Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Senin, 14 Mei 2018

MAKALAH PENDEKATAN HERMENEUTIKA DALAM MEMAHAMI TURATH



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Sebagaimana yang terjadi dalam kalangan muslim terhadap penyikapan lahirnya sebuah metode hermeneutika yang menawarkan sebagai salah satu cara untuk menginterpretasikan teks, menimbulkan polemik dari beberapa ilmuwan muslim karena secara sadar khawatir akan hilangnya sakralitas teks.
     Pada kali ini, Hasan Hanafi yang menjadi kajian pemakalah. Hasan Hanafi yang dikenal sebagai ulama kontemporer Timur ini ternyata memiliki corak berbeda dengan lainya. Pada gaya berpikirnya, dia berusaha melakukan perlawanan terhadap Barat (istighrab). Jika dilihat dari spektrum teoritis filosofisnya, watak pemikiran Hanafi memang kiri dan revolusioner.
   Hasan Hanafi yang dikenal sebagai tokoh kiri (al-Yasar al-Islam) itu, mendasarkan diri pada dialektika yang dikategorisasikan sebagai pemikir pemabaharu. Ini terlihat dalam upaya Hanafi pada proyek Turats wa al-Tajdid. Dia menganggap bahwa turats bukanlah teks klasik yang tidak bermakna. Sebaliknya, menurut Hanafi teks klasik itu terdapat energei hidup dan daya dobrak tentang kesadaran berpikir, perilaku, dll.
  Upaya yang dilakukan Hanafi dalam hal ini tidak lain ingin menghidupkan turats yang selama ini mengalami kemandegan. Maka, dengan metode hermeneutika yang dia tawarkan agar dapat membaca teks, Al-Quran khususnya dengan wacana kekinian. Singkat kata, dapat menggali objektivitas sosial dengan Al-Quran.
   Metode yang Hanafi tawarkan dianggap sangat menarik karena ada sisi yang lebih menyentuh dari beberapa metode yang mucul belakangan, yaitu melakukan pembacaan teks yang dapat memihak sebuah kelompok. Wacana demikian karena Hanafi menggabungkan dua mazhab, antara Marxisme dan filosis. Maka, menurutnya, Al-Quran tidak diungkap secara retorik yang bertele-tele, melainkan bagaimana dapat menghasilkan poin Al-Quran untuk dasar kekinian dan dapat bersentuhan dengan sosial kultural manusia.
Fenomena tajdid, sebenarnya telah terjadi jauh sebelum Islam lahir dan akan terus berlangsung hingga sekarang ini. Mujadid sebelum Islam adalah para Nabi yang telah dibebani tugas tajdid. Peristiwa ini telah diisyaratkan dalam hadits Nabi saw., beliau bersabda: “Yang membimbing Bani Israil adalah para Nabi, tatkala Nabi yang satu wafat maka Nabi yang lain akan datang menggantikannya…” (HR. al-Bukhari dan Muslim). Tajdid yang mereka lakukan bukan pada ranah ushul agama, melainkan pada syariatnya saja. Seperti yang dilakukan oleh Nabi Isa a.s. yang telah memberikan keringanan syariatnya Bani Israil.
Dan islam adalah agama terakhir yang pernah ada dimuka bumi hingga akhir nanti. Islam sendiri juga telah melakukan tajdid atas agama-agama sebelumnya. Jika mujadid adalah para Nabi, maka apakah mungkin saat ini akan ada mujadid baru mengingat Nabi Muhammad saw adalah penutup para Nabi? Jika demikian, maka yang pasti akan meneruskan mata rantai mujadid adalah ulama. Mengapa demikian? Karena ulama adalah pewaris Nabi, mereka dipandang memiliki kedudukan yang sama dengan Nabinya Bani Israil dalam hal mengemban tugas tajdid seperti sabda Nabi: “Ulamanya umatku seperti Nabinya Bani Israil”.
  1. Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud Turath?
2.      Bagaimana pendekatan hermeneutika dalam memahami Turath?
3.      Apa yang dimaksud Tajdid?
  1. Tujuan
1.      Untuk mengetahui maksud dari Turath.
2.      Untuk mengetahui pendekatan hermeneutika dalam memahami turath.
3.      Untuk mengetahui maksud dari Tajdid.
BAB II
PEMBAHASAN
A.  Turath
1.    Pengertian Turath
Walaupun tradisi sering digunakan untuk menterjemahkan perkataan al-turath dalam bahasa Arab, namun pada hakikatnya perkataan tradisi tidak dapat menggantikan perkataan al-turath karena terdapat perbedaan yang terlihat antara keduanya. Perkataan tradisi memberi konotasi yang negatif. Dalam kamus-kamus Inggris, tradisi tradition) berasal dari perkataan Latin, tradition yang bermaksud menyerahkan (surrender, delivery) perkataan ini dan makna segala pandangan dan doktrin, amalan, peribadatan, adat kebiasaan, yang diwariskan dari satu generasi ke generasi lain. Ia juga adalah ajaran-ajaran yang tidak tertulisdaripada para nabi dan pembesar agama (The Encyclopedia of Religion 1987). Ia lebih kepada cerita dongeng (folklore, legend) dan mitos yang diturunkan dari generasi ke generasi melalui komunikasi lisan. Oleh karena citra negatif yang dibawa oleh tradisi tersebut, maka pemikir-pemikir Barat melihat tradisi tidak relevan untuk dijadikan panduan dan pedoman dalam kehidupan kontemporari. Sehingga Auguste Comte ada mengatakan tradisi adalah “the dead govern theliving”, Bloom (1987) pula mengatakan: “as soon as tradition has come to berecognized as tradition, it is dead”.
Menurut Jabiri memulai dengan mendifinisikan turats (tradisi). Tradisi dalam pengertiannya yang sekarang tidak dikenal di masa Arab klasik. Kata “tradisi” diambil dari bahasa Arab “turats”, tetapi di dalam al-Quran tidak dikenal turast dalam pengertian tradisi kecuali dalam arti peninggalan orang yang telah meninggal. Karenanya yang dimaksud turats (tradisi) menurut Jabiri adalah sesuatu yang lahir pada masa lalu, baik masa lalu kita atau orang lain, masa lalu itu jauh atau dekat dan ada dalam konteks ruang dan waktu. Tradisi adalah produk periode tertentu yang berasal dari masa lalu dan dipisahkan dari masa sekarang oleh jarak waktu tertentu.[1]
Kemudian Jabiri mencoba menjembatani antara realitas tradisi Arab dengan modernitas yang dialami Barat. Walaupun Jabiri mengakui bahwa modernitas Eropa mampu menjadi representasi kebudayaan “universal”, tetapi modernitas Eropa tidak mampu menganalisis realitas kebudayaan Arab yang terbentuk jauh di luar dirinya. Menurutnya, konsep modernitas–pertama dan paling utama adalah dalam rangka mengembangkan sebuah metode dan visi modern tentang tradisi. Karena modernitas adalah upaya melampaui pemahaman tradisi, yang terjebak dalam tradisi ini, untuk mendapatkan sebuah pemahaman modern, dan pandangan baru tentang tradisi.[2]
Turats menurut pemahaman Barat adalah hasil sebuah peradaban umat masa lampau, yang perlu ditinjau ulang menurut barometer keilmuan kontemporer. Pemahaman tersebut muncul akibat pertarungan antara gereja dan gerakan pembaharuan. Doktrin-doktrin gereja sering kali memasung perkembangan dan gerakan pembaharuan. Selain itu, ajaran-ajran gereja terkesan lambat dan tidak bisa mengikuti perkembangan zaman. Sehingga, kaum pembaharu memberontak dan ingin lepas dari kungkungan doktrin-doktrin gereja. Mereka mengritik teks-teks Taurat dan  Injil, yang nota benenya sudah banyak di manipulasi oleh para pendeta dan pemimpin agama. Dengan pemahaman tersebut, Barat ingin menerapkannya pada seluruh Turats yang merupakan peradaban umat manusia. Mereka menerapkan pemahaman tersebut “Turats“ hasil peradaban  Yunani, Fir’aun, India dan Persia. Demikian pula, mereka melakukan hal yang sama, ketika berhadapan dengan apa yang mereka namakan “Turats“ Islam.
Seperti yang kita ketahui, bahwa peradaban dan kebudayaan Islam serta ajaran-ajarannya sangat berbeda dengan doktrin-doktrin gereja maupun dengan peradaban umat-umat lainnya. Maka, sangatlah  tidak tepat jika kita berinteraksi dengan “Turats”  Islam, tetapi menggunakan metodologi yang diadobsi dari ajaran agama lain. Selain itu, mereka (Barat) membentuk konspirasi terselubung untuk menghancurkan Islam dari dalam dengan memisahkan kebudayaan Islam pada masa lalu dengan masa sekarang, untuk kemudian digantikannya dengan kebudayaan Barat. Hal itu mereka lakukan, karena mereka mengetahui bahwa “Turats“  Islam, merupakan dokumentasi sejarah yang dijadikan panduan umat Islam untuk membangun peradabannya yang baru, dikarenakan “Turats” tersebut terkait dengan wahyu langit, yaitu Al Quran dan Hadist.
2.    Turath dan Pembaharuan
Turâts merupakan segala sesuatu yang sampai kepada kita dari masa lalu dalam peradaban yang dominan, sehingga merupakan masalah yang diwarisi sekaligus masalah penerima yang hadir dalam berbagai tingkatan Sementara pembaharuan merupakan penafsiran ulang atas tradisi sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan zaman, karena yang lama mendahului yang baru. Turâts merupakan pijakan awal sebagai upaya pembaharuan dengan merubah tatanan sosial menuju kemodernan. Karena turâts merupakan bagian identitas suatu bangsa, maka ia menjadi tanggung jawab nasional.[3] Meski demikian, bukan berarti bahwa seluruh identitas umat berada dalam turâts. Identitas juga terkait dengan kemodernan. Menurut Hasan Hanafî, jika insan muslim hanya terpaku pada turâts, berarti ia menjadi manusia tertutup yang hanya memiliki identitas semu.[4]
Hasan Hanafî juga memberkan kritikan terhadap mereka yang selalu taklid kepada generasi salaf. Menurutnya, taklid merupakan pengingkaran terhadap peran akal dalam kehidupan. Bahkan taklid merupakan fenomena dari keterbelakangan. Generasi awal Islam adalah generasi terbaik. Mereka mampu membawa umat Islam pada titik kemajuan. Meski demikian, mereka adalah orang yang sangat menentang taklid.[5]
Tidak ada modernitas tanpa orisinalitas. Modernitas yang lepas dari nilai dan norma masa lalu berarti melepas identitas sendiri dan menukarnya dengan identitas yang lain. Turâts merupakan sarana dan modernitas merupakan tujuan. Turâts dapat dijadikan alat bantu untuk mencari solusi alternatif terhadap berbagai probematika yang sedang dihadapi umat Islam. Turâts dapat ikut andil menghapus segala sesuatu yang dapat menghambat kemajuan. Turâts tidak memiliki arti berharga jika dibiarkan mati dalam sejarah, namun ia akan hidup dan dapat menjadi spirit pembaharuan jika disikapi secara kritis. Dengan demikian, ia dapat menjadi sarana untuk merubah manusia sebagai subyek pembaharuan.
Merubah pandangan hidup manusia merupakan sesuatu yang sangat urgen dalam pembaharuan. Kegagalan pembaharuan di negara-negara ketiga dalam berbagai sektor kehidupan; perindustrian, pertanian dan lain sebagainya berangkat dari kegagalan mereka dalam membangun sumber daya manusia. Revolusi industri hanya akan berhasil jika didahului dengan revolusi kemanusiaan terlebih dahulu. Dan revolusi kemanusiaan dapat berangkat dari dalam; dari identits suatu bangsa yang tercermin melalui turâts masa lalu.[6]
Tidak ada turâts yang keluar dari lingkup sosial dan sejarah. Turâts selalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan kondisi sosial politik tertentu dan pada waktu tertentu. Turath tumbuh sebagai kelanjutan terhadap turâts sebelumnya. Turâts merupakan ekspresi pemikiran dalam kurun waktu tertentu. Turâts bukanlah hadiah yang turun dari langit, namun ia berjalan seiring dengan perjalanan sejarah dan terbentuk dalam ruang lingkup sejarah. Turâts menuliskan berbagai peristiwa dalam realitas social kemasyarakatan.[7]
Turâts sendiri dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu turâts secara materi dan turâtsnon materi. Turâts materi berupa peninggalan masa lalu, seperti kitab dan manuskrip yang terdapat di berbagai perpustakaan Islam yang tersebar di seluruh dunia. Turâts seperti ini belakangan mendapatkan perhatian lebih dari berbagai pemikir Islam kontemporer. Banyak upaya untuk mengadakan revitalisasi turâts Islam dengan mencetak ulang buku peninggalan masa lalu tersebut, baik dilakukan tahqîq terlebih dahulu atau tidak. Revitalisasi kitab turâts juga nampak dalam berbagai seminar yang selalu mengangkat pemikiran dan wacana turâts klasik Islam, pengiriman delegasi ke berbagai perpustakaan internasional untuk kembali mengumpulkan turâts klasik untuk kemudian diadakan kajian dan disebarluaskan dalam berbagai jurnal keislaman.
Hanya saja, menurut Hasan Hanafî revitalisasi turâts tidak hanya melakukan pencetakan ulang terhadap manuskrip masa lalu sesuai dengan tren masyarakat. Beliau sangat menyayangkan jika revitalisasi turâts terkesan “bisnis intelektual”. Jika maysarakat sedang tertarik dengan wacana tasawuf, maka yang dicetak dan disebarluaskan adalah berbagai buku seputar tasawuf. Jika masyarakat sedang mengimpikan terwujudnya tatanan negara ideal, maka yang diterbitkan adalah buku“daulah al-fâdhilah” karya al-Farabiy. Dan jika muncul wacana mengenai kemuduran umat yang disebabkan karena umat Islam jauh dari al-Qur’an dan Sunnah, maka diadakan pencetakan Mushaf dan kitab-kitab Hadis. Di sini revitalisasi turâts belum sampai pada misi dan visi yang diharapkan. Revitalisasi turâts baru sebatas pada upaya-upaya menghidupkan turâts sesuai dengan kebutuhan pasar. Jika demikian, maka kemodernan sebagaimana yang dicita-citakan masyarakan sulit tercapai.
Kerdua: turâts sebagai peninggalan sejarah yang berupa gambaran realita masa lalu. Maksudnya adalah bahwa berbagai buku dan manuskrip tersebut tidak datang dari ruang hampa. Turâts juga tidak independen lepas dari alam realita. Bahkan ia merupakan abstraksi terhadap kondisi sosio-kultural yang berkembng dalam sejarah masa lalu. Realitas itulah yang sesungguhnya sangat menentukan atas eksistensiturâts. Spirit generasi terdahulu, baik dari fase pembentukan peradaban, perkembangan maupun kemunduran dan kehancuran suatu peradaban dapat dilihat dari turâts yang ditinggalkan. Turâts masa lalu sesungguhnya adalah jawaban terhadap berbagai problematika yang sedang dihadapinya. Variasi fenomena realita berakibat pada variasi nilai turâts. Dengan demikian, turâts bukan kumpulan analisa dan abstraksi masa lalu yang statis, namun ia merupakan kumpulan dari berbagai wacana analisa dalam sosio-kultur dan sosio-historis tertentu. Perbedaan manusia dalam memandang realita kehidupan juga berimplikasi terhadap variasi turâts yang ditinggalkan.[8]  
Dari sini maka turâts adalah wacana psikologis dalalam masyarakat. Nilai psikologis inilah yang sesungguhnya membentuk identitas suatu bangsa. Jika turâts adalah sebuah peninggalan masa lalu, maka nilai psikologi merupakan ruh yang diwariskan generasi terdahulu yang masih hidup dan berkembang dalam tatanan masyarakat Islam. 
Hassan Hanafi menawarkan suatu sistem teologi yang terangkup dalam proyek al-turath wa al-tajdid atau „tradisi dan pembaharuan‟, baginya teologi merupakan sebagai ilmu pengetahuan yang vertindak sebagai analisis teoritis tindakan, sedangkan ilmu-ilmu pengetahuan sosial adalah aplikasi-aplikasi sistem kepercayaan tersebut.[9] Proyek ini terdiri dari suatu keseimbangan antara penegasan keotentikan dan keuniversalan Islam yang kuat dan sebuah kritik atas sebagian besar bentuk dan artikulasi Islam dalam pengalaman sejarah yang aktual. 
Hassan Hanafi menawarkan suatu sistem teologi yang terangkup dalam proyek al-turath wa al-tajdid atau „tradisi dan pembaharuan‟, baginya teologi merupakan sebagai ilmu pengetahuan yang vertindak sebagai analisis teoritis tindakan, sedangkan ilmu-ilmu pengetahuan sosial adalah aplikasi-aplikasi sistem kepercayaan tersebut.[10] Proyek ini terdiri dari suatu keseimbangan antara penegasan keotentikan dan keuniversalan Islam yang kuat dan sebuah kritik atas sebagian besar bentuk dan artikulasi Islam dalam pengalaman sejarah yang aktual. 
Berdasarkan ide besarnya yang berhubungan dengan tradisi dan pembaharuan (al-turath wa al-tajdid), sekaligus sebagai rangkaian metodologi yang secara bertahap harus dikuasai terlebih dahulu. Hassan Hanafi berusaha mengangkat tema pembacaan kritis atas dunia Barat dengan tetap berpijak pada realitas ego yang dimiliki tradisi lama. Artinya, menangkap ada problem epistemologis yang bersembunyi, baik dalam tradisi Timur maupun tradisi Barat, yang kemudian menjadikan Timur Inferior (sebagai kesalahan membaca tradisi) dan munculnya Barat sebagai superior ego atas the other. Adapun tiga langkah yang ditempuh Hassan Hanafi adalah; pertama, membangun “sikap kita terhadap tradisi lama”, ia merekonstruksi bangunan teologis dalam tradisi klasik sebagai alat untuk transformasi sosial. Kedua, menyatakan “sikap kita terhadap Barat”, ia berusaha melakukan kajian kritis terhadap peradaban Barat, terutama melihat kemunculan kesadaran Eropa melalui studi oksidentalisme. Ketiga, meretas “sikap kita terhadap realitas” melalui pengembangan teori dan pengembangan paradigma interpretasi.[11]
Jika peradaban lain berawal dari realitas yang kemudian membentuk suatu pemikiran, maka sesungguhnya nilai dan norma masa lalu adalah bagian dari realitas kehidupan umat. Hanya sayangnya, menurut Hasan Hanafi, banyak hal negatif yang berkaitan dengan sikap psikis umat, namun kemudian menjadikan agama sebagai jusifikasi. Hasan Hanafi memberikan beberapa contoh, seperti masyarakat Arab yang tunduk dan cenderung menyetujui kepemimpinan dengan cara pengangkatan oleh pemimpin sebelumnya, kemudian sebagai pembenaran menyandarkannya dengan nash al-Qur’an atau Sunnah, atau mengenai keterbelakangan umat dengan justifikasi qadha dan qadar, dan demikian seterusnya. Sikap negatif seperti ini diterima masyarakat secara turun-temurun tanpa ada sikap kritis, yang berakibat buruk dalam tatanan masyarakat Islam. Dengan kata lain, bahwa meski umat Islam saat ini hidup di abad XXI, namun secara psikologi sesungguhnya masih terbelakang dan hidup pada abad Islam klasik. Umat Islam masih terpengaruh dengan dualisme pemikiran dalam memandang dunia sebagaimana diwariskan oleh al-Kindi, percaya terhadap sistem Pyiramida dalam mengelompokkan status sosial masyarakat sebagaimana diwariskan oleh al-Farabi, serta bersikap pasrah terhadap takdir Tuhan sebagaimana diwariskan oleh para tokoh sufi.
Dari sini sesungguhnya eksistensi turâts masih ada dalam tatanan masyarakat Islam.Turâts masih mempengaruhi cara pandang mereka terhadap hidup dan kehidupan. Melihat kenyataan seperti ini, pembaharuan turâts menjadi suatu keniscayaan. Pembaharuan yang berangkat dari peninggalan tradisi masa lalu, namun kemudian menyesuaikan dengan konteks kemodernan. Revitalisasi turâts bukanlah pembelaan terhadap masa lalu, namun sesungguhnya menyikapi secara kritis terhadap realita masyarakat. Pembaharuan berarti memanfaatkan energi yang terpendam dalam masyarakat serta mengoptimalkan untuk merubah suatu tatanan baru yang lebih sesuai dengan realitas kontemporer. Revitalisasi turâts akan menghalau segala sesuatu yang dapat menghambat perkembangan dan kemajuan dalam masyarakat. Pembaharuan berarti merubah kebodohan dan kepercayaan umat terhadap tahayul, menjadi masyarakat yang rasional, menghilangkan taklid buta kepada sikap kritis.
Turâts dan pembaharuan megekspresikan sikap yang sudah selayaknya dilakukan. Masa lalu dan masa kini adalah dua komponen yang ada dalam psikologi sosial umat dalam menyikapi realitas sejarah masa lalu dan realitas kehidupan kontemporer. Mengadakan kajian kritis terhadap turâts berarti juga mengkaji pemikiran kita untuk menghadapi realitas kontemporer. Dengan kata lain, bahwa turâts dan pembaharuan menjadi suatu ilmu baru sebagai sebuah identitas untuk mengembangkan umat dalam menghadapi masa depan agar sesuai dengan harapan. Dengan berangkat dariturâts, maka umat tidak akan kehilangan identitas sebagai seorang muslim.[12]
Turâts dan pembaharuan juga sebagai wujud kritis tarhadap masa lalu.   Turâts dan pembaharuan tidak akan menutup diri, namun akan selalu terbuka dalam menghadapi berbagai wacana pemikiran Islam klasik, yang berarti memungkinkan untuk menerima berbagai ide yang dahulu ditolak. Dengan kata lain, kebutuhan realitas kontemporerlah yang sangat menentukan pemilahan turâts terdahulu. Jika sebelumnya teologi Asy’âriyah yang cenderung menyerahkan segala sesuatu kepada Tuhan, maka bisa jadi saat ini kita mengambil teologi Muktazilah yang lebih banyak memberikan porsi terhadap peran manusia di muka bumi. Segala kemungkinan tersebut bukanlah hal mustahil dalam proyek turâts dan pembaharuan. Peradaban Islam klasik adalah peradaban yang memiliki berbagai wacana pemikiran yang sangat beragam yang dapat dimanfaatkan umat dalam mencari solusi alternatif.[13]
Secara singkat turâts dan pembaharuan dapat dilakukan meliputi tiga tataran, yatu:
1.    Menganalisa latar belakang pembentukan dan perjalanan turâts dari segi sosio-kultural dalam suatu peradaban.
2.    Menganalisa struktur psikologi masyarakat dan mengkaji lebih mendalam mengenai pengaruh peninggalan masa lalu dalam realitas kehidupan mereka.
3.    Menganalisa realitas sosial masyarakat yang melingkupi pembentukan turâts.
Penerapan tiga hal di atas, berarti mengadakan sebuah peralihan kajian dari analisa sosial menjadi analisa terhadap tingkah laku masyarakat. Artinya perpindahan analisa dari ilmu antropologi menuju ilmu psikologi sosial dalam masyarakat yang dapat diarahkan pada revolusi sosial dan politik.[14]
Dalam memandang turâts dan pembaharuan, terdapat tiga aliran besar. Hanya saja menurut Hasan Hanafî, ketiganya masih menyisakan banyak masalah. Solusi alternatif yang ditawarkan belum mampu membangkitkan umat dari keterpurukan. Tiga aliran tersebut adalah:
1.    Mereka yang hanya merasa cukup dengan turâts klasik. Kelompok ini cenderung membanggakan warisan masa lalu dan menganggap bahwa masa lalu adalah gambaran masa depan. Bagi mereka, generasi awal Islam adalah generasi terbaik, sehingga untuk sampai pada kemodernan, alernatif utama adalah kembali mengikuti langkah-langkah para pendahulu. Hanya kelemahan golongan ini adalah terlalu menyakralkan turâts tanpa ada sikap kritis terhadapnya. Mereka terjebak pada impian generasi awal, sementara lupa bahwa realitas sosial masyarakat Islam telah berubah
2.    Mereka yang berusaha memutuskan peradaban Islam dari realitas sejarah. Bagi golongan ini, umat Islam akan maju jika dapat melepas belenggu turâts. Kembali pada turâts berarti kembali ke masa lalu dan melanggengkan umat pada keterbelakangan. Bagi Hasan Hanafî, golongan seperti ini juga akan menimbulkan banyak masalah. Baginya, tidak ada bangsa yang dapat lepas dari tradisi masa lalu.Turâts merupakan identitas, dan melepas turâts berarti melepas identitas suatu bangsa.
3.    Mereka yang berusaha mengambil turâts klasik yang masih sesuai dengan konteks kekinian, serta menjadikan realitas kontemporer sebagai timbangan. Golongan ini berusaha menyingkronkan antara turâts klasik dan realitas kontemporer. Hanya dalam kenyataannya tidak sesuai dengan idealisme.
Pembaharuan model ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pembaharuan dari luar dan pembaharuan dari dalam. Pembaharuan dari luar adalah menjadikan nilai kemodernan yang berasal dari luar sebagai timbangan. Sementara pembaharuan dari dalam adalah menampakkan berbagai kemajuan yang diperoleh umat Islam klasik sebagai timbangan komodernan. Menurut Hasan Hanafi bahwa keduanya memiliki nilai negatif. Mereka yang menjadikan nilai luar biasanya akan menganggap bahwa budaya Timur klasik banyak terpengaruhi budaya luar. Dari sini mereka cenderung meletakkan Timur sebagai bagian dari Barat. Sementara pembaharuan dari dalam lebih memperlihatkan kemajuan peradaba Islam klasik, baik dari segi rasionalitas, sistem ekonomi, sistem musyawarah dan lain sebagainya. Pandangan kedua golongan tersebut masih sangat parsial dan tidak menyeluruh.
Bagi Hasan Hanafi, turâts adalah pandangan kita terhadap realitas sosial masyarakat, sementara pembaharuan adalah reinterpretasi terhadap turâts sehingga dapat diketahui mengenai elemen-elemen penting dalam realitas masyarakat kontemporer agar dapat dilakukan perubahan. Hal ini dapat dilakukan dengan dua cara sekaligus, baik dengan melihat turâts terlebih dahulu sebagai upaya memahami realitas kontemporer atau memahami realitas kontemporer terlebih dahulu baru kembali kepada turâts. Keduanya akan menghasilkan konklusi yang sama.[15]
B.       Pendekatan Hermenetik dalam memahami Turath
Sebagaimana yang terjadi dalam kalangan muslim terhadap penyikapan lahirnya sebuah metode hermeneutika yang menawarkan sebagai salah satu cara untuk menginterpretasikan teks, menimbulkan polemik dari beberapa ilmuwan muslim karena secara sadar khawatir akan hilangnya sakralitas teks.
Pada kali ini, Hasan Hanafi yang menjadi kajian pemakalah. Hasan Hanafi yang dikenal sebagai ulama kontemporer Timur ini ternyata memiliki corak berbeda dengan lainya. Pada gaya berpikirnya, dia berusaha melakukan perlawanan terhadap Barat (istighrab). Jika dilihat dari spektrum teoritis filosofisnya, watak pemikiran Hanafi memang kiri dan revolusioner.
Hasan Hanafi yang dikenal sebagai tokoh kiri (Al-Yasar Al-Islam) itu, mendasarkan diri pada dialektika yang dikategorisasikan sebagai pemikir pemabaharu. Ini terlihat dalam upaya Hanafi pada proyek Turats wa Tajdid. Dia menganggap bahwa turats bukanlah teks klasik yang tidak bermakna. Sebaliknya, menurut Hanafi teks klasik itu terdapat energei hidup dan daya dobrak tentang kesadaran berpikir, perilaku, dll.
Upaya yang dilakukan Hanafi dalam hal ini tidak lain ingin menghidupkan turats yang selama ini mengalami kemandegan. Maka, dengan metode hermeneutika yang dia tawarkan agar dapat membaca teks, Al-Quran khususnya dengan wacana kekinian. Singkat kata, dapat menggali objektivitas sosial dengan Al-Quran.
 Metode yang Hanafi tawarkan dianggap sangat menarik karena ada sisi yang lebih menyentuh dari beberapa metode yang mucul belakangan, yaitu melakukan pembacaan teks yang dapat memihak sebuah kelompok. Wacana demikian karena Hanafi menggabungkan dua mazhab, antara Marxisme dan filosis. Maka, menurutnya, Al-Quran tidak diungkap secara retorik yang bertele-tele, melainkan bagaimana dapat menghasilkan poin Al-Quran untuk dasar kekinian dan dapat bersentuhan dengan sosial kultural manusia.
1.    Pengertian Hermeneutika
Secara harfiah, hermeneutika artinya “tafsir”. Secara etimologis, istilah hermeneutika dari bahasa Yunanin hermeneuin yang berarti menafsirkan. Istilah ini merujuk pada seorang tokoh mitologis dalam metologi Yunani yang dikenal dengan nama Hermes (Mercurius). Di kalangan pendukung Hermeneutika ada yang menghubungkan sosok Hermes dengan nabi Idris. Dalam mitologi Yunani, Hermes dikenal sebagai dewa yang bertugas menyampaikan pesan-pesan Dewa kepada manusia. Dari tradisi Yunani pula, hermeneutika berkembang sebagai metodologi penafsiran Bibel, yang di kemudian hari dikembangkan oleh para teolog dan filosof di Barat sebagai metode penafsiran secara umum dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora.
   Peran Hermes dalam hal ini dianggap sangat urgen, karena sebagai penyampai pesan-pesan suci dari Tuhan. Maka, konsekuensinya jika penerjemahan itu salah, secara tidak langsung merombak vitalitas kesakralan pesan Tuhan. Dan, jika keliru dalam hal interpretasi, pastilah ajaran dan misi Tuhan kepada manusia akan mengalamai disorientasi.
The New Encyclopedia Britannica menulis, bahwa hermeneutika adalah studi prinsip-prinsip general tentang interpretasi bibel. Tujuan dari hermeneutika sendiri adalah untuk menemukan kebenaran dan nilai-nilai dalam Bibel. Dan, hermeneutika bukan hanya sekedar tafsir, melainkan satu “metode tafsir” tersendiri atau filsafat tentang penafsiran yang sangat bisa berbeda dengan Al-Quran.[16]
Sejauh ini, sebuah metode yang dinamakan “hermeneutika” menjadi sangat ramai dalam pembahasan sebagai bahan interpretasi pada sebuah teks. Dan kali ini yang terdengar sangat menarik berdasarakan dari berbagai sumber adalah hermeneutik yang dipelopori Hasan Hanafi.
2.     Hermeneutika Hasan Hanafi
Dalam hal ini, Hanafi memiliki pemikiran hermeneutik yang berbeda dengan lainnya. Dengan dalih, demi mendapatkan pembacaan Al-Quran yang bertendensi objektivistik dan menganggap kurang praktis sebagaimana yang telah dilakukan oleh para pemikir Islam kontemporer, seperti Fazlur Rahman dan Arkoun, Hanafi mengembangkan seperangkat metodologi tafsir sosial atas Al-Quran dengan pendirian teoritis yang bisa dikatakan sangat berbeda dengan lainnya.
Metode seperti di atas dimaksudkan Hanafi untuk mendapatkan penafsiran Al-Quran yang lebih dekat dengan problem kemanusiaan, seperti kemiskinan, penindasan dan ketidak adilan. Maka dari itu, Hasan Hanafi menawarkan sebuah hermeneutik Al-Quran yang bercorak sosial dan eksistensial.[17]
Sebagaimana yang kita telah pelajari, ada hal yang berbeda dengan metodologi yang pernah ditawarkan oleh para pemikir sebelumnya, seperti yang disebutkan di atas. Misalkan metode yang ditawarkan oleh Fazlur Rahman. Rahman hanya mengembangkan seperangkat metode tafsir dengan menggunakan pendekatan historis dan sintetik anlitis untuk menemukan universalitas pesan moral Al-Quran yang tidak jarang bersembunyi di balik aturan-aturan legal spesifiknya.[18]
 Sedangkan model pendekatan yang diajukan Arkoun pada dasarnya dimunculkan sedapat mungkin syarat-syarat teoritis bagi kemungkinan suatu pembacaan yang idealnya bertepatan dengan maksud-maksud pemaknaan yang asli dari Al-Quran pada tahap wacana, dan bukan pada tahap teks. Maka dari itu, Arkoun menyarankan bahwa perkembangan mutakhir dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora tidak dapat dikesampingkan dalam memahami Al-Quran. Pada titik ini, dia menekankan pentingnya semiotika, linguistik modern dan hemeneutika kontemporer.[19]
 Selanjutnya, Hasan Hanafi sebenarnya jauh-jauh hari telah mengintroduksi penggunaan hermeneutik sebagai metodologi tafsir, meskipun pada awalnya dikaitkan dengan metodologiUshul Fiqh. Itu telah dilakukan oleh Hanafi sejak menulis disertasinya di Sorbone, kemudian ditulis dalam banyak karyanya. Bahkan, dalam salah satu proyek peradaban “al-turats wa al-tajdid”. Dalam buku itu, Hanafi telah menggandengkan sebuah metodologi penafsiran realitas sosial yang dapat dibaca melalui Al-Quran.[20]
  Hasan Hanafi menggunakan hermeneutik dalam konteks tersebut sebagai bagian dari eksperimentasi metodologis untuk melepaskan diri dari kemandegan teoritisasi ushul fiqh. Dan, ini sebagai hal yang menonjol dari pemikiran Hanafi yang secara umum tendensi ideologisnya yang sarat dengan maksud-maksud praksis. Tipikal pemikiran semacam ini sangat berbeda dengan mayoritas umat Islam yang masih terkungkung tradisionalisme dan ortodoksi. Seperti yang dikatakan oleh Chourry, “sementara sebagian umat Islam adalah kanan atau fasis, Hanafi justru memilih posisi “kiri” dari Islam yang progresif dan revolusioner”.[21]
Yang menjadi unik pada Hanafi, dia pertama kali yang melakukan pendobrakan terhadap wacana Barat yang selama ini dibuntuti para ulama Timur. Wacana oksidentalismeterhadap Barat yang dilakukan oleh Hanafi, seakan-akan mengajak jihad kepada orang-orang muslim untuk melawan Barat. Ini sudah melekat pada diri Hanafi muda semenjak ikut pada pergerakan ikhwan di Mesir.[22]
3.     Realisasi Hermeneutik Hasan Hanafi.
Gagasan Hanafi tentang hermeneutika Al-Quran yang telah disusun dan diberi penafisran ulang, kemudian diletakkan dalam sebuah konteks yang lebih luas dari pelbagai studi yang ada, baik dalam studi penafsiran Al-Quran, klasik dan kontemporer, maupun diskursus hermeneutika kontemporer.
Teks-teks Hanafi yang secara khusus membiacarakan atau terkait langsung dengan hermeneutika Al-Quran dapat dilihat dalam beberapa karyanya yang tersebar dalam dunia keilmuan. Selain disertasi pertamanya mengenai metode penafsiran dalam hukum Islam (ushul fiqh), juga dalam bukunya Qadaya Mu’asirah: fi fikrina Al-Muashir (1976) ada tiga artikel yang membahas terkait hermeneutika Al-Quran. Masing-masing artikelnya berjudul Hal Ladaina Nazariyyah Fi Al-Tafsir?, Ayyuhuma Asbaq: Nazariyyah fi Al-Tafsir am Manhaj Fi Tahlil Al-Khabarat?, dan Aud ila Al-Manba am Aud ila al-Tabiah?.
Kemudian, dengan munculnya Al-Din wa Al-Tsaurah fi Mishr (1989) yang merupakan kumpulan ulasan artikel-artikelnya yang menyinggung atas pandangannya terhadap hermeneutik, seperti dalam artikel yang bertema Ulum Al-Quran, seperti Asbab Al-Nuzul, Masalahah. Dan dalam karyanya tersebut, : Al-Yamin wa Al-Yasar fi Fikr Ad-Dini, terdapat pandangan Hanafi mengenai Madza Ta’ni Asbab An-Nuzul? Manahij Al-tafsir wa Masalih Al-Ummah, dan Ikhtilaf fi Al-tafsir am ikhtilaf fi Al-Mashalih?.
 Dan, karya Hanafi yang dapat dikatakan terakhir mengenai hermeneutik Al-Quran yang telah rampung pada tahun 2000 adalah Al-Wahyu wa Al-Waqi’: Dirasah fi Asbab an-Nuzul.Tulisan tersebut berisikan beberapa konsep Hanafi mengenai peran wahyu bagi kehidupan, hubungannya dengan realitas, dan interpretasi yang sejalan dengan kehidupan.
 Sebenarnya, teori-teori yang dirumuskan oleh Hasan Hanafi merupakan proyek reformasi. Karena, ditujukan sebagai proyek reformasi untuk melengkapi proses rekontruksi peradaban Islam pada dua tahap yang lebih awal. Yaitu, penyikapan terhadap warisan klasik dan penyikapan terhadap warisan Barat.[23]
  Dan, dalam analisis yang lebih jauh, Hasan Hanafi dalam teori penafsirannya mengatakan bahwa teoritis yang dilakukan adalah sebuah teori yang menentukan relasi antara wahyu dan realita, antara agama dan dunia, atau antara Allah dengan manusia. Maka dari itu, menurut Hanafi, wahyu harus ditempatkan ulang sebagai sumber dan obyek pengetahuan.[24]  Dalam hal ini, Kiri Islam Hanafi mendukung terwujudnya pandangan dunia dalam Al-Minthaq (manifestasi) Nasser, sebuah analisis yang layak karena Hanafi sendiri yang menerjemahkan Al-Hizb Al-Tali’i (partai garda depan), yang dibentuknya sebagai tulang punggung Islam Kirinya menjadi partai poletar. Melihat teori penafsiran dengan kelogisan wahyu, berakibat Hanafi mencoba merekonstruksi seluruh peradaban Islam, merujuk pada apa yang dikatakan Hans Kung “peran Injil yang bebas”.
  Pemikiran hanafi seperti itu muncul untuk mendobrak pemikiran para ilmuwan muslim sebelumnya yang masih terbelenggu dalam penafsiran yang ciut. Maka, dasar yang disarankan oleh Hanafi agar menggunakan paradigma yang lebih luas ketika membaca Al-Quran. Hanafi menyeru kepada pembaca Al-Quran supaya kembali pada alam. Seruan ini bukan berarti bahwa dia menginginkan Al-Quran diganti dengan alam. Melainkan, alam sebagai objek ketika membaca Al-Quran.[25]
4.     Elaborasi Hanafi dalam Hermeneutika
Manurut Hanafi, ada dua perbedaan terbesar yang substansial antara hermeneutika Barat dengan Islam. Dalam hermeneutika Yunani dan Kristen Barat, tugas Rasul (Tuhan Hermes/Christ) adalah menerjemahkan pesan Tuhan kepada umat manusia. Begitu pula, dalam tradisi Islam, Malaikat Jibril (Roh Kudus) tidak mempunyai hak untuk menerjemahkan wahyu teks Allah, karena dia hanya seorang mediator antara dia dengan Nabi Muhammad Saw.
 Menurut Hanafi, dengan “kesadaran yang netral” Jibril mendiktekan wahyu Allah. Hanafi menegaskan, “i authenticite de I information”, “depend de la neutralite de la consience du rapporteur.”pada gilirannya, seperti Jibril, Nabi Muhammad Saw harus mengadopsi kesadaran netral (al-wa’yu) dalam menyampaikan ayat-ayat Tuhan. Seperti kitab suci lainnya, Al-Quran adalah sebuah teks kuno bagi pembacanya, dan oleh karena itu diperlukan permasalahan psikologis (yakni, permasalahan menjembatani perbedaan budaya dan waktu antara pengarang dengan pembacanya).
 Dalam pendekatan fenomenologi Hanafi, hermeneutika adalah ilmu yang menentukan relasi antara kesadaran dengan obyeknya, yakni kitab suci.[26] Hermeneutik Hasan hanafi dibangun dari berbagai pengandaian dalam fenomenologi dan Marxisme, dua mazhab pemikiran dengan paradigma yang bertolak belakang yang ia sintesakan ke dalam disiplin dan pendirian hermeneutika filosofis.[27]
Sebagai sarjana yang matang dalam tradisi pemikiran Barat dan filsafat hukum Islam, Hasan Hanafi tidak tanggung-tanggung dalam eksperimentasi hermeneutika Al-Quran. Ia membangun landasan hermenetis di atas empat pilar. Dari khazanah klasik ia memilih ushul fiqh, sementara fenomenologi, Marxisme di samping hermeneutika itu sendiri dari tradisi intelektual Barat. Dan, dari tradisi ilmu-ilmu keislaman klasik. Hermeneutika Al-Quran Hanafi sengaja memanfaatkan landasan ushul fiqh sebagai titik tolak. Sebab, secara praktis ia melihat adanya keterkaitan erat antara kegiatan penafsiran di satu sisi dan proses pembentukan hukum di sisi yang lain.
Mengingat adanya pembentukan hukum dalam hal ini, maka jelas ushul fiqhkompatibel dengan kepentingan hermeneutik Hasan Hanafi yang berbicara tentang kebutuhan dan kepentingan kaum Muslim dalam menghadapi berbagai persoalan kontemporer mereka.
Maka dari itu, dalam hal ini Hasan Hanafi memperbincangkan beragam problematika teoritis yang berkenaan dengan masalah-masalah sosial dalam ushul fiqh, seperti asbab abnuzhul, an nasikh wal mansukh, dan maslahah. Asbab annuzul dimaksudkan oleh Hanafi untuk menunjukkan prioritas kenyataan sosial. Sementara an-nasikh wal mansukhmengasumsikan gradualisme dalam penetapan aturan hukum.[28]
Sebagai hermeneutika bertujuan praksis, Hasan Hanafi berusaha menghindari penafsiran yang bertele-tele, dan sekaligus mengarahkan pada tema-tema sosial al-Quran. Dal hal ini, Hanafi menggariskan beberapa karakteristik hermeneutikanya sebagai berikut:
Pertama, harus mampu menghasilkan tafsir yang sifatnya spesifik (al-tafisr al-juzi). Artinya, ia menafsirkan ayat-ayat tertentu Al-Quran dan bukan keseluruhan teks Al-Quran. Tafsir tersebut mengarahkan kepada kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Jika yang dibutuhkan pembebasan bangsa dari kolonialisme, maka penafsiran dilakukan terhadap ayat-ayat perang, jihad, dan sebagaianya, ketimbang terhadap ayat-ayat lain.
 Kedua, tafsir semacam ini disebut juga tafsir tematik. Ketiga, hermeneutik bersifat temporal (Tafsir al-Zamani). Maka penafsir disarankan agar memberikan gambaran tertentu atas apa yang diinginkan masyarakat. Keempat, berkarakter realistik (tafsir al-waqii). Yakni memulai penafsiran dari realitas kaum muslimin, kehidupan dengan segala problematikanya, krisis dan kesengsaraannya dan bukan tafsir yang tercerabut dari masyarakat. Kelima hermeneutik Hanafi berorientasi pada makna tertentu dan bukan merupakan perbincangan retorik tentang huruf dan kata. Karena, dalam hal ini wahyu memiliki tujuan terhadap kepentingan masyarakat.
Keenam, tafsir eksperimental. Ia adalah tafsir yang sesuai dengan kehidupan dan pengalaman hidup mufasir yang bersifat eksistensial. Ketujuh, perhatian pada problem kontemporer. Bagi Hanafi, seorang mufasir tidak dapat memulai penafsirannya tanpa dimulai dengan perhatian atau penelitian tentang masalah kehidupan. Kedelapan, posisi sosial penafisr. Hal ini mufasir harus ditentukan posisi sosialnya ntuk mengenal corak penafsiran. Penafsiran adalah bagian dari struktur sosial.
 Menurutnya, studi tentang “kenabian” yaitu poblematika yang menyangkut probabilitas relasi integral antara manusia dengan Tuhan serta menyampaiakan risalahNya pada hakikatnya. Atau, diartikanya sebagai tugas manusia dalam menyampaikan risalah masa lampau. Sedangkan pada persoalan “kiamat”, yang meliputi hari kebangkitan, perhitungan pahala, dan siksa. Hanafi menganggap bahwa “kenabian” adalah diskursus masa lampau manusia, dan “kiamat” sebagai diskursus masa depan manusia.
Hanafi menyangkal penafsiran ulama-ulama klasik yang mengeksplorasikan “kiamat” sebagaia masa depan manusia dalam meta kematian. Dia menganggap krisis manusia yang sebenarnya itu di bumi, sebelum mati. Namun, para mufasir dahulu mengartikannya sebagai krisis di langit, sedangkan krisis sebenarnya pada saat ini di bumi.[29]
5.     Tugas Penting Hasan Hanafi
Pada titik ini, rupanya Hasan Hanafi memiliki dua tugas penting yang telah menjadi proyek hermeneutikanya, yaitu: persoalan metode (teori penafsiran) dan filsafat tentang metode (mata teori tentang penafsiran). Secara metodis, Hanafi menawarkan sebuah cara baca baru terhadap teks (hermeneutika teks) Al-Quran dengan stressing point pada dimensi-dimensi liberasi dan emansipatoris dari Al-Quran. Sedangankan agenda matateoritiknya, Hanafi selalu menyuguhkan pelbagai diskripsi, kritik, bahkan bertindak sebagai dekonstruktor pada teori lama yang lazim diperbincangkan sebagai kebenaran dalam metodologi penafsiran klasik.[30]
Maka, tidak heran jika Hanafi dengan tegas mengoreksi status objektivitas dalam interpretasi sebagai gejala positivisme yang justru kerap menyembunyikan ideologi penafsir. Dan, hal penting inilah yang rupanya belum pernah ada koreksi dari para penfasir klasik. Pada intinya, yang menjadi acuan utama Hanafi dalam hermeneutikanya adalah bagaimana menyikapi teks untuk dapat diinterpretasikan dalam keadaan sosial. Atau dalam bahasa lain, bagaimana suatu teks itu dapat merjuk pada realitas.
  Dalam hermeneutikanya, Hanafi tidak saja memperbincangkan apa-apa saja yang terjadi dalam penafsiran Al-Quran, tetapi juga tanpa ragu-ragu menegaskan pentingnya penafsiran Al-Quran yang memiliki kepentingan jelas bagi kemanusiaan dan perubahan sosial. Oleh sebab itu, Hanafi hadir dengan hermeneutikanya untuk meletakkan Al-Quran sebagai bagian dari strategi kultural.
  1. Tajdid
1.      Pengertian Tajdid
Tajdid secara etimologi adalah menjadikan sesuat yang lama/qadim menjadi baru/jadid. Maksudnya adalah keadaan sesuatu yang telah terkontaminasi oleh sesuatu hal yang lain, kemudian diupayakan agar kembali pada keadaannya semula. Upaya mengembalikan pada keadaannya yang semula inilah yang dinamakan tajdid. Jika demikian tajdid adalah mengembalikan pada keadaan sesuatu sebelum berubah.
Adapun tajdid secara terminology adalah (1) Menghidupkan/ihya’ dan membangkitkan kembali ajaran-ajaran agama Islam yang telah luntur atau terlupakan. (2) Beramal sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. (3) Membumikan al-Qur’an dan as-Sunnah dalam kehidupan sehari-hari.
Menghidupkan kembali di sini memiliki arti mengembalikan ajaran-ajaran Islam yang telah banyak luntur agar kembali hidup sebagaimana yang telah dipraktikkan semasa Nabi Muhammad saw. Adapun maksud dari membumikan al-Qur’an dan as-Sunnah adalah melakukan ijtihad agar keduanya dapat dipraktikan ditengah-tengah umat. Itjithad seperti ini pernah dilakukan oleh Sahabat Nabi, Muadz ibn Jabal ketika Rasulullah bermaksud mengutusnya ke Yaman beliau bertanya:
Apabila dihadapkan kepadamu satu kasus hukum, bagaimana kamu memutuskannya?, Muadz menjawab: Saya akan memutuskan berdasarkan Al-Qur’an. Nabi bertanya lagi: Jika kasus itu tidak kamu temukan dalam Al-Qur’an?, Muadz menjawab:,Saya akan memutuskannya berdasarkan Sunnah Rasulullah. Lebih lanjut Nabi bertanya: Jika kasusnya tidak terdapat dalam Sunnah Rasul dan Al-Qur’an? Muadz menjawab:, Saya akan berijtihad dengan seksama. Kemudian Rasulullah menepuk-nepuk dada Muadz dengan tangan beliau, seraya berkata:, Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan Rasulullah terhadap jalan yang diridloi-Nya.”(HR.Abu Dawud)[31]
2.      Dalil diisyaratkannya Tajdid
Istilah tajdid adalah istilah syar’i yang bersumber kepada hadits Nabi Muhammad saw, yang berbunyi:
إِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا
Artinya: “Sesungguhnya Allah SWT mengutus untuk umat ini setiap awal seratus tahun orang yang memperbaharui agamanya.” (HR. Abu Daud).
إِنَّ الإِيمَانَ لَيَخْلَقُ فِي جَوْفِ أَحَدِكُمْ كَمَا يَخْلَقُ الثَّوْبُ الْخَلِقُ ، فَاسْأَلُوا اللَّهَ أَنْ يُجَدِّدَ الإِيمَانَ فِي قُلُوبِكُمْ .
Artinya: “Sungguh, iman itu dapat usang sebagaimana pakaian dapat menjadi usang. Karenanya mohonlah selalu kepada Allah agar memperbaharui iman yang ada dalam jiwamu.” (HR. Ath-Thabrani dan Al-Hakim).
جَدِّدُوْا إِيْمَانَكُمْ قَالُوْا كَيْفَ نُجَدِّدُ إِيْمَانَنَا قَالَ أَكْثِرُوْا مِنْ قَوْلِ لا إِلَهَ إِلَّا الله
Artinya: Rasulullah bersabda, ‘perbaharuilah iman kalian semua! ‘Para sahabat bertanya, bagaimana caranya ya Rasulullah? Kemudian Rasulullah menjawab, ‘perbanyaklah membaca La ilah illah Allah.” (HR. Ibnu Hanbal)
3.      Perlunya Tajdid dalam Islam
Tajdid adalah suatu keniscayaan. Dan ia adalah suatu hal yang alami dalam kehidupan. Semua yang ada disekitar manusia melakukan tajdid, karena hidup senantiasa bergerak progresif. Demikian juga waktu yang terus berputar. Ia juga melakukan tajdid. Waktu yang telah berlalu berbeda dengan waktu sekarang dan yang akan datang. Dengan begitu, permasalahan baru senantiasa muncul dan membutuhkan legitimasi hukum yang kuat dari ajaran islam, baik permasalahan politik, ekonomi maupun sosial.
Disamping itu, pengembangan serta pengamalan ajaran Islam itu sendiri, seiring bergantinya zaman juga semakin lesu dan tidak bergairah, sehingga ajaran Islam nyaris lenyap tak tersisa. Karena itulah, tajdid sangat diperlukan guna membangkitkan kembali gairah dan semangat keagamaan. Sehingga dengan itu, Islam akan senantiasa sholih di segala zaman dan tempat.[32]
4.      Siapakah Mujadid itu?
Ulama berbeda pendapat mengenai lafadz “man” dalam hadits Nabi di atas. Ada yang berpendapat bahwa lafadz tersebut menunjukkan arti “seorang” bukan “sekumpulan”. Dan yang lainnya berpendapat bahwa lafadz itu menunjukkan arti “sekumpulan orang”. Yang paling unggul/rajih adalah pendapat terakhir yang mengatakan bahwa lafadz tersebut menunjukkan arti “sekumpulan orang”. Ini berarti, seorang mujadid tersebar dibeberapa daerah dan sesuai dengan bidang keilmuannya masing-masing. Dan sungguh tidak mungkin jika mujadid itu berasal dari kalangan fuqaha saja, apa lagi hanya bermazhab syafi’iyah.
Pendapat yang terakhir juga dikuatkan dengan perkataanya Imam an-Nawawi ketika mensyarah hadits Thaifah Manshurah di dalam syarah Shahih Muslim, beliau berkata:

ويحتمل أن هذه الطائفة مفرقة بين أنواع المؤمنين، منهم شجعان مقاتلون، ومنهم فقهاء، ومنهم محدثون، ومنهم زهاد وآمرون بالمعروف وناهون عن المنكر، ومنهم أهل أنواع أخرى من الخير. ولا يلزم أن يكونوا مجتمعين، بل قد يكونون متفرقين في أقطار الأرض
“boleh jadi thaifah manshurah ini tersebar di antara banyak golongan kaum muskmin ; di antara mereka ada para pemberani yang berperang, para fuqaha’, para ahli hadits, orang-orang yang zuhud, orang-orang yang beramar makruf nahi mungkar, dan juga para pelaku kebaikan lainnya dari kalangan kaum mukin. Mereka tidak harus berkumpul di satu daerah, namun bisa saja mereka berpencar di penjuru dunia.”
5.      Syarat Seorang Mujadid
a.    Syarat Intelektual
Seorang mujadid harus memiliki kecerdasan yang kuat serta mumpuni dalam ilmu syariat dan ilmu alat-nya. Seorang mujadid juga harus mengetahui kondisi zamannya dengan baik dan kondisi zaman dahulu yang sarat makna. Selain itu juga harus memiliki kecakapan olah tulisan dan lisan guna menyebarkan ide-ide segarnya dan ilmunya.
b.    Syarat Kredibilitas
Seorang mujadid juga harus memiliki prilaku yang baik, yakni perbuatan yang berdasarkan ilmu. Tujuannya agar menjadi tauladan yang baik bagi umat Islam. Seorang mujadid juga harus memiliki keberanian dalam menegakkan kebenaran dan menolak kebathilan. Selain itu, seorang mujadid juga dituntut harus mampu berbuat adil demi melestarikan kemashlahatan umat, memiliki perangai yang baik, mencintai dan menyayangi umat Islam serta zuhud dari gemerlapan dunia.[33]


6.      Batasan-Batasan Tajdid
a.       Di dalam tajdid harus dibedakan antara wahyu Ilahi dan pemikiran Islam. Wahyu Ilahi adalah sesuatu yang mutlak kebenarannya dan tidak ada tajdid dalam ranah ini, karena ia ma’shum. Adapun pemikiran Islam adalah produk ulama Islam yang senantiasa membutuhkan tajdid.
b.       Dan tajdid juga berlaku pada kondisi sosial, politik, ekonomi, dan penghayatan keagamaan umat Islam. Seorang mujadid harus menyadari dan memahami problem kekinian tentang kondisi tersebut agar dapat dicarikan solusi cerdas untuk menjaga kemashlahatan umat.
c.        Permasalahan tajdid merupakan permasalahan yang benar-benar dikuasai oleh seorang mujadid yang memiliki kompetensi dan pengetahuan yang singkron. Dengan demikian, akan tertolak dengan sendirinya bila ada seorang yang mencoba untuk melakukan tajdid tapi tidak memiliki kompetensi dalam permasalahan tersebut, seperti Syahrur, Arkoun, Nasr Hamid dan lain sebagainya.
d.       Tajdid juga berkisar pada permasalahan-permasalahan yang memang dibutuhkan oleh umat Islam.
7.      Ranah Tajdid
Secara global, tajdid di dalam Islam mencakup dua macam, yakni tajdid al-‘ilmi dan tajdid al-‘amali. Yang dimaksud dengan tajdid al-‘ilmi adalah membangkitkan kembali hukum syariat yang telah luntur agar lebih bergairah dan hidup. Menghidupkan kembali ilmu-ilmu keislaman serta berusaha menjawab permasalahan-permasalahan kekinian. Bidang ini meliputi tajdid dalam ranah akidah, hadits, tafsir, fikih, ushul fikih dan lainnya. 
Dalam ranah akidah misalnya, seorang mujadid akan senantiasa mengembalikan dasar akidah umat Islam kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Kemudian mengkorelasikan akidah dengan aktifitas yang mereka kerjakan serta menjelaskan manfaat dan pengaruh akidah terhadap ketenangan jiwa mereka. Dalam hal ini, seorang mujadid dituntut untuk tanggap atas perkembangan pemikiran yang menyesatkan di lingkungan umat Islam yang dapat merusak akidah mereka.
Contoh tajdid al-‘ilmi dalam ranah fikih adalah menjawab segala jenis permasalahan kontemporer sembari mempertimbangkan kondisi umat serta adat kebiasaan mereka. Untuk zaman sekarang ini, sudah saatnya membutuhkan institusi/lembaga yang berhak mengeluarkan fatwa kolektif. Seorang mujadid juga harus menjelaskan kepada umat bahwa perbedaan pendapat/khilafiah adalah suatu kenisacayaan, karena itu dilarang keras fanatik terhadap suatu madzhab. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah menampakkan keluwesan dan kemudahan fikih dalam kehidupan.
Adapun maksud yang kedua, tajdid al-‘amali adalah tajdid terhadap kondisi umat Islam. Seorang mujadid akan berusaha untuk menghubungkan kembali segala aktifitas umat Islam dengan Tuhannya, Nabinya dan agamanya. Contoh tajdid dalam ranah ini adalah tajdid dalam pendidikan spiritual dan peningkatan iman. Tajdid dalam prilaku individu dan sosial. Tajdid dalam bidang interaksi dan dialog antar peradaban. Tajdid dalam menanggapi segala macam subhat keagamaan, semisal feminisme, sekularisme, liberalisme, HAM, islamphobia, dan lain-lain. Dan tajdid dalam paradigma keagamaan. Untuk yang terakhir ini akan dibahasa dalam sub bab tersendiri.[34]
8.      Tajdid Paradigma Keagamaan
Paradigma keagmaan dalam Islam juga memerlukan tajdid, di antara contoh-contoh paradigma yang penting digerakkan adalah sebagai berikut:
a.    Tajdid dari paradima berlebihan/ifrath dan penyepelean/tafrith ke paradigma moderat/wasathiyah. Moderat/wasathiyah adalah paradigma yang disyariatkan oleh Islam. Yang dimaksud dengan wasathiyah disini adalah keadilan, kebaikan, dan tawasuth antara dua kutub yang tercela. Dari wasathiya ini akan membuahkan rasa aman, kekuatan, keselarasan dan persatuan.
b.    Tajdid dari paradigma perpecahan dan perbedaan menuju paradigma kesatuan dan persatuan. Perbedaan adalah suatu hal yang niscaya, ia tidak bisa dihindari karena Allah sudah menghendaki perbedaan. Yang perlu ditekankan dalam paradigma kagamaan/keislaman adalah bagaimana mensikapi perbedaan tersebut. Karena itulah, penting untuk membedakan antara perpecahan/firqah dan perbedaan/khilaf. Perpecahan adalah suatu hal yang buruk dan tercela sedangkan perbedaan adakalanya tercela dan terpuji. Contoh dari perbedaan yang tercela adalah berbeda dalam permasalahan akidah. Berbeda dalam suatu perkara yang sudah pasti/qath’i, seperti wajibnya shalat, puasa, zakat, dan haji serta haramnya minum khamr. Adapun contoh dari perbedaan yang terpuji adalah perbedaan pendapat dalam hal menetapkan thalaq satu dan thalaq tiga. Praktik doa qunut dalam shalat subuh. Beda pendapat dalam hal batasan aurat wanita. Maka dalam perbedaan semacam ini (al-khilaf al-mahmud) tidak diperkenankan adanya perpecahan di antara umat islam.
c.    Tajdid dari paradigma memberatkan/ta’sir keagamaan menuju paradigma memudahkan/taisir dalam keagamaan. Taisir disini meliputi pemahaman dan penerapan.
d.    Tajdid dari paradigama tanfir menuju paradigma tabsyir. Yang dimaksud tabsyir adalah paradigma dakwah yang lebih menekankan cinta kepada manusia agar senang beribadah kepada Allah. Sedangkan tanfir adalah kebalikan dari tabsyir, yakni dakwah dengan cara pemaksaan.[35]

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.    Tradisi dalam pengertiannya yang sekarang tidak dikenal di masa Arab klasik. Kata “tradisi” diambil dari bahasa Arab “turats”, tetapi di dalam al-Quran tidak dikenal turast dalam pengertian tradisi kecuali dalam arti peninggalan orang yang telah meninggal.
2.    Upaya yang dilakukan Hanafi dalam hal ini tidak lain ingin menghidupkan turats yang selama ini mengalami kemandegan. Maka, dengan metode hermeneutika yang dia tawarkan agar dapat membaca teks, Al-Quran khususnya dengan wacana kekinian. Singkat kata, dapat menggali objektivitas sosial dengan Al-Quran. Metode yang Hanafi tawarkan dianggap sangat menarik karena ada sisi yang lebih menyentuh dari beberapa metode yang mucul belakangan, yaitu melakukan pembacaan teks yang dapat memihak sebuah kelompok. Wacana demikian karena Hanafi menggabungkan dua mazhab, antara Marxisme dan filosis. Maka, menurutnya, Al-Quran tidak diungkap secara retorik yang bertele-tele, melainkan bagaimana dapat menghasilkan poin Al-Quran untuk dasar kekinian dan dapat bersentuhan dengan sosial kultural manusia.
3.    Tajdid secara etimologi adalah menjadikan sesuat yang lama/qadim menjadi baru/jadid. Maksudnya adalah keadaan sesuatu yang telah terkontaminasi oleh sesuatu hal yang lain, kemudian diupayakan agar kembali pada keadaannya semula. Upaya mengembalikan pada keadaannya yang semula inilah yang dinamakan tajdid. Jika demikian tajdid adalah mengembalikan pada keadaan sesuatu sebelum berubah.


DAFTAR PUSTAKA
Husaini, dkk. 2008. Hermeneutika dan Tafsir Al-Quran, Jakarta: Penerbit Gema Insani.
B. Saenog, Ilham, 2002. Hermeneutika Pembebasan, Bandung. cet I
Fazlurrahman, 1998. Neo Modernisme Islam, Bandung: Mizan Media. cet I
Arkoun, M, 1994. Nalar Islami dan Nalar Modern, terj Rahayu S. Hidayat. Jakarta: INIS.
Mukadimah Prof. Amin Abdullah dalam buku Hermeneutika Pembebasan.
Hanafi, Hasan. 2004. Islamologi 3, Yogjakarta: LKIS. cet I.
Wijaya, Aksin. 2004, Menggugat Otensitas Wahyu Tuhan; Kritik Atas Nalar Tafsir Gender, Yogyakarta: Safiria Insania Press.
‘Abed al-Jabiri, Mohammed. 2003. Kritik Kontemporer Atas Filsafat Arab-Islam, Alih bahasa: Moch. Nur Ichwan, Yogyakarta: Islamika.
Hanafi, Hassan. 2002. Al-Turâts, wa al-Tajdîd Mauqifunâ mi al-Turâts al-Qadîm, Al-Mu’assasah al-Jâmi’iyyah li al-Dirâsât wa al-Nasyr wa al-Tauzî’, cet V, 2002.
Hanafi, Hassan. 1998. Humûm al-Fikri wa al-Wathan al-Turâts wa al-Ashru wa al-Hadâtsah, vol. I, Dâr Qabâ’ li al-Thabâ’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzî’, Kairo.
Hanafi, Hassan. Agama Ideologi dan Pembangunan, Jakarta: CV. Guna Aksara, 1991
Fariz Pari dkk, 2012. Tradisi Islam, Lembaga Penerbitan UIN Sunan Kalijaga. cet II



[1]. Aksin Wijaya, Menggugat Otensitas Wahyu Tuhan; Kritik Atas Nalar Tafsir Gender. Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004, hlm. 109.
[2]. Mohammed ‘Abed al-Jabiri, Kritik Kontemporer Atas Filsafat Arab-Islam, Alih bahasa: Moch. Nur Ichwan Yogyakarta: Islamika, 2003. hlm. 3.
[3]. Dr. Hasan Hanafî, Al-Turâts, wa al-Tajdîd Mauqifunâ mi al-Turâts al-Qadîm, Al-Mu’assasah al-Jâmi’iyyah li al-Dirâsât wa al-Nasyr wa al-Tauzî’, cet V, 2002, hal. 13.
[4]. Dr. Hasan Hanafî, Humûm al-Fikri wa al-Wathan al-Turâts wa al-Ashru wa al-Hadâtsah, vol. I, Dâr Qabâ’ li al-Thabâ’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzî’, Kairo, 1998, hal. 344.
[5]. Dr. Hasan Hanafî, Min al-Aqîdah ilâ al-Tsaurah, op. cit., hal. 26.
[6]. Dr. Hasan Hanafî, Al-Turâts, wa al-Tajdîd Mauqifunâ mi al-Turâts al-Qadîm, op. cit., hal. 13
[7]. Dr. Hasan Hanafî, Humûm al-Fikri wa al-Wathan al-Turâts wa al-Ashru wa al-Hadâtsah, op. cit., 344
[8]. Dr. Hasan Hanafî, Al-Turâts, wa al-Tajdîd Mauqifunâ mi al-Turâts al-Qadîm, op. cit., hal. 15. Lihat juga, Dr. Hasan Hanafî, ibid, hal. 344.
[9] Hassan Hanafi, Agama Ideologi dan Pembangunan, Jakarta: CV. Guna Aksara, 1991, hal. 8.
[10] Hassan Hanafi, Agama Ideologi dan Pembangunan, (Jakarta: CV. Guna Aksara, 1991, hal. 8.
[11] A.H. Ridwan, Reformasi Intelektual Islam, (Yogyakarta: Ittaqa Press, 1998), hal. 35.
[12]. Ibid, hal. 20.
[13]. Ibid., hal. 21-22.
[14]. Ibid., hal. 26.
[15]. Ibid, hal. 34.
[16]. Adian Husaini, dan Al-Baghdadi, Abdurrahman, Hermeneutika dan Tafsir Al-Quran, Jakarta: Penerbit Gema Insani, 2008, hal 7-8.
[17]. Ilham B. Saenog, Hermeneutika Pembebasan, Bandung: 2002, cet I hal 8.
[18]. Fazlurrahman, Neo Modernisme Islam, Mizan Media Bandung: 1998, cet I hal 57.
[19]. M. Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern, terj Rahayu S. Hidayat. Jakarta: INIS 1994.
[20]. Ilham B. Saenog, Hermeneutika Pembebasan, Bandung: 2002, cet I hal 10.
[21]. Ibid hal 11.
[22]. Mukadimah Prof. Amin Abdullah dalam buku Hermeneutika Pembebasan.
[23]. Fariz Pari dkk, Tradisi Islam, Lembaga Penerbitan UIN Sunan Kalijaga: 2012, cet II hal 127.
[24]. Hasan Hanafi, Qadaya Mu’asira, 1: 177.
[25]. Fariz Pari dkk, Tradisi Islam, Lembaga Penerbitan UIN Sunan Kalijaga: 2012, cet II hal 134.
[26]. ibid hal 136.
[27]. Ilham B. Saenog, Hermeneutika Pembebasan, Bandung: 2002, cet I hal 99.
[28].  “Hasan Hanafi Terlalu Teoritis untuk Dipraktikkan”, terj Saiful Muzani. Islamika, jilid 1 no 1, 1996
[29]. Hasan Hanafi, Islamologi 3, LKIS Yogjakarta: 2004, cet I hal 72
[30]. Mukadimah Prof. Amin Abdullah dalam buku Hermeneutika Pembebasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar