A.
Pemikiran
Al-Qabisi dalam Pendidikan Islam
Dalam konsep pendidikan al-Qabisi, ada beberapa pemikiran atau
pandangan, yaitu tentang pendidikan anak, tujuan pendidikan, kurikulum, metode
da teknik belajar, percampuran belajar antara murid laki-laki dan perempuan dan
demokrasi dalam pendidikan.
Abdul Ashir Samsuddin, menjelaskan pandangan al-Qabisi terhadap
pendidikan dan pengajaran yang membahas tentang belajar alquran dan
mengajarkannya adalah wajib bagi setiap muslim, adab belajar dan syarat-syaratnya,
adab mengajar dan syarat-syaratnya, metode mengajar dan asas pendidikan,
keihklasan dan aturan-aturan. Berikut konsep yang diberikan oleh al-Qobisi:
1.
Pendidikan Anak
Al-Qabisi memiliki perhatian yang besar terhadap pendidikan
anak-anak yang berlangsung di kuttab-kuttab.Menurutnya bahwa mendidik anak-anak
merupakan upaya amat strategis dalam rangka menjaga kelangsungan bangsa dan
Negara, oleh karena itu pendidikan anak harus dilaksanakan dengan penuh
kesungguhan dan ketekunan yang tinggi.
Al-Qabisi sebagai ahli fiqih dan hadis mempunyai pendapat tentang
pendidikan yaitu mengenai pengajaran anak-anak di kuttab-kuttab.Barangkali
pendapatnya tentang pendidikan anak-anak ini merupakan tiang yang pertama dalam
pendidikan Islam dan juga bagi pendidikan umat yang lainnya.Dengan lebih
memperhatikan dan lebih menekuni, maka mengajar anak-anak sebagai tuntunan
bangsa adalah merupakan tiangnya bangsa itu yang harus dilaksankan dengan penuh
kesungguhan dan ketekunan ibarat seperti membangun piramida pendidikan
(institusi pendidikan, pen). Berdasarkan fondasi yang kokoh dan kuat, oleh
karena itu ia tidak menjelaskan kepada kita dalam kitabnya “al-Mufasshalat”
tentang metoda pengajaran yang lain, hanya mencukupkan dengan metoda pengajaran
yang penting-penting.
Al-Qabisi tidak menentukan usia tertentu untuk menyekolahkan anak
di lembaga al-Kuttab. Oleh karena pendidikan anak merupakan tanggung jawab
orang tuanya semenjak mulai anak dapat berbicara fasih yakni pada usia mukallaf
yang wajib diajar bersembahyang (menurut hadis Nabi). Rasulullah saw bersabda
:” Perintahlah anak-anak kalian untuk mengerjakan sholat pada waktu usia tujuh
tahun dan pukullah mereka pada waktu usia sepuluh tahun.” Dari sabda Nabi
tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam dimulai pertama-tama di
rumah.Pendidikan anak di lembaga al-Kuttab hanyalah kelanjutan daripada tugas
pendidikan yang wajib ditunaikan oleh kedua orang tua di rumah.Anak-anak yang
belajar di kuttab mula-mula diajar menghafal alqur’an, lalu diajar menulis, dan
pada waktu dzuhur mereka pulang ke rumah masing-masing untuk makan siang,
kemudian kembali lagi ke kuttab untuk belajar lagi sampai sore.
Anak-anak yang belajar di kuttab berlangsung sampai akil baligh,
yang mempelajari berbagai ilmu seperti alqur’an, tulis menulis, nahwu dan
bahasa Arab, juga seringkali belajar ilmu hitung dan syair serta kisah-kiah
Arab.Akan tetapi yang terpenting adalah mempelajari alqur’an yang dimulai
dengan menghafal secara individual ataupun kelompok dimana guru membaca
berulang kali ayat-ayat pada langkah pertamanya, kemudian anak-anak membacanya
beruang-ulang mengikuti gurunya. Masing-masing anak diberi batu tulis untuk
menuliskan apa yang telah dihafal setiap harinya. Dengan cara ini jelaslah
bahwa kemampuan menulis dan membaca menjadi syarat mutlak untuk memahami
alqur’an, kemudian anak diharuskan menunjukkan apa yang ditulis di dalam batu
tulisanya pada hari berikutnya, lalu apa yang dituliskan di batu tulis (pada
hari kemarin) dihapus untuk ditulisi lagi dengan ayat-ayat berikutnya pada hari
selanjutnya.
Metode pengajaran dengan mengerjakan tugas berulang kali demikian
disertai dengan hafalan, tolong menolong antara satu dengan yang lain untuk
memantapkan hafalan, antara lain dengan menggerakkan tangan untuk menuliskan
apa yang dihafal, memfungsikan mata untuk mengamati dan membaca, serta
penggunaan daya menghafal dan mengingat, kemudian anak disuruh menunjukkan
hasilnya dihadapan guru. Jika anak berbuat kesalahan tulisan atau lalai tidak
menghafal atau karena pergi bermain-main, maka guru memberi hukuman kepadanya,
metoda ini sangat efektif kita jalankan sebagai metode modern.
Mula-mula anak diberi nasihat, lalu diasingkan dan diberi
peringatan keras lalu diberi pukulan, sebagai hukuman tahap akhir, jika dengan
melalui nasihat, petunjuk dan peringatan tidak mempan, maka perlu diberi
hukuman yang setimpal sebagai ujian bagi mereka, pada waktu anak dapat
menyelesaikan tugas menhafalkan alqur’an dengan sukses sepanjang tahun
menekuninya sampai khatam, maka guru hendaknya dapat memberikan hadiah
penghargaan dan pujian untuk mereka. Setelah selesai menghafalkan alqur’an
diberi pelajaran tambahan yang meliputi tahap ketrampilan seperti industri
rumah dan perdagangan (berdagang) untuk mencari nahfkah hidupnya, dan lain
sebagainya dari bidang-bidang ketrampilan, atau merea tetap belajar ditingkat
yang lebih tinggi.
Ali al-Jumbulati sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata menyebutkan
bahwa Al-Qabisi memiliki perhatian yang besar terhadap pendidikan anak-anak
yang berlangsung di kuttab-kuttab. Menurutnya mendidik anak-anak merupakan
upaya strategis dalam rangka menjaga kelangusungan bangsa dan Negara. Ada
beberapa pemikiran beliau tentang pendidikan anak-anak ini (ta'lim as-Shibyan)
yang menarik untuk didiskusikan.
a.
Pertama,
tentang jenjang pendidikan untuk anak-anak (marhalah ta'lim as-shibyan).
Al-qabisi menetapkan kuttab sebagai lembaga pendidikan pertama (marhlah awal)
bagi pesrta didik. Berbeda denga tokoh pendidik lain,A-Qabisi tidak membatasi
usia anak yang akan memasuki pendidikan di kuttab-kuttab ini. Namun meskipun
demikian Al-Qabisi melihat usia anak masuk sekolah seharusnya antara lima
sampai tujuh tahun. Beliau tidak menetapkan batasan umur, karena perbedaan
kematangan (psikologi) dan kecepatan pemahaman, menurutnya, ada pada setiap
anak manusia. Jadi, ada aspek psikologi
anak untuk menentukan apakah si anak telah berhak mendapatkan pendidikan
di kuttab atau belum. Pada tingkatan pertama ini, anak-anak masih dididik
dilembaga pendidikan kuttab sampai mereka balhig atau antara usia 13 sampai 15.
Dengan demikian pendidikan menurut pemikiran al-Qabisi berkisar antara 7 dan 9
tahun. Menurut beliau ada emapt unsur jenjang pendidikan : 1) Tempat belajar atau
yang disebut dengan kuttab, 2) Guru atau mu'allim, 3)Peserta didik atau
ash-Shabiy, 4) al-Qur'an sebagai materi yang diajarkan di kuttab ini.[1]
b.
Kedua, urgensi
dan pembiayaan pendidikan. Sesuatu yang sangat pelik dan harus diperhatikan
oleh pemerhati pendidikan menurutnya dalam, keengganan orang tua memasukkan
anaknya dibangku pendidikan tampa alas an yang dibenarkan. Dan yang tidak kalah
pentingnya adalah biaya belajar anak tau biaya pendidik. Pemerintah idealnya,
berkewajiban membuat anggaran penididikan dari harta Allah SWT, sebagaimana
wajibnya membangun fasilitas ummat dalam menjalankan kewajiban mereka. Tetapi
realitanya pemerintah melihat pendidikan anak adalah urusan indivu setiap
manusia. Khusus bagi anak Yatim dan orang miskin, nampaknya beliau menggunakan
pendekatan agama untuk mengatasinya.[2]
c.
Ketiga, gaji
guru. Pada masalah ini beliau berpendapat bahwa pendapat Imam Malik dan Sahnun
tentang berhaknya guru memperoleh gaji atau bayaran yang cukup, baik disaratkan
sebelumnya ataupun tidak. Ibnu Mas'ud menjelaskan sebagaimana dikutip oleh
al-Qabisi: “Tiga hal yang mesti ada bagi mansia: Pemimpin yang mengatur
diantara mereka, seandainya tidak ada (pemimpin) maka manusia akan memakan
manusia lainnya., membeli dan menjual mashaf, jika ini tidak ada akan runtuhlah
kitab Allah Swt, dan yang terakhir guru yang mengajari anak mereka dan
memperoleh gaji darinya, dan jika ini tidak ada, manusia akan menjadi bodoh”.
2.
Tujuan
Pendidikan Islam
Dr. Ahmad Fuad al-Ahwani, menjelaskan bahwa al-Qabisi tidak
merincikan tujaun yang ingin dicapai oleh peserta didik dalam pembelajaran
mereka terkecuali tujuan keagamaan (al-Ghardli al-Diniy) berbeda dengan tokoh
lain yang membagi sasaran atau tujuan pendidikan kepada beberapa tujuan seperti
tujuan agama, kemasyarakat atau social, kepuasan intektual, tujuan kajiwaan dan
lain-lain.
Ali al-Jumbulati sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata, mengtakan
secara umum tujuan pendidikan yang dipegangai oleh al-Qabisi adalah,
mengembangkan kekuatan akhlak anak, menumbuhkan rasa cinta agama, berpegang
teguh kepada ajaran-ajaran-Nya, serta berprilaku yang sesuai dengan nilai-niali
agama yang murni.[3]
Untuk pendidikan anak-anak tujuan pendidikan mereka adalah mengenal
agama jauh sebelum mereka mengenal yang lain, karena wajib hukumnya memberikan
pelajaran agama kepada mereka demikian al-Qabisi. al-Ahwani menganalisis,
ketika al-Qabisi memulai kitabnya dengan membahas iman dan Islam serta ditutup
dengan pembahsan qiraat dan keutamaan membaca al-Qur'an, itu arti, pendidikan
anak harus dimulai dengan mencetak mereka menjadi mukmin yang muslim dan
kemudia yang terakhir menjadikan mreka sebagai seorang yang pembaca al-Qur'an.[4]
Al-Qabisi menghendaki agar pendidikan dan pengajaran dapat
menumbuh-kembangkan pribadi anak yang sesuai dengan nilai-nilai Islam yang
benar.Lebih spesifik tujuan pendidikannya adalah mengembangkan kekuatan akhlak
anak, menmbuhkan rasa cinta agama, berpegang teguh kepada ajaran-ajarannya,
serta berperilaku yang sesuai dengan nilai-nilai agama yang murni.Di ssamping
itu juga al-Qabisi mengarahkan dalam tujuan pendidikannya agar anak memiliki
keterampilan dan keahlian pragmatis yang dapat mendukung kemampuanya mencari
nafkah.
3.
Kurikulum
Pendidikan Islam
Lingkungan sosial pada zaman al-Qabisi adalah lingkungan religius
yang bersih, karena tinjauan kurikulum pengajaran dari sudut keagamaan memang
sesuai dengan kurikulum yang dituntut oleh para ahli agama, karena ciri khas
kurikulum yang baik adalah jika tidak keluar dari tuntutan lingkungan
masyarakat. Di antara pendapat Al-Qabisi ialah bahwa agama itu mempersiapkan
anak untuk kehidupan yang seba baik, dan baginya kurikulum pendidikan dapat
dibagi menjadi dua kategori yakni kurikulum Ijbari (wajib) dan kurikulum
ichtiyari (tidak wajib) sebagai berikut:
a.
Kurikulum
Ijbari (Wajib)
Secara harfiah berarti kurikulum yang merupakan keharusan atau
kewajiban setiap anak. Kurikulum yang masuk ini adalah al-Qur'an, ada dua alas
an beliau tentang penetapan al-Qur'an sebagai kurikulum, yaitu : pertama,
al-Qur'an adalah Kalam Allah Swt. Dan Allah Swt dalam firman mengintruksikan
semangat beribadah dengan membaca al-Qur'an. Kedua, menurutnya al-Qur'an adalah
referensi kaum muslimin dalam masalah ibadah dan mu'amalat dan juga sesuatu
yang mustahil mengenal batasan syari'at
agama yang benar tampa mengenal sumber agama itu sendiri yaitu al-Qur'an.[5]
Dari kurikulum wajib yang ditawarkan al-Qabisi tampak jelas adanya
relefansi yang kuat antara tujuan pendidikan yang dibangun dan yang diinginkan
oleh al-Qabisi dengan wacana kurikulum yang beliau maksudkan. Semua kurikulum
itu, diharapkan mampu membawa peserta didik kepada suatu tujuan yaitu mengenal
agama dan ibadah yang diwajibkan kepada kaum muslimin. Uraian tentang kurikulum
menurut pandangan beliau di atas adalah untuk jenjang pendidikan dasar, yakni
pendidikan di al-Kuttab, sesuai dengan jenjang yang telah di kenal di masa itu.
Secara sederhana dapat di susun kurikulum Ijbari yang diinginkan oleh beliau
sebagai berikut: al-Qur'an, Shalat, do'a, menulis (al-Kitabah), ilmu Nahwu, dan
sebahagian Bahasa Arab.
b.
Kurikulum
Ikhtiyari
Menurut al-Qabisi ikhtiyari adalah: limu tentang berhitung, sya'ir,
kisah-kisah masyarakat Arab, sejarah Islam, dan ilmu Nahwu serta bahasa Arab
lengkap. Hal tersebut merelevansi kepada hadis nabi:
انمنالشعراحكمة
"Sesungguhnya di dalam sya'ir itu ada hikmah (ilmu)".
Selanjutnya ke dalam kurikulum ikhtiyari ini beliau memasukkan
pelajaran keterampilan yang dapat menghasilkan produksi kerja yang mampu
membiayai hidupnya dimasa depan. Menurut al-Ahwani, kurikulum yang dikonsepkan
al-Qabisi yaitu ada dua kesimpulan, pertama al-Qabisi mengabaikan aspek
kejiwaan dan pertumbuhan dalam merumuskan kurikulumnya. Kedua, atidak
memperhatikan (bahkan tidak memasukkan) ilmu-ilmu alam dan oleah raga dalam
kurikulumnya.
Metode yang pertama di atas jika ditinjau dari segi pendidikan
modern adalah lebih baik dan berdaya guna, karena seluruh kawasan negara Islam
dengan tanpa syarat menyetujui cara mendidik dengan mendahulukan pengajaran
al-Quran beserta dengan keharusan mengajarkan baca tulis, nahwu dan bahasa
Arab.
Jika memperbandingkan kurikulum yang ditetapkan untuk al-Kuttab
pada abad ketiga Hijriyah dengan yang diajarkan di al-Kuttab pada abad-abad
kemudian, maka tidak menemukan adanya perbedaan, esensi keberhasilannya terletak
pada sikap taat dengan taklid (mengikuti tanpa kritik) dan semangat
melestarikan peninggalan dari pendahulunya; al-Hafiz bin Rajab al-Baghdadi,
pada abad ke-8 memberikan gambaran tentang kurikulum itu sebagai berikut :
“Ilmu yang diandang bermanfaat dari ilmu-ilmu yang ada, diukur atas dasar
nas-nas dari kitab suci dan sunnah Nabi, beserta pemahaman pengertian yang
dikaitkan kepada riwayat para sahabat dan tabiin tentang pengertian dari kedua
sumber tersebut beserta ketetapan hukum-hukum halal dan haram, zuhud dan
berbudi halus, serta bijaksana dan sebagainya.”
Al-Qabisi tidak mau menerima prilaku yang merendahkan Al-Quran dan
ia mohon perlindungan kepada Tuhan dari perilaku seperti itu, Al-Qabisi
memberikan garis agar orang Islam meninggalkan jauh perilaku yang hina, karena
jika sampai terjadi penghinaan terhadap alquran maka pasti terjadi kerusakan
yang merajalela. Allah akan mencabut alquran dari lubuk hati kaum muslimin
apabila mereka tidak menghina dan menginjak-injak alquran.
Adapun kondisi lingkungan hidup sosial-budaya pada masa alquran
adalah bersifat keagamaan yang mantap sehingga tidak memungkinkan timbulnya
faham atheisme atau materialisme (seperti sekarang yang kita saksikan. Maka
dari iu alquran dan sholat beserta segenap ilmu yang berkaitan dengan
pemahamannya dikenal oleh setiap orang Islam, mulai dari usaha memotivasi
sampai kegiatan mempelajari ilmu-ilmu itu.
Al-Qabisi
memperkuat dan mengabadikan sistem yang sedemikian itu karena menjadi gambaran
yang benar dari semangat zamannya. Al-Qabisi bersama-sama ulama ahli fiqih dan
ahli hadits pada maa itu telah berusaha menerangkan kepada kita sikap /
pandangan mereka tentang kurikulum ijbary (wajib) yang menyatakan bahwa alquran
adalah kalam Allah dan menjadi sumber hukum dan tasyri’. Ia menjadi referensi
(tempat kembali) kaum muslimin dalam masalah ibadat dan mu’amalat. Allah
mendorong semangat untuk beribadah dengan membaca alquran sebagai berikut:
انّالّذينيتلونكتاباللهوأقامالصّلوةوأنفقواممّارزقناهمسرّاوعلانيةيرزجونتجارةلنتبور
“Sesungguhnya
orang-orang yang membaca kitab Allah dan mendirikan sholat dan membelanjakan
hartanya ke jalan Allah setengah dari apa yang Kami rezekikan kepada mereka
dengan cara diam-diam (rahasia) maupun dengan cara terang-terangan mereka
mengharapkan usaha dengannya tidak menderita kerugian. (QS. Fathir: 29).
Firman Allah di atas menetapkan bahwa alquran telah memerintahkan
agar tilawah, mendirikan sholat, berbuat ihsan, dilakukan bersamaan, tidak
terpisah satu sama lain.
Maka dari itu sembahyang adalah merupakan rukun poko dari semua
rukun agama dan di dalam bersembahyang harus dibaca beberapa ayat alquran.
Itulah sebabnya mengerti dan memahami alquran merupakan persyaratan untuk
melaksanakan kewajiban sembahyang lima waktu. Di samping itu dalam alquran terdapat
banyak fadhilah yang tak boleh dijauhi seperti Rasulullah saw telah
memerintahkan agar kita mempelajari alquran dengan segala seluk-beluk
sebagaimana sabda beliau : “Sebaik-baik kamu adalah orang yang mempelajari
Al-Quran beserta ilmunya.
Al-Qabisi sebagai ahli fiqih dan hadis memandang bahwa lebih baik
diajarkan alquran lebih dahulu pada anak sejak dini. Sedang ada pendapat lain
dikalangan ahli pendidikan Islam yang berbeda pendapat pendapat dalam hal
mendahulukan pengajaran alquran kepada anak usia dini, misalnya Abu Bakar bin
al-Arabi. Dia berpendapat bahwa.”Hendaknya kita mengajarkan anak usia dini
dengan syair dan bahasa Arab serta ilmu berhitung.”Walau demikian Ibnu Khaldun
menyetujui pandangan ini, kecuali bila hal itu tidak mendatangkan keselamatan,
maka pengajaran alquran harus didahulukan.
Al-Qabisi mensyaratkan pengajaran Al-Quran dengan tartil baik dan
tajwidnya, waqaf yang tepat, mengambil contoh dari pembaca yang bagus. Ia
memberi nasihat agar bacaannya bermanfaat di waktu mengerjakan sembahyang
fardlu bagi seluruh kaum muslimin, demikian juga kewajiban mengajarkan anak
sembahyang kepada anak usia tujuh tahun, jika anak tidak mau sembahyang pada
usia sepuluh tahun, ia harus dipukul dan sebagainya.
Al-Qabisi tidak mentolerir anak yang tinggal sembahyang, karena
tinggal sembahyang merupakan batas yang memisahkan antara kekufuran dan
ke-Islaman, ia mengajak agar mendalami makna do’a dalam sembahyang. (Hanya
kepada-Mu-lah kami beribadah (menyembah) dan hanya kepadaMu jualah kami memohon
pertolongan).
Kita melihat bahwa dengan mengintegrasikan antara kewajiban
mempelajari alquran dengan sembahyang dan berdo’a, berarti kita
mengintegrasikan antara hakikat berfikir, merasa dan berbuat (beramal).
Pandangan ini sesuai dengan ilmu jiwa yang diterapkan oleh al-Qabisi ke dalam
tiga prinsip yang logis yaitu : 1) Menumpahkan perhatian kepada pengajaran
alquran, karena ia adalah jalan yang ditempuh untuk menambah makrifat kepada
Allah serta mendekatkan kepadaNya. 2) Pentingnya mengetahui ilmu nahwu (grammar)
bagi anak agar dapat memahami kitab suc i alquran secara benar. 3). Mengajarkan
bahasa Arab sebagai alat memahami makna ayat alquran beserta huruf hijaiyahnya
agar anak dapat menuliskan ayat-ayatnya dan mengucapkannya dengan benar.
Dilihat dari segi praktisnya maka tidak diragukan lagi bahwa ikrab
membantu menganalisa pengertian sedangkan nahwu, bahasa, chatt, menjadi penguat
halafan dan memperbagus tilawah serta penguasaan pengertian yang selengkapnya.
Al-Qabisi mengutip pendapat Ibnu Sahnun bahwa sebaiknya kita
mengajar anak-anak bagaimana menginkrabkan alquran, anak harus dibiasakan
dengan menaruh syakal, menghafalkan alfabet Arab, dan belajar tulisan indah.
Di
kalangan negara Maghribi telah dikenal sebagai negara yang lebih banyak
perhatiannya kepada tulisan chatt indah yang dipandangnya sebagai suatu seni
indah sehingga dinding-dinding masjid dihiasi dengan tulisan khot ayat-ayat
alquran yang indah yang mengekspresikan ketinggian perasaan ke dalam lukisan,
dan daya cipta dalam seni dekorasi yang tinggi.Oleh karena itu maka masalah
ketrampilan menulis chatt yang indah itu ditempatkan pada posisi resmi dalam
kurikulum kuttab-kuttab yang islamiyah.
Dalam
kurikulum al-Ijbari menurut pandangan al-Qabisi, bahan pelajaran yang wajib
terdiri dari : al-Quran al-Karim, sholat, do’a-do’a, menulis dan nahwu, dan
sebagian bahasa Arab, karena ilmu-ilmu ini mendidik budi pekerti anak-mencintai
agama serta mengajar anak hidup di jalan yang terpuji.
Ilmu-ilmu yang ditetapkan dalam kurikulum ichtiyar (tidak wajib
dipelajari) Uraian tentang kurikulum menurut pandangan al-Qabisi yang telah
disebabkan terdahulu adalah untuk jenjang pendidikan dasar atau pradasar yakni
al-Kuttab, sesuai dengan jenjang yang dikenal pada masa itu. Sekarang kurikulum
tersebut dipakai di jenjang pendidikan dasar (ibtidai)
Ilmu-ilmu yang ichtyaru (selektif) pada jenjang pendidikan dasar
ini terdiri dari ilmu hitung, syair, sejarah dan kisah-kisah bangsa Arab,
(sejarah Islam), ilmu nahwu (grammar) dan bahasa Arab lengkap, dan ilmu yang
menelaskan tentang perbedaan antara ilmu-ilmu ichtiyari ini dengan ilmu-ilmu
ijbary dari segi jarak jauh-dekatnya untuk pembinaan rasa keagamaan yang kuat,
yang mana ilmu-ilmu ijbaryah lebih dekat jaraknya dengan pembinaan keagamaan.
Kita perlu mengingat benar bahwa kurikulum itu harus tunduk kepada
tujuan pendidikan pada zamannya dan memenuhi tuntutan masyarakatnya, juga harus
sesuai dengan jenjang-jenjang pendidikan, mengikuti politik pendidikan yang
telah digariskan oleh pemerintah zamannya
Al-Qabisi menghendaki agar pendidikan dan pengajaran dapat
menumbuh-kembangkan pribadi anak sesuai dengan nilai-nilai Islam yang benar.
Untuk itu maka kurikulum harus mampu merealisasikan yang disesuaikan dengan
kemampuan anak dari masa ke masa (yag tidak lain adalah kurikulum yang bercorak
ijbariyah dan ictiariyah itu). Dan setelah anak menyelesaikan studi sesuai
dengan kurikulum tersebut hendaknya diajarkan dengan pelajaran ketrampilan yang
berproduksi atau keterampilan bekerja agar mampu membiayai hidupnya.
Jadi dengan demikian, menurut pandangan al-Qabisi bahwa memberikan
pelajaran keterampilan kerja untuk mencari nafkah hidupnya sesudah selesainya
tiap jenjang pendidikan yang ditempuhnya dengan dasar pengetahuan alquran,
sembahyang dan do’a yang kokoh kuat, benar-benar merupakan suatu pandangan yang
menyatukan antara tujuan pendidikan keagamaan dengan tujuan pragmatis. Pada
hakikatnya pendidikan ketrampilan kerja setelah memperoleh pendidikan agama dan
akhlak, akan menolong anak itu trampil bekerja, menari nafkah dengan didasari
rasa takut kepada Allah (dalam bekerja).
Sebagian ulama ahli fiqih menentang pelajaran berhitung, akan
tetapi ada beberapa diantara yang memberi hukum fardlu kifayah dengan alasan
bahwa berhitung merupakan persyaratan untuk mendapatkan kemanfaatan dalam mu’amalah
dan dalam pembagian harta warisan (faroidh) dan sebagainya. Menurut pendapat
para ahli pendidikan, berhitung itu memberikan faedah praktis dalam kehidupan
manusia, oleh karena itu harus diajarkan kepada anak sebagai latihan berfikir
yang benar.[6]
Manurut pendapat al-Gazzaly, pengajaran berhitung itu dapat
merealisasikan kemaslahatan agama, karena itu harus dimasukkan ke dalam
kurikulum pendidikan anak-anak.Al-Djahiz memandang pentingnya ilmu hitung dan
kegunaannya disamakan dengan kata-kata dalam sebuah kontrak (perjanjian) yang
essensinya bukan terletak dalam lafadh atau tulisannya, (tetapi dalam
hitungan).
Dalil yang menunjukkan bahwa ilmu hitung itu penting dan banyak
faedahnya, serta tinggi kadar kemanfaatannya ialah berdasarkan firman Allah sebagai
berikut :
هوالّذيجعلالشّمسضيآءًوالقمرنوراوقدّرهمنازللتعلمواعددالسّنينوالحساب. . . .
“Dia-lah
yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya terang dan ditetapkannya
manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu supaya kamu mengetahui
bilangan tahun dan perhitungan (waktu). (QS. Yunus: 5)
Dalam ilmu hitung itu terkandung makna besar dan kemanfaatan yang
tinggi maka dengan mengetahui hitungan dan sebagainya orang akan mendapatkan
kemudahan dalam perkiraan.
Al-Qabisi menyetujui pengajaran berhitung itu tidaklah bersifat
multak, karena hal itu disesuaikan dengan kemanfaatannya bagi masyarakat, atau
sejauh mana imu hitung itu diajarkan untuk mempertinggi kehidupan beragama.Ia
menyatakan bahwa mengajarkan berhitung kepada mereka bukanlah suatu yang wajib
kecuali bila guru mempersyaratkannya.
Sebaiknya mengajarkan berhitung itu didasarkan atas izin orang tua
anak, sehingga persetujuan orang tua menjadi persyaratan bagi pengajaran
berhitung itu.Dengan demikian maka jelaslah bahwa pengajaran berhitung tersebut
tidak terlepas dari pendapat orang-orang tua mereka.
Al-Qabisi dalam pengajaran syair tidak menentang, karena didasarkan
atas sebuah hadis Nabi yang menyatakan bahwa syair itu merupakan kalimat
(perkataan) ia menjadi baik jika yang mempergunakan itu baik, dan menjadi jelek
jika orang yang mengucapkannya itu buruk. Kemudian dikuatkan lagi pendapatnya
itu dalam kitab Risalah Muffasshalah bahwa syair itu dapat meluruskan lisan,
dan membuat orang fasih dalam berkata, serta menghaluskan hatinya dalam suatu
waktu tertentu dan akan dapat memperoleh kesaksian terhadap apa yang ingin ia
jelaskan.
Ketika banyak orang mengkritik al-Qabisi bahwa ia tidak
memperhatikan masalah pendidikan kesenian, maka ia menjawab bahwa pelajaran
syair itu sesungguhnya adalah pndidikan seni keindahan, yang jika diajarkan
maka tidaklah hilang seni tersebut. Pelajaran ini dikaitkan dengan pelajaran
khatt (tulisan indah) yang merupakan seni keindahan luas di wilayah negara
maghribi.Khatt adalah juga termasuk pendidikan seni keindahan.
Tidak diragukan lagi bahwa pandangan tersebut diatas mendorong
perhatian kita kepada pentingnya pendidikan seni keindahan itu yang tidak
bertentangan dengan agma.Alasan ini sesuai dengan pendapat para ahli pendidikan
modern yang menyatakan bahwa mendidik anak dengan seni-budaya membuat mereka
dapat mengetahui / mengenal kebaikan. Dan mengajarkan sejarah bangsa Arab tidak
ada seorang pun yang melarang atau menentangnya, karena sejarah ini mengandung
pengetahuan tentang tokoh-tokoh, pemimpin-pemimpin yang berjiwa pahlawan dan
kesatria, yang bagi anak-anak dapat mendidik rasa mencintai kepahlawanan dan
dapat mendorongnya ke arah berbuat baik seperti para pahlawan.
Maka dari itu jelaslah pendapat al-Qabisi tersebut bahwa ia memilih
dengan teliti bahan-bahan kurikulum pendidikan anak-anak yang benar-benar
sesuai dengan kemampuan mereka. Pandangan mazhab ahli sunnah tentang
bahan-bahan kurikulum anak-anak selalu disesuaikan dengan kondisi anak
tersebut, oleh karena tujuan umum yang dipegangi oleh beliau adalah bertujuan
mengembangkan kekuatan akhlaq anak, menumbuhkan rasa cinta agama, berpegang
teguh pada ajaran-ajarannya, serta berprilaku yang sesuai dengan nilai-nilai
agama yang murni.
4.
Metode dan
Teknik Pembelajaran
Selain membicarakan materi, ia juga berbicara mengenai teknik dan
langkah mempelajari ilmu itu. Misalnya menghafal alquran dan belajar menulis
langkah-langkah adalah berdasarkan pemilihan waktu-waktu yang terbaik, yaitu
waktu pagi-pagi selama seminggu terus-menerus dan baru beristirahat sejak waktu
dhuhur hari Kamis sampai dengan hari Jum’at.Kemudian belajar lagi pada hari
Sabtu pagi hingga minggu berikutnya.
Al-Qabisi juga mengemukakan metode belajar yang efektif, yaitu
menghafal, melakukan latihan dan demonstrasi. Belajar dengan menghafal adalah
cara pengajaran yang amat diperhatikan oleh pendidikan modern sekarang. Di
antara ketetapannya adalah pemahaman terhadap pelajaran dengan baik akan
mmbantu hapalan yang baik. Pendidikan modern sekarang ini menganjurkan agar
mengajar anak dengan cara menghafalkan pelajaran agar mereka memahami maksudnya
secara jelas.
Salah satu bukti yang jelas bahwa kurikulum di Al-Kuttab Islam
berisi bahan-bahan ilmu pengetahuan yang wajib dihapal dan diingat.Di dalam
al-Kuttab itu hanya diajarkan ilmu-ilmu alquran tulis menulis nahwu, bahasa
Arab, syair, dan sejarah bangsa Arab (Islam) yang termasuk ilmu-ilmu lafdziyah.
Ilmu-ilmu itu harus dibaca,dipahami dan diingat-ingat. Maka jelaslah bahwa
kurikulum al-Kuttab itu mementingkan penggunaan metoda hapalan.Karena menurut
al-Qabisi menghafal merupakan salah satu metoda yang paling baik dan sesuai
dengan pendapat modern yang menyatakan bahwa metode hapalan didasarkan atas
pengulangan, kecenderungan dan pemahaman terhadap bahan pelajaran.
Adapun pentingnya pengulangan itu didasarkan kepada sebuah hadis
Nabi saw tentang menghapalkan alquran, yang diumpamakan untuk yang diikat
dengan tali, jika pemiliknya mengokohkan ikatannya, unta itu akan terikat erat,
dan jika ia melepaskan tali ikatannya, maka ia akan pergi.” Jika orang yang
hafal alquran di waktu malam dan siang hari mengulanginya, maka ia akan
mengingatnya, dan jika ia tidak pernah membacanya, maka ia akan melupakannya
(hilang hapalannya).
Berkaitan denga hadits itu, al-Qabisi menyatakan ; “Sesungguhnya
Rasulullah menjelaskan dalam hadisnya yang tersebut diatas tentang cara-cara
mengingat yang dapat memantapkan hapalan alquran, sehingga ia tak perlu belajar
lagi secara berulang-ulang”.
Ucapan al-Qabisi tersebut menunjukkan secara jelas tahap-tahap
mengingat yaitu mula-mula menghapal, lalu memahami artinya, kemudian mengulangi
lagi.Adapun yang dimaksud dengan “kecenderungan” (al-mailu) di atas ialah rasa
mencintai alquranulkarim yakni anak tertarik kepada membacanya.
Menurut al-Qabisi yang dimaksud dengan “pemahaman” (al-fahmu)
diatas adalah tartil (mengerti bacaan) dalam membaca dan pemahamannya secara
serius. Adapun pembacaan yang dengan cara tartil itu membantu kemampuan untuk
merenungkan isi alquran yang telah diturunkan oleh Allah.[7]
5.
Percampuran Belajar antara Murid Laki-Laki dan
Perempuan
Percampuran belajar antara murid laki-laki dan perempuan dalam satu
tempat atau co-educational classes juga menjadi perhatian al-Qabisi. Ia tidak
setuju bila murid laki-laki dan perempuan dicampur dalam kuttab, hingga anak
itu belajar sampai usia baligh (dewasa).
Sahnun, seorang ahli pendidikan Islam
(yang juga guru dari al-Qabisi) abad ke 3 Hijriyah berpendapat (yang juga
dinukil oleh al-Qabisi) bahwa :”Guru yang paling tidak disukai ialah guru yang
mengajar anak-anak perempuan remaja, kemudian mereka bercampur dengan anak
lelaki remaja, maka hal ini akan mendatangkan kerusakan terutama bagi anak
perempuan remaja”.
Salah satu alasan mengapa al-Qabisi
berpegang teguh pada pendapatnya; karena ia khawatir kalau anak-anak itu sendiri
menjadi rusak moralnya. Ia memperingatkan agar tidak mencampurkan anak kecil
dengan remaja yang telah dewasa (sudah bermimpi caitus) kecuali bila anak
remaja yang telah baligh tidak akan merusak anak kecil (belum dewasa).
Namun al-Qabisi tidak menjelaskan pendapatnya tentang kerendahan
derajat jenis kelamin.Ia memberikan arahan kepada guru tentang kebebasan
melaksanakan pola berdasarkan kebijaksanaanya, dan sesuai dengan metoda yang ia
gunakan dalam menangani pergaulan antara anak kecil dengan yang sudah baligh
itu namun ditinjau dari segi lain apakah menimbulkan degradasi atau tidak. Jika
tidak mengalami kerusakan moral maka percampuran itu tidak berlangsung di
Al-Kuttab, maka keharusan mengajar anak perempuan sangat dianjurkan, karena
anak perempuan harus mengerti agama dan pelaksanaan ibadah.Keadaan demikian itu
juga termasuk tugas pendidikan di rumah-rumah (pendidikan keluarga).
Jelaslah pendapat al-Qabisi bahwa
sesungguhnya dorongan jiwa anak terhadap jenis kelamin lain dapat merubah sikap
akhlak dan agamanya, sebab pemenuhan dorongan jenis kelamin merupakan tenaga
yang kuat dalam jiwa remaja, bahkan mungkin menindas dorongan ini dengan
menggunakan kekuatan dorongan yang lain dalam diri remaja (dapat juga
dilakukan) akan tetapi ilmu jiwa pendidikan pada masa itu belum mencapai
tingkat kemajuan seperti sekarang.
6.
Pengaruh
Al-Qabisi Terhadap Pengembangan Pendidikan Islam
Al-Qabisi tokoh yang memiliki kridibiltas yang tinggi serta
memiliki andil yang sangat besar dalam memajukan pendidikan Islam klasik serta
ikut mewarnai perkembangan dunia pendidikan Islam. Memiliki banyak persamaan.
Alasannya adalah Ibnu sahnun adalah guru dari al-Qabisi yang sempat menimba
ilmu pengetahuan dari Ibnu Sahnun. Dengan demikian secara otomatis pola pikir
al-Qabisi atau hasil pemikiran dari al-Qabisi adalah kombinasi dari dua buah
pemikiran antara seorang guru dan muridnya. Dengan demikian pemikiran al-Qabisi
merupakan hasil pembaharuan serta pengembangan yang ia temukan dari gurunya
sendiri.
Keunggulan
pemikirannya khsusnya dalam tujuan pendidikan Islam sendiri, Dasar dan tujuan
pendidikan Islam, pandangan tentang peserta didik, kode etik seorang
pendidik,.metode pembelajaran, media atau alat pendidikan. Akan tetapi pola
pemikiran al-Qabisi lebih memiliki pengembangan-pengembangan dari berbagai
sudut pandang. Terlihat pada pemikirannya tentang peserta didik yang mengatakan
bahwa bercampurnya antara murid laki-laki dan perempuan dapat merusak atau
memperngaruhi psikologi peserta didik yang lain. Demikian halnya dengan pemikirannya
tentang pendidik yang menambah kode etik atau syarat-syarat bagi seorang
pendidik, namun perihal pengajian atau pengupahan seorang pendidik dalam hal
ini memiliki perbedaan pendapat. Adapun dengan kurikulumnya dapat mengalami
pengembangan serta diselaraskan sesuai dengan kebutuhan pasar atau perkembangan
zaman akan tetapi ada keritikan tajam oleh al-Qabisi sendiri tentang kurikulum
hari ini yang memuat terlalu banyak materi yang dipelajari oleh peserta didik
khususnya pada usia sekolah dasar (SD), daru sudut pandang metode
pembelajarannya dapat dikatakan dengan sama dan sependapat perihal tetanng
metode pembelajaran al-Quran dengan metode hafalan dan demontrasi, sedangkan
menurut al-Qabisi bahwa metode harus diselaraskan dengan usia atau tahapat psikologi
peserta didik. Sedangkan karena tujuan pendidikan mereka sama maka media
khususnya media nonfisik mereka memiliki persamaan.
[1]Abuddin
Nata.2003. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada. Hlm, 27.
[2]Ahmad Fuad al-Ahwani. 1980. al-Tarbiyah fi al-ISLAM. Kairo:Dar al-Ma'Arif. Hlm, 27.
[3]Abuddin
Nata.2003. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Raja
Grapindo Persada. Hlm, 28.
[4]Ahmad Fuad al-Ahwani. 1980. al-Tarbiyah fi al-ISLAM. Kairo:Dar al-Ma'Arif. Hlm, 108.
[5]Ahmad Abdul Latief. 1987. al-Fikry al-Tarbawy al-Araby al-Islamiy. Tunisia: Maktab al-Araby.
Hlm, 771.
[6]Ali
Al-Jambulati dan Abdul Futuh Al-Tuwasaanisi. 2002. Perbandingan Pendidikan
Islam. PT Rineka Cipta. Jakarta.
Hal. 81-88
[7]Al-Na’miy,
Abdullah Al-Amin, Al-Manahij waTuruq al-Ta’lim ‘inda al-Qabisi wa Ibn Khaldun,
Tej. Muhammad Ramzi Omar, Kaedah dan Teknik Pengajaran Menurut Ibn Khaldun dan
Al-Qabisi, Kualalumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1994.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar