A. Aliran
Essensialisme
Kata
esensialisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia terdapat dua kata, yaitu
“esensi” yang berarti “hakikat, inti, dasar” dan ditambahkan menjadi “esensial”
yang berarti “sangat perinsip, sangat berpengaruh, sangat perlu”.[1]
Esensialisme
dikenal sebagai gerakan pendidikan dan juga sebagai aliran filsafat pendidikan.
Esensialisme berusaha mencari dan mempertahankan hal-hal yang esensial, yaitu
sesuatu yang bersifat inti atau hakikat fundamental, atau unsur mutlak yang
menentukan keberadaan sesuatu. Menurut Esensialisme, yang esensial tersebut
harus diwariskan kepada generasi muda agar dapat bertahan dari waktu ke waktu
karenaitu Esensialisme tergolong tradisionalisme.[2]
1. Sejarah
Lahirnya Aliran Essensialisme
Essensialisme adalah aliran
filsafat pendidikan yang memandang bahwa pendidikan harus didasarkan kepada
nilai-nilai[3],
kebudayaan yang telah ada sejak peradaban umat manusia, yang mempunyai
kejelasan dan tahan lama sehingga memberikan kestabilan dan arah yang jelas.[4]
Esensialisme muncul pada
zaman Renaissance dengan ciri-ciri utama yang berbeda dengan progresivisme, yaitu yang
tumbuh dan berkembang disekitar abad 11, 12, 13 dan ke 14 Masehi. Pada zaman
Renaissance itu telah berkembang dengan megahnya usaha-usaha untuk menghidupkan
kembali ilmu pengetahuan dan kesenian serta kebudayaan purbakala, terutama
dizaman Yunani dan Romawi purbakala. Renaissance itu merupaka reaksi terhadapa
tradisi dan sebagai puncak timbulnya individualisme dalam berpikir dan
bertindak dalam semua cabang dari aktivitas manusia.
Gerakan esensialisme muncul pada
awal tahun 1930 dengan beberapa orang pelopornya seperti William C. Bagley,
Thomas Briggs, Frederick Breed dan Isac L. Kandell. Pada tahun 1938 mereka
membentuk suatu lembaga yang disebut dengan “the essensialist committee for
the advancement of American Education” sementara Bagley sebagai pelopor esensialsme
adalah seorang guru besar pada “Teacher College” Colombia University.
Bagley yakin bahwa fungsi utama sekolah adalah mentransmiskan warisan budaya
dan sejarah kepada generasi muda.[5]
Bagley dan rekan-rekannya
yang memiliki kesamaan pemikiran dalam hal pendidikan sangat kritis terhadap
praktek pendidikan progresif. Mereka berpendapat bahwa pergerakan progresif telah merusak
standar-standar intelektual dan moral anak muda. Setelah perang dunia ke-2,
kritik terhadap pendidikan progresiv telah tersebar luas dan tampak merujuk
pada kesimpulan : sekolah gagal dalam tugas mereka mentransmisikan
warisan-warisan intelektual dan sosial. Esensialisme, yang memiliki beberapa
kesamaan dengan perenialisme, berpendapat bahwa kultur kita telah memiliki
suatu inti pengetahuan umum yang harus diberikan sekolah-sekolah kepada para
siswa dalam suatu cara yang sistematis dan berdisiplin. Aliran ini populer pada
tahun 1930 an dengan populernya Wiliam Bagley (1874-1946).[6]
Esensialisme yang
berkembang pada zaman Renaissance mempunyai tinjauan yang berbeda dengan progresivisme
mengenai pendidikan dan kebudayaan. Jika progresivisme menganggap pendidikan
yang penuh fleksibelitas, serba terbuka untuk perubahan, tidak ada keterkaitan
dengan doktrin tertentu, toleran dan nilai-nilai dapat berubah dan berkembang,
maka aliran Esensialisme ini memandang bahwa pendidikan yang bertumpu pada
dasar pandangan fleksibilitas dalam segala bentuk dapat menjadi sumber
timbulnya pandangan yang berubah-ubah, mudah goyah dan kurang terarah dan tidak
menentu serta kurang stabil. Karenanya pendidikan haruslah diatas pijakan nilai
yang dapat mendatangkan kestabilan dan telah teruji oleh waktu, tahan lama dan
nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan terseleksi. Nilai-nilai yang dapat
memenuhi adalah yang berasal dari kebudayaan dan filsafat yang korelatif,
selama empat abad belakangan ini, dengan perhitungan zaman Renaisans, sebagai
pangkal timbulnya pandangan-pandangan
Esensialistis awal. Puncak refleksi dari gagasan ini adalah pada pertengahan
kedua abad ke sembilan belas.[7]
Dengan demikian
Renaissans adalah pangkal sejarah timbulnya konsep-konsep pikiran esensialisme.
Aliran esensialisme muncul sebagai reaksi terhadap pandangan progressivisme
yang materialistik, yang serba bebas.
2. Teori Pendidikan Esensialisme
Esensialisme mengharapkan agar
pendidikan dan landasan-landasannya mengacu pada nilai-nilai yang esensial.[8]
Dalam hal ini menurut esensialisme pendidikan harus mengacu pada nilai-nilai
yang sudah teruji oleh waktu, bersifat menuntun, dan telah berlaku secara
turun-temurun dari zaman ke zaman.
Adapun beberapa
pandangan esensialisme yang berkaitan dengan pendidikan yaitu sebagai berikut:
- Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan
esensialisme adalah menyampaikan warisan budaya dan sejarah melalui suatu inti
pengetahuan yang telah terakumulasi, serta telah bertahan sepanjang waktu untuk
diketahui oleh semua orang.[9]
Pengetahuan ini diikuti oleh keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang tepat
untuk membentuk unsur-unsur pendidikan yang inti (esensial), pendidikan
diarahkan mencapai suatu tujuan yang mempunyai standart akademik yang tinggi, serta
pengembangan intelek atau kecerdasan.
- Kurikulum
Menurut aliran esensialisme kurikulum pendidikan lebih diarahkan pada
fakta-fakta (nilai-nilai), kurikulum pendidikan esensialisme berpusat pada mata
pelajaran.[10]
Dalam hal ini ditingkat sekolah dasar misalnya, kurikulum lebih ditekankan pada beberapa kemampuan
dasar, diantaranya yaitu kemampuan menulis, membaca dan berhitung. Sementara
itu dijenjang sekolah menengah penekanannya sudah lebih diperluas, misalnya
sudah mencakup sains, bahasa, sastra dan sebagainya.
Dalam hal ini menurut pandangan esensialisme kurikulum yang diterapkan
dalam sebuah proses belajar menganjar lebih menekankan pada penguasaan berbagai fakta dan
pengetahuan dasar merupakan sesuatu yang sangat esensial bagi kelanjutan suatu
proses pembelajaran dan dalam upaya untuk mencapai tujuan pendidikan secara
umum. Dengan kata lain penguasaan fakta dan konsep dasar disiplin yang esensial
merupakan suatu keharusan.
- Metode pendidikan
Dalam pandangan esensialisme, metode yang digunakan dalam proses belajar
mengajar lebih tergantung pada inisiatif dan kreatifitas pengajar (guru),
sehingga dalam hal ini sangat tergantung pada penguasaan guru terhadap berbagai
metode pendidikan dan juga kemampuan guru dalam menyesuaikan antara berbagai pertimbangan
dalam menerapkan suatu metode sehingga
bisa berjalan secara efektif.
Pendidikan berpusat pada guru (teacher centered),
umumnya diyakini bahwa pelajar tidak betul-betul mengetahui apa yang diinginkan
dan mereka harus dipaksa belajar. Metode utama adalah latihan mental, misalnya
melalui diskusi dan pemberian tugas, penguasaan pengetahuan, misalnya melalui
penyampaian informasi dan membaca.
- Pelajar
Dalam pandangan esensialisme sekolah bertanggung jawab untuk memberikan
pengajaran yang logis atau terpercaya kepada peserta didik, sekolah berwenang
untuk mengevaluasi belajar siswa.[11]
Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa siswa adalah mahluk rasional dalam
kekuasaan (pengaruh) fakta dan keterampilan-keterampilan pokok yang diasah
melakukan latihan-latihan intelek atau berfikir, siswa kesekolah adalah untuk
belajar bukan untuk mengatur pelajaran sesuai dengan keinginannya. Dalam hal
ini sangat jelas dalam pandangan esensialisme bahwa pelajar harus diarahkan
sesuai dengan nilai-nilai yang sudah dakui dan tercantum dalam kurikulum, bukan
didasarkan pada keinginannya.
- Pengajar
Menurut pandangan aliran filsafat
esensialisme, dalam proses belajar mengajar posisi guru adalah sebagai berikut:
1) Peranan
guru kuat dalam mempengaruhi dan menguasai kegiatan-kegiatan di kelas.
2) Guru
berperan sebagai sebuah contoh dalam pengawasan nilai-nilai dan penguasaan
pengetahuan atau gagasan yang hendak ditanamkan kepada peserta didik.
Dengan kata lain dalam
pandangan esensialisme dalam proses belajar menganjar pengajar (guru) mempunyai
peranan yang sangat dominan dibanding dengan peran siswa, hal ini tidak
terlepas dari pandangan mereka tentang kurikulum dan juga tentang siswa dimana
siswa harus diarahkan sesuai dengan kurikulum yang sesuai dengan nilai-nilai
yang sudah teruji dan tahan lama, sehingga guru mempunyai peranan yang begitu
dominan dalam jalannya proses belajar menganjar.
Aliran esensialisme, dengan bercokol dari
filsafat-filsafat sebelumnya, dapat memenuhi nilai-nilai yang berasal dari kebudayaan dan falsafat yang korelatif
sejak empat abad ke belakang, sejak
zaman Renaisance sebagai pangkal timbulnya pandangan esensialisme awal.
Sedangkan puncak dari gagasan ini adalah pada pertengahan abad ke-19,[12]dengan
munculnya tokoh-tokoh utama yang berperan menyebarkan aliran esensialisme.
3. Tokoh-Tokoh Esensialisme Tokoh utama esensialisme pada
permulaan awal munculnya adalah
a.
Georg
Wilhelm Friedrich Hegel (1770–1831). Georg Wilhelm Friedrich Hegel mengemukakan
adanya sintesa antara ilmu pengetahuan dan agama menjadi suatu pemahaman yang
menggunakan landasan spiritual. Sebuah penerapan yang dapat dijadikan contoh
mengenai sintesa ini adalah pada teori sejarah. Hegel mengatakan bahwa tiap
tingkat kelanjutan, yang dikuasai oleh hukum-hukum yang sejenis. Hegel
mengemukakan pula bahwa sejarah adalah manifestasi dari berpikirnya Tuhan.
Tuhan berpikir dan mengadakan ekspresi mengenai pengaturan yang dinamis
mengenai dunia dan semuanya nyata dalam arti spiritual. Oleh karena Tuhan
adalah sumber dari gerak, maka ekspresi berpikir juga merupakan gerak. George
Santayana, dengan memadukan antara aliran idealisme dan aliran realisme dalam
suatu sintesa dengan mengatakan bahwa nilai itu tidak dapat ditandai dengan
suatu konsep tunggal, karena minat, perhatian dan pengalaman seseorang
menentukan adanya kualitas tertentu. Walaupun idealisme menjunjung asas
otoriter atau nilai-nilai, namun juga tetap mengakui bahwa pribadi secara aktif
bersifat menentukan nilai-nilai itu atas dirinya sendiri (memilih,
melaksanakan).[13]
b.
Desiderius
Erasmus
(Abad 15-16), humanis Belanda
yang hidup pada akhir abad 15 dan permulaan abad 16, yang merupakan tokoh
pertama yang menolak pandangan hidup yang berpijak pada dunia lain. Erasmus
berusaha agar kurikulum sekolah bersifat humanistis dan bersifat internasional,
sehingga bisa mencakup lapisan menengah dan kaum aristokrat.
Dia berpandangan bahwa kurikulum disekolah harus bersifat humanistis serta
bersifat internasional sehingga bisa menyentuh semua lapisan masyarakat
termasuk kaum aristokrat maupun kaum menengah.[14]
c.
Johan
Amos Comenius (1592-1670), adalah seorang yang memiliki pandangan realis dan
dogmatis. Yang mengemukakan bahwa salah satu peranan utama
pendidikan adalah membentuk manusia yang ideal yaitu yang sesuai dengan
keinginan dan kehendak Tuhan. Hal ini dikarenakan menurutnya pada dasarnya
dunia adalah dinamis dan bertujuan. Atau bisa dikatakan Johann Amos comenius
adalah orang yang mempunyai pandangan yang dogmatis dan idealis yang
bertentangan dengan pandangan progressif. Comenius berpendapat bahwa pendidikan mempunyai peranan membentuk anak
sesuai dengan kehendak Tuhan, karena pada hakikatnya dunia adalah dinamis dan
bertujuan
[15]
d.
John
Locke (1632-1704),
berpandangan bahwa pendidikan idealnya selalu dekat dengan realitas kehidupan,
bahkan sebagai perwujudan dari gagasannya tersebut John Locke mempunya sekolah
kerja yang diperuntukkan bagi golongan anak-anak kurang mampu (miskin).
e.
Johann
Henrich Pestalozzi (1746-1827), sebagai seorang tokoh yang berpandangan
naturalis Pestalozzi mempunyai kepercayaan bahwa sifat-sifat alam itu tercermin
pada manusia, sehingga pada diri manusia
terdapat kemampuan-kemampuan wajarnya. Selain itu ia mempunyai keyakinan bahwa
manusia juga mempunyai transendental langsung dengan Tuhan.
f.
Johann
Friederich Frobel (1782-1852), sebagai tokoh yang berpandangan kosmis-sintesis
dengan keyakinan bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang merupakan
bagian dari alam ini, sehingga manusia tunduk dan mengikuti ketentuan-ketentuan
hukum alam. Terhadap pendidikan, Frobel
memandang anak sebagai makhluk yang berprestasi kreatif, yang dalam tingkah
lakunya akan nampak adanya kualitas metafisis. Karenanya tugas pendidikan
adalah memimpin anak didik ke arah kesadaran diri sendiri yang murni, selaras
dengan fitrah kejadiannya.
g.
Johann
Friederich Herbert (1776-1841), sebagai salah seorang murid Immanuel Kant
yang berpandangan kritis, Herbert
berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah menyesuaikan jiwa seseorang dengan
kebajikan dari yang mutlak dalam arti penyesuaian dengan hukum-hukum kesusilaan
dan inilah yang disebut proses pencapaian tujuan pendidikan oleh Herbert
sebagai pengajaran yang mendidik. Bahwa
tujuan pendidikan adalah upaya untuk mewujudkan kserasian (kesinergian) jiwa
seseorang dengan kebijaksanaan Tuhan atau dengan kata lain adanya penyesuaian
dengan hukum kesusilaan. Pengajaran merupakan proses untuk mencapai tujuan
pendidikan yaitu mewujudkan manusia yang ideal yang sesuai dengan hukum-hukum
kesusilaan dan sesuai dengan tujuan yang dikehendaki oleh Tuhan.[16]
h.
William
T. Harris (1835-1909), tokoh dari Amerika yang pandangannya dipengaruhi oleh
Hegel dengan berusaha menerapkan idealisme obyektif pada pendidikan umum. Tugas
pendidikan baginya adalah mengizinkan
terbukanya realita berdasarkan susunan yang pasti[17]
dan didasarkan pada kesatuan spiritual berdasarkan kesatuan yang memelihara
nilai-nilai yang telah turun temurun dan menjadi penuntun penyesuaian diri kepada masyarakat.[18]
Filsafat pendidikan
esensialisme yang disarikan oleh William C. Bagley memiliki ciri-ciri sebagai
berikut :
1) Minat-minat yang kuat dan
tahan lama sering tumbuh dari upaya-upaya belajar awal yang memikat atau
menarik perhatian bukan karena dorongan dari dalam diri siswa.
2) Pengawasan, pengarahan, dan
bimbingan orang yang dewasa adalah melekat dalam masa balita yang panjang atau
keharusan ketergantungan yang khusus pada spsies manusia.
3) Kemampuan untuk mendisiplin
diri harus menjadi tujuan pendidikan, maka menegakan disiplin adalah suatu cara
yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut.
4) Esensialisme menawarkan
sebuah teori yang kokoh, kuat tentang pendidikan, sedangkan sekolah-sekolah
pesaingnya (progresivisme) memberikan sebuah teori yang lemah.[19]
4. Pandangan-pandangan[20]
Aliran Esensialisme
a.
Pandangan
relita (ontologi)
Sifat yang menonjol
dari ontologi esensialisme adalah suatu konsep bahwa dunia ini dikuasai oleh
tata yang tiada cela, yang mengatur isinya dengan tiada ada pula. Pendapat ini
berarti bahwa bagaimana bentuk, sifat, kehendak dan cita-cita manusia haruslah
disesuaikan dengan tata alam yang ada. Tujuan umum aliran esensialisme adalah
membentuk pribadi bahagia di dunia dan akhirat. Isi pendidikannya mencakup ilmu
pengetahuan, kesenian dan segala hal yang mampu menggerakkan kehendak manusia.
Kurikulum sekolah bagi esenisalisme semacam miniatur dunia yang
bisa dijadikan sebagai ukuran kenyataan, kebenaran dan keagungan. Maka dalam
sejarah perkembangannya, kurikulum esensialisme menerapkan berbagai pola
idealisme, realisme dan sebagainya. Adapun uraian mengenai realisme dan
idealisme ialah:
1)
Realisme
yang mendukung esensialisme yang disebut realisme obyektif karena mempunyai
pandangan yang sistematis mengenai alam serta tcmpat manusia di dalamnya. Ilmu
pengetahuan yang mempengaruhi aliran realisme dapat dilihat dari fisika dan
ilmu-ilmu lain yang sejenis dapat dipelajari bahwa tiap aspek dari alam fisika
dapat dipahami berdasarkan adanya tata yang jalan khusus. Dengan demikian
berarti bahwa suatu kejadian yang paling sederhana pun dapat ditafsirkan
menurut hukum alam di antaranya daya tarik bumi. Sedangkan oleh ilmu-ilmu lain
dikembangkanlah teori mekanisme, dan dunia itu ada dan terbangun atas dasar
sebab akibat, tarikan dan tekanan mesin yang sangat besar.
2)
ldealisme
obyektif mempunyai pandangan kosmis yang lebih optimis dibandingkan dengan
realisme obyektif. Maksudnya adalah bahwa pandangan-pandangannya bersifat
menyeluruh yang boleh dikatakan meliputi segala sesuatu. Dengan landasan
pikiran bahwa totalitas dalam alam semestaini pada hakikatnya adalah jiwa atau spirit,
idealisme menetapkan suatu pendirian bahwa segala sesuatu yang ada ini adalah
nyata. Hegel mengemukakan adanya sintesa antara ilmu pengetahuan dan agama
menjadi suatu pemahaman yang menggunakan landasan spiritual. Sebuah penerapan
yang dapat dijadikan contoh mengenai sintesa ini adalah pada teori sejarah.
Hegel mengatakan bahwa tiap tingkat kelanjutan, yang dikuasai oleh hukum-hukum
yang sejenis.
b.
Pandangan
tentang pengetahuan (Epistimologi)
Teori kepribadian
manusia sebagai refleksi Tuhan adalah jalan untuk mengerti epistimologi
esensialisme. Sebab, jika manusia mampu menyadari relita sebagai mikrokosmos
dan makrokosmos, makna manusia pasti mengetahui dalam tingkat kualitas apa
rasionya manpu memikirkan kesemestaan
itu.dan berdasarkan kualitas itulah manusia memproduksi secara tepat
pengetahuannya dalam bidang-bidang: ilmu alam, biologi, sosial, estetika, dan
agama.
c.
Pandangan
tentang nilai (aksiologi)
Nilai, seperti
hanyalah pengetahuan berakar pada dan
diperoleh dari sumber-sumber obyektif. Sedangkan sifat-sifat nilai terganung
dari pandangan yang timbul dari relisme dan idealisme.Menurut realisme,
kualitas nilai tidak dapat ditentukan secara konsepsuil terlebih dahulu,
melainkan tergantung dari apa atau lanjutnya akan tergantung pula dari sikap subyek.Menurut
idealisme, sesuatu yang nampak pada dunia temporal itu belum tentu mempunyai
nilai bagi manusia. Sebb nilai itu berakar pada hal-hal yang temporal saja
seperti halnya awan putih pada pagi hari
masih tampak, tetapi siang atau sore hari sudah hilang.
5.
Kelebihan
dan Kelemahan Aliran Esensialisme:[21]
Kelebihan:
a. Esensialisme
membantu untuk mengembalikan subject matter ke dalam proses pendidikan, namun
tidak mendukung perenialisme bahwa subject matter yang benar adalah realitas
abadi yang disajikan dalam buku-buku besar dari peradaban barat. Great Book
tersebut dapat digunakan namun bukan untuk mereka sendiri melainkan untuk
dihubungkan dengan kenyataan-kenyataan yang ada pada dewasa ini.
b.
Esensialis berpendapat bahwa perubahan
merupaka suatu kenyataan yang tidak dapat diubah dalam kehidupan sosial. Mereka
mengakui evolusi manusia dalam sejarah, namun evolusi itu harus terjadi sebagai
hasil desakan masyarakat secara terus-menerus. Perubahan terjadi sebagai
kemampuan imtelegensi manusia yang mampu mengenal kebutuhan untuk mengadakan
amandemen cara-cara bertindak,organisasi,dan fungsisosial.
Kelemahan:
a.
Menurut esensialis, sekolah tidak boleh
mempengaruhi atau menetapkan kebijakan-kebijakan sosial. Hal ini mengakibatkan
adanya orientasi yang terikat tradisi pada pendidikan sekolah yang akan
mengindoktrinasi siswa dan mengenyampingkan kemungkinan perubahan.
b. Para
pemikir esensialis pada umumnya tidak memiliki kesatuan garis karena mereka
berpedoman pada filsafat yang berbeda. Beberapa pemikir esensialis bahkan memandang
seni dan ilmu sastra sebagai embel-embel dan merasa bahwa pelajaran IPA dan
teknik serta kejuruan yang sukar adalah hal-hal yang benar-benar penting yang
diperlukan siswa agar dapat memberi kontribusi pada masyarakat.
c. Peran
guru sangat dominan sebagai seorang yang menguasai lapangan, dan merupakan
model yang sangat baik untuk digugu dan ditiru. Guru merupakan orang yang
menguasai pengetahuan dan kelas dibawah pengaruh dan pengawasan guru. Jadi,
inisiatif dalam pendidikan ditekankan pada guru, bukan pada siswa.
[1]
Santoso, Kamus Praktis Bahasa Indonesia,(
Jakarta: Pustaka Agung Harapan), 2012, hlm. 162
[2]Dinn Wahyuni, dkk, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2010),
hlm.14.
[3]
Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany (terj: Hasan Langgulung), Falsafah
Pendidikan Islam, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1979). Hlm. 14
[4] Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004). Hlm. 25
[5]Djumransyah,
Filsafat Pendidikan, (Jakarta:
Bayumedia, 2004), hlm.183.
[6] Djumransyah, Filsafat Pendidikan, hlm. 184.
[7]Chaedra Alwasiah, Filsafat Bahasa dan
Pendidikan, (Bandung:
Pt Remaja Rosdakarya, 2008), hlm.102-103.
[8] Amsal Amri, Studi Filsafat Pendidikan,Banda. (Aceh: Yayasan Pena). Hlm. 70
[9] Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Aggota IKAPI, 2007). Hlm.
161
[10] Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Aggota IKAPI, 2007). Hlm.
162
[11] Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Aggota IKAPI, 2007). Hlm.
165
[12]
Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat
Pendidikan Manusia, Filsafat dan Pendidikan, (Jakarta: Arruz Media, 2010), Cet. III, hlm. 100
[13] Wahyudi. Aliran Esensialisme.
Dalam http://wahyudisy.blogspot.com
[14] Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004). Hlm. 25
[15] Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004). Hlm. 25
[16] Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004). Hlm. 25
[17]
Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan,
(Yogyakarta: Yayasan Penerbit
FIP IKIP, 1982),
Hlm. 38-40
[18] Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004). Hlm. 25
[19]Hamdani
Ali, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Kota Kembang, 1986), Hlm. 96.
[20]
Parasetya, Filsafat
Pendidikan, (Bandung: Pustaka Setia,
2002). Hlm.
85
[21] Makalah Filsafat Pendidikan.
Dalam http://adanfa.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar