi. Termasuk di dalamnya adalah agama Islam. Kehidupan beragama kaum muslimin merupakan fenomena sosial yang menyediakan ruang lingkup kajian yang begitu luas.
Pendekatan sosiologis dalam kajian-kajian keIslaman sebenarnya bukanlah sebuah tradisi yang benar-benar baru. Banyak kalangan mengakui bahwa pendekatan ini telah lama digunakan dalam tradisi intelektual Islam, seperti penelitian kedhabitan para periwayat hadist yang dilakukan oleh imam-imam Hadist, akan tetapi Ibn Khaldunlah yang kemudian memakai pendekatan ini dengan metode yang lebih sistematis.
Pendekatan Sosiologi mempunyai peluang yang sangat besar untuk berkembang dalam lingkup studi Islam. Dengan begitu kontribusinya kemudian dalam tradisi intelektual Islam tentu saja akan sangat besar.

DAFTAR RUJUKAN


Abdulsyani. 2007. Sosiologi (Sistematika, Teori, dan Terapan). Jakarta: Bumi Aksara
Abdullah, Amin. 2000. Mencari Islam, Studi Islam dengan Berbagai Pendekatan. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Beilharz, Peter. 2002 Teori-Teori Sosial. Jogjakarta: Pustaka Pelajar
Fanani, Muhyar. 2008. Metode Studi Islam. Yogyakarta: Pustaka pelajar.
Ishomuddin. 2002. Pengantar Sosiologi Agama. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Jurdi, Syarifuddin. 2010. Sosiologi Islam dan Masyarakat Modern. Jakarta: Prenada Media Group.
Kahmad, Dadang. 2009. Sosiologi Agama. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Lubis, Nur Ahmad Fadhil. 2000. Agama Sebagai Sistem Kultural. Medan: IAIN Press.
Mubarak, Zulfi. 2006. Sosiologi Agama. Malang: UIN Malang Press.
Naim, Ngainun. 2009. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: Teras
Polak, Maijor. 1991. Sosiologi Suatu Buku Pengantar Ringkas. Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, cet-12.
Qodir, Zuly. 2011. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rahmat, Jalaluddin. 1986. Islam Alternatif. Bandung: Mizan
Saifuddin Ansari, Endang. 1993. Wawasan Islam. Jakarta : Raja Grafindo Persada, cet,4
Soekanto, Soejono. 1990.  Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.



[1] Abdul Syani, Sosiologi Dan Perubahan Masyarakat (Lampung: Pustaka Jaya, 1995) hlm. 2
[2] Tim MGMP, Sosiologi SUMUT, Sosisologi (Medan: Kurnia, 1999) hlm. 3.
[3] Ishomuddin. Pengantar Sosiologi Agama. Jakarta: Ghalia Indonesia. 2002. Hlm 10
[4] Abdulsyani. Sosiologi. Jakarta: Bumi Aksara. 2007. Hlm 5-6
[5] Ngainun Naim. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: Teras. 2009. Hlm 121
[6] Ishomuddin. Pengantar Sosiologi Agama. Jakarta: Ghalia Indonesia. 2002. Hlm 10
[7] Muhyar Fanani. Metode study Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2008. Hlm 20
[8] Ibdi, hlm 21
[9] Ishomuddin. Pengantar Sosiologi Agama. Jakarta: Ghalia Indonesia. 2002. Hlm 23
[10] Muhyar Fanani. Metode study Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2008. Hlm 31-33
[11] Soejono Soekanto.  Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.1990
[12] Peter Beilharz. Teori-Teori Sosial. Jogjakarta: pustaka pelajar. 2002.
[13] Soejono Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1990
[14] Peter  Beilharz. Teori-Teori Sosial. Jogjakarta: pustaka pelajar. 2002.
[15] Suryono Sukanto. Mengenal Tujuh Tokoh Sosiologi. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 2002.
[16] Ngainun Naim. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: Teras. 2009. Hlm 121-129
[17] Nur Ahmad Fadhil Lubis. Agama Sebagai Sistem Kultural. Medan: IAIN Press. 2000,hlm. 2
[18] Maijor Polak. Sosiologi Suatu Buku Pengantar Ringkas. Jakarta:Ikhtiar Baru Van Hoeve,cet-12, 1991. Hlm 320
[19] Nur Ahmad Fadhil Lubis. Agama Sebagai Sistem Kultural. Medan: IAIN Press, 2000. Hlm 3
[20] Nur Ahmad Fadhil Lubis. Agama Sebagai Sistem Kultural. Medan: IAIN Press, 2000. Hlm 4
[21] Nur Ahmad Fadhil Lubis. Agama Sebagai Sistem Kultural. Medan: IAIN Press, 2000. Hlm 5
[22] Amin Abdullah dkk. Mencari Islam (studi Islam dengan berbagai pendekatan). Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. 2000, hlm  30
[23] Ibid, Amin Abdullah. hlm  31-33
[24] Lihat QS: al-Baqarah,143,an-Nisa 59,al-Anfal 46,al-Maidah 3,al-Hujarat 13,Ali Imran 103, al-Mukminun 52.
[25] Endang Saifuddin Ansari. Wawasan Islam. Jakarta :Raja Grafindo Persada, cet,4, ,1993,h.64
[26] Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif. Bandung: Mizan 1986,hlm.48

Tidak ada komentar:

Posting Komentar